Bobot Badan Tikus Betina Bunting Yang Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella Alpina) Pada Hari 13-21 Kebuntingan

BOBOT BADAN TIKUS BETINA BUNTING YANG DIBERI
EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG (Pimpinella
alpina) PADA HARI 13-2I KEBUNTINGAN

WAHYU SRI WULANDARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Bobot Badan Tikus
Betina Bunting yang diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella alpina)
pada Hari 13–21 Kebuntingan adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Wahyu Sri Wulandari
NIM B04110046

ABSTRAK
WAHYU SRI WULANDARI. Bobot Badan Tikus Betina Bunting yang diberi
Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella alpina) pada Hari 13-21
Kebuntingan. Dibimbing oleh PUDJI ACHMADI dan ARYANI SISMIN
SATYANINGTIJAS.
Purwoceng (Pimpinella alpina) adalah salah satu tanaman asli Indonesia
yang berkhasiat sebagai afrodisiak, diuretik, dan tonik. Tanaman ini dapat
ditemukan di dataran tinggi. Tanaman ini diduga memiliki efek androgenik dan
anabolik. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pemberian 25 mg/300 g BB
ekstrak etanol akar purwoceng pada hari 13–21 kebuntingan terhadap bobot badan
tikus betina bunting. Terdapat dua kelompok tikus, kelompok kontrol yang tidak
diberi purwoceng dan kelompok yang diberi 25 mg/300 g BB ekstrak etanol akar
purwoceng. Hasil penelitian menunjukkan bahwa purwoceng cenderung
meningkatkan bobot badan dan konsumsi pakan pada tikus bunting.
Kata kunci : anabolik, afrodisiak, androgenik, bobot badan, purwoceng


ABSTRACT
WAHYU SRI WULANDARI. Body Weight of Pregnant Female Rats that were
Given of Purwoceng Root’s Ethanol Extract at 13-21 Days of Pregnancy.
Supervised by PUDJI ACHMADI and ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.
Purwoceng (Pimpinella alpina) is one of medicinal plants widely grow in
Indonesia which can be used as aphrodisiac, diuretic, and tonic. Purwoceng
generally be found in the highlands. This plant may also have androgenic and
anabolic effect. This experiment was aimed to study the effect of purwoceng as
body weight of pregnant rats that were given 25 mg/300 g BB of purwoceng
root’s ethanol at 13–21 day of pregnancy. There were two groups of rats, the
control group received placebo and the treatment group given 25 mg/300 g BB
purwoceng. Result of the experiment indicated that purwoceng increased the body
weight and feed consumptions of pregnant rats.
Keywords: anabolic, aphrodisiac, androgenic , body weight, purwoceng

BOBOT BADAN TIKUS BETINA BUNTING YANG DIBERI
EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG (Pimpinella
alpina) PADA HARI 13-2I KEBUNTINGAN


WAHYU SRI WULANDARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai Mei 2015 ini ialah
“Bobot Badan Tikus Betina Bunting yang diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng
(Pimpinella alpina) pada Hari 13-21 Kebuntingan. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada :

1. Drs Pudji Achmadi, MSi dan Dr Drh Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc
sebagai dosen pembimbing atas segala bimbingan, masukan, dukungan,
nasihat, serta kesabarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
dan penulisan skripsi.
2. Bapak Edi, beserta staf Laboratorium Fisiologi Departemen Anatomi Fisiologi
dan Farmakologi (FKH IPB) Dramaga.
3. Drh Budhy Jasa Widiananta, MSi sebagai dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan saran dan bimbingan dalam kegiatan akademik.
4. Keluarga tercinta, Almarhum Mbah Taroji, Bapak Mujiono, Ibu Sri Murdiyati,
Adik Ridwan Kurnia Fajar atas dukungan dan doa kepada penulis selama ini.
5. Teman-teman : Rio Topan, Meilany Cyntia, Maulana Sydik, Riska Amalia
Nurjannah, Ayu Herawati, Elma Nefia, Iga Mahardi, Tyas Noormalasari, Eny
Dyah Pratiwi, Eka Deandra Rahayu, Tiara Widiati, Selma Anggita, Vian Puput
Wijaya, Yenny Rakhmawati, Latifah Nur Laila, Hilda Ayu, Ganglion 48, dan
Ikatan Mahasiswa Wonosobo (IKAMANOS), serta seluruh Civitas Akademika
Fakultas Kedokteran Hewan, atas segala doa, kerja sama, dan motivasinya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Wahyu Sri Wulandari


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Hipotesis

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Purwoceng


2

Biologi Umum Tikus

3

Pertambahan Bobot Badan dan Konsumsi Pakan Tikus

4

METODE

5

Tempat dan Waktu Penelitian

5

Alat dan Bahan


5

Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng

5

Penentuan Dosis Ekstrak

6

Tahap Persiapan Hewan

6

Tahap Perlakuan Hewan

6

Tahap Pengambilan Data


7

Analisis Statistik

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Akar Purwoceng terhadap
Pertambahan Bobot Badan

7

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Akar Purwoceng terhadap
Konsumsi Pakan Tikus Bunting

10


SIMPULAN DAN SARAN

12

Simpulan

12

Saran

12

DAFTAR PUSTAKA

12

LAMPIRAN

15


RIWAYAT HIDUP

17

DAFTAR TABEL
1
2
3

Hasil uji fitokimia akar purwoceng
Rataan bobot badan tikus betina bunting yang diberi ekstrak etanol
akar purwoceng pada 13-21 hari kebuntingan
Rataan konsumsi pakan tikus betina bunting yang diberi ekstrak
etanol akar purwoceng pada 13-21 hari kebuntingan

3
8
10

DAFTAR GAMBAR
1
2
2
3

Morfologi tanaman purwoceng
Bagan penelitian
Grafik persentase kenaikan bobot badan induk tikus betina bunting
Grafik peningkatan konsumsi pakan induk tikus betina bunting

3
7
9
11

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Hasil pengolahan ANOVA pertambahan bobot badan tikus betina
bunting
Hasil pengolahan ANOVA konsumsi pakan tikus betina bunting

15
16

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman obat telah diketahui dapat menjadi produk jamu yang bermanfaat
untuk meningkatkan daya tahan tubuh, pencegahan dan penyembuhan penyakit
serta pemulihan kesehatan (Soedibyo 1992). Pemanfaatan tanaman obat untuk
tujuan peningkatan fertilitas pada manusia telah lama dikenal, tetapi belum
banyak dilakukan pada hewan. Serangkaian studi dari tanaman obat membuktikan
bahwa Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman hayati
yang tinggi. Hutan tropis yang sangat luas beserta keanekaragaman hayati yang
ada didalamnya dapat menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara penghasil
tanaman obat yang potensial. Salah satu tanaman obat asli Indonesia adalah
Purwoceng (Pimpinella alpina). Tanaman ini banyak tumbuh di dataran tinggi.
Penelitian fitofarmaka untuk mengetahui kandungan bahan aktif tanaman
purwoceng terus dilakukan. Hal ini terkait dengan penggunaan tanaman
purwoceng cenderung terus meningkat dan telah banyak beredar di pasaran.
Berdasarkan laporan hasil uji fitokimia oleh Balittro (2011), akar purwoceng
diketahui mengandung senyawa alkaloid, tanin, flavonoid, triterfenoid, steroid,
dan glikosida.
Darwati dan Roostika (2006), melaporkan bahwa akar tanaman purwoceng
(Pimpinella alpina) diduga memiliki efek androgenik sebagai obat afrodisiak,
diuretik, dan tonik. Peluang pemanfaatan purwoceng sebagai obat afrodisiak
sangat besar. Hasil penelitian tersebut didukung oleh Nasihun (2009) yang
membuktikan bahwa pemberian ekstrak purwoceng mampu meningkatkan kinerja
reproduksi secara nyata. Zat tersebut menjadi pemicu peningkatan hormon
testosteron pada tikus. Testosteron pada jantan diubah menjadi estradiol dalam
jumlah sedikit dan berfungsi untuk perkembangan kelamin sekunder jantan.
Sedangkan pada betina, sebagian besar testosteron akan diubah menjadi estrogen
oleh enzim aromaterase (Favaro dan Cagnon 2007). Penelitian sebelumnya
melaporkan bahwa pemberian ekstrak etanol akar purwoceng dengan dosis 25
mg/300 g BB pada hari 1-13 kebuntingan mampu mempercepat pertambahan
bobot badan, bobot ovarium dan uterus tikus betina bunting cenderung meningkat,
serta meningkatkan rasio jumlah titik implantasi dan korpus luteum
(Satyaningtijas et al. 2014). Lebih lanjut, pemberian ekstrak etanol akar
purwoceng dengan dosis 25 mg/300 g BB pada hari 1-13 kebuntingan dapat
memberikan tampilan anak tikus jantan yang lebih baik berupa peningkatan
terhadap perkembangan tulang, bobot badan anak tikus jantan dan penurunan
testis yang lebih cepat pada anak tikus jantan (Zhaahir 2014), serta peningkatan
terhadap perkembangan tulang dan bobot badan anak tikus betina (Rahman 2014).
Peningkatan bobot badan sangat dipengaruhi oleh tingkat konsumsi pakan.
Peningkatan bobot badan induk bunting merupakan indikator keberhasilan yang
diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap penampilan anak yang
dilahirkan.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas ekstrak etanol purwoceng
yang diberikan pada tikus betina galur Sprague-Dawley pada hari 13-21
kebuntingan terhadap pertambahan bobot badan melalui konsumsi pakannya.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
efektivitas pemberian ekstrak akar etanol purwoceng pada hari 13-21 kebuntingan
terhadap pertambahan bobot badan tikus betina bunting.
Hipotesis
Hipotesis yang dapat ditarik berdasarkan latar belakang di atas adalah:
: Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) pada
hari 13-21 kebuntingan tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot
badan tikus betina bunting.
H1 : Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) pada
hari 13-21 kebuntingan berpengaruh terhadap pertambahan bobot
badan tikus betina bunting.
H0

TINJAUAN PUSTAKA
Purwoceng
Purwoceng (Pimpinella alpina) adalah tanaman obat komersial asli
Indonesia yang hidup di daerah pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa
Tengah, Gunung Pangango di Jawa Barat, dan areal pegunungan di Jawa Timur.
Menurut Rahayu dan Sunarlim (2002), akar tanaman purwoceng dilaporkan
berkhasiat sebagai obat afrodisiak (meningkatkan gairah seksual dan
menimbulkan ereksi) dan diuretik (melancarkan saluran air seni). Tanaman obat
lain yang bersifat afrodisiak antara lain pasak bumi (Nainggolan dan Simanjuntak
2005) dan ekstrak akar ginseng jawa (Talinum paniculatum Gaertn) yang dapat
meningkatkan jumlah spermatozoa hidup (Rahmi et al. 2011), serta cabe jawa
yang mengandung senyawa piperin (Nuraini 2003).
Akar tanaman purwoceng pada umumnya mengandung senyawa-senyawa
turunan saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa lain yang berkhasiat sebagai
penguat tubuh serta memperlancar peredaran darah (Rahardjo 2003). Akar
tanaman purwoceng juga dilaporkan mengandung senyawa stigmasterol (Suzery
et al. 2004), senyawa metil palmitat, phytol (Sugiastuti dan Rahmawati 2006), dan
y sitosterol (Widowati dan Faridah 2006). Tampilan tanaman purwoceng menurut
Darwati dan Roostika (2006) dapat dilihat pada Gambar 1.

3

Gambar 1 Morfologi Tanaman Purwoceng. a = tanaman, b = bunga kuncup, c =
bunga mekar, d = buah, dan e = akar dari tanaman berumur 6 bulan
( Darwati dan Roostika 2006)
Pada penelitian ini, akar purwoceng yang digunakan berasal dari Dieng,
Jawa Tengah dan telah dianalisa kandungan bahan aktifnya seperti yang tertera
pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 Hasil uji fitokimia akar Purwoceng
Uji fitokimia

Hasil pengujian
+++
+
+++
+
+
+

Alkaloid
Saponin
Tanin
Fenolik
Flavonoid
Triterfenoid
Steroid
Glikosida
Keterangan:
- : Negatif, +: Positif Lemah, ++ : Positif, +++ : Positif kuat, ++++ : Positif kuat
sekali
Sumber : Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011).
Biologi Umum Tikus
Tikus telah diketahui memiliki sifat-sifat yang mudah dipelihara, mudah
berkembang biak, reproduksi cepat dengan jumlah anaknya cukup banyak (Malole
dan Pramono 1989). Galur atau varietas tikus yang sering digunakan dalam
penelitian adalah galur Wistar, Sprague-Dawley, Long Evans dan Holdzman
(Kohn dan Barthold 1984). Galur Long Evans memiliki ukuran badan yang lebih
kecil dan memiliki warna hitam pada bagian kepala dan tubuh bagian depan.

4
Galur Wistar ditandai dengan kepala besar dan memiliki ekor relatif lebih pendek
(Baker et al. 1980). Penelitian yang dilakukan menggunakan tikus putih galur
Sprague-Dawley dengan ciri-ciri berwarna putih, berkepala kecil dan ekornya
lebih panjang dari badannya (Malole dan Pramono 1989). Tikus galur SpragueDawley memiliki pertumbuhan yang cepat, temperamen baik, dan memiliki
kemampuan laktasi yang tinggi (Baker et al. 1980). Tikus dapat hidup lebih dari 3
tahun dengan bobot badan berkisar 250-300 g pada betina dewasa dan bobot
badan tikus jantan dewasa berkisar 450-520 g (Malole dan Pramono 1989).
Pertambahan Bobot Badan dan Konsumsi Pakan Tikus
Pertumbuhan memiliki makna yang luas bagi makhluk hidup. Pertumbuhan
merupakan suatu proses yang terjadi pada setiap makhluk hidup dan umumnya
dinyatakan dengan pengukuran bobot badan dan tinggi badan (Sampurna dan
Suatha 2010). Menurut Lawrence dan Fowler (2002), pertumbuhan berarti
pertambahan berat badan dan peningkatan ukuran akibat peningkatan jumlah sel
(hiperplasia) atau peningkatan ukuran sel (hipertrofi). Anggorodi (1994)
melaporkan bahwa pertumbuhan murni mencakup pertumbuhan dalam bentuk
bobot, organ tubuh, dan jaringan-jaringan tubuh lainnya (kecuali jaringan lemak).
Pertumbuhan dan perkembangan yang baik dari makhluk hidup ditandai dengan
terjadinya kenaikan berat badan yang mengikuti bentuk kurva pertumbuhan yang
sigmoid. Pertumbuhan hewan dimulai sejak masih fetus yang dipengaruhi oleh
faktor keturunan, kesuburan induk, jenis kelamin, suhu lingkungan dan nutrisi
makanan terutama protein, kandungan energi, aktivitas metabolisme, dan aktivitas
fisik yang bersangkutan (Sulchan dan Nur 2007). Pertumbuhan yang cepat terjadi
sampai tikus lepas sapih, dan mengalami penurunan kecepatan pertumbuhan
seiring bertambahnya usia. Laju pertumbuhan pada hewan dipengaruhi oleh
hormon, tidak hanya hormon pertumbuhan tetapi juga oleh hormon androgen,
glukokortikoid, insulin, dan tiroid (Ganong 2008). Hormon-hormon tersebut
mempengaruhi pertumbuhan massa tubuh, termasuk pertumbuhan tulang dan
metabolisme nitrogen (Soeparno 2009). Tingkat konsumsi pakan akan
mempengaruhi pertumbuhan tikus selama hewan tersebut hidup. Pakan
memberikan pasokan beberapa zat makanan yang dibutuhkan untuk perbaikan
kondisi tubuh ternak, perkembangan oosit dan spermatozoa, proses ovulasi,
fertilisasi, perkembangan dan daya tahan embrio hingga lahir (Marjuki 2008).
Pakan tikus umumnya tersusun dari komposisi alami dan diperoleh dari
sumber daya komersial berupa pellet kering. Nutrien ransum tikus umumnya
didasarkan pada rekomendasi dari National Research Council (U.S.). Menurut
National Research Council (1995), ada dua jenis pakan yang diberikan untuk tikus
laboratorium yaitu diet untuk perkembangbiakan dan diet untuk pemeliharaan.
Diet untuk perkembangbiakan terdiri dari protein dan energi yang cukup untuk
fetus selama kebuntingan dan laktasi untuk produksi susu. Diet untuk
pemeliharaan yaitu diet yang distandardisasi sesuai kondisi dan kebutuhan tikus.
Pertumbuhan ditentukan berdasarkan asupan makanan yang berhubungan dengan
kandungan energi dalam ransum. Pemberian pakan pada tikus sebaiknya
mengandung nutrien dengan komposisi yang tepat. Pakan yang diberikan pada
tikus harus mengandung lipid, protein, asam lemak esensial seperti asam linoleat,
asam arakhidonat, karbohidrat, dan asam amino esensial seperti: Arginin, Histidin,

5
Isoleusin, Leusin, Methionin, Tryptofan, Fenilalanin, Treonin, dan Valine.
Kandungan vitamin juga dibutuhkan tikus seperti Vitamin A, D, B12,
Alfatokoferol, Asam linoleat, Thiamin, Riboflavin, Phantotenat, Biotin, Cholin,
dan Pyridoksin (National Research Council 1995). Tikus dewasa rata-rata
mengkonsumsi 5 g pakan dan 10 ml air per 100 g BB (Malole dan Pramono
1989). Pemberian pakan pada tikus Sprague-Dawley selama periode pertumbuhan
dan kebuntingan sebesar 15-20 g/hari, dan 30-40 g/hari selama menyusui
(National Research Council 1995).
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2015 sampai Mei 2015
bertempat di Laboratorium Fisiologi; Departemen Anatomi, Fisiologi, dan
Farmakologi; Fakultas Kedokteran Hewan; Institut Pertanian Bogor dan di
Kandang Hewan Coba; Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium FKH IPB.
Alat dan Bahan
Penelitian ini menggunakan hewan coba 20 ekor tikus putih betina dan 20
ekor tikus jantan (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley (SD). Bahan yang
digunakan adalah larutan NaCl fisiologis 0.9%, etanol 70%, ekstrak etanol akar
purwoceng, kit akuades, pakan tikus (pelet), sekam. Alat yang digunakan adalah
kandang tikus berupa kotak plastik, kawat kasa, jaring kawat sebagai penutup,
botol minum tikus, spoit, pinset, gunting, objek gelas, sonde lambung, mikroskop,
timbangan analitik digital, pipet, cotton buds, tissue, kapas, kain saring,
Rotavapor Buchi R-205, chiller, oven, porselin, kertas nama, Erlenmeyer dan
gelas ukur.
Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng
Akar tanaman purwoceng dikeringkan terlebih dahulu di bawah panas sinar
matahari dengan suhu kurang dari 50 ºC. Akar purwoceng yang telah kering
selanjutnya dipotong kecil dan dihaluskan menggunakan blender sampai berupa
serbuk (simplisia). Serbuk yang dihasilkan sebanyak 700 g direndam dalam 3.5 l
etanol 70% bahan pelarut selama 24 jam dan setiap dua jam sekali diaduk agar
homogen, kemudian disaring dengan menggunakan kain saring untuk
mendapatkan filtratnya. Hasil filtrat disimpan ke dalam Erlenmeyer, sedangkan
ampas direndam kembali dalam 3.5 l etanol 70% selama 24 jam dan setiap dua
jam diaduk supaya homogen. Setelah itu, larutan disaring dan filtratnya disatukan
dengan hasil ekstrak yang pertama ke dalam Erlenmeyer ukuran 5 l. Filtrat
tersebut kemudian diuapkan dengan menggunakan Rotavapor Buchi pada suhu 48
ºC dengan kecepatan putaran per menit (rpm) sebesar 60 rpm untuk menguapkan
pelarut etanol 70% dan selanjutnya dimasukkan ke dalam oven pengering pada
suhu sekitar 45 °C selama 48 jam untuk menguapkan airnya. Hasil dari
pengeringan dalam oven adalah ekstrak kental yang berwarna coklat. Ekstrak
kental purwoceng disimpan pada wadah kaca steril dalam kulkas. Ekstrak tersebut

6
dapat diencerkan kembali dengan akuades jika ingin digunakan pada hewan coba
sesuai dosis perlakuan.
Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng
Penentuan dosis pada penelitian ini berdasarkan penelitian terdahulu dari
Nasihun (2009) yaitu sebesar 25 mg/ untuk bobot badan tikus sebesar 300 g atau
83.25 mg. Jadi jumlah ekstrak akar purwoceng yang dicekokan pada tikus yang
memiliki bobot 300 g adalah sebanyak 0.5 ml.
Tahap Persiapan Hewan
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih
(Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley dengan bobot badan berkisar antara
150-200 g. Tikus dipelihara dalam kandang yang berbentuk kotak dan terbuat dari
plastik, berukuran 30 cm × 20 cm × 20 cm. Kandang tersebut dilengkapi dengan
jaring kawat sebagai penutup bagian atas dan lantai diberi sekam sebagai alas,
serta botol air minum yang dijepit pada jaring kawat. Serutan kayu diberikan
sebagai alas tikus dengan ketebalan dua cm. Tikus diberi pakan pellet sehari dua
kali (pagi dan sore hari) sebanyak 10% dari BB dan pemberian air minum ad
libitum. Penggantian sekam dan pencucian kandang dilakukan dua kali dalam
seminggu.
Tikus percobaan diadaptasikan selama tiga minggu dengan melakukan
pemeriksaan feses terhadap adanya telur cacing. Pemeriksaan menggunakan
metode preparat natif, yaitu dengan meneteskan NaCl fisiologis 0.9% di atas gelas
objek dan menambahkan beberapa bagian feses yang akan diperiksa dan diamati
di bawah mikroskop. Sebanyak 20 ekor tikus dikawinkan secara alamiah dengan
menyatukan hewan jantan dan betina dalam satu kandang dengan perbandingan
1:1. Deteksi perkawinan dilakukan dengan cara melihat ada tidaknya spermatozoa
yang mengelilingi sel kornifikasi pada preparat ulas vagina dengan menggunakan
mikroskop. Pada umumnya jika terdapat banyak spermatozoa pada ulas vagina,
sudah dapat dipastikan bahwa tikus tersebut bunting (Baker et al. 1980). Tikus
yang bunting kemudian dipisahkan dari tikus jantan dan selanjutnya masuk ke
tahap perlakuan.
Tahap Perlakuan Hewan
Tahap perlakuan hewan dilakukan dengan mengelompokkan tikus betina
yang bunting menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan purwoceng 10
ekor dan kelompok kontrol 10 ekor. Kelompok kontrol diberi air minum melalui
oral dengan menggunakan sonde lambung pada tikus betina bunting pada hari 13
sampai 21 kebuntingan. Kelompok perlakuan diberi ekstrak etanol akar
purwoceng dengan dosis 25 mg/ 300 g BB. Selanjutnya masing-masing
kelompok akan ditimbang selama kebuntingan untuk dilihat perubahan
pertambahan bobot badan dan konsumsi pakannya.

7
Tikus jantan × Tikus betina
Tikus betina bunting

Kelompok A (kontrol)

Kelompok B (perlakuan)

Dicekok air 13-21 hari
kebuntingan, ditimbang
setiap hari dan dihitung
konsumsi pakan

Dicekok ekstrak purwoceng 1321 hari kebuntingan, ditimbang
setiap hari dan dihitung
konsumsi pakan

Gambar 2 Bagan Penelitian
Tahap Pengambilan Data
Bobot badan tikus bunting ditimbang dengan timbangan digital setiap hari
selama kebuntingan dan pakan dihitung berdasarkan pakan yang diberikan
dikurangi dengan sisa pakan yang ada.
Analisis Statistik
Hasil parameter yang diukur dinyatakan dengan rataan dan simpangan
baku serta persentase kenaikan bobot badan. Perbedaan antar kelompok perlakuan
diuji secara statistik dengan analisis sidik ragam dilanjutkan dengan Duncan
(Steel dan Torrie 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Terhadap
Pertambahan Bobot Badan Tikus Bunting
Purwoceng yang diberikan pada induk betina bunting pada hari 13-21
dengan dosis 25 mg untuk 300 g BB diduga dapat mempengaruhi pertambahan
bobot badan induk betina bunting dan konsumsi pakan. Pada hari 13-21
kebuntingan tikus mengalami pembentukan plasenta dan organogenesis (Theiler
1989). Masa plasentasi adalah masa pembentukan plasenta dan terjadi pembesaran

8
abdomen serta tingginya vaskularisasi yang menghubungkan antara induk dan
embrio (Hunter 1995). Masa plasentasi tikus dimulai pada hari ke-9 dan ke-10.
(Hunter 1995). Hasil penelitian pertambahan bobot badan pada tikus kelompok
kontrol dan tikus kelompok perlakuan yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Rataan bobot badan tikus betina bunting kontrol dan yang diberi ekstrak
etanol akar purwoceng pada hari 13-21 kebuntingan
Rataan bobot badan
harian
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Perlakuan (g)
Kontrol
168.90±15.34
170.00±16.03
173.10±15.75
177.50±14.10
179.90±13.70
183.30±12.73
185.20±11.82
188.10±11.60
190.30±10.83
192.00±9.99
196.20±8.93
199.30±9.53
201.70±8.92
206.40±11.04
209.20±9.99
215.80±13.44
219.30±12.10
223.30±13.29
228.60±13.69
234.90±13.57
242.00±12.42

Purwoceng
170.20±17.05
172.00±16.25
174.70±16.15
177.80±15.21
179.50±15.40
181.90±14.49
185.00±13.74
186.60±14.15
189.40±13.57
191.90±12.38
197.30±10.75
201.40±10.77
204.10±9.88
206.90±9.40
213.10±8.77
218.90±9.62
224.90±8.23
228.50±9.71
233.20±10.60
241.70±13.65
251.80±17.80

Persentase kenaikan bobot
badan (%)
Kontrol
Purwoceng
0%
0%
0.65%
1.06%
2.48%
2.64%
5.09%
4.46%
6.51%
5.47%
8.52%
6.87%
9.65%
8.69%
11.36%
9.64%
12.67%
11.28%
13.68%
12.74%
16.16%
15.92%
17.99%
18.33%
19.42%
19.92%
22.20%
21.56%
23.86%
25.20%
27.76%
28.61%
29.84%
32.14%
32.20%
34.25%
35.34%
37.02%
39.08%
42.00%
43.28%
47.94%

* signifikan pada taraf nyata 5%
Hasil penelitian pemberian ekstrak etanol akar purwoceng dengan dosis 25
mg/300 g BB pada hari 13-21 kebuntingan tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata (P > 0.05) namun jika dilihat dalam gafik tikus yang diberi ekstrak etanol
akar purwoceng cenderung lebih cepat pertambahan bobot badannya. Bobot badan
induk tikus bunting pada penelitian ini diamati setiap hari selama kebuntingan.
Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa pemberian ekstrak etanol akar
purwoceng dengan dosis 25 mg/300 g BB selama 1-13 hari kebuntingan dapat
meningkatkan bobot badan tikus betina bunting (Satyaningtijas et al. 2014). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tikus betina bunting yang diberi ekstrak etanol
akar purwoceng pada umur kebuntingan 13-21 hari juga memiliki pertambahan
bobot badan cenderung lebih cepat dibandingkan dengan tikus kontrol. Persentase
kenaikan bobot badan induk tikus bunting pada hari ke-1 sampai hari ke-13 belum
menunjukkan perbedaan antara perlakuan yang diberi ekstrak etanol dengan
kontrol. Peningkatan
mulai terlihat pada hari ke-15 sampai hari ke-21
kebuntingan. Persentase kenaikan bobot badan induk tikus bunting yang diberi
ekstrak etanol akar purwoceng meningkat sampai dengan 25.20% dibandingkan
dengan kontrol yang hanya mencapai 23.86% pada hari ke-15 kebuntingan.

9
Kemudian pada hari ke-17 kebuntingan persentase kenaikkan bobot badan masih
lebih tinggi pada induk tikus bunting yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng
yaitu 32.14% dibandingkan dengan kontrol yang hanya mencapai kenaikan
persentase bobot badan mencapai 29.84%. Peningkatan ini berlanjut sampai hari
ke-21 kebuntingan. Persentase kenaikkan bobot badan pada induk tikus bunting
pada hari ke-21 masing-masing yaitu 47.94% untuk perlakuan dan 43.28% untuk
kontrol.
Persentase kenaikan bobot badan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Persentase kenaikan bobot badan induk tikus betina bunting
Pertambahan bobot badan tikus betina bunting yang dicekok purwoceng
cenderung lebih cepat dibandingkan tikus betina kontrol diduga karena adanya
kadar estrogen yang meningkat akibat pemberian purwoceng. Purwoceng diduga
bekerja seperti estrogen, yaitu membuat sel-sel mampu berproliferasi. Hasil uji
fitokimia yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
(2011) didapatkan zat-zat antara lain alkaloid, tanin, flavonoid, triterfenoid,
steroid dan glikosida. Hasil uji menunjukkan bahwa kandungan terbanyak pada
purwoceng adalah alkaloid dan flavonoid. Senyawa yang dikandung tersebut
menunjukkan bahwa purwoceng mengandung suatu substrat yang memiliki
khasiat mirip estrogen (Fitoestrogen). Fitoestrogen atau sumber estrogen berbasis
tumbuh-tumbuhan merupakan senyawa non steroidal mempunyai aktivitas
estrogenik atau dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen (Tsourounis
2004). Molekul-molekul fitoestrogen dapat menempati reseptor estrogen
(Anggaini 2008). Estrogen mempunyai dua jenis reseptor yaitu reseptor alfa
(REα) dan beta (REβ). Reseptor α terdapat pada organ testis, epididimis, ovarium,
payudara, ginjal, uterus, hipofisis dan adrenal sedangkan reseptor beta ditemukan
pada ovarium (Ganong 2003).
Dosis dan waktu pemberian senyawa fitoestrogen pada saat kebuntingan
sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fetus yang dikandung oleh
induk. Fitoestrogen yang terkandung pada tanaman purwoceng termasuk dalam
golongan flavonoid (Glover dan Assinder 2006). Estrogen dalam tubuh berfungsi
untuk proliferasi sel dan meningkatkan penimbunan lemak sehingga estrogen
dapat menyebabkan terjadinya pertambahan bobot badan (Fernandez et al. 2006).
Kerja dari estrogen pada ovarium melalui ikatan terhadap reseptor α dan β.
Adanya paparan estrogenik pada saat kebuntingan dan laktasi telah diketahui

10
dapat mempengaruhi perkembangan morfologi dan fungsional organ reproduksi
(Hughes et al. 2004). Purwoceng yang diberikan pada saat kebuntingan dapat
membantu pekerjaan estrogen endogen dengan menduduki reseptor yang sama
dengan sifat agonisnya. Estrogen juga mempunyai reseptor α pada uterus sehingga
menimbulkan respon berupa proliferasi sel-sel yang terdapat pada uterus.
Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa pemberian ekstrak etanol akar
purwoceng pada hari 1-13 kebuntingan mampu mempercepat pertambahan bobot
ovarium dan uterus tikus betina bunting (Satyaningtijas et al. 2014).
Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Terhadap
Konsumsi Pakan Tikus Bunting
Pengaruh pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina)
pada hari 13-21 kebuntingan terhadap konsumsi pakan tikus betina bunting dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Rataan konsumsi pakan tikus betina bunting yang diberi ekstrak etanol
akar purwoceng pada hari 13-21 kebuntingan
Rataan konsumsi pakan
harian
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Kontrol (g)
9.80±5.43
14.90±4.23
13.40±7.53
17.30±6.15
13.80±5.75
13.80±4.83
12.90±4.84
13.20±5.03
14.40±2.01
14.80±5.57
16.10±8.72
19.20±4.54
17.20±2.82
17.80±4.80
17.80±4.80
17.60±4.53
17.50±7.31
17.60±4.93
20.30±3.68
21.10±4.82
17.70±5.27

Perlakuan

Purwoceng (g)
11.90±4.61
14.30±2.95
14.20±5.18
17.90±4.43
12.50±5.36
13.70±5.12
14.40±3.98
14.50±3.66
14.70±3.77
13.20±5.25
16.80±7.94
15.80±4.29
17.40±2.27
16.90±5.24
17.30±3.89
18.10±6.33
18.00±5.54
18.70±6.68
21.30±3.06
24.40±6.59
19.20±5.16

* signifikan pada taraf nyata 5%
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi pakan induk tikus bunting
yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng pada hari 13-21 kebuntingan mulai
mengalami peningkatan pada hari ke-16 sampai hari ke-21. Konsumsi pakan
induk tikus bunting yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng meningkat sampai
dengan 18.10 g/hari dibandingkan tikus kontrol yang hanya 17.60 g/hari pada hari
ke-16 kebuntingan. Kemudian pada hari ke-17 kebuntingan konsumsi pakan
masih tinggi pada induk tikus bunting yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng
yaitu sebesar 18.00 g/hari dibandingkan dengan kontrol sebesar 17.50 g/hari.

11
Peningkatan ini berlanjut sampai induk tikus tersebut melahirkan. Peningkatan
konsumsi pakan pada induk tikus bunting dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Peningkatan konsumsi pakan induk tikus betina bunting
Konsumsi pakan induk tikus bunting yang diberi ekstrak etanol akar
purwoceng cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsumsi pakan
induk tikus bunting kontrol. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan
antara lain umur, spesies, aktivitas, bobot badan, jenis kelamin dan suhu
lingkungan. National Research Council (1995) menyatakan bahwa rata-rata
pemberian pakan harian untuk tikus putih galur Sprague-Dawley selama periode
pertumbuhan dan kebuntingan sebesar 15-20 g/hari, dan 30-40 g/hari selama
menyusui. Kebutuhan nutrisi dan konsumsi pakan semakin meningkat seiring
dengan semakin tuanya umur kebuntingan. Peningkatan konsumsi pakan
menyebabkan pertambahan bobot badan karena adanya peningkatan metabolisme
fisiologis pada hewan bunting.
Menurut Darwati dan Roostika (2006), akar tanaman purwoceng dilaporkan
berkhasiat obat sebagai afrodisiak, diuretik, dan tonik. Tonik merupakan zat yang
digunakan untuk mengembalikan kondisi normal jaringan atau untuk merangsang
nafsu makan. Purwoceng berkhasiat obat sebagai tonik dan melancarkan
peredaran darah (Hermayanti 2013). Pada tikus bunting terdapat plasenta yang
merupakan salah satu tempat penghasil ghrelin. Ghrelin merupakan peptida asam
amino yang dapat diproduksi dan diekskresikan di dalam kelenjar-kelenjar
mukosa yang tersebar di lambung. Ghrelin juga dapat dihasilkan sedikit di testis,
plasenta, pankreas, ginjal, dan bagian otak lainnya (Gualillo et al. 2003).
Mekanisme kerja ghrelin adalah merangsang sinyal lapar melalui jalur syaraf yang
memproduksi NPY (Neuropeptida Y) sehingga dapat menyebabkan peningkatan
asupan makanan (Cowley et al. 2003). Purwoceng yang mempunyai efek anabolik
diduga semakin banyak memproduksi ghrelin pada plasenta sehingga tingkat
konsumsi pakan pada tikus bunting yang diberi purwoceng lebih tinggi
dibandingkan tikus kontrol.
Purwoceng (Pimpinella alpina) adalah salah satu tumbuhan obat asli
Indonesia yang diduga mempunyai efek androgenik dan anabolik (Usmiyati dan
Yuliani 2010). Kerja kandungan bahan aktif pada purwoceng diduga dapat

12
berikatan dengan reseptor hormon androgen dan menimbulkan terjadinya proses
anabolik seperti peningkatan protein. Aksi metabolik adalah terjadinya
peningkatan aktivitas anabolisme protein yang diduga menyebabkan pertambahan
bobot badan dan peningkatan kebutuhan energi oleh tubuh yang dapat
dipergunakan oleh tikus bunting. Peningkatan kebutuhan energi menuntut asupan
pakan yang lebih tinggi dalam memenuhi kebutuhan tikus bunting. Protein adalah
salah satu zat gizi yang sangat penting bagi makhluk hidup karena kulit, tulang,
otot dan semua bagian tubuh lain dibangun oleh protein. Protein mempunyai
banyak fungsi yaitu digunakan untuk membangun jaringan yang baru selama
periode pertumbuhan, kehamilan, masa anak-anak, untuk kesehatan tubuh dan
juga untuk memperbaiki jaringan tubuh yang rusak (Goenewegen et al. 1990)

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) dengan dosis
25 mg/ 300 g BB selama 13 sampai dengan 21 hari kebuntingan meningkatkan
pertambahan bobot badan dan cenderung meningkatkan konsumsi pakan tikus
betina bunting.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dosis optimum yang aman
untuk digunakan serta perlu adanya pengukuran kadar DNA yang
menggambarkan proliferasi sel dan pengukuran RNA yang menggambarkan
aktivitas sintesis sel.

DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta(ID): Gramedia.hlm 178.
Anggaini W. 2008. Fitoestrogen sebagai alternative alami terapi sulih hormon
untuk pengobatan osteoporosis primer pada wanita menopouse. M.I.Ked
Gigi. 23(1): 27, 29.
Baker DEJ, Lindsey JR, Weisborth SH. 1980. The laboratory rat: Research
Application Vol 2. London: Academic Pr Inc.hlm 453-478.
[Balittro] Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2011. Hasil uji fitokimia
dari akar purwoceng. Bogor (ID): Laboratorium Balai Penelitian Tanaman
Obat dan Aromatik.
Cowley MA, Smith RG, Diano S. 2003. The distribution and mechanism of action
of ghrelin in the CNS demonstrated a novel hypothalamic circuit regulating
energy homeostasis. Neuron.37:649-661.
Darwati I, Roostika I. 2006. Status penelitian purwoceng (Pimpinella alpina
Molk.) di Indonesia. Bul Plasm Nutfah.12(1):6-7.

13
Favaro WJ, Cagnon VHA. 2007. Immunolocalization of androgen and oestrogen
reseptors in the ventral lobe of rats (Rattus norvegicus) prostate after longterm treatment with ethanol and nicotine. Int J Androl.31:609-618.
Fernandez I, Gacia MAA, Pingarron MC, Jerez LB. 2006. Physiological bases of
bone regeneration II. The remodeling process. Med Oral Patol Cir
Bucal.11:E151-157.
Ganong WF. 2003. Fisiologi Kedokteran. Jakarta (ID):EGC. Hal 1265-75.
Ganong WF. 2008. Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Penerjemah: M. Djuhari
Widjajakusumah.Jakarta(ID) :EGC.Halaman 253-256.
Glover A, Assinder SJ. 2006. Acute exposure of adult male rats to dietary
phytoestrogen reduces fecundity and alters epididymal steroid hormon
receptor expression. J Endocrinology. 189: 565-573.
Goenewegen PP, Bride Mc, B W, JH Burton, T H Elsasser. 1990. Bioactivity of
milk from bST -treated cow s. J of Nut.120, 514.
Gualillo O, Lago F, Gomez RJ. 2003. Ghrelin, a widespread hormone: insight to
molecular and cellular regulation of its expression and mechanism of action.
FEBS letter.552:105-109.
Hermayanti. 2013. Uji efek tonikum ekstrak daun ceguk (Quisqualis indica L.)
terhadap hewan uji mencit (Mus musculus). J Bionature. 14(2):95-99.
Hughes CL, Liu G, Beall S, Foster WG, Davise V. 2004. Effects of genistein or
soy milk during late gestation and lactation on adult uterine organization in
the rat. Exp Biol Med. 229:108-117.
Hunter RHF. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik.
Bandung (ID): ITB.hlm 469.
Kohn DF, Barthold SW. 1984. Biology and Disease of Rat Laboratory Animal
Medicine.New York: Academic Pr.Inc.hlm 91-122.
Lawrence TLJ, VR Fowler. 2002. Growth of Animal. New York. CABI
Publising.hlm 63-66
Malole MBM, Pramomo SP. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di
Laboratorium. Bogor (ID): Penerbit Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi
Pusat antar Universitas Bioteknologi IPB.hlm 16-18.
Marjuki. 2008. Penggunaan tepung ikan dalam pakan konsentrat dan pengaruhnya
terhadap pertambahan bobot badan kambing betina. J ternak tropika.
9(2):90-100.
Nainggolan O, Simanjuntak JW. 2005. Pengaruh ekstrak etanol akar pasak bumi
terhadap perilaku seksual mencit putih. Cermin Dun Ked.146:47
Nasihun T. 2009. Pengaruh pemberian ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina
Molk) terhadap peningkatan indikator vitalitas pria (studi eksperimental
pada tikus jantan Sprague Dawley. J Sains Med.1(1):53-62.
National Research Council. 1995. Nutrient Requirement of the Laboratory Rat
Washington. National Academic Pr.hlm 22-98.
Nuraini A. 2003. Mengenal etnobotani beberapa tanaman yang berkhasiat sebagai
aprodisiak. BPOM RI.4(10):1-4.
Rahardjo M. 2003. Purwoceng tanaman obat afrodisiak yang langka. Warta
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri.9(2):4-7.
Rahayu S, Sunarlim N. 2002. Konservasi tumbuhan obat langka purwoceng
melalui pertumbuhan minimal. Bul Plasm Nutfah.8(1):29-33.

14
Rahman D. 2014. Tampilan anak tikus betina (Rattus norvegicus) dari induk yang
diberi ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 hari
kebuntingan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rahmi, Eriani K, Widyasari. 2011. Potency of java ginseng (talinum
paniculatumgaertn.) root extract on quality and viabilityof mice sperm. J
Natural.11(1):8-10.
Sampurna IP, Suatha IK. 2010. Pertumbuhan alometri dimensi panjang dan
lingkar tubuh sapi Bali jantan. J vet Indones.11(1):46-51.
Satyaningtijas AS, Maheswari H, Achmadi P, Pribadi WA, Hapsari S, Jondriatno
D. 2014. Kinerja reproduksi tikus bunting akibat pemberian ektrak etanol
purwoceng. J Med Vet Indones.8(1):35-37.
Sugiastuti S, Rahmawati H. 2006. Isolasi dan identifikasi senyawa organik fraksi
semipolar herba purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk). Prosiding Seminar
Nasional dan Pameran Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII. Bogor(ID).hlm
255-261.
Sulchan M, Nur EW. 2007. Nilai gizi dan komposisi asam amino tempe gembus
serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan tikus. Maj Ked Indones. 57(3).
Suzery M, Cahyono B, Ngadiwijaya, Nurhasnawati H. 2004. Senyawa
stigmasterol dari Pimpinella alpina Molk. (Purwoceng). Suplemen.39(1):
39-41.
Soedibyo BM. 1992. Pendayagunaan tanaman obat. Prosiding Forum Komunikasi
Ilmiah. Hasil Penelitian Plasma Nutfah dan Budidaya Tanaman Obat. Bogor
(ID). Puslitbang Tanaman Industri.
Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta :UGM Pr. Hlm 17.
Steel RD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Sumantri
B,penerjemah. Jakarta (ID): Gedia Pustaka Utama. Terjemahan dari:
Principles and Procedures of Statistics.
Theiler Karl. The House Mouse: Atlas of Embryonic Development.1989. New
York : Springer-Verlag.
Tsourounis C. 2004. Clinical effect of fitoestrogen. Clin Obst Ginecol.44:836-842
Usmiyati S, Yuliani S. 2010. Efek androgenik dan anabolik ekstrak akar
Pimpinella alpinaMOLK (Purwoceng) pada anak ayam jantan. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor.
Widowati D, Faridah. 2006. Isolasi dan identifikasi senyawa organik fraksi
semipolar herba purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk). Prosiding Seminar
Nasional dan Pameran Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII.
Bogor(ID).pp.hlm 255-261.
Zhaahir M. 2014. Tampilan anak tikus jantan (Rattus norvegicus) dari induk yang
diberi ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 hari
kebuntingan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

15

LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil pengolahan ANOVA pertambahan bobot badan tikus betina
bunting
One Way ANOVA : bb1 versus perlakuan
The GLM Procedure
Class Level Information
Class
perlakuan
hari

Levels
2
1

Values
KP
H1

Number of Observations Read
Number of Observations Used

20
20

Dependent Variable: respon
Source
Model
Error
Corrected
Total

DF
1
18
19

R-Square
0.001782

Sum of square
8.450000
4734.500000
4742.950000

Coeff Var
9.565397

Mean Square
8.450000
263.027778

Root MSE
16.21813

F Value
0.03

Pr > F
0.8598

respon Mean
169.5500

Duncan's Multiple Range Test for respon
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha
Error Degrees of Freedom
Error Mean Square

0.05
18
263.0278

Number of Means
Critical Range

2
15.24

Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping
A
A
A

Mean
170.200

N
10

perlakuan
P

168.900

10

K

16
Level of
Hari
H1

N
20

respon
Mean
Std Dev
169.550000 15.7996502

Lampiran 2 Hasil pengolahan ANOVA konsumsi pakan tikus betina bunting
Class Level Information
Class
Levels
perlakuan
2
hari
1

Values
KP
H1

Number of Observations Read
Number of Observations Used

20
20

Dependent Variable: respon
Source
DF
Sum of square
Model
1
22.0500000
Error
18
456.5000000
Corrected Total 19
478.5500000
R-Square
0.046077

Coeff Var
46.41458

Mean Square
22.0500000
25.3611111

Root MSE
5.035982

F Value
0.87

respon Mean
10.85000

Duncan's Multiple Range Test for respon
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
18
Error Mean Square
25.36111
Number of Means
Critical Range

2
4.732

Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping
Mean
N perlakuan
A
11.900
10 P
A
A
9.800
10 K
Level of
Hari
H1

N
20

respon
Mean
Std Dev
10.8500000 5.01864943

Pr > F
0.3634

17

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Wonosobo pada tanggal 28 Februari 1993 dari ayah
Mujiono dan ibu Sri Murdiyati. Penulis adalah putri pertama dari dua bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan formal di SMA Negeri 1 Wonosobo. Tahun 2011,
penulis masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) undangan dan diterima di Fakultas
Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten
praktikum Fisiologi Veteriner II. Selain itu, penulis pernah aktif di Gentra
Kaheman IPB dan Steril FKH IPB. Penulis tercatat sebagai anggota Himpunan
Profesi Satwaliar FKH IPB, Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia
(IMAKAHI), dan Ikatan Mahasiswa Wonosobo (IKAMANOS). Selain itu,
penulis juga pernah mendapatkan beasiswa PPA/BBM.