Efektivitas Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella Alpina Kds) Pada Induk Tikus Selama 1-13 Hari Kebuntingan Terhadap Siklus Estrus Anak Betinanya

EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG
(Pimpinella alpina KDS) PADA INDUK TIKUS SELAMA 1-13
HARI KEBUNTINGAN TERHADAP SIKLUS ESTRUS ANAK
BETINANYA

MUH ALWI AMNUR

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas ekstrak
etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) pada induk tikus selama 1-13
hari kebuntingan terhadap siklus estrus anak betinanya adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skirpsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Muh Alwi Amnur
NIM B04090143

ABSTRAK
MUH ALWI AMNUR. Efektivitas ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella
alpina KDS) pada induk tikus selama 1-13 hari kebuntingan terhadap siklus estrus
anak betinanya. Dibimbing oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan
PUDJI ACHMADI.
Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) selama
1-13 hari kebuntingan tikus bertujuan untuk melihat kinerja reproduksi anak
betinanya. Delapan ekor tikus bunting yang memiliki 5-7 anak yang digunakan
pada penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok; kelompok betina bunting
sebagai kontrol dan kelompok betina bunting yang diberikan ekstrak etanol akar
purwoceng dengan dosis 25 mg/300 gram BB. Setelah pemberian ekstrak etanol
akar purwoceng, tikus bunting dipelihara sampai melahirkan. Anak-anak tikus
betina yang dilahirkan diamati pembukaan vagina dan siklus estrusnya. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa purwoceng dapat mempercepat pembukaan vagina
dibandingkan kelompok kontrol, tetapi purwoceng tidak memberikan efek pada
panjang siklus estrus.
Kata kunci: pembukaan vagina, purwoceng, siklus estrus

ABSTRACT
MUH ALWI AMNUR. Effectiveness administration ethanolic extract purwoceng
roots (Pimpinella alpina KDS) on parent during 1-13 day of gestation to female
pups’s estrous cycle. Supervised by ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and
PUDJI ACHMADI.
The administration of ethanolic extract purwoceng roots (Pimpinella alpina
KDS) during 1-13 days of gestation on rats was purposed to examine the
reproduction performance of female pups. Eight pregnant rats with 5-7 pups were
used in this study and divided in to two groups; The groups were control and the
pregnant rats which were given ethanolic extract purwoceng roots with the dose of
25 mg/300 gram body weight. After given ethanolic extract purwoceng roots,
pregnant rats were kept until giving birth. Their female pups were observed for
vaginal opening and estrous cycles. The result showed that the vaginal opening of
the purwoceng pup’s was earlier as compare to control group. Meanwhile,
purwoceng did not affect the length of estrous cycles.

Keywords: vaginal opening, purwoceng, estrous cycles

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG
(Pimpinella alpina KDS) PADA INDUK TIKUS SELAMA 1-13
HARI KEBUNTINGAN TERHADAP SIKLUS ESTRUS ANAK
BETINANYA

MUH ALWI AMNUR

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini berjudul Efektivitas ekstrak etanol akar
purwoceng (Pimpinella alpina KDS) pada induk tikus selama 1-13 hari
kebuntingan terhadap siklus estrus anak betinanya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Drh Aryani Sismin
Satyaningtijas MSc dan Bapak Drs Pudji Achmadi MSi atas bimbingan, arahan,
motivasi, waktu, pemikiran, pengertian, kesabaran dan dorongan yang luar biasa
kepada penulis selama proses penelitian dan penyusunan tugas akhir ini. Penulis

juga mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Drh Hj Upik Kesumawati Hadi
MS atas kasih sayang, doa, motivasi dan perhatian kepada penulis. Selain itu,
penulis juga manyampaikan ucapan terima kasih kepada staf Laboratorium
Fisiologi FKH IPB yaitu Ibu Sri, Ibu Ida, dan Bapak Edi atas bantuan dan
kerjasamanya selama penelitian. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih
yang setinggi-tingginya kepada ayahanda Muh Amin, ibunda Nurlia, adinda Nur
Ainung Amnur dan seluruh keluarga atas doa dan dukungan baik moril maupun
materil sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah ini dengan baik. Penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh jajaran pengurus Pondok
Pesantren Modern Tarbiyah Takalar terutama ustadz Priyadi Akhyar, S.pd.I, MM
dan Kementrian Agama atas bantuan materi sehingga penulis dapat berkuliah dan
menyelesaikannya serta pada teman se-asrama Latimojong yang membuat
penyusunan tugas akhir ini lebih seru, teman-teman IKAMI SUL-SEL terkhusus
angkatan 46, teman-teman CSS MORA 46, teman-teman geochelone 46 atas
motivasi dan dukungannya. Teman satu bimbingan Dirwan Rahman dan
Muhammad Zhaahir atas bantuan, kerja sama dan dukungan selama penelitian dan
penyusunan tugas akhir ini.
Terakhir penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh Civitas
Akademik Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Penulis menyadari bahwa penulisan
tugas akhir ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis masih berharap

karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, September 2015
Muh Alwi Amnur

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Hipotesis

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2


Purwoceng (Pimpinella alpina KDS)

2

Tikus sebagai hewan uji (Rattus norvegicus)

3

Siklus Reproduksi

4

METODOLOGI

4

Waktu dan Tempat

4


Alat dan Bahan

4

Metode Penelitian

5

Prosedur Analisis Data

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN

8
12

Simpulan


12

Saran

12

DAFTAR PUSTAKA

13

RIWAYAT HIDUP

16

LAMPIRAN

17

DAFTAR TABEL

1 Perbandingan waktu pembukaan vagina anak tikus kontrol dan tikus
yang mendapatkan purwoceng berdasarkan bobot badan
2 Rataan panjang siklus estrus selama tiga periode pada tikus kelompok
kontrol dan kelompok purwoceng.

9
10

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Tanaman purwoceng
Rattus norvegicus galur Sprague Dawley
Perbedaan jarak anogenital pada tikus betina dan tikus jantan
Bagan penelitian
Sitologi vagina pada tiap tahap siklus estrus. Tiga tipe sel yang
teridentifikasi: leukosit (lingkaran), sel kornifikasi (segitiga hitam), sel
epitel berinti (segitiga putih). Tahapan siklus estrus meliputi proestrus
(A), estrus (B), metestrus (C), dan diestrus (D).
6 Populasi sel epitel vagina Rattus norvegicus selama satu siklus estrus.

2
3
6
7

8
11

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data analisis pembukaan vagina
2 Data analisis Siklus Etrus

17
19

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak zaman dahulu, bangsa kita dalam melakukan pengobatan terhadap
penyakit sering menggunakan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya.
Penggunaan bahan tumbuhan obat ini sangat sederhana, setelah dipetik langsung
digunakan, atau diproses dengan menggiling dan diseduh dengan air panas.”Obat”
dari bahan tumbuhan bisa dalam bentuk tunggal maupun ramuan dan digunakan
turun temurun. Seiring dengan perkembangan zaman sebagian masyarakat justru
menerapkan gaya hidup “back to nature”, sehingga obat tradisional menjadi salah
satu alternatif yang bisa digunakan untuk mempertahankan kesehatan atau
mengobati penyakit. Namun sebagian besar obat tradisional belum diketahui
mekanisme kerjanya, sehingga para klinisi belum bisa menggunakan obat
tradisional sebagai pengganti obat modern.
Salah satu bahan obat tradisional yang sering digunakan oleh masyarakat di
Indonesia adalah tanaman purwoceng. Purwoceng (Pimpinella alpina KDS)
adalah tumbuhan obat asli (endemik) Indonesia yang mempunyai efek androgenik
dan anabolik sehingga masyarakat menggunakan sebagai obat afrodisiaka atau
zat yang dapat menimbulkan dorongan seksual (Heyne 1987). Tanaman
purwoceng terutama bagian akar digunakan dalam ramuan obat tradisional yang
dapat berfungsi seperti ginseng dari Korea atau pasak bumi dari Kalimantan.
Peluang pemanfaatan purwoceng sebagai obat afrodisiaka sangat besar, sehingga
purwoceng mempunyai potensi yang dapat disetarakan dengan obat kuat sintetis
lainnya maupun obat kuat dari bahan alam seperti pasak bumi, ginseng ataupun
sanrego.
Menurut Hernani dan Yuliani (1991), tumbuhan yang mempunyai khasiat
sebagai afrodisiak umumnya mengandung senyawa-senyawa turunan saponin,
alkaloid, steroid dan senyawa-senyawa lain yang berkhasiat sebagai penguat
tubuh dan memperlancar peredaran darah. Suzery et al. (2004) melakukan isolasi
senyawa aktif dari tanaman purwoceng dan menemukan adanya stigmasterol yaitu
senyawa golongan steroida saponin yang mempunyai gugus OH terikat pada atom
karbon ke-3 dari inti siklopentanoperhidrofenantren. Molekul dengan inti
siklopentanoperhidrofenantren dimiliki oleh hormon-hormon steroid yang banyak
berperan dalam proses reproduksi dan biasa digunakan sebagai bahan dasar
industri pada produk hormon seks dan aktivitas anabolik. Penelitian ini bertujuan
untuk mengamati pengaruh ekstrak akar purwoceng yang diberikan pada induk
tikus bunting terhadap kinerja reproduksi anak tikus putih betina (Rattus
norvegicus) yang dilahirkannya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengamati efektivitas ekstrak etanol akar
purwoceng (Pimpinella alpina KDS) yang diberikan pada induk tikus bunting
terhadap kinerja reproduksi anak betinanya mulai dari waktu awal pembukaan
vagina dan perubahan siklus estrusnya.

2
Hipotesis
Ekstrak akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) yang diberikan pada
induk bunting secara oral setiap hari selama 1-13 hari masa kebuntingan dapat
mempercepat waktu awal pembukaan vagina dan mempersingkat periode siklus
estrus dan memperpanjang fase estrus anak tikus putih betina (Rattus norvegicus)
yang dikandungnya.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi tentang khasiat
purwoceng terhadap kinerja reproduksi anak tikus betina .

TINJAUAN PUSTAKA
Purwoceng (Pimpinella alpina KDS)
Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) merupakan tanaman obat
karena hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan. Bagian akar dari
tanaman ini mempunyai sifat diuretika dan digunakan sebagai afrosidiak (Heyne
1987), yaitu khasiat suatu obat yang dapat meningkatkan atau menambah stamina.
Pada umumnya tumbuhan atau tanaman yang berkhasiat sebagai afrosidiak
mengandung senyawa-senyawa turunan saponin, alkaloid, tanin, dan senyawasenyawa lain yang berkhasiat sebagai penguat tubuh serta memperlancar
peredaran darah, menimbulkan efek stimulan baik secara hormonal dan non
hormonal sehingga dapat meningkatkan stamina tubuh. Di Indonesia tumbuhan
atau tanaman obat yang digunakan sebagai afrosidiak lebih banyak hanya
berdasarkan kepercayaan dan pengalaman (Hernani dan Yuliani 1991).

Gambar 1 Tanaman purwoceng (Rostiana et al. 2003)
Tumbuhan afrodisiak pada umumnya menunjukkan efek peningkatan
sirkulasi darah pada genitalia pria dan meningkatkan aktivitas hormon

3

androgenik. Hal ini dapat akan memperbaiki aktivitas jaringan tubuh sehingga
secara tidak langsung akan memperbaiki fungsi organ.
Balitro (2011) melaporkan hasil uji fitokimia pada purwoceng yang
dipakai dalam penelitian ini didapatkan zat-zat antara lain alkaloid, tanin,
flavonoid, triterfenoid, steroid dan glikosida. Flavonoid yang dikandung oleh
purwoceng merupakan suatu senyawa yang bersifat estrogenik (Ulya 2008), yang
mampu berfungsi seperti estrogen dalam tubuh yang akan meningkatkan efek
estrogen. Dalam hal ini berarti purwoceng memiliki 2 bahan aktif yang
berpengaruh seperti estrogen di dalam tubuh yakni flavonoid dan steroid.
Flavonoid yang bersifat estrogenik dapat menduduki reseptor estrogen yang
berada di dalam tubuh dan menimbulkan efek seperti estrogen. Sedangkan steroid
merupakan prekursor hormon testosteron, yang kemudian diubah menjadi
estrogen. Jika dibandingkan ke duanya, flavonoid lebih berpengaruh lebih besar
dibandingkan steroid karena dalam hasil pengujiannya menunjukan positif kuat,
sedangkan steroid positif lemah. Flavonoid termasuk dalam golongan
fitoestrogen, yang merupakan suatu substrat dari tanaman yang memiliki aktivitas
biologi yang sama dengan estrogen endogen (Glover dan Assinder 2006).
Tikus sebagai hewan uji (Rattus norvegicus)
Rattus norvegicus (tikus putih) merupakan contoh hewan uji yang umum
digunakan dalam penelitian biologi dan biomedis. Rattus norvegicus juga mudah
beradaptasi dan mudah dipelihara (Hem 2005). Tikus ini memiliki masa
kebuntingan yang pendek dan kemampuan reproduksi yang baik (Hedrich 2006).
Selain itu, tikus ini memiliki siklus estrus yang pendek (4-5 hari), sehingga
memudahkan pemantauan masa subur (Sharp dan La Regina 1998; Lohmiller dan
Swing 2006). Betina pada umumnya memiliki ekor yang lebih panjang
dibandingkan pejantan. Bukaan vagina terletak sekitar 7 mm dari bagian ventral
anus (Hedrich 2000; Hofstetter et al. 2006). Organ reproduksi pada tikus terdiri
atas vagina, uterus, kelenjar susu, dan ovari (Grant 2011).

Gambar 2 Rattus norvegicus galur Sprague Dawley [koleksi pribadi]
Tikus yang digunakan dalam penelitian ialah Rattus norvegicus galur
Sprague-Dawley (Gambar 2). Kelebihan Rattus norvegicus dibandingkan Mus
musculus terletak pada ukuran tubuhnya yang lebih besar, sehingga memudahkan
pengambilan sampel berulang (Hedrich 2006). Galur Sprague Dawley umumnya
bertemperamen baik dan memiliki laju pertumbuhan dan masa reproduksi yang
relatif cepat (Baker et al. 1980). Rattus norvegicus galur Sprague Dawley telah

4
banyak dimanfaatkan dalam analisis berbagai penyakit, seperti penyakit
kardiovaskular, penyakit autoimun, diabetes melitus, epilepsi, kanker, dan
penyakit ginjal (Hedrich 2000).
Siklus Reproduksi
Tikus adalah hewan politokus/ multipara yaitu hewan yang dapat beranak
banyak dalam 1 kali kelahiran. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988),
dalam 1 kali melahirkan tikus dapat menghasilkan 6-12 ekor anak. Dewasa
kelamin yaitu masa saat tikus memasuki masa birahi yang pertama kali dan siap
melaksanakan proses reproduksi. Fase ini dicapai pada saat tikus berumur 50-60
hari, vagina mulai terbuka pada umur 35 dan 90 hari dan testes turun atau keluar
pada umur 20-50 hari (Malole dan Pramono 1989). Bobot badan tikus betina
dewasa sekitar 250-300 g dan bobot badan tikus jantan dewasa 450-520 g, mulai
dikawinkan umur 65-110 hari untuk jantan dan betina. Tikus yang baru lahir
memiliki bobot lahir antara 5-6 g (Harkness dan Wagner 1989).
Siklus estrus adalah selang waktu atau jarak antara estrus yang satu dan
estrus berikutnya yang berlangsung 4-5 hari. Pada tikus siklus estrus terbagi
menjadi empat periode, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Smith dan
Mangkoewidjojo 1988). Fase proestrus kurang lebih 12 jam, fase estrus
berlangsung kurang lebih selama 12 jam, fase metestrus lamanya 21 jam, dan fase
diestrus lamanya 57 jam (Baker et al. 1980).
Fase-fase siklus ini dapat diamati pada gambaran jenis sel epitel vagina
yang berubah di tiap stadiumnya dengan membuat preparat ulas vagina.
Perubahan stadium ini dapat terjadi apabila tikus betina telah berumur 34 dan 109
hari (Kohn dan Barthold 1984).

METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari sampai Mei 2015 di Unit
Pengelolan Hewan Laboratorium (UPHL) dan Laboratorium Fisiologi
Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor (IPB-Darmaga). Ekstraksi purwoceng dilakukan di
laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus berupa
kotak plastic dengan ukuran 30 cm x 20 cm x 20 cm, kawat kasa, jaring-jaring
kawat sebagai penutup, botol minum tikus. Spoit, scalpel, pinset, gunting, objek
gelas, sonde lambung, mikroskop cahaya binokuler, timbangan analitik digital,
pipet, cotton swab, tissue, kapas, kain saring, kertas nama, Erlenmeyer, gelas
ukur, corong, blender, pompa vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi
Rotavapor R-205), chiller, oven, wadah porselen, termometer. Bahan-bahan yang
digunakan pada penelitian ini yaitu pakan tikus, sekam, ekstrak purwoceng, eter,
NaCl fisiologis 0.9%, etanol 70%, dan akuades. Hewan yang digunakan dalam

5

penelitian ini adalah 8 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) betina bunting dari
galur Sprague Dawley.
Metode Penelitian
Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng
Akar tanaman purwoceng dikeringkan terlebih dahulu dibawah panas sinar
matahari dengan suhu kurang dari 50 ºC. Akar yang telah kering selanjutnya
dipotong-potong sampai berukuran kecil-kecil kemudian menggunakan blender
untuk dihaluskan sehingga menjadi serbuk. Serbuk yang dihasilkan sebanyak 350
g kemudian direndam dalam 3.5 L etanol 70% zat pelarut selama 24 jam dan
setiap dua jam sekali diaduk agar homogen, kemudian disaring dengan
menggunakan kain saring untuk mendapatkan filtratnya. Hasil filtrat disimpan
kedalam Erlenmeyer, sedangkan ampas direndam kembali dalam 3.5 L etanol
70% selama 24 jam dan setiap dua jam diaduk agar homogen. Setelah itu, larutan
disaring dan filtratnya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama dalam
Erlenmeyer ukuran 5 L. Filtrat tersebut kemudian diuapkan dengan menggunakan
rotary evaporator (rotavapor) Buchi pada suhu 48 ºC dengan kecepatan putaran
per menit (rpm) sebesar 60 rpm untuk menguapkan pelarut etanol 70% dan
selanjutnya dimasukkan ke dalam oven pengering lebih kurang pada suhu 45 °C
selama 48 jam untuk menguapkan kadar airnya. Hasil dari pengeringan dalam
oven adalah ekstrak murninya. Ekstrak kental disimpan dibotol kaca steril dan
diencerkan kembali dengan akuades jika ingin digunakan pada hewan coba sesuai
dosis perlakuan.
Tahap Persiapan Hewan
Tahap persiapan terdiri dari adaptasi dan perkawinan. Adaptasi adalah tahap
penyesuaian hewan coba sebelum masuk tahap perkawinan. Hewan percobaan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) dari
galur Sprague Dawley yang bebas kecacingan. Tahap ini berlangsung selama 21
hari dan tiap minggu dilakukan observasi terhadap adanya telur cacing secara
natif. Metode natif dilakukan dengan cara meneteskan NaCl fisiologis 0.9% ke
atas gelas objek kemudian ditambah dengan feses tikus yang akan diperiksa. Jika
hasil pemeriksaan positif adanya telur cacing maka tikus diganti dengan tikus baru
yang negatif infeksi cacing. Tahap selanjutnya perkawinan yang merupakan tahap
untuk mencari betina bunting maka tikus dipelihara dalam kandang yang
berbentuk kotak dan terbuat dari plastik dengan tinggi yang memungkinkan tikus
untuk berdiri sehingga tikus tidak stres dan leluasa bergerak sesuai dengan
kebiasaan alaminya. Kandang tersebut dilengkapi dengan jaring kawat sebagai
penutup bagian atas dan lantai diberi sekam sebagai alas, serta botol air minum
yang dijepitkan pada jaring kawat. Tikus-tikus tersebut diberikan pakan pelet
sehari dua kali yaitu pagi dan sore hari sebanyak 10 gram dan air minum ad
libitum. Penggantian sekam dan pencucian kandang dilakukan 2 kali dalam
seminggu.
Tikus dikawinkan secara alamiah dalam satu kandang yang berisi satu tikus
jantan dan satu tikus betina yang sudah diberi tanda pada ekornya agar
memudahkan dalam pengambilan sampel ulas vagina untuk deteksi perkawinan.

6
Deteksi perkawinan dilakukan dengan cara melihat ada tidaknya spermatozoa
yang mengelilingi sel kornifikasi pada preparat ulas vagina dengan menggunakan
mikroskop. Keberadaan spermatozoa yang mengelilingi sel kornifikasi merupakan
tanda tikus betina telah dikawini dan pada hari itu biasanya tikus menjadi bunting
(Baker et al. 1979). Jumlah tikus yang dibuat menjadi bunting adalah 20 ekor
tikus betina.Tikus yang bunting harus dipisahkan dari tikus jantan dan
ditempatkan pada satu kandang dan selanjutnya masuk ke tahap pembagian
kelompok. Dua puluh ekor tikus bunting tersebut dibagi dalam 2 kelompok yaitu
10 ekor tikus kontrol yang hanya diberikan air dan 10 ekor tikus perlakuan yang
diberikan purwoceng.
Tahap Perlakuan Hewan
Tahap perlakuan adalah tahapan saat tikus-tikus betina bunting masingmasing diberi perlakuan berupa pencekokan air terhadap 10 ekor tikus dan
pencekokan purwoceng dengan dosis 0.25 mg/ 300 mg. Pencekokan dilakukan
mulai saat kebuntingan hari 1 sampai hari 13. Selanjutnya tikus-tikus tersebut
dipelihara hingga melahirkan. Anak-anak tikus betina diambil dari 8 ekor induk
tikus yang memiliki anak berkisar 5-7 ekor dan bobot badan 6.47 g, empat ekor
induk untuk kelompok kontrol dan 4 ekor induk untuk kelompok purwoceng.
Anak-anak tikus betina yang dilahirkan dipelihara dan diamati setiap hari
untuk melihat waktu pembukaan vagina (vaginal opening). Sembilan anak tikus
betina diambil dari induk kelompok kontrol dan 9 ekor anak tikus betina diambil
dari induk kelompok purwoceng. Cara membedakan jenis kelaminnya adalah
dengan melihat jarak antara celah anogenital (Gambar 3). Pada tikus betina jarak
antara anus dengan vagina lebih dekat. Selanjutnya tikus-tikus tersebut masuk ke
tahap pengamatan.

Urethral
opening

vulva





prepuce

Scrotal sac
anus

Gambar 3 Perbedaan jarak anogenital pada tikus betina dan tikus jantan
(Hrapkiewicz dan Medina 1998)

7

Tahap Pengamatan pembukaan vagina dan siklus estrus
Tahap pengamatan pembukaan vagina dimulai dari hari pertama lahir.
Pengamatan siklus estrus dari anak tikus betina yang dilahirkan tersebut dilakukan
setelah anak tikus mengalami pembukaan vagina. Pengamatan siklus estrus
dilakukan dengan metode ulas vagina. Bila pada tikus sudah dapat dilakukan
ulasan vagina maka pada hari tersebut sudah terjadi pembukaan vagina. Ulas
vagina dilakukan setiap hari selama 15 hari untuk melihat durasi waktu siklus
estrus Pengulasan dilakukan setiap 12 jam namun setelah memasuki fase
metestrus pengulasan dilakukan tiap 24 jam. Pengulasan dilakukan selama 15 hari
atau tiga kali periode siklus estrus. Bobot badan juga diukur selama pengamatan.
Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
pengamatan &
perlakuan pemeliharaan penimbangan BB

Persiapan

21 hari
adaptasi

60 hari

13 hari

8 hari

perkawinan pencekokan purwoceng

15 hari
Siklus Estrus

Lahir
Pembukaan Vagina
Gambar 4 Bagan penelitian
Penentuan fase siklus berahi tikus dilakukan dengan pengambilan sampel
ulas vagina, dan penentuan fase siklus didasarkan pada jenis-jenis sel yang
terdapat pada preparat ulas vagina (Baker et al. 1979). Pada fase proestrus, sel
epitel vagina didominasi sel epitel berinti. Pada fase estrus, sel epitel vagina
didominasi sel epitel menanduk tidak berinti dan sel yang menumpuk (sel
pavement). Pada fase metestrus, sel epitel vagina didominasi sel epitel menanduk
dan leukosit. Pada fase diestrus, sel epitel vagina didominasi leukosit dan sel
epitel berinti sudah mulai muncul (Maeda et al. 2000). Pembuatan preparat ulas
vagina dilakukan dengan mengusap kapas (cotton bud) yang telah dibasahi
dengan NaCl fisiologis 0,9% ke dalam vagina tikus betina yang kemudian
diulaskan pada gelas objek. Populasi sel epitel vagina Rattus norvegicus selama
satu siklus estrus dapat dilihat pada Gambar 5.

8

Gambar 5 Sitologi vagina pada tiap tahap siklus estrus. Tiga tipe sel yang
teridentifikasi: leukosit (lingkaran), sel kornifikasi (segitiga hitam),
sel epitel berinti (segitiga putih). Tahapan siklus estrus meliputi
proestrus (A), estrus (B), metestrus (C), dan diestrus (D). [Byers et
al. 2012]

Prosedur Analisis Data
Hasil parameter yang diukur dinyatakan dengan rataan dan simpangan baku.
Perbedaan antar kelompok perlakuan di uji secara statistika dengan analisa sidik
ragam (ANOVA) dengan pola rancangan acak lengkap (Steel dan Torrie 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Bobot badan anak tikus betina kontrol pada usia 45 hari adalah 52.90 g.
Pada hari yang sama bobot badan anak tikus betina yang diberi purwoceng adalah
73.35 g dan pada hari itu terjadi pembukaan vagina (PV). Sedangkan pada usia 56
hari, bobot badan anak tikus betina kontrol adalah 82.40 g dan pada hari itu terjadi
PV. Pada hari yang sama bobot badan anak tikus betina yang diberi purwoceng
adalah 90.50 g.

9

Tabel 1 Perbandingan waktu pembukaan vagina anak tikus kontrol dan tikus yang
mendapatkan purwoceng berdasarkan bobot badan
Persentase PV
Bobot badan (g)
PV
Umur
(hari)
Kontrol
Purwoceng Kontrol Purwoceng Kontrol Purposing
a
0%
66%
45 52.90±10.43 73.35±8.50b
+
a
b
77%
100%
56
+
+
82.40±7.58 90.50±13.58
Keterangan : - Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata
(P F

Square

544.5000000

Model
252.93

Sum of
Squares

DF

Mean

1

544.5000000

16

34.4444444

F

Square

544.5000000
.

.

perlakuan
252.93
Hari

DF

Type I SS

1

Mean

544.5000000

F

Square

544.5000000
.

.

.

.

perlakuan
252.93
Hari

1

544.5000000

F

0.11

0.7423

Error
97.641026
Corrected Total

R-Square

Coeff Var

Root MSE

0.002096

57.00777

9.881347

respon Mean

17.33333

Square

Source
F Value

DF

Type I SS

Mean

1

10.66666667

0

0.00000000

.

0

0.00000000

.

Pr > F

perlakuan
10.66666667
0.11
jam
.
.
perlakuan*jam
.
.

0.7423

22
Square

Source
F Value

DF

Type III SS

Mean

1

10.66666667

0

0.00000000

.

0

0.00000000

.

Pr > F

perlakuan
10.66666667
0.11
jam
.
.
perlakuan*jam
.
.

0.7423

The SAS System
3
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for
respon
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate,
not the experimentwise error
rate.

Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
52
Error Mean Square
97.64103

Number of Means
Critical Range

2
5.397

Means with the same letter are not significantly
different.

Duncan Grouping

Mean

N

A
A
A

17.778

27

perlakuan
Kontrol

16.889
27
Purwocen
The SAS System

4
The GLM Procedure

Level of

------------respon-----

-----jam

N

Mean

54

17.3333333

Std Dev
E
9.79795897

2.3 Data analisis fase metestrus
The SAS System
1

23

The GLM Procedure
Class Level Information
Class

Levels

Values

perlakuan

2

Kontrol

jam

1

M

Purwocen

Number of Observations Read
54
Number of Observations Used
54
The SAS System
2
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon

Source
Square
F Value
Model
66.666667

DF

Sum of
Squares

1

66.666667

52

5898.666667

53

5965.333333

Mean

Pr > F

0.59

0.4468

Error
113.435897
Corrected Total

R-Square

Coeff Var

Root MSE

0.011176

57.74437

10.65063

respon Mean

18.44444

Square

Source
F Value

perlakuan
66.66666667
0.59
jam
.
.
perlakuan*jam
.
.

Square

Source
F Value

DF

Type I SS

Mean

1

66.66666667

0

0.00000000

.

0

0.00000000

.

DF

Type III SS

Pr > F

0.4468

Pr > F

Mean

24
perlakuan
66.66666667
0.59
jam
.
.
perlakuan*jam
.
.

1

66.66666667

0

0.00000000

.

0

0.00000000

.

0.4468

The SAS System
3
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for
respon
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate,
not the experimentwise error
rate.

Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
52
Error Mean Square
113.4359

Number of Means
Critical Range

2
5.817

Means with the same letter are not significantly
different.

Duncan Grouping

Mean

N

A
A
A

19.556

27

perlakuan
Kontrol

17.333
27
Purwocen
The SAS System

4
The GLM Procedure

Level of

------------respon-----

-----jam

N

Mean

54

18.4444444

Std Dev
M
10.6091215
The SAS System
5
The GLM Procedure
Class Level Information
Class

Levels

Values

25

per

Dokumen yang terkait

Efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 13 21 hari kebuntingan terhadap bobot organ reproduksi dan anak tikus putih

1 14 47

Efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 13-21 hari kebuntingan terhadap bobot organ reproduksi dan anak tikus putih (Rattus sp.)

0 5 82

Efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan terhadap bobot ovarium dan uterus tikus putih (Rattus sp.)

3 27 83

Efektifitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap Pertambahan Bobot Badan Tikus Betina Buting Umur Kebuntingan 0 – 13 Hari

0 5 78

Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus)

0 3 94

Efektivitas Pemberian Ektrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) pada Hari 1-13 Kebuntingan terhadap Keberhasilan Implantasi pada Tikus Putih (Rattus sp.)

0 5 72

Tampilan anak tikus jantan (rattus novergicus) dari induk yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng (pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan

1 5 45

Bobot Badan Tikus Betina Bunting Yang Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella Alpina) Pada Hari 13-21 Kebuntingan

2 14 31

Tampilan anak tikus betina dari induk bunting yang diberi ekstrak akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) selama 1-13 hari.

0 5 35

Siklus Reproduksi Anak Tikus Dari Induk Yang Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Selama 13–21 Hari Kebuntingan.

0 2 31