Efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 13-21 hari kebuntingan terhadap bobot organ reproduksi dan anak tikus putih (Rattus sp.)

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL
PURWOCENG (Pimpinella alpina) SELAMA 13-21 HARI
KEBUNTINGAN TERHADAP BOBOT ORGAN REPRODUKSI
DAN ANAK TIKUS PUTIH (Rattus sp.)

META LEVI KURNIA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

ABSTRACT
META LEVI KURNIA. Effectivity of Purwoceng (Pimpinella alpina) Ethanole
Extract during 13-21 Days of Pregnant Rat (Rattus sp.) on Reproductive Organs
and Pups Weight. Under direction of ARYANI S. SATYANINGTIJAS and
PUDJI ACHMADI.

The study aims to observe the effect day of purwoceng (Pimpinella alpina)
ethanole extract which given at 13-21 days age of pregnancy on ovarium, uterus,
placenta, and pups weight. The rats were divided in to two groups. One of

groups was rats that treated by purwoceng 25 mg/300 g body weight and the other
groups control (no treatment). Purwoceng ethanole extract was given on the 13th
until the 21st day of pregnancy. The rats was dissected on day 21 to take an
ovarium, uterus, placenta, and pups, and to observe their weight. The result
indicated that purwoceng ethanole extract tended to increase weight of ovarium,
uterus, and pups but had no effect towards placenta.
Keywords: purwoceng, reproductive organ, pups

RINGKASAN
META LEVI KURNIA. Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng
(Pimpinella alpina) Selama 13-21 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Organ
Reproduksi dan Anak Tikus Putih (Rattus sp.). Dibimbing oleh ARYANI S.
SATYANINGTIJAS dan PUDJI ACHMADI.

Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman herbal yang
mengandung bahan bersifat estrogenik dan androgenik. Pada dasarnya tanaman
yang mengandung senyawa-senyawa seperti estrogen atau androgen dipercaya
dapat memperbaiki kinerja reproduksi. Bagian yang sering digunakan adalah akar
karena bahan aktif purwoceng terbanyak terletak pada bagian akar. Penelitian ini
juga memanfaatkan akar purwoceng sebagai tanaman yang diduga dapat

memperbaiki kinerja reproduksi tikus betina bunting. Penelitian ini bertujuan
untuk melihat pengaruh dari pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella
alpina) terhadap organ reproduksi dan bobot anak tikus putih yang diberikan pada
13-21 hari kebuntingan.
Metode penelitian ini meliputi pembuatan larutan ekstrak akar purwoceng,
penentuan dosis ekstrak purwoceng, persiapan hewan penelitian, perlakuan
hewan, dan analisis data. Akar purwoceng diekstraksi dengan menggunakan
metode maserasi. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 gram simplisia
yaitu sejumlah 95 gram. Ekstrak ini kemudian dibuat dalam larutan stok sebesar
5% yaitu 5 gram dalam 100 ml akuades. Dosis ekstrak purwoceng pada tikus
yang digunakan yaitu sebesar 25 mg/ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram
atau 83.25 mg/kg bobot badan. Pada penelitian ini larutan stok mengandung 50
mg/ml sehingga jumlah ekstrak purwoceng yang diberikan pada tikus yaitu 0.5 ml
untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram. Sepuluh ekor tikus betina bunting
yang diperoleh dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu lima ekor tikus bunting yang
tidak diberi perlakuan (kontrol) dan lima ekor tikus bunting yang diberi perlakuan,
yaitu diberi ekstrak purwoceng selama 13 sampai 21 hari kebuntingan.
Selanjutnya dari masing-masing kelompok tersebut dinekropsi pada hari ke-21
kebuntingan untuk diambil ovarium, uterus, anak, dan plasenta untuk kemudian
ditimbang bobotnya. Data bobot ovarium, uterus, anak, dan plasenta yang

diperoleh kemudian dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) sehingga
diperoleh rata-rata dan standar deviasi dari data-data tersebut.
Pemberian ekstrak etanol purwoceng selama 13-21 hari kebuntingan pada
tikus putih menunjukkan bahwa bobot ovarium, uterus, dan anak cenderung lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan pemberian ekstrak etanol
purwoceng tidak memberikan pengaruh terhadap bobot plasenta. Peningkatan
bobot ini diduga karena efek estrogenik dari purwoceng.
Kata kunci: purwoceng, organ reproduksi, anak tikus

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL
PURWOCENG (Pimpinella alpina) SELAMA 13-21 HARI
KEBUNTINGAN TERHADAP BOBOT ORGAN REPRODUKSI
DAN ANAK TIKUS PUTIH (Rattus sp.)

META LEVI KURNIA

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Efektivitas Pemberian Ekstrak
Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama 13-21 Hari Kebuntingan terhadap
Bobot Organ Reproduksi dan Anak Tikus Putih (Rattus sp.) adalah karya saya
dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Meta Levi Kurnia
NIM B04070158


© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak mengurangi kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Judul Skripsi

Nama
NIM

: Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng
(Pimpinella alpina) Selama 13-21 Hari Kebuntingan
terhadap Bobot Organ Reproduksi dan Anak Tikus Putih
(Rattus sp.)
: Meta Levi Kurnia

: B04070158

Disetujui,

Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, MSc.

Drs. Pudji Achmadi, MS.

Pembimbing I

Pembimbing II

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng
(Pimpinella alpina) Selama 13-21 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Organ
Reproduksi dan Anak Tikus Putih (Rattus sp.). Skripsi ini disusun sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Aryani Sismin
Satyaningtijas, MSc dan Drs. Pudji Achmadi, MS selaku pembimbing skripsi
yang begitu sabar memberikan pengarahan dan pengajaran bagi penulis. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Drs. Pudji Achmadi, MS yang telah
memberikan penulis kesempatan untuk bergabung dalam penelitian ini dan staf
laboratorium fisiologi (Bapak Edi, Ibu Sri, Ibu Ida) yang telah membantu baik
tenaga maupun waktu dalam penelitian ini. Penulis juga ingin menyampaikan
terima kasih kepada Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc selaku dosen
pembimbing akademik yang selalu memberikan dorongan untuk menjadi manusia
yang lebih baik dan bijaksana.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Maipal Sangguni

(Ibunda), Taufik Maison (Ayahanda), Yahdi Al Ghurfah (Adik), Hayatul Sukma
(Adik), Siti Maheram Alm(Nenek), Siti Nuraya (Nenek), Mak Odang, Mak Onga,
Onga, Pa Onga, Etek, Maktuo, Uniama, dan Caca yang selalu memberikan doa,
kasih sayang, serta dukungan yang tiada henti bagi penulis. Selain itu, penulis
juga mendapatkan dukungan penuh dari rekan-rekan satu penelitian (Sandra,
Wisnu, Junto, Divo, Copi), sahabat-sahabat terdekat (Sari, Fenny, Wulan, Deny,
Putri, Ila, Iwan, Gita, dan Adit), rekan-rekan Gianuzzi FKH 44, dan Himpro
SATLI. Semoga karya ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Agustus 2011

Meta Levi Kurnia

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang Sibusuk, Sumatera Barat pada tanggal 23
Oktober 1989 dari pasangan Taufik Maison dan Maipal Sangguni. Penulis
merupakan anak pertama dari tiga orang bersaudara.
Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1995 di SDN 09 Kupitan
dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan

ke MTsN Kupitan dan lulus pada tahun 2004. Penulis kemudian masuk ke SMAN
1 Sawahlunto dan lulus pada tahun 2007. Tahun 2007 penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB)
pada jurusan kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama menjalani pendidikannya penulis aktif di Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) kabinet sinergis sebagai pengurus divisi PSDM (2008-2009).
Pada tahun 2009-2010 penulis aktif di Himpunan Minat Profesi Satwa Liar
(SATLI) sebagai kadiv Wild Aquatic.

DAFTAR ISI
 

Halaman 
DAFTAR ISI……………………………………………………………...
x
DAFTAR TABEL………………………………………………………...

xii

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...


xiii

DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………

xiv

PENDAHULUAN
Latar Belakang....................................................................................
Tujuan.................................................................................................
Hipotesa..............................................................................................
Manfaat...............................................................................................

1
2
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Tikus Putih (Rattus sp.)…………………………………......

Organ Reproduksi Betina……………………………………………
Ovarium………………………………………………………......
Uterus……………………………………………………………..
Hormon Reproduksi Betina………………………………………….
Estrogen………………………………………………………......
Progesteron……………………………………………………….
Siklus Reproduksi………………………………………………….…
Proses Reproduksi Tikus…………………………………………..…
Perkawinan………………………………………………………..
Fertilisasi………………………………………………………….
Implantasi…………………………………………………………
Plasentasi……………………………………………………….…
Kelahiran dan Laktasi…………………………………………….
Purwoceng (Pimpinella alpina)………………………………………

3
5
5
6
6
7
7
8
8
9
9
10
11
11
11

METODOLOGI
Waktu dan Tempat……………………………………………………
Alat dan Bahan…………………………………………………….…
Metode Penelitian………………………………………………….…
Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng………………….…
Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng…………………………..…
Tahap Persiapan Hewan Model………………………………...…
Perlakuan Hewan……………………………………………….…
Bagan Penelitian………………………………………………..…
Analisis Statistik…………………………………………………...…

14
14
14
14
15
15
16
16
17

HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………….…

18

xi 
 

SIMPULAN DAN SARAN………………………………………….…….

26

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………....…

27

LAMPIRAN……………………………………………...………...……….. 31
 
 

xii 
 

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Data nilai fisiologis tikus putih (Rattus sp.)………………………..
Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng……………………………
Rata-rata bobot uterus, plasenta, dan ovarium……………………..
Rata-rata bobot anak tikus………………………………………….

Halaman
3
13
18
22

xiii 
 

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Perbedaan tikus jantan dan betina………………………………….
Purwoceng………………………………………………………….
Uterus tikus pada kebuntingan 21 hari……………………………..
Plasenta tikus pada kebuntingan 21 hari …………………………..
Anak tikus kontrol dan perlakuan pada kebuntingan 21 hari ……..
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 

Halaman
4
11
19
20
22

xiv 
 

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

 
Halaman
Analisis bobot ovarium pada kebuntingan 21 hari…………………
32
Analisis bobot uterus pada kebuntingan 21 hari…………………...
32
Analisis bobot plasenta kebuntingan 21 hari……………………….
32
Analisis bobot anak pada kebuntingan 21 hari…………………......
33
 

 

 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penggunaan tanaman herbal sebagai tanaman obat dalam bidang reproduksi
sudah banyak diteliti dan diminati oleh masyarakat karena mengandung bahan
alami. Tanaman herbal yang menjadi bahan metode penelitian reproduksi adalah
tanaman yang mengandung bahan bersifat estrogenik atau androgenik.

Pada

dasarnya tanaman yang mengandung senyawa-senyawa seperti estrogen atau
androgen dipercaya dapat memperbaiki kinerja reproduksi, seperti pasak bumi
(Eurycoma longifolia Jack.). Pasak bumi merupakan tumbuhan asli Myanmar,
Thailand, Indo Cina, dan Indonesia. Bagian yang digunakan dari tanaman ini
adalah akar. Kandungan aktif yang terdapat dalam akar pasak bumi ini adalah βSitosterol. β-Sitosterol berguna sebagai bahan baku pembuatan hormon steroid
dan merangsang pengeluaran hormon estrogen (Gunawan 2002).
Herbal lain yang juga mengandung bahan bersifat estrogenik atau
androgenik adalah purwoceng. Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan
tanaman menahun dengan tinggi antara 50-100 cm. Tanaman ini hanya dapat
tumbuh di daerah pegunungan, seperti daerah asalnya, yaitu pegunungan Alpen
sehingga dikenal dengan nama Pimpinella alpina.

Di Jawa, purwoceng

ditemukan tumbuh liar di Pegunungan Dieng dan lereng Gunung Lawu, Jawa
Tengah. Bagian tanaman yang digunakan adalah akar karena diketahui dapat
menggugah hasrat seksual (Gunawan 2002).
Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman yang digunakan
sebagai obat herbal terutama sebagai ‘viagra’. Seluruh bagian dari purwoceng
dapat digunakan sebagai obat terutama akarnya karena bahan aktif purwoceng
terbanyak terletak pada bagian akar. Secara empiris masyarakat umum lebih
mengenal akar purwoceng berkhasiat sebagai afrodisiak.

Akar purwoceng

mengandung turunan dari senyawa sterol, saponin, dan alkaloida. Selain itu, akar
purwoceng juga mengandung turunan senyawa kumarin yang digunakan dalam
industri obat modern, tetapi bukan untuk afrodisiak melainkan untuk anti bakteri,
anti fungi dan anti kanker. Di Indonesia tumbuhan atau tanaman obat yang


 

digunakan sebagai afrosidiak lebih banyak hanya berdasarkan kepercayaan dan
pengalaman (Hernani dan Yuliani 1991).
Berdasarkan

penelitian

terdahulu,

Taufiqqurrahman

(1999)

telah

menggunakan purwoceng sebagai herbal alternatif untuk memperbaiki kinerja
reproduksi.

Penelitian

tersebut

memanfaatkan

akar

purwoceng

untuk

meningkatkan kadar Luteinizing Hormone (LH) dan testosteron. Penelitian ini
juga memanfaatkan akar purwoceng sebagai tanaman yang diduga dapat
memperbaiki kinerja reproduksi tikus betina bunting, yang akan dilihat pada
parameter dari induk (bobot ovarium, bobot uterus, dan bobot plasenta) dan dari
anak (bobot badan anak). Parameter ini diambil karena ovarium adalah sumber
estrogen, sedangkan uterus, plasenta, dan anak adalah target organ dari estrogen.

Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk menguji efek ekstrak etanol purwoceng
(Pimpinella alpina) yang diberikan pada hari kebuntingan 13-21 terhadap bobot
ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak tikus.

Hipotesa
Ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) yang diberikan secara peroral
dapat mempengaruhi bobot ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak
tikus yang diberikan pada hari kebuntingan 13-21.

Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai ekstrak
purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap kinerja reproduksi tikus betina bunting
sehingga dapat dipakai sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

 

TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Tikus Putih (Rattus sp.)
Tikus putih atau rat (Rattus sp.) sering digunakan sebagai hewan percobaan
atau hewan laboratorium karena telah diketahui sifat-sifatnya dan mudah
dipelihara (Malole dan Pramono 1989). Selain itu, penggunaan tikus sebagai
hewan percobaan juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan kemampuan
hidup tikus hanya 2-3 tahun dengan lama produksi 1 tahun (Smith dan
Mangkoewidjojo 1988). Penggunaan tikus dalam penelitian reproduksi karena
panjang waktu siklus birahi yang pendek, yaitu 4-5 hari dan lama kebuntingannya
hanya selama 21-23 hari (Malole dan Pramono 1989).
Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang biasa digunakan sebagai hewan
percobaan yaitu galur Sprague-Dawley yang memiliki kepala kecil, berwarna
albino putih dan ekornya lebih panjang dari badannya.

Galur Wistar yang

memiliki kepala besar dan ekor yang lebih pendek. Galur Long Evans yang lebih
kecil dari tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh bagian
depan (Malole dan Pramono 1989).

Tabel 1 Data nilai fisiologis tikus putih (Rattus sp.)
Kriteria

Nilai

Berat badan dewasa

450-520 g jantan, 250-300 g betina

Berat lahir

5-6 g

Lama siklus birahi

4-5 hari

Lama kebuntingan

21-23 hari

Oestrus postpartum

Fertil

Jumlah anak

6-12 ekor

Umur sapih

21 hari

Waktu pemeliharaan komersial

7-10 litter/4-5/bulan

Komposisi air susu

13% lemak, 9,7% protein, 3,2% laktosa

Sumber: Malole dan Pramono (1989)

Ada dua sifat yang membedakan tikus dengan hewan percobaan lain, yaitu
tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim pada tempat
bermuara esofagus ke dalam lambung dan tidak mempunyai kandung empedu.


 

Tikus hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki, ekor tikus menjadi
bagian badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh. Mekanisme
perlindungan lain adalah tikus akan mengeluarkan banyak ludah dan menutupi
bulunya dengan ludah tersebut (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
Tikus mencapai dewasa kelamin pada umur 50-60 hari, vagina mulai
terbuka pada umur 35-90 hari dan testes turun pada umur 20-50 hari. Anak-anak
yang sehat dan kuat dihasilkan bila tikus baru dikawinkan pada umur 65-110 hari
yaitu pada saat betina mencapai 250 g berat badan dan jantan 300 g. Umur
perkawinan pertama

tersebut tergantung dari galur tikus

dan

tingkat

pertumbuhannya. Siklus estrus berlangsung 4-5 hari selama 12 jam setiap siklus
dan seperti halnya mencit, estrus dimulai pada malam hari. Estrus pada tikus
betina tidak dipengaruhi oleh bau pejantan (Malole dan Pramono 1989). Siklus
estrus tikus terbagi menjadi empat periode, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan
diestrus (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Tikus merupakan hewan poliestrus,
yaitu dapat mengalami estrus lebih dari sekali dalam setahun. Terdapat estrus
postpartum dalam waktu 48 jam sesudah partus.

Akan tetapi tikus tidak

dikawinkan dalam masa estrus postpartum supaya anak-anak yang sedang disusui
tidak terlantar. Oleh karena itu tikus betina yang baru bunting harus dipisah dari
jantan sampai anaknya disapih (Malole dan Pramono, 1989).
Tikus yang masih mudapun sudah dapat dibedakan antara tikus jantan dan
betina. Tikus jantan memiliki papila genitalia dan jarak anogenital yang lebih
besar dari betina yaitu 5 mm pada umur 7 hari, sedangkan betina hanya berjarak
2,5 mm. Puting susu pada betina sudah terlihat sejak umur 8-15 hari (Malole dan
Pramono 1989).

Jantan

Betina

Gambar 1 Perbedaan tikus jantan dan betina (Malole dan Pramono 1989).


 

Organ Reproduksi Betina
Organ reproduksi betina terdiri dari organ reproduksi primer dan sekunder.
Organ reproduksi primer yaitu ovarium yang menghasilkan sel telur dan hormonhormon kelamin betina. Organ reproduksi sekunder terdiri dari tuba fallopii,
uterus, serviks, vagina, dan vulva. Fungsi organ reproduksi sekunder adalah
menerima dan menyalurkan sel-sel kelamin jantan dan betina, memberi makan,
dan melahirkan individu baru (Toelihere 1985).

Ovarium
Ovarium adalah organ primer reproduksi pada betina. Ovarium mempunyai
dua fungsi, sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur atau ovum dan
sebagai organ endokrin yang mensekresikan hormon-hormon kelamin betina,
estrogen, dan progesteron (Toelihere 1985). Ovarium dapat dianggap bersifat
endokrin atau sitogenik karena mampu menghasilkan hormon yang akan diserap
langsung ke dalam peredaran darah dan juga ovum (Frandson 1992).

Pada

mamalia, ovarium terdiri dari dua buah. Pada waktu pertumbuhan embrional,
ovarium akan mengalami sedikit penurunan (descensus ovarica) ke arah kaudal
menjelang dilahirkan.

Ovarium mempunyai permukaan yang licin sebelum

terjadinya ovulasi secara teratur dan mempunyai warna abu-abu sampai merah
muda. Setelah mencapai masa remaja, permukaan ovarium menjadi tidak rata
karena terbentuk banyak folikel yang baru maupun folikel yang telah dewasa.
Disamping itu juga terdapat korpus luteum dan korpus albikans (Hardjopranjoto
1995).
Bentuk ovarium tersebut bervariasi tergantung kepada spesies hewan. Besar
ovarium bertambah sesuai dengan bertambahnya umur maupun banyak anak yang
dilahirkan. Pada golongan mamalia, ovarium terletak di dalam rongga pelvis
sehingga organ ini sangat terlindungi dari kemungkinan kerusakan yang
disebabkan oleh faktor luar. Ovarium ini bisa berubah-ubah letaknya karena ada
kebuntingan, pertambahan umur, dan terdesak oleh organ tubuh disekitar.
Ovarium terdiri dari bagian medulla (bagian dalam) yang mengandung banyak
pembuluh darah, saraf, pembuluh limfe, dan tenunan pengikat fibroblast.
Sedangkan bagian korteks (bagian pinggir) terdiri dari sel-sel germinal, sel telur


 

yang masih muda, folikel yang sedang tumbuh, folikel masak, folikel yang
degenerasi dan pembuluh darah (Hardjopranjoto 1995).

Uterus
Bagian saluran alat kelamin yang berbentuk buluh dan berurat daging licin.
Uterus berfungsi menerima sel telur yang telah dibuahi atau embrio dari tuba
falopii, memberi makanan, dan perlindungan bagi fetus, serta mendorong fetus ke
arah luar saat kelahiran. Bentuk uterus tikus adalah dupleks dimana korpus uteri
tidak ada dan kedua kornuanya terpisah sama sekali (Hardjopranjoto 1995).
Dinding uterus terbagi menjadi tiga lapis yaitu lapisan serosa (perimetrium)
di sebelah luar, lapisan muskularis (miometrium) di sebelah tengah, dan lapisan
mukosa (endometrium) di sebelah dalam (Hardjopranjoto 1995). Lapisan serosa
(perimetrium) berhubungan dengan peritoneum yang dikenal dengan ligamen
lebar dan mendukung genitalia internal. Ligamen ini terdiri dari mesovarium
sebagai penggantung ovari, mesosalpink sebagai penggantung oviduk dan
mesometrium sebagai penggantung uterus (Frandson 1992).
Lapisan muskularis (miometrium) adalah suatu bagian muskular dari
dinding uterus. Lapisan ini terdiri dari lapis melingkar bagian dalam yang tebal
dari otot polos dan longitudinal yang lebih tipis di bagian luar.

Keduanya

dipisahkan oleh lapis vaskular (pembuluh darah di dalam jaringan pengikat).
Selama kebuntingan, jumlah otot di dalam dinding uterus meningkat (Frandson
1992).

Lapisan mukosa (endometrium) merupakan membran mukosa yang

menyelimuti

uterus

dan

memiliki

struktur

kelenjar

(Frandson

1992).

Endometrium terdiri dari epitel banyak lapis yang mengandung serabut-serabut
getar. Sel di bawahnya (tunika propria) mengandung banyak kelenjar uterus dan
pembuluh darah (Hardjopranjoto 1995).

Hormon Reproduksi Betina
Hormon yang dihasilkan ovari adalah estrogen dari folikel dan progesteron
dari corpora lutea. Aktivitas sekretoris dari ovari berada di bawah kontrol hormon
gonadotrofik dari adenohipofisis kelenjar pituitari (Frandson 1992). Estrogen
terutama meningkatkan proliferasi dan pertumbuhan sel-sel khusus di dalam


 

tubuh, sedangkan progesteron berkaitan hampir seluruhnya dengan persiapan
akhir dari uterus pada awal kebuntingan (Guyton dan Hall 1997).

Estrogen
Estrogen merupakan suatu kelompok senyawa yang berperan sebagai
hormon kelamin betina dan merangsang kelenjar-kelenjar kelamin asesoris
kelamin betina. Estron, estradiol, dan estriol adalah hormon-hormon alamiah
yang diproduksi oleh ovari atau plasenta hewan mamalia (Frandson 1992).
Estrogen utama yang disekresikan oleh ovarium adalah estradiol. Estron juga
disekresikan tetapi dalam jumlah yang kecil. Estriol adalah estrogen yang lemah
dan produk oksidasi dari estradiol maupun estron, perubahan ini terjadi di dalam
hati (Guyton dan Hall 1997).
Estrogen akan disekresikan 20 kali lipat atau lebih setelah pubertas di bawah
pengaruh hormon-hormon gonadotropin hipofisis. Pada masa ini, organ-organ
kelamin betina akan berkembang dari usia anak menjadi yang usia betina dewasa,
ovarium, tuba fallopii, uterus, dan vagina akan bertambah besar. Setelah pubertas,
ukuran uterus meningkat menjadi dua sampai tiga kali lipat. Perubahan yang
paling penting terjadi pada endometrium, karena estrogen menyebabkan
terjadinya proliferasi yang nyata pada stroma endometrium yang nantinya akan
dimanfaatkan untuk membantu dalam memberi nutrisi pada ovum yang
berimplantasi (Guyton dan Hall 1997).

Progesteron
Progesteron terutama dihasilkan oleh korpus luteum, tetapi juga terdapat
pada kelenjar adrenal, korteks, plasenta, dan testes. Secara umum, progesteron
bekerja pada jaringan yang telah dipersiapkan oleh estrogen, meskipun dapat juga
dapat bekerja secara sinergistik. Progesteron dikenal sebagai hormon kebuntingan
karena menyebabkan penebalan endometrium dan perkembangan kelenjar uterin
mendahului terjadinya implantasi dari ovum yang dibuahi (Frandson 1992). Efek
progesteron terhadap uterus adalah untuk meningkatkan perubahan sekretorik
pada endometrium uterus dan mempersiapkan uterus untuk menerima ovum yang
sudah dibuahi. Progesteron juga mengurangi frekuensi dan intensitas kontraksi


 

uterus, sehingga mencegah terlepasnya ovum yang sudah berimplantasi (Guyton
dan Hall 1997).

Siklus Reproduksi
Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks dan
dapat terganggu pada berbagai stadium reproduksi.

Organ-organ reproduksi

mulai berfungsi dan dapat terjadi perkembangbiakan adalah pada saat pubertas.
Pada hewan jantan pubertas ditandai oleh kesanggupannya berkopulasi dan
menghasilkan sperma disamping perubahan-perubahan kelamin sekunder lain.
Pada hewan betina pubertas terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai, sehingga tikus
betina yang masih muda harus menyediakan makanan untuk pertumbuhan dan
perkembangan tubuhnya maupun untuk anaknya (Toelihere 1985).
Ketika hewan betina mencapai usia pubertas akan terjadi perubahan anatomi
dan fisiologi pada organ reproduksinya, seperti vagina, ovarium, maupun uterus.
Perkembangan ovarium berkaitan dengan pematangan kelamin, mencakup
oogenesis (perkembangan ovum dari sel-sel kelamin primer), ovulasi,
pembentukan corpora lutea.

Peristiwa-peristiwa ini kemudian mempengaruhi

bagian-bagian lain dari sistem reproduksi secara siklik, yang menimbulkan siklus
estrus atau birahi (Frandson 1992).
Periode siklus birahi tikus terdiri proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus.
Proestrus berlangsung selama 12 jam, secara mikroskopis terlihat sel epitel berinti
dari ulasan vagina yang dilakukan (Nuryadi 2007). Estrus berlangsung selama 12
jam, secara mikroskopis terlihat sel yang mengalami kornifikasi (sel epitel
mengalami penandukan dan seringkali intinya piknotik atau tanpa inti) dari ulas
vagina (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Metestrus berlangsung selama 21
jam, secara mikroskopis terlihat banyak leukosit dan sedikit sel yang mengalami
kornifikasi.

Diestrus berlangsung selama 57 jam, secara mikroskopis ulasan

vagina dipenuhi oleh leukosit (Nuryadi 2007).

Proses Reproduksi Tikus
Proses reproduksi

meliputi periode pematangan,

perkawinan, kebuntingan, kelahiran, dan laktasi.

dewasa kelamin,

Penelitian ini menggunakan


 

tikus bunting. Kebuntingan meliputi periode perkawinan, fertilisasi, implantasi,
dan plasentasi.

Perkawinan
Sistem perkawinan atau pengembangbiakan yang dapat diterapkan pada
tikus yaitu sistem monogami, poligami, dan sistem koloni.

Pada sistem

monogami, satu jantan dan satu betina dicampur secara permanen. Pada sistem
poligami, satu jantan dicampur dengan dua sampai enam ekor betina. Pada sistem
koloni, jantan dan betina dicampur seperti sistem poligami, namun jantan bisa
lebih dari satu (Malole dan Pramono 1989). Penelitian ini menggunakan sistem
poligami.

Fertilisasi
Fertilisasi merupakan penyatuan atau fusi dua sel antara gamet jantan dan
betina untuk membentuk satu sel yang disebut zigot. Dalam aspek embriologik,
fertilisasi meliputi pengaktifan ovum oleh spermatozoa. Dalam aspek genetik,
fertilisasi meliputi pemasukan faktor-faktor herediter pejantan ke dalam ovum
(Toelihere 1985).
Spermatozoa harus menembus massa kumulus (bila masih ada), zona
pellusida, dan membrana vitellinum untuk masuk ke dalam ovum. Proses-proses
yang terjadi selama pembuahan pada tikus yaitu sperma akan berkontak dengan
zona pellusida, badan kutub pertama menghilang, dan inti sel telur mengalami
pembelahan meiosis yang kedua. Sperma yang telah menembus zona pellusida
akan bertaut dengan membran vitelin. Hal ini merangsang reaksi zona yang
ditandai oleh pembayangan disekeliling zona pellusida. Kepala sperma masuk ke
dalam vitelin dan berada tepat dibawah permukaannya. Hampir seluruh bagian
sperma berada didalam vitelin.

Kepala sperma membesar, volume vitelin

berkurang, dan badan kutub kedua juga menghilang. Pronukleus jantan dan betina
mulai berkembang.

Mitokondria berkumpul disekitar pronukleus, pronukleus

tersebut berkembang sempurna dan mengandung banyak nukleoli. Pronukleus
jantan lebih besar daripada betina. Jika fertilisasi telah sempurna, pronukleus

10 
 

telah menghilang dan diganti oleh kelompok kromosom yang telah bersatu di
dalam profase pada pembagian cleavage pertama (Toelihere 1985).
Apabila sel telah membelah dan berjumlah 16 sampai 32 sel, maka sel-sel
tersebut akan berkumpul menjadi satu kelompok di dalam zona pellusida. Embrio
tersebut dikenal sebagai morula. Cairan mulai menumpuk di dalam ruang-ruang
interseluler dan muncullah suatu rongga bagian dalam (blastocoele).

Setelah

blastocoele mulai meluas, embrio tersebut dikenal sebagai blastocyst. Sel-sel
kecil yang membagi diri secara aktif berkumpul pada satu kutub dan sel-sel besar
yang tidak begitu aktif membagi diri pada kutub lain sejak fase morula. Sel-sel
kecil yang mungkin berasal dari belahan ventral ovum membentuk lapisan luar
embrio yang kemudian membentuk trophoblast. Sel-sel besar dari belahan dorsal
ovum yang terletak ditengah membentuk massa sel bagian dalam atau disebut juga
inner cell mass (ICM). Fetus akan berkembang sesudah implantasi dari massa sel
bagian dalam ini (Toelihere 1985).
Pembentukan

blastocyst

pembentukan organ tubuh.

diikuti

oleh

gastrulasi

yang

mendahului

Gastrulasi terdiri dari gerakan-gerakan sel atau

kelompok sel sedemikian rupa untuk merubah embrio dari struktur dua lapis
menjadi tiga lapis dan membawa daerah-daerah bakal pembentuk organ ke posisi
yang defenitif di dalam embrio. Kemudian akan terbentuk tiga macam jaringan,
yaitu endoderm, mesoderm, dan ektoderm (Toelihere 1985).

Implantasi
Proses implantasi adalah proses yang berlangsung secara bertahap, yaitu
tahap persentuhan embrio dengan endometrium, tahap pelepasan zona pellusida,
pergeseran atau pembagian tempat, dan tahap pertautan antara trophoblast dengan
epitel endometrium (Manan 2002). Masa implantasi pada tikus putih berlangsung
pada hari keenam (Ribeiro et al. 1996). Implantasi pada tikus terjadi apabila
estradiol dan progesteron telah tercukupi.

Ketidakcukupan hormon ini dapat

meningkatkan kontraksi uterus secara terus menerus sehingga terjadi kegagalan
implantasi dan aborsi (Arkaraviehien dan Kendle 1990).

11 
 

Plasentasi
Penempelan erat atau fusi antara organ fetal dengan jaringan maternal untuk
pertukaran secara fisiologis disebut juga dengan pembentukan plasenta
(plasentasi). Plasenta dapat didefinisikan sebagai kesatuan struktur antara selaput
ekstraembrionik dan endometrium induk untuk keperluan pertukaran timbal balik
faali antara induk dan fetus. Pada tikus plasentasi dimulai pada usia kebuntingan
9-10 hari (Sukra et al. 1989).

Tikus mempunyai jenis plasenta diskoidal

(Nalbandov 1990). Tiga fungsi utama plasenta, yaitu sebagai pengangkutan,
penyimpanan, dan biosintesa (Toelihere 1985).

Kelahiran dan Laktasi
Masa kebuntingan tikus berlangsung selama 21-23 hari dan sejak 14 hari
kebuntingan sudah terlihat adanya perubahan bentuk kelenjar ambing. Pada akhir
kebuntingan, tikus tersebut melahirkan anak 6-12 per kelahiran (Malole dan
Pramono 1989).

Selama masa kebuntingan terjadi proliferasi saluran-saluran

ambing dan alveoli dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari
ovarium dan plasenta. Pertumbuhan kelenjar ambing dan laktasi terutama berada
dibawah pengaruh hormon, saraf-saraf vasomotorik di dalam puting susu.
Dengan jalan menstimulir kelenjar hipofise maka akan dilepaskan hormon
prolaktin. Hormon prolaktin ini penting untuk memulai dan mempertahankan
laktasi dan melepaskan oksitosin yang perlu untuk “Let Down” atau penurunan air
susu. Saraf vasomotor berperan secara tidak langsung pada sekresi susu dengan
mengatur suplai darah kelenjar ambing (Manan 2002).

Purwoceng (Pimpinella alpina)

Gambar 2 Purwoceng (Darwati dan Roostika 2006).

12 
 

Purwoceng adalah tanaman obat komersial yang dapat digunakan sebagai
afrodisiak, diuretik, dan tonik. Tanaman tersebut adalah tumbuhan asli Indonesia
yang tumbuh secara endemik di dataran tinggi Dieng Jawa Tengah, Gunung
Pangrango Jawa Barat, dan area pegunungan di Jawa Timur. Hingga saat ini tidak
banyak laporan penelitian tentang purwoceng.

Beberapa aspek yang sudah

dilaporkan adalah aspek agronomi, kultur in vitro, fitokimia, dan farmakologi
(Darwati dan Roostika 2006).
Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman obat yang tumbuh pada
ketinggian 1800-3000 m dpl, berkhasiat sebagai afrodisiak karena mengandung
stigmasterol. Saat ini purwoceng termasuk tanaman langka yang keberadaannya
semakin susah didapatkan. Pada tahun 2004-2005, dalam upaya pembudidayaan,
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) telah berhasil
mengembangkan dan menurunkan lingkungan tumbuh purwoceng menjadi sekitar
1200 - 1300 m dpl.

Penelitian lebih lanjut mengenai senyawa aktif yang

terkandung di dalam purwoceng khususnya stigmasterol perlu dilakukan.
Identifikasi awal dilakukan melalui skrining fitokimia. Stigmasterol diekstraksi
dari purwoceng melalui metode sokhletasi menggunakan pelarut etanol. Metode
sokhletasi yaitu suatu metode atau proses pemisahan suatu komponen yang
terdapat dalam zat padat dengan cara penyaringan berulang-ulang dengan
menggunakan pelarut tertentu, sehingga komponen yang diinginkan akan
terisolasi.

Kemudian dilakukan analisis stigmasterol.

Analisis menunjukkan

keberadaan stigmasterol pada kedua tanaman purwoceng tersebut, kadar
stigmasterol dari daun purwoceng kering sebesar 0.1595% untuk purwoceng yang
tumbuh pada ketinggian 1900 m dpl dan 0.0378% untuk purwoceng yang tumbuh
pada ketinggian 1200 m dpl. Hasil uji fitokimia menunjukkan kedua tanaman
purwoceng mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, dan steroid (Ulya et al.
2008).
Profil hormon estradiol-17β dari plasma tikus betina selama daur birahi,
setelah diberi ekstrak akar purwoceng selama 15 hari memperlihatkan
peningkatan kadar estradiol dibandingkan dengan normal (Caropeboka et al.
1983). Penggunaan akar purwoceng juga pernah dilakukan terhadap tikus jantan.

13 
 

Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar Luteinizing Hormone
(LH) dan testosteron tikus jantan (Taufiqqurrachman 1999).
Hasil uji fitokimia akar purwoceng secara kualitatif yang dipakai pada
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng
Jenis Contoh

Uji Fitokimia

Hasil Pengujian

Akar purwoceng

Alkaloid

+++

Saponin

-

Tanin

+

Fenolik

-

Flavonoid

+++

Triterfenoid

+

Steroid

+

Glikosida

+

Sumber: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011)
Keterangan:

-

: Negatif

+

: Positif lemah

++

: Positif

+++

: Positif kuat

++++

: Positif kuat sekali

 

METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di kandang hewan coba dan Laboratorium
Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran
Hewan IPB, mulai bulan September 2010 sampai Maret 2011.

Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus berupa
kotak plastik, kawat kasa, jaring-jaring kawat sebagai penutup, botol minum tikus,
tempat pakan tikus, spoit, scalpel, pinset, gunting, objek gelas, sonde lambung,
mikroskop, timbangan analitik digital, pipet, cotton swab, tisu, kapas, kertas
nama, Erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, pompa vakum, rotary vacuum
evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, oven, wadah porselen, termometer.
Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Sprague-Dawley (SD) yang terdiri dari 10 ekor tikus betina
bunting.

Bahan-bahan yang digunakan adalah pakan tikus, sekam, ekstrak

purwoceng, eter, NaCl fisiologis 0.9%, etanol 70%, akuades, dan kain saring.

Metode Penelitian
Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng
Purwoceng dikeringkan dengan menjemur dibawah panas sinar matahari
(suhu tidak boleh lebih dari 50 ºC). Selanjutnya akar purwoceng yang telah
kering dipotong tipis-tipis dan dihaluskan dengan menggunakan blender sehingga
dihasilkan serbuk (simplisia). Serbuk akar purwoceng diekstraksi dengan metode
maserasi sebanyak 350 gram direndam dalam 3.5 liter etanol 70% sebagai zat
pelarut selama 24 jam dan setiap dua jam sekali diaduk agar homogen. Kemudian
disaring dengan menggunakan kain saring.
Hasil ekstrak disimpan di dalam Erlenmeyer, sedangkan ampas direndam
kembali dalam 3.5 liter etanol 70% selama 24 jam dan setiap dua jam diaduk agar
homogen. Setelah itu, larutan disaring dan ekstraknya disatukan dengan hasil
ekstrak yang pertama dalam Erlenmeyer ukuran 5 liter. Kemudian dilakukan

15 
 

proses evaporasi agar zat pelarut terpisah dengan menggunakan rotari evaporator
(rotavapor) Buchi dengan suhu 48 ºC dan kecepatan putaran per menit (rpm)
sebesar 60 rpm.

Selanjutnya ekstrak dimasukkan ke dalam oven pengering

dengan suhu lebih kurang 45 °C selama 48 jam sehingga kadar air yang masih ada
dapat menguap semuanya. Ekstrak kering disimpan di dalam botol kaca steril dan
dilarutkan kembali dengan akuades sesuai dosis saat perlakuan terhadap hewan
coba. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 gram serbuk (simplisia)
adalah sejumlah 95 gram. Ekstrak kering ini kemudian dibuat dalam larutan stok
sebesar 5%, yaitu 5 gram dalam 100 cc akuades.

Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng
Penentuan dosis ekstrak etanol purwoceng pada tikus berdasarkan penelitian
terdahulu (Taufiqurrachman 1999), yaitu sebesar 25 mg untuk berat badan tikus
sebesar 300 gram atau 83.25 mg/kg BB.

Dalam penelitian ini larutan stok

mengandung 50 mg/ml, sehingga jumlah yang dicekok adalah sebesar 0.5 ml
untuk 300 gram berat badan.

Tahap Persiapan Hewan Model
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih
(Rattus sp.) bunting dari galur Sprague-Dawley. Tikus-tikus ini dipelihara dalam
kandang yang berbentuk kotak dan terbuat dari plastik, berukuran 30 cm x 20 cm
x 12 cm. Kandang dilengkapi dengan kawat kasa sebagai penutup bagian atas dan
lantai diberi sekam sebagai alas, serta air minum ad libitum.

Pakan yang

diberikan berupa pelet dan air minum diberikan dengan memasukkan ke dalam
botol-botol kecil dan dijepitkan pada jaring-jaring kawat. Botol-botol yang berisi
air tersebut ditutup dan dibuat lubang pada tutupnya agar air tersebut bisa
diminum tikus. Penggantian sekam dan pencucian kandang dilakukan setiap tiga
hari.
Tikus

bunting

diperoleh

dari

hasil

perkawinan

alamiah

dengan

mengawinkan dua tikus betina dan satu tikus jantan dalam satu kandang. Tikus
betina tersebut diberi tanda dengan spidol pada bagian ekor agar tidak keliru,
tanpa tanda untuk tikus A dan diberi tanda untuk tikus B. Uji kebuntingan

16 
 

dilakukan pada pagi hari dengan cara ulas vagina tikus betina menggunakan
cotton swab dan dioleskan pada gelas objek. Apabila ada spermatozoa pada ulas
vagina setelah dilihat dibawah mikroskop maka dapat dipastikan terjadi
perkawinan dan tercatat sebagai hari pertama kebuntingan. Tikus yang bunting
harus dipisahkan dari jantan dan diletakkan pada satu kandang. Tikus yang tidak
bunting dikembalikan ke kandang untuk dikawinkan kembali.

Perlakuan Hewan
Tikus-tikus tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 5 ekor tikus
bunting untuk kontrol dan 5 ekor tikus bunting yang diberi perlakuan yaitu
pemberian purwoceng melalui oral lebih kurang 0.5 ml/300 g pada umur
kebuntingan 13-21 hari. Dua kelompok tikus tersebut dinekropsi pada hari ke-21
untuk dilihat perubahan makro anatomi dari alat reproduksinya. Euthanasi tikus
menggunakan eter. Parameter-parameter yang akan dilihat adalah bobot ovarium,
bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak. Bobot ovarium, bobot uterus, bobot
plasenta, dan bobot anak didapat dengan menimbang utuh secara keseluruhan,
kemudian dipisahkan untuk ditimbang masing-masing.

Bagan Penelitian

Tikus jantan dewasa
kelamin

Tikus betina
dewasa kelamin
Tikus betina bunting

Kontrol (tidak
diberi
perlakuan)

Cekok purwoceng
pada kebuntingan
13-21 hari

Nekropsi pada akhir
kebuntingan 21 hari
Pengamatan: Bobot
ovarium, bobot uterus,
bobot plasenta, dan
bobot anak

17 
 

Analisis Statistik
Hasil parameter yang diukur dinyatakan dengan rataan dan simpangan baku.
Perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara statistika dengan analisa sidik
ragam (ANOVA) dengan pola rancangan acak lengkap (Steel dan Torrie 1993).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng terhadap tikus putih betina
pada usia kebuntingan 13-21 hari terhadap rata-rata bobot uterus, plasenta, dan
ovarium tikus putih dapat dilihat pada Tabel 3. Pemberian purwoceng pada usia
kebuntingan 13-21 hari dimaksudkan untuk mengetahui efeknya terutama
terhadap bobot uterus dan plasenta karena masa plasentasi pada tikus terjadi pada
usia kebuntingan 12-13 hari.

Tabel 3 Rata-rata bobot uterus, plasenta, dan ovarium
No
1.
2.
3.
4.
5.
Ratarata

Bobot ovarium (g)
K
P
0.075
0.065
0.065
0.055
0.045
0.115
0.045
0.050
0.060
0.085

Bobot Uterus (g)
K
P
3.260
4.830
3.350
3.550
3.050
4.080
3.320
4.830
2.480
7.070

Bobot Plasenta (g)
K
P
8.160
6.190
7.370
4.290
4.980
4.880
6.220
8.410
3.700
6.560

0.058±0.013

3.092±0.362

6.086±1.795

Keterangan:

0.074±0.027

4.864±1.349

6.066±1.606

K = Kontrol
P = Perlakuan

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Ovarium
Data di atas menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol purwoceng
menyebabkan bobot ovarium tikus putih cenderung lebih tinggi dibandingkan
kontrol, meskipun dari uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
(p>0.05). Menurut penelitian Achmadi (2011) bahwa bobot ovarium tikus yang
dicekok purwoceng pada periode estrus menunjukkan perbedaan yang signifikan
dibandingkan kontrol.
meningkat.

Bobot ovarium meningkat karena kadar estrogen juga

Pada penelitian ini peningkatan bobot ovarium diduga karena

purwoceng mengandung bahan aktif yang bersifat estrogenik, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya rangsangan pertumbuhan dan perkembangan ovarium.
Efek estrogenik dari purwoceng ini pada ovarium melibatkan kerja hormon
estrogen pada reseptor estrogen β (Lund 2005). Hormon estrogen disintesis dalam
ovarium terutama dari kolesterol yang berasal dari darah (Guyton 1994).
Estrogen terutama dihasilkan oleh sel teka interna dari folikel dan sedikit oleh

19 
 

korpus luteum. Zat yang sebetulnya dihasilkan oleh ovarium adalah estradiol
(Gadjahnata 1989).

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Uterus

Gambar 3 Uterus tikus pada kebuntingan 21 hari.

Gambar 3 adalah uterus tikus bunting hasil dari penelitian ini. Pemberian
ekstrak etanol purwoceng juga cenderung meningkatkan bobot uterus tikus putih,
meskipun dari uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
(p>0.05). Bobot uterus kelompok tikus yang diberi ekstrak etanol purwoceng
secara umum menunjukkan hasil yang lebih besar dibandingkan kelompok tikus
kontrol. Tikus yang diberi ekstrak etanol purwoceng diduga akan mengalami
peningkatan kadar estrogen yang berdampak pada peningkatan bobot uterus.
Berdasarkan dugaan yang sama yaitu, adanya sifat estrogenik dari akar purwoceng
tersebut.

Estrogen merupakan hormon yang dapat menyebabkan terjadinya

akumulasi cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan dan aktivitas endometrium serta
mempersiapkan kerja progesteron pada endometrium (Johnson dan Everitt 1984).
Estrogen mempengaruhi pertumbuhan dan proliferasi duktus kelenjar mammae.
Estrogen juga menyebabkan penebalan dinding endometrium dan lapisan epitel
pipih berlapis vagina.

20 
 

Estrogen mempunyai dua macam reseptor, yaitu reseptor REα dan REβ
(Ibanez dan Baulieu 2005). REα dan REβ banyak terdapat di dalam jaringan
reproduksi betina diantaranya pada ovarium, endometrium, dan kelenjar mammae.
Selain pada organ tersebut, terdapat pula di kulit, pembuluh darah, tulang, dan
otak (Ganong 2002). Uterus diketahui lebih banyak mengandung reseptor alfa
(REα) daripada beta (REβ).

Pemberian estrogen juga akan meningkatkan

konsentrasi reseptor estrogen REα pada organ reproduksi (Kusmana et al 2007).

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Plasenta

Gambar 4 Plasenta tikus pada kebuntingan 21 hari.
Keterangan: Tanda panah adalah plasenta

Gambar 4 adalah plasenta tikus bunting hasil dari penelitian ini. Plasenta
dari tikus yang diberi ekstrak etanol purwoceng ini diambil dan dipisahkan dari
uterus, kemudian dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobotnya. Ekstrak
etanol purwoceng tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap peningkatan
bobot plasenta. Hal ini menunjukkan bahwa efek estrogenik yang terkandung
dalam akar purwoceng tidak memberikan pengaruh terhadap bobot plasenta.
Selain itu, tidak terjadinya peningkatan bobot plasenta diduga karena reseptor
estrogen plasenta lebih sedikit.

21 
 

Sekresi estrogen oleh plasenta berbeda dari sekresi estrogen oleh ovarium.
Sebagian besar estrogen yang diekskresikan adalah estriol, yang merupakan
estrogen yang sangat lemah dan dibentuk hanya dalam jumlah kecil pada hewan
yang tidak bunting. Karena kekuatan estrogenik dari estriol yang sangat kecil,
estrogen lainlah yang berperan pada sebagian besar aktivitas total estrogen.
Estrogen yang diekskresikan oleh plasenta tidak disintesis sendiri dari zat-zat
dasar dalam plasenta.

Sebaliknya, estrogen hampir seluruhnya dibentuk dari

senyawa steroid androgen. Androgen yang lemah ini kemudian ditranspor oleh
darah ke plasenta (Guyton dan Hall 1997).

Biosintesis estrogen melibatkan

hidroksilasi dari prekursor androgen yang dimediasi oleh kompleks enzim yang
dikenal sebagai aromatase (Favaro dan Cagnon 2007).

Menurut Nalbandov

(1990), organ bertambah berat akibat meningkatnya vaskularisasi dan aktivitas
mitosis yang lebih besar.
Menurut Anwar (2005), produksi estrogen oleh plasenta juga bergantung
pada prekursor-prekursor dalam sirkulasi, namun pada keadaan ini baik steroid
fetus ataupun induk merupakan sumber-sumber yang penting untuk sintesis
estrogen tersebut. Kebanyakan estrogen berasal dari androgen fetus, terutama
dehidroepiandrosteron sulfat (DHEA sulfat).

DHEA sulfat fetus terutama

dihasilkan oleh adrenal fetus, kemudian diubah oleh sulfatase plasenta menjadi
dehidroepiandrosteron bebas (DHEA bebas), dan selanjutnya melalui jalur-jalur
enzimatik yang lazim untuk jaringan-jaringan penghasil steroid, menjadi
androstenedion dan testosteron.

Androgen-androgen ini akhirnya mengalami

aromatisasi dalam plasenta menjadi berturut-turut estron dan estradiol.
Setelah umur kebuntingan 12 hari yaitu pada periode plasentasi, konsentrasi
estradiol melonjak secara drastis dan mencapai konsentrasi tertinggi pada umur
kebuntingan 16 hari.

Selanjutnya menurun pada kebuntingan 20 hari yaitu

menjelang kelahiran. Peningkatan konsentrasi estradiol pada umur kebuntingan
tersebut disebabkan sel-sel penghasil estradiol pada korpus luteum dan plasenta
telah berfungsi secara maksimal (Adelien 1996). Pemberian purwoceng yang
diharapkan dapat mendukung terjadinya peningkatan ini tidak terjadi. Hal ini
mungkin

disebabkan

efek

estrogenik

purwoceng

hanya

cukup

untuk

meningkatkan bobot ovarium dan uterus saja, walaupun juga tidak signifikan.

22 
 

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Badan Anak
Bobot anak yang dihasilkan dari uterus tikus yang mendapatkan ekstrak
etanol purwoceng ditimbang setelah anak dikeluarkan dari uterus pada umur 21
hari kebuntingan atau saat melahirkan.

Kontrol

Perlakuan

Gambar 5 Anak tikus kontrol dan perlakuan pada kebuntingan 21 hari.

Gambar 5 adalah anak-anak tikus bunting hasil dari penelitian ini. Rata-rata
bobot badan anak tikus putih yang diberi ekstrak etanol purwoceng pada usia
kebuntingan 13-21 hari dapat dilihat pada Tabel 4. Rata-rata jumlah anak tikus
tiap induk berkisar 5-10 ekor.
Tabel 4 Rata-rata bobot anak tikus
Induk ke
1
2
3
4
5
Rata-rata
Keterangan:

Jumlah anak
K
10
11
8
7
4
8 ± 2.739
K = Kontrol
P = Perlakuan

P
11
9
5
9
11
9 ± 2.449

Rata-rata bobot anak (g)
K
P
4.162 ± 0.198
3.698 ± 0.258
4.277 ± 0.249
3.444 ± 0.136
2.621 ± 0.120
4.628 ± 0.320
3.997 ± 0.261
5.597 ± 0.314
2.638 ± 0.062
2.412 ± 0.144
3.539 ± 0.836
3.956 ± 1.210

Bobot badan anak yang diberi

Dokumen yang terkait

Efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 13 21 hari kebuntingan terhadap bobot organ reproduksi dan anak tikus putih

1 14 47

Efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan terhadap bobot ovarium dan uterus tikus putih (Rattus sp.)

3 27 83

Efektifitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap Pertambahan Bobot Badan Tikus Betina Buting Umur Kebuntingan 0 – 13 Hari

0 5 78

Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus)

0 3 94

Efektivitas Pemberian Ektrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) pada Hari 1-13 Kebuntingan terhadap Keberhasilan Implantasi pada Tikus Putih (Rattus sp.)

0 5 72

Tampilan anak tikus jantan (rattus novergicus) dari induk yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng (pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan

1 5 45

Perkembangan Tulang Anak Tikus Betina Yang Induknya Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Selama 13–21 Hari Kebuntingan

0 4 31

Bobot Badan Tikus Betina Bunting Yang Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella Alpina) Pada Hari 13-21 Kebuntingan

2 14 31

Efektivitas Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella Alpina Kds) Pada Induk Tikus Selama 1-13 Hari Kebuntingan Terhadap Siklus Estrus Anak Betinanya

0 8 40

Siklus Reproduksi Anak Tikus Dari Induk Yang Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Selama 13–21 Hari Kebuntingan.

0 2 31