Deteksi Residu Antibiotik dalam Susu Segar yang Digunakan sebagai Bahan Baku Utama Pembuatan Keju

ABSTRACT
YUNITA HUTASOIT. Detection of Antibiotic Residues in Raw Milk Used as
Raw Material of Cheese. Under direction of HADRI LATIF.
Antimicrobial drugs have been used in dairy industry for more than five
decades. Dairy herd health is closely associated with milk production and
economic sustainability. Therefore, maintenance of herd health is closely
dependent upon disease prevention and therapeutic drug use for a range of
diseases. The presence of antibiotic residues in milk is a public health issue. The
purpose of the present study ware to know the relationships of farmer
characteristics and antibiotic residues presence in raw milk, wich used as cheese
production. Farmer characteristics (age, education, breeding time, training, and
number of lactating cows) were used to find the relationship between the farmer’s
knowledge and the presence of antibiotic residues in raw milk. The yoghurt tests
method was used to figure out the existence of antibiotic residues in raw milk as
the basic material for making cheese. Eighteen raw milk samples were taken from
three farmer groups that supply the milk to the cheese factory in Sukabumi.
Yoghurt test showed that the milk from group A did not contain antibiotic
residues, while the milk from group B and C contained antibiotic residues. Farmer
characteristics indicating significant correlation with antibiotic residues presence
were farmer’s education and number of lactating cows.


Keywords: antibiotic residues, yoghurt test, cheese, raw milk

RINGKASAN
YUNITA HUTASOIT. Deteksi Residu Antibiotik dalam Susu Segar yang
Digunakan sebagai Bahan Baku Utama Pembuatan Keju. Dibimbing oleh HADRI
LATIF.
Susu merupakan bahan makanan sempurna karena mengandung hampir
semua zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh. Perbaikan kualitas susu perlu
dilakukan untuk memeroleh kualitas susu segar yang baik, termasuk syarat susu
segar yang harus bebas dari residu antibiotik. Kandungan residu antibiotik yang
rendah bahkan negatif merupakan salah satu syarat susu segar sebagai bahan baku
utama pembuatan keju. Keberadaan residu antibiotik dalam susu dapat disebabkan
oleh penggunaan antibiotik sebagai pengobatan ternak dari penyakit infeksi,
pemacu pertumbuhan (growth promotor), dan meningkatkan reproduksi ternak.
Penggunaan antibiotik yang tidak teratur, tidak tepat dosis, tidak sesuai dengan
diagnosa penyakit, dan tidak memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time)
dapat menyebabkan residu dalam susu yang cukup berbahaya bagi kesehatan
manusia yang mengkonsumsinya. Susu yang mengandung residu antibiotik bila
digunakan untuk pembuatan keju akan menghasilkan keju yang kurang baik
mutunya dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan manusia jika produk ini

dikonsumsi.
Terdapat 18 jenis sampel susu segar yang diambil dari 3 kelompok peternak
yang memasok susu ke industri pembuatan keju di Kabupaten Sukabumi. Residu
antibiotik dalam susu segar dianalisa menggunakan metode yoghurt test. Hasil
diamati dengan melihat konsistensi susu. Konsistensi susu yang kental
menunjukkan tidak adanya kandungan residu antibiotik dalam susu segar,
sedangkan konsistensi susu cair menunjukkan adanya kandungan residu antibiotik
dalam susu segar.
Terdapat lima variabel yang dapat diukur untuk menggambarkan
karakteristik peternak yang memengaruhi keberadaan residu antibiotik dalam susu
segar yaitu umur, pendidikan terakhir, lama beternak, pelatihan, dan jumlah sapi
laktasi yang dimiliki. Responden dalam pengisian kuesioner adalah 10 orang
peternak dari tiga kelompok peternak yang memasok susu segar ke industri keju
di Kabupaten Sukabumi. Data karakteristik kelompok peternak yang diperoleh
menunjukkan bahwa semua peternak masuk dalam kategori usia dewasa dengan
umur 16-65 tahun. Seluruh kelompok peternak A dan B memiliki tingkat
pendidikan terakhir hingga perguruan tinggi (100%), sedangkan mayoritas
kelompok peternak C memiliki tingkat pendidikan terakhir hingga sekolah dasar
(50%). Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok peternak C keadaan
pendidikan masih tergolong rendah dibandingkan dengan kelompok A dan B.

Mayoritas peternak memiliki pengalaman beternak selama lebih dari 10
tahun (50%). Hal ini terlihat dari kelompok peternak A dan B yang seluruhnya
telah beternak selama lebih dari 10 tahun (100%), sedangkan kelompok peternak
C memiliki tingkat pengalaman yang bervariasi, yaitu 0-5 tahun (37.5%), lebih
dari 5-10 tahun (25%), dan lebih dari 10 tahun (37.5%). Sebanyak 50% peternak
telah mengikuti pelatihan dan 50% lainnya belum pernah mengikuti pelatihan.
Seluruh kelompok peternak A dan B telah mengikuti pelatihan (100%), namun

mayoritas kelompok peternak C belum pernah mengikuti pelatihan (62.5%).
Pelatihan dan penyuluhan bagi para peternak sangat bermanfaat dalam sebuah
peternakan. Sebanyak 70% peternak memiliki jumlah sapi laktasi kurang dari atau
sama dengan 9 sapi laktasi yang didominasi pada kelompok peternak C yaitu
sebanyak 87.5%, sedangkan kelompok peternak A dan B memiliki jumlah sapi
lebih dari 9 sapi laktasi.
Hasil Yoghurt test memperlihatkan bahwa seluruh sampel susu (100%) yang
diperoleh dari kelompok peternak A tidak ditemukan adanya residu antibiotik,
sebesar 33% dari sampel susu kelompok peternak B mengandung residu
antibiotik, dan pada sampel susu kelompok peternak C diperoleh residu antibiotik
sebesar 37.5%. Keberadaan residu antibiotik pada sampel susu kemungkinan
disebabkan oleh pemakaian antibiotik yang tidak sesuai dengan anjuran

pemakaian (dosis dan whitdrawal time).
Karakteristik peternak yang menunjukkan hubungan nyata terhadap
keberadaan residu dalam susu sapi yaitu karakteristik pendidikan terakhir dengan
nilai P