Analisis Elektrokardiogram Autotransfusi Darah pada Babi Lokal Indonesia (Sus domestica) sebagai Model untuk Manusia

ABSTRAK
KHANSAA MIRAJZIANA. Analisis Elektrokardiogram Autotransfusi Darah
Pada Babi Lokal Indonesia (Sus domestica) sebagai Model untuk Manusia.
Dibimbing oleh GUNANTI dan RIKI SISWANDI.
Studi ini bertujuan untuk menganalisis aktivitas elektrokardiogram pada
autotransfusi darah preoperatif (kelompok I/AP), autotransfusi intraoperatif
sederhana (kelompok II/AIS), dan autotransfusi intraoperatif pencucian
(kelompok III/AIP). Tiga kelompok babi lokal (AP ±16,8 kg; AIS ±21,5 kg; AIP
±28,5 kg) dipilih untuk diberi perlakuan sesuai kelompoknya. Autotransfusi
dilakukan setelah pendarahan 30% dari splenektomi sebagai contoh trauma
abdominal. Elektrokardiogram yang dianalisis berdasarkan pada sadapan II
dengan hasil tidak ada perbedaan yang signifikan di antara kelompok perlakuan
secara patologis dalam hal aktivitas jantung, tetapi terlihat perbedaan pada
keadaan fisiologisnya. Secara umum perbedaan tersebut tidak menunjukkan
gangguan yang berarti dalam konduktivitas listrik jantung jika diantisipasi dengan
baik.
Kata kunci: autotransfusi, babi, elektrokardiogram, sadapan II

ABSTRACT
KHANSAA
MIRAJZIANA.

Electrocardiogram
Analysis
of
Blood
Autotransfusion on Local Indonesian Pig (Sus domestica) as Human Model.
Supervised by GUNANTI and RIKI SISWANDI.
This study was conducted to analyze electrocardiogram activity among
preoperative blood autotransfusion (group I/AP), simple filtred intraoperative
blood autotransfusion (group II/AIS), and cell saver intraoperative blood
autotransfusion (group III/AIP). Three local pigs (AP ±16,8 kg; AIS ±21,5 kg;
AIP ±28,5 kg) assigned to each group of treatment. Autotransfusion were
initialized after 30% bleeding from splenectomy to mimic abdominal trauma.
Analysis of electrocardiogram based on lead II as result not significant differences
between groups of treatment regarding pathological electrocardio activity,
however significant differences visible between groups in the physiological value.
In general, that differences do not show some interferences in electrical
conductivity of the heart.
Keywords: autotransfusion, cell saver, electrocardiogram, lead II, pig

1


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada transfusi darah homolog atau alogenik ditemukan beberapa masalah.
Kadangkala tidak tersedianya darah merupakan penyebab mortalitas yang
terbesar. Selain itu terjadi reaksi imunologis antara antigen darah donor dengan
antibodi darah resipien ataupun sebaliknya (Mc Clelland 2007). Sejak terjadinya
infeksi HIV pada transfusi homolog di beberapa kota di Amerika Serikat,
penggunaan transfusi homolog diganti dengan transfusi autolog untuk mengurangi
faktor resiko transmisi infeksi antar individu (Surgenol et al. 1990). Berdasarkan
penelitian Henry et al. (2002), penggunaan darah autolog dapat mengurangi resiko
hingga 43,8% dari transfusi alogenik. Hal ini menyebabkan jumlah pasien yang
mengalami transfusi dengan darah homolog menurun sedangkan transfusi dengan
darah autolog meningkat secara signifikan (Wass et al. 2007).
Autotransfusi dapat dilakukan dengan cara preoperatif, intraoperatif, dan
postoperatif. Cara intraoperatif dilakukan pada operasi bypass kardiopulmonari
atau untuk kasus pendarahan sewaktu tindakan operasi, sedangkan pada cara
postoperatif pengoleksian darah berasal dari luka atau drainase dinding dada
kemudian ditransfusikan kembali. Autotransfusi telah banyak dilakukan pada
operasi jantung (Sandoval et al. 2001) maupun ortopedi (Sloan et al. 2009).

Beberapa peneliti, seperti Olsson et al. (2010), Mason et al. (2011), dan Long et
al. (2012) pernah melakukan penelitian menggunakan teknik autotransfusi
intraoperatif. Teknik tersebut lebih banyak dilaksanakan di negara-negara maju,
namun pengaruh terhadap reaksi aktivitas jantung masih belum banyak diketahui.

Perumusan Masalah
Diperlukan penelitian untuk menganalisis elektrokardiogram pada tindakan
autotransfusi darah. Sehingga diharapkan dapat diketahui efektivitas autotransfusi
pada pengaplikasian terhadap pasien yang mengalami pendarahan dan
membutuhkan darah dalam jumlah banyak pada waktu singkat.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis elektrokardiogram dalam dan
antara kelompok tindakan autotransfusi darah. Dengan mengetahui perubahan
yang terjadi, maka diharapkan dapat menjadi suatu pertimbangan keamanan
dalam tindakan autotransfusi darah.

Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini akan menyumbangkan pengetahuan di bidang
kedokteran hewan maupun kedokteran manusia. Pengetahuan tersebut mengenai


2

dampak autotransfusi preoperatif, intraoperatif sederhana, dan intraoperatif
pencucian terhadap aktivitas listrik jantung.

TINJAUAN PUSTAKA
Autotransfusi
Darah untuk transfusi dibedakan menjadi dua tipe, yaitu darah autolog, dan
darah homolog. Darah autolog diperoleh dari individu yang sama, sedangkan
darah homolog atau darah alogenik diperoleh dari individu lain atau bank darah.
Beberapa resiko penggunaan darah homolog untuk transfusi adalah transmisi
penyakit infeksius (bakteri dan virus), komplikasi imunitas (reaksi hemolisis,
reaksi anafilaksis), dan efek imunomodulator (Capraro 2001).
Pada darah autolog didapatkan kadar 2,3-difosfogliserat yang lebih tinggi.
2,3-difosfogliserat yang juga dikenal sebagai 2,3-bifosfogliserat dibutuhkan untuk
pengikatan oksigen di paru dan pelepasannya di jaringan. Dengan terikatnya 2,3difosfogliserat terhadap deoksihemoglobin, akan lebih besar kemungkinan
terjadinya pelepasan oksigen yang tersisa. Kadar 2,3-difosfogliserat yang lebih
tinggi akan memfasilitasi pelepasan oksigen di jaringan yang membutuhkannya
sehingga fungsi eritrosit akan menjadi lebih efektif. Keuntungan lainnya adalah

suhu yang tidak berbeda jauh dari suhu tubuh. Pasien dengan trauma mengalami
perubahan fisiologis sehingga sangat rentan terhadap keadaan hipotermia, yang
merupakan salah satu dari trias kematian yang terdiri dari hipotermia, asidosis,
dan koagulopati. Pada darah yang baru diambil dari tubuh pasien, masih
ditemukan komponen pembekuan darah yang fungsional. Dengan demikian darah
autotransfusi akan lebih optimal dalam fungsi pembekuan dibandingkan dengan
darah simpan. Pada darah yang diambil dari bank darah, akan dijumpai keadaan
pH asam yang terjadi karena adanya pemecahan eritrosit selama penyimpanan.
Keadaan asam ini akan memperburuk keadaan asidosis pasien (Rubens et al.
2008).
Darah autolog dapat dikoleksi dan disimpan dengan berbagai cara,
diantaranya adalah preoperatif, intraoperatif, atau postoperatif. Transfusi darah
autolog disebut juga autotransfusi. Autotransfusi preoperatif (AP) dilakukan
dengan pengambilan darah pada masa sebelum operasi. Pasien dilakukan operasi
yang bersifat selektif dan pengambilan darah pada 3-5 minggu sebelumnya
kemudian darah disimpan untuk ditransfusikan kembali pada masa operasi.
Autotransfusi intraoperatif dilakukan selama operasi, yaitu bila terjadi pendarahan
selama operasi kemudian pendarahan tersebut segera ditangani dan darah segera
ditransfusikan kembali ke pasien. Autotransfusi postoperatif dilakukan setelah
operasi kemudian ditransfusikan kembali ke pasien (Pfiedler Enterprises 2011).

Darah ini dapat diperoleh dari rongga tubuh, ruang persendian, dan bagian lain
pada operasi terbuka (Hudson 2004).
Tindakan autotransfusi intraoperatif sederhana (AIS) merupakan alternatif
yang lebih sederhana. Metode ini tidak menggunakan bantuan alat khusus,
melainkan hanya suction tekanan rendah, kantung koleksi atau botol yang diberi

3

natrium sitrat, dan filtrasi 40 mikron dengan kain buikgaas kemudian
ditransfusikan secara gravitasi. Hasilnya adalah seluruh komponen darah. Metode
lain dari autoransfusi intraoperatif adalah pengumpulan sel darah merah
intraoperatif pencucian (AIP) dengan bantuan alat khusus. Proses dimulai saat
pengambilan darah yang dilakukan dengan cara penyedotan dengan tekanan yang
lebih rendah, yaitu kurang dari 100 mmHg. Penyedotan dengan tekanan yang
lebih rendah bertujuan untuk menghindari terjadinya hemolisis sel darah, terutama
sel darah merah. Selain menggunakan tekanan yang rendah, dipakai juga kateter
suction yang khusus, yaitu dapat memproses heparinisasi darah donor. Setelah
darah diambil dari lapangan operasi, dan ditampung dalam suatu penampungan,
darah akan disentrifugasi dan dicuci dengan cairan fisiologis sehingga komponen
yang tersisa adalah sel darah merah tanpa plasma dan komponen darah lainnya

ataupun sel debris dari jaringan tubuh kemudian ditransfusikan kembali (Krohn et
al. 1999). Kelemahan dari autotransfusi dengan pencucian adalah tidak efisien
dari segi fasilitas, waktu, dan biaya. Darah autotransfusi dengan pencucian
memiliki volume plasma yang lebih sedikit pada saat ditransfusikan. Hal ini
merugikan karena pasien trauma akan memiliki volume intravaskuler yang
berkurang dan sangat membutuhkan penggantian volume di samping sel darah
merah sebagai oxygen carrying capacity (Rubens et al. 2008).

Elektrokardiogram
Elektrokardiogram adalah suatu sinyal yang dihasilkan oleh aktivitas listrik
otot jantung (Shirley 2007). Elektrokardiogram merupakan alat yang sangat
umum digunakan untuk mendiagnosa disfungsi elektris jantung. Pada banyak
aplikasi, dua atau lebih elektroda metal diaplikasikan pada permukaan kulit, dan
voltase yang terekam oleh elektroda akan terlihat dalam layar atau tergambar di
atas kertas (Cunningham 2002). Kegunaan EKG antara lain adalah untuk
mengetahui adanya kelainan pada irama dan otot jantung, mengetahui efek obatobat jantung, mendeteksi gangguan elektrolit dan perikarditis serta
memperkirakan adanya pembesaran jantung (Birchard dan Sherding 2000).
Ada beberapa macam teknik monitoring EKG yang sering digunakan, yaitu
teknik monitoring standar ekstremitas (metode Einthoven) atau bipolar limb
leads. Dilakukan 3 tempat monitoring EKG pada teknik ini yakni sadapan I

dengan sudut orientasi 0º dibentuk dengan membuat elektroda positif pada lengan
kiri (LA-left arm) dan elektroda negatif pada lengan kanan (RA-right arm).
Sadapan II dengan sudut orientasi 60º dibentuk dengan membuat elektroda positif
pada kaki kiri (LL-left leg) dan elektroda negatif pada lengan kanan (RA- right
arm). Sadapan III dengan sudut orientasi 120º dibentuk dengan membuat
elektroda positif pada kaki kiri (LL-left leg) dan elektroda negatif pada lengan kiri
(LA-left arm).

4

Gambar 1 Teknik Monitoring EKG (Despopoulos dan Sirbernagl 2003).
Teknik monitoring lainnya adalah teknik monitoring tambahan (metode
Golberger) atau unipolar augmented limb leads. Dalam menggunakan teknik ini,
dilakukan 3 tempat monitoring EKG yaitu sadapan augmented vector left (aVL)
dengan sudut orientasi -30º, dibentuk dengan membuat elektroda positif pada
lengan kiri (LA-left arm) dan elektroda negatif pada anggota tubuh lainnya
(ekstremitas). Sadapan augmented vector right (aVR) dengan sudut orientasi 150º, dan dibentuk dengan membuat elektroda positif pada lengan kanan (RAright arm) dan elektroda negatif pada anggota tubuh lainnya (ekstremitas).
Sadapan augmented vector foot (aVF) dengan sudut orientasi +90º dibentuk
dengan membuat elektroda positif pada kaki kiri (LL-left leg) dan elektroda
negatif pada anggota tubuh lainnya (ekstremitas). Monitoring EKG

prekordial/dada atau monitoring standard chest leads (Despopoulos dan
Sirbernagl 2003).
Keenam limb leads tersebut dibagi dalam kelompok sadapan klinis dimana
masing-masing sadapan merekam aktivitas elektris jantung pada perspektif yang
berbeda. Sadapan ini berkaitan dengan daerah anatomis jantung untuk
kepentingan pemeriksaan fisik, contohnya adalah pada acute coronary ischemia.
Kelompok sadapan klinis terdiri dari kelompok sadapan inferior yang melihat
aktivitas elektris pada daerah inferior jantung, yaitu sadapan II, III dan aVF.
Kelompok sadapan lateral yang melihat aktivitas elektris jantung yang
menguntungkan pada dinding lateral ventrikel kiri, yaitu sadapan I dan aVL.
Sadapan aVR menunjukkan bagian dalam dinding endokardium ke arah
permukaan atrium kanan dan memberikan perspektif yang tidak spesifik untuk
ventrikel kiri sehingga sering diabaikan pada pembacaan (Nelson dan Couto
1998).
Elektrokardiogram tidak menilai kontraktilitas jantung secara langsung,
namun dapat memberikan indikasi menyeluruh atas naik-turunya kontraktilitas
jantung. Sewaktu impuls melewati jantung, arus listrik akan menyebar ke dalam
jaringan di sekitar jantung dan sebagian kecil dari arus tersebut akan menyebar ke
permukaaan tubuh lainnya sehingga apabila elektroda diletakkan pada
permukaaan tubuh maka potensial listrik dapat direkam (Abedin dan Conner

2008). Urutan terjadinya sinyal EKG yang dapat menimbulkan gelombang P,
komplek QRS, dan gelombang T, yaitu setiap siklus kontraksi dan relaksasi
jantung dimulai dengan depolarisasi spontan pada nodus (Shirley 2007).

5

Gambar 2 Elektrokardiogram (Guyton dan Hall 2006).
EKG terdiri atas dua elemen, yaitu kompleks dan interval. Kompleks terdiri
atas gelombang P, kompleks QRS, gelombang T, dan gelombang U. Gelombang P
merekam peristiwa depolarisasi dan kontraksi otot atrium. Gelombang P relatif
kecil karena otot atrium yang relatif tipis. Bagian pertama gelombang P
menggambarkan aktivitas atrium kanan, sedangkan bagian kedua menggambarkan
aktivitas atrium kiri. Gelombang P terdiri atas durasi dan amplitudo P. Durasi P
dapat diukur dari mulainya gelombang P hingga akhir gelombang P, sedangkan
amplitudo P diukur dari garis baseline ke puncak gelombang P. Gelombang QRS
terjadi akibat kontraksi otot ventrikel yang tebal sehingga gelombang QRS cukup
tinggi. Gelombang Q merupakan depleksi pertama yang ke bawah, selanjutnya ke
atas yang disebut gelombang R, dan depleksi ke bawah setelah gelombang R
disebut gelombang S. Gelombang T terjadi akibat kembalinya otot ventrikel ke
keadaan istirahat (repolarisasi). Gelombang U diperkirakan menggambarkan

repolarisasi otot papillaris atau serabut Purkinje (Shirley 2007; O’Keefe et al.
2008). Tiap gelombang mewakili satu kali aktivitas listrik jantung. Dalam satu
gelombang EKG terdapat titik interval dan segmen. Titik tersebut terdiri dari titik
P, Q, R, S, T, dan U. Interval terdiri dari interval PR, interval QRS, dan interval
QT. Segmen terdiri dari segmen PR, dan segmen ST (Gambar 2).

Elektrokardiogram Normal Babi
Tabel 1 Denyut jantung (denyut per menit) dan durasi (milidetik) P, PR, QRS,
dan QT pada elektrokardiogram babi
Umur/BB
2-4 mos
(23 kg)
1 bulan
(7 kg)
Piglet
Juvenile
Dewasa

Heart Rate
135,6
(100-180)
190
(180-200)
135-150
109-133
80-100

Dukes dan Szabuniewicz (1969)

P
40
(30-60)
37
(30-45)

PR
101
(60-130)
90
(80-100)

QRS
37
(30-40)
35
(30-40)

QT
218
(200-260)
165
(150-180)

60
(50-80)

100
(80-140)

60
(50-70)

280
(120-340)

6

Elektrofisiologi babi berbeda dengan manusia dalam hal: (1) sinus detak
jantung (heart rate) lebih tinggi, (2) interval PR lebih singkat, dan (3) waktu
konduksi sinoatrial (SACT) lebih singkat. Pada manusia, nilai sinus heart rate
mencerminkan tiga faktor, yaitu denyut jantung intrinsik, tonus simpatik, dan
tonus vagus (Bauernfeind et al. 1979). Denyut jantung intrinsik didefinisikan
sebagai tingkatan sinus nodus ketika terisolasi dari pengaruh sistem saraf otonom.
Nilai rata-rata denyut jantung babi adalah 132 ± 32 (rataan ± standar deviasi) (91167 denyut per menit), interval PR sebesar 94 ± 27 milidetik (50-120 milidetik),
dan interval QT sebesar 256 ± 69 milidetik (150-340 milidetik) (Bharati et al.
1991).

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2011, bertempat di bagian
Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor.

Alat dan Bahan
Penelitian dilakukan terhadap hewan percobaan, yaitu babi lokal Indonesia
(Sus domestica) sebanyak 9 ekor dengan rata-rata bobot badan kelompok AP
±16,8 kg; AIS ±21,5 kg; AIP ±28,5 kg, berjenis kelamin jantan, dan berumur 3-6
bulan. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung tentang efek
autotransfusi pada hewan babi sebagai model untuk manusia.
Penelitian dilakukan menggunakan alat EKG (Cardisuny D300, Fukuda ME), alat cell saver (Haemonetics Cell Saver® 5, THE Blood Management
Company), seperangkat alat bedah mayor, seperangkat alat anestesi inhalasi, obat
bius ketamin 10% (Ilium ketamil®-100, Troy), xylazin 10% (Ilium xylazil®-100,
Troy), dan zoletil 5% (zoletil®, Virbac), ETT (Endo Tracheal Tube), alat suction
(Asahiilca®), benang jahit bahan silk dan catgut ukuran 3/0, jarum segitiga dan
bulat ukuran 3/0, alat infus (Infusion Pump OT-701, JMS), kateter kupu-kupu
(IV-cath), termometer, stetoskop, spoit, kapas/tampon, plester, alat cukur, alkohol
70%, dan obat cacing oxfendazole 5 mg/kg (Verm-O®, Sanbe).

Tahap Persiapan
Babi dibagi menjadi tiga kelompok dengan masing–masing kelompok
terdiri dari tiga ekor. Babi ditempatkan dalam kandang kelompok berukuran 4x3
meter. Selama adaptasi, babi diberi pakan berupa pelet setiap pagi dan sore setelah
pemeriksaan fisik serta diberi obat cacing.

6

Elektrofisiologi babi berbeda dengan manusia dalam hal: (1) sinus detak
jantung (heart rate) lebih tinggi, (2) interval PR lebih singkat, dan (3) waktu
konduksi sinoatrial (SACT) lebih singkat. Pada manusia, nilai sinus heart rate
mencerminkan tiga faktor, yaitu denyut jantung intrinsik, tonus simpatik, dan
tonus vagus (Bauernfeind et al. 1979). Denyut jantung intrinsik didefinisikan
sebagai tingkatan sinus nodus ketika terisolasi dari pengaruh sistem saraf otonom.
Nilai rata-rata denyut jantung babi adalah 132 ± 32 (rataan ± standar deviasi) (91167 denyut per menit), interval PR sebesar 94 ± 27 milidetik (50-120 milidetik),
dan interval QT sebesar 256 ± 69 milidetik (150-340 milidetik) (Bharati et al.
1991).

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2011, bertempat di bagian
Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor.

Alat dan Bahan
Penelitian dilakukan terhadap hewan percobaan, yaitu babi lokal Indonesia
(Sus domestica) sebanyak 9 ekor dengan rata-rata bobot badan kelompok AP
±16,8 kg; AIS ±21,5 kg; AIP ±28,5 kg, berjenis kelamin jantan, dan berumur 3-6
bulan. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung tentang efek
autotransfusi pada hewan babi sebagai model untuk manusia.
Penelitian dilakukan menggunakan alat EKG (Cardisuny D300, Fukuda ME), alat cell saver (Haemonetics Cell Saver® 5, THE Blood Management
Company), seperangkat alat bedah mayor, seperangkat alat anestesi inhalasi, obat
bius ketamin 10% (Ilium ketamil®-100, Troy), xylazin 10% (Ilium xylazil®-100,
Troy), dan zoletil 5% (zoletil®, Virbac), ETT (Endo Tracheal Tube), alat suction
(Asahiilca®), benang jahit bahan silk dan catgut ukuran 3/0, jarum segitiga dan
bulat ukuran 3/0, alat infus (Infusion Pump OT-701, JMS), kateter kupu-kupu
(IV-cath), termometer, stetoskop, spoit, kapas/tampon, plester, alat cukur, alkohol
70%, dan obat cacing oxfendazole 5 mg/kg (Verm-O®, Sanbe).

Tahap Persiapan
Babi dibagi menjadi tiga kelompok dengan masing–masing kelompok
terdiri dari tiga ekor. Babi ditempatkan dalam kandang kelompok berukuran 4x3
meter. Selama adaptasi, babi diberi pakan berupa pelet setiap pagi dan sore setelah
pemeriksaan fisik serta diberi obat cacing.

7

Babi kelompok AP diberi perlakuan autotransfusi menggunakan darah
simpan, yaitu darah diekstravasasi 14 hari sebelumnya dan disimpan dalam
kantung darah citrate, phosphate, dextrose, dan adenin (CPDA), kemudian
dimasukkan dalam lemari es. Kelompok AP menggunakan dosis obat bius induksi
dengan kx-maksimal, yaitu ketamin 15 mg/kg, dan xylazin 2 mg/kg. Babi
kelompok AIS diberi perlakuan autotransfusi menggunakan darah hasil
penyaringan sederhana. Kelompok AIS menggunakan dosis obat bius induksi
dengan zkx, yaitu ketamin 1 mg/25 kg, xylazin 1 mg/25 kg, dan zoletil 1 mg/25
kg. Babi kelompok AIP diberi perlakuan autotransfusi menggunakan darah hasil
pencucian alat cell saver. Kelompok AIP menggunakan dosis obat bius induksi
dengan kx-minimal, yaitu ketamin 10 mg/kg, dan xylazin 1 mg/kg. Autotransfusi
dilakukan setelah terjadi pendarahan 30% dengan melakukan splenektomi.
Pengamatan terhadap aktivitas jantung babi dengan menempelkan elektroda EKG
pada ekstremitas depan dan belakang kanan serta kiri babi dengan tipe
pemasangan bipolar lead (Swindle 2007). Pada alat EKG Cardisuny D300,
Fukuda M-E terdapat 4 elektroda dengan warna yang berbeda, yaitu merah
(RA/R) untuk ekstremitas kanan depan, kuning (LA/L) untuk ekstremitas kiri
depan, hijau (LF/F) ekstremitas kiri belakang dan hitam (RF/N) ekstremitas kanan
belakang.

Tahap Pelaksanaan
Babi terlebih dahulu dibius, kemudian rambut pada bagian persendian
antara os humerus dan os radius-ulna serta pada persendian antara os femur dan os
tibia-fibula kaki depan kanan dan kiri serta kaki belakang kanan dan kiri dicukur.
Babi dibaringkan dengan posisi left lateral recumbency, kemudian dipasangkan
elektroda.
Pengambilan gambar EKG dilakukan empat kali dalam satu kali laparotomi,
yaitu saat babi terbius sempurna. Babi yang terbius sempurna dicirikan dengan
keadaan tertidur, dan belum diberi perlakuan apapun. Saat pendarahan 30% yaitu
setelah dilakukan splenektomi. Setelah transfusi, yaitu setelah babi ditransfusi
darah dan awal recovery, yaitu awal babi mulai sadar atau efek obat bius mulai
hilang. Pengambilan gambar EKG dilakukan dua kali dalam satu kali torakotomi,
yaitu sebelum dan sesudah torakotomi. Pengambilan gambar EKG dilakukan satu
kali pada saat hari ke tujuh setelah operasi. Sehingga total pengambilan gambar
EKG untuk satu ekor babi adalah 7 rekaman.
Waktu yang ditempuh dalam penelitian ini adalah satu bulan. H-14,
kelompok AP diambil darah sebanyak 30% total darah untuk disimpan. Hari H,
masing-masing kelompok dilakukan splenektomi hingga mengalami pendarahan
30% lalu diautotransfusi. Dua hari berikutnya dilakukan torakotomi dan pada hari
ke tujuh post operasi adalah panen. Torakotomi dilakukan untuk pengambilan
jaringan paru yang akan dimanfaatkan dalam analisa efek samping autotransfusi.
Setiap kelompok perlakuan (kelompok AP, AIS, dan AIP) dilakukan tiga kali
ulangan (Gambar 3).

8
Adaptasi hewan
(kelompok AP,AIS,AIP)

Torakotomi
(kelompok
AP,AIS,AIP)
Post transfusi

H
- 14
H-14

Teranestesi sempurna

H
H

HH++22
H+2

Awal recovery

Pendarahan 30%
(kelompok AP,AIS,AIP)

Pengambilan darah simpan 30%
total darah (kelompok AP)

H+7
Panen
(kelompok
AP,AIS,AIP
)

Gambar 3 Alur penelitian dan perlakuan bedah terhadap babi AP, AIS, dan AIP.

Variabel yang Diamati
Variabel yang diamati berupa amplitudo, interval, durasi, dan segmen.
Amplitudo terdiri atas amplitudo P, R, dan T. Interval terdiri atas interval PR, QT,
dan RR (denyut jantung). Durasi terdiri atas durasi P, QRS, dan T. Segmen terdiri
atas segmen ST.

Analisis Data
Data variabel dianalisis secara statistik menggunakan metode One WayAnalyse of Variant (ANOVA). Uji ini kemudian dilanjutkan dengan uji DUNCAN
pada selang kepercayaan 95% (α=0,05).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplitudo P
Tabel 2 Rata-rata amplitudo P (mV)
Waktu Pengamatan
Teranestesi
Pendarahan 30%
Post transfusi
Awal recovery
Pratorakotomi
Post torakotomi
H+7

AP
0,12 ± 0,02ax
0,14 ± 0,02ax
0,18 ± 0,03ax
0,14 ± 0,05ax
0,13 ± 0,06ax
0,15 ± 0,04ax
0,15 ± 0,05ax

Kelompok Perlakuan
AIS
0,12 ± 0,02ax
0,16 ± 0,04ax
0,15 ± 0,06ax
0,12 ± 0,03ax
0,14 ± 0,04ax
0,13 ± 0,06ax
0,12 ± 0,03ax

AIP
0,17 ± 0,03ay
0,18 ± 0,03ax
0,18 ± 0,03ax
0,16 ± 0,04ax
0,14 ± 0,04ax
0,15 ± 0,05ax
0,13 ± 0,11ax

Keterangan : Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan yang nyata (p