melakukan praktik-praktik yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
74
Di samping mengikat para pelaku usaha, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengikat pemerintah untuk tidak mengeluarkan
peraturan-peraturan yang bersifat memberikan kemudahan dan fasilitas istimewa kepada para pelaku usaha tertentu yang bersifat monopolistik.
Akibatnya, dunia usaha Indonesia menjadi tidak terbiasa dengan iklim kompetisi yang sehat, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian yang
harus ditanggung oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, kehadiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diharapkan mampu
mengikat pemerintah untuk lebih objektif dan profesional dalam mengatur dunia usaha di Indonesia. Di samping itu, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia, sehingga mereka akan
terarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kepercayaan ini dikarenakan adanya jaminan untuk berkompetisi secara
sehat.
75
C. Konsep Pendekatan Perse Illegal dan Rule of Reason dalam Persaingan Usaha
Hukum Persaingan mengenal 2 kriteria pendekatan dalam menentukan hambatan dalam suatu pasar yaitu dengan pendekatan yang disebut Perse Illegal
74
Ibid
75
Ibid, hal. 54-55
Universitas Sumatera Utara
Per se Violations atau Perse Rule ataupun dengan pendekatan Rule of Reason. Terdapat perbedaan yang sangat jelas antara kedua prinsip ini. Dimana dalam
prinsip Perse Illegal dinyatakan setiap perjanjian atau kegiatan tertentu sebagai illegal tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan perjanjian
atau kegiatan usaha tersebut. Sedangkan prinsip Rule of Reason merupakan pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk
membuat evalasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan bersifat menghambat atau
mendorong persaingan.
76
Tetapi dalam kenyataan dalam kasus-kasus persaingan, penggunaan kedua pendekatan ini tidak mudah untuk diterapkan. Karena tidak semua orang
mempunyai persepsi yang sama terhadap pengetian yang menyatakan suatu tindakan dinyatakan mutlak melanggar ataupun dapat diputuskan setelah melihat
argumentasi dan alasan rasional tindakannya. Banyak metode yang dicoba para akademisi, ahli Hukum Persaingan dan Praktisi Hukum untuk menetapkan
aplikasi ini walaupun tidak bersifat mutlak. Oleh sebab itu selama waktu ini, perdebatan masih tetap berlangsung dalam Hukum Persaingan ketika menentukan
ukuran faktor “reasonableness”
77
76
Emmy Yuhassarie, et.al, Prosidig, Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, Undang-Undang No.599 dan
KPPU, 17-18 Mei 2004, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005, hal. 104
77
American Bar Association, Section of Antitrust Law, Monograph 23, The Rule of Reason, 1999, hal 104. Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika mengukur faktor reasonableness
dalam suatu kasus adalah dengan melihat pada faktor 1 akibat yang ditimbulkan dalam pasar dan persaigan, 2 pertimbangan bisnis yang mendasari tindakan tersebut 3 kekuatan pangsa pasar
market powar dan 4 alternatif yang tersedia less restrictive alternative 5 dan tujuan intent dikutip dari Ningrum Natasya Sirait I, Op.cit., hal. 103
tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Suatu tindakan yang dinyatakan bersifat anti persaingan anti competitive behavior serta akibat yang ditimbulkan pada proses persaingan tentu harus
melewati beberapa acuan. Ukuran dari akibat anti persaingan haruslah bersifat nyata dan substansial. Dalam hal ini terdapat ukuran yang dipergunakan dalam
Hukum Persaingan yaitu: melalui pembuktian yang sifatnya nyata anti persaingan naked restraint misalnya seperti penetapan harga, dengan melihat akibat yang
ditimbulkannya pada persaingan dan dengan melihat tindakan atau hamatan yang dilakukan apakah akan mengakibatkan pelaku dapat menggunakan kekuatan
pasarnya maket power untuk menghambat persaingan.
78
Dalam ukuran Perse Illegal maka pihak yang menuduh melakukan pelanggaran yang harus membuktikan bahwa tindakan itu benar dilakukan tanpa
harus membuktikan efek atau akibatnya.
79
Sebagai contoh kita dapat melihat kasus yang terjadi di Amerika yakni kasus National Society of Profesional Engineers v. United States Tahun 1978.
Tindakan yang dilakukan itu juga tidak mempunyai pertimbangan bisnis atau ekonomi yang rasional dan dapat
dibenarkan, misalnya penetapan harga hanya dengan tujuan untuk mengelakkan persaingan. Dalam hal ini pemisahan yang tegas antar pendekatan Perse Illegal
dan Rule of reason dinyatakan dengan bright line test perse rules. Selebihnya adalah dengan melihat faktor yang mempengaruhi apakah suatu tindakan dengan
melihat unsur alasan atau “reasonableness” dengan jalan mengevaluasi tujuan dan akibat dari tindakannya dalam suatu pasar atau proses persaingan.
78
Ibid
79
Ibid, “Under the Per Se Test, the plaintiff must simply prove that practice accurred m and the defendant then is precluded from attending to justify the restraint.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kasus ini asosiasi professional menetapkan bahwa upaya penetapan pemenang tender adalah dengan tujuan untuk keselamatan publik karena
pemenang tender dengan harga penawaran terendah akan berakibat pada keselamatan publik. Pengadilan Amerika memutuskan bahwa upaya penetapan
pemenang tender dinyatakan sebagai tindakan yang melanggar prinsip Hukum Persaingan, walau dengan alasan keselamatan publik sekalipun.
Disamping itu dalam upaya untuk memudahkan penentuan ini, dalam perkembangannya Hukum Persaingan juga menggunakan Dichotomy Model.
Dimana cara ini menerapkan pembatasan terhadap tindakan yang dilakukan dengan batasan yang jelas antara Perse Illegal dan Rule of Reason dan hasilnya
dianalisis dengan memperbandingkan alasan dan konsekwensi yang ditimbulkannya. Pengadilan di Amerika Serikat juga mengenalkan analisis yang
sifatnya menyeluruh dalam pendekatan Rule of Reason dengan
mempertimbangkan faktor akibat secara komprehensif, apakah akibatnya menguntungkan ataupun menghambat persaingan.
80
80
American Bar Association, Section of Antitrust Law, hal 133. Under the traditional Rule of Reason, the plaintiff bears the initial burden of proving that an agreement has had or is likely to
have a substantially adverse effect on competition. If the plantiff meets its initial burden, the burden sift to the defencdant to demonstrate the precompetitive virtue of the alleged wrongful
conduct. If the defendant does demonstrate precompetitive virtues, the plaintiff must show that the challenged conduct is not reasonably necessary to achieve the stated objective. Ibid, hal. 105
Kemudian ketika menentukan apakah hambatan yang walaupun sifatnya telah nyata masuk dalam kategori naked
restraint, pengadilan merasakan perlu adanya analisis yang komprehensif untuk melihat akibat yang ditimbulkannya dalam pasar. Oleh sebab itu diperkenalkan
pendekatan yang disebut dengan “truncated analysis of Rule of Reason” atau disebut juga dengan “quick look test”. Hal ini dapat kita lihat pada kasus FTC v.
Universitas Sumatera Utara
Indiana Federation of Dentist, 476 U.S., 106 S.Ct. 2009, 90 L.Ed.2d 445 Tahun 1986. Dalam kasus ini Asosiasi Dokter Gigi Negara Bagian Indiana dituduh
melakukan tindakan yang mengahambat persaingan dengan menetapkan bahwa anggotannya harus menolak memberikan x-ray yang dibutuhkan untuk klaim
asuransi. Tuduhan ini didasarkan pada adanya konspirasi horizontal yang mengakibatkan konsumen tidak mendapat pilihan dalam menentukan pelayanan
yang diinginkan karena adanya syarat tersebut. William R. Andersen mengatakan bahwa pendekatan ini dapat dilakukan dengan cara mengukur akibat kerugian atau
keuntungan yang ditimbulkan dari suatu tindakan dalam proses persaingan tanpa perlu melihat Sebagaimana analisis ini yang menggunakan Perse Illegal, Test
Quick Look lebih melihat pada sisi hambatan yang sifatnya terlihat sebagai anto persaingan. Dalam hal ini pihak yang diduga melakukan pelanggaran akan
diminta untuk membuktikan bahwa hambatan yang dilakukan tidaklah bersifat anto persaingan, dan bila alasan pembenaran ini diterima, maka kemudian untuk
dilanjutkan dengan analisis yang menggunakan Rule of Reason. Pasal-pasal dalam undang-undang No. 5 Tahun 1999 menggambarkan
bentuk dari pendekatan Perse Illegal ini melalui pasal yang sifatnya imperative dengan interpretasi yang memaksa, sebagai contoh kita dapat melihat Bagian
Kedua, Pasal 5 ayat 1 tentang Penetapan Harga “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu
barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama”. Sebagai kebalikan dari pendekatan Perse Illegal
maka pendekatan Rule of Reason menggunakan alasan-alasan pembenaran apakah
Universitas Sumatera Utara
tindakan yang dilakukan walaupun bersifat anti persaingan tetapi mempunyai alasan pembenaran yang menguntungkan dari pertimbangan sosial, keadilan
ataupun efek yang ditimbukannya serta juga unsur maksud intent. Dalam hal ini para ahli Hukum Persaingan mencoba untuk menganalisis bentuk pendekatan
tersebut dalam berbagai pendekatan dengan tujuan untuk mempermudah menentukan apakah suatu tindakan jelas bersalah atau masih dapat diterima alasan
pembenarannya, misalnya dengan Model Tradisional 6 Sel. Mekanisme tradisional untuk menentukan kasus persaingan untuk melihat terlebih dahulu
hubungan ekonomi antara kedua pihak, misalnya horizontal atau vertical dan juga berdasarkan bentuk pembatasannya, misalnya hambatan dalam bentuk harga, non
harga atau boykot.
81
Bentuk Hambatan Hubungan Para Pihak Harga Non Harga Boykot Bila telah ditetapkan maka baru kemudian ditentukan
peraturannya berdasarkan menurut selnya seperti terdapat dalam matriks ini :
82
Horizontal Perse Illegal
Perse Illegal Perse Illegal
Vertikal Perse Illegal
Rule of Reason Rule of Reason
Tugas utama dalam menentukan model tradisional ini adalah dengan mengklasifikasikan hambatan dalam salah satu sel. Selanjutnya adalah untuk
mengklasifikasikan hambatan diantara ketiganya. Pada awalanya harus dilihat apa tujuan dari hambatan itu, apakah untuk menetapkan harga atau membagi wilayah.
81
Ibid, hal. 107
82
Ibid, hal. 108
Universitas Sumatera Utara
Bila klasifikasi hambatan telah dikategorikan dalam sel, maka standard aturan untuk menentukan tanggung jawab pun diberlakukan: apakah Perse Illegal atau
Rule of Reason. Bagaimanapun, kadang-kadang aturan yang ada belum tentu dapat diberlakukan. Pada umumnya bila faktor ekonomi sedikit dirugikan dan
keuntungannya lebih banyak bagi masyarakat atau hambatanya cukup beralasan, maka Rule of Reason diberlakukan. Dengan kata lain, bila hambatan itu legal,
maka akan dikategorikan sebagai vertikal dan non-harga. Kalau illegal, maka akan lebih sering dikategorikan sebagai horizontal dan berhubungan dengan harga.
Cara lain adalah dengan mengggunakan Rule of Reason Versi Hakim Old White-Brandeis dengan pendekatan konsekwensi yang menyatakan bahwa setiap
hambatan harus mendapat evaluasi untuk setiap pertimbangan yang diberikan dengan melihat keseluruhan biaya sosial yang ditimbulkannya. Dengan melihat
perbandingan biaya dan keuntungan, maka peradilan dapat setidaknya mengukur beralasan atau tidaknya hambatan tersebut. Bila biaya dan keuntungan positif,
maka hambatan itu dianggap beralasan, bila tidak maka dikategrikan sebagai tidak beralasan. Hakim White tersebut memutuskan terdapat 3 pendekatan yang dapat
diterapkan ketika memutuskan apakah suatu tindakan akan digunakan dengan Rule of Reason atau Perse Illegal, yaitu pertama, melihat efek dari tindakan
terhadap proses persaingan, kedua, apakah perjanjian itu benar ada dan ketiga apakah memang telah terjadi hambatan dalam persaingan yang sifatnya nyata.
Pendekatan ini dikatakan sebagai konsekwensi karena terfokus pada pertanyaan dimana peradilan melihat perimbangan hasilnya konsekwensi dari hambatan,
baik atau merugikan.
Universitas Sumatera Utara
Disamping itu dikenal juga penentuan berdasarkan Direct-Indirect Langsung-Tidak Langsung Versi Hakim Peckham dalam kasus United States v.
Trans-Missouri Freight Association Tahun 1897. Hakim Peckham menetapkan standard bahwa bila hambatan itu bersifat mutlak atau langsung berakibat pada
proses persaingan, maka dinyatakan dengan Perse Illegal. Bila sifatnya tambahan atau tidak langsung karena dipergunakan untuk kerjasama atau transaksi yang
melibatkan para pihak, maka harus dinyatakan legal walaupun hambatannya bersifat tambahan ancillary. Hakim Peckham menciptakan dikotomi yang tegas
dan untuk menghindarkan akibat dari versi pendekatan ini, maka hanya dibutuhkan bahwa hambatan itu hanya bersifat tambahan dalam kerjasama dan
transaksi. Dalam analisisnya Hakim Peckham sangat terfokus pada pendekatan Perse Illegal saja dan tidak melihat peluang adanya Rule of Reason.
Disamping itu dikenal juga pendekatan Rule of Reason versi Hakim Taft dimana hakim Taft menyarankan pendekatan Hakim Peckham tetapi dengan
menegaskan bahwa hambatan yang bersifat tambahan ancillary harus tetap dievaluasi.
83
83
Ibid, hal. 110, Dalam hal ini Hakim Taft juga memberikan pemikiran yang rasional mengenai penerapan hambatan tambahan ancillary restraint, yaitu bahwa seluruh hambatan
dalam persaingan dinyatakan melanggar hukum kecuali: 1 hambatan yang sifatnya tambahan terhadap perjanjian utama, misalnya perjanjian tidak akan bersaing dengan pembeli atau partner,
pekerja untuk tidak bersaing dengan perusahaannya, 2 hambatan itu sifatnya suatu keharusan demi untuk melindungi kepentingan esensi usaha dari kontrak yang diperjanjikan dan 3 sifat
hambatan tidak melebihi dari apa yang sepatutnya dibutuhkan untuk mengatur perjanjian bisnis tersebut.
Keduanya sama-sama setuju bahwa hambatan mutlak dan langsung akan diberlakukan pendekatan Perse Illegal. Pendekatan Hakim Taft adalah
dengan mempertanyakan apakah setiap hambatan memiliki hambatan terhadap fungsinya. Bila ya, maka peradilan harus menggunakan evaluasi penuh untuk Rule
Universitas Sumatera Utara
of Reason untuk menentukan apakah hambatan itu memang benar dan bila ya, kemudin ditentukan apakah hambatan tersebut beralasan atau tidak. Bila
hambatan tambahan tidak memenuhi syarat maka ketimbang menggunakan evaluasi Rule of Reason, maka dipergunakan pendekatan Perse Illegal. Hakim
Taft menggunakan pendekatan keduanya sekaligus tanpa membedakan formatnya yang vertikal, horizontal, harga atau non-harga atau boykot. Dibutuhkan hanya
analisis mengenai fungsi dan evaluasi kemudian dimulai dari titik itu. Pendekatan yang lain adalah penentuan berdasarkan analisis Presumptive
Kemungkinan. Analisis ini berasal dari melihat deskripsi fakta berdasarkan a fungsi ekonomi dari hambatan, b keberadaan hambatan yang sifatnya “internal”
atau “eksternal”, c kedudukan para pihak yang relatif independen, dependen yang berhubungan dengan subjek hambatan dan d bila memang sifatnya mutlak,
apakah ada kekecualian yang diijinkan oleh Undang-undang. Dengan melihat pendekatan ini dan mencermati bagaimana peradilan di
negara yang telah memiliki Undang-Undang Hukum Persaingan telah ada lebih dulu, maka sampai saat ini dapat dikatakan bahwa perdebatan mengenai standar
“reasonableness” ataupun akibat sosial atau akibat yang ditimbulkan terhadap proses persaingan masih berlangsung. Dalam substansi Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 umumnya mayoritas juga menggunakan pendekatan Rule of Reason. Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999 maka substansi pasal-pasalnya yang
menggunakan pendekatan Rule of Reason tergambar dalam konteks kalimat yang membuka alternative interpretasi bahwa tindakan tersebut harus dibuktikan dulu
Universitas Sumatera Utara
akibatnya secara keseluruhan dengan memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam Undang-undang apakah menciptakan praktik monopoli ataupun praktik
persaingan tidak sehat. Sebagai contoh dari interprestasi pasal yang menggambarkan Rule of Reason adalah dalam kalimat yang membuka peluang
analisis dengan melihat akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan sebelum dinyatakan melanggar undang-undang. Lihat pasal 1 ayat 2 “……. Sehingga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum”. Pasal 4 “……… yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 7, 2, 22 dan 23 “……. yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 8 “…… sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 9 “….. sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat”. Pasal 11, 12, 13, 16, 17, 19 “……. yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 14, “…… yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan masyarakat”. Pasal 18, 20, 26 “…… yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 28 ayat 1 dan 2 “…… yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha
tidak sehat” Pasal 10 ayat 2 “….. sehingga perbuatan tersebut: a merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain atau.”
Oleh sebab itu harus dipersiapkan bahwa kelak KPPU akan menghadapi berbagai kemungkinan dalam upaya menegakkan Undang-undang No. 5 Tahun
1999 karena berbagai proviso atau klausula undang-undang yang sifatnya sangat
Universitas Sumatera Utara
terbuka dalam menentukan apakah suatu tindakan dinyatakan salah atau tidak. Dapat dikatakan bahwa mayoritas dari substansi Undang-undang No. 5 Tahun
1999 lebih condong kepada prinsip “Rule of Reason”. Dengan demikian adanya suatu standardisasi pendekatan dengan melihat pada pengalaman peradilan di
negara lain sebelumnya, patut dipertimbangkan sebagai wacana. Misalnya faktor yang melihat akibat tindakan tersebut secara keseluruhan bagi proses persaingan,
akibat sosial yang ditimbulkan, tujuan dari tindakan dan berbagai faktor lainnya. Disamping itu UU No. 5 Tahun 1999 juga yang merupakan derivasi nilai dari
UUD yang memberikan tempat dan proteksi khusus kepada UKM ataupun koperasi dalam sistem perkenomian Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
BAB III POSISI DOMINAN YANG BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 A. Pasar Persaingan Sempurna dan Pasar Tidak Sempurna dalam Ekonomi
Undang-undang antimonopoli dapat dan harus membantu dalam mewujudkan struktur ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945.
Dalam penjelasan Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan bahwa ”Ekonomi diatur oleh kerjasama berdasarkan prinsip gotong royong”, termuat
pikiran demokrasi ekonomi, yang dimaksudkan ke dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1999. Demokrasi ciri khasnya diwujudkan oleh semua anggota masyarakat untuk
kepentingan seluruh masyarakat, dan harus mengabdi kepada kesejahteraan seluruh rakyat. Pikiran pokok tersebut termuat dalam pasal 2, yang dikaitkan
dengan Huruf a dan Huruf b dari pembukaannya, yang berbicara tentang pembangunan ekonomi menuju kesejahteraan rakyat sesuai dengan UUD dan
demokrasi ekonomi. Disetujui secara umum bahwa negara harus menciptakan peraturan persaingan usaha untuk dapat mencapai tujuan demokrasi ekonomi.
Oleh karena terdapat tiga sistem yang bertentangan dengan tujuan tersebut, yaitu : 1.
”liberalisme perjuangan bebas”, yang pada masa lalu telah melemahkan kedudukan Indonesia dalam ekonomi internasional;
2. sistem penganggaran belanja yang menghambat kemajuan dan
perkembangan ekonomi
Universitas Sumatera Utara