Eksistensi Low Cost Carrier Ditinjau Dari Hukum Persaingan Usaha

(1)

EKSISTENSI LOW COST CARRIER DITINJAU DARI

HUKUM PERSAINGAN USAHA

TESIS

OLEH:

FRITZ PARTOGI P. HUTAPEA

087005005 / ILMU HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

EKSISTENSI LOW COST CARRIER DITINJAU DARI

HUKUM PERSAINGAN USAHA

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

FRITZ PARTOGI P. HUTAPEA

087005005 / ILMU HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

NAMA : FRITZ PARTOGI P. HUTAPEA

NIM : 087005005

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

JUDUL TESIS : EKSISTENSI LOW COST CARRIER DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA

MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, SH, MLI Ketua

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum


(4)

Telah diuji pada

Tanggal,

PANITIA PENGUJI

Ketua

: Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, SH, MLI

Anggota

: 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

2.

Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

3.

Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

4.

Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS


(5)

ABSTRAK

Dalam industri penerbangan nasional saat ini, terdapat beberapa perusahaan yang menerapkan pola penerbangan berbiaya murah yang disebut dengan Low Cost

Carrier. Kondisi tersebut mengakibatkan persoalan hukum karena melanggar Pasal

20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dimana perusahaan penerbangan tertentu telah melakukan penjualan tiket penumpang udara di bawah harga pokok dan diduga sebagai pelaku untuk mematikan pesaing. Jika diteliti dari sudut pandang penumpang/konsumen bahwa, dengan adanya harga jual yang lebih rendah tentunya akan sangat menguntungkan dan tidak peduli dengan persaingan di antara perusahaan penerbangan. Hal ini terjadi mengingat kondisi perekonomian di Indonesia saat ini yang masih belum pulih, sehingga terjadi perubahan pada pola konsumtif yang semakin sensitif terhadap perubahan harga suatu produk dan tidak lagi menjadi konsumen yang fanatik terhadap suatu produk tertentu.

Permasalahan di dalam penulisan ini adalah bagaimanakah persaingan dunia penerbangan pada Low Cost Carrier ditinjau dari hukum persaingan usaha? dan bagaimanakah penegakan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan Low Cost

Carrier dalam industri penerbangan?

Penulisan ini menggunakan metode penulisan hukum normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai bahan hukum primer digunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Nasional, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Kesimpulan dari penulisan ini menunjukkan bahwa, Pertama, perusahaan penerbangan tertentu yang menjual harga tiket di bawah harga referensi, dan telah diaudit oleh Tim Departemen Perhubungan Udara kemudian laporannya diberikan kepada KPPU, maka KPPU tidak secara otomatis dapat menerapkan Pasal 20 UU Persaingan Usaha kepada maskapai penerbangan tersebut. Karena ketentuan Pasal 20 UU Persaingan Usaha tersebut tidak bisa diberlakukan mengenai Per Se Illegal dan

Rule of Reason, melainkan KPPU harus dapat membuktikan terlebih dahulu sejauh

mana penjualan harga tiket tersebut dilakukan secara sistematis dalam waktu yang cukup lama, eksistensi perusahaan penerbangan di pangsa pasar yang kuat, kemampuan keuangan yang kuat, sehingga dapat mematikan pelaku usaha lain atau menyingkirkan pesaingnya dari pasar yang bersangkutan dan menimbulkan barrier to

entry. Kedua, penegakan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan Low Cost Carrier dalam industri penerbangan, bukan disebabkan predatory pricing yang

bertujuan mematikan perusahaan penerbangan pesaing. Karena hal ini dianggap sebagai konsekuensi masuknya pelaku usaha baru di bisnis penerbangan dan adanya persaingan yang menguntungkan konsumen. Sehingga yang terjadi adalah persaingan dalam merebut konsumen, yang merupakan hal yang sah dalam mekanisme pasar.


(6)

Untuk itu, Departemen Perhubungan tidak perlu menetapkan tarif batas atas dan batas bawah, ataupun tarif referensi seiring semakin kompetitifnya tarif angkutan udara saat ini, karena tarif tersebut terbentuk melalui mekanisme pasar yang wajar. Penetapan tarif referensi dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 36 Tahun 2005 dalam hal ini tidak melanggar UU Persaingan Usaha hal tersebut didasarkan pada Pasal 5 Ayat (2b). Namun, demikian penetapan tarif referensi tidak sejalan dengan tujuan Hukum Persaingan Usaha dan tujuan dibentuknya UU Persaingan Usaha yaitu untuk melindungi proses persaingan. Karena itu, pemberlakuan tarif referensi bukanlah solusi.

Saran dalam penulisan ini adalah pertama, baik KPPU maupun Departemen Perhubungan diharapkan agar semakin meningkatkan fungsi pengawasannya terhadap persaingan usaha industri penerbangan domestik, dimana KPPU mengawasi dalam hal persaingan usaha karena suatu saat dimungkinkan untuk terjadinya

predatory pricing ataupun praktek persaingan usaha tidak sehat lainnya dan

Departemen Perhubungan hendaknya mengawasi ketaatan perusahaan penerbangan terhadap peraturan-peraturan mengenai keamanan dan keselamatan penerbangan serta memperketat pemberian Surat Izin Usaha Penerbangan, Air Operator Certificate dan izin terbang. Kedua, tarif penerbangan domestik sebaiknya diserahkan kembali kepada mekanisme pasar karena penetapan tarif referensi tidak akan langsung menjamin persaingan antar perusahaan penerbangan.

Kata Kunci: Low Cost Carrier atau LCC, Industri Pesawat Terbang, Perusahaan Penerbangan, Maskapai Penerbangan, UU Persaingan Usaha, Pelaku Usaha, Pesaing, Monopoli, Per Se Illegal, Predatory Pricing, dan Rule of Reason.


(7)

ABSTRACT

In the current national airline industry, there are several airline companies which apply the Low Cost Carrier system. The application of this system has resulted in a legal problem because it violates Article 20 of the Law No.5/1999 on Monopoly Practice Prohibition and Unhealthy Business Competition. In this case, a certain airline company has sold an airline ticket under the standard price and it is assumed to have intention to kill its competitors. Seen from the consumers point of view, the lower selling ticket price is surely beneficial and they do not care about the competition among the airline companies. This occurs because the current economic condition in Indonesia is still not recovered that it makes the consumers change their consumptive pattern which becomes more sensitive to a change of the price of a product and the consumers are no longer fanatic toward a specific product.

The research questions to be answered in this study were how business competition in airline companies applying the Low Cost Carrier system is looked at from the law of business competition point of view and how the law of business competition is imposed in the implementation of Low Cost Carrier system in the airline industry.

This study employed a normative legal research method with qualitative approach which refers to the legal values and norms stated in the regulation of legislation. The primary legal materials for this study were Law No.5/1999 on Monopoly Practice Prohibition an Unhealthy Business Competition, Law No.8/1999 on National Consumer Protection, and Law No.1/2009 on Aviation.

The result of this study showed that, first, a certain airline company which sold an airline ticket under the referential price had been audited by the team of Air Transportation Department (Departemen Perhubungan Udara) then the report was submitted to the KPPU, yet the KPPU could not automatically applied Article 20 of Law on Business Competition cannot be imposed on Per Se Illegal and Rule of Reason, hence, KPPU must first be able to prove to what extent the selling of the airline tickets under the referential price has been systematically done in an adequate length of time, the strong existence of the airline company in the market, its strong financial capability, which can kill the other business practitioners or push its competitors out of the market and cause barrier to entry. Second, the reinforcement of law on business competition to the implementation of the Low Cost Carrier system in the airline industry is not caused by predatory pricing intended to kill the other competing airline companies because it is regarded as the consequence of the involvement of new companies in the airline business and this competition benefits the consumers. In fact, what happened is the competition to win the hearts of consumers which is legal in the market mechanism. For this reason, Department of Transportation (Departemen Perhubungan) does not need to establish ceiling, base, or


(8)

referential tariff in line with the current competitiveness of air transportation tariff because the tariff is formed through a natural market mechanism. The establishment of referential tariff in the Decree of Minister of Transportation No. KM.36/2005, in this case, does not violate Law on Business Competition based on Article 5 (2b). Yet, the establishment of referential tariff is not in line with the objectives of Law on Business Competition which is to protect the process of competition. Therefore, the implementation of referential tariff is not a solution.

KPPU or the Department of Transportation (Departemen Perhubungan) is suggested, First, to keep monitoring and controlling the practice of business competition in the domestic airline industry. KPPU should monitor and control the business competition practice because predatory pricing or the other unhealthy business competition practices may occur, and the Department of Transportation (Departemen Perhubungan) should monitor and control the obedience of airline companies to the regulations concerning flight security and safety and firmly regulate the issuance of the license of Airline Business, Air Operator Certificate and Flying certificate. Second, domestic airline tariff should be returned to the market mechanism because the establishment of referential tariff will not directly guarantee the competition between the airline companies.

Key words: Low Cost Carrier, Airline Company, Business Competition, Predatory Pricing


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat, karunia dan kasihNya yang berkelimpahan sehingga penulis dapat menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, menyelesaikan tugas akhir berupa tesis yang berjudul: ”Eksistensi

Low Cost Carrier Ditinjau Dari Hukum Persaingan Usaha”, dan telah dinyatakan

lulus diseminarkan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini bukanlah semata-mata atas kemampuan diri penulis sendiri, melainkan atas bantuan, dukungan, bimbingan dan saran dari semua pihak yang telah ikut mengambil peran dan partisipasi yang signifikan dalam memberikan kontribusi. Untuk itu pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan, bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

1. Kepada Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada program studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

2. Kepada Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih telah menerima penulis menjadi mahasiswa program studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku dosen yang telah memberikan pengetahuan yang berguna bagi penulis.

3. Kepada Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dosen dan sekaligus sebagai Anggota Komisi Pembimbing, terima kasih atas segala perhatian dan ilmu pengetahuan yang diajarkan selama penulis menjadi mahasiswa, memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, ide, motivasi dan saran serta kritik yang konstruktif untuk memperoleh hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.

4. Terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, S.H, M.LI, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, saran serta kritik yang sangat mendukung dalam penulisan tesis ini, demikian juga kepada Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

5. Kepada Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., dan Bapak Prof. Dr. Tan Kamelo, S.H., M.H., selaku dosen penguji terima kasih atas masukan dan arahan kepada penulis guna kesempurnaan tesis ini. Para Guru Besar dan segenap Civitas


(11)

Akademika Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan membantu didalam perkuliahan hingga dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya, penulis juga mengucapkan terima kasih.

6. Terima kasih kepada kedua orang tua penulis , Papi tercinta St. Prof. (Emer) dr. Hamonangan Hutapea, Sp.OG (K) yang selalu mendoakan, mendorong dan memotivasi untuk terus belajar dan melanjutkan pendidikan, memberikan dukungan moril dan materil, dan kepada Mami tercinta dr. Paulina Sidabutar yang paling baik dan sabar serta tiada henti mendoakan, mencurahkan kasih sayang, nasehat, dan perhatiannya kepada penulis. Terima kasih Tuhan atas limpahan berkat Mu kepada hamba, terima kasih atas orang tua yang sangat bijaksana, penuh kasih dan sayang, yang sungguh dapat dijadikan sebagai teladan, yang Tuhan telah berikan kepada hamba. Bapak mertua saya M. Situmorang dan Ibu Mertua saya M. Marpaung, kakak saya Kel. Luhut Hutagalung, S.E., M.M., / dr. Prima Yosephine B.T. Hutapea, M.K.M., adik saya dr. Manuel Hotasi P Hutapea Sp.OG & kel., abang dan kakak ipar saya Robert Situmorang & kel., Kel. dr. Djuni K.P. Simatupang Sp.T.H.T., / Netty Situmorang, Drs. Ryckson Dayan Situmorang & kel., penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan moral dan spriritual selama ini.

7. Khusus kepada isteri saya tercinta drg. Evelyn Natali Irma Situmorang, penulis mengucapkan terima kasih atas kesetiaan dan kesabaran yang selalu diberikan, mendampingi penulis serta memberikan dukungan dan semangat kepada penulis


(12)

dalam mengikuti Program Studi Ilmu Hukum dan dalam penyelesaian penulisan tesis ini. Demikian juga kepada kedua putra tersayang penulis: Jeremy Gokasi Hasudungan Hutapea dan Jovan Takasi Amadeo Hutapea.

8. Rekan-rekan seangkatan kelas Hukum Ekonomi: Amakhoita Hia, Aswin Tampubolon, Edy Siong, Elfi Haris, Gidion Arif Setyawan, Harianto, Irfan Hakim, Jukiman Situmorang, Mercy Monika, Pirmawan Sitorus, Tambok Nainggolan, Tommy Adhyaksa, Wawan Irawan, yang telah melalui 3 semester perkuliahan bersama-sama sarat dengan kenangan indah, terima kasih atas kebersamaan selama ini dan semoga persahabatan ini abadi selamanya.

9. Kepada seluruh unsur pimpinan PT. Garuda Indonesia (Persero) Kantor Cabang Medan, berawal dari Bapak Yona Mardiona yang telah memberikan izin kepada penulis untuk dapat mengikuti perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, demikian juga pimpinan selanjutnya yaitu: Bapak Muchwendi Harahap beserta Bapak Moch. Yunus, Bapak Anang Widodo, Bapak Hendro Warsito dan seluruh rekan kerja , terima kasih atas dukungan, motivasi dan pengertian yang baik selama penulis mengikuti perkuliahan, melakukan penulisan, sampai dengan berakhirnya penulisan tesis ini. 10.Kepada seluruh staf sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara: Fika, Juli, Fitri, Bu Niar, Bu Ganti, Udin, Hendra, dan Herman terima kasih atas pelayanan dengan senyum dan keikhlasan, tanpa kenal lelah selama penulis kuliah, demikian juga semua pihak yang


(13)

Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, namun harapan penulis kiranya tesis ini dapat menjadi setitik air dalam samudera ilmu pengetahuan, menjadi sesuatu yang bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembacanya. Akhir kata, mohon maaf atas segala kelemahan yang ada dalam penulisan ini, penulis mengharapkan saran dan kritikan yang membangun untuk penulisan selanjutnya.

Medan, Februari 2010

Penulis,


(14)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : FRITZ PARTOGI P. HUTAPEA

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 05 November 1969

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Perumahan Bumi Asri Blok G-231

Jl. Asrama, Helvetia Medan

Pekerjaan : Pegawai BUMN: PT. Garuda Indonesia (Persero)

Kantor Cabang Medan

Pendidikan Formal : - Sekolah Dasar: SD Kristen Immanuel I Medan (Lulus Tahun 1981);

- Sekolah Menengah Pertama: SMP Kristen

Immanuel Medan (Lulus Tahun 1984);

- Sekolah Menengah Atas: SMA Negeri I Medan (Lulus Tahun 1987);

- S-1: Fakultas Ekonomi Universitas Medan Area/ UMA Medan (Lulus Tahun 1995);

- S-2: Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan (Lulus Tahun 2010).


(15)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR ISTILAH ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Penulisan... 3

D. Manfaat Penulisan... 3

E. Keaslian Penulisan ... 4

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional... 4

1. Kerangka Teori... 4

2. Landasan Konsepsional... 5

G. Metode Penulisan ... 6

1. Jenis dan Sifat Penulisan... 6

2. Sumber Data... 7

3. Teknik Pengumpulan Data... 8

4. Analisis Data ... 9

BAB II : TINJAUAN TENTANG LOW COST CARRIER DAN EKSISTENSINYA DALAM DUNIA PENERBANGAN ... 10

A. Penerapan Low Cost Carrier Bagi Industri Penerbangan ... 10

B. Maskapai Penerbangan Murah dan Terbesar di Eropa dan Dunia. 11 C. Pengabaian PP No. 3 Tahun 2001 Berdampak pada Low Cost Carrier Dan Eksistensi Maskapai Penerbangan Indonesia... 11

1. Dampak Pengabaian Regulasi Keamanan dan Keselamatan Penerbangan ... 11

2. Low Cost Carrier dan Dampaknya Terhadap Keamanan dan Keselamatan Penerbangan ... 13


(16)

D. Eksistensi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat .. 14

BAB III : PERSAINGAN DALAM DUNIA PENERBANGAN PADA LOW COST CARRIER DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA... 16

A. Larangan Jual Rugi (Predatory Pricing) Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ... 16

1. Konsep Predatory Pricing ... 16

2. Per Se Illegal dan Rule of Reason... 17

3. Pembuktian Predatory Pricing ... 18

B. Efisiensi Dalam Perusahaan Jasa Penerbangan Domestik ... 19

1. Efisiensi Teknis Produksi... 20

2. Efisiensi Alokatif ... 21

C. Dampak Negatif Dalam Industri Jasa Penerbangan... 21

1. Mematikan Pesaing ... 21

2. Adanya Barrier to Entry ... 22

3. Kecelakaan Pesawat ... 22

D. Hubungan Antara Jual Rugi (Predatory Pricing) Dengan Efisiensi... 23

BAB IV : PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP PELAKSANAAN LOW COST CARRIER DALAM INDUSTRI PENERBANGAN... 25

A. Pengaturan Harga Tiket oleh Departemen Perhubungan ... 25

B. Tugas dan Wewenang KPPU ... 26

C. Keberatan KPPU atas Pengaturan Harga Tiket... 27

1. Keberatan atas Kewenangan Departemen Perhubungan... 28

2. Keberatan di Dalam Hukum Persaingan Usaha ... 29

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

A. Kesimpulan ... 30

B. Saran... 31


(17)

DAFTAR ISTILAH

NO DESKRIPSI ARTI

1 Affordability Menghasilkan

2 Akuisisi Pengambil-alihan perusahaan oleh

perusahaan lain melalui pembelian saham 3 Alternatif Pilihan (antara dua hal), alternatip, jalan lain 4 Availability Adanya, tersedianya, terdapatnya

5 Average cost Biaya rata-rata

6 Bandara Lapangan terbang

7 Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

8 Batavia Air (7P) Batavia Air memiliki kode penerbangan 7P 9 Business Class Kelas bisnis

10 Cabin crew Awak kabin

11 Check-in

Prosedur formal yang diberlakukan oleh perusahaan penerbangan dalam mendaftar penumpang untuk berangkat dalam satu penerbangan

12 Competition policy Kebijakan persaingan 13 Consumer behaviour Perilaku konsumen

14 Doctrinal research Penulisan doktrinal / berkenaan dengan

doktrin atau asas 15 Economy Class Kelas ekonomi

16 Event Acara, peristiwa, kejadian, hasil, perlombaan 17 Flexibilitas Kelenturan, keluwesan

18 Free seating Duduk bebas, tidak ada penentuan tempat

duduk

19 Full service carrier Alat pengangkut dengan jasa layanan

lengkap

20 Garuda Indonesia (GA) Garuda Indonesia memiliki kode penerbangan GA

21 Globalisasi Globalisasi

22 Golden route Rute emas

23 Variable cost Biaya variabel, biaya tidak tetap 24 Indonesia Air Asia (QZ) Indonesia Air Asia memiliki kode

penerbangan QZ

25 Inflight entertainment Hiburan / pertunjukan selama dalam

penerbangan

26 Inflight service Pelayanan selama dalam penerbangan 27 International Air Transport


(18)

28 Investor Penanam modal

29 Irrasional Tidak rasional, tidak masuk akal, tidak logis

30 Joint venture Patungan, usaha patungan

31 Kategori Kelompok, golongan, jenis

32 Kompetitif Yang bersaing

33 Kualitas Mutu, kecakapan, macam, jenis

34 Lion Air (JT) Lion Air memiliki kode penerbangan JT

35 Load factor Faktor muatan / isian, tingkat isian 36 Low Cost Carrier Alat pengangkut bertarif rendah

37 Low season Saat dimana tingkat permintaan / demand

atas suatu barang / jasa sedikit

38 Mandala (RI) Mandala Airline memiliki kode penerbangan

RI

39 Market behaviour Perilaku pasar 40 Market share Penguasaan pasar

41 Maskapai Perusahaan / company / enterprise,

perusahaan penerbangan

42 Monopoli Hak menguasai

43 Predatory price

Penerapan harga temporari yang jauh dibawah harga pasar dengan maksud untuk membunuh atau mematikan pesaing

44 Reasonable Bijaksana, adil, logis, masuk akal 45 Rule of reason Alasan aturan

46 Rute Jalan / trayek yang dilalui

47 Stakeholders

Perorangan / group / organisasi / seluruh unit yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan suatu organisasi atau

perusahaan karena dapat menerima dampak dari aksi / tujuan / kebijakan yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan tersebut 48 Minimize reservasition Persediaan dikurangi/pengurangan

persediaan 49 Total cost Biaya total

50 Ground handling Berada di tanah atau pesawat sedang

berhenti di darat.


(19)

ABSTRAK

Dalam industri penerbangan nasional saat ini, terdapat beberapa perusahaan yang menerapkan pola penerbangan berbiaya murah yang disebut dengan Low Cost

Carrier. Kondisi tersebut mengakibatkan persoalan hukum karena melanggar Pasal

20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dimana perusahaan penerbangan tertentu telah melakukan penjualan tiket penumpang udara di bawah harga pokok dan diduga sebagai pelaku untuk mematikan pesaing. Jika diteliti dari sudut pandang penumpang/konsumen bahwa, dengan adanya harga jual yang lebih rendah tentunya akan sangat menguntungkan dan tidak peduli dengan persaingan di antara perusahaan penerbangan. Hal ini terjadi mengingat kondisi perekonomian di Indonesia saat ini yang masih belum pulih, sehingga terjadi perubahan pada pola konsumtif yang semakin sensitif terhadap perubahan harga suatu produk dan tidak lagi menjadi konsumen yang fanatik terhadap suatu produk tertentu.

Permasalahan di dalam penulisan ini adalah bagaimanakah persaingan dunia penerbangan pada Low Cost Carrier ditinjau dari hukum persaingan usaha? dan bagaimanakah penegakan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan Low Cost

Carrier dalam industri penerbangan?

Penulisan ini menggunakan metode penulisan hukum normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai bahan hukum primer digunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Nasional, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Kesimpulan dari penulisan ini menunjukkan bahwa, Pertama, perusahaan penerbangan tertentu yang menjual harga tiket di bawah harga referensi, dan telah diaudit oleh Tim Departemen Perhubungan Udara kemudian laporannya diberikan kepada KPPU, maka KPPU tidak secara otomatis dapat menerapkan Pasal 20 UU Persaingan Usaha kepada maskapai penerbangan tersebut. Karena ketentuan Pasal 20 UU Persaingan Usaha tersebut tidak bisa diberlakukan mengenai Per Se Illegal dan

Rule of Reason, melainkan KPPU harus dapat membuktikan terlebih dahulu sejauh

mana penjualan harga tiket tersebut dilakukan secara sistematis dalam waktu yang cukup lama, eksistensi perusahaan penerbangan di pangsa pasar yang kuat, kemampuan keuangan yang kuat, sehingga dapat mematikan pelaku usaha lain atau menyingkirkan pesaingnya dari pasar yang bersangkutan dan menimbulkan barrier to

entry. Kedua, penegakan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan Low Cost Carrier dalam industri penerbangan, bukan disebabkan predatory pricing yang

bertujuan mematikan perusahaan penerbangan pesaing. Karena hal ini dianggap sebagai konsekuensi masuknya pelaku usaha baru di bisnis penerbangan dan adanya persaingan yang menguntungkan konsumen. Sehingga yang terjadi adalah persaingan dalam merebut konsumen, yang merupakan hal yang sah dalam mekanisme pasar.


(20)

Untuk itu, Departemen Perhubungan tidak perlu menetapkan tarif batas atas dan batas bawah, ataupun tarif referensi seiring semakin kompetitifnya tarif angkutan udara saat ini, karena tarif tersebut terbentuk melalui mekanisme pasar yang wajar. Penetapan tarif referensi dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 36 Tahun 2005 dalam hal ini tidak melanggar UU Persaingan Usaha hal tersebut didasarkan pada Pasal 5 Ayat (2b). Namun, demikian penetapan tarif referensi tidak sejalan dengan tujuan Hukum Persaingan Usaha dan tujuan dibentuknya UU Persaingan Usaha yaitu untuk melindungi proses persaingan. Karena itu, pemberlakuan tarif referensi bukanlah solusi.

Saran dalam penulisan ini adalah pertama, baik KPPU maupun Departemen Perhubungan diharapkan agar semakin meningkatkan fungsi pengawasannya terhadap persaingan usaha industri penerbangan domestik, dimana KPPU mengawasi dalam hal persaingan usaha karena suatu saat dimungkinkan untuk terjadinya

predatory pricing ataupun praktek persaingan usaha tidak sehat lainnya dan

Departemen Perhubungan hendaknya mengawasi ketaatan perusahaan penerbangan terhadap peraturan-peraturan mengenai keamanan dan keselamatan penerbangan serta memperketat pemberian Surat Izin Usaha Penerbangan, Air Operator Certificate dan izin terbang. Kedua, tarif penerbangan domestik sebaiknya diserahkan kembali kepada mekanisme pasar karena penetapan tarif referensi tidak akan langsung menjamin persaingan antar perusahaan penerbangan.

Kata Kunci: Low Cost Carrier atau LCC, Industri Pesawat Terbang, Perusahaan Penerbangan, Maskapai Penerbangan, UU Persaingan Usaha, Pelaku Usaha, Pesaing, Monopoli, Per Se Illegal, Predatory Pricing, dan Rule of Reason.


(21)

ABSTRACT

In the current national airline industry, there are several airline companies which apply the Low Cost Carrier system. The application of this system has resulted in a legal problem because it violates Article 20 of the Law No.5/1999 on Monopoly Practice Prohibition and Unhealthy Business Competition. In this case, a certain airline company has sold an airline ticket under the standard price and it is assumed to have intention to kill its competitors. Seen from the consumers point of view, the lower selling ticket price is surely beneficial and they do not care about the competition among the airline companies. This occurs because the current economic condition in Indonesia is still not recovered that it makes the consumers change their consumptive pattern which becomes more sensitive to a change of the price of a product and the consumers are no longer fanatic toward a specific product.

The research questions to be answered in this study were how business competition in airline companies applying the Low Cost Carrier system is looked at from the law of business competition point of view and how the law of business competition is imposed in the implementation of Low Cost Carrier system in the airline industry.

This study employed a normative legal research method with qualitative approach which refers to the legal values and norms stated in the regulation of legislation. The primary legal materials for this study were Law No.5/1999 on Monopoly Practice Prohibition an Unhealthy Business Competition, Law No.8/1999 on National Consumer Protection, and Law No.1/2009 on Aviation.

The result of this study showed that, first, a certain airline company which sold an airline ticket under the referential price had been audited by the team of Air Transportation Department (Departemen Perhubungan Udara) then the report was submitted to the KPPU, yet the KPPU could not automatically applied Article 20 of Law on Business Competition cannot be imposed on Per Se Illegal and Rule of Reason, hence, KPPU must first be able to prove to what extent the selling of the airline tickets under the referential price has been systematically done in an adequate length of time, the strong existence of the airline company in the market, its strong financial capability, which can kill the other business practitioners or push its competitors out of the market and cause barrier to entry. Second, the reinforcement of law on business competition to the implementation of the Low Cost Carrier system in the airline industry is not caused by predatory pricing intended to kill the other competing airline companies because it is regarded as the consequence of the involvement of new companies in the airline business and this competition benefits the consumers. In fact, what happened is the competition to win the hearts of consumers which is legal in the market mechanism. For this reason, Department of Transportation (Departemen Perhubungan) does not need to establish ceiling, base, or


(22)

referential tariff in line with the current competitiveness of air transportation tariff because the tariff is formed through a natural market mechanism. The establishment of referential tariff in the Decree of Minister of Transportation No. KM.36/2005, in this case, does not violate Law on Business Competition based on Article 5 (2b). Yet, the establishment of referential tariff is not in line with the objectives of Law on Business Competition which is to protect the process of competition. Therefore, the implementation of referential tariff is not a solution.

KPPU or the Department of Transportation (Departemen Perhubungan) is suggested, First, to keep monitoring and controlling the practice of business competition in the domestic airline industry. KPPU should monitor and control the business competition practice because predatory pricing or the other unhealthy business competition practices may occur, and the Department of Transportation (Departemen Perhubungan) should monitor and control the obedience of airline companies to the regulations concerning flight security and safety and firmly regulate the issuance of the license of Airline Business, Air Operator Certificate and Flying certificate. Second, domestic airline tariff should be returned to the market mechanism because the establishment of referential tariff will not directly guarantee the competition between the airline companies.

Key words: Low Cost Carrier, Airline Company, Business Competition, Predatory Pricing


(23)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Industri jasa penerbangan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dari tahun ke tahun, sebagaimana yang juga dialami dibeberapa belahan dunia lainnya, yang lebih disebabkan oleh lahirnya konsep baru di dunia penerbangan yaitu “Low Cost Carrier”. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan merupakan salah satu tonggak deregulasi bisnis penerbangan di Indonesia. Dengan adanya undang-undang ini, maka jumlah perusahaan jasa penerbangan meningkat tajam. Sebelum adanya undang-undang ini perusahaan jasa penerbangan di Indonesia hanya beberapa perusahaan, khususnya yang tergabung dalam International Air Transport Association (IATA).

Banyaknya pemain dalam industri jasa penerbangan ini antara lain disebabkan karena relatif tingginya potensi keuntungan yang dapat diraih. Sebagaimana diketahui dalam jangka pendek, meskipun pada kondisi merugi, keuntungan dari penjualan tiket pesawat masih mampu untuk membayar variable cost.1 Apalagi dalam kondisi perusahaan memperoleh untung, kondisi harga tiket masih lebih tinggi dari average

cost2, keuntungan yang diperoleh perusahaan jasa penerbangan akan berada di atas

1

EC. Winardi, Kamus Ekonomi Inggris-Indonesia, (Bandung: Alumni, 1974), hal. 304, Variable Cost adalah pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan sebuah perusahaan atau industri, yang berubah dengan jumlah benda-benda yang dihasilkan. Contoh: biaya-biaya untuk bahan mentah dan tenaga kerja.

2

Average Cost-biaya rata-rata adalah biaya total yang dibagi dengan jumlah unit yang dihasilkan. Kurva biaya rata-rata biasanya berbentuk huruf U. Jumlah biaya sebuah perusahaan, yang


(24)

keuntungan normal. Kondisi ini merupakan daya tarik bagi investor atau pelaku usaha untuk masuk dalam bisnis jasa penerbangan.

Dengan semakin banyaknya pemain dalam industri penerbangan ini maka tingkat persaingan antar operator transportasi udara menjadi semakin tinggi, akibatnya industri jasa penerbangan harus melakukan penyesuaian harga jual tiketnya.3 Kondisi ini memaksa perusahaan jasa penerbangan harus melakukan upaya-upaya untuk efisiensi biaya setinggi mungkin dan melakukan langkah-langkah inovatif dalam hal strategi bisnis agar perusahaan tidak mengalami kerugian terus-menerus dan dapat menghadapi kompetisi.

Dengan adanya persaingan antar pelaku usaha, sebenarnya konsumen merupakan pihak yang paling diuntungkan, yaitu berupa penawaran harga yang lebih murah dan semakin banyaknya alternatif pilihan barang atau jasa yang ditawarkan. Alternatif pilihan ini memberikan kesempatan kepada konsumen untuk dapat memilih barang atau jasa sejenis yang mempunyai kualitas lebih baik namun memiliki harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.

Pelaku usaha, baik produsen maupun distributor harus dapat melakukan efisiensi untuk dapat menekan biaya produksi atau distribusi, tentunya dengan tanpa mengurangi kualitas dari produk yang ditawarkannya, sehingga pada akhirnya pelaku usaha tersebut dapat menawarkan produk dengan harga yang lebih kompetitif tanpa mengurangi kualitasnya.

tidak berubah dengan bertambahnya produksi (sampai titik tertentu), dibagi dengan jumlah kesatuan yang dihasilkan pada titik yang sedang dipersoalkan, Ibid. hal. 21.

3


(25)

Dalam melihat sejauhmana pengaruh competition policy terhadap perlindungan konsumen di Indonesia, maka perlu dilihat faktor-faktor apa saja yang pada dasarnya berpengaruh terhadap tingkah laku konsumen (consumer behaviour), yaitu:4

1. Utility maximisation;

2. Stable preferences; dan

3. Optimal information.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa industri jasa penerbangan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang demikian pesatnya, kondisi tersebut secara langsung sangat berpengaruh terhadap struktur pasar yang ada. Dari data yang ada pada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan Republik Indonesia, tercatat bahwa pada tahun 2004 jumlah perusahaan penerbangan niaga tidak berjadwal sebanyak 26 perusahaan.

Pertumbuhan penumpang angkutan udara dalam negeri sudah terjadi beberapa kali lipat, dimana terjadi lonjakan konsumen yang memilih tarnsportasi udara ini karena adanya tiket pesawat murah. Tetapi peluang tersebut tumbuh menjadi suatu kekhawatiran karena diindikasikan adanya persaingan usaha tidak sehat dalam

4

Phil Evans, The Consumer Guide to Competition; A Practical Handbook, (Consumers International), hal. 25, diterjemahkan Mardiharto Tjokrowasito., (Staf Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bappenas), “Kebijakan Persaingan Pada Industri Jasa Penerbangan Dilihat Dari Perspektif Perlindungan Konsumen”, hal. 3. lihat juga, A.M. Tri Anggraini (I), “Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal Dalam Hukum Persaingan”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 24, No. 2. Tahun 2005, hal. 6.


(26)

industri penerbangan nasional.5 Persaingan usaha tidak sehat yang terjadi pada maskapai penerbangan nasional saat ini dapat berujung pada faktor keselamatan penerbangan. Penyebab utamanya adalah terlalu banyaknya maskapai penerbangan berjadwal, dalam data Departemen Perhubungan terdapat 34 maskapai penerbangan berjadwal di Indonesia. Banyaknya maskapai penerbangan ini berkaitan dengan dibukanya keran izin usaha penerbangan sejak akhir tahun 1990.6 Dimana maskapai penerbangan asing dengan modal kuat masuk ke Indonesia dan ikut berebut konsumen dengan maskapai penerbangan nasional sehingga penerbangan-penerbangan asing yang murah dapat langsung menembus kota-kota medium di Indonesia.7 Tetapi hal ini sebenarnya juga berimplikasi baik pada industri penerbangan karena pelaku usaha baru baru dapat masuk dengan cukup bebas dalam persaingan yang lebih sehat sehingga semakin banyak maskapai penerbangan menawarkan jasa pada penumpang dengan harga dan kualitas yang baik dan kompetitif sehingga penumpang (konsumen) dapat diuntungkan karena lebih leluasa untuk memilih maskapai yang akan ditumpanginya.

Dari 34 jasa perusahaan penerbangan nasional yang ada, terdapat beberapa perusahaan jasa penerbangan yang menawarkan berbagai layanan murah termasuk tiket murah. Perusahaan jasa penerbangan ini menerapkan Low Cost Carrier (selanjutnya disebut LCC). Beberapa perusahaan jasa penerbangan yang menerapkan

5

“Low Cost Air Line Antara Kekhawatiran dan Peluang”, Angkasa, Nomor 8 Tahun XIV, Mei 2004, hal. 12-13.

6

Chappy Hakim, “Mengapa Persaingan Nasional Airlines Tidak Sehat”, Seputar Indonesia, Nomor 267, Tanggal 27 Maret 2006, hal. 9.

7


(27)

LCC ini di antaranya Air Asia, Lion Air, Batavia Air, dan lain-lain. Perusahaan jasa penerbangan yang menerapkan LCC dalam beberapa tahun terakhir, mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dalam hal jumlah penumpang, frekuensi penerbangan, dan rute penerbangan, karena dengan murahnya harga tiket yang disediakan semakin dapat dijangkau konsumen lapisan bawah.

Berkembangnya perusahaan jasa penerbangan yang menerapkan LCC bukannya tanpa kekhawatiran, kekhawatiran yang mucul adalah penerapan bagi perusahaan jasa penerbangan untuk memenangkan persaingan dalam merebut penumpang. Pelaku-pelaku usaha pengangkutan udara tertentu telah melakukan penjualan tiket penumpang udara dalam negeri (domestik) di bawah harga pokok dan diduga sebagai pelaku untuk mematikan pesaing (predatory pricing).8

Predatory pricing itu sendiri adalah mematikan pesaingnya dengan

mengorbankan keuntungan bertujuan untuk mengurangi persaingan dan sesudahnya berusaha untuk mendapatkan keuntungan monopoli dengan menetapkan harga di atas harga pesaingnya (monopoly price) untuk suatu jangka waktu tertentu sesudah pesaing tersingkir dari pasar.9 Predatory pricing dapat juga dilaksanakan dengan tindakan pemotongan harga yang mengakibatkan persaingan terganggu,10 meskipun konsumen diuntungkan manakala pelaku usaha yang menjual produk dengan harga yang lebih rendah kepada konsumen, namun apabila pesaing telah tersingkir dan

8

Setya Yudha Indraswara., “Habis Terang Terbitlah Tarif”, www.kompas.com, diakses terakhir tanggal 27 November 2009.

9

Ningrum Natasya Sirait., “Predatory Pricing Dalam Hukum Persaingan dan Pengaturannya Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 23, No. 1, YPBH, Jakarta, 2004, hal. 72.

10


(28)

pelaku usaha yang tadinya melakukan pemotongan harga justru kini mendongkrak harga, maka konsumen dirugikan karena harus membeli produk dengan harga jauh di atas harga equilibrium. Sehingga pelaku-pelaku usaha tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat11 (selanjutnya dalam penelitian ini disebut UU Persaingan Usaha) terutama Pasal 20 yang merumuskan pengaturan tentang predatory pricing dengan redaksi ”pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan produk dengan cara jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya”.12

Ditengarainya praktek predatory pricing yang dikeluarkan perusahaan jasa penerbangan yang menerapkan LCC ini dilakukan dengan menjual harga tiket penerbangan domestik di bawah biaya produksi yang dikeluarkan sehingga perusahaan jasa penerbangan tersebut mengalami kerugian untuk jangka waktu tertentu tetapi setelah dapat menguasai pasar jasa penerbangan domestik serta tidak memiliki pesaing lagi maka perusahaan jasa penerbangan tersebut menaikkan harga tiket penerbangan secara perlahan-lahan sampai mendapatkan keuntungan yang besar juga bisa digunakan untuk menutupi kerugian pada awal-awal menjual tiket dengan harga murah, kemudian dapat menimbulkan monopoly power sehingga pada

11

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Persaingan Usaha), sebagaimana diumumkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia No. 33 Tahun 1999 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3817.

12


(29)

gilirannya perusahaan jasa penerbangan tersebut dapat mengatur harga tiket penerbangan domestik di Indonesia.

Dari catatan yang dikeluarkan Indonesia National Air Carriers Association (INACA),13 tercatat ada lima maskapai penerbangan nasional yang resmi berhenti beroperasi saat ini yakni Adam Air, Bayu Air, Bouraq Air, Bali Air, dan Star Air.14 Tetapi apakah berhenti beroperasi kelima maskapai penerbangan nasional tersebut diakibatkan karena adanya penerapan LCC pada beberapa perusahaan jasa penerbangan domestik yang lain, hal tersebut harus dapat dibuktikan terlebih dahulu.

Untuk kategori perusahaan penerbangan niaga berjadwal dari tahun 2004 terus mengalami peningkatan sampai dengan tahun 2008, yaitu dari sebanyak 17 perusahaan menjadi sebanyak 22 perusahaan, sebagaimana yang dapat dilihat pada Diagram 1 sebagai berikut:

Diagram 1

Perkembangan Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri15

Data: Statistik Perhubungan Buku I Tahun 2008 Dephub, dan telah diolah kembali

0 5 10 15 20 25 30

2004 2005 2006 2007 2008

Non Komersial Niaga Tidak Berjadwal Niaga Berjadwal

13

http://www.google.co.id/search?hl=id&source=hp&q=INACA&meta=&aq=f&oq=, diakses terakhir tanggal 27 Desember 2009.

14

Gatot Widakdo., “Harus Ada Etika Bisnisnya”, Kompas, Tanggal 18 April 2006, hal. 7.

15

http://www.dephub.go.id/DJU/angud/AIRLINE.htm, diakses terakhir tanggal 16 November 2009.


(30)

Pertumbuhan jumlah perusahaan penerbangan yang menyediakan jasa penerbangan domestik dilihat dari perspektif konsumen, memberikan dampak yang positif. Masyarakat memperoleh keuntungan dengan semakin banyaknya pilihan jasa penerbangan yang menawarkan berbagai kemudahan, seperti pemberian pelayanan yang semakin baik dan harga tiket yang sangat bersaing. Pertanyaan yang paling mendasar selanjutnya adalah apakah kondisi tersebut akan secara otomatis berpengaruh terhadap tingkah laku konsumen (consumer behaviour).

Banyak faktor yang berpengaruh terhadap konsumen untuk memilih salah satu maskapai penerbangan tertentu, misalnya harga murah merupakan satu-satunya alasan konsumen untuk memilih salah satu maskapai penerbangan tertentu, pandangan konsumen terhadap tingkat keamanan dan kenyamanan yang ditawarkan oleh suatu maskapai penerbangan, penawaran pelayanan dalam bentuk fasilitas check

in, ketepatan jadwal, pilihan waktu, dan lain-lain.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun 2003 terhadap rute penerbangan Jakarta-Medan, Jakarta-Surabaya, Jakarta-Yogyakarta dan Jakarta-Solo, alasan yang paling sering dipakai oleh responden untuk memilih salah satu operator angkutan udara adalah harga tiket yang murah. Alasan tersebut sangat masuk akal karena naluri konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk secara alamiah adalah berusaha untuk memaksimalkan keuntungan yang diperolehnya dengan mengeluarkan biaya serendah


(31)

mungkin, hal ini sesuai dengan prinsip utility maximisation.16 Tabel 1 di bawah ini menunjukkan beberapa alasan yang dipakai oleh responden dalam memilih salah satu maskapai penerbangan udara. Survey ini dilakukan terhadap 619 orang responden penumpang pesawat udara di bandara Soekarno Hatta Cengkareng Jakarta, Polonia Medan, Adi Sucipto Yogyakarta, Hang Nadim Batam dan Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru.

Tabel 1

Alasan Pemilihan Maskapai Penerbangan Udara17

Data: YLKI, www.bappenas.go.id, terakhir kali diakses 01 September 2009

No. Alasan Jumlah %

1 Harga murah 168 28.00

2 Pelayanan baik 108 18.00

3 Tepat waktu 42 7.00

4 Keamanan/keselamatan 37 6.17

5 Jadwal/ jaringan banyak 36 6.00

6 Kenyamanan 34 5.67

7 Dipesankan kantor 28 4.67

8 Kebiasaan 19 3.17

9 Kepercayaan/pengalaman 14 2.33

10 Fasilitas 13 2.17

11 Makanannya enak 4 0.67

12 Lainnya 116 19.33

Jumlah Keseluruhan 619 100

16

Prinsip Utility Maximisation adalah prinsip dimana untuk memenuhi suatu kebutuhan diusahakan hanya dengan mengeluarkan biaya serendah mungkin, lihat di www.bappenas.go.id, terakhir kali diakses pada tanggal 01 September 2009).

17

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), ”Kajian Implikasi Kebijakan Kompetisi pada Tarif Transportasi Udara”, lihat di www.bappenas.go.id, terakhir kali diakses pada tanggal 01 September 2009)


(32)

Selanjutnya dari responden tersebut sebanyak 32,8% berpendapat bahwa persaingan harga tiket pesawat terbang seharusnya dibiarkan karena konsumen dapat diuntungkan dari adanya persaingan tersebut.18 Sebanyak 41,3% responden kurang setuju bahwa persaingan harga tiket antar maskapai penerbangan akan merugikan maskapai penerbangan lainnya.19 Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa persaingan antara operator angkutan udara memberikan keuntungan kepada konsumen karena konsumen dapat memperoleh kemudahan dalam memilih operator angkutan udara yang memberikan penawaran harga tiket terendah. Meskipun demikian sebanyak 35,8% orang responden setuju apabila pemerintah tetap perlu untuk membuat aturan yang ketat tentang harga tiket pesawat terbang.20

Kemampuan masyarakat konsumen untuk mendapatkan informasi yang terkait dengan suatu jenis produk akan sangat berpengaruh pada waktu proses pengambilan keputusan untuk menggunakan produk barang atau jasa yang bersangkutan. Kualitas maupun kuantitas suatu informasi yang diterima oleh konsumen akan mempengaruhi persepsi konsumen terhadap suatu produk tertentu, hal ini sesuai dengan prinsip

optimal information. Kondisi ini tentunya juga sangat dipengaruhi oleh tingkat

kemudahan masyarakat untuk mengakses informasi yang benar mengenai produk tersebut.

Dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen apakah iklan mengenai jasa penerbangan di Indonesia merupakan salah satu sumber informasi penting bagi

18

Ibid.

19

Ibid.

20


(33)

konsumen dalam memilih suatu maskapai penerbangan. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah iklan yang ditampilkan tersebut dapat mewakili kondisi sebenarnya dari tingkat pelayanan yang diberikan oleh maskapai penerbangan tersebut. Informasi yang salah akan dapat menyebabkan konsumen melakukan pilihan-pilihan yang irrasional atau tidak tepat.

Namun demikian dalam Pasal 20 UU Persaingan Usaha, terdapat isu yang dianggap sebagai upaya untuk melakukan kecurangan dalam persaingan usaha yaitu adanya praktek jual rugi (predatory price). Dalam hal ini produsen atau distributor menjual produk dengan harga yang sangat murah jika dibandingkan dengan produk sejenis yang merupakan pesaingnya, dengan maksud untuk memaksa pesaingnya keluar dari pasar yang bersangkutan.

Untuk melihat seorang pelaku usaha melakukan predatory price ini, harus dilakukan penelitian dengan sangat hati-hati. Secara umum predatory price terjadi dalam hal harga produk dibawah harga normal dari produk sejenisnya. Selanjutnya apabila suatu produk ditawarkan untuk jangka waktu tertentu dengan harga di bawah rata-rata total cost untuk menghasilkan produk tersebut, bisa dikategorikan sebagai

predatory price. Total cost di sini adalah jumlah dari biaya tetap (fixed cost) dan

biaya variabel (variable cost) ditambah lagi dengan biaya penjualan dan biaya administrasi serta biaya lain-lain.21

Adanya penekanan pada jangka waktu tertentu untuk penawaran suatu produk juga cukup penting untuk menentukan apakah ada indikasi praktek predatory price,

21


(34)

karena seringkali pelaku usaha melakukan penjualan dengan harga lebih rendah dari harga tertentu untuk event atau periode tertentu misalnya diskon atau sale pada masa liburan sekolah, hari raya, atau event khusus lainnya.

Dari sudut pandang UU Persaingan Usaha, adanya praktek predatory price dapat dianggap sebagai salah satu praktek persaingan usaha tidak sehat karena dengan adanya penawaran harga suatu produk di bawah harga rata-rata pasar untuk jangka waktu yang lama akan menyebabkan produk sejenisnya tidak laku dan pada akhirnya dapat menyebabkan produsen dari produk tersebut akan mati. Setelah pesaing keluar dari pasar tersebut, maka pelaku usaha yang melakukan praktek predatory price ini akan menjadi satu-satunya pelaku usaha dipasar tersebut sehingga maskapai ini dapat menentukan harga tiket dengan sewenang-wenang. Akan tetapi terhadap teori ini terdapat argumen yang menyatakan bahwa pada saat pelaku usaha tersebut menaikkan harga produk untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, maka pada saat yang sama akan muncul pelaku-pelaku usaha lain yang menggantikan posisi pelaku usaha sebelumnya yang telah mati, sehingga pada akhirnya tetap terdapat keseimbangan harga pasar yang wajar.

Dari sudut pandang konsumen adanya harga jual yang lebih rendah tentunya akan sangat menguntungkan. Konsumen tidak terlalu peduli dengan adanya perang tarif yang dilakukan pelaku usaha. Apalagi dengan adanya kondisi perekonomian Indonesia yang masih belum pulih, sehingga terjadi perubahan pada pola konsumtif yang melahirkan smart consumer. Konsumen menjadi semakin peduli terhadap


(35)

perubahan harga suatu produk dan tidak lagi menjadi konsumen yang fanatik terhadap suatu produk tertentu.

Persaingan antar maskapai penerbangan udara dapat terlihat dari persaingan antar perusahaan pada rute penerbangan yang ada. Dari data yang ada pada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, dapat dilihat bahwa jumlah rute dan kota yang dilayani oleh angkutan udara dalam negeri yang fluktuatif mulai dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008. Pada tahun 2004 jumlah rute penerbangan ada sebanyak 106 rute selanjutnya mengalami peningkatan pada tahun 2005 menjadi sebanyak 114 rute, mengalami penurunan pada tahun 2006 menjadi sebanyak 102 rute, kemudian mengalami peningkatan sedikit demi sedikit pada tahun berikutnya, sebagaimana yang dapat dilihat pada Diagram 2 sebagai berikut:

Diagram 2

Jumlah Rute dan Kota yang Dilayani Oleh Angkutan Udara Dalam Negeri22 Data: Statistik Perhubungan Buku I Tahun 2008 Departemen Perhubungan RI

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900

2004 2005 2006 2007 2008

Jumlah Rute Jumlah Kota

22

http://www.dephub.go.id/DJU/angud/jmlrute.htm, diakses terakhir tanggal 16 November 2009.


(36)

Kondisi ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan. Kondisi perekonomian tersebut selain berpengaruh terhadap industri jasa penerbangan juga berpengaruh terhadap kemampuan daya beli konsumen pemakai jasa penerbangan, sehingga sebagaimana yang dialami pada bidang lainnya, adanya krisis tersebut memukul sektor industri jasa penerbangan. Industri jasa penerbangan dituntut untuk melakukan efisiensi dimana salah satunya adalah mengurangi jumlah rute yang dilayani. Perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam jasa penerbangan tersebut lebih memfokuskan pada rute penerbangan yang menjanjikan keuntungan besar yang disebut dengan rute emas (golden route).

Apabila kita membandingkan kembali Diagram 2 dengan Diagram 1 yang menggambarkan kondisi jumlah perusahaan penerbangan domestik yang beroperasi, terlihat bahwa sampai dengan tahun 2008 jumlah maskapai penerbangan terus mengalami peningkatan sementara jumlah rute yang dilayani memiliki trend yang menurun. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat persaingan pada rute-rute penerbangan tertentu akan semakin tinggi, karena jumlah perusahaan penerbangan yang beroperasi semakin banyak pada rute-rute tersebut.

Salah satu contoh yang cukup menarik untuk diteliti sejauh mana kemungkinan praktek curang persaingan usaha di antara para pelaku usaha adalah perang tarif penerbangan domestik di Indonesia, misalnya pada rute Medan-Jakarta yang merupakan salah satu rute emas (golden route). Saat ini rute penerbangan Medan-Jakarta dilayani oleh enam perusahaan penerbangan, yaitu Garuda Indonesia


(37)

(GA), Lion Air (JT), Batavia Air (7P), Sriwijaya Air (SJ), Mandala (RI), dan Air Asia (QZ).

Adanya perang tarif dapat dilihat pada masa low season, dimana masing-masing perusahaan penerbangan terkesan berlomba secara cepat melepaskan harga-harga tiket yang murah di pasar dalam upaya optimalisasi tingkat isian tempat duduk di pesawat (Seat Load Factor/SLF), dan harga tersebut biasanya memiliki konsekuensi keterbatasan-keterbatasan pada tiket yang dijual, misalnya tidak diperbolehkan refund, tidak diperbolehkan pindah nomor penerbangan, dan lain sebagainya.

Pada saat low season, harga tiket untuk rute Medan-Jakarta bisa turun kurang lebih sampai sekitar Rp. 300.000,- yang bila dibandingkan dengan kondisi normal harga tiket untuk sektor tersebut berkisar harga rata-rata sampai Rp. 600.000,-. Tingkat flexibilitas harga ini biasanya lebih tinggi pada perusahaan penerbangan berkonsep LCC, hal tersebut disebabkan karena biasanya spesifikasi tingkat pelayanan (service level) yang diberikan kepada konsumen sangat terbatas, misalnya tidak ada tersedia pelayanan selama penerbangan (inflight service) seperti makanan dan minuman secara komplimen, hiburan (inflight entertainment), bahan bacaan misalnya koran atau majalah, sistem free seating yang tidak memberlakukan penomoran tempat duduk, sangat minimnya jumlah cabin crew, dan lain sebagainya.23

23

Wawancara dengan Sales/Marketing Executive Garuda Indonesia di Medan, September 2009.


(38)

Di sisi lain perusahaan penerbangan berkonsep ”Full Service Carrier” atau FSC memiliki standar level of service yaitu pelayanan selama penerbangan (inflight

service) seperti makanan dan minuman secara komplimen, hiburan (inflight

entertainment), bahan bacaan misalnya ada beberapa jenis koran atau majalah, ada

tersedianya pilihan Business Class atau Economy Class dengan tempat duduk bernomor, jumlah cabin crew yang memadai, dan lain sebagainya.24

Adanya perang tarif pada industri penerbangan ini antara lain juga disebabkan karena adanya kebijakan dari Menteri Perhubungan pada tanggal 1 Februari 2002 melalui SK Nomor KM 8/2002 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi dan SK Nomor KM 9/2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi.

Adapun kedua Surat Keputusan tersebut mendasarkan pada koridor batas atas dan batas bawah yang harus dipatuhi semua operator penerbangan dalam penentuan tarif. Kebijakan inilah yang langsung menciptakan ”perang terbuka” dalam menetapkan tarif angkutan udara serendah mungkin. Sebelum adanya dua Surat Keputusan tersebut pemberlakuan tarif penerbangan diatur oleh INACA (Indonesian

National Carriers Association), dimana besaran tarif INACA itu dipatok dalam kurs

dolar AS yaitu 11 sen per seat per kilometer.

Menanggapi kondisi tersebut, pihak maskapai penerbangan Garuda Indonesia menyampaikan bahwa penggunaan harga yang lebih murah diberlakukan pada jumlah

24


(39)

yang sangat terbatas untuk 5 sampai 10 kursi saja dan sangat dipengaruhi oleh tingkat permintaan yang ada. Hal itu sebenarnya adalah penerapan atau pemberlakuan sistem

sub classes pada kelas ekonomi. Apabila dilihat dari biaya yang diperlukan untuk

menerbangkan pesawat sekali jalan untuk rute Jakarta-Surabaya misalnya sekitar Rp.40 juta, sementara itu apabila load factor dinaikkan menjadi 70% tiket bisa dijual dengan harga Rp.339 ribu, artinya agar tidak rugi operator yang menjual tiket murah harus sungguh-sungguh berusaha meningkatkan load factor-nya.25

Dengan diberlakukannya UU Persaingan Usaha merupakan salah satu tonggak penting dalam sistem perekonomian di Indonesia, yang menjadi salah satu instrumen untuk memberlakukan sistem ekonomi pasar. Lebih dari 30 tahun dibawah rezim Orde Baru, Indonesia telah melakukan pembangunan di segala bidang khususnya pembangunan ekonomi. Hasil-hasil pembangunan tersebut dapat terlihat baik dari sudut pandang indikator makro ekonomi seperti tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta secara mikro dapat terlihat dari sektor bisnis mengalami kemajuan pesat seperti sektor properti dan perbankan.

Namun demikian kondisi kemajuan ini tidak diimbangi dengan perangkat perundang-undangan yang mengatur persaingan di antara pelaku usaha, sehingga akibatnya banyak pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya mengandalkan cara-cara yang tidak baik seperti menggunakan pengaruh kekuatan politik atau birokrasi untuk memenangkan persaingan usaha. Di samping itu tidak sedikit kalangan pejabat atau elit politik yang juga terjun ke dunia bisnis sehingga seringkali dalam

25


(40)

menjalankan kebijakan publiknya mendasarkan pada keuntungan pribadi atau kelompoknya.

Dengan adanya hukum, kompetisi di Indonesia tentunya diharapkan hal-hal tersebut tidak terjadi lagi. Namun demikian efektifitas dari undang-undang ini dalam mencegah adanya praktek-praktek bisnis yang curang juga masih perlu dikaji dan masih menjadi bahan perdebatan. Sebagai contoh, sebagian orang menganggap bahwa keberadaan hukum persaingan usaha di Indonesia dalam konteks globalisasi perdagangan merupakan salah satu cara bagi perusahaan-perusahaan yang berasal dari negara-negara maju untuk melakukan penetrasi pasar ke negara-negara berkembang. Tentunya pendapat ini masih merupakan bahan yang dapat diperdebatkan kebenarannya.

Belum lengkapnya peraturan pelaksana dari undang-undang anti monopoli juga merupakan salah satu penyebab terhambatnya KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Misalnya sampai saat ini belum ada aturan main yang mengatur mengenai merger, akuisisi dan joint venture, padahal hal tersebut sangat penting bagi KPPU dalam melihat posisi dominan (pemusatan kekuatan ekonomi) dari satu pelaku usaha di samping itu juga untuk melihat sejauh mana adanya perjanjian yang mengandung unsur persaingan curang.

Mengenai praktek persaingan tarif angkutan pesawat udara antara beberapa maskapai penerbangan, ketentuan dalam UU Persaingan Usaha mengatur hal tersebut ke dalam beberapa pasal yaitu Pasal 20 yang melarang pelaku usaha melakukan jual


(41)

rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dan Pasal 21 mengenai larangan melakukan kecurangan dalam menentukan biaya produksi.26

Meskipun Pasal 20 UU Persaingan Usaha menyatakan larangan untuk menjual rugi, namun dalam pelaksanaannya akan mengalami kesulitan dalam menerapkan kedua peraturan tersebut. Sesuai dengan ketentuan tersebut ada tiga unsur dari jual rugi yaitu:

1. Dilarang melakukan jual rugi atau menerapkan harga yang sangat rendah; 2. Dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan pesaingnya; dan 3. Menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

Sebagaimana penjelasan di atas, untuk menentukan adanya praktek jual rugi sangat terkait dengan perbandingan antara harga jual barang/jasa dengan biaya produksi barang/jasa tersebut. Permasalahan yang timbul dalam prakteknya sulit untuk menentukan apakah harga jual suatu produk sangat rendah ataukah masih dalam batas kewajaran. Harga yang sangat rendah tersebut apakah merupakan cerminan dari efisiensi biaya termasuk di dalamnya strategi bisnis ataukah merupakan strategi mematikan pesaingnya. Termasuk dalam kategori strategi bisnis yang sah adalah pemberian diskon atau potongan harga jual. Unsur lain yang perlu diperhatikan juga adalah dalam penentuan biaya produksi apakah ada unsur subsidi silang dari usaha lain atau jalur penerbangan lain. Garuda Indonesia sebagai salah

26

Article 20 “Entrepreneurs are prohibited from supplying goods and/or services by selling without making any profits or by setting a very low price with the intention to eliminate or end their competitiors’ business in the relevant market thus causing monopolistic practices and/or unfair business competition.”Article 21 “Entrepreneurs are prohibited from cheating in setting the production cost and other expenses which is part of the goods and/or services component, that can cause unfair business competition”, Phil Evans., Op. cit.


(42)

satu maskapai penerbangan milik negara dalam kondisi tertentu juga harus melayani jalur penerbangan lain yang secara komersial kurang menguntungkan, sebagai salah satu bentuk pelayanan umum.

Sebagai akibatnya pada rute penerbangan yang menguntungkan (golden

route), Garuda Indonesia harus mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya untuk

menutup biaya produksi secara keseluruhan. Namun demikian salah satu cara yang sering dipakai untuk menilai apakah harga jual suatu produk sangat rendah atau tidak adalah dengan melihat dan membandingkan dengan harga rata-rata yang ditawarkan pada pasar yang sejenis. Di samping itu, juga tetap harus memperhatikan unsur besarnya biaya produksi yang telah dikeluarkan.

Untuk menentukan apakah penentuan suatu harga yang sangat rendah tersebut merupakan tindakan untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya perlu dilihat dari jangka waktunya. Perlu dilihat apakah rentang waktu penawaran penjualan tiket dengan harga spesial tersebut merupakan bulan promosi yang merupakan salah satu strategi bisnis ataukah penawaran tarif spesial tersebut benar-benar ditujukan untuk mematikan kompetitor pada pasar yang sama. Semakin lama hal ini terjadi, semakin besar adanya indikasi bahwa penjualan tiket pesawat dengan harga murah tersebut merupakan strategi untuk mematikan kompetitornya.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana bagian pasar (market

share) dari Garuda Indonesia dibandingkan dengan pesaing lain. Dalam melihat hal

ini apakah akan melihat pasar secara sempit yaitu hanya jalur penerbangan Jakarta-Surabaya ataukah semua jalur penerbangan yang dilalui oleh Garuda Indonesia.


(43)

Dalam melihat apakah Garuda Indonesia mempunyai kedudukan monopoli atau memiliki posisi dominan dapat dilihat pada parameter yang dipenuhi yaitu ada tidaknya pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan, atau mempunyai posisi yang tertinggi dalam kaitannya dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan.27

Meskipun pelaku usaha memiliki posisi pasar yang kuat tidak dengan sendirinya melanggar ketentuan ini karena harus ada pembuktian bahwa pemusatan kekuatan pasar tersebut mengakibatkan dikuasainya produksi atau pemasaran sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.28

Untuk menentukan sejauh mana kepentingan umum dirugikan, maka undang-undang ini tidak mengatur sehingga penafsirannya diserahkan kepada otoritas yang berwenang yaitu KPPU. Dalam kaitannya dengan hal ini, meskipun semua unsur terpenuhi maka tetap dibuka kemungkinan pengecualian (de minimis) dimana ada 2 macam, yaitu:29

1. Karena adanya ketentuan undang-undang; 2. Pelaksanaan dari rule of reason;

27

Article 1.4. “Dominant position is a situation where an entrepreneur does not have any significant competitiors in the relevant market with regard to the market share being controlled, or the entrepreneur is in a high position among its competitors in the relevant market with regard to its financial capability, the ability to have access to the suppliers or sales, and the ability to adapt to the suppley and demand of certain goods or services.”Ibid, hal. 26.

28

Article 1.3.”Monopolistic practices is the centralization of economic power by one or more entrpreneurs causing the control of production and/or marketing of certain goods and/or services resulting in an unfair business competition and can cause damage to the public interest.” Ibid, hal. 28.

29


(44)

Rule of reason menurut Cheeseman merupakan kebalikan dari kriteria per se

illegal yang menentukan meskipun suatu perbuatan telah memenuhi rumusan

undang-undang, namun jika ada alasan obyektif (biasanya alasan ekonomi) yang dapat membenarkan (reasonable) perbuatan tersebut, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu pelanggaran.30

Sebagai contoh adanya ketentuan undang-undang misalnya peraturan perundang-undangan menyatakan suatu sektor usaha menjadi monopoli negara karena dimaksudkan dalam penyediaan pelayanan umum. Sementara pelaksanaan

rule of reason misalnya dalam hal pelanggaran oleh perusahaan dengan omset kecil

sehingga pelanggaran yang ada tidak mempunyai pengaruh yang cukup signifikan. Oleh karenanya, dalam melihat ada atau tidaknya kerugian, perlu dilihat secara menyeluruh dengan memperhatikan kepentingan semua stakeholders (pemangku keentingan) yang ada termasuk kepentingan konsumen. Dalam hal ini KPPU harus mampu menerjemahkan hal ini baik melalui keputusan-keputusan individual terhadap suatu kasus maupun melalui regulasi-regulasi yang akan dikeluarkan sebagai peraturan pelaksanaan dari UU Persaingan Usaha.

Diagram 3 dan tabel 2 di bawah ini, memberikan sedikit gambaran posisi dari maskapai penerbangan Garuda Indonesia dibandingkan dengan maskapai penerbangan yang lain. Sebagai pemain lama tentunya Garuda Indonesia memiliki keunggulan-keunggulan tertentu jika dibandingkan dengan maskapai lainnya. Sebagai

30

http://1912.history.ohio-state.edu/ruleofreason.html, diakses terakhir tanggal 16 November 2009.


(45)

contoh apabila dilihat dari jumlah armada pesawat terbangnya, pada tahun 2004 armada pesawat Garuda Indonesia yang terbanyak (lihat Diagram 3) berikut ini:

Tabel 2

Perbandingan Kemampuan Produksi PT. Garuda Indonesia Dengan Total Produksi Perusahaan Angkutan Udara Niaga Berjadwal Nasional (Penerbangan Domestik)31

Data: Statistik Perhubungan Buku I Tahun 2008 Departemen Perhubungan RI

P R O D U K S I

PRODUCTION Unit 2005 2006 2007 2008

1 2 % 3 % 4 % 5 %

GARUDA KM-PESAWAT

(AIRCRAFTS – KM)

(000)

64,745 26% 60,888 24% 61,282 21% 64,711 24%

NASIONAL 245,350 255,008 289,723 268,333

GARUDA JAM TERBANG

(AIRCRAFT-HOURS)

Number

116,104 27% 108,248 24% 108,408 21% 115,315 25%

NASIONAL 435,251 460,204 510,144 466,745

GARUDA PENUMPANG

DIANGKUT

(PASSENGERS CARRIED)

Number

6,987,870 24% 6,956,437 20% 7,371,046 19% 7,665,390 21%

NASIONAL 28,992,019 34,015,981 39,162,430 37,350,688

GARUDA T.DUDUK-KM TERSEDIA

(SEATS-KM AVAILABLE

(000)

8,470,754 23% 7,920,808 17% 8,158,271 14% 8,677,675 16%

NASIONAL 37,060,773 46,541,982 56,764,846 55,574,400

GARUDA FAKTOR

MUATAN

(PASSENGERS LOAD FACTOR

(%)

70.11 90% 76.02 97% 79.78 108% 78.63 97%

NASIONAL 77.77 78.36 73.57 80.65

GARUDA FAKTOR

MUATAN BARANG

(WEIGHTS LOAD FACTOR

(%)

65.01 144% 68.91 124% 71.95 135% 71.16 171%

NASIONAL 45.28 55.71 53.12 41.69

31

http://www.dephub.go.id/DATAEIS/Stat99/Udara/T3312.htm, dan lihat juga di http://www.dephub.go.id/DJU/angud/PROD-dom.htm, diakses terakhir tanggal 16 November 2009.


(46)

Diagram 3

Jumlah Pesawat Terbang Angkutan Udara Berjadwal Dalam Negeri32 Data: Statistik Perhubungan Buku I Tahun 2008 Departemen Perhubungan RI

0 50 100 150

2004 2005 2006 2007 2008

GARUDA MERPATI LION MANDALA BATAVIA AIR ASIA SRIWIJAYA LAIN2

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang muncul dan menjadi inti pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah persaingan dunia penerbangan pada Low Cost Carrier ditinjau dari hukum persaingan usaha?

2. Bagaimanakah penegakan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan Low

Cost Carrier dalam industri penerbangan?

C. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan arah dan maksud dari penelitian ini, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui dan mendalami persaingan dunia penerbangan pada Low Cost

Carrier ditinjau dari hukum persaingan usaha;

32

http://www.dephub.go.id/DATAEIS/Stat99/Udara/T313.htm, diakses terakhir tanggal 16 Desember 2009.


(47)

2. Untuk mengetahui dan mendalami penegakan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan Low Cost Carrier dalam industri penerbangan.

D. Manfaat Penelitian

Terjawabnya permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan serta tercapainya tujuan penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik dalam tatanan akademisi maupun dalam tatanan praktisi, sehingga diharapkan penelitian ini bermanfaat baik dari sisi teoritis maupun praktis:

1. Dari sisi teoritis, maka diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk penyempurnaan Hukum Persaingan Usaha khususnya yang berkaitan dengan ”Low Cost Carrier” dalam persaingan usaha dunia penerbangan; dan

2. Dari sisi praktis, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan kepada para praktisi dunia penerbangan dalam melakukan kegiatan khususnya terkait ”Low Cost Carrier” dengan baik dan benar.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran di perpustakaan pusat Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah dilakukan dengan tujuan untuk menghindari persamaan substansi penelitian terhadap masalah yang sama serta dengan cara melakukan pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu, ternyata judul yang berkenaan


(48)

di dalam penelitian ini, belum pernah dilakukan peneliti terdahulu dengan judul dan permasalahan substansi yang sama dalam penelitian ini.

Oleh karena itu, penelitian dengan judul, ”EKSISTENSI LOW COST

CARRIER DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA dapat dikatakan

”asli”, dan jauh dari unsur plagiat yang bertentangan dengan asas-asas keilmuan yaitu kejujuran, rasional, objektif dan terbuka, sehingga kebenaran dalam penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori Dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Banyak sarjana yang mengemukakan pandangannya tentang hukum dan tujuan pemberlakuannya di masyarakat. Hubungan hukum dan masyarakat tidak pernah dapat dipisahkan karena berinterdependensi satu sama lain. Untuk menganalisis data yang dikumpulkan guna menjawab permasalahan sebagaimana tersebut di atas, maka penelitian ini menggunakan teori Economic Analysis of Law yang dikembangkan oleh Richard Posner. Paling tidak ada tiga keuntungan menggunakan teori Economic Analysis of Law, yaitu: 33

1. Ilmu ekonomi membantu para sarjana hukum dalam memperoleh suatu perspektif dari luar disiplin ilmu mereka.

2. Pada tingkat normatif, ilmu ekonomi membantu menjelaskan konflik-konflik nilai dengan menunjukkan berapa banyak satu nilai, khususnya efisiensi, harus dikorbankan untuk mencapai nilai yang lain.

33

Nick Hanley, Jason F. Shogren, dan Ben White, Environmental Economics: In Theory and Practice, (New York: Plgrave Macmilan, 1997), hal. 24-26, dalam Riyatno, “Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup”, hal. 14.


(1)

and Quantitative Methods in Evaluation Research, London: Sage Publications, 1979.

Winardi, EC., Kamus Ekonomi Inggris-Indonesia, Bandung: Alumni, 1974.

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Persaingan Usaha), sebagaimana diumumkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia No. 33 Tahun 1999 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3817.

Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan). Peraturan Menteri perhubungan Nomor : KM 35 Tahun 2005 tentang Pengoperasian

Pesawat Udara Transport Bermesin Jet Untuk Angkutan Udara Penumpang. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM 36 Tahun 2005 tentang Tarif Referensi

untuk Penumpang Angkutan Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi

Pengawas Persaingan Usaha.

C. Makalah, Jurnal, Artikel, dan Majalah

Angkasa, Nomor 8 Tahun XIV, Mei 2004, “Low Cost Air Line Antara Kekhawatiran dan Peluang”.

Anggraini (I), A.M. Tri, “Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal Dalam Hukum Persaingan”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 24, No. 2. Tahun 2005.

Angkasa No. 10, Juli 2005, Tahun XV, “Airline Nasional Masih Optimis”.

Angkasa, No. 7, April 2000, Tahun X, oleh D.N. Yusuf, “Ketika Jagad Penerbangan Ikut Menikmati Teknologi Internet”.

Angkasa No. 2 November 2002 Tahun XIII, “Keamanan penerbangan”.

Coleman, Jules, “Economic and the Law: A Critical Review of the Foundations of the Economic Approach to Law”, Ethics, Vol. 94, 1984, dalam Riyatno, “Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup”.

Dworkin, Ronald, Legal Research, Deadalus, Spring, 1973, dalam Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003.


(2)

Etika Bisnis Merupakan Tanggung Jawab Pelaku Usaha, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 24, No. 2 Tahun 2005.

Harrison, Jeffrey L., Law and Economics, USA: West Publishing Co, 1995, dalam Hikmahanto Juwana, “Analisa Ekonomi Atas Hukum Perbankan”, Hukum dan Pembangunan, Nomor 1-2 Tahun XXVIII, 1998.

Kagramanto, L. Budi., “Prinsip Per Se Illegal dan Rule of Reason Dalam Hukum Persaingan Usaha”, Yuridika, Vol. 19 No. 2, Maret-April 2004.

Kompetisi, September 2005, Taufik Ahmad, “Batas Minimum Tarif Dalam Persaingan Usaha”.

______September 2005, oleh Murman Budijanto, “Keselamtan Transportasi Udara di Era persaingan”.

Kebijakan Persaingan Dalam Makri Ekonomi Indonesia, Kompetisi, No. 3, Edisi Juni 2005.

Menteri Perhubungan, “Kebijakan Strategi Tentang Penyelenggaraan Transportasi Udara, Penetapan ruang Udara, Penggunaan Frekuensi Telekomunikasi dan FIR”, Laporan Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua, Jakarta, Tanggal 22-24 Desember 2003.

Partnership for Business Competition, “Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia”, Jakarta, 2001.

Phil, Evans, The Consumer Guide to Competition; A Practical Handbook, (Consumers International), diterjemahkan Mardiharto Tjokrowasito., (Staf Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bappenas), “Kebijakan Persaingan Pada Industri Jasa Penerbangan Dilihat Dari Perspektif Perlindungan Konsumen”.

Podhisita, Chai, et al, Theoritical Terminological, and Philosophical Issues in Qualitative Research, Qualitative Research Methods.

Posner, Richard A., The Economics of Justice, Cambridge:Harvard University Press, 1981, dalam Riyatno, “Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup”. Ramelan, Prayitno., “Angkatan Udara dan Bisnis Penerbangan”, Artikel, Posted

Friday tanggal 05 Juni 2009.

Sirait, Ningrum Natasya., “Predatory Pricing Dalam Hukum Persaingan dan Pengaturannya Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 23, No. 1, YPBH, Jakarta, 2004.

Sjahdeini, Sutan Remy, ”Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10, Jakarta: Yayasan Pembangunan Hukum Bisnis, 2000


(3)

Supit, Anton J., “Peranan UU No. 5 Tahun 1999 Dalam Dunia Bisnis Indonesia”, Makalah, disampaikan pada Seminar Sehari: “Refleksi Lima Tahun UU No. 5/1999” diselenggarakan oleh KPPU pada tgl. 3 Maret 2004 di Hotel Sahid Jakarta.

Wibowo, Catur Prasetya, “Analisis Larangan Praktek Monopoli Dengan Pendekatan Ekonomi Mikro”, Newsletter, No. 61, Juni 2005.

Yuridika No. 3 Tahun VII Mei-Juni 1992, oleh L. Budi Kangramanto, “Masalah Keamanan dan keselamatan Penerbangan Berkenaan dengan UU. No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan”.

D. Surat Kabar

Binis Indonesia, 28 January, 2004, oleh Udin Silalahi, “Pengawasan angkutan udara dengan angka referensi”.

Harian kompas, “Penerbangan Berbiaya Murah”, Selasa 1 April 2008. Kompas, tanggal 18 April 2006, “Persaingan Jasa Penerbangan”.

Kompas, Tanggal 18 April 2006, oleh Gatot Widakdo., “Harus Ada Etika Bisnisnya”. Jawa Pos, Tanggal 11 Maret 2007, “Pelatihan Pilot Banjir Order”.

Jawa Pos, Tanggal 3 Januari 2007, “Investasi Industri Jasa Penerbangan”. Jawa Pos, tanggal 15 Februari 2007, “Dephub Cabut 10 izin Penerbangan”. Jawa Pos, 8 November 2006, “Rami-ramai Perbarui Armada”.

Jawa Pos, tanggal 16 April 2007, oleh Ery Marthantini, “Sukses dalam Bisnis Angkutan Bus, Lorena Rambah MaskapaiPenrbangan tahun ini”.

Jawa Pos, 4 Januari 2007, “Persaingan Keras, tapi Izin Gampang Keluar”. Jawa Pos, 16 Maret 2007, “Timnas Transportasi Beri 9 rekomendasi”. Jawa Pos, 11 Maret 2007, “Landasan Adi Sucipto diperpanjang”.

Seputar Indonesia, Nomor 267, Tanggal 27 Maret 2006, oleh Chappy Hakim, “Mengapa Persaingan Nasional Airlines Tidak Sehat”,

Suara Pembaruan Daily, 2 Maret 2005, oleh H. Sumaryoto, “Bom Waktu Industri Penerbangan Kita”.

Tempo, Edisi 46/XXXV/08 -14 Januari 2007, oleh Wenseslaus Manggut, dan Yosep Suprayog.


(4)

http://www.kompas.com, diakses terakhir tanggal 27 November 2009, oleh Setya Yudha Indraswara, “Habis Terang Terbitlah Tarif”.

http://www.google.co.id/search?hl=id&source=hp&q=INACA&meta=&aq=f&oq=, diakses terakhir tanggal 27 Desember 2009.

http://www.dephub.go.id/DJU/angud/AIRLINE.htm, diakses terakhir tanggal 16 November 2009.

http://www.bappenas.go.id, terakhir kali diakses pada tanggal 01 September 2009. http://www.dephub.go.id/DJU/angud/jmlrute.htm, diakses terakhir tanggal 16

November 2009.

http://1912.history.ohio-state.edu/ruleofreason.html, diakses terakhir tanggal 16 November 2009.

http://www.dephub.go.id/DATAEIS/Stat99/Udara/T313.htm, diakses terakhir tanggal 16 Desember 2009.

http://maskapai.wordpress.com/2008/03/13/fenomena-low-cost-carrier/, diakses terakhir tanggal 5 Desember 2009.

http://forum.detik.com/showthread.php?t=31900, diakses terakhir tanggal 5 Desember 2009.

http://www.forums.apakabar.ws/viewtopic.php?p=78873&sid=7ad6b4b6772413569c 985fddda787d29, diakses terakhir tanggal 5 Desember 2009.

http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/manajemen- pemasaran/strategi-ryanair-sebagai-maskapai-penerbangan-murah-terbesar-di-eropa-dan-dun, “Posted October 14th, 2008 by darkness fall”, diakses terakhir tanggal 5 Desember 2009.

http://www.gitatravel.com, diakses terakhir tanggal 16 November 2009. http://www.lionair.co.id, diakses terakhir tanggal 16 November 2009.

http://www.kompas.com, diakses 16 November 2009, Haryo Aswicahyono, “Persaingan Pasar”.

http://www.wikipedia.org.id, diakses terakhir tanggal 16 November 2009.

http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2009-ahmaddenia-9956&PHPSESSID=caf180ece5b04a7bb38bead18988c5d8, diakses terakhir tanggal 10 Desember 2009.

http://www.CSIS.com, 27 November 2009, oleh Arya Gaduh, “Perlunya Mencegah Persaingan Tidak Sehat”.

http://www.CSIS.com, diakses terakhir tanggal 27 November 2009, oleh Didik J. Rachbini, “Nasib Industri Penerbangan”.


(5)

http://www.tempo.com, diakses terakhir tanggal 27 November 2009, oleh Yose Rizal Damuri, “Kecelakaan dan Aturan Sektor Penerbangan”.

http://www.angkasapura2.co.id, diakses terakhir tanggal 27 November 2009, “Efisiensi Biaya Industri Penerbangan Segera Terwujud”.

http://www.angkasa-online.com, diakses terakhir tanggal 16 November 2009, oleh Donna Ch. Asri, “Antara Low Cost dan Low Fare”.

http://www.wartaekonomi.com, diakses terakhir tanggal 27 November 2009, oleh Prananda Herdiawan dan Ferry Cahyadi Putra, “PT Lion Mentari Airlines: Siasat Kembar Si Anak Emas”.

http://www.mediaindo.com, diakses terakhir tanggal 27 November 2009, “Mempelajari Strategi Air Asia”.

http://www.kontan-online.com, diakses terakhir tanggal 16 November 2009, Sri Sayekti, “Terbang Murah Ala Air Asia”.

http://www.angkasa-anline.com, diakses terakhir tanggal 27 November 2009. http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=962,

diakses terakhir tanggal 11 November 2009.

http://www.dephub.go.id/id/index2.php?module=news&act=view&id=NzQx, diakses terakhir tanggal 11 Desember 2009.

http://www.pikiranrakyat.com, diakses terakhir tanggal 27 November 2009,oleh Eddy Budi Setiawan, “Mencermat Kelaikan Terbang Pesawat Tua”.

http://www.gatra.com, diakses terakhir tanggal 27 November 2009, oleh Triyoga Waskita, “Masalah Keamanan Pada industri penerbangan indonesia”.

http://www.tempointeraktif.com/hg/peraturan/2004/04/12/prn,20040412-04,id.html, dan lihat juga di

http://pa-in.facebook.com/topic.php?uid=110753488477&topic=11785, diakses terakhir tanggal 16 November 2009.

http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kecelakaan_dan_insiden_pesawat_penumpang, diakses terakhir tanggal 11 Desember 2009.

http://www.wikipedia.org.id, diakses terakhir tanggal 16 November 2009, “Predatory Pricing”.

http://www.bumn-online.com, diakses terakhir tanggal 27 November 2009, “Maskapai Tinggalkan Konsep Terbang Murah”.

http://www.tempointeraktif.com, diakses terakhir tanggal 16 November 2009, “Dephub Terapkan Acuan Tarif Penerbangan”.


(6)

http://www.balipost.com, diakses terakhir tanggal 16 November 2009, oleh Muhammad Iqbal, “Persaingan Tarif Penerbagan masih Wajar”.

http://www.solisohukum.com , diakses terakhir tanggal 16 Desember 2009, oleh Ade maman Suherman. “Kinerja KPPU sebagai Watchdog Pelaku Usaha di Indonesia”.

http://www.bisnisindonesia.com (Selanjutnya disingkat Udin Silalahi I), diakses terakhir tanggal 1 November 2009, oleh Udin Silalahi, “Pengawasan angkutan udara dengan angka referensi”.

http://www.detik .com, selasa, diakses terakhir tanggal 1 November 2009, oleh Arin Widiyanti, “KPPU Sinyalir Air Asia Lakukan Prektek Persaingan Tak Sehat”. http://www.tempoInteraktif.com, diakses terakhir tanggal 1 November 2009, oleh

Setya Yudha Indraswara, ”Habis Terang. Terbitlah tarif”.

http://www.siharharapan.com, diakses terakhir tanggal 27 Desember 2009, oleh Udin Silalahi, “Menyoal Batas Tarif referensi Penerbangan”.

http://www.tempointeraktif.com, diakses terakhir tanggal 16 November 2009, oleh Anas Syahirul, “Pemerintah Didesak Tetapkan Tarif Pesawat”.

http://www.kompas.com, diakses terakhir tanggal 16 November 2009, oleh Haryo Aswicahyono, “Persaingan Pasar”.

http://www.google.co.id/search?hl=id&source=hp&q=pertentangan+harga“Pertentan gan Harga Tarif Angkutan Udara”, diakses terakhir tanggal 11 November 2009.

http://www.CSIS.com, diakses terakhir tanggal 16 November 2009, oleh Arya Gaduh, “Perlunya Mnecegah Persaingan tidak sehat”.

http://www.angkasa-online.com, diakses terakhir tanggal 16 November 2009.

http://www.kompas.com, diakses terakhir tanggal 16 November 2009, “Berebut penumpang”.

http://www.sinarharapan.co.id, diakses terakhir tanggal 16 November 2009, oleh Udin Silalahi, “Tarif Referensi Penerbangan, Ditinjau dari Aspek Hukum Persaingan Usaha”.

http://www.kompas.com, diakses terakhir tanggal 16 November 2009, oleh M. Ikhsan Modjo, “Tarif refensi Penerbangan”.

http://www.balipost.com, diakses terakhir tanggal 16 November 2009, oleh Muhamammad Iqbal, “Persaingan Tarif Penerbangan masih wajar”.

http://www.tempo.com, diakses terakhir tanggal 16 November 2009, oleh Yoze Rizal Damuri, “Kecelakaan dan aturan sektor penerbangan”.