Pembatalan Putusan Kppu Nomor 06/Kppu-L/2012 Tentang Persekongkolan Tender Pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap Xi Tahun 2012 (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-Kppu/2014)

(1)

(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014) Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyatan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh : Sicco Satria Negara NIM : 1112048000015

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

SICCO SATRIA NEGARA. NIM 1112048000015. PEMBATALAN PUTUSAN

KPPU NOMOR 06/KPPU-L/2012 TENTANG PERSEKONGKOLAN TENDER PEMBANGUNAN TERMINAL ANGKUTAN JALAN SEI AMBAWANG KOTA PONTIANAK TAHAP XI TAHUN 2012 (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/ 2016 M. xii + 87 halaman + hal lampiran. Penelitian ini menganalisis putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang persekongkolan tender pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambarawang Kota Pontianak dan mengetahui upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk menangani persekongkolan tender. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara ilmiah, praktis, maupun akademis yakni sebagai masukan bagi penulis atau pihak-pihak yang mempunyai keinginan kasus persekongkolan tender yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, dan pendapat ahli. Dalam studi kepustakaan, penulis menganalisis putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 berdasarkan pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Bahwa Mengacu kepada hubungan kekeluargaan, kesamaan dokumen, terjadinya pemalsuan tanda tangan ketika pendaftaan/ pengambilan dokumen, upaya membatasi peserta tender, dan pemberian fasilitas (keistimewaan) kepada pihak tertentu untuk memenangkan tender. Maka terpenuhi unsur-unsur pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Akibat hukum atas lahirnya Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 yang membatalkan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2012. Maka sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku usaha tidak berlaku lagi dan proses Tender Pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012 juga dinyatakan sah dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Kata Kunci :Persaingan Usaha Tidak Sehat, PersekongkolanTender, Putusan Mahkamah Agung.

Pembimbing : Dr. H. Nahrowi, S.H, M.H, H. Syafrudin Makmur, S.H, M.H Daftar Pustaka: Tahun 1979 Sampai Tahun 2013


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji syukur senantiasa terpanjatkan atas kehadirat Allah SWT dengan kenikmatan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan berbagai kemudahan. Shalawat serta salam penulis curahkan kepada junjungan Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang selalu memberi syafaat kepada umatnya dari setiap lafadz shalawat yang terucap.

Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari dukungan dan bantuan banyak pihak, dengan segala kerendahan hati dan rasa syukur penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepuddin Jahar MA Dekan Fakultas Syariah dan Hukum beserta jajaran dan staff Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Drs. Asep Syarifuddin Hidayat SH, MH dan Bapak Drs. Abu Tamrin SH, M.Hum Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum yang senantiasa memberikan bimbingan, saran dan banyak ilmu kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

3. Dr. H. Nahrowi, S.H, M.H. dan H. Syafrudin Makmur, S.H, M.H. dosen pembimbing yang telah bersedia menyediakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan saran, arahan, masukan dan bimbingan kepada penulis terhadap proses penyusunan skripsi ini.


(7)

4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa perkuliahan. Seluruh Staff Fakultas Syariah dan Hukum, Staff Perpustakaan Utama, Staff Perpustakaan Fakultas, atas segala pelayanan yang diberikan kepada penulis.

5. Kepada Orang Tua Penulis. Ayahanda Anwar Mulyono dan Ibunda Eny Kustini. Muhammad Figo Pahlevi adikku tercinta, tak terhingga memberikan kasih sayang dan do’anya untuk kesuksesan penulis dan tidak lupa pula untuk Mbah Darmi, Tante Tun, Mbak Indah, dan anggota keluarga lain yang tinggal di Semarang. Terima kasih untuk suntikan motivasi dan semangatnya selama ini.

6. Kepada seluruh kawan-kawan Ilmu Hukum angkatan 2012, Choir, Aras, Reinaldo, Milzam, Beny, Akbar, Bang Zul, Rama, Alif, Bang Dekur, Ucup, Reinaldi, Bachdad, Deni Fernandes, BP, Malik, dan lain yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk ilmu, berbagai argument yang terlontar, kerjasama membuat makalah dan kesediaan untuk menjadi pennyanggah yang baik. Semoga sukses menyertai kita, dan hubungan keluarga ini akan selalu terkenang sepanjang hayat.

7. Teman-teman yang tergabung dalam Delegasi Lomba Persidangan Semu NMCC di Universitas Pancasila sekaligus anggota MCC (Mout Court Community) di Fakultas Syariah dan Hukum, Reinaldo, Saul, Bang Rian, Kak Novita, Kak Ummu, Akbar, Jannah, Yana, Nafis, Tresna dan anggota tim lainnya. Terima kasih untuk pengalaman yang tak akan pernah


(8)

terlupakan dan berbagai hasil kajian yang sangat berharga untuk penulis pribadi. Keluarga besar KKN Gemah Ripah 2015, semoga apa yang telah dilakukan bisa jadi lumbung pahala di sisi Allah SWT, terus semangat dan berharap komunikasi akan terus terjaga sampai nanti.

8. Segenap pengurus Musholla Al Hurriyah, terima kasih untuk ilmu dan wejangan yang selalu menginspirasi penulis dalam kehidupan ini. Berbagai kajian di bidang agama, dan sosial bisa menambah wawasan dan ilmu yang bermanfaat baik di dunia dan akhirat. Teman-teman seperjuangan di Universitas Pamulang khususnya Prodi Sastra Inggris, untuk Julio, Bang Pian, Savira, Thomas, Buyung, Rizal, Yudi, Topa, Mas Tom, Yophi, Uci dan kawan lainnya. Tetep semangat menuntut ilmu, sampai jumpa di dunia kerja sesungguhnya.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah membalasnya. Amiiin.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya terkhusus untuk mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.

Jakarta, 26 September 2016


(9)

Daftar Isi

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING………..i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI………ii

LEMBAR PERNYATAAN………iii

ABSTRAK………..…iv

KATA PENGANTAR………v

DAFTAR ISI………viii

BAB I PENDAHULUAN………...1

A. Latar Belakang Masalah………...1

B. Identifikasi Masalah………..8

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah Masalah……….…..9

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...10

E. Kerangka Konseptual……….12

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu………..14

G. Metode Penelitian………16

H. Sistematika Penulisan………..19

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERSAINGAN USAHA DAN PERSEKONGKOLAN TENDER………...23


(10)

A. Pengertian dan Perkembangan Hukum Persaingan Usaha………….23

1. Pengertian Hukum Persaingan Usaha………23

2. Perkembangan Persaingan Usaha di Indonesia……….24

3. Peraturan Tentang Persaingan Usaha di Indonesia…………27

B. Pengertian Persekongkolan Dalam Hukum Anti Monopoli………...29

C. Konsep Pendekatan Per se Illegal dan Rule of Reason dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat………30

1. Pendekatan Per se Illegal………..31

2. Pendekatan Rule of Reason………...32

D. Pengertian Persekongkolan Tender………33

E. Persekongkolan Tender Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999……….36

BAB III PEMBATALAN PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA………...39

A. Peranan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Penegakan Hukum Persaingan di Indonesia………...39

B. Pelaksanaan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha………...42


(11)

BAB IV ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR

241 K/PDT.SUS-KPPU/2014……….49

A. Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang Pembatalan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2012………...49

1. Posisi Kasus Persekongkolan Tender Pembangunan Terminal ALBN Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012………..49

2. Aspek Materiil dan Formil Perkara………...51

a. Aspek Materiil dan Unsur-Unsur Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999………..51

b. Aspek Formil Pelaku Usaha……….58

3. Analisis………..59

B. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang Pembatalan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2012………..…………78

BAB V PENUTUP……….81

A. Kesimpulan………...81

B. Saran………..82


(12)

LAMPIRAN-LAMPIRAN

A. Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya setiap manusia pasti memilki berbagai kebutuhan untuk tetap dapat menjalankan kehidupannya. Kebutuhan manusia tersebut dapat dipenuhi melalui berbagai barang dan jasa. Dalam era modern sekarang ini setiap manusia tidak perlu memproduksi atau menghasilkan sendiri semua barang/jasa yang dibutuhkan, melainkan dapat dilakukan dengan pertukaran, perdagangan, jual-beli, dan penyewaan.1 Disisi lain dalam aktivitas bisnis terdapat persaingan di antara pelaku usaha yang akan berusaha menciptakan serta memasarkan produk baik berupa barang dan atau jasa sebaik mungkin agar diminati dan dibeli oleh konsumen.

Globalisasi ekonomi menyebabkan setiap negara harus membuka pasar dalam negerinya agar produk barang dan/ atau jasa dari luar negeri dapat masuk dan bersaing dengan barang dan/ atau jasa dalam negeri.2 Oleh karena itu, harus didukung oleh kesiapan pelaku usaha dalam negeri untuk bersaing. maka keadaan ini dapat saja mengancam kesinambungan kegiatan usaha dari para pelaku usaha domestik bahkan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Lemahnya daya saing dalam negeri itu antara lain, disebabkan

1

Irma Nilasari dan Sri Wiludjeng, Pengantar Bisnis, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), h.1.

2

Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2009), h. 145.


(14)

terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat oleh pelaku usaha.

Charles E. Mueller mengemukakan tiga pendekatan yang bisa diambil oleh negara di dalam menangani bidang industrinya. Pertama, negara-negara bisa memakai pendekatan “lasses-faire” (memiliki arti “biarkan

sendiri”) yang sama sekali mengharamkan campur tangan pemerintah dalam industri. Kedua Negara-negara juga bisa memakai pendekatan “public supervision” ditandai dengan penguasaan negara atas industri-industri penting. Terakhir dapat juga digunakan pendekatan “antitrust”, yakni kebijakan yang

mensyaratkan pemerintah bertanggung jawab atas terjadinya persaingan sehat di antara para pelaku usaha, namun sama sekali dilarang campur tangan di dalam keputusan-keputusan tentang harga maupun output produksi.3

Masalah persaingan usaha sesungguhnya adalah merupakan urusan para pelaku dunia usaha, dimana negara tidak ikut campur. Namun demikian, dalam dunia usaha perlu diciptakan “level playing field” yang sama antara pelaku usaha maka pada akhirnya negara sangat diperlukan untuk ikut campur. Keterlibatan negara dibidang hukum termasuk masalah yang bersifat perdata, untuk melindungi pihak yang lemah agar terhindar dari dari tindakan eksploitasi oleh pihak yang kuat.4 Guna mendukung kondisi persaingan usaha yang sehat, terbuka dan dicita-citakan oleh banyak pelaku usaha, maka

3

Aris Siswanto, Hukum Persaingan Usaha,cetakan pertama, (Jakarta: Ghalia Indonesia,2002), h.10.

4

Dhaniswara K. Harjono, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta:Pusat Pengembangan Hukum dan Bisnis Indonesia,2009), h.165.


(15)

diperlukan kebijakan persaingan usaha. kebijakan persaingan usaha bertujuan untuk meminimalkan inefisiensi perekonomian yang diakibatkan oleh perilaku pelaku usaha yang cenderung bersifat anti persaingan dan berkeinginan melakukan praktek monopoli seenaknya.5

Untuk itu, pada tanggal 5 Maret 1999 dibuatlah Undang-Undang yang mengatur persoalan antimonopoli, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (LN 1999-33) tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.6 Dengan disahkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1999, diharapkan Undang-undang tersebut menjadi sebuah instrumen hukum yang bertujuan agar dapat menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat, kompetitif, serta mendorong terciptanya efisiensi yang menunjang pertumbuhan ekonomi. Pembentukan dan pemberlakuan Undang-Undang Anti Monopoli di Indonesia pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk pengejawantahan sikap bangsa Indonesia dalam rangka mencapai dan mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Cita-cita itu merupakan arahan dan sebagai penentu arah dari tujuan nasional Indonesia.

Terwujud atau tidaknya cita-cita bangsa Indonesia, tergantung pada upaya seluruh komponen bangsa Indonesia yang bahu membahu antara pemerintah dengan masyarakat dalam melakukan pembangunan secara menyeluruh di semua sektor. Pembangunan nasional tersebut antara lain mencakup aspek-aspek ekonomi, budaya, politik, demografi, psikologi,

5

Faisal Basri, Perekonomian Indonesia, Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Indonesia, (Jakarta:Erlangga, 2002), h. 326.

6


(16)

hukum, intelektual maupun teknologi, dan industri.7 Pembangunan nasional secara menyeluruh tersebut merupakan pembangunan yang produktif, mengutamakan perbaikan taraf hidup rakyatnya, mendistribusikan ke seluruh wilayah tanpa terkecuali, menciptakan masyarakat adil dan makmur meliputi segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apabila didasarkan pada sifat atau jenis perjanjian maka perjanjian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah termasuk pada Perjanjian Timbal Balik karena masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Juga termasuk pula Perjanjian Atas Beban karena masing-masing pihak mempunyai kewajiban memberikan sesuatu prestasi. Jika berdasarkan cara terbentuknya dapat digolongkan sebagai Perjanjian Konsensuil karena timbulnya perjanjian berdasarkan adanya kata sepakat dari pihak Pejabat Pembuat Komitmen dengan pihak Penyedia Barang. Pada perjanjian Pengadaan Barang/Jasa inipun sangat tepat digolongkan pada Perjanjian Formil karena dalam proses pelaksanaannya mengharuskan melalui beberapa tahapan/formalitas yang sudah ditentukan.8

Berbicara mengenai sejarah pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah dimulai dari adanya transaksi pembelian atau penjualan barang di pasar secara langsung (tunai). Kemudian berkembang kearah pembelian berjangka waktu pembayaran, dengan membuat dokumen pertanggungjawaban (antara pembeli dan penjual), dan pada akhirnya melalui pengadaan dengan cara proses

7

Dhaniswara K.Harjono, Hukum Penanaman Modal, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,2007) ,h.3.

8

Hans Kelsen, General Theory Of law and State, Penerjemah Somardi, (Jakarta: BEE Media Indonesia, 2007), hal. 81.


(17)

pelelangan yang pemenangnya ditentukan oleh perwakilan Pemerintah (Panitia Tender). Dalam prosesnya, pengadaan barang dan jasa melibatkan beberapa pihak terkait sehingga perlu ada etika, norma dan prinsip pengadaan barang dan jasa untuk dapat mengatur atau yang dijadikan dasar penetapan kebijakan pengadaan barang dan jasa.9

Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan kegiatan pemerintah yang memiliki dampak luas terhadap perekonomian suatu daerah bahkan perekonomian nasional. Dimana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Daerah (APBN/APBD) dipercaya merupakan salah satu mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini akan semakin terasa dalam negara yang mengalami krisis perekonomian sebagai dampak dari krisis global yang mempengaruhi seluruh komponen-komponen perekonomian seperti halnya negara Indonesia. Karena itu APBN/APBD memiliki peran yang sangat signifikan dalam mendorong tercapainya target dan sasaran makro ekonomi nasional maupun daerah. maka APBN/APBD seyogyanya diarahkan untuk mengatasi berbagai kendala dan permasalahan pokok, sekaligus mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.

Undang-Undang Anti Monopoli telah mengatur bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender, melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat antara lain pembatasan akses pasar dan kolusi. Selanjutnya, pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan

9

Andrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya, (Jakarta: Sinar Grafika,2009),h.1


(18)

pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat, 10 dan pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

Persekongkolan tender dapat saja terjadi dalam proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah maupun swasta, dan tidak jaang pula persekongkolan dalam tender melibatkan pihak Panitia Pengadaan Barang dan Jasa itu sendiri. 11Hal demikian dapat terindikasi dari lemahnya penyaringan atau pemeriksaan dari Panitia Pengadaan Barang dan Jasa tersebut terhadap dokumen para peserta tender, yang mana seharusnya indikasi-indikasi persekongkolan tersebut dapat ditelaah secara dini sebelum dikeluarkan penetapan pemenang tender. Namun faktanya, indikasi-indikasi persekongkolan tender seringkali lolos dari pantauan dan penilaian Panitia Pengadaan Barang dan Jasa. Terkesan seolah-olah ada unsur kesengajaan dari Panitia Pengadaan Barang dan Jasa untuk mengesampingkan fakta dan indikasi yang menjurus pada persekongkolan tender.

10

Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2004),h.80.

11Santy, ” Tinjauan Hukum Persekongkolan Tender Pengadaan Barang dan Jasa dalam

Pembangunan Rumah Dinas Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Humbang Hasundutan Propinsi Sumatera Utara Pada Putusan Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU) Nomor


(19)

Sebagai lembaga yang diamanatkan oleh Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berkewajiban untuk memastkan terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat dan kondusif di Indonesia. Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah dijalankan selama beberapa tahun dan sepanjang periode tersebut KPPU telah menerima kurang lebih 4000 laporan dari masyarkat mengenai dugaan persekongkolan tender.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa kondisi terkini pengadaan barang dan jasa masih banyak diwarnai perilaku usaha yang tidak sehat, seperti melakukan pembatasanpasar, praktik persekongkolan, serta melakukan kolusi dengan panitia pengadaan untuk menentukan hasil akhir lelang. Namun terkadang keinginan untuk menjadi yang paling unggul dan kuat di pasar tidak diikuti dengan kemampuan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang dihasilkan, atau memperluas penjualan dan pemasaran menggunakan alat yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan ekonomi.12

Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi

dengan judul: PEMBATALAN PUTUSAN KPPU NOMOR

06/KPPU-L/2012 TENTANG PERSEKONGKOLAN TENDER PEMBANGUNAN

TERMINAL ANGKUTAN JALAN SEI AMBAWANG KOTA

12 Maulana Ichsan Setiadi, ”

Analisis Yuridis Putusan KPPU Nomor 16/KPPU-L/2009 Tentang Persekongkolan Tender Jasa Kebersihan (Cleaning Service) di Bandara Soekarno Hatta ” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014), h.4.


(20)

PONTIANAK TAHAP XI TAHUN 2012 (Studi Putusan Mahkamah

Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan penelitian skripsi ini, penulis mengidentifikasi masalah diantaranya:

a. Praktik Monopoli pemusatan kekuasaan oleh PT. Zuty Wijaya Sejati serta Peserta Tender lainnya dan Panitia Lelang yang mengakibatkan dikuasainya produksi atau pemasaran barang dan jasa dalam pelelangan Pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012 menimbulkan persaingan tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

b. Praktik Persekongkolan antara Peserta Tender dan Panitia Lelang yang di fasilitasi dengan maksud untuk menjadikan PT. Zuty Wijaya Sejati menjadi pemenang tender Pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012. Bahwa dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 PT. Zuty Wijaya Sejati dinyatakan tidak bersalah melakukan persekongkolan tender baik secara horizontal maupun vertikal.

c. Akibat Hukum putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 yang membatalkan serta menyatakan putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2012 tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak berlaku kembali. Melihat implikasi atau dampak dari putusan Mahkamah Agung


(21)

tersebut terhadap proses Pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambarawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012.

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian skripsi ini, penulis membatasi hanya membahas mengenai praktik persekongkolan tender pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012 yang telah melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan menganalisis putusan Mahkamah Agung No.241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014, melihat substansi Undang-Undang dan Peraturan dalam bidang pembatalan putusan KPPU, serta menguraikan aspek-aspek hukum pembatalan putusan KPPU di Indonesia.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah putusan Mahkamah Agung No. 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang pembatalan putusan KPPU No.06/KPPU-L/2012 telah sesuai dengan ketentuan pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999?

2. Bagaimana akibat hukum putusan Mahkamah Agung No. 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang praktik persekongkolan tender


(22)

pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambarawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan menganalisis praktik persekongkolan tender di Indonesia dengan studi kasus putusan Mahkamah Agung ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan:

a. Untuk menganalisis putusan Mahkamah Agung No. 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang pembatalan putusan KPPU No.06/KPPU-L/2012.

b. Untuk mengetahui akibat hukum putusan Mahkamah Agung No. 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang pembatalan putusan KPPU No.06/KPPU-L/2012.

2. Manfaat Penelitian

Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan menambah pengetahuan mengenai analisis yang dilakukan terhadap putusan Mahkamah Agung tentang tindakan persekongkolan tender yang ditinjau dengan


(23)

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

b. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini, yaitu :

1) Bagi Akademis

Dapat menambah pengalaman dan pengetahuan yang kelak dapat diterapkan dalam dunia nyata sebagai bentuk partisipasi dalam pembangunan negara dan masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta dalam kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat internasional.

2) Bagi Masyarakat Umum

Diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat untuk mengetahui penerapan pasal-pasal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam menangani kasus persekongkolan tender pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012, dan memahami akibat dari pembatalan putusan KPPU terhadap tender yang dijadikan perkara dalam putusan tersebut.

3) Bagi Pemerintah

Dapat memberikan saran kepada pemerintah dan KPPU untuk mengambil kebijakan-kebijakan dalam kasus praktik persekongkolan


(24)

tender pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012 serta dalam pengawasan dan penyelesaian persekongkolan tender di Indonesia dan memahami akibat dari pembatalan putusan KPPU terhadap tender yang dijadikan perkara dalam putusan tersebut.

E. Kerangka Konseptual

Suatu Kerangka Konseptual merupakan kerangka pemikiran yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang menjadi pegangan dalam proses penelitian. Suatu konsep bukanlah merupakan gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala disini biasanya dinamakan fakta sedangkan konsep merupakan uraian penjelasan mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.13 Adapun beberapa pengertian yang menjadi konseptual skripsi ini akan dijabarkan dalam uraian di bawah ini:

1. Pelaku Usaha

Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendir maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

13


(25)

2. Persaingan Usaha Tidak Sehat

Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

3. Persekongkolan

Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.

4. Tender

Tender merupakan suatu proses pengajuan penawaran yang dilakukan oleh kontraktor yang akan dilaksanakan di lapangan sesuai dengan dokumen tender. Pengertian tender mencakup untuk memborong suatu pekerjaan, mengadakan barang-barang atau menyediakan jasa.

5. Dokumen Pengadaan

Dokumen yang ditetapkan oleh ULP/Pejabat Pengadaan yang

memuat informasi dan ketentuan yang harus ditaati oleh para pihak dalam proses Pengadaan Barang/Jasa.


(26)

No.

Nama penulis/Judul Skripsi, Jurnal/Tahun

Substansi Perbedaan

1. Omar

Mardhi/Analisis Yuridis Kedudukan

Hukum Panitia

Tender Dalam

Kasus-Kasus Persekongkolan

Tender Secara

Vertikal Di

Indonesia/Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2011.

Skripsi ini menjelaskan

pandangan negara

Jepang dan Amerika

Serikat mengenai

persekongkolan tender dan kedudukan hukum panitia tender dalam persekongkolan tender secara vertikal ditinjau dari The Sherman Act 1890 dan The Japanese Antimonopoly Act.

Peneliti menulis tentang analisis putusan Mahkamah Agung No. 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang praktik persekongkolan tender

pembangunan Terminal

Angkutan Jalan Sei

Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012. Ditinjau dari Perpres No. 54

Tahun 2010 tentang

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tentang

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.


(27)

2. Maulana Ichsan

Setiadi/Analisis Yuridis Putusan

KPPU Nomor

16/KPPU-L/2009 Tentang

Persekongkolan

Tender Jasa Kebersihan

(Cleaning Service)

Di Bandara

Soekarno Hatta/ Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,2014.

Skripsi ini membahas mengenai

persekongkolan tender proyek jasa kebersihan di Bandara Soekarno

Hatta dengan

menganalisis putusan

KPPU

No.16/KPPU-L/2009, dan

perlindungan hukum dan sanksi yang dapat

dilakukan untuk

menangani

persekongkolan tender yang diatur dalam Pasal 22

Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tentang

Larangan Praktik

Monopoli dan

Persaingan Usaha

Tidak Sehat.

Peneliti menulis tentang analisis putusan Mahkamah Agung No. 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang praktik persekongkolan tender

pembangunan Terminal

Angkutan Jalan Sei

Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012. Ditinjau dari Perpres No. 54

Tahun 2010 tentang

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tentang

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.


(28)

G. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistemasis, dan konsisten.14 Metodologis berarti sesuai dengan metode dan cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Dari definisi diatas, maka nyata bahwa penelitian adalah suatu penyelidikan yang terorganisasi.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, literature, pendapat ahli, makalah-makalah, keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.15

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam skripsi ini dengan tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-Undangan (Statute approach), Pendekatan

14

Moh Nazir, Metode Penelitian, Cet . VII (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 57.

15

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia,1979), h.18.


(29)

Konspetual (conceptual approach), dan Pendekatan Kasus (Case approach).16 Pendekatan Perundang-Undangan (Statute approach), diterapkan guna memahami bagaimana persaingan usaha yang sehat dalam monopoli suatu kegiatan pasar dimana dalam persaingan tender pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012 terjadi pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pendekatan Konseptual (conceptual approach) diterapkan guna memahami konsep-konsep persaingan usaha tidak sehat, persekongkolan tender, Pendekatan Kasus (Case approach) diterapkan dalam mengamati telaah beberapa kasus yang sudah menjadi putusan pengadilan tetap yang berhubungan dengan kasus Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu: a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup

ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat. Bahan hukum yang di gunakan penulis dalam penelitian ini adalah:

16


(30)

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,

3) Keputusan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU.

5) Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang Pembatalan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2012. b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran buku dan artikel yang berkaitan dengan penjelasan mendalam mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, diantaranya buku-buku, skripsi, tesis, dan disertasi mengenai hukum persaingan usaha serta artikel ilmiah dan tulisan di internet.

c. Bahan non-hukum

Bahan non hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat, dan Kebudayaan


(31)

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui bagaimana hasil dari analisis putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Penulisan skripsi mengacu pada buku pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum 2012. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.

BAB I Pendahuluan, isi dari bab ini menjelaskan alasan penulis memilih tema atau masalah yang kemudian diangkat menjadi judul penulisan hukum. Dalam bab ini juga akan dijelaskan tentang latar belakang, identifikasi dengan batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjuan (review) kajian terdahulu, kerangka teoritis dan konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Umum Hukum Persaingan Usaha dan Persekongolan Tender. Bab ini membahas tentang persaingan usaha dan


(32)

persekongkolan tender yang dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan analisis. Pada bab ini juga akan dibahas mengenai pengertian dan sejarah persaingan usaha di Indonesia, perkembangan dan peraturan Tentang persaingan usaha di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, konsep pendekatan per se illegal dan rule of reason dalam persaingan usaha, pengertian persekongkolan tender, persekongkolan tender berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

BAB III Pembatalan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, pada bab ini penulis akan membahas gambaran umum putusan yang akan diteliti. Bab ini berisi Peranan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Penegakan Hukum Persaingan di Indonesia, Pelaksanaan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan Pembatalan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

BAB IV Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014, pada bab ini akan dipaparkan hasil penelitian yakni bagian pertama, menelaah Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 yang terdiri dari posisi kasus, aspek materil dan formil perkara. Bagian kedua, mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan atas putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang Pembatalan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2012.


(33)

BAB V Penutup, berisi kesimpulan yang ditarik dari hasil penelitian sesuai dengan perumusan masalah yang telah ditetapkan dan saran-saran yang akan lahir setelah pelaksanaan penelitian berdasarkan pemaparan bab-bab sebelumnya.


(34)

BAB II

TINJAUAN UMUM HUKUM PERSAINGAN USAHA DAN

PERSEKONGKOLAN TENDER

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pengertian hukum persaingan usaha, baik dari segi perkembangannya maupun berbagai peraturan yang mengikat di Indonesia. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai 2 pendekatan yang menjadi acuan bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha, untuk menanggulangi persaingan usaha tidak sehat yaitu pendekatan Per se Illegal

dan Rule of Reason. Di pembahasan terakhir bab akan dipaparkan pengertian persekongkolan tender dilihat dari segi teoritis dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

A. Pengertian dan Perkembangan Hukum Persaingan Usaha

1. Pengertian Hukum Persaingan Usaha

Persaingan mensyaratkan suatu iklim usaha yang kondusif, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, di mana para pelaku dipandang saling beroposisi.1 Hukum persaingan usaha bertujuan mengawal rivalitas tersebut. Persaingan (competition) dalam bahasa Inggris didefinisikan sebagai “rivalry between two or more businesses striving for the same customer or market”, (ada dua usaha atau lebih yang terlibat dalam upaya

saling mengungguli).

1

Galuh Puspaningrum, Hukum Persaingan Usaha: Perjanjian dan Kegiatan yang Dilarang dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013), h. 27.


(35)

Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha. Untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam, perlu dikemukakan beberapa pengertian hukum persaingan dari para ahli hukum persaingan usaha. Menurut Arie Siswanto, dalam bukunya yang berjudul “Hukum Persaingan Usaha” yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha (competition law) adalah instrument hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan. Meskipun secara khusus menekankan pada aspek “persaingan”, mengatur persaingan sedemikian rupa, sehingga ia tidak menjadi sarana untuk mendapatkan monopoli.

Beranjak dari pengertian di atas,2 maka yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai segala aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha, mencakup hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Dari pernyataan tersebut, penulis melihat berdasarkan teori bekerjanya hukum yang dikemukakan oleh pakar hukum Satjipto Rahardjo. Menurutnya hukum tidak akan dapat bekerja dan menjadi kumpulan kata-kata kosong jika tidak diterapkan kepada masyarakat. Tolak ukur suatu hukum telah bekerja di masyarakat dapat dilihat dari fungsi hukum di masyarakat, yakni sebagai kontrol sosial dan sebagai alat untuk mengubah masyarakat.

2


(36)

2. Perkembangan Persaingan Usaha di Indonesia

Sejarah pertumbuhan perekonomian Indonesia menunjukkan bahwa iklim bersaing di Indonesia belum terjadi sebagaimana yang diharapkan, dimana Indonesia telah membangun perekonomiannya tanpa memberikan perhatian yang memadai untuk terciptanya sebuah struktur pasar persaingan. 3Krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami oleh Indonesia sejak tahun 1998 menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab rapuhnya perekonomian di Indonesia selama ini adalah para pelaku bisnis yang tidak mengenal kebijakan persaingan (competition policy) yang sejalan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.

Dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah bahwa Undang-Undang tersebut dibuat untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim usaha yang kondusif, mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.4 Namun sering muncul kesan dikotomi (pemisahan) dalam mempersepsikan publik, yaitu konsumen di satu pihak, yang dipersepsikan sebagai masyarakat umum/ kepentingan umum, dan dunia usaha berada di sisi yang lain. Pandangan itu perlu dihilangkan karena undang-undang ini dilahirkan untuk menata

3

Agus Maulana, Pengantar Mikro Ekonomi, Jilid II (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 2000), h. 4.

4

Ayudha D. Prayoga,dkk, Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya, (Jakarta :ELIPS,2000),h.49


(37)

dan melindungi kepentingan publik dalam arti keseluruhan.5 Secara yuridis tujuan persaingan usaha diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat sebagai berikut :6

1. Menjaga kepentingan umum serta melindungi konsumen

2. Menumbuhkan iklim usaha yang sehat

3. Menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang

4. Mencegah praktek-praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha

5. Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pemikiran yang demokrasi ekonomi perlu diwujudkan untuk menciptakan ekonomi yang sehat, maka disusunlah Undang-Undang tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dapat menegakkan hukum dan dapat memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha dalam upaya menciptakan persaingan usaha yang sehat. Ketentuan hukum ini terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun

5 Rakhmadewi Rosalifa Jihad, “Penanganan Persekongkolan Tender oleh Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU): Perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999”, Jurnal Ilmiah, (Maret 2013): h.4.

6

L. Budi Kagramanto, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha), (Surabaya: Srikandi, 2007), h.13.


(38)

1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 33 pada tanggal 5 Maret 1999 dan berlaku secara efektif 1 (satu) tahun sejak diundangkan.7

3. Peraturan Tentang Persaingan Usaha di Indonesia

Indonesia sebagai negara berkembang pada dekade terakhir ini mengalami kemajuan yang cukup pesat, walaupun kemajuan tersebut ditandai masa-masa cukup sulit.8 Pembangunan yang dilakukan demi kemajuan negara Indonesia merupakan pembangunan yang dilakukan secara menyeluruh serta menyentuh segenap aspek hidup masyarakat, dalam arti tidak hanya menitikberatkan pada satu bidang tertentu saja. Pembangunan pada bidang ekonomi merupakan penggerak utama pembangunan, namun pembangunan ekonomi ini harus disertai upaya saling memperkuat, serta terpadu dengan pembangunan bidang lainnya.

Dalam hal ini Hukum Anti Monopoli akan mengatur setidaknya kelompok-kelompok praktik ataupun segala bentuk kondisi yang menghalangi berlangsungnya kompetisi wajar di pasar, yaitu:9

a. Persekongkolan yang bersifat restriktif.

b. Praktik-praktik usaha tidak wajar yang merugikan konsumen.

7

Ningrum Natasya Sirait, Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha, (Jakarta: PT Gramedia, 2010), hal. 1.

8

Johannes Ibrahim, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), h.23.

9


(39)

c. Merger dan posisi dominan di pasar.

d. Perangkapan jabatan di berbagai perusahaan. e. Penyalahgunaan posisi dominan di pasar. f. Pengaturan tentang pengecualian-pengecualian g. Badan pengawas yang independen.

h. Penalti atau hukuman.

Isi Undang-Undang Anti Monopoli (Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat) ini sesuai dengan standar internasional, yaitu sebagai berikut:

a. Melarang perjanjian yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan tidak sehat (Pasal 4, 7 s.d. 9, Pasal 10 s.d. 14, 22, 23).

b. Mengizinkan sampai ke tingkat tertentu penetapan harga konsumen, perjanjian eksklusif serta perjanjian lisensi dan

know-how (Pasal 5, 6, 15, dan Pasal 50 huruf b).

c. Melarang penggabungan atau peleburan badan usaha, yang menyebabkan terjadinya posisi dominan di pasar atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 26 s.d. 29).

d. Melarang tindakan merugikan konsumen, pemasok atau penerima barang dengan cara menyalahgunakan posisi dominan di pasar (Pasal 17 dan 18).

e. Melarang menghalangi pesaing dengan tindakan-tindakan diskriminasi baik melalui harga, syarat-syarat perdagangan atau


(40)

penolakan melakukan hubungan usaha Pasal 7, 8, 16, 19, s.d. 21)

B. Pengertian Persekongkolan Dalam Hukum Anti Monopoli

Persekongkolan mempunyai karakteristik tersendiri, karena dalam persekongkolan (conspiracy/konspirasi) terdapat kerjasama yang melibatkan dua atau lebih pelaku usaha yang secara bersama-sama melakukan tindakan melawan hukum.10 Istilah persekongkolan (conspiracy) pertama kali ditemukan pada Antitrust Law di USA yang didapat melalui Yurisprudensi Mahkamah Tertinggi Amerika Serikat, berkaitan dengan ketentuan Pasal 1 The Sherman Act 1890, dimana dalam pasal tersebut dinyatakan ; “….. persekongkolan untuk menghambat perdagangan ….. (….conspiracy in restraint of trade…..) ”. Mahkamah Tertinggi USA juga menciptakan istilah “concerted action” untuk mendefinisikan istilah persekongkolan dalam hal

menghambat perdagangan, dan kegiatan saling menyesuaikan berlandaskan pada persekongkolan guna menghambat perdagangan serta pembuktiannya dapat disimpulkan dari kondisi yang ada. Berdasarkan pengertian di USA itulah, maka persekongkolan merupakan suatu perjanjian yang konsekuensinya adalah perilaku yang saling menyesuaikan.

Secara yuridis pengertian persekongkolan usaha atau conspiracy ini diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat, yakni “sebagai bentuk kerjasama

10


(41)

yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol“.11

Bentuk kegiatan persekongkolan ini tidak harus dibuktikan dengan adanya perjanjian, tetapi bisa dalam bentuk kegiatan lain yang tidak mungkin diwujudkan dalam suatu perjanjian.

Terdapat 3 (tiga) bentuk kegiatan persekongkolan yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat, yaitu:

1. Persekongkolan untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender (Pasal 22),

2. Persekongkolan untuk memperoleh/membocorkan rahasia dagang (Pasal 23),

3. Persekongkolan untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran produk (Pasal 24).

C. Konsep Pendekatan Per se Illegal dan Rule of Reason dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Secara prosedural, dalam melarang kegiatan yang mengakibatkan timbulnya monopoli, dikenal dua pendekatan. Pertama, pendekatan per se

(dalam beberapa buku dikenal per-se illegal), yakni pendekatan yang melarangnya secara tegas, bahwa dengan hanya melakukan tindakan yang

11

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 1 angka 8 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.


(42)

dilarang, demi hukum tindakan tersebut dianggap bertentangan dengan hukum yang berlaku. Pendekatan per se illegal biasanya dipergunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “…yang dapat mengakibatkan…”.12

Kedua, pendekatan rule of reason, yaitu bahwa dengan telah terbukti dilakukannya tindakan yang dilarang tersebut saja, tidak otomatis tindakan tersebut sudah bertentangan dengan hukum, tetapi harus dilihat dulu sejauhmana akibat dari tindakan tersebut menimbulkan monopoli atau akan mengakibatkan kepada persaingan tidak sehat.13 Kedua pendekatan tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu menghindari terjadinya kerugian pada konsumen dan berupaya agar tindakan pelaku usaha tidak menghambat persaingan usaha.

1. Pendekatan Per se Illegal

Menurut Dr. Sutrisno Iwantono, MA dalam tulisannya yang berjudul “ Per se Illegal dan Rule of Reasondalam Hukum Persaingan Usaha” yang

dimaksud dengan per se illegal adalah suatu perbuatan yang bersifat dilarang atau illegal. Terhadap suatu perbuatan atau tindakan yang bersifat dilarang tanpa perlu pembuktian terhadap dampak dari perbuatan tersebut. Dengan kata lain Prinsip pendekatan per se illegal adalah suatu

12 (Hukum Online, “Pentingnya prinsip

per se illegal dan rule of reason di UU

Persaingan Usaha”, artikel diakses pada 3 Mei 2016 dari http : // www.Hukumonline.com /klinik /detail /lt4b94e6b8746a9/pentingnya-prinsip-per-se-dan-rule-of-reason-di-uu-persaingan-usaha.

13

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global, , (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), h. 214.


(43)

pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha, dimana prinsip ini menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tertentu.

Larangan-larangan yang bersifat per se illegal adalah larangan yang bersifat jelas, tegas, dan mutlak dalam rangka memberi kepastian bagi para pelaku usaha.14 Larangan ini bersifat tegas dan mutlak disebabkan perilaku yang sangat mungkin merusak persaingan, sehingga tidak perlu lagi melakukan pembuktian akibat perbuatan tersebut. Tegasnya prinsip Per Se

melihat perilaku atau tindakan yang dilakukan adalah bertentangan dengan hukum.

2. Pendekatan Rule of Reason

Pendekatan ini adalah pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian, guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan.15 Artinya, penerapan hukumnya tergantung pada akibat yang ditimbulkannya, apakah perbuatan itu telah menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, karena titik beratnya adalah unsur materil dari perbuatannya.

14

Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori Dan Praktiknya Di Indonesia) , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 72.

15

A.M. Tri Anggraini, “Penerapan “Rule of Reason”dan “ Per Se Illegal dalam Hukum


(44)

Ketika menggunakan teori rule of reason, pelaksanaan dari suatu tindakan yang dilarang perlu dibuktikan lebih dahulu, sampai beberapa jauh tindakan yang merupakan anti persaingan tersebut akan berakibat kepada pengekangan persaingan pasar yang menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. Substansi penerapan rule of reason dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tergambar dari konteks kalimat yang membuka alternatif interpretasi bahwa tindakan tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu akibatnya secara keseluruhan. 16

Jadi, tidak seperti teori per se illegal, dengan memakai teori rule of reason tindakan yang dilarang tidak otomatis bersalah, meskipun perbuatan yang dituduhkan tersebut kenyataan terbukti telah dilakukan. Kecuali ditentukan sebagai per se illegal, berdasarkan doktrin per se, kepatutan atau ketidakpatutan dari hambatan perdagangan ditentukan secara rule of reason. Kepatutan perdagangan ditentukan berdasarkan asas hukum dan kewajiban untuk menerapkan kepentingan umum yang termuat dalam peraturan perundang-undangan.

D. Pengertian Persekongkolan Tender

Secara filosofis, pengertian kejahatan bisnis mengandung makna bahwa telah terjadi perubahan nilai-nilai (values) dalam masyarakat ketika suatu kegiatan bisnis dioperasikan sedemikian rupa sehingga merugikan

16 Alum Simbolon, “Pendekatan yang Dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Menentukan Pelanggaran dalam Hukum Persaingan Usaha”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum no.2


(45)

kepentingan masyarakat luas, seperti penanaman modal dalam sektor swasta yang padat karya.17 Perubahan nilai tersebut membuktikan bahwa kalangan pebisnis sudah kurang atau tidak menghargai lagi kejujuran demi untuk mencapai tujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Menurut Black’s

Law Dictionary, persekongkolan dapat juga diartikan sebagai penyatuan maksud antara dua orang atau lebih yang bertujuan untuk menyepakati tindakan melanggar hukum atau kriminal melalui upaya kerjasama. Hal ini terdapat dalam Al-Quran QS. An-Nisa (4): 29, Allah SWT berfirman:

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, persekongkolan berasal dari kata “sekongkol”, sekongkol diartikan sebagai orang-orang yang turut serta berkomplot melakukan kejahatan (kecurangan)18. Persekongkolan juga kerap disamakan dengan kolusi (collusion), yaitu sebagai, “A secret agreement between two or more people for deceitful or produlent purpose”, yang

17

Romli Atmasasmita, Pengaturan Hukum Kejahatan Bisnis (Business Crime), (Bogor: Kencana, 2003), h. 34.

18

TIM Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gita Media Press,2000), h. 684.


(46)

diartikan bahwa dalam kolusi adalah sebuah perjanjian rahasia yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih dengan bermaksud berbohong atau penggelapan yang sama artinya dengan konspirasi dan cenderung berkonotasi negatif.

Persekongkolan mempunyai karakteristik tersendiri, karena dalam persekongkolan (conspiracy) terdapat kerja sama yang melibatkan dua atau lebih pelaku usaha yang secara bersama-sama melakukan tindakan melawan hukum.19 Mahkamah Tertinggi USA menciptakan istilah concerted action

untuk mendefinisikan istilah persekongkolan dalam hal menghambat perdagangan, dan kegiatan saling menyesuaikan berlandaskan pada persekongkolan guna menghambat perdagangan serta pembuktiannya dapat disimpulkan dari kondisi yang ada. Berdasarkan pengertian diatas, persekongkolan merupakan suatu perjanjian yang konsekuensinya adalah perilaku yang saling menyesuaikan dalam melancarkan aksi kecurangan mereka (conspiracy is an agreement which has consequence of concerted action).

Terdapat tiga terminologi berbeda untuk menjelaskan pengertian tender yaitu pemborongan, pengadaan, dan penyediaan.20 Suatu pekerjaan/proyek ditenderkan maka pelaku usaha yang menang dalam proses tender akan memborong, mengadakan, atau menyediakan barang/atau jasa

19

Dayu Padmara Rengganis, Hukum Persaingan Usaha Perangkat Telekomunikasi dan Pemberlakuan Persetujuan ACFTA, (Bandung: P.T.Alumni,2013),h.38

20

Asril Sitompul, Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan Terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999),(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1999),h.31.


(47)

yang dikehendaki oleh pemilik pekerjaan dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan tertentu yang ditetapkan oleh pihak terkait.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa peresekongkolan tender adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih, secara terang-terangan maupun diam-diam melalui tindakan penyesuaian /kesamaan tindakan (concerted action) dan atau membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan (comparing Bid prior to submission) dan atau menciptakan persaingan semu (sham competition) dan atau menyetujui dan atau memfasilitasi dan atau tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahi bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan perserta tender tertentu.21

E. Persekongkolan Tender Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999

Berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat,22 yang dimaksud dengan larangan dalam hal ini adalah apabila pelaku usaha bersekongkol dengan pihak lain, baik pihak penyelenggara tender yang dilakukan oleh pemerintah/swasta atau pelaku usaha yang turut terllibat dalam

tender itu bertindak seolah-olah sebagai pesaing. Padahal ia sebagai pelengkap atau pelaku usaha semu yang bersepakat untuk menentukan pelaku usaha yang

21

Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, h. 150.

22

Insan Budi Maulana, Catatan Singkat Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Laragnan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,(Bandung:Pt.Citra Aditya Bakti,2000),h.33


(48)

akan memenangkan tender. Tindakan persekongkolan tersebut menurut Pasal 22 dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Persekongkolan dalam tender dapat dibedakan pada tiga jenis, yaitu persekongkolan horizontal, persekongkolan vertikal, dan gabungan persekongkolan vertikal dan horizontal. Berikut penjelasan atas ketiga jenis persekongkolan tersebut.

1) Persekongkolan Horizontal

Merupakan persekongkolan yang terjadi antara pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan sesama pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa pesaingnya. Persekongkolan ini dapat dikategorikan sebagai persekongkolan dengan menciptakan persaingan semu di antara peserta tender.23

2) Persekongkolan Vertikal

Merupakan persekongkolan yang terjadi antara salah satu atau beberapa pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan.Persekongkolan ini dapat terjadi dalam bentuk dimana panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan bekerjasama dengan salah satu atau beberapa peserta tender.

23

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Pedoman Pasal 22 UU No.5/1999 Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,h.16.


(49)

3) Persekongkolan Horizontal dan Vertikal

Merupakan persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender. Salah satu bentuk persekongkolan ini adalah tender fiktif, dimana baik panitia tender, pemberi pekerjaan, maupun para pelaku usaha melakukan suatu proses tender hanya secara administratif dan tertutup.


(50)

BAB III

PEMBATALAN PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

Gambaran umum akan persaingan usaha dan persekongkolan tender yang telah dijelaskan sebelumnya akan berhubungan dengan sengketa dalam penulisan skripsi ini. Sengketa yang diangkat adalah tentang Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 yang membatalkan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2012. Untuk itu, pada BAB III ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai peran KPPU dalam menegakan hukum di Indonesia, pelaksanaan putusan KPPU, dan pembatalan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

A. Peranan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Penegakan Hukum

Persaingan di Indonesia

Dalam konteks ketatanegaraan, KPPU merupakan lembaga negara komplementer (state auxiliary organ) yang mempunyai wewenang berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat untuk melakukan penegakan hukum persaingan usaha. Secara sederhana state auxiliary organ adalah dan merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas lembaga negara pokok (eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) yang sering juga disebut dengan lembaga independen semu negara (quasi). Peran sebuah lembaga independen semu


(51)

negara (quasi) menjadi penting sebagai upaya responsif bagi negara-negara yang tengah transisi dari otoriterisme ke demokrasi.1

Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang No 5 Tahun 1999 (UU Antimonopoli) dibentuk suatu komisi. Pembentukan ini didasarkan pada Pasal 34 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat yang menginstruksikan bahwa pembentukan susunan organisasi, tugas, dan fungsi komisi ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan Keppres No 75 Tahun 1999 dan diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU. Dengan demikian, penegakan hukum Antimonopoli dan persaingan usaha berada dalam kewenangan KPPU. Namun demikian, tidak berarti bahwa tidak ada lembaga lain yang berwenang menangani perkara monopoli dan persaingan usaha. Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Agung (MA) juga diberi wewenang untuk menyelesaikan perkara tersebut. Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk menangani keberatan terhadap putusan KPPU dan menangani pelanggaran hukum persaingan yang menjadi perkara pidana karena tidak dijalankannya putusan KPPU yang sudah in kracht. MA diberi kewenangan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran hukum persaingan apabila terjadi kasasi terhadap keputusan Pengadilan Negeri tersebut.

KPPU memiliki tugas dan tanggung jawab yang diemban dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawas yang telah di tunjuk oleh Presiden

1Budi L. Kagramanto, “Implementasi Undang

-Undang No 5 Tahun 1999 Oleh KPPU”, Jurnal Ilmu Hukum Yustisia 2007: h.2.


(52)

Republik Indonesia. KPPU memiliki tujuh tugas. Pertama, melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16. Kedua, melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24. Ketiga, melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28.

Keempat, mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36. Kelima, memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Keenam, menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini. Ketujuh, memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.2

KPPU memiliki duabelas wewenang. Pertama, menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Kedua, melakukan penelitian

2 Beny Pasaribu, “Regulasi dan Persaingan Sehat Dalam Sistem Ekonomi Indonesia”,


(53)

tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Ketiga, melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya. Keempat, menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Kelima, memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.

Keenam, memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahuipelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini. Ketujuh, meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi. Kedelapan, meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. Kesembilan, mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan. Kesepuluh, memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat. Kesebelas, memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.


(54)

Keduabelas, menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.3

B. Pelaksanaan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Putusan perkara monopoli dan persaingan usaha yang dapat dieksekusi adalah putusan condemnatoir yang menyatakan bahwa pelaku usaha melanggar Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat dan karenanya dijatuhi sanksi. Sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Komisi hanyalah sanksi administratif dan pengenaan denda, sedangkan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung dapat menjatuhkan sanksi pidana maupun ganti rugi dan pidana denda.

Putusan KPPU merupakan salah satu sumber penting Hukum Persaingan Usaha di Indonesia karena merupakan bentuk implementasi terhadap Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat. Oleh karena itu, wajar kiranya ketentuan bahwa setiap putusan Komisi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dimintakan penetapan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Hal ini dapat diartikan bahwa kekuatan dan pelaksanaan putusan tersebut berada di bawah pengawasan Ketua Pengadilan Negeri.

Dalam waktu 30 hari sejak menerima pemberitahuan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, pelaku usaha yang dikenai sanksi harus menjalankannya dan melaporkan pelaksanaan putusan tersebut kepada

3

Nugroho Prabowo, “Praktik Persaingan Usaha Di Indonesia”, Jurnal Hukum Yustisia Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Vol. 1, No. 1, 2010, h. 76.


(55)

KPPU.4 Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan putusan tersebut maka terdapat dua upaya hukum. Pertama, KPPU meminta penetapan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Ketentuan permintaan penetapan dari Pengadilan Negeri terhadap putusan KPPU diatur dalam Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat yang berbunyi:“Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.”

Kedua, KPPU menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan, tujuannya untuk menerapkan sanksi pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 44 ayat (4) ) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat yang berbunyi: “Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Pelaksanaan eksekusi riil (eksekusi putusan) yang menghukum pelaku usaha untuk melakukan perbuatan tertentu) dilakukan dengan cara KPPU meminta kepada Pengadilan Negeri agar memerintahkan pelaku usaha untuk melakukan perbuatan tertentu seperti membatalkan penggabungan, pengambil alihan saham dan peleburan badan usaha, membatalkan perjanjian yang mengakibatkan praktek monopoli dan lain sebagainya. Sedangkan pelaksanaan eksekusi pembayaran sejumlah uang dilakukan dalam hal putusan

4I Ketut Karmi Nurjaya, “Peranan KPPU Dalam Menegakkan Undang

-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. No. 1 (Januari 2009), h. 88.


(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

g. pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara

tender atau pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti tender, dengan cara melawan hukum;

5.4.3 Bahwa berdasarkan analisis mengenai persekongkolan Horizontal sebagaimana diuraikan dalam Tentang Hukum butir 3 persekongkolan yang dilakukan oleh Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI adalah sebagai berikut:

1.--- Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV memiliki ikatan saudara dimana Terlapor II adalah ayah angkat dari Terlapor III dan Terlapor III adalah Istri dari Terlapor TV sesuai dengan Tentang Hukum butir 3.3.1;

2.--- Terlapor V dan Terlapor VI memiliki ikatan saudara dimana Terlapor V adalah Adik dari Terlapor VI sesuai dengan Tentang hukum butir 3.3.2;

3.--- Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI terbukti melakukan praktek pinjam meminjam perusahaan sesuai dengan Tentang Hukum butir 3.3.3;

4.--- Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI memiliki kesamaan kesalahan penulisan pada dokumen personil inti sesuai dengan Tentang Hukum butir 3.3.4;

5.4.4 Bahwa dengan demikian unsur bersekongkol terpenuhi; c. Tentang Pihak Lain

Hal ini juga telah Pemohon Kasasi uraikan sebagaimana terdapat dalam Butir 5.5. Bagian Tentang Hukum Putusan KPPU pada halaman 77-78, yang dapat kami kutip sebagai berikut:

5.5 Unsur Pihak Lain;

5.5.1 Bahwa menurut Pedoman Pasal 22, yang dimaksud dengan unsur Pihak Lain adalah:

"para pihak (vertikal dan horizontal) yang terlibat dalam proses tender yang melakukan persekongkolan tender

Hal. 26 dari 28 hal Put. Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

baik pelaku usaha sebagai peserta tender dan atau

subjek hukum lainnya yang terkait dengan tender tersebut";

2 Bahwa yang dimaksud dengan pihak lain dalam perkara ini adalah para pihak secara horizontal yaitu Terlapor II s. d Terlapor XII yang merupakan pelaku usaha sebagai peserta tender, maupun pihak lain secara vertikal yaitu Terlapor I yang merupakan subjek hukum lainnya yang terkait dengan tender; 3 Bahwa yang dimaksud para pihak dalam perkara ini

adalah Terlapor I, Panitia Pengadaan Barang dan Jasa "C" Tahun Anggaran 2008 di PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Tengah & DIY; Terlapor II, PT Berkah Surya Abadi Perkasa; Terlapor III, PT Swadarma Perkasa; Terlapor IV, PT Prima Abadi System; Terlapor V, PT Mulyo Mukti; Terlapor VI, PT Gugah Perkasa Ripta; Terlapor VII, PT Mulya Abadi Utama; Terlapor VIII, PT Graha Artha; Terlapor IX, PT Indo Power Makmur Sejahtera; Terlapor X, PT Mega Indah Abadi; Terlapor XI, PT Astria Galang Pradana; dan Terlapor XII, PT Tri Tunggal Abadi sebagaimana dimaksud dalam Bagian Tentang Hukum butir 2.1. sampai dengan 2.12 di atas;

4 Bahwa dengan demikian unsur pihak lain terpenuhi; d. Tentang Mengatur dan/atau Menentukan Pemenang Tender

Hal ini juga telah Pemohon Kasasi uraikan sebagaimana terdapat dalam Butir 5.6. Bagian Tentang Hukum Putusan KPPU pada halaman 78, yang dapat kami kutip sebagai berikut:

5.6 Unsur mengatur dan atau menentukan pemenang tender; 5.6.1 Bahwa menurut Pedoman Pasal 22, mengatur dan

atau menentukan pemenang tender adalah: "suatu perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender secara bersekongkol yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya

Hal. 27 dari 31 hal Put. Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

dan/atau untuk memenangkan peserta tender tertentu

dengan berbagai cara. Pengaturan dan atau penentuan pemenagn tender tersebut antara lain dilakukan dalam hal penetapan kriteria pemenang, persyarataan teknik, keuangan, spesifikasi, proses tender dan sebagainya";

5.6.2 Bahwa penentuan pemenang tender dengan cara: 5.6.2.6 Terlapor I memfasilitasi Terlapor II untuk

memenangkan Tender Pembangunan

Terminal ALBN Sei Ambawang Tahap ke XI Tahun Anggaran 2012;

7- Terlapor II meminta Terlapor V dan Terlapor

VI untuk menjadi pendamping dan memberikan uang jasa masing-masiing sebesar Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) melalui Terlapor TV sesuai dengan Tentang Hukum butir 3.3.3.3 dan 3.3.3.4 di atas;

8- Terlapor TV mengakui mencari pendamping

dalam tender perkara a quo yakni Terlapor III;

9- Terlapor TV membuat seluruh dokumen

penawaran Terlapor V dan Terlapor VI sesuai dengan Tentang Hukum butir 3.3.3.5 di atas;

5.6.3 Bahwa dengan demikian unsur mengatur dan atau menentukan pemenang tender terpenuhi;

e. Tentang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat;

Bahwa akibat Persekongkolan tersebut, telah terbukti menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana terurai dalam Butir 5.7. Bagian Tentang Hukum Putusan KPPU pada halaman 78-79, yang dapat kami kutip sebagai berikut:

5.7 Unsur dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat;

5.7.1 Bahwa menurut pasal 1 angka 6 dan Pedoman Pasal 22, persaingan usaha tidak sehat adalah; "persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa

Hal. 28 dari 28 hal Put. Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(4)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan

hukum atau menghambat persaingan usaha; 2--- Bahwa

tindakan Terlapor II, Terlapor III, Terlapor TV, Terlapor V, Terlapor VI dengan cara pinjam meminjam perusahaan adalah sebuah tindakan yang menghambat persaingan usaha secara sehat;

3--- Bahwa tindakan Terlapor I dengan meloloskan Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor TV dimana Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor TV memiliki hubungan keluarga adalah salah satu tindakan yang menghambat persaingan usaha secara sehat; 4--- Bahwa Terlapor IV mengakui mencari pendamping dalam tender perkara a quo yakni Terlapor VI adalah sebuah tindakan yang menghambat persaingan usaha secara sehat;,

2 Bahwa Terlapor V dan Terlapor VI mengakui

perusahaan dipinjam oleh Terlapor II untuk mengikuti Tender a quo adalah salah satu tindakan yang menghambat persaingan usaha secara

sehat;---3 Bahwa dengan demikian, unsur mengakibatkan

terjadinya persaingan usaha tidak sehat terpenuhi;

e) Bahwa berdasarkan uraian di atas, Para Termohon Kasasi telah terbukti melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999; Oleh karena itu atas ketidak cermatan Judex Facti yang tidak mempertimbangkan alat bukti dan fakta-fakta sudah seharusnya Putusan Judex Facti untuk dibatalkan.

Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa keberatan-keberatan Kasasi dari Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti dengan saksama Memori Kasasi tertanggal 6 Desember 2013 dan Kontra Memori Kasasi tanggal I tertanggal 8 Januari 2014 serta Kontra Memori Kasasi II tertanggal 2 Januari 2014 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini putusan Pengadilan Negeri Pontianak, ternyata Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum dan telah memberi pertimbangan hukum yang cukup;

Hal. 29 dari 31 hal Put. Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(5)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata

Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 79/Pdt.G/2013/PN.PTK tanggal 12 Nopember 2013 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/ atau undang-undang, oleh karena itu permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA tersebut harus ditolak;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Termohon Keberatan ditolak, maka Pemohon Kasasi/Termohon Keberatan harus dihukum untuk membayar biaya perkara;

Memperhatikan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;

M E N G A D I L I

Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA tersebut;

Menghukum Pemohon Kasasi/Termohon Keberatan) untuk membayar

biaya perkara pada tingkat kasasi yang ditetapkan sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada Mahkamah Agung pada hari Jum’at tanggal 28 November 2014 oleh H.Djafni Djamal, S.H., M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, H. Mahdi Soroinda Nasution,S.H.,M.Hum., dan Dr. Nurul Elmiyah, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung, masing-masing sebagai Anggota, putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua dengan dihadiri oleh Anggota-Anggota tersebut dan Nawangsari, S.H., M.H., Panitera Pengganti tanpa dihadiri oleh para Pihak.

Anggota-Anggota, Ketua,

Ttd/H. Mahdi Soroinda Nasution,S.H.,M.Hum. Ttd/ H.Djafni Djamal, S.H., M.H. Ttd/ Dr. Nurul Elmiyah, S.H., M.H.

Hal. 30 dari 28 hal Put. Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(6)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Panitera Pengganti,

Biaya-biaya: Ttd/ Nawangsari, S.H., M.H.

1. Meterai : Rp 6.000,00

2.Redaksi : Rp 5.000,00

3.Administrasi Kasasi : Rp489.000,00 +

Jumlah : Rp500.000,00

Untuk Salinan Mahkamah Agung R.I. a.n. Panitera

Panitera Muda Perdata Khusus

Rahmi Mulyati, SH.MH NIP : 19591207 1985 12 2 002

Hal. 31 dari 31 hal Put. Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 54 88

Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 631 K/Pdt.Sus/2012)

14 81 121

Disparatis putusan sanksi denda pada persekongkolan tender (studi putusan MA perkara Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013)

1 20 0