Secara   epidemiologi   kasus   GSPT   juga   terjadi   di   Indonesia.   Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga SKRT tahun 2005, diketahui prevalensi
gangguan jiwa 1401000 penduduk usia 15 tahun ke atas, 23 diantaranya adalah GSPT Depkes, 2006.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa kasus GSPT merupakan salah satu kasus psikiatri yang cukup sering dijumpai.
Kasus ini sampai 10,3 untuk pria dan 18,3 untuk wanita.
2.3.  Etiologi
Terjadinya   GSPT   didahului   oleh   adanya   suatu   stresor   berat   yang melampaui   kapasitas   hidup   seseorang,   serta   menimbulkan   penderitaan
bagi setiap orang Elvira, 2010. 2.3.1. Stresor
Dari   definisi,   stresor   adalah   faktor   penyebab   utama   dalam perkembangan GSPT. Tidak semua orang mengalami GSPT. Stresor sendiri
tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Respon dari peristiwa traumatik harus melibatkan ketakutan yang hebat. Klinisi perlu memperhatikan faktor
premorbid   biologis   dan   psikologis   individu   dan   peristiwa   yang   terjadi sebelum dan sesudah trauma. Contohnya, kelompok yang hidup melampaui
bencana   terkadang   dapat   mengatasi   trauma   karena   saling   berbagi pengalaman.   Arti   subjektif   dari   stresor   bagi   seseorang   juga   sangat
pentingSadock, 2007. 2.3.2. Aspek Biologik
Gejala-gejala GSPT timbul sebagai akibat respons biologik dan juga psikologik   seorang   individu.   Kondisi   ini   terjadi   oleh   karena   aktivasi   dari
beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada   seseorang.   Terpaparnya   sesorang   oleh   peristiwa   traumatik   akan
menimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi keberbahayaan peristiwa yang dialami, serta mengorganisasi suatu
repson perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala akan mengaktivasi beberapa
neurotransmiter   serta   bahan-bahan   neurokimiawi   di   otak   jika   seseorang menghadapi   pertiwa   traumatik   yang   mengacam   nyawa   sebagai   respon
tubuh   untuk   menghadapi   peristiwa   tersebut.   Dalam   waktu   beberapa milidetik   setelah   mengalami   peristiwa   tersebut,   amigdala   dengan   segera
akan bereaksi dengan memberikan stimulus berupa tanda darurat kepada : 1 Sistem Saraf Simpatis Katekolamin
2 Sistem Saraf Parasimpatis 3 Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Kelenjar Adrenal HPA
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah mengalami   peristiwa   traumatik,   maka   akan   terjadi   peningkatan   denyut
jantung   dan   tekanan   darah.   Kondisi   ini   disebut   sebagai  ‘flight   or   fight reaction’.   Reaksi   ini   juga   akan   meningkatkan   aliran   darah   dan   jumlah
glukosa   pada   otot-otot   skeletal   sehingga   membuat   seseorang   sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa tersebut atau jika mungkin memberikan
reaksi   interaktif   terhadap   ancaman   yang   optimal.   Rekasi   sistem   saraf parasimpatis   berupa   membatasi   reaksi   sistem   saraf   simpatis   pada
beberapa   jaringan   tubuh,   namun   respons   ini   bekerja   secara   bebas   dan tidak berkaitan dengan respons yang diberikan oleh sistem saraf simpatis.
Aksis HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada wkatu   orang   berhadapan   dengan   peristiwa   traumatik.   Hipotalamus   akan
mengeluarkan  Cortico-releasing hormon CRF  dan beberapa neuropetida regulator   lainnya,   sehingga   hipofisis   akan   terangsang   dan   mensekresi
adrenocorticotropic   hormone   ACTH  yang   akhirnya   menstimulasi pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal.
Jika   seseorang   mengalami   tekanan,   maka   tubuh   secara   alamiah akan   meningkatkan   pengeluaran   katekolamin   dan   hormon   kortisol;
pengeluaran kedua zat ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami
oleh individu. Katekolamin berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut.
Hormon   kortisol   berperan   dalam   menghentikan   aktivasi   sistem   saraf simpatis dan beberapa sistem tubuh yang bersifat defensif tadi yang timbul
akibat dari peristiwa traumatik yang dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon kortisol bereperan dalam proses terminasi dari respons
tubuh   dalam   menghadapi   tekanan.   Peningkatan   hormon   kortisol   akan menimbulkan efek umpan balik negatif pada aksis HPA tersebut.
Pitman   1989   menghipotesiskan   bahwa   pada   individu   yang cenderung untuk mengalami GSPT, mengalami gangguan dalam regulasi
neuropeptida   dan   juga   katekolamin   di   otak   pada   waktu   menghadapi peristiwa traumatik. Katekolamin yang meningkat ini akan membuat individu
tetap berada dalam kondisi siaga terus menerus. Jika hormon kortisol gagal menghentikan proses ini, maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi dan
kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya ‘konsolidasi berlebihan’ dari ingatan- ingatan peristiwa traumatik yang dialami.
2.3.3. Aspek Psikodinamik Model   psikoanalitik   dari   GSPT   berhipotesis   bahwa   trauma   telah
mereaktivasi   konflik   psikologis   terdahulu   yang   statis,   pun   yang   tidak terselesaikan.   Bangkitnya  trauma  masa  kecil  berakibat  pada  regresi  dan
penggunaan   mekanisme   pertahanan     dari   represi,  denial,   reaksi   formasi dan  undoing.   Konflik   sebelumnya   mungkin   dapat   secara   simbolis
dibangkitkan  kembali oleh  peristiwa  traumatik  baru.  Ego  muncul  kembali dan kemudian mencoba untuk mengendalikan dan mengurangi kecemasan.
Orang yang menderita Alexithymia, ketidakmampuan untuk mengidentifikasi atau   mengatakan   kondisi   perasaannya,   tidak   mampu   menenangkan   diri
mereka sendiri saat stres Sadock, 2007. Hal-hal   yang   berkaitan   dengan   aspek   psikodinamik   dari   GSPT
adalah Elvira, 2010:
1 Arti subjektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari peristiwa traumatik yang dialami oleh seseorang.
2 Kejadian   traumatik   yang   dialami   mungkin   mereaktivasi   konflik-konflik psikologis akibat peristiwa traumatik di masa kecil.
3 Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem afeksinya.
4 Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul  dalam bentuk somatisasi atau aleksitimia.
5 Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu dengan GSPT   adalah   penyangkalan,  splitting,   projeksi,   disosiasi   dan   rasa
bersalah. 6 Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari
berbagai   peran   seperti   penyelamat   omnipoten   atau   korban   yang omnipoten.
2.4.  Faktor Resiko