Etiologi REFERAT PTSD Michael PN 39N UHT

Secara epidemiologi kasus GSPT juga terjadi di Indonesia. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga SKRT tahun 2005, diketahui prevalensi gangguan jiwa 1401000 penduduk usia 15 tahun ke atas, 23 diantaranya adalah GSPT Depkes, 2006. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa kasus GSPT merupakan salah satu kasus psikiatri yang cukup sering dijumpai. Kasus ini sampai 10,3 untuk pria dan 18,3 untuk wanita.

2.3. Etiologi

Terjadinya GSPT didahului oleh adanya suatu stresor berat yang melampaui kapasitas hidup seseorang, serta menimbulkan penderitaan bagi setiap orang Elvira, 2010. 2.3.1. Stresor Dari definisi, stresor adalah faktor penyebab utama dalam perkembangan GSPT. Tidak semua orang mengalami GSPT. Stresor sendiri tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Respon dari peristiwa traumatik harus melibatkan ketakutan yang hebat. Klinisi perlu memperhatikan faktor premorbid biologis dan psikologis individu dan peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudah trauma. Contohnya, kelompok yang hidup melampaui bencana terkadang dapat mengatasi trauma karena saling berbagi pengalaman. Arti subjektif dari stresor bagi seseorang juga sangat pentingSadock, 2007. 2.3.2. Aspek Biologik Gejala-gejala GSPT timbul sebagai akibat respons biologik dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena aktivasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang. Terpaparnya sesorang oleh peristiwa traumatik akan menimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi keberbahayaan peristiwa yang dialami, serta mengorganisasi suatu repson perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala akan mengaktivasi beberapa neurotransmiter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi pertiwa traumatik yang mengacam nyawa sebagai respon tubuh untuk menghadapi peristiwa tersebut. Dalam waktu beberapa milidetik setelah mengalami peristiwa tersebut, amigdala dengan segera akan bereaksi dengan memberikan stimulus berupa tanda darurat kepada : 1 Sistem Saraf Simpatis Katekolamin 2 Sistem Saraf Parasimpatis 3 Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Kelenjar Adrenal HPA Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah mengalami peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Kondisi ini disebut sebagai ‘flight or fight reaction’. Reaksi ini juga akan meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot-otot skeletal sehingga membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa tersebut atau jika mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman yang optimal. Rekasi sistem saraf parasimpatis berupa membatasi reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respons ini bekerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan respons yang diberikan oleh sistem saraf simpatis. Aksis HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada wkatu orang berhadapan dengan peristiwa traumatik. Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico-releasing hormon CRF dan beberapa neuropetida regulator lainnya, sehingga hipofisis akan terangsang dan mensekresi adrenocorticotropic hormone ACTH yang akhirnya menstimulasi pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal. Jika seseorang mengalami tekanan, maka tubuh secara alamiah akan meningkatkan pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol; pengeluaran kedua zat ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu. Katekolamin berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi sistem saraf simpatis dan beberapa sistem tubuh yang bersifat defensif tadi yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon kortisol bereperan dalam proses terminasi dari respons tubuh dalam menghadapi tekanan. Peningkatan hormon kortisol akan menimbulkan efek umpan balik negatif pada aksis HPA tersebut. Pitman 1989 menghipotesiskan bahwa pada individu yang cenderung untuk mengalami GSPT, mengalami gangguan dalam regulasi neuropeptida dan juga katekolamin di otak pada waktu menghadapi peristiwa traumatik. Katekolamin yang meningkat ini akan membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus menerus. Jika hormon kortisol gagal menghentikan proses ini, maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya ‘konsolidasi berlebihan’ dari ingatan- ingatan peristiwa traumatik yang dialami. 2.3.3. Aspek Psikodinamik Model psikoanalitik dari GSPT berhipotesis bahwa trauma telah mereaktivasi konflik psikologis terdahulu yang statis, pun yang tidak terselesaikan. Bangkitnya trauma masa kecil berakibat pada regresi dan penggunaan mekanisme pertahanan dari represi, denial, reaksi formasi dan undoing. Konflik sebelumnya mungkin dapat secara simbolis dibangkitkan kembali oleh peristiwa traumatik baru. Ego muncul kembali dan kemudian mencoba untuk mengendalikan dan mengurangi kecemasan. Orang yang menderita Alexithymia, ketidakmampuan untuk mengidentifikasi atau mengatakan kondisi perasaannya, tidak mampu menenangkan diri mereka sendiri saat stres Sadock, 2007. Hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikodinamik dari GSPT adalah Elvira, 2010: 1 Arti subjektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari peristiwa traumatik yang dialami oleh seseorang. 2 Kejadian traumatik yang dialami mungkin mereaktivasi konflik-konflik psikologis akibat peristiwa traumatik di masa kecil. 3 Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem afeksinya. 4 Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam bentuk somatisasi atau aleksitimia. 5 Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu dengan GSPT adalah penyangkalan, splitting, projeksi, disosiasi dan rasa bersalah. 6 Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari berbagai peran seperti penyelamat omnipoten atau korban yang omnipoten.

2.4. Faktor Resiko