Piutang Menurut UU Nomor 1 Tahun 2004, pasal 1 ayat 6 dan 7, piutang Fred Skousen, dkk hal. 73. 1. Penggunaan Basis Akrual dalam Pengakuan Pendapatan Negara dan

76 Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002, tentang “Pedoman Pelaksanaan APBN,” secara gamblang mengisyaratkan penggunaan anggaran basis kas. Hal ini tercermin dari bunyi pasal 2 Keppres tersebut yang menyatakan, APBN dalam suatu tahun anggaran mencakup: a. pendapatan negara yaitu semua penerimaan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak serta penerimaan hibah dari dalam dan luar negeri selama tahun anggaran yang bersangkutan; b. belanja negara yaitu semua pengeluaran negara untuk membiayai belanja pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui dana perimbangan selama tahun anggaran bersangkutan.” I. Pemberian Uang Muka Keppres Nomor 80 Tahun 2003, membolehkan adanya pemberian uang muka kepada penyedia barangjasa dalam suatu kontrak pengadaan barang dan jasa. Hal ini terlihat dari bunyi pasal 32 ayat 2 yang menyatakan “penyedia barangjasa dapat menerima uang muka dari pengguna barangjasa.” Sementara itu, pasal 21 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 2004 menyatakan “Pembayaran atas beban APBNAPBD tidak boleh dilakukan sebelum barang danatau jasa diterima.” Pengecualian dari ketentuan tersebut diatur dalam peraturan pemerintah pasal 21 ayat 6 UU Nomor 1 Tahun 2004.”

J. Piutang Menurut UU Nomor 1 Tahun 2004, pasal 1 ayat 6 dan 7, piutang

negaradaerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah PusatDaerah danatau hak Pemerintah PusatDaerah yang dapat dinilai dengan 77 uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Pasal 9 huruf e, UU Nomor 17 Tahun 2003, menyatakan bahwa ”Menteripimpinan lembaga sebagai Pengguna AnggaranPengguna Barang kementerian negaralembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara lembaga yang dipimpinnya.” Piutang yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah hak negara dalam rangka penerimaan negara bukan pajak yang pemungutannya menjadi tanggung jawab kementerian negaralembaga yang bersangkutan.

K. Utang Menurut UU Nomor 1 Tahun 2004, pasal 1 ayat 8 dan 9, Utang

NegaraDaerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah PusatDaerah danatau kewajiban Pemerintah PusatDaerah yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah. Pasal 9 huruf e, UU Nomor 17 Tahun 2003, menyatakan bahwa ”Menteripimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran Pengguna Barang kementerian negaralembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara lembaga yang dipimpinnya.” Menurut penjelasan pasal tersebut utang yang dimaksud adalah kewajiban negara kepada pihak ketiga dalam rangka pengadaan barang dan jasa yang pembayarannya merupakan tanggung jawab kementerian negaralembaga berkaitan sebagai unit pengguna anggaran 78 danatau kewajiban lainnya yang timbul berdasarkan undang-undangkeputusan pengadilan. Pasal 3 ayat 3 UU Nomor 17 Tahun 2003 menyatakan, ”Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBNAPBD jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.” Keppres Nomor 80 Tahun 2003 pasal 36 menyatakan ”penyedia barangjasa wajib melakukan pemeliharaan atas hasil pekerjaan selama masa yang ditetapkan dalam kontrak, sehingga kondisinya tetap seperti pada saat penyerahan pekerjaan dan dapat memperoleh pembayaran uang retensi dengan menyerahkan jaminan pemeliharaan.”

BAB III PEMBAHASAN

79 A. Penggunaan Basis Akrual dalam Pengakuan Pendapatan dan Kontroversinya dengan Peraturan Perundang-undangan. Pendapatan menurut IPSAS basis akrual adalah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi atau potensi jasa selama periode pelaporan, yang menghasilkan kenaikan dalam asset atau ekuitas bersih diluar kenaikan yang terkait dengan kontribusi para pemilik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Skousen, dkk yang mengatakan bahwa pada akuntansi berbasis akrual, pendapatan diakui ketika hak atas pendapatan tersebut timbul tanpa memperhatikan kapan kas akan diterima Intermediate Accounting, Edition 15,

K. Fred Skousen, dkk hal. 73. 1. Penggunaan Basis Akrual dalam Pengakuan Pendapatan Negara dan

Kontroversinya dengan Peraturan Perundang-undangan Pendapatan negara menurut UU Nomor 17 Tahun 2003 pasal 1 ayat 13 didefinisikan sebagai ”hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.” Hal senada juga diungkapkan dalam UU Nomor 1 Tahun 2004, pasal 12 ayat 1 a., yang menyatakan “APBN dalam satu tahun anggaran meliputi: hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.” Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka basis akuntansi yang digunakan dalam mengakui pendapatan negara adalah basis akrual, yaitu pendapatan diakui ketika hak atas pendapatan tersebut timbul tanpa memperhatikan kapan kas atau setara kas akan diterima. Akan tetapi, kontroversi pengakuan pendapatan negara basis akrual ini timbul ketika menyimak bunyi pasal 11 ayat 3 UU Nomor 17 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, 80 penerimaan bukan pajak, dan hibah. Sementara itu, penerimaan negara didefinisikan sebagai “uang yang masuk ke kas negara,” pasal 1 ayat 9. Berdasarkan pasal 11 ayat 3 serta mengacu pada pasal 1 ayat 9 tersebut, pendapatan negara bisa diartikan sebagai uang yang masuk ke kas negara yang berasal dari pajak, bukan pajak, dan hibah. Dengan demikian, maka basis akuntansi yang digunakan untuk mengakui pendapatan negara seharusnya adalah basis kas, yaitu pendapatan diakui ketika uang masuk ke kas negara. Sebelum lahirnya UU Nomor 17 Tahun 2003, penggunaan basis kas untuk pengakuan pendapatan negara sudah dinyatakan dalam Keppres Nomor 42 Tahun 2002, pasal 2 ayat 1 a yang menyatakan bahwa “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam suatu tahun anggaran mencakup: a. pendapatan negara yaitu semua penerimaan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak serta penerimaan hibah dari dalam dan luar negeri selama tahun anggaran yang bersangkutan.” Dengan demikian, kontroversi tentang penggunaan basis akuntansi akrual untuk pendapatan negara terdapat dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 yaitu antara pasal 1 ayat 13 dengan pasal 11 ayat 3. Selain itu, kontroversi tersebut juga ditemukan dalam Keppres Nomor 42 Tahun 2002 pasal 2 ayat 1.a. 81 2. Penggunaan basis akrual dalam pengakuan pendapatan daerah tidak mengandung kontroversi dengan peraturan perundang-undangan Pendapatan daerah menurut UU Nomor 17 Tahun 2003 pasal 1 ayat 15 didefinisikan sebagai ”hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.” Selanjutnya, dalam pasal 16 ayat 3 dinyatakan bahwa pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Hal yang sama juga diungkapkan dalam UU Nomor 1 Tahun 2004, pasal 13 ayat 1 a. yang menyatakan “APBD dalam satu tahun anggaran meliputi: hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.” Dengan demikian, basis akuntansi yang tepat untuk mengakui pendapatan daerah adalah basis akrual, yaitu pendapatan diakui ketika hak atas pendapatan tersebut timbul tanpa memperhatikan kapan kas atau setara kas akan diterima. Tidak terdapat kontroversi tentang penggunaan basis akrual untuk pengakuan pendapatan daerah dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 maupun UU Nomor 1 Tahun 2004. Sementara itu, Keppres Nomor 42 Tahun 2002 tidak mendefinisikan secara khusus tentang pendapatan daerah. B. Penggunaan Basis Akrual dalam Pengakuan Belanja Negara maupun Belanja Daerah dan Kontroversinya dengan Peraturan Perundang- undangan. 82 Belanja menurut IPSAS basis akrual adalah penurunan keuntungan ekonomis atau potensi jasa selama periode pelaporan dalam bentuk arus keluar atau penggunaan aset atau timbulnya hutang yang menyebabkan penurunan aset atau ekuitas bersih, diluar hal yang terkait dengan distribusi kepada pihak pemilik. Hal ini senada dengan pendapat Skousen, dkk., yang mengatakan bahwa dalam akuntansi berbasis akrual expenses belanja diakui dan dicatat ketika timbulnya kewajiban tanpa memperhatikan kapan kas akan dibayar.” UU Nomor 17 Tahun 2003 pasal 1 ayat 14 dan 16 menyebutkan bahwa belanja negarabelanja daerah adalah kewajiban pemerintah pusatpemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang n ilai kekayaan bersih. Hal ini mencerminkan bahwa pengakuan belanja seharusnya menggunakan basis akrual. Bahkan basis akrual lebih dipertegas lagi dalam pasal 3 ayat 5 dan ayat 6 UU tersebut yang menyatakan bahwa, “..semua pengeluaran yang menjadi kewajiban negaradaerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBNAPBD.” Hal ini berarti bahwa, meskipun pengeluaran telah terjadi namun kewajiban belum muncul, maka seharusnya belum diakui sebagai belanja. UU Nomor 1 Tahun 2004 pasal 12 dan 13 ayat 1 b., menyatakan APBNAPBD dalam satu tahun anggaran meliputi kewajiban pemerintah pusatpemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.” Senada dengan bunyi pasal tersebut, pasal 1 ayat 14 UU Nomor 33 Tahun 2004 juga menyatakan bahwa, “belanja daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.” Menyimak bunyi pasal-pasal tersebut, pengakuan terhadap 83 belanja menurut UU Nomor 17 tahun 2003; UU Nomor 1 Tahun 2004; dan UU Nomor 33 Tahun 2004 adalah menggunakan basis akrual. Kontroversi timbul ketika menyimak bunyi Keppres Nomor 42 Tahun 2002, pasal 2 ayat 1.b yang menyatakan bahwa “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam suatu tahun anggaran mencakup: ....b. belanja negara yaitu semua pengeluaran negara untuk membiayai belanja pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui dana perimbangan selama tahun anggaran bersangkutan.” Berdasarkan Keppres tersebut, maka basis akuntansi yang digunakan dalam pengakuan belanja adalah basis kas.”

C. Penggunaan Anggaran Akrual dan Kontroversinya dengan Peraturan Perundang-undangan