HUBUNGAN STRES KERJA DAN KETERATURAN MAKAN DENGAN KEJADIAN SINDROM DISPEPSIA PADA PERAWAT INSTALASI RAWAT INAP RSUD ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

(1)

ABSTRACT

THE CORRELATION OF WORK-RELATED STRESS AND REGULARY HABIT OF EATING TO DYSPEPSIA SYNDROME IN PATIENT HOSPICE

NURSE AT RSUD ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

By

Ayang Tria Putri Barawa

Background: Dyspepsia syndrome is caused by many factors, among of them are regulary habit of eating and work-related stress. Nurse is a group of workers which have excessive work load so that affect the regulary habit of eating and lead work-related stress. This research aim is to analyze the correlation of work-related stress and regulary habit of eating to dyspepsia syndrome in patient hospice nurse at RSUD Abdul Moeloek. Methods: This research is a cross-sectional analytic method with purposive technic sampling. This research took place in RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung since Oktober to November 2016 with 144 samples of nurses. Data taken by questionnaire is analyzed using Chi-Square test.

Results: The analysis showed that 36,8% respondents have work-related stress, 14,6% respondents have irregulary habit of eating, 34% respondents suffered from dyspepsia syndrome and there are a correlation between dyspepsia syndrome with work-related stress (p=0,002; OR:3,257) and regulary habit of eating (p=0,03; OR: 3,099).

Conclusion: There are a correlation of work-related stress and regulary habit of eating to dyspepsia syndrome in patient hospice nurse at RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung. Keywords: work-related stress, regularity of eating, dyspepsia syndrome, nurse


(2)

ii ABSTRAK

HUBUNGAN STRES KERJA DAN KETERATURAN MAKAN DENGAN KEJADIAN SINDROM DISPEPSIA PADA PERAWAT INSTALASI

RAWAT INAP RSUD ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

Oleh

Ayang Tria Putri Barawa

Latar Belakang: Sindrom dispepsia dapat disebakan oleh banyak faktor, diantaranya keteraturan makan dan psikologi (stres kerja). Perawat termasuk kelompok kerja dengan tuntutan kerja dan kepadatan aktivitas cukup tinggi sehingga dapat mempengaruhi keteraturan makan dan stres kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dan keteraturan makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian analitik cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung sejak Oktober hingga November 2016 dengan total responden 144 orang perawat yang diambil dengan teknik

purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang kemudian dilakukan uji analisis menggunakan uji Chi-Square.

Hasil Penelitian: Hasil analisis menunjukkan bahwa 36,8% responden mengalami stres kerja, 14,6% responden tidak memiliki keteraturan makan, 34% responden menderita sindrom dispepsia serta terdapat hubungan antara sindrom dispepsia dengan stres kerja (p=0,002; OR:3,257) dan keteraturan makan (p=0,03; OR: 3,099).

Simpulan Penelitian: Terdapat hubungan antara stres kerja dan keteraturan makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.


(3)

HUBUNGAN STRES KERJA DAN KETERATURAN MAKAN

DENGAN KEJADIAN SINDROM DISPEPSIA PADA

PERAWAT INSTALASI RAWAT INAP RSUD ABDUL

MOELOEK BANDAR LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh

AYANG TRIA PUTRI BARAWA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2017


(4)

HUBUNGAN STRES KERJA DAN KETERATURAN MAKAN

DENGAN KEJADIAN SINDROM DISPEPSIA PADA

PERAWAT INSTALASI RAWAT INAP RSUD ABDUL

MOELOEK BANDAR

LAMPUNG

Oleh

AYANG TRIA PUTRI BARAWA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA KEDOKTERAN

pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2017


(5)

ABSTRACT

THE CORRELATION OF WORK-RELATED STRESS AND REGULARY HABIT OF EATING TO DYSPEPSIA SYNDROME IN PATIENT HOSPICE

NURSE AT RSUD ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

By

Ayang Tria Putri Barawa

Background: Dyspepsia syndrome is caused by many factors, among of them are regulary habit of eating and work-related stress. Nurse is a group of workers which have excessive work load so that affect the regulary habit of eating and lead work-related stress. This research aim is to analyze the correlation of work-related stress and regulary habit of eating to dyspepsia syndrome in patient hospice nurse at RSUD Abdul Moeloek.

Methods: This research is a cross-sectional analytic method with purposive technic sampling. This research took place in RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung since Oktober to November 2016 with 144 samples of nurses. Data taken by questionnaire is analyzed using Chi-Square test.

Results: The analysis showed that 36,8% respondents have work-related stress, 14,6% respondents have irregulary habit of eating, 34% respondents suffered from dyspepsia syndrome and there are a correlation between dyspepsia syndrome with work-related stress (p=0,002; OR:3,257) and regulary habit of eating (p=0,03; OR: 3,099).

Conclusion: There are a correlation of work-related stress and regulary habit of eating to dyspepsia syndrome in patient hospice nurse at RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung. Keywords: work-related stress, regularity of eating, dyspepsia syndrome, nurse


(6)

ABSTRAK

HUBUNGAN STRES KERJA DAN KETERATURAN MAKAN DENGAN KEJADIAN SINDROM DISPEPSIA PADA PERAWAT INSTALASI

RAWAT INAP RSUD ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

Oleh

Ayang Tria Putri Barawa

Latar Belakang: Sindrom dispepsia dapat disebakan oleh banyak faktor, diantaranya keteraturan makan dan psikologi (stres kerja). Perawat termasuk kelompok kerja dengan tuntutan kerja dan kepadatan aktivitas cukup tinggi sehingga dapat mempengaruhi keteraturan makan dan stres kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dan keteraturan makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian analitik cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung sejak Oktober hingga November 2016 dengan total responden 144 orang perawat yang diambil dengan teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang kemudian dilakukan uji analisis menggunakan uji Chi-Square.

Hasil Penelitian: Hasil analisis menunjukkan bahwa 36,8% responden mengalami stres kerja, 14,6% responden tidak memiliki keteraturan makan, 34% responden menderita sindrom dispepsia serta terdapat hubungan antara sindrom dispepsia dengan stres kerja (p=0,002; OR:3,257) dan keteraturan makan (p=0,03; OR: 3,099).

Simpulan Penelitian: Terdapat hubungan antara stres kerja dan keteraturan makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.


(7)

(8)

(9)

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 9 September 1995. Penulis merupakan anak ketiga dari 3 bersaudara, pasangan Bapak Ahmad Anshori dan Ibu Rusdalina.

Penulis telah menyelesaikan tingkat pendidikan dari TK Melati Panaragan Jaya pada tahun 2001, SDN 1 Sawah Brebes pada tahun 2007, SMPN 23 Bandar Lampung pada tahun 2010, dan SMAN 9 Bandar Lampung pada tahun 2013. Tahun 2013 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung lewat jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif pada organisasi PMPATD Pakis Rescue Team pada tahun 2013-2015 sebagai salah satu anggota dari divisi Pecinta Alam.


(11)

Barangsiapa ingin mutiara, harus

berani terjun di lautan yang dalam


(12)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Hubungan Stres Kerja dan Keteraturan Makan dengan Kejadian Sindrom

Dispepsia pada Perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung” sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, kritik dan saran dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

 Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas Lampung;

 Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M. Kes., Sp.PA., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

 dr. Fitria Saftarina, S.Ked, M.Sc selaku Pembimbing I atas kesediaannya meluangkan waktu untuk membimbing, mengajari, mendukung, memberikan nasihat, saran, dan kritik yang bermanfaat dalam proses penyelesaian skripsi ini;


(13)

ix  Ibu Soraya Rahmanisa, S.Si., M.Sc selaku Pembimbing II atas waktu dan kesediaannya dalam membimbing, memberikan nasihat, saran, dan kritik yang bermanfaat dalam proses penyelesaian skripsi ini;

 dr. Dian Isti Angraini, MPH selaku Penguji Utama pada Ujian Skripsi atas bimbingan, waktu, ilmu, kritik dan saran yang telah banyak diberikan;  Dr. dr. Asep Sukohar, S.Ked, M.Kes selaku Pembimbing Akademik untuk

setiap nasihat, saran dan kritik yang bermanfaat selama perkuliahan di Fakultas Kedokteran ini;

 Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu-ilmu, motivasi, dan nasihat yang telah diberikan kepada penulis serta seluruh Staf TU, Administrasi, Akademik dan pegawai Fakultas Kedokteran Unila;

 Direktur RSUD Abdul Moeloek serta seluruh staf administrasi RSUD Abdul Moeloek yang telah memberikan izin sehingga penelitian ini dapat terlaksana;

 Seluruh Supervisor, Kepala Ruangan, dan perawat Instalasi Rawat Inap yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas kerjasama, dukungan, dan kesediaannya menjadi responden dalam penelitian ini;

 Papa (Ahmad Anshori, S.Pd), Mama (Rusdalina), Atu (Adetia Prananda), Uan (Ahmad Rio Adi Kartagama), M. Ivan Shepy S, Ahmad Rizki IS, Andini IP, dan seluruh keluarga yang sangat saya cintai dan sayangi atas seluruh kasih sayang, kesabaran, perhatian, do’a, semangat, motivasi, dan dukungan yang selalu mengalir setiap saat;

 Sahabat serta keluarga saya “Wance” Ajeng Amalia Insani, Bunga Ulama, Diah Ayu Larasati, Hanifah Hanum, Intan Damaya Antika, Mulya Dita


(14)

x Paramita, Nada Ismalia, Putri Ria Ariyanti, Wage Nurmaulina, dan Zulfiana Riswanda atas setiap kebersamaan dan kesediaannya dalam berbagi suka duka baik selama perkuliahan atau dalam pelaksanaan penelitian ini, terimakasih kawan;

 Teman seperjuangan skripsi Desindah L. Simanjuntak dan Fadiah Eryuda atas bantuan dan kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan;  Teman-teman CERE13ELUMS (angkatan 2013) yang tidak dapat

disebutkan satu persatu. Terimakasih atas kebersamaan, keceriaan, kehebohan, kekompakan, kebahagiaan selama 3,5 tahun perkuliahan ini, semoga kelak kita dapat menjadi dokter yang profesional, amanah, serta berguna bagi agama, bangsa, dan negara;

 Adik-adik angkatan 2014, 2015, 2016 terimakasih atas dukungan, doa dan bantuannya sebagai satu fakultas kedokteran;

 Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Akan tetapi, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada setiap orang yang membacanya. Terima kasih.

Bandar Lampung, Januari 2017 Penulis


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA-KATA MUTIARA ... vii

SANWACANA ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan ... 6

1.4. Manfaat ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dispepsia ... 8

2.1.1. Definisi dan Etiologi Sindrom Dispepsia ... 8

2.1.2. Patofisiologi ... 11

2.1.3. Diagnosis... 15

2.2. Stres Kerja ... 17


(16)

xii

2.2.2. Mekanisme Terjadinya Stres... 18

2.2.3. Dampak Stres Kerja ... 19

2.2.4. Tahapan Stres ... 21

2.2.5. Penyebab Stres ... 22

2.2.6. Pengukuran Stres Kerja... 24

2.3. Pola Makan ... 25

2.3.1. Definisi ... 25

2.3.2. Pengukuran Konsumsi ... 27

2.4. Hubungan Keteraturan Pola Makan dan Sindrom Dispepsia... 29

2.5. Hubungan Stres dan Sindrom Dispepsia ... 30

2.6. Kerangka Teori ... 32

2.7. Kerangka Konsep ... 34

2.8. Hipotesis ... 34

BAB III METODE PENELITAN ... 3.1. Desain Penelitian ... 35

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

3.3 Populasi dan Sampel ... 35

3.3.1 Populasi ... 35

3.3.2 Sampel... 35

3.4 Variabel Penelitian ... 37

3.4.1. Variabel Bebas ... 37

3.4.2. Variabel Terikat ... 37

3.5. Definisi Operasional Variabel ... 38

3.6. Pengumpulan Data ... 38

3.6.1. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 40

3.7. Pengolahan Data ... 41

3.8. Analisis Data ... 41

3.8.1. Analisis Univariat ... 41

3.8.2. Analisis Bivariat... 42

3.9. Alur Penelitian ... 42

3.10.Etika Penelitian ... 43

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 4.1. Gambaran Umum Penelitian ... 44

4.2. Hasil Penelitian ... 45

4.2.1 Karakteristik Responden ... 45

4.2.1.1. Jenis Kelamin ... 45

4.2.1.2. Tingkat Pendidikan ... 46

4.2.2. Analisis Univariat ... 46

4.2.2.1. Stres Kerja ... 46

4.2.2.2. Keteraturan Makan ... 47

4.2.2.3. Sindrom Dispepsia... 48

4.2.3. Analisis Bivariat... 49

4.2.3.1. Hubungan Stres Kerja dengan Sindrom Dispepsia .... 49

4.2.3.2. Hubungan Keteraturan Makan dengan Sindrom dispepsia ... 51


(17)

xiii

4.3. Pembahasan ... 52

4.3.1. Stres Kerja ... 52

4.3.2. Keteraturan Makan... 55

4.3.3. Sindrom Dispepsia ... 58

4.3.4. Hubungan Stres Kerja dengan Sindrom Dispepsia ... 59

4.3.5. Hubungan Keteraturan Makan dengan Sindrom Dispepsia ... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 5.1. Kesimpulan ... 64

5.2. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66 LAMPIRAN


(18)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Penyebab Sindrom Dispepsia ... 9

2. Alarm Sign ... 16

3. Definisi Operasional Variabel ... 38

4. Daftar Ruangan Pengambilan Sampel ... 45

5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 45

6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 46

7. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Stres Kerja ... 47

8. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keteraturan Makan ... 47

9. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sindrom Dispepsia ... 48

10. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keluhan Dispepsia ... 49

11. Tabulasi Silang Responden Berdasarkan Stres Kerja dengan Kejadian Sindrom Dispepsia ... 50

12. Tabulasi Silang Responden Berdasarkan Keteraturan Makan dengan Kejadian Sindrom Dispepsia ... 51


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori Hubungan antara Stres Kerja dan Keteraturan Makan dengan Sindrom Dispepsia ... 33 2. Kerangka Konsep Hubungan antara Stres Kerja dan Keteraturan Makan

dengan Sindrom Dispepsia ... 34 3. Alur Penelitian ... 43


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik Lampiran 2. Surat Izin Penelitian

Lampiran 3. Lembar Informed Consent Lampiran 4. Kuesioner Penelitian

Lampiran 5. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Penelitian Lampiran 6. Analisis Univariat

Lampiran 7. Analisis Bivariat Lampiran 8. Hasil Penelitian Lampiran 9. Dokumentasi


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sindrom dispepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa (Djojoningrat, 2014). Sindrom dispepsia juga didefinisikan sebagai keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman di perut bagian atas yang sifatnya berulang atau kronik (Mapel et al., 2013). Para ahli berpendapat bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami sindrom dispepsia (Djojoningrat, 2014).

Sebesar 25% dari populasi Amerika Serikat mengalami sindrom dispepsia setiap tahun dan sekitar 5% dari semua penderita pergi ke dokter pelayanan primer. Hal serupa juga terjadi di Inggris dengan prevalensi sindrom dispepsia sekitar 21% dan hanya 2% yang berkonsultasi ke dokter pelayanan primer dengan episode baru atau pertama sindrom dispepsia setiap tahun dan sindrom dispepsia menyumbang 40% dari semua konsul ke bagian gastroenterologi (Hu et al., 2002).


(22)

2 Penelitian terhadap dispepsia fungsional di beberapa negara di Asia juga menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi, yaitu Cina sebanyak 69% dari 782 pasien, di Hongkong 43% dari 1.353 pasien, di Korea 70% dari 476 pasien dan Malaysia 62% dari 210 pasien (Ghoshal et al., 2011). Di Indonesia diperkirakan hampir 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek gastroenterologis merupakan kasus sindrom dispepsia (Djojoningrat, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian sindrom dispepsia cukup tinggi. Berdasarkan data profil kesehatan Indonesia tahun 2011, sindrom dispepsia berada di urutan keenam dari 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2010 dengan jumlah kasus sebanyak 33.500 (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Di Provinsi Lampung sendiri, dispepsia menempati urutan kelima dari 10 besar penyakit terbanyak berdasarkan kunjungan lama dan baru dengan prevalensi 5,49% atau sebanyak 35.422 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, 2013).

Sindrom dispepsia dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah sekresi cairan asam lambung, psikologi (stres), serta faktor diet dan lingkungan (Djojoningrat, 2014). Selain jenis makanan yang dikonsumsi, ketidakteraturan makan seperti kebiasaan makan yang buruk, tergesa-gesa, dan jadwal tidak teratur dapat menyebabkan sindrom dispepsia (Eschleman dikutip dari Ade, 2014). Kebiasaan makan pedas di Asia, misalnya, dapat memicu terjadinya sindrom dispepsia. Salah satu penelitian di Thailand menunjukkan bahwa kejadian nyeri atau rasa terbakar di abdomen meningkat setelah mengonsumsi makanan pedas (Ghoshal et al., 2011).


(23)

3 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Khotimah (2012) dan Susanti (2011) pola makan yang tidak teratur dapat memicu timbulnya gejala dispepsia karena lambung menjadi sulit beradaptasi sehingga produksi asam lambung menjadi tidak terkontrol. Penelitian serupa juga telah dilakukan oleh Dwigint (2015) terhadap mahasiswa kedokteran dan menunjukkan bahwa kepadatan aktivitas dapat mempengaruhi pola makan yang pada akhirnya mampu meningkatkan risiko terjadinya sindrom dispepsia.

Stres adalah reaksi atau respons tubuh terhadap stresor psikososial, baik berupa tekanan mental ataupun beban kehidupan. Stres dapat memiliki konsekuensi fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual (Sunaryo, 2004). Stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat (Djojoningrat, 2014).

Sebuah studi cross sectional terhadap 775 tenaga profesional di Taiwan tahun 2010 menunjukkan bahwa 64,4% pekerja mengalami kegelisahan, 33,7% pekerja mengalami mimpi buruk, 44,1% pekerja mengalami gangguan iritabilitas, 40,8% pekerja mengalami sakit kepala, 35% pekerja insomnia, dan 41,4% pekerja mengalami gangguan gastrointestinal (Tsai & Lu, 2012). Pada lingkungan kerja, tuntutan pekerjaan yang tinggi dapat menyebabkan stres (Al-Homayan dkk., 2013). Menurut Highley dalam Haryanti dkk. (2013) perawat secara alamiah merupakan profesi yang penuh dengan stres. Stres kerja berhubungan dengan kondisi kerja dan kesehatan fisik perawat (Gelsema et al., 2006).


(24)

4 Beban kerja mempengaruhi tingkat stres kerja perawat. Hal ini didukung oleh penelitian Haryanti dkk. (2013) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara beban kerja dan stres kerja yang dialami oleh perawat IGD di RSUD Semarang. Menurut Manuaba dalam Suryaningrum (2015), beban kerja tersebut dapat berupa tuntutan tugas atau pekerjaan, organisasi dan lingkungan kerja. Beban kerja fisik pada perawat, seperti mengangkat pasien, memandikan pasien, atau membantu pasien ke kamar mandi sedangkan beban kerja mental dapat berupa bekerja dengan sistem shift atau menjaga komunikasi yang baik dengan perawat lain, atasan, pasien dan juga keluarga pasien. Berat ringannya beban kerja di setiap bangsal bervariasi tergantung pada tipe dan jenis ruang.

Illness (SWI) dalam European Agency For Safety and Health at Work (2009) pada tahun 2004 menunjukkan bahwa perawat memiliki prevalensi stres tinggi yang berhubungan dengan pekerjaan. Stres kerja pada perawat juga terjadi di Indonesia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Haryanti dkk. (2013), perawat IGD di RSUD Kabupaten Semarang mayoritas mengalami stres tingkat sedang dengan persentase sebesar 82,8% sedangkan penelitian Yana (2015) menunjukkan hampir separuh dari perawat instalasi rawat inap RSUD Pasar Rebo memiliki stres tinggi (45,8%) yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti persepsi konflik, dukungan sosial, lingkungan fisik, ataupun aktivitas non pekerjaan.


(25)

5 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Moeloek merupakan salah satu rumah sakit utama di provinsi Lampung. Sebagai rumah sakit utama, tentunya RSUDAM memiliki jam kerja dan aktivitas yang sangat padat. Untuk mengimbangi hal tersebut, para tenaga kerja RSUDAM, termasuk para perawat, harus bekerja ekstra agar dapat memberikan pelayanan yang efektif dan memuaskan. Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti, instalasi rawat inap merupakan salah satu instalasi yang memberlakukan sistem shift kerja dan harus siap berjaga siang dan malam untuk tetap memberikan pelayanan terhadap pasien yang dirawat. Hal ini memberikan tantangan tersendiri bagi perawat di instalasi rawat inap untuk lebih siap dan tanggap dalam setiap kesempatan serta memungkinkan para perawat instalasi rawat inap mendapatkan beban kerja lebih yang pada akhirnya dapat mempengaruhi tingkat stres kerja dan keteraturan makan. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, peneliti akan melakukan penelitian tentang hubungan stres kerja dan keteraturan makan terhadap kejadian sindrom dispepsia pada perawat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Moeloek.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

Apakah terdapat hubungan antara stres kerja dan keteraturan makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada perawat Instalasi Rawat Inap di RSUD Abdul Moeloek?


(26)

6 1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dan keteraturan makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui gambaran tentang tingkat stres kerja pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek.

2. Untuk mengetahui gambaran tentang keteraturan makan pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek.

3. Untuk mengetahui angka kejadian sindrom dispepsia pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek.

4. Untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dengan sindrom dispepsia pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek.

5. Untuk mengetahui hubungan antara keteraturan makan dengan sindrom dispepsia pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek.

1.4. Manfaat


(27)

7 1. Bagi peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan ilmu pengetahuan peneliti tentang karakteristik sindrom dispepsia.

2. Bagi pekerja/perawat

Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi tentang hubungan stres kerja dan keteraturan makan terhadap kejadian sindrom dispepsia sehingga diharapkan bagi para pekerja khususnya perawat untuk memperhatikan tingkat stres kerja dan keteraturan makan dengan baik. 3. Bagi institusi

3.1 Hasil penelitian ini dapat memberikan peranserta dalam perkembangan ilmu pengetahuan berkaitan dengan sindrom dispepsia.

3.2 Hasil penelitian ini dapat mendorong pemerintah atau institusi terkait (rumah sakit) untuk memberikan informasi tentang manajemen stres kerja yang baik melalui seminar atau pelatihan khusus.

4. Bagi peneliti lain

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan materi dalam skripsi ini.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrom dispepsia

2.1.1. Definisi dan Etiologi Sindrom Dispepsia

Kata dispepsia sendiri berasa dari bahasa Yunani, yaitu duis bad dan peptein to digest, yang berarti gangguan pencernaan (Rani dkk., 2011). Sindrom dispepsia merupakan istilah yang umum dipakai untuk suatu sindroma atau kumpulan gejala/keluhan berupa nyeri atau rasa tidak nyaman pada ulu hati, mual, kembung, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, dan perut merasa penuh/begah (Djojoningrat, 2014; Rani dkk., 2011). Keluhan tersebut dapat secara bergantian dirasakan pasien atau bervariasi baik dari segi jenis keluhan atau pun kualitasnya (Djojoningrat, 2014). Gejala gejala ini dapat berdampingan dengan gejala gangguan pencernaan fungsional, seperti gastroesophageal reflux dan irritable bowel syndrome, serta kecemasan dan depresi (Loyd & McClellan, 2011).

Berdasarkan patofisiologinya, timbulnya sindrom dispepsia dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor diet dan lingkungan, sekresi cairan asam lambung, fungsi motorik lambung, persepsi


(29)

9 viseral lambung, infeksi Helicobacter pylori, dan psikologi (stres) (Djojongrat, 2014; Rani dkk., 2011; Brun & Kuo, 2010). Kejadian sindrom dispepsia juga dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, baik yang berasal dari lambung, diluar lambung, ataupun manifestasi sekunder dari penyakit sistemik (Djojoningrat, 2014). Berbagai penyebab sindrom dispepsia dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Penyebab Sindrom dispepsia

Sumber : (Djojoningrat, 2014)

Berdasarkan penyebabnya, sindrom dispepsia dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok penyakit organik (seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu, dan lain-lain) dan kelompok penyakit disfungsional (bukan penyakit organik). Dispepsia fungsional ini dapat ditegakkan bila sarana penunjang diagnostik tidak dapat menunjukkan adanya gangguan patologik struktural atau biokimiawi (Djojoningrat, 2014).

Penyebab Sindrom dyspepsia

Esofagogastroduodenal Tukak peptik, gastritis, tumor, dan sebagainya

Obat-obatan Antiinflamasi non steroid, teofilin, digitalis, antibiotik, dan sebagainya Hepatobilier Hepatitis, kolesistitis, tumor,

disfungsi sfingter Odii dan sebagainya

Pankreas Pankreatitis, keganasan

Penyakit sistemik Diabetes melitus, penyakit tiroid, gagal ginjal, penyakit jantung koroner, dan lain-lain

Gangguan fungsional Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrome


(30)

10 Ulkus peptikum (dispepsia organik) adalah putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluas sampai dibawah epitel (Lindseth, 2012). Ulkus peptikum terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara pertahanan mukosa dan asam lumen. Pada orang sehat, asam lambung dan pepsin tidak akan merusak mukosa lambung karena terdapat mukus yang melapisinya. Mukus ini mensekresi bikarbonat yang menjaga pH tetap 7. Prostaglandin dan aliran darah kapiler lambung merupakan hal yang penting dalam sekresi mukus dan bikarbonat ini (Emmanuel & Inns, 2014). Ulkus peptikum dapat terjadi pada bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu distal esofagus, lambung, duodenum, setelah gastroenterostomi, jejunum, dekat dengan divertikulum Meckel atau pada anastomosis usus halus manapun (Lindseth, 2012; Emmanuel & Inns, 2014). Ulkus peptikum berkaitan erat dengan usia, riwayat ulkus peptikum dalam keluarga, indeks massa tubuh, dan merokok (Bernersen et al., 1996).

Dispepsia fungsional adalah suatu kondisi yang sangat umum dengan prevalensi tinggi di seluruh dunia yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Patofisiologi sindrom dispepsia telah diselidiki selama dua dekade terakhir (Brun & Kuo, 2010). Dispepsia non-ulkus (dispepsia fungsional) berkaitan dengan faktor psikologis dan kondisi sosial (Bernersen et al., 1996). Faktor lainnya yang juga mungkin berperan adalah


(31)

11 hipersensitivitas viseral terhadap asam atau dilatasi lambung, gangguan akomodasi lambung, gangguan pada bagian otak yang berkaitan dengan pencernaan, motilitas atau pengosongan lambung yang lama, diet, dan faktor gaya hidup. Remaja rentan mengalami dispepsia akibat pola makan yang tidak teratur dan gaya hidup yang kurang baik (Susanti, 2011).

2.1.2. Patofisiologi

Berbagai hipotesis telah banyak diajukan tentang patofisiologi sindrom dispepsia. Diantaranya yang paling banyak dibicarakan adalah :

1. Sekresi asam lambung

Umumnya kasus dispepsia memiliki tingkat sekresi asam lambung yang rata-rata normal (Djojoningrat, 2014). Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam sehingga menimbulkan rasa tidak enak diperut (Brun & Kuo, 2010). Pada kasus dispepsia fungsional karena infeksi Helicobacter pylori akan menyebabkan peningkatan produksi gastrin sehingga massa sel parietal lebih banyak memproduksi asam lambung (Rani dkk., 2011).

2. Infeksi Helicobacter pylori (Hp)

Peran Helicobacter pylori pada patogenesis sindrom dispepsia masih terus dipelajari. H. pylori diduga menyebabkan


(32)

12 inflamasi dan dismotilitas, menginisiasi hipersensitivitas viseral dan meningkatkan sekresi asam. Pada kejadian sindrom dispepsia yang disebabkan oleh kelainan organik, seperti tukak peptikum, infeksi Hp memiliki peranan yang penting (Brun & Kuo, 2010). Reaksi imun yang timbul terhadap Hp justru menyebabkan kerusakan sel-sel epitel gastroduodenal yang lebih parah namun tidak berhasil mengeliminasi bakteri dan menjadi infeksi kronik. Selain itu, Hp yang terkonsentrasi di antrum juga dapat menyebabkan kerusakan sel-sel D setempat yang fungsinya untuk menghasilkan somatostatin. Penurunan somatostatin yang terjadi menyebabkan gastrin (asam lambung) tidak dapat ditekan sehingga asam lambung berlebihan dan dapat berlanjut ke duodenum menyebakan tukak dudodenum (Djojoningrat, 2014).

Sedangkan pada dispepsia fungsional, peran Hp belum sepenuhnya dimengerti. Dari berbagai laporan, kekerapan Hp pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan pada orang sehat (Djojoningrat, 2014; Rani dkk., 2011).

3. Dismotilitas gastrointestinal

Gejala pada dispepsia fungsional dijelaskan sebagai akibat adanya gangguan motilitas selama dan setelah makan (Brun &


(33)

13 Kuo, 2010). Pada 23% kasus menyebutkan bahwa pada sindrom dispepsia, terutama dispepsia fungsional, terjadi pengosongan lambung yang lebih lama dan berkorelasi dengan adanya keluhan mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati sedangkan pada 40% kasus lainnya ditemukan gangguan akomodasi lambung waktu makan yang berhubungan dengan rasa cepat kenyang dan penurunan berat badan (Djojoningrat, 2014). Pengosongan lambung terhadap makanan padat dan cair melambat pada 23% dan 35% pasien (Sarnelli et al., 2003).

4. Gangguan relaksasi fundus

Makanan yang masuk kedalam lambung akan menyebabkan relaksasi fundus dan korpus gaster. Pada 40% kasus dispepsia terjadi penurunan kapasitas relaksasi fundus yang bermanifestasi dalam keluhan cepat kenyang (Djojoningrat, 2014). Keadaan ini juga yang menyebabkan perbedaan pengosongan lambung terhadap makanan cair dan padat. Lambung membutuhkan waktu pengosongan yang normal untuk makanan cair tapi terjadi perlambatan pengosongan lambung pada makanan padat (Rani dkk., 2011).

5. Faktor dietetik

Pada kasus sindrom dispepsia terjadi perubahan pola makan, seperti hanya mampu porsi kecil dan intolerasi terhadap porsi


(34)

14 besar, terutama makanan berlemak (Djojoningrat, 2014). Pasien dengan dispepsia fungsional sering melaporkan gejala yang dialaminya berkaitan dengan makanan yang dikonsumsi, namun sebenarnya data mengenai hubungan antara keduanya masih kontroversial (Brun & Kuo, 2010). Mengonsumsi makanan berminyak dan berlemak terlalu sering dapat menyebabkan refluks makanan karena pencernaan menjadi lambat sehingga makanan membutuhkan waktu yang lebih lama berada dalam lambung. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan tekanan dalam lumen lambung dan akhirnya membuat katup antara lambung dan kerongkongan menjadi lemah sehingga asam lambung dan gas dapat naik (Ettinger dalam Susanti, 2011). Makanan yang dapat mencetuskan serangan dispepsia diantaranya adalah buah-buahan, kopi, alkohol, dan makanan berlemak (Rani dkk., 2011).

6. Psikologi

Adanya stres akut dapat mempengaruhi kejadian sindrom dispepsia sehingga faktor kognitif dan faktor psikosomatik juga harus dinilai pada pasien kasus sindrom dispepsia. Penjelasan antara hubungan faktor psikologik stres, fungsi otonom, dan motilitas tetap masih kontroversial namun dilaporkan bahwa terdapat penurunan kontraktilitas lambung


(35)

15 yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral (Djojoningrat, 2014).

7. Peran Kolesistokinin (CCK) dan Sekretin

Hormon kolesistokinin (CCK) meningkat setelah makan dan bersama dengan Gastrin menginduksi relaksasi gaster dan menurunkan tekanan intragaster. Komponen lemak dan protein menstimulus pelepasan hormon ini dari sel I dalam jumlah yang banyak. Hormon ini menyebabkan pelepasan enzim-enzim pencernaan dari pankreas dan memperlambat pengosongan lambung melalui kontraksi pilorus sehingga nutrien dapat dicerna secara optimal. Pada penderita dispepsia terjadi peningkatan hormon ini. Sekretin juga memicu pengosongan lambung yang lambat pada penderita dispepsia. Sekretin akan disekresi saat duodenum mengalami pengasaman yang kemudian menstimulus duodenum memproduksi bikarbonat untuk menetralkan duodenum (Rani dkk., 2011).

2.1.3. Diagnosis

Diagnosis dispepsia dapat ditegakkan dengan menggunakan kriteria Rome III, yaitu sebagai berikut :


(36)

16 1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu hati/epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.

2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk di dalamnya pemeriksaan endoskopik saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.

3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan (Djojoningrat, 2014; Park et al., 2011; Brun & Kuo, 2010).

Dari kriteria tersebut, terdapat batasan waktu yang ditujukan untuk meminimalisasi kemungkinan penyebab organik. Tidak semua pasien dilakukan pemeriksaan tambahan, seperti endoskopi, kecuali jika terdapat tanda-tanda khusus yang disebut dengan alarm sign atau alarm symptom (Tabel 2).

Tabel 2. Alarm Sign Alarm Sign

Umur >45-50 tahun keluhan muncul pertama kali Adanya perdarahan hematemesis/melena

BB menurun >10%

Anoreksia/rasa cepat kenyang Muntah yang persisten

Riwayat tukak peptik sebelumnya Anemia yang tidak diketahui sebabnya Massa di abdomen atau limfadenopati Disfagia yang progresif atau odinofagia

Riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas Riwayat keganansan atau operasi saluran cerna sebelumnya Kuning (Jaundice)


(37)

17 2.2. Stres Kerja

2.2.1. Definisi

Stres kerja merupakan kondisi ketegangan yang dapat mempengaruhi emosi, jalan dan proses pikir, serta kondisi fisik seseorang. Stres mengakibatkan seseorang mengalami kelelahan kerja yang kemudian berlanjut pada kelelahan emosionalnya dan kelelahan secara fisik (Saragih, 2008). Stres kerja yang didefinisikan sebagai respon berbahaya dari emosi dan fisik dapat terjadi ketika tuntutan kerja tidak sesuai dengan kemampuan, sumber daya atau kebutuhan pekerja. Stres kerja dapat mengganggu kesehatan dan bahkan menimbulkan cedera (NIOSH, 1999).

Stres merupakan beban kerja yang berlebihan, perasaan susah dan ketegangan emosional yang menghambat performance individu (Almasitoh, 2011).

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa stres kerja merupakan suatu kondisi ketegangan yang dapat berpengaruh terhadap emosional, mental dan kondisi fisik seseorang diakibatkan adanya ketidakseimbangan antara beban kerja yang ditanggung dengan kemampuan individu untuk mengatasi beban tersebut.


(38)

18 Stres kerja pada perawat dapat diakibatkan oleh bermacam-macam hal, termasuk dari tugas pokok perawat dan tanggung jawab, beban kerja yang berat, jenis kepemimpinan, kepuasan kerja yang rendah, ketidakjelasan peraturan, pengalaman kerja yang kurang, dan dukungan sosial yang rendah (Suryaningrum, 2015).

2.2.2. Mekanisme Terjadinya Stres

Sebuah penelitian modern oleh Hans Selye berusaha menjelaskan bahwa stresor lingkungan, seperti suhu, kebisingsan, rasa sakit dan bahaya dapat menimbulkan general adaptation syndrome yang direspon oleh tubuh melalui tiga fase: alarm, yang menghasilkan respon fight or flight; penolakan; dan kelelahan. Jika stresor terus bertahan akan menyebabkan tubuh menjadi sangat lelah sehingga menghasilkan kelelahan luar biasa dan penyakit. Akan tetapi, tidak semua individu terjangkit penyakit meskipun menghadapi stresor yang sama. Hal tersebut disebabkan karena setiap orang memiliki respon yang berbeda-beda sesuai fisiologis dan psikologis tubuhnya (Wade & Tavris, 2007).

Saat seseorang berada dalam stres, hipotalamus akan menstimulus kelenjar endokrin melalui 2 jalur besar. Jalur pertama, hipotalamus mengaktifkan sistem saraf simpatis untuk menghasilkan respon fight or flight, hasilnya adalah pelepasan epinefrin dan norepinefrin dari medulla adrenal. Jalur kedua, hipotalamus mengativasi aksis


(39)

19 HPA (hypothalamus-pituitary-adrenal cortex). Hipotalamus mengirimkan sinyal ke hipofisis yang selanjutnya diteruskan ke korteks adrenal untuk mengeluarkan kortisol serta hormon-hormon lainnya yang meningkatkan gula darah dan melindungi jaringan tubuh dari peradangan jika terjadi luka. Jika kortisol dan hormon-hormon lain dibiarkan tetap tinggi dapat membahayakan kesehatan dan menimbulkan tekanan darah tinggi, gangguan imunitas, penyakit fisik lain dan masalah emosi (Wade & Travis, 2007).

2.2.3. Dampak Stres Kerja

Stres kerja dapat mempengaruhi setiap orang dengan cara yang berbeda. Pengalaman stres kerja dapat menyebabkan disfungsi perilaku yang berkontribusi pada timbulnya kesehatan fisik dan mental yang buruk, seperti merokok, minum minuman keras, atau penyalahgunaan obat-obatan (Leka et al., 2003). Stres mengatur alarm di otak yang berespon dengan mempersiapkan tubuh untuk aksi pertahanan. Perangsangan sistem saraf dan pelepasan hormon sehingga mempengaruhi perasaan, mempercepat denyut jantung, memperdalam pernapasan, dan menegangkan otot merupakan respon biologi tubuh yang penting dalam melakukan pertahanan terhadap situasi stres. Jika dibiarkan, stres dapat merusak pertahanan tubuh sehingga tubuh tidak mampu lagi melawan stres. Hal ini mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit atau risiko kecelakaan. Tanda-tanda awal seseorang sedang mengalami stres


(40)

20 kerja adalah sakit kepala, gangguan tidur, kesulitan berkonsentrasi, mudah marah, ganggguan pada pencernaan, ketidakpuasan kerja, dan moral yang rendah. Selain itu, stres juga dapat mempengaruhi timbulnya masalah kesehatan yang kronik, seperti gangguan kardiovaskular, muskuloskeletal, psikologi, bunuh diri, kanker dan ketidakseimbangan fungsi imun (NIOSH, 1999).

Cox dalam Pramudya (2008) menjelaskan efek stres dapat dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Efek psikologi dan sosial

Efek psikologis stres melibatkan perubahan fungsi kognitif-perseptual, emosi, dan perilaku, seperti gangguan kebiasaan tidur dan makan, serta penggunaan alkohol. Perilaku lain seperti perilaku seksual juga dapat terganggu akibat stres dan karena terganggu maka dapat menjadi penyebab sekunder dari stres. Selain itu, perilaku sosial dan relasi interpersonal dapat terganggu akibat stres, kemungkinan disebabkan karena terjadinya perubahan dasar psikologis, contohnya: iritabel, attention span, dan perubahan memori.

2. Efek fisiologik dan fisik

Adrenalin dan kortisol diketahui sebagai hormon stres karena kadar kedua hormon tersebut secara konsisten meningkat sebagai respon terhadap stres. Peningkatan jangka panjang kadar adrenalin dan kortisol mempunyai konsekuensi terhadap


(41)

21 kesehatan khususnya pada sistem kardiovaskular. Hampir semua kondisi fisik manusia dapat dipengaruhi oleh stres. Namun yang paling rentan terhadap stres adalah sistem kardiorespirasi (contoh: penyakit jantung koroner dan asma), sistem imun (contoh: rheumatoid arthritis, dan kemungkinan beberapa jenis kanker), sistem gastrointestinal (contoh: ulkus peptikum), dan sistem muskular.

2.2.4. Tahapan Stres

Dalam Sunaryo (2004) disebutkan bahwa tahapan stres terbagi menjadi 6, yaitu:

1. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai dengan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam.

2. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak nyaman (bowel discomfort), jantung berdebar, tegang pada otot tengkuk dan punggung. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai.

3. Stres tahap ketiga, yaitu stres dengan keluhan, seperti defekasi tidak teratur (kadang-kadang diare), otot semakin tegang, emosional, insomnia, mudah terjaga dan sulit tidur kembali


(42)

22 (middle insomnia), bangun terlalu pagi dan sulit tidur kembali (late insomnia), koordinasi tubuh terganggu, dan mau jatuh pingsan.

4. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mau bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan menjenuhkan, respons tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan.

5. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental (physical and psychological exhaustion), ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut, cemas, bingung, dan panik.

6. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-tanda, seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar, dingin, banyak keluar keringat, loyo, serta pingsan atau kolaps.

2.2.5. Penyebab Stres

Setiap individu dapat merasakan ketidaknyamanan saat menghadapi suatu kondisi. Setiap pengalaman dan situasi yang penuh dengan tekanan disebut sebagai stresor. Beberapa stresor kronis dapat meningkatkan risiko terjadinya suatu penyakit,


(43)

23 diantaranya adalah masalah pekerjaan, kebisingan, kemiskinan, ketidakberdayaan, diskriminasi, status rendah, duka dan kehilangan (Wade & Tavris, 2007).

Salah satu organisasi pekerja di dunia, yaitu National Institute for Occupational Safety and Health atau NIOSH (1999) telah membuat acuan untuk identifikasi stres kerja dimana kondisi kerja, faktor non-pekerjaan, faktor individu, dan juga faktor dukungan merupakan penyebab stres. Menurut Sheridan dan Radmacher dalam Almasitoh (2011), terdapat tiga faktor penyebab stres kerja, yaitu lingkungan, organisasi, dan individu. Faktor lingkungan yang berperan menyebabkan stres adalah ketidakpastian lingkungan, seperti ketidakpastian situasi ekonomi, ketidakpastian politik, dan perubahan teknologi. Faktor organisasi berperan langsung mempengaruhi kinerja individu yang terlibat didalamnya. Sedangkan faktor individu merupakan faktor yang berasal dari kehidupan pribadi individu di luar pekerjaan, seperti masalah keluarga dan ekonomi.

Penyebab stres dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:

1. Penyebab makro, yaitu menyangkut peristiwa besar dalam kehidupan, seperti kematian, perceraian, pensiun, luka batin, dan kebangkrutan.


(44)

24 2. Penyebab mikro, yaitu menyangkut peristiwa kecil sehari-hari, seperti pertengkaran rumah tangga, beban pekerjan, masalah pangan, dll (Sunaryo, 2004).

Notoatmodjo (2007) juga membagi faktor-faktor yang sering menyebabkan stres menjadi 2, yaitu:

1. Faktor internal, yakni yang berasal dari dalam diri pekerja itu sendiri, misalnya kurangnya percaya diri dalam melakukan pekerjaan, kurangnya kemampuan atau keterampilan dalam melakukan pekerjaan, dan sebagainya.

2. Faktor eksternal, yakni faktor lingkungan kerja. Lingkungan kerja ini mencakup lingkungan fisik (tempat kerja yang tidak higienis, kebisingan yang tinggi, dll) dan lingkungan sosial/masyarakat kerja (pimpinan yang otoriter, persaingan kerja yang tidak sehat, dll).

2.2.6. Pengukuran Stres Kerja

Dalam Felix (2008) disebutkan bahwa pengukuran stres kerja dapat dilakukan dengan 4 cara, yaitu :

1. Self Report Measure

Pengukuran ini dapat dilakukan dengan survei atau kuesioner, wawancara mengenai pengalaman, perasaan, atau sikap seseorang.


(45)

25 2. Behavioral Measure

Pengukuran ini melibatkan pengukuran actual behavior. Peneliti menilai persistensi subyek dalam melaksanakan tugas dan penurunan performa dalam keadaan stressfull berdasarkan kesalahan yang dilakukan.

3. Medical Measure

Mengukur indeks aktivasi sistem saraf simpatis, seperti pernapasan, denyut jantung, tekanan darah, dan ketegangan otot. Tekanan darah dan denyut jantung adalah pengukuran yang paling sering dilakukan.

4. Biochemical Measure

Pengukuran ini dilakukan dengan mengukur kadar katekolamin dan kortisol dalam darah.

2.3. Pola Makan 2.3.1. Definisi

Margaret Mead, seorang ahli Antropologi, mengemukakan bahwa pola pangan atau food pattern merupakan cara seseorang atau sekelompok orang memanfaatkan pangan yang tersedia sebagai reaksi terhadap tekanan ekonomi dan sosio-budaya yang dialaminya. Pola pangan ini berkaitan dengan kebiasaan makan (food habit). Aspek sosial budaya pangan yang dimaksud adalah fungsi pangan yang berkembang di masyarakat sesuai dengan


(46)

26 keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan pendidikan masyarakat tersebut (Almatsier, 2010).

Pola makan merupakan tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhan makan yang meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan. Seseorang dapat bersikap positif atau negatif terhadap makanan tergantung nilai-nilai afektif yang berasal dari lingkungan tempat manusia tersebut tumbuh sedangkan kepercayaan terhadap makanan berkaitan dengan nilai-nilai kognitif, yaitu kualitas baik atau buruk, dan menarik atau tidak (Khumaidi dalam Dwigint, 2015).

Suhardjo menjelaskan bahwa kebiasaan makan atau pola makan adalah suatu perilaku yang berhubungan dengan makan dan makanan seperti tata krama, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, pantangan, distribusi makanan dalam anggota keluarga, preferensi terhadap makanan, dan cara pemilihan bahan pangan (Susanti, 2011). Secara umum, pola pangan terdiri dari makanan pokok, lauk, sayuran, dan buah-buahan. Di Indonesia, yang sebagian besar penduduknya adalah petani, masih menitikberatkan sebagian besar konsumsinya pada makanan pokok, berupa beras, jagung, umbi-umbian (terutama singkong dan ubi jalar), dan sagu. Jenis bahan makanan pokok yang ditanam di suatu daerah bergantung dari iklim dan keadaan tanah (Almatsier, 2010).


(47)

27 2.3.2. Pengukuran Konsumsi

Berdasarkan jenis data yang diperoleh, pengukuran konsumsi dapat dilakukan dengan survei konsumsi melalui: 1) metode kualitatif, yaitu dengan metode dietary history, metode pendaftaran makanan (food list), metode frekuensi makanan (food frequency), dan metode telepon; 2) metode kuantitatif dengan metode recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food records), metode inventaris (inventory method), metode food account, penimbangan makanan (foodweighing), dan pencatatan (household food record); dan 3) metode kualitatif dan kuantitatif dengan metode riwayat makan (dietary history) dan metode recall 24 jam (Supariasa dkk., 2001). Pengkajian asupan makanan memberikan tantangan yang cukup besar sebab selama satu minggu seseorang memiliki kecenderungan untuk mengonsumsi berbagai jenis makanan dalam porsi yang berbeda-beda sehingga menyulitkan individu tersebut untuk melaporkan asupan makanannya (Gibney et al., 2008).

Penilaian status gizi perseorangan dapat dilakukan melalui berbagai metode, yaitu dengan ingatan pangan (recall) 24 jam, kuesioner frekuensi pangan, riwayat pangan, catatan pangan, pengamatan, penimbangan makanan, dan estimated food records (Arisman, 2009; Supariasa, 2001).


(48)

28 Setiap metode pengukuran konsumsi memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing sehingga penting untuk memperhatikan faktor-faktor dalam memilih metode pengukuran, salah satunya adalah tujuan pengamatan. Metode penimbangan makanan lebih tepat bila bertujuan untuk memperoleh angka akurat mengenai jumlah zat gizi yang dikonsumsi disertai jumlah sampel yang kecil. Bila tujuannya hanya untuk menentukan jumlah konsumsi rata-rata dari sekelompok responden, maka dapat menggunakan metode recall 24 jam atau penimbangan selama satu hari sedangkan metode frekuensi makanan (Food Frequency Questionnaire) lebih cocok digunakan jika suatu pengamatan bertujuan untuk mengetahui kebiasaan atau pola konsumsi dari sekelompok masyarakat (Supariasa, 2001).

Ingatan pangan (recall) 24 jam dilakukan dengan meminta responden mengingat kembali dan mencatat jumlah serta jenis makanan dan minuman yang telah dikonsumsinya dalam 24 jam terakhir. Dalam pelaksanaannya dapat dipandu oleh pewawancara terlatih, seperti ahli gizi atau orang yang mengerti tentang pangan dan gizi secara baik (Arisman, 2009). Pengukuran dengan metode ini kurang menggambarkan kebiasaan makan individual jika hanya dilakukan sekali sehingga dianjurkan untuk dilakukan minimal 2 kali yang dilakukan pada hari berbeda dan tidak berurutan (Supariasa, 2001).


(49)

29 Metode frekuensi makanan digunakan untuk memperoleh data kuantitatif tentang frekuensi konsumsi makanan selama periode tertentu (minggu, bulan, atau tahun) (Gibney, 2008; Supariasa, 2001). Responden diminta melaporkan frekuensi makan yang lazim berdasarkan daftar makanan dalam periode tertentu. Metode ini murah, cocok untuk diterapkan pada kelompok besar yang asupannya bervariasi setiap hari, dan mudah didistribusikan. (Arisman, 2009). Keterbatasan metode ini terletak pada pertanyaannya yang tertutup, daftar produk makanan yang terbatas, pengisian kuesioner hanya mengandalkan ingatan responden, responden malas mengisi lengkap, dan tidak dapat memberikan data kuantitatif tentang asupan pangan (Arisman, 2009; Gibney et al., 2008).

2.4. Hubungan Keteraturan Pola Makan dan Sindrom Dispepsia

Salah satu penyebab sindrom dispepsia adalah faktor diet dan lingkungan (Djojoningrat, 2014). Pola makan ditemukan memiliki pengaruh terhadap dispepsia fungsional. Pola makan yang tidak teratur mungkin menjadi predisposisi timbulnya gejala gastrointestinal yang menyebabkan hormon-hormon gastrointestinal tidak teratur sehingga akan mengakibatkan terganggunya motilitas gastrointestinal (Haapalahti dkk; 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Sorongan dkk. (2013) terhadap siswa SMA dan hasilnya menunjukkan bahwa dari 220 sampel penelitian terdapat 115


(50)

30 orang yang positif sindrom dispepsia dan 71 diantaranya memiliki pola makan yang tidak teratur. Berdasarkan hasil penelitian, responden dengan pola makan yang tidak teratur berisiko 6,8 kali lebih tinggi mengalami sindrom dispepsia.

Frekuensi makan yang tidak teratur, jumlah makan yang tidak sesuai, dan jeda makan yang terlalu lama dapat mencetuskan sindrom dispepsia. Jika proses ini terlalu lama, maka produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung dan menimbulkan keluhan berupa mual (Sorongan, 2013). Produksi asam lambung dirangsang secara bertahap oleh faktor intestinal, lambung, dan neural. Asupan makan dan penurunan kadar glukosa otak dapat memicu reflek sekresi asam lambung. Reflek ini juga dapat diaktifkan melalui indera penglihatan, penciuman, dan pengecapan (Despopoulos & Silbernagl, 2003). Fase sefalik dari sekresi lambung berlangsung bahkan sejak makanan sedang dikonsumsi. Fase ini timbul akibat melihat, mencium, membayangkan, atau mencicipi makanan sehingga sinyal neurogenik dari korteks serebri dan pusat nafsu makan (amigdala dan hipotalamus) ditransmisikan ke lambung melalui nervus vagus untuk selanjutkan mencetuskan sekresi asam lambung (Guyton, 2007).

2.5. Hubungan Stres dan Sindrom dispepsia

Pada tahun 1950-an, Harold Wolff mengamati bahwa saluran gastrointestinal tampak berhubungan dengan keadaan emosional tertentu.


(51)

31 Sebelumnya, ahli bedah militer Amerika bernama William Beaumont, memiliki pasien yang mendapatkan luka akibat tembakan hingga menyebabkan fistula lambung yang permanen. Beaumont kemudian mencatat setiap keadaan emosional yang sangat hebat, mukosa lambung dapat menjadi hiperemik atau memucat, yang menunjukkan bahwa aliran darah ke lambung dipengaruhi oleh emosi (Sadock & Sadock, 2012).

Penelitian Lee et al. (2015) menunjukkan bahwa stres dan depresi merupakan faktor risiko bebas terhadap dispepsia fungsional (OR, 1.713; 95% CI, 1.526-1.923; P<0.001 dan OR, 1.984; 95% CI, 1.705-2.309; P<0.001). Tingkat insidensi dispepsia fungsional meningkat sesuai dengan peningkatan stres dan depresi yang dialami oleh responden. Penelitian lain oleh Khotimah (2012) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat stres dengan sindrom dispepsia (p=0,009).

Ulkus lambung (dispepsia organik) mengacu pada ulserasi mukosa yang meliputi lambung bagian distal atau duodenum bagian proksimal. Studi-studi awal mengenai penyakit ulkus lambung mengesankan bahwa faktor psikologis memiliki peranan di dalam terbentuknya kerentanan ulkus, diperantarai melalui peningkatan sekresi asam lambung yang disebabkan oleh stres psikologis. Studi pada tawanan perang selama Perang Dunia II mendokumentasikan angka pembentukan ulkus lambung dua kali lebih tinggi daripada kontrol. Faktor psikososial dapat terlibat di dalam ekspresi


(52)

32 klinis gejala, mungkin mengurangi respon imun, yang menimbulkan kerentanan terhadap infeksi H. pylori (Sadock & Sadock, 2012).

Pengaruh stres terhadap sindrom dispepsia diduga muncul akibat interaksi antara otak dan usus. Corticotropin Releasing Hormone (CRH), mediator utama dari respon stres pada brain-gut axis, dapat meningkatkan permeabilitas usus sehingga memicu terjadinya dispepsia fungsional. Selain itu, serotonin dan serotonin transporter, yang membantu modulasi dari perasaan dan perilaku seperti ansietas dan depresi, dapat dihubungkan dengan fungsi otak-usus pada gangguan pencernaan fungsional (Lee et al., 2015).

2.6. Kerangka Teori

Sindrom dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya faktor diet dan lingkungan, sekresi cairan asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, gangguan dismotilitas, dan psikologi (stres) (Djojoningrat, 2014). Menurut Manuaba dalam Suryaningrum (2015), tingkat stres kerja pada perawat dapat dipengaruhi oleh beban kerja.

Selain itu, Susanti (2011) mengatakan bahwa faktor diet yang meliputi pola makan yang tidak teratur juga dapat memicu timbulnya gejala dispepsia karena lambung menjadi sulit beradaptasi sehingga produksi asam lambung menjadi tidak terkontrol. Penelitian serupa juga telah dilakukan oleh Dwigint (2015) yang menunjukkan bahwa kepadatan aktivitas dapat


(53)

33 mempengaruhi pola makan yang pada akhirnya mampu meningkatkan risiko untuk terjadinya sindrom dispepsia. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan melalui kerangka teori penelitian sebagai berikut :

Gambar 1. Kerangka Teori Hubungan antara Stres Kerja dan Keteraturan Makan dengan Sindrom Dispepsia

Beban Kerja Keteraturan

Makan

Sekresi Asam

Lambung Psikologis (Stres)

Sindrom Dispepsia

Infeksi Helicobacter pylori

Gangguan Relaksasi Fundus

Dismotilitas Gastrointestinal


(54)

34 2.7. Kerangka Konsep

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dan keteraturan makan dengan kejadian sindrom dispepsia. Variabel independen dari penelitian ini adalah stres kerja dan keteraturan makan sedangkan variabel dependen adalah sindrom dispepsia. Kerangka penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Variabel independen Variabel dependen

Gambar 2. Kerangka Konsep Hubungan antara Stres Kerja dan Keteraturan Makan dengan Sindrom Dispepsia

2.8. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah :

1. Terdapat hubungan antara stres kerja dengan kejadian sindrom dispepsia pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek.

2. Terdapat hubungan antara keteraturan makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek. 1. Stres kerja


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain studi cross-sectional.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek Bandar lampung yang berlangsung sejak bulan Oktober sampai dengan November 2016.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung yang berjumlah 195 orang.

3.3.2. Sampel

Pemilihan subjek dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling dan menyatakan bersedia untuk menjadi


(56)

36 sampel penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan (informed consent). Besar sampel ditentukan dengan rumus Slovin sebagai berikut :

Keterangan : n = Besar Sampel

N = Jumlah Populasi (N = 195) d = Tingkat Kepercayaan (5%)

Untuk mencegah terjadinya drop out, maka dilakukan penambahan sampel sebanyak 10% dengan asumsi bahwa penelitian ini memiliki peluang drop out sebanyak 13 sampel. Jadi, besar sampel keseluruhan yang dipilih sebanyak 144 sampel dengan kriteria sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi

1. Perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek.

2. Telah bekerja minimal selama 3 bulan pada saat pengambilan data.


(57)

37 3. Menyatakan bersedia untuk menjadi sampel penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan (informed consent).

b. Kriteria Ekslusi :

1. Memiliki riwayat gangguan gastrointestinal yang masuk ke dalam alarm sign (penurunan berat badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang prominen, dll).

2. Tidak hadir saat penelitian dilakukan (cuti, izin, alfa, rotasi kerja, dll).

3.4. Variabel Penelitian 3.4.1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah stres kerja dan keteraturan makan.

3.4.2. Variabel Terikat


(58)

38 3.5. Definisi Operasional Variabel

Tabel 3. Definisi Operasional Variabel

Variabel Definisi Hasil Ukur Skala

1. Stres Kerja Kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, mental, serta kondisi fisik seseorang (Saragih, 2008).

1. Tidak stres (skor ≤ 1,5) 2. Stres

(skor > 1,5) (Pramudya, 2008)

Nominal

2. Keteraturan Makan

Perilaku yang berkaitan dengan pola kebiasaan dan frekuensi makan seseorang (Susanti, 2011).

1. Teratur (skor 0-16) 2. Tidak Teratur

(skor 17-33) (Dwigint, 2015) Nominal 3. Sindroma Dispepsia Satu/lebih keluhan berupa rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri dan rasa terbakar di ulu hati/ epigastrium tanpa kelainan struktural yang terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan sebelum diagnosis ditegakkan (Kriteria Rome III dalam Djojoningrat, 2014) 1. Negatif (jika terdapat jawaban “tidak” pada semua pertanyaan) 2. Positif

(jika terdapat 1 jawaban “ya” pada pertanyaan 1-4 atau 2/lebih jawaban “ya” pada semua pertanyaan)

Nominal

3.6. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari pihak rumah sakit berkaitan tentang daftar dan jumlah perawat Instalasi Rawat Inap yang ada di RSUD Abdul Moeloek sedangkan data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sampel penelitian (responden) melalui pengisian kuesioner.


(59)

39 Kuesioner terdiri dari identitas responden (nama, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja, riwayat penyakit saluran cerna), kuesioner riwayat penyakit responden (10 item), kuesioner keteraturan makan (11 item), kuesioner sindrom dispepsia (7 item) dan kuesioner stres kerja (19 item).

Kuesioner riwayat penyakit responden, keteraturan makan dan sindrom dispepsia diadopsi dari penelitian Dwigint (2015) tentang hubungan pola makan terhadap sindrom dispepsia pada mahasiswa S1 Kedokteran Unila sedangkan kuesioner stres kerja diadopsi dari penelitian Pramudya (2008) tentang stres kerja pada perawat di RSKO. Kuesioner-kuesioner tersebut kemudian dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu sebelum digunakan pada penelitian ini.

Kriteria penilaian kuesioner adalah sebagai berikut : a. Kuesioner Stres Kerja

Kuesioner terdiri dari 19 pertanyaan yang terbagi atas 3 indikator yaitu, kognitif, emosi, dan fisik pada individu yang mengalami stres. Terdapat 4 pilihan jawaban untuk setiap pertanyaan, yaitu tidak pernah (skor 0), jarang (skor 1), kadang-kadang (skor 2), dan sering (skor 3). Interpretasi hasil diperoleh dengan membagi antara total skor dari seluruh indikator dengan jumlah seluruh pertanyaan pada kuesioner. Bila hasilnya >1,5 maka responden dikatakan stres sedangkan bila ≤1,5 maka dikatakan tidak stres (Pramudya, 2008).


(60)

40 b. Kuesioner Keteraturan Makan

Kuesioner ini terdiri dari 11 item pertanyaan dengan menggunakan skala likert. Pertanyaan nomor 1-10 adalah pertanyaan positif sedangkan pertanyaan nomor 11 adalah pertanyaan negatif. Nilai tertinggi untuk setiap pertanyaan adalah 3 dan nilai terendah adalah 0. Hasil ukur kuesioner dikatakan pola makan teratur apabila jumlah skor 0-16 sedangkan tidak teratur apabila jumlah skor 17-33 (Dwigint, 2015).

c. Kuesioner Sindrom Dispepsia

Kuesioner ini berisi 7 item pertanyaan dengan 2 pilihan jawaban (ya atau tidak) dan pembuatannya mengacu pada Kriteria Rome III. Positif sindrom dispepsia apabila terdapat jawaban “ya” pada 1 atau lebih pertanyaan 1-4 ataupun 2 atau lebih dari seluruh pertanyaan dan negatif apabila terdapat jawaban “tidak” pada seluruh pertanyaan (Dwigint, 2015).

3.6.1. Uji validitas dan Reliabilitas

Kuesioner keteraturan makan, stres kerja, dan sindrom dispepsia telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu sebelum digunakan. Uji ini dilakukan dengan membagikan kuesioner ke 30 responden yang memiliki karakteristik sama dengan responden. Setelah data terkumpul kemudian dilakukan uji analisis menggunakan program statistik dan didapatkan hasil nilai r hitung > r tabel (0,3061) pada setiap item pertanyaan


(61)

41 yang diuji. Analisis reliabilitas dilakukan dengan melihat nilai

Cronbach’s Alpha. Dari hasil uji validitas dan reliabilitas ini

didapatkan 37 pertanyaan tervalidasi dan nilai reliabilitasnya baik, yaitu 0,909. Kuesioner dengan 37 pertanyaan tervalidasi terdiri dari 11 pertanyaan pada kuesioner keteraturan makan, 7 pertanyaan pada kuesioner sindrom dispepsia, dan 19 pertanyaan pada kuesioner stres kerja.

3.7. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan setelah semua data terkumpul. Tahap pertama adalah melakukan editing terhadap data yang tersedia. Pada tahap ini, peneliti memeriksa data responden dan memastikan bahwa seluruh pertanyaan dalam kuesioner telah terisi serta sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Tahap kedua adalah coding, yaitu memberikan kode-kode untuk data-data tertentu agar memudahkan tabulasi dan analisa data. Tahap ketiga adalah entry atau memasukkan data ke komputer untuk selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan teknik komputerisasi.

3.8. Analisis Data

3.8.1. Analisis Univariat

Analisis ini bertujuan untuk menganalisis setiap variabel penelitian berupa distribusi frekuensi dari variabel-variabel yang diteliti. Analisis dilakukan menggunakan program statistik untuk mengetahui distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis


(62)

42 kelamin, tingkat pendidikan, keteraturan makan, stres kerja, dan kejadian sidrom dispepsia.

3.8.2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk menganalisis hubungan antara variabel bebas (stres kerja dan keteraturan makan) dengan variabel terikat (sindrom dispepsia). Kedua jenis variabel pada penelitian ini sama-sama menggunakan skala kategorik. Oleh karena itu, uji analisis dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square jika syarat terpenuhi dengan nilai α=5% atau 0,05. Syarat uji Chi Square adalah jumlah sel yang mempunyai nilai expected <5 maksimal sebanyak 20% dari jumlah sel yang ada. Jika tidak terpenuhi maka akan digunakan uji alternatif Fisher. Berdasarkan uji analisis yang telah dilakukan menggunakan program statistik diperoleh hasil 0% sel yang memiliki nilai expected <5 sehingga syarat untuk penggunaan uji Chi-Square pada penelitian ini terpenuhi.

3.9. Alur Penelitian


(63)

43

Gambar 3. Alur Penelitian

3.10. Etika Penelitian

Penelitian ini telah diajukan ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan telah mendapat surat keterangan lolos kaji etik dengan nomor 454/UN26.8/DL/2017.

PERSIAPAN

PELAKSANAAN

PENGOLAHAN DATA

Pembuatan Proposal dan Perizinan Etik Survei Pendahuluan terkait

jumlah populasi dan karakteristik lokasi penelitian

Uji validitas dan reliabilitas kuesioner

Tidak valid

Penjelasan maksud dan tujuan penelitian serta pengisian

Informed Consent

Penyebaran kuesioner

Pengolahan dan Analisa Data

Interpretasi Data

Tidak Setuju Setuju


(64)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Responden yang mengalami stres kerja sebanyak 36,8% sedangkan yang tidak mengalami stres kerja sebanyak 63,2%.

2. Responden yang memiliki keteraturan makan 85,4% sedangkan yang tidak memiliki keteraturan makan sebanyak 14,6%.

3. Responden yang menderita sindrom dispepsia sebanyak 34% sedangkan yang tidak menderita sindrom dispepsia sebanyak 66%. 4. Terdapat hubungan antara stres kerja dengan sindrom dispepsia dan

seseorang yang mengalami stres kerja 3,257 kali lebih berisiko menderita sindrom dispepsia dibandingkan yang tidak mengalami stres kerja.

5. Terdapat hubungan antara keteraturan makan dengan sindrom dispepsia dan seseorang yang memiliki ketidakteraturan makan 3,099 kali lebih berisiko menderita sindrom dispepsia dibandingkan yang memiliki keteraturan makan.


(65)

65 5.2. Saran

1. Peneliti menyarankan kepada para perawat agar tetap memperhatikan keteraturan dan asupan makan serta tingkat stres yang dialami.

2. Peneliti menyarankan kepada institusi/ rumah sakit untuk memberikan informasi tentang manajemen stres kerja yang baik melalui seminar atau pelatihan khusus serta memperhatikan dan mengendalikan faktor-faktor risiko yang dapat memicu terjadinya stres kerja, terutama dari lingkungan kerja perawat.

3. Peneliti menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk dapat meneliti lebih lanjut mengenai pola asupan makanan, kebiasaan mengonsumsi makanan dan minuman iritatif, serta faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi tejadinya sindrom dispepsia. Peneliti juga menyarankan sebaiknya digunakan metode wawancara atau peneliti ikut serta secara langsung dalam pengambilan data agar menghindari hilangnya atau kurangnya informasi yang ingin diperoleh dari responden.


(66)

(67)

DAFTAR PUSTAKA

Ade M. 2014. Hubungan Antara Keteraturan Makan, Dispepsia, dan Konsentrasi Belajar pada Siswa Farmasi [Tesis]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Al-Homayan AM, Shamsudin FM, Subramaniam C, & Islam R. 2013. Impact of Job Demands on Nurses Performance Working in Public Hospital. American Journal of Applied Sciences. hlm.1050-60.

Almatsier S. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm 283-5.

Almasitoh UH. 2011. Stres Kerja Ditinjau dari Konflik Peran Ganda dan Dukungan Sosial pada Perawat. JPI. Lembaga Penelitian Pengembangan dan Keislaman (LP3K). 8(1)

Annisa. 2009. Hubungan Ketidakteraturan Makan dengan Sindroma DIspepsia Remaja Perempuan di SMA Plus Al-Azhar Medan [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Anggraeni SD. 2015. Hubungan antara Body Image dengan Frekuensi Makan, Jenis Makanan dan Status Gizi Remaja Putri di SMA Negeri 7 Surakarta [Skripsi]. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Arisman. 2009. Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi Edisi 2. Jakarta: EGC. hlm: 205-12.

Bernersen B, Johnsen R, & Straume B. 1996. Non-ulcer Dyspepsia and Peptic Ulcer: The Distribution in a Population and Their Relation to Risk Factors.


(68)

67 Gut. 38(6): 822-5.

Brun R & Kuo B. 2010. Functional Dyspepsia. Journal of Therapeutic Advances in Gatroenterology. 3(3): 145-64.

Dehghanizade Z, Zargar Y, Honarmand MM, Kadkhodaie A, Baygi ME. 2015. The Effectiveness of Cognitive Behavior Stress Management on Functional Dyspepsia Symptoms. JAMP. 3(2): 45-9.

Despopoulos A & Silbernagl S. 2003. Color Atlas of Physiology. 5th Edition. Newyork: Georg Thieme Verlag. hlm 242.

Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Lampung Tahun 2012. Profil Kesehatan Lampung.

Dwigint S. 2015. Hubungan Pola Makan Terhadap Sindrom Dispepsia pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung [Skripsi]. Bandar Lampung:Universitas Lampung.

Djojoningrat D. 2014. Dispepsia Fungsional. Dalam: Sudoyo AW, Setiati S, Alwi I, Simadirata M, Setiyohadi B, Syam AF, Editor. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. hlm 1805-10.

El-Aziz AMA, Sharkawy SA, Yousef YE. 2014. Relationship between Stress and Eating Habits among Nursing Students in Assiut. Med J Cairo Univ. 82(2): 47-55.

Emmanuel A & Inns S, 2014. Lecture Notes: Gastroenterologi dan Hepatologi. Jakarta: Erlangga. hlm 97.

European Agency For Safety And Health At Work. 2009. European Observatory Report. Luxembourg: EASHW.

Gelsema TI, Doef MVD, Maes S, Janssen M, & Akerboom S. 2006. A Longitudinal study of Job stres in the nursing profession: Causes and consequences. Journal of Nursing Management. 14(4): 289-299. Tersedia dari: http://onlinelibrary.wiley.com/wol1/doi/10.1111/j.1365-2934.2006.00635.x/full


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ade M. 2014. Hubungan Antara Keteraturan Makan, Dispepsia, dan Konsentrasi Belajar pada Siswa Farmasi [Tesis]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Al-Homayan AM, Shamsudin FM, Subramaniam C, & Islam R. 2013. Impact of Job Demands on Nurses Performance Working in Public Hospital. American Journal of Applied Sciences. hlm.1050-60.

Almatsier S. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm 283-5.

Almasitoh UH. 2011. Stres Kerja Ditinjau dari Konflik Peran Ganda dan Dukungan Sosial pada Perawat. JPI. Lembaga Penelitian Pengembangan dan Keislaman (LP3K). 8(1)

Annisa. 2009. Hubungan Ketidakteraturan Makan dengan Sindroma DIspepsia Remaja Perempuan di SMA Plus Al-Azhar Medan [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Anggraeni SD. 2015. Hubungan antara Body Image dengan Frekuensi Makan, Jenis Makanan dan Status Gizi Remaja Putri di SMA Negeri 7 Surakarta [Skripsi]. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Arisman. 2009. Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi Edisi 2. Jakarta: EGC. hlm: 205-12.

Bernersen B, Johnsen R, & Straume B. 1996. Non-ulcer Dyspepsia and Peptic Ulcer: The Distribution in a Population and Their Relation to Risk Factors.


(2)

Gut. 38(6): 822-5.

Brun R & Kuo B. 2010. Functional Dyspepsia. Journal of Therapeutic Advances in Gatroenterology. 3(3): 145-64.

Dehghanizade Z, Zargar Y, Honarmand MM, Kadkhodaie A, Baygi ME. 2015. The Effectiveness of Cognitive Behavior Stress Management on Functional Dyspepsia Symptoms. JAMP. 3(2): 45-9.

Despopoulos A & Silbernagl S. 2003. Color Atlas of Physiology. 5th Edition. Newyork: Georg Thieme Verlag. hlm 242.

Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Lampung Tahun 2012. Profil Kesehatan Lampung.

Dwigint S. 2015. Hubungan Pola Makan Terhadap Sindrom Dispepsia pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung [Skripsi]. Bandar Lampung:Universitas Lampung.

Djojoningrat D. 2014. Dispepsia Fungsional. Dalam: Sudoyo AW, Setiati S, Alwi I, Simadirata M, Setiyohadi B, Syam AF, Editor. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. hlm 1805-10.

El-Aziz AMA, Sharkawy SA, Yousef YE. 2014. Relationship between Stress and Eating Habits among Nursing Students in Assiut. Med J Cairo Univ. 82(2): 47-55.

Emmanuel A & Inns S, 2014. Lecture Notes: Gastroenterologi dan Hepatologi. Jakarta: Erlangga. hlm 97.

European Agency For Safety And Health At Work. 2009. European Observatory Report. Luxembourg: EASHW.

Gelsema TI, Doef MVD, Maes S, Janssen M, & Akerboom S. 2006. A Longitudinal study of Job stres in the nursing profession: Causes and consequences. Journal of Nursing Management. 14(4): 289-299. Tersedia dari: http://onlinelibrary.wiley.com/wol1/doi/10.1111/j.1365-2934.2006.00635.x/full


(3)

Ghoshal UC, Singh R, Chang FY, Hou X, Wong BCY, & Kachingtorn U. 2011. Epidemiology of Uninvestigated and Functional Dyspepsia in Asia: Facts and Fiction. JNM. 17(3): 235-44.

Gibney MJ, Margetss BM, Kearney JM, Arab L. 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. hlm 82-92.

Guyton AC & Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi Ke-11. Jakarta: EGC. hlm: 836-40.

Haapalahti M, Mykkanen H, Tikkanen S, Kokkonen J. 2004. Food habits in 10– 11-year-old children with functional gastrointestinal disorders. EJCN Clinical Nutrition. 58:1016–1021.

Haryanti, Aini F, Purwaningsih P. 2013. Hubungan antara Beban Kerja dengan Stres Kerja Perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Kabupaten Semarang. Jurnal Managemen Keperawatan. 1(1). hlm. 48–56.

Hu WHC, Wong WM, , Lam CLK, Lam KF, Hui WM, Lai KC, et al. 2002. Anxiety but not depression determines health care-seeking behaviour in Chinese patients with dypepsia and irritable bowel syndrome: a population-based study. AP&T.16(12): 2081–2088.

Idawati. 2014. Hubungan antara Beban Kerja, Stres Kerja, Kepuasan Kerja, dengan Kinerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Bandar Lampung [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia.

Ikrimadhani T. 2015. Perbedaan Tingkat Stres Kerja antara Shift Pagi, Sore, dan Malam pada Perawat Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Banyudono Boyolali [Naskah Publikasi Skripsi]. Fakultas Ilmu Keperawatan: Universitas Muhammadiya Surakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Profil Kesehatan Indonesia. Tersedia dari:http://doi.org/10.1073/pnas.0703993104

Keshteli AH, Feizi A, Esmaillzadeh A, Zaribaf F, Feinle-Bisset C, Talley NJ, et al. 2015. Patterns of Dietary Behaviours Identified by Latent Class Analysis


(4)

are Associated with Chronic Uninvestigated Dyspepsia. British Journal of Nutrition. 113: 803-812.

Khotimah N. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sindroma Dispepsia Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Koh SJ, Kim M, Oh DY, Kim BG, Lee KL, Kim JW. 2014. Psychosocial Stress in Nurses with Shift Work Schedule is Associated with Functional Gastrointestinal Disorders. JNM. 20(4): 516-22.

Kumar A, Patel J, Sawant P. 2012. Epidemiology of Functional Dyspepsia. JAPI. 60: 9-12.

Lee SP, Sung IK, Kim JH, Lee SY, Park HS, Shim CS. 2015. The Effect of Emotional Stress and Depression on the Prevalence of Digestive Diseases. JNM. 21(2):273-82.

Leka S, Griffiths A, Cox T. 2003. Work Organisation and Stress : systematic Problem Approaches for Employers, Managers, and Trade Union

Representatives. Nottingham: University of Nottingham. hlm: 8-9.

Lindseth GN. 2012. Gangguan Lambung dan Duodenum. Dalam: Hartanto H. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi Ke-6. Jakarta: EGC. hlm: 371-86.

Loyd RA & McClellan DA. 2011. Update on the Evaluation and Management of Functional Dyspepsia. American Family Physician. 83(5): 548-52. Tersedia dari: http://www.aafp.org/afp/2011/0301/p547.html

Mapel D, Roberts M, Overhiser A, & Mason, A. 2013. The Epidemiology, Diagnosis, and Cost of Dyspepsia and Helicobater pylori Gastritis: A Case-Control Analysis in the Southwestern United States. Helicobacter. 18(1): 54– 65. Tersedia dari : http://doi.org/10.1111/j.1523-5378.2012.00988.

National Institute for Occupational Safety and Health. 1999. Stress At Work. NIOSH. 99-101. Tersedia dari : http://www.cdc.gov/niosh/docs/99-101/


(5)

Nikmah M. 2015. Hubungan Tingkat Stres dengan Gejala Gangguan Pencernaan pada Santriwati Pondok Pesantresn Sirojul Mukhlasin II Payaman Magelang Tahun 2015 [Skripsi]. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Notoatmodjo S. 2007. Ilmu kesehatan masyarakat, Jakarta: Rineka Cipta. hlm: 216-8.

Park JM, Choi MG, Cho YK, Lee IS, Kim JI, Kim SW, et al. 2011. Functional Gastrointestinal Disorders Diagnosed by Rome III Questionnaire in Korea. JNM. 17(3):279-86

Phiri LP, Draper CE, Lambert EV, Alexander LK. 2014. Nurses’ Lifestyle Behaviours, Health Priorities and Barriers to Living a Healthy Lifestyle: a Qualitative Descriptive Study. BMC Nursing. 13 (38): 1-11.

Pramudya F. 2008. Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja (Studi Kasus pada Perawat di RSKO Tahun 2008) [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia.

Rani AA, Simadibrata M, Syam AF, Penyunting. 2011. Buku Ajar Gastroenterologi. Edisi 1. Jakarta: Interna Publishing. hlm: 131-42.

Rulianti MR, Almasdy D, Murni AW. 2013. Hubungan Depresi dan SInrom Dispepsia pada Pasien Penderita Keganasan yang Menjalani Kemoterapi di RSUP DR. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2(3): 137-40.

Sadock BJ & Sadock VA. 2012. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi Ke-2. Jakarta: EGC. hlm: 389-90.

Saragih H. 2008. Pengaruh Karakteristik Organisasional dan Individual tehadap Sres Kerja Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Porsea [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Sarnelli G, Caenepel P, Geypens B, Janssens J, Tack J. 2003. Symptoms Associated with Impaired Gastric Emptying of Solids and Liquids in Functional Dyspepsia. Am J Gastroenterol. 98(4): 783-8.


(6)

Sorongan IM, Pangemanan DHC, Untu FM. 2013. Hubungan Antara Pola Makan dengan Kejadian Sindroma Dispepsia pada Siswa-Siswi Kelas di SMA Negeri 1 Manado. E-journal keperawatan. 1(1). hlm 1-6.

Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. hlm. 213-9. Tersedia dari:

https://books.google.co.id/books?id=6GzU18bHfuAC&pg=PA219&dq=psiko logi+stres&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=psikologi%20stres&f= false.

Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. hlm 88-98.

Suryaningrum T. 2015. Pengaruh Beban Kerja dan dukungan Sosial terhadap Stres Kerja pada Perawat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta [Skripsi]. Universitas Negeri Yogyakarta.

Susanti A. 2011. Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Susanti A, Briawan D, Uripi V. 2011. Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB). Jurnal Kedokteran Indonesia. 2(1): 80-91.

Tack J, Talley NJ, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, Malagelada JR, et al. 2006. Functional Gastroduodenal Disorders. Gastroenterology. 130(5): 1466-79.

Tsai YC & Lu CH. 2012. Factors and Symptoms Associated with Work Stress and Health-Promoting Lifestyles Among Hospital Staff: A Pilot Project in Taiwan. BMC Health Services Research. 12:199.

Wade C & Tavris C. 2007. Psikologi Jilid 2. Edisi Ke-9. Jakarta: Erlangga. hlm: 285-92.

Yana D. 2015. Stres Kerja pada Perawat Instalasi Gawat Darurat di RSUD Pasar Rebo Tahun 2014. Jurnal ARSI. 1(2):107–115.

Zverev YP. 2005. The Impact of Rotating Shift Work on Eating Patterns and Self-Reported Health of Nurses in Malawi. Malawi Med Journal. 16(2): 39-39.