Diskriminasi Verbal Bentuk Diskriminasi Dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari

31 perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyususi bayi”. Pada dasarnya perusahaan tidak dapat memaksa buruh untuk mengundurkan diri, karena pada dasarnya pengunduran diri harus didasarkan pada kemauan dari pekerja atau buruh. Pengunduran diri yang diajukan pekerja atau buruh harus dalam bentuk tertulis atas kemauan sendiri. Tanpa ada indikasi adanya paksaan atau intimidasi dari perusahaan.

4.3 Bentuk Diskriminasi Dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari

4.3.1 Diskriminasi Verbal

Bentuk diskriminasi ini dijalankan dengan menghina atau dengan kata- kata. Bentuk diskriminasi ini merupakan bentuk diskriminasi yang sering terjadi dalam interaksi sosial. Sayangnya, masyarakat kurang menyadari bentuk diskriminasi ini. Bentuk diskriminasi ini sering terjadi antar individu dan individu, individu terhadap kelompok. Diskriminasi verbal dalam novel Pasung Jiwadialami oleh tokoh Sasana yang menemukan jatidirinya menjadi Sasa waria. Perhatikan kutipan berikut. “Sekarang pengiringku bukan hanya kecrekan dan tepuk tanganku sediri. Aku sudah membeli tape recorder dan mikrofon yang kujinjing kemana- mana. Tinggal putar musik pengiringnya, lalu aku menyayi dan bergoyang. Benar saja dugaanku, begitu musik diputar orang-orang mulai menoleh ke arahku. Saat aku mulai menyanyi dan mulai bergoyang, semakin banyak yang mengerubungiku. Banyak yang tertawa, meledek, dan setengah menghina” PJ, 2013:235. Berdasarkan kutipan tersebut bentuk diskriminasi verbal yang terjadi anatara “Aku” dan “Penonton” individu dan kelompok. Bentuk diskriminasi 32 verbal jelas tertulis dalam kutipan tersebut yaitu, tertawa, meledek, dan setengah meghina. “sekarang saya tanya ke mbaknya,” katanya sambil menunjuk padaku. “pernah dihina orang tidak karena pakai baju seperti ini?” Aku mengangguk PJ, 2013: 66. Pemaparan diskriminasi verbal dalam pernyataan tersebut berbentuk tersirat. Status sosial sebagai waria sangat sulit diterima oleh masyarakat, masyarakat berprasangka buruk terhadap kehidupan keseharian mereka hingga hal sepele seperti cara berpakian mereka yang mencolok yang berakibat pada penghinaan. Pada dasarnya diskriminasi bersumber dari prasangka dan cap buruk stigma. Cap buruk biasanya dipelajari dari pengaruh sosial masyarakat, tetangga, sekolah, media masa dan lain-lain. Diskriminasi terjadi apabila cap buruk dan prasangka itu sudah berubah menjadi aksi Fulthoni, 2009:6. Perhatikan kutipan berikut. “Hei, cong, kowe PKI ya?” tanya si komandan. Aku langsung mengeleng. PKI apa? Partai Komunis Indonesia? Partai yang dilarang itu? Seumur-umur tahu namanya juga Cuma dari pelajaran sekolah. “Jawab” “bukan,” jawabku “Teros ngopo bikin rusuh koyok mau awan?” Aku bingung mau jawab. BUUG Tendangan kembali mampir diperutku. Aku jatuh bersama kursi yang aku duduki. Aku menjerit sekeras- kerasnya. Remuk... seluruh badanku remuk. “Enaknya kita apain bencong ini?” tanya si komandan. “Kita pakai saja dulu, Ndan. Biasanya juga dipakai orang”, jawab yang lainnya. Mereka lalu terbahak bersama.PJ, 2013:96 Cap buruk sudah menjadi aksi yang berupa tindakan diskriminasi verbal. Sasana mendapat perlakuan tidak baik dari penegak keamanan. Seharusnya 33 mereka memberi rasa nyaman dan melindungi masyarakat. Namun, tidak jarang saat mereka melakukan penyidikan dengan menggunakan kekerasan tujuan mereka agar pelaku kejahatan mengakui tindakan yang belum tentu mereka lakukan. Tindakan ini kurang efektif karena memiliki unsur pemaksaan dengan ancaman penyiksaan atau pelecehan. Bentuk diskriminasi yang terdapat dalam kutipan tersebut terdiri dari dua bentuk yaitu diskriminasi verbal dan diskrimnasi fisik.

4.3.2 Diskriminasi Pengeluaran