Keragaman Mikroba dan Metabolisme Rumen Sapi Peranakan Ongole yang Mengonsumsi Pakan Silase Rumput Legum

KERAGAMAN MIKROBA DAN METABOLISME RUMEN
SAPI PERANAKAN ONGOLE YANG MENGONSUMSI
PAKAN SILASE RUMPUT-LEGUM

RONI RIDWAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Keragaman Mikroba dan
Metabolisme Rumen Sapi Peranakan Ongole yang Mengonsumsi Pakan Silase
Rumput-Legum adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014
Roni Ridwan
NIM G361110071

RINGKASAN
RONI RIDWAN. Keragaman Mikroba dan Metabolisme Rumen Sapi
Peranakan Ongole yang Mengonsumsi Pakan Silase Rumput-Legum.
Dibimbing oleh IMAN RUSMANA, YANTYATI WIDYASTUTI, KOMANG G.
WIRYAWAN, dan BAMBANG PRASETYA.
Metana (CH4) adalah gas rumah kaca yang potensial berkontribusi terhadap
pemanasan global dan perubahan iklim. Sampai saat ini, emisi CH4 sudah
meningkat akumulasinya di atmosfer sekitar 2% per tahun. Ruminansia
merupakan salah satu kontributor yang signifikan terhadap emisi enterik CH4 ke
lingkungan dari sektor peternakan. Secara alamiah CH4 dihasilkan selama
fermentasi dalam rumen yang merupakan suatu potensi kehilangan energi dan
menurunkan produktivitas ruminansia.
Faktor yang paling membatasi pakan hijauan ruminansia adalah kecernaan

dan kualitas nutrisinya. Kekurangan protein merupakan faktor paling penting
menyebabkan rendahnya produktivitas ruminansia yang diberi pakan hijauan
kualitas rendah. Calliandra calothyrsus merupakan leguminosa tropis digunakan
sebagai pakan ruminansia, memiliki kandungan protein dan polifenol yang tinggi.
Protein kasar mensuplai N untuk sintesis protein mikroba rumen dan polifenol
digunakan sebagai strategi untuk menurunkan emisi enterik CH4 di ruminansia.
Pakan dengan kandungan protein tinggi seperti C. calothyrsus seharusnya
dilakukan penyimpanan menggunakan metode pengawetan yang sesuai dengan
kondisi geografi. Namun, legum tersebut pada umumnya mempunyai kandungan
karbohidrat terlarut yang rendah dan tingginya kapasitas penyangga yang
menyebabkan rendahnya kualitas pakan awetan (silase). Kombinasi rumput dan
legum merupakan solusi untuk keberhasilan proses fermentasi silase dan
meningkatkan kandungan protein pakan untuk produksi ruminansia yang
berkelanjutan. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan keragaman mikroba
dalam metabolisme rumen sapi yang mengonsumsi silase rumput-legum. Studi ini
merupakan serangkaian penelitian yang terdiri atas tiga tahapan penelitian.
Penelitian tahap I untuk mendapatkan kualitas silase rumput-legum terbaik.
Silase rumput-legum dibuat dalam rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan
dan 3 ulangan sebagai berikut; (S0) Pennisetum purpureum 100%, (S1) P.
purpureum 75% + C. calothyrsus 25%, (S2) P. purpureum 50% + C. calothyrsus

50%, (S3) P. purpureum 25% + C. calothyrsus 75%, dan (S4) C. calothyrsus
100%. Silase dibuat dalam silo plastik skala lab (600 g) dan diinkubasikan pada
suhu ruangan (30oC) selama 30 hari. Silase rumput-legum di analisis karakteristik
produk fermentasi dan keragaman mikrobanya.
Penelitian tahap II untuk mengetahui pengaruh silase rumput-legum pada
mitigasi CH4 dan keragaman miroba rumen dalam fermentasi in vitro Hohenheim
Gas Test selama 24 jam. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap
dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Pakan perlakuan terdiri atas K; 100%
konsentrat + tanin murni (1 mg/ml), T1; 25% silase (S2) + 75% konsentrat, T2;
50% silase (S2) + 50% konsentrat, T3; 75% silase (S2) + 25% konsentrat, dan T4;
100% silase (S2). Parameter yang diamati terdiri atas produksi gas total, CH4,
kecernaan bahan organik, VFA, pH, N-NH3, jumlah protozoa, dan keragaman
mikroba.

Penelitian tahap III untuk menurunkan aktivitas metanogenesis pada
fermentasi rumen in vivo di sapi PO fistula. Penelitian ini menggunakan
rancangan tukar ganti dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan pakan yang
diberikan terdiri atas R0; 50% P. purpureum + 50 % konsentrat, R1; 20% P.
purpureum + 50 % konsentrat + 30% silase rumput-legum (1:1), R2; 20% P.
purpureum + 35 % konsentrat + 45% silase rumput-legum (1:1), dan R3; 20% P.

purpureum + 20 % konsentrat + 60% silase rumput-legum (1:1). Cairan rumen
dianalisis profil karakteristik fermentasi meliputi pH, VFAs, N-NH3, jumlah
protozoa dan keragaman serta dinamika populasi mikroba rumen menggunakan
analisis T-RFLP, pustaka klon 16S rDNA, dan qPCR.
Hasil penelitian tahap I menunjukkan bahwa peningkatan C. calothyrsus
dalam silase rumput-legum berbeda nyata (P < 0.01) pada karakteristik produk
fermentasi. Keragaman mikroba silase mengalami penurunan dan terhambat
aktivitasnya seiring dengan peningkatan penggunaan C. calothyrsus. Komunitas
mikroba silase terdiri atas Lactobacillus plantarum, L. casei, L. brevis,
Lactococcus lactis, Chryseobacterium sp., dan bakteri yang belum dapat
dikulturkan. Pada penelitian tahap II menggambarkan bahwa peningkatan
penggunaan silase rumput-legum pada fermentasi in vitro menurunkan produksi
gas total, konsentrasi CH4, kecernaan bahan organik, keragaman bakteri, jumlah
protozoa, total metanogen dan populasi Metanobacteriales. Penggunaan 25%-50%
silase rumput-legum menurunkan konsentrasi CH4, produksi gas total, dan
kecernaan bahan organik secara berurutan sebesar 11.43, 24.92, dan18.73%. NNH3 dan VFA (kecuali butirat dan valerat) secara nyata menurun kandungannya
dengan peningkatan penggunaan silase rumput-legum. Hasil penelitian fermentasi
in vivo menunjukkan bahwa peningkatan pemberian silase rumput-legum secara
nyata (P < 0.05) mempengaruhi peningkatan pH dan N-NH3, dan penurunan
populasi protozoa dan kandungan propionat. Komunitas bakteri dan metanogen

cairan rumen sapi PO fistula didominasi oleh kelompok bakteri Prevotella brevis,
P. ruminicola, Succiniclasticum ruminis, dan kelompok metanogen
Methanobrevibacter ruminantium, M. smithii, M. thueri, dan M. millerae.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa silase rumput-legum dengan kombinasi
(1:1) P. purpureum dan C. calothyrsus menghasilkan karakteristik produk
fermentasi yang baik dan komunitas mikrobanya didominasi oleh L. plantarum.
Evaluasi silase rumput-legum pada fermentasi in vitro menggambarkan bahwa
penggunaan 50% silase rumput-legum efisien dalam mitigasi produksi enterik
CH4 dengan menurunkan total metanogen dan populasi Metanobacteriales, tetapi
masih memiliki pengaruh terhadap penurunan keragaman bakteri dan kecernaan
bahan organik. Pada fermentasi rumen in vivo di sapi PO fistula menunjukkan
bahwa peningkatan pemberian silase rumput-legum memiliki potensi menghambat
metanogenesis secara langsung dengan menurunkan distribusi populasi
Metanobacteriales dan tidak langsung dengan menurunkan keragaman bakteri dan
populasi protozoa di rumen. Proporsi pemberian silase rumput-legum kurang dari
45% atau 5.2% dari total tannin efisien memberikan pengaruh terhadap
keseimbangan metabolisme rumen dan berpotensi dalam mitigasi CH4 dengan
menurunkan distribusi relatif metanogen sebesar 6% di rumen.
Kata kunci: Calliandra calotyhrsus, silase, metabolisme rumen, keragaman,
mikroba, mitigasi metan.


SUMMARY
RONI RIDWAN. Microbial Diversity and Metabolisms in the Rumen Content of
Ongole Breed Cattle Fed Grass-Legumes Silage. Supervised by IMAN
RUSMANA, YANTYATI WIDYASTUTI, KOMANG G. WIRYAWAN, and
BAMBANG PRASETYA.
Methane (CH4) is a potent greenhouse gases that contributes to global
warming and climate change. Until now, CH4 emissions had already accumulated
increased in the atmosphere by approximately 2% per year. Ruminant is one
significant contributor to enteric CH4 emissions into the environment from
livestock sector. Naturally, CH4 produced during fermentation in rumen which is
an energy loss and reduce productivity for the ruminant.
The most limiting factors in feeding cattle with forage are digestibility and
nutrient quality. Protein deficiency is the most important factor leading to low
performance of ruminants fed low quality forages. Calliandra calothyrsus is a
tropical legume used for ruminant feed, which contains high crude protein and
polyphenolics contents. Crude protein supplies N for microbial protein synthesis
in the rumen and polyphenolics for nutritional strategy to reduce CH4 emissions
from ruminants. Feed with a high protein content such as C. calothyrsus should be
preserved using suitable methods; the method used depends on geographical

location. However, legumes that have a low water soluble carbohydrates content
and high buffer capacity do not produce good quality silage. Combination grasses
and legumes are an alternative solution to the success of the ensiling process and
for improving the crude protein content of feeds for sustainable ruminant
production. The goals of this study was to investigate microbial diversity and
metabolisms of rumen cattle fed different level of silages containing C.
calothyrsus. This research was conducted with three parts of experiment.
The first experiment was to evaluate the quality of silage which contained
different levels of C. calothyrsus by examining the fermentation characteristics
and microbial diversity. Silage was made in a completely randomized design
consisting of five treatments with three replications i.e.; (S0) Pennisetum
purpureum 100%, (S1) P. purpureum 75% + C. calothyrsus 25%, (S2) P.
purpureum 50% + C. calothyrsus 50%, (S3) P. purpureum 25% + C. calothyrsus
75%, and (S4) C. calothyrsus 100%. All silages were prepared using plastic jar
silos (600 g) and incubated at room temperature for 30 days. Silages were
analyzed for fermentation characteristics and microbial diversity.
Second experiment was to investigate the effects of silage based diets on CH4
mitigation and microbial diversity in a rumen fermentation system. The in vitro
fermentation was performed in glass syringes for 24 h using the Hohenheim Gas
Test. The experiment was conducted in a completely randomized design with five

treatments and three replications. The dietary treatments consisted of varying
levels of silage containing 50% of C. calothyrsus as follows K; 100% concentrate
+ pure tannic acid of 1 mg/ml, T1; 25% silage + 75% concentrate, T2; 50% silage
+ 50% concentrate, T3; 75% silage + 25% concentrate, and T4; 100% silage. The
fermentation parameters measured were total gas, CH4, in vitro organic matter
digestibility (IVOMD), VFAs, pH, N-NH3, numbers of protozoa, and microbial
diversity analysis.

Final experiment was to reduce the methanogens activities by in vivo
fermentation. Design of experiment was cross over with 4 treatments and 3
sampling periods as replication. The diets used in the experiment consisted of R0:
50% P. purpureum + 50 % concentrate, R1: 20% P. purpureum + 50 %
concentrate + 30% grass-legume silage (1:1), R2: 20% P. purpureum + 35 %
concentrate + 45% grass-legume silage (1:1), and R3; 20% P. purpureum + 20 %
concentrate + 60% grass-legume silage (1:1). Rumen fluid samples were analyzed
for rumen fermentation characteristics, including VFAs, pH, N-NH3, protozoa
population, diversity and microbial population dynamics using T-RFLP, 16S
rDNA clone library, quantitative real time PCR (q-PCR).
The first results showed that increasing levels of C. calothyrsus in silage had
a significant effect (P < 0.01) on the fermentation characteristics. The microbial

diversity index decreased and activity was inhibited with increasing levels of C.
calothyrsus. The microbial community indicated that there was a population of
Lactobacillus plantarum, L. casei, L. brevis, Lactococcus lactis,
Chryseobacterium sp., and uncultured bacteria. Second results described that
increasing levels of silages in a rumen in vitro fermentation system reduced total
gas production, CH4 concentration, IVOMD, diversity index of bacteria, protozoa
numbers, total methanogens and Methanobacterales population. With 25% to 50%
silage decreasing CH4 concentration, total gas production and IVOMD by 11.43,
24.92, and 18.73%, respectively. Ammonia N and VFAs (except butyrate and
valerate) were significantly reduced (P < 0.01) by increasing level of silages.
Final results indicated that increasing levels of silages gave significant effect (P <
0.05) on pH, protozoa population, N-NH3, and propionate (C3). Bacteria and
methanogen communities in the rumen, were dominated by Prevotella brevis, P.
ruminicola, Succiniclasticum ruminis and Methanobrevibacter ruminantium, M.
smithii, M. thueri, and M. millerae.
The result confirms that silage with a combination of grass and C.
calothyrsus had good fermentation characteristics and microbial communities
were dominated by L. plantarum. Evaluated in a rumen in vitro fermentation
system confirmed that 50% silage containing C. calothyrsus has been efficient in
mitigation enteric CH4 production by reducing total methanogens and

Methanobacteriales numbers, but has still negative effect on decreasing bacteria
diversity and organic matter digestibility. Finaly, increasing level of silage diets in
a rumen in vivo fermentation system suppress methanogenesis by reducing
population distribution of Methanobacteriales directly and indirectly by reducing
the diversity of bacteria and protozoal population in the rumen. Grass-Legumes
silage diets less than 45% or 5.2% of total tannin give a metabolism balance and
potent methane mitigation reduced by 6% in the relative distribution of
methanogens in the rumen.
Key words: Calliandra calotyhrsus, silage, rumen metabolisms, microbial
diversity, methane mitigation

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

KERAGAMAN MIKROBA DAN METABOLISME RUMEN
SAPI PERANAKAN ONGOLE YANG MENGONSUMSI
PAKAN SILASE RUMPUT-LEGUM

RONI RIDWAN

Disertasi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji luar komisi pada ujian tertutup:

Dr. Anuraga Jayanegara, SPt., MSc.
Dr. Elizabeth Wina, MSc.

Penguji luar komisi pada ujian terbuka:

Dr. Sri Suharti, SPt., MSi.
Dr. Tresnawati Purwadaria

PRAKATA
Alhamdulillahhirobbil’alamiin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Alloh SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga Disertasi dengan judul
Keragaman Mikroba dan Metabolisme Rumen Sapi Peranakan Ongole yang
Mengonsumsi Pakan Silase Rumput-Legum ini dapat diselesaikan. Penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Januari-Desember 2013 dengan harapan dapat
bermanfaat dalam memberikan gambaran keragaman mikroba dan efisiensi pakan
pada ekologi rumen sapi.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Iman Rusmana, MSi. selaku
Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan, Dr. Yantyati
Widyastuti, dan Prof. Dr. Ir. Bambang Prasetya, MSc. selaku Komisi Pembimbing
Anggota, yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
arahan, dan kepada Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI yang telah menyediakan
Dana Penelitian Dipa 2013, Kementerian RISTEK RI yang telah memberikan
beasiswa program S3, Dr. Mitsuo Sakamoto sebagai pembimbing saat penelitian
di Jepang yang telah banyak membantu proses analisis, JST-JICA-LIPI SATREP
RS4 dan JCM RIKEN Japan yang telah banyak membantu dalam memfasilitasi
penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini, saya sampaikan banyak
terima kasih. Terima kasih kepada Dr. Anuraga Jayanegara, SPt., MSc. dan Dr.
Elizabeth Wina, MSc. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, Dr. Sri
Suharti, SPt., MSi. dan Dr. Tresnawati Purwadaria selaku penguji luar komisi
pada ujian terbuka dan kepada Ketua Program Studi Mikrobiologi IPB yang telah
memberikan banyak masukan dan saran untuk perbaikan penulisan disertasi ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian
Bioteknologi-LIPI beserta jajarannya atas ijin dan kesempatan sehingga penulis
dapat menempuh studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih kepada Dr. drh.
Harry dan tim bedah FKH-IPB yang telah membuat fistula pada sapi penelitian
ini. Kepada teman-teman di Laboratorium Mikrobiologi Terapan dan
Laboratorium di lingkungan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Laboratorium
Agrostologi, INTP dan Nutrisi Ternak Perah FAPET IPB, Laboratorium
Pengujian BALITNAK Ciawi, PT. Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas,
BTCC-LIPI, IPBCC dan Laboratorium dilingkungan MIK IPB, teman-teman MIK
2011 terima kasih atas segala bantuan teknis dan dukungannya, Dr. Chris
McSweeney (CSIRO Australia) atas koreksi manuskrip jurnal, serta semua pihak
yang telah berpartisipasi dalam terselesaikannya tulisan ini.
Rasa hormat dan penghargaan yang tulus, penulis sampaikan terima kasih
kepada kedua orang tua di Cianjur dan di Sumedang, istriku Tika Sundari, serta
Ketiga anakku Kania Dewi Shiyam, Muhamad Aqil Arrasyid, dan Aisha Dewi
Humaira atas Do’a, dukungan dan waktunya.
Penulis berharap Disertasi ini dapat memberikan konstribusi pada ilmu
pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi peneliti khususnya dan
masyarakat pada umumnya.

Bogor, September 2014
Penulis

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian
Kebaruan Penelitian (State of the Art)
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Ekologi Rumen
Calliandra calothyrsus
Tannin
Silase
Metanogen Rumen
Teknik Ekologi Molekuler
METODE
Bahan
Waktu dan Tempat
Prosedur Analisis
Peremajaan Isolat dan Pembuatan Inokulum Silase
Penelitian Tahap I (Pembuatan Silase)
Penelitian Tahap II (Fermentasi in vitro)
Penelitian Tahap III (Fermentasi in vivo)
Analisis Kimia
Perhitungan Jumlah Protozoa
Ekstraksi DNA
Analisis T-RFLP
Analisis Pustaka Klon 16S rDNA
Analisis Quantitative Real Time PCR (qPCR)
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Silase Rumput-Legum
Keragaman Mikroba Silase Rumput-Legum
Fermentasi Rumen in vitro Menggunakan HGT
Keragaman Mikroba Pada Fermentasi HGT
Fermentasi Rumen Secara in vivo
Keragaman Bakteri dan Metanogen Pada Fermentasi Rumen
Secara in vivo
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

Halaman
iii
iv
v
1
2
2
2
2
3
3
4
5
5
7
8
9
11
11
11
11
12
12
13
14
14
15
15
16
16
17
18
22
27
31
35
39
53
53

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

54
62
64

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Sekuen spesifik primer qPCR untuk target mikroba rumen
Komposisi kima bahan baku silase rumput-legum
Komposisi nutrien dan fraksi serat silase rumput-legum
Karakteristik silase rumput-legum
Indeks keragaman mikroba dalam silase rumput-legum
Komposisi nutrien dan kimia dari pakan perlakuan yang
digunakan dalam fermentasi HGT
Kecernaan bahan organik dan produksi gas pada fermentasi
HGT
Profil hasil fermentasi rumen pada HGT
Indeks keragaman dan jumlah populasi mikroba rumen
pada HGT
Komposisi nutrien dan kimia pakan pada fermentasi in vivo
Profil fermentasi rumen in vivo
Indeks keragaman mikroba rumen dan populasi protozoa
Identitas mikroba berdasarkan sequen pustaka klon 16S
rDNA rumen sapi PO
Hasil kuantifikasi qPCR bakteri dan metanogen rumen

Halaman
17
18
21
21
23
27
29
30
35
36
37
40
47
52

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27

Bagan alur penelitian
Leguminosa pohon C. calothyrsus
Hubungan fitokimia tanaman terhadap metanogenesis dan
metabolisme rumen
Gelas Syringe HGT pada water bath
Silase rumput-legum setelah 30 hari inkubasi
Regresi linier penggunaan level C. calothyrsus terhadap kualitas
silase rumput-legum.
Amplifikasi 16S rDNA genom bakteri dalam silase rumput-legum
Kedekatan mikroba dalam silase rumput-legum
Hubungan filogenetik bakteri dalam silase rumput-legum
Pola T-RFLP dalam silase rumput-legum dan inokulum silase L.
plantarum BTCC570 setelah dipotong dengan enzim restriksi AluI.
Kinetika produksi gas dalam sistem fermentasi HGT
Hasil amplifikasi 16S rDNA pada DNA genom bakteri dan
metanogen
Kedekatan mikroba dalam HGT disusun menggunakan pendekatan
UPGMA.
Profil T-RFLP 16S rDNAs bakteri setelah dipotong dengan AluI.
Profil T-RFLP 16S rDNAs metanogen setelah dipotong dengan
AluI
Hasil amplifikasi 16S rDNA dalam analisis T-RFLP bakteri
metanogen.
Kedekatan profil populasi bakteri dan metanogen dari seluruh
sempel disusun berdasarkan metode UPGMA
Pola T-RFLP bakteri dan methanogen dari sempel rumen setelah
dipotong dengan enzim restriksi AluI
Hasil amplifikasi 16S rDNA dari genom bakteri dan metanogen
rumen sapi PO dalam analisis pustaka klon 16S rDNA
Hasil seleksi biru putih dari pustaka klon 16S rDNA genom bakteri
dan metanogen
Hasil amplifikasi 16S rDNA pada gen insert dari bakteri dan
metanogen
Hubungan filogenetik bakteri rumen dari pustaka klon 16S rDNA
Hubungan filogenetik metanogen rumen dari pustaka klon 16S
rDNA
Pola distribusi bakteri dan metanogen rumen dari setiap perlakuan
pakan berdasarkan pustaka klon 16S rDNA
Distribusi Bacteriodetes dari rumen sapi PO berdasarkan pustaka
klon 16S rDNA
Distribusi Firmicutes dari rumen sapi PO berdasarkan pustaka klon
16S rDNA
Distribusi metanogen rumen berdasarkan pustaka klon 16S rDNA

Halaman
3
5
6
12
19
20
23
24
25
26
28
31
32
33
34
39
40
41
42
43
43
45
46
48
49
50
51

DAFTAR LAMPIRAN

1
2

Bakteri dan metanogen unculturable hasil pustaka klon 16S
rDNA
Contoh data sekuen No. Accession: AB935184 dari
DDBJ/EMBL/GenBank databases

Halaman
62
63

1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada saat ini pemanasan global sudah mulai dirasakan dengan ditandai
adanya perubahan iklim ekstrim di berbagai negara. Pemanasan global tersebut
disebabkan oleh semakin tingginya polusi gas rumah kaca di atmosfir. Salah satu
gas rumah kaca yang berkontribusi 21 kali lebih potensial daripada CO2 dalam
penyerapan infra merah adalah metan (CH4). Metan berpengaruh terhadap
pemanasan global dan perubahan iklim (Bodas et al. 2012; Patra 2014). Sampai
saat ini CH4 dari berbagai sektor memberikan kontribusi 16% terhadap gas rumah
kaca dan 50% disumbangkan oleh sektor pertanian (Karakurt et al. 2012), serta
mengalami peningkatan akumulasi di atmosfir sekitar 2% per tahun (Tianto et al.
2009). Ji and Park (2012) dan Patra (2014) mengatakan bahwa ruminansia
memberikan kontribusi cukup besar terhadap pemanasan global tersebut melalui
pengeluaran enterik CH4.
Metan secara alamiah diproduksi oleh metanogen di dalam rumen, dan
menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas ruminansia. Faktor yang
paling membatasi pakan hijauan ruminansia adalah kecernaan dan kualitas nutrisi.
Kekurangan protein merupakan faktor paling penting menyebabkan rendahnya
produktivitas ruminansia yang diberi pakan hijauan kualitas rendah. Kualitas
nutrisi yang tinggi dan ketersediaan pakan yang kontinyu serta keseimbangan
mikroba rumen dapat meningkatkan produktivitas ternak ruminansia.
Keseimbangan mikroba rumen dapat dilihat dari laju penyediaan N protein dan
energi serta pemanfaatan protein yang terdegradasi untuk pertumbuhan mikroba
rumen. Protein kasar (PK) disediakan untuk memasok N pada sintesis protein
mikroba dalam rumen.
Salah satu bahan pakan sumber protein yang tersedia dan tersebar luas
adalah leguminosa pohon, Calliandra calothyrsus, yang mengandung PK berkisar
antara 17-30% (Norton 1994; Hess et al. 2006; Jayanegara et al. 2011a). Potensi
lainnya dari C. calothyrsus yaitu mengandung metabolit sekunder tanaman (MST)
berupa tanin sebesar 8.1% (Jayanegara et al. 2011a). Tanin ini bermanfaat dalam
jumlah tertentu untuk ternak ruminansia dalam menghambat metanogenesis.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat aktivitas enzim dan pengurangan
substrat, bekerja pada membran sel, dan mengurangi asupan ion logam terhadap
mikroba tertentu (Scalbert 1991). Manfaat lain dari tanin yaitu komplek dengan
protein di rumen untuk mensuplai kebutuhan protein pada saluran pencernaan
setelah rumen dalam meningkatkan produktivitas sapi. Selain itu, tanin memiliki
pengaruh antinutrisi terhadap protozoa dan metanogen.
Silase adalah pakan yang difermentasikan dalam bentuk segar oleh bakteri
asam laktat (BAL) dan menghasilkan sebagian besar produknya berupa asam
laktat. Asam laktat dapat berperan sebagai pengawet alami dan silase akan
mempunyai daya simpan yang lama (McDonald et al. 1991). Selama ini bahan
hijauan yang umum digunakan untuk pembuatan silase adalah rumput. Untuk
meningkatkan PK pada silase rumput dapat ditambahkan C. calothyrsus,
selanjutnya disebut sebagai silase rumput-legum, dengan proporsi yang tepat.
Untuk mencapai peningkatan produktivitas sapi melalui penggunaan silase
tersebut, maka perlu diperhatikan tingkat pemberian agar sesuai dengan

2
kebutuhan nutrisi sapi dan dapat menurunkan produksi CH4 di rumennya. Silase
rumput-legum dengan kualitas nutrisi yang tinggi mensuplai kebutuhan N untuk
sintesis protein mikroba rumen dan tanin menghambat proses metanogenesis baik
secara langsung dan tidak langsung. Hal ini merupakan strategi dalam
mengefisienkan penggunaan pakan untuk meningkatkan produktivitas ternak.
Tujuan utama dalam meningkatkan produktivitas sapi adalah mencapai
keseimbangan mikroba dalam rumen agar terjadi proses kecernaan pakan yang
optimal dan penurunan CH4 (Lopez et al. 2010).
Metode kultur mikroba dapat digunakan untuk mengevaluasi keragaman
mikroba rumen tetapi tingkat akurasinya rendah. Dengan keterbatasan ini, masih
banyak mikroba yang tidak dapat diungkap karena belum dapat dikulturkan.
Analisis molekuler berdasarkan 16S rDNA dapat menambah informasi keragaman
mikoba rumen, karena dapat digunakan untuk mengamati mikroba yang belum
dapat dikulturkan tersebut. Dengan tambahan informasi ini, maka analisis
keragaman mikroba rumen dan pengelompokannya menjadi lebih lengkap.
Beberapa metode yang dapat digunakan meliputi terminal-restriction fragment
length polymorphism (T-RFLP) (Khafipour et al. 2009; Cadillo et al. 2008;
Kaplan et al. 2001), pustaka klon 16S rDNA (Danielsson et al. 2012; Fernando et
al. 2010), dan quantitative real time PCR (qPCR) (Tajima et al. 2001; Bustin et
al. 2009).
Perumusan Masalah
Pertanyaan yang muncul dalam penelitian ini adalah 1) Apakah tanin dalam
C. calothyrsus memberi pengaruh terhadap kualitas silase rumput-legum yang
dibuat, 2) Bagaimana profil bakteri pada silase rumput-legum, 3) Apakah ada
perubahan struktur dan komposisi bakteri dan metanogen selama fermentasi silase
rumput-legum dalam rumen in vitro dan in vivo, dan 4) Bagaimana dinamika
populasi dan keragaman mikroba akibat adanya fermentasi silase rumput-legum
dalam rumen.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi nutrisi dan
mikrobiologi silase rumput-legum dan evaluasi pemberiannya pada sapi potong.
Adapun tujuan khususnya meliputi 1) Mempelajari karakteristik fermentasi dan
keragaman populasi bakteri silase rumput-legum, 2) Menentukan taraf optimum
pemberian silase rumput-legum pada sapi potong, 3) Mengidentifikasi keragaman
mikroba rumen, dan 4) Mendapatkan profil metabolisme dan mitigasi CH4 di
rumen.
Hipotesis
Pemberian silase rumput-legum dapat mempengaruhi keragaman dan
dinamika populasi mikroba rumen yang dapat digunakan sebagai parameter
efisiensi pakan dalam metabolisme rumen.
Manfaat Penelitian
Silase rumput-legum memberikan informasi keragaman dan populasi
mikroba rumen, dan berkontribusi nyata terhadap peningkatan produktivitas sapi

3
potong serta penurunan emisi enterik CH4 menuju sektor peternakan yang ramah
lingkungan.
Kebaruan Penelitian (State of the Art)
Penelitian studi keragaman mikroba rumen khususnya pada sapi potong
secara in vivo di Indonesia belum ada. Penelitian ini melihat respon nilai
kegunaan silase rumput-legum yang mengandung C. calothyrsus dalam pakan
sapi potong terhadap keragaman mikroba dan profil metabolisme rumen, dan
penurunan produksi enterik CH4. Pengaruh tanin dalam C. calothyrsus yang sudah
digunakan dalam beberapa penelitian saat ini di Indoneisa dengan cakupan
penelitian terhadap penuruan CH4 secara in vitro, belum ada informasi secara detil
mengenai interaksi keragaman mikroba rumen terhadap profil metabolisme dan
penurunan enterik CH4.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengungkap interaksi mikroba pada silase, medium buffer dan
rumen menggunakan analisis molekuler T-RFLP dan qPCR pada fermentasi in
vitro serta ditambahkan dengan analisis pustaka klon 16S rDNA pada fermentasi
in vivo disajikan dalam alur penelitian (Gambar 1). Hasil dari penelitian ini dapat
mengetahui dengan jelas penggunaan C. calothyrsus dalam silase yang
memberikan pengaruh terhadap keragaman mikroba rumen, produktivitas ternak
dan berkontribusi terhadap penurunan emisi CH4. Pembuktian dari hasil penelitian
menghubungkan keragaman mikroba rumen dengan parameter hasil metabolisme
rumen meliputi VFA individual, N-NH3, pH, produksi gas total dan produksi CH4.
Hasil penelitian ini diharapkan mendapatkan profil keragaman dan dinamika
mikroba rumen sapi potong yang mengonsumsi silase rumput-legum dan
memberikan rekomendasi formulasi pakan pada peternakan sapi potong yang
efisien dan ramah lingkungan.
Penelitian Tahap I
Pembuatan Silase Rumput-Legum Skala Laboratorium

Penelitian Tahap III
Fermentasi in vivo pada sapi PO fistula

Inokulum Silase BTCC 570 dan Sumber Karbohidrat
(S0) Pennisetum purpureum 100%,
(S1) P. purpureum 75% + Calliandra calothyrsus 25%,
(S2) P. purpureum 50% + C. calothyrsus 50%,
(S3) P. purpureum 25% + C. calothyrsus 75%,
(S4) C. calothyrsus 100%.

Pembuatan Silase Rumput-Legum Skala Besar

R0: 50% P. purpureum + 50 % konsentrat,
R1: 20% P. purpureum + 50 % konsentrat + 30% silase,
R2: 20% P. purpureum + 35 % konsentrat + 45% silase,
R3: 20% P. purpureum + 20 % konsentrat + 60% silase

Analisa Kandungan Nutrisi dan Mikrobiologi
Pemberian 4 Pakan Perlakuan selama 68 hari
Pemilihan Kualitas Silase Terbaik

Sampling cairan rumen 7, 12, 17 hari pakan perlakuan
Penelitian Tahap II
Fermentasi in vitro HGT 24 Jam

K; 100% konsentrat + tannic acid (1mg/ml)
T1; 25% silase + 75% konsentrat,
T2; 50% silase + 50% konsentrat,
T3; 75% silase + 25% konsentrat,
T4; 100% silase

Analisa Profil Metabolisme dan Mikrobiologi Rumen
pH, VFA, NH3, Keragaman bakteri dan metanogen
rumen (T-RFLP), Kuantifikasi DNA bakteri dan
metanogen rumen (qPCR), Identifikasi bakteri dan
metanogen rumen (pustaka klon 16S rDNA), dan
Populasi Protozoa (counting)

Pengolahan Data in vivo
Analisa Kandungan Profil Metabolisme, CH4 dan Mikrobiologi
Kesimpulan dan Rekomendasi

Penentuan jumlah penggunaan silase yang tepat

Gambar 1. Bagan alur penelitian

4
TINJAUAN PUSTAKA
Ekologi Rumen
Peningkatan produktivitas ternak sapi dapat dilakukan melalui ketersediaan
pakan berkualitas. Pakan merupakan faktor yang penting dalam mensuplai fungsi
dan efisiensi kerja rumen. Mikroba rumen memegang peranan besar dalam
mendegradasi pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan sumber energi utama
berupa VFA. Tempat pencernaan pakan pada ruminansia terbagi menjadi 4 bagian
yaitu di rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Tempat pencernaan pada
ruminansia yang utama adalah rumen yang memiliki kapasitas tampung substrat
sekitar 60-100 liter atau 10-15% dari bobot badannya. Rumen merupakan organ
yang menarik untuk diteliti, terkait fungsinya sebagai tempat fermentasi utama
pakan yang dikonsumsi. Rumen dihuni oleh konsorsium mikroba, sekitar 1010-12
cfu/ml bakteri, metanogen 106-8 cfu/ml, 105-6/ml protozoa dan sebagian kecil
cendawan anaerob, yang bekerja secara sinergi dalam biokonversi pakan
(Ogimoto and Imai 1981; Wallace and Newbold 1992; Stewart and Flint 1997).
Keberadaan mikroba rumen terbagi menjadi tiga, yaitu menempel pada dinding
rumen, menempel pada partikel pakan, dan berada dalam cairan rumen.
Bakteri rumen digolongkan ke dalam kemampuan menggunakan substrat
dan hasil akhir fermentasinya. Bakteri rumen yang aktif dalam memanfaatkan
karbohidrat seperti selulosa yaitu Ruminococcus albus, Fibrobacter succinegenes,
Eubacterium cellulosolvens, hemiselulosa (Butyrivibrio fibrisolvens), pati
(Streptococcus bovis), gula atau dextrin (Succinivibrio dextrinosolvens dan
Lactobacillus sp.), dan pektin (Treponema saccharophilum dan Lachnospira
multiparus) (Stewart and Flint 1997). Sebagian bakteri lainnya yang aktif dalam
memanfaatkan nitrogen, seperti degradasi protein yaitu Ruminibacter
amylophilus, Clostridium sp. dan hidrolisis urea (Megasphaera elsdenii).
Kelompok bakteri pengguna asam (Succiniclasticum ruminis), bakteri lipolitik,
asetogenik, pendegradasi anti nutrisi, dan archaea dari kelompok metanogen yaitu
Methanobrevibacter ruminantium, Methanosarcina sp, Methanosphaera
stadmanae, Methanoculleus bourgensis, Methanimicrococcus blatticola, dan
masih banyak metanogen yang belum dapat dikulturkan melengkapi keragaman
mikroba dalam ekosistem rumen (Stewart and Flint 1997; Huang et al. 2012;
Singh et al. 2012).
Proses pencernaan pakan di rumen terjadi melalui kombinasi proses
biokimia dan proses mekanis yang menghasilkan VFA sebagai produk akhir dari
metabolisme dalam rumen. Kandungan utama VFA adalah asam asetat, propionat,
butirat, valerat dan asam lemak bercabang lainnya seperti iso-butirat dan isovalerat dalam konsentrasi yang lebih kecil. VFA yang dihasilkan dalam rumen
sangat beragam dan sebanyak 80-160 mM dibutuhkan untuk menunjang
pertumbuhan yang optimum. Ekivalen kadar VFA yang diproduksi dalam rumen
menyumbang 60-80% dari kebutuhan energi ternak ruminansia (Sutardi 2001).
Apabila terdapat penurunan perbandingan asetat:propionat dan penurunan
produksi CH4, hal ini mengindikasikan adanya pengaruh dari pemberian aditif
pakan dalam penurunan produksi CH4 dan meningkatkan penggunaan energi
dalam pakan ruminansia (Mwenya et al. 2004).

5
Kecenderungan peningkatan asam propionat lebih menguntungkan karena
dapat memasok energi pada ruminansia. Asam propionat merupakan VFA bersifat
glukogenik yang dapat menjadi prekursor dalam sintesis glukosa melalui proses
glukoneogenesis dan jalur asam laktat (McDonald et al. 1991). Pada sintesis asam
propionat membutuhkan gas H2, sehingga gas H2 yang ada di rumen berkurang.
Berkurangnya gas H2 mengakibatkan rendahnya produksi CH4, sehingga
fermentasi mengarah pada pembentukan asam propionat yang lebih
menguntungkan. Selain itu, potensi energi yang terbuang sebagai gas CH4
menjadi berkurang (Moss et al. 2000).
Calliandra calothyrsus
C. calothyrsus merupakan leguminosa pohon yang banyak dan tersebar luas
di Indonesia (Gambar 2). C. calothyrsus dapat tumbuh pada ketinggian 0-1300 m
dpl dan dengan curah hujan mencapai 700-3000 mm/tahun. Legum ini tidak
toleran terhadap kekeringan, namun dapat tetap tumbuh dalam beberapa periode
kekeringan yang berlangsung selama 2-6 bulan tetapi tetap memperoleh curah
hujan yang tidak kurang dari 50 mm. C. calothyrsus biasa hidup atau ditanam
dilereng-lereng bukit atau pengunungan sebagai tanaman penahan erosi. Daun dan
ranting leguminosa ini sudah dikenal oleh masyarakat peternak sebagai pakan
kambing, namun masih rendah proporsi pengunaannya untuk pakan sapi.
Kandungan nutrisi C. calothyrsus cukup tinggi, terutama kandungan PK yang
berkisar antara 17%-30% (Norton 1994; Hess et al. 2006; Jayanegara et al.
2011a). Tingginya kandungan PK yang terdapat pada legum ini banyak digunakan
sebagai suplay N untuk sintesis mikroba di dalam rumen.

Gambar 2. Leguminosa pohon C. calothyrsus
Tanin
C. calothyrsus memiliki kandungan polifenol yang tinggi. Tanin merupakan
senyawa polifenol alami dari tanaman yang memiliki berat molekul yang beragam
antara 500-3000 dalton. Tanin terbagi dua berdasarkan analisanya atau cara
mendapatkannya yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi (Bhat et al.
1998). Tanin terhidrolisis seperti gallic (gallotannins) dan ellagic acid
(ellagitannins), dan tannic acid. Tanin ini dapat didegradasi dengan adanya
kondisi asam dan aktivitas tanase dari beberapa mikroba rumen. Tannin

6
terkondensasi atau proanthocyanidins contohnya catechin dan gallocatechin yang
polymer utamanya tersusun dari unit flavan3-ol (epi) catechin dan (epi)
gallocatechin serta ditandai dengan adanya ikatan rangkap C-C pada C ke-8 dan
ke-4. Tanin terkondensasi sampai saat ini belum ada informasi dapat didegradasi
oleh mikroba rumen karena tingkat toksisitas yang tinggi dan ikatan komplek C-C
yang kuat. Pengaruh anti nutrisi dari tanin ini adalah dapat bergabung secara
komplek dengan protein, polimer seperti selulosa, hemiselulosa dan pektin, dan
mineral.
Tanin secara umum dapat menghambat pertumbuhan beberapa mikroba
namun masih belum jelas mekanisme kerja secara menyeluruh. Tanin sangat
reaktif terhadap dinding sel dan enzim ekstra seluler yang disekresikan oleh
bakteri yang selanjutnya menghambat transport nutrisi ke sel dan menghambat
pertumbuhan. Manfaat tanin banyak diteliti dijadikan bahan pakan aditif dalam
menurunkan emisi enterik CH4. Mekanisme penghambatan emisi enterik CH4 dari
MST dapat terjadi di rumen baik secara langsung dan tidak langsung dengan
mekanisme sebagai berikut; 1) Secara langsung dapat menghambat proses
metanogenesis dengan aktivitas sebagai anti metanogen, 2) Secara tidak langsung
dengan memiliki aktivitas sebagai anti protozoa, metanogen dan protozoa
diketahui memiliki hubungan endosimbion dalam hidupnya sehingga populasi
protozoa berkurang dan metanogen secara tidak langsung mengalami penurunan,
3) Berperan sebagai anti bakteri dan anti cendawan, berkurangnya bakteri dan
cendawan menyebabkan turunnya kecernaan pakan, sehingga substrat yang
dibutuhkan untuk produksi CH4 mengalami penurunan (Kamra et al. 2012). Patra
and Saxena (2010) menggambarkan hubungan fitokimia sebagai MST terhadap
proses metanogenesis dan metabolisme di rumen (Gambar 3).
Fitokimia
_

Bakteri dan Cendawan
_ +

+

_

3.

_

Protozoa
_

Kecernaan Pakan
Kecernaan Serat

Gambar

Perubahan Pola Fermentasi

_
+

Metanogen
_
_

_
_

Metanogenesis

Hubungan fitokimia tanaman terhadap metanogenesis dan
metabolisme rumen. (-); pengaruh negatif, (+); pengaruh positif
(Patra and Saxena 2010).

Enterik CH4 yang dihasilkan oleh ternak ruminansia di rumen diperkirakan
dapat menyumbangkan polutan sekitar 15% dari emisi CH4 total, dan potensi
kehilangan energi sebesar maksimal 15 % dari konsumsi energi bruto (Moss et al.
2000; Bodas et al. 2012). Tanin dari C. calothyrsus dapat menurunkan gas CH4
secara in vitro, menghasilkan produksi gas CH4 sekitar 11.2% dari total gas
(Jayanegara et al. 2011a). Banyak manfaat lainnya yang terdapat dari C.
calothyrsus, oleh karena itu perlu dilakukan preservasi dalam upaya penyediaan

7
pakan berkelanjutan. Tanin yang terkandung dalam silase rumput-legum masih
perlu dicari proporsi pemberian untuk sapi potong, karena masih ada dampak
negatif dari pemberian tanin terhadap penurunan kecernaan bahan organik di
rumen (Jayanegara et al. 2010; Boer et al. 2011).
Tanin banyak digunakan sebagai pakan aditif alami yang aman untuk
regulasi metanogenesis di rumen. Tanin dapat menurunkan metanogenesis melalui
penghambatan protozoa rumen dan dapat menekan aktivitas metanogen. Aditif
lainnya seperti minyak atsiri, senyawa organosulphur dan flavonoid memiliki
pengaruh langsung terhadap metanogen dan tidak langsung terhadap pengurangan
protozoa (Patra and Saxena 2010). Sejumlah leguminosa telah diketahui
mengandung total fenol dan tanin yang bervariasi. Jayanegara et al. (2011a)
melaporkan bahwa semua fraksi fenol menunjukkan kemampuan menurunkan
emisi CH4 dari fermentasi in vitro. Pemakaian leguminosa untuk pakan
ruminansia yang dikombinasikan dengan rumput dapat bersifat saling melengkapi
dimana rumput sebagai sumber serat kasar dan leguminosa sumber protein serta
sumber MST. Pembuatan silase rumput-legum diharapkan mencukupi kebutuhan
nutrisi yang dibutuhkan oleh sapi dan dapat memberikan manfaat terhadap
lingkungan. Fermentasi in vitro menggunakan ekstrak tanin 15 mg tanin
kondensasi/500 mg bahan kering dari Leucaena leucocephala menunjukkan pola
penurunan terhadap total gas, produksi CH4, konsentrasi VFA total, metanogen
dan populasi protozoa. Penurunan tersebut sejalan dengan peningkatan
penggunaan tanin, namun masih memiliki pengaruh negatif terhadap penurunan
kecernaan bahan pakan (Tan et al. 2011; Jayanegara et al. 2010).
Silase
Prinsip pembuatan silase adalah fermentasi hijauan atau bahan pakan
berbentuk segar oleh BAL. Fermentasi substrat oleh BAL sebagian besar
menghasilkan asam laktat yang menjamin efisiensi fermentasi, sehingga dapat
berperan sebagai zat pengawet alami (McDonald et al. 1991). Karbohidrat
tersedia (WSC) dimanfaatkan oleh berbagai mikroba epifit pada saat awal
fermentasi silase. Dominasi BAL tipe homofermentatif memegang peranan
penting disaat awal fermentasi berlangsung dan dapat menentukan keberhasilan
proses fermentasi silase. Jenis BAL ini menghasilkan asam laktat yang tinggi dan
bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan.
Mikroba yang tidak diinginkan seperti clostridia dan enterobacter menghasilkan
produk fermentasinya berupa butirat dan pH yang tinggi. Indikasi kehadiran dan
pertumbuhan mikroba tersebut dapat menyebabkan kegagalan dalam pembuatan
silase dan kehilangan sebagian kandungan nutrisinya.
Silase dibuat dengan tujuan menyediakan ketersediaan pakan yang
berkualitas dan berkelanjutan. Peningkatan produktivitas sapi dapat tercapai
dengan dukungan ketersediaan pakan yang kontinyu dan kualitas nutrisi yang
baik. Nilai gizi dari silase hampir sama dengan hijauan segar, bahkan lebih tinggi
kandungan nutriennya dengan penambahan inokulum atau dengan penambahan
sumber karbohidrat dan protein (Ridwan et al. 2005). Pakan hijauan leguminosa
dengan kandungan protein tinggi seperti C. calothyrsus dapat dilakukan
penyimpanan menggunakan metode yang sesuai seperti silase. Namun, legum
tersebut pada umumnya mempunyai kandungan WSC yang rendah dan tingginya
kapasitas penyangga yang menyebabkan kualitas silase rendah (McDonald et al.

8
1991; Norton 1994). Kombinasi rumput dan legum merupakan solusi untuk
keberhasilan proses fermentasi silase. Bahan pakan dengan kandungan protein
tinggi dapat diawetkan dengan silase, dan merupakan suatu potensi dalam
menyediakan pakan ruminansia yang berkelanjutan (Sun et al. 2012; GómezVázquez et al. 2011; Wanapat et al. 2014).
Peranan lain dari inokulum BAL dapat berperan sebagai probiotik. Hal ini
didukung oleh fenomena keberadaan inokulum BAL yang masih bertahan hidup
pada bagian cairan rumen secara in vitro (Weinberg et al. 2003) dan kemampuan
silase untuk meningkatkan produktivitas secara in vivo. Peningkatan kecernaan
pakan merupakan strategi yang cukup baik dalam meregulasi enterik CH4 pada
ruminansia. Strategi tersebut diantaranya dengan pembuatan silase yang
berkualitas dan rasio pemberian yang optimum antara konsentrat dan hijauan.
Namun penambahan aditif tanin masih memberikan dampak yang ganda (Boer et
al. 2011) dan dengan konsentrasi tanin yang tinggi dapat berpengaruh terhadap
penurunan kecernaan bahan organik (Jayanegara et al. 2011a; Tiemann et al.
2008). Sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pemberian silase
yang tepat terkait dengan interaksi mikroba rumen dan kecernaan bahan pakan
serta produk metabolisme rumen.
Metanogen Rumen
Rumen merupakan ekosistem sangat komplek dengan mikroba yang
beragam. Metanogen merupakan salah satu mikroba rumen yang sebagian besar
memanfaatkan substrat CO2, H2 dan merupakan suatu potensi kehilangan energi
pada ruminansia dalam memproduksi enterik CH4. Metanogen yang sudah
berhasil dikulturkan dan umum ditemukan di rumen adalah Methanobrevibacter
ruminantium, M. olleyae, M. millerae, Methanobacterium formicicum,
Methanobacterium bryantii, Methanomicrobium mobile, dan sebagian kecil dari
Methanosarcina barkeri (Zhou et al. 2011; Withman et al. 2006).
Terjadinya proses metanogenesis di rumen dapat mengakibatkan rendahnya
produktivitas dan memiliki pengaruh negatif terhadap produksi ruminansia
(Kumar et al. 2009; Patra 2014). Proses biometanisasi merupakan suatu alur
pembentukan CH4 dari hasil konsorsium mikroba yang saling berhubungan di
mana produk fermentasi dari satu populasi mikroba berfungsi sebagai substrat
untuk mikroba berikutnya dalam menghasilkan CH4. Proses tersebut terbagi ke
dalam empat tahapan: hidrolisis pemecahan senyawa komplek, acidogenesis,
acetogenesis dan tahap akhir metanogenesis oleh metanogen (Weiland 2010).
Tiga proses awal (hidrolisis, acidogenesis dan acetogenesis) yang terjadi di rumen
dilakukan oleh konsorsium mikroba rumen yang selanjutnya metanogen
memanfaatkan H2 untuk mereduksi sebagian besar sustrat CO2 menghasilkan
CH4. Mikroba utama yang terlibat dalam proses metanogenesis menghasilkan CH4
adalah kelompok metanogen. Berhubungan dengan prekursor metabolik utama
yang digunakan, metanogen dibagi menjadi dua kelompok yaitu metanogen
aceticlastic yang dapat melakukan metabolisme asetat dengan keberadaannya
sangat sedikit di dalam rumen dan metanogen hydrogenotrophic yang
menggunakan H2 atau format sebagai donor elektron dan CO2 sebagai sumber
karbon untuk proses metanogenesis (Demirel et al. 2008). Metanogen
hydrogenotrophic dominan dan sangat umum dijumpai pada habitat rumen dalam
menghasilkan enterik CH4.

9
Metan merupakan salah satu gas rumah kaca, yang paling besar dampaknya
yaitu memiliki 21 kali lebih potensial pada pemanasan global daripada CO2, dan
telah terjadi peningkatan akumulasi di atmosfir sekitar 2% per tahun (Tiantao et
al. 2009). Oleh karena sangat berbahayanya dampak tersebut maka regulasi
metanogen banyak dilakukan terhadap proses metanogenesis. Proses regulasi
metanogen merupakan suatu upaya pengaturan proses metanogenesis melalui
kompetitif substrat dan inhibitor CH4. Mikroba berkompetisi dalam
memanfaatkan substrat yang tersedia di rumen, sehingga kebutuhan substrat
metanogen menjadi berkurang. Sebagian model penghambatan lainnya dengan
adanya metabolit sekunder yang dihasilkan oleh mikroba rumen atau dengan
penambahan inhibitor metanogenesis secara langsung. Substrat yang dapat
digunakan untuk proses metanogenesis di rumen adalah H2, CO2 dan asam-asam
organik. Substrat tersebut juga dimanfaatkan secara kompetitif oleh mikroba
rumen yang bermanfaat untuk proses-proses yang dapat menghasilkan energi
untuk ternak, sehingga metanogen memiliki kesempatan yang terbatas dalam
memanfaatkan substrat dan sebagian lagi terhambat karena ada MST yang
digunakan sebagai bahan pakan (Bodas et al. 2012).
Pengurangan emisi CH4 baik secara langsung atau tidak langsung diperlukan
penelitian yang lebih luas untuk mencapai solusi yang nyata. Penelitian yang
dilakukan harus komprehensif mencakup aspek berbeda dari metanogenesis
rumen seperti filogenetik metanogen, ekologi mikroba rumen, faktor yang
mempengaruhi emisi CH4 dan strategi mitigasi (Kumar et al. 2009).
Teknik Ekologi Molekuler
Pada saat ini, analisis keragaman mikroba berdasarkan metode kultur telah
ditambahkan informasinya dengan teknik ekologi molekuler berdasarkan 16S
rDNA. Teknik ini dapat mengklasifikasikan bakteri untuk melihat hubungan
filogenetiknya (Zoetendal et al. 2004). Aplikasi analisis T-RFLP dalam
menentukan komposisi mikroba yaitu dengan memanfaatkan fragmen sekuen
DNA hasil potongan dengan enzim restriksi dari total komunitas mikroba (Ferrero
et al. 2004). Analisis T-RFLP menunjukkan akurasi hasil yang tinggi, sehingga
membuat atraktif dalam mempelajari struktur komunitas mikroba (Osborn et al.
2000).
Analisis T-RFLP adalah suatu metode untuk menggambarkan profil
komunitas mikroba berdasarkan polimorfisme fragmen DNA hasil amplifikasi
yang dipotong dengan enzim restriksi endonuclease. Proses amplifikasi 16S
rDNA pada analisis T-RFLP digunakan primer yang telah dilakukan pelabelan di
ujung 5’ forwad dengan FAM 6-carboxylfluoresens untuk mengamplifikasi
daerah gen target dari total DNA komunitas. Selanjutnya dilakukan analisis
potongan sekuen dengan menggunakan genetic analyzer. Alat ini dapat membaca
potongan nukleotida yang berflouresen pada ujung 5’ dan ditangkap oleh sensor
(Liu et al. 1997; Kaplan et al. 2001). Selanjutnya dilakukan pemasukan data
scaner pada program untuk melihat kedekatan situs restriksinya dengan
mikroorganisme pada GenBank database.
Analisis pustaka klon pada rumen merupakan suatu metode molekuler untuk
mengumpulkan gen dari berbagai mikroba suatu sampel komunitas yang
kemudian dapat digunakan untuk menggambarkan keragamannya. Teknik
molekuler ini sekaligus dapat digunakan untuk mengidentifikasi mikroba rumen

10
yang komplek disuatu habitat (McSweeney et al. 2007). Klon DNA diligasikan
pada vector dan ditansformasikan pada inang, kemudian gen target yang berhasil
disisipkan pada daerah lacZ dikonfirmasi dengan seleksi biru putih dan di
amplifikasi daerah 16S rDNA (Wright et al. 2005). Dinamika populasi mikroba
pada suatu habitat dapat dimonitor pola perubahannya dengan metode kuantitatif
qPCR. Prinsip analisa ini adalah dengan memanfaatkan mikroba rujukan sebagai
standar DNA dan spesifik primer yang digunakan dalam menguantifikasi secara
nyata jumlah copy DNA berdasarkan waktu amplifikasi (Tajima et al. 2001;
Bustin et al. 2009). Proses mengamplifikasi gen pada qPCR ini sama halnya
dengan PCR biasa, namun pada qPCR gen dapat diamati pada setiap tahapnya dan
dapat diukur jumlah copy DNA yang telah teramplifikasi berdasarkan persamaan
linier dari kurva standar DNA rujukan.
Aplikasi teknik molekuler digunakan untuk menambahkan dan
mengonfirmasi keakuratan hasil yang didapatkan secara langsung saat jalannya
proses metabolisme (Deng et al. 2008). Teknik molekuler 16S rDNA dapat
melihat perbedaan genetik antar mikroba dan memberikan pengertian yang