BAB III WACANA KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA
Definisi dan Prinsip Kebebasan Beragama
Definisi kebebasan beragama menurut M. Dawam Rahardjo berarti kebebasan untuk memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta
kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing- masing.
44
Sedangkan, menurut Siti Musdah Mulia, kebebasan beragama berarti kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan agama
yang dipeluk, serta kebebasan melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.
45
Definisi yang diberikan keduanya tampak senada. Untuk lebih memperjelas definisi kebebasan beragama, kita sebaiknya melihat
ketentuan tentang kebebasan beragama dalam instrumen hak asasi manusia dan regulasi yang ada di Indonesia.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia DUHAM tahun 1948, artikel 18 menyebutkan: ”Setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan
beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan
pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama- sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara pribadi.”
44
M. Dawam Rahardjo, “Dasasila Kebebasan Beragama.” artikel diakses tanggal 16 Juni 2007, dari
http:islamlib.comidindex.php?page=articleid=925
.
45
Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Hakim, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish
, h. 228.
Pengertian ini diperjelas dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik KIHSP 1966, artikel 18 1, yang menyatakan bahwa, “Setiap orang
mempunyai hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan
atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama- sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan
agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.”
Adapun Undang-undang Dasar UUD 1945 pasal 28 e ayat 1 dan 2, menyebutkan bahwa: 1 Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali, 2 Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya. Hal ini masih diperkuat lagi oleh Pasal 29 yang berbunyi: 1 Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2 Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Selain itu, Undang-undang UU RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia HAM, terutama Pasal 22, menyebutkan bahwa: 1 Setiap orang
bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 2 Negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan demikian, penulis dapat menarik definisi kebebasan beragama, yang berarti kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau
menentukan agama yang dipeluk atas pilihan sendiri, dan kebebasan – baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum ataupun tertutup
– untuk menjalankan agama atau kepercayaanya, dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran, yang mana kebebasan tersebut harus dijamin dan
dilindungi oleh negara. Kebebasan beragama juga merupakan bagian dari hak asasi keagamaan.
Hak asasi keagamaan dimaksudkan sebagai hak inheren seseorang di ranah privat ataupun publik untuk beribadah ataupun tidak beribadah sesuai dengan kesadaran,
pemahaman, ataupun pilihannya; untuk membuktikan dan menyebarkan kepercayaannya; untuk bergabung dalam sebuah lembaga keagamaan; dan untuk
mengubah identitas keagamaannya – seluruhnya tanpa gangguan, penganiayaan, atau diskriminasi. Hak asasi keagaman memerlukan kesetaraan semua agama,
termasuk yang tidak beragama, di hadapan hukum, dan karenanya, sesuai dengan hukum, seorang warga negara tidak boleh mendapatkan keuntungan juga kerugian
dikarenakan kepercayaan atau identitas keagamaannya.
46
Dalam sejarah Eropa, prinsip kebebasan beragama berakar pada konsep kebebasan berpikir dan berkesadaran liberty of thought and liberty of
conscience . Sebuah konsep yang muncul pertama kali dalam Perjanjian
46
James E. Wood Jr., “Religious Human Rights and a Democratic State,” Journal of Church and State Vol. 46
, p. 739.
Westphalia tahun 1648 yang mengakhiri sejarah peperangan atas nama agama di Eropa.
47
Kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia dan realitas sosial tidak muncul dalam perkembangan sejarah umat manusia, paling tidak, sampai akhir
abad ke-18, sebagaimana terlihat dalam permulaan kelahiran negara Amerika Serikat dan Revolusi Perancis. Kebebasan beragama menjadi inti hak asasi
manusia – bahkan yang paling mendasar – yang dideklarasikan secara simultan dalam Deklarasi Perancis tahun 1789 The French Declaration des droits des
hommes et citoyens dan Bill of Rights Amerika Serikat.
48
Dalam pemikiran politik, konsep kebebasan mendapatkan penafsiran yang beragam. Salah satu definisi kebebasan di antaranya bahwa tiadanya halangan
atau rintangan bagi seseorang untuk berbuat. John Locke mengemukakan bahwa hukum sekalipun tidak boleh membatasi kebebasan, dan justru harus menjaga dan
memperluas kebebasan.
49
Di sisi lain, pandangan modern memandang bahwa kebebasan diakui menemui batasannya bila berbenturan dengan hukum positif.
Werner Becker memahami kebebasan dalam arti seseorang dalam batasan-batasan yang telah ditentukan bisa berbuat atau meninggalkan apa yang dikehendakinya.
Batasan-batasan ini boleh jadi adalah kondisi biologisnya ataupun hukum
47
Penjelasan tentang sejarah diskursus kebebasan beragama sebagai dictum internasional dapat ditemui dalam laporan Arcot Krishnawami tahun 1959, Study of Discrimination in the
Matter of Religious Rights and Practice , lihat Natan Lerner, “The Nature anf Minimum of
Freedom of Religion or Belief,” dalam Tore Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook
, Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2004, pp. 68-69.
48
Leonard Swindler, “Freedom of Religion and Dialogue,” dalam Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook
, p. 761.
49
Norman Berry, An Introduction to Modern Political Theory New York: St. Martin’s Press, 1981, h. 157-163. Dikutip dari Masykuri Abdillah, “Kebebasan Berekspresi dalam
Konteks Masyarakat Indonesia,” dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid
Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2007, h. 189.
positif.
50
Sementara itu, John Stuart Mill menolak kebebasan yang bisa membahayakan orang lain harm to others.
51
Untuk memahami agama dalam konteks ini, kita menemukan terdapat tiga segi agama. Pertama, agama sebagai kepercayaan.
52
Agama sebagai kepercayaan menyinggung keyakinan yang orang pegang mengenai hal-hal seperti Tuhan,
kebenaran, atau doktrin
kepercayaan.
53
Kepercayaan terhadap agama menekankan, contohnya, kesetiaan pada doktrin-doktrin seperti rukun Islam,
karma, dharma, atau pesan sinkretik lainnya yang menurut banyak doktrin agama mendasari realitas kehidupan.
Kedua , sementara agama sebagai kepercayaan menekankan pada doktrin,
agama sebagai identitas menekankan pada afiliasi dengan kelompok. Dalam hal ini, identitas agama dialami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan keluarga,
etnisitas, ras atau kebangsaan. Jadi, orang percaya bahwa identitas agama merupakan sesuatu yang didapatkan setelah proses belajar, berdoa, atau refleksi.
54
Segi agama yang ketiga ialah agama sebagai jalan hidup way of life. Dalam segi ini, agama berhubungan dengan tindakan, ritual, kebiasaan dan tradisi
50
Werner Becker, Die Freiheit, die Wir Meinen Munchen-Zurich: R. Piper Co. Verlag, 1982, h. 111. Dikutip dari Abdillah, “Kebebasan Berekspresi dalam Konteks Masyarakat
Indonesia,” h. 189.
51
Andrew Heywood, Political Theory; An Introduction New York: St. Martin’s Press, 1994, h. 258 dan 270. Dikutip dari Abdillah, “Kebebasan Berekspresi dalam Konteks Masyarakat
Indonesia,” h. 189.
52
T. Jeremy Gunn, “The Complexity of Religion and the Definition of “Religion” in International Law,” Harvard Human Rights Journal, Vol. 16, 2003, p. 200.
53
Dalam studinya atas kecurigaan agama, Allport mengidentifikasi dua “kutub tipe affiliasi keagamaan.” Gordon W. Allport, “The Religious Context of Prejudice,” Journal for
Scientific Study of Religion 5 1966, p. 452. Pertama, yang berhubungan secara umum dengan
segi “agama sebagai kepercayaan” sebagaimana dijelaskan di sini, Allport mengindentifikasi sebagai “kelembagaan” dan ia menyarankan segi tersebut berdasar pada adopsi kepercayaan
sukarela masyarakat. Kedua, “komunal” berhubungan secara umum dengan segi “agama sebagai identitas”.
54
Gunn, “The Complexity of Religion and the Definition of “Religion” in International Law,” p. 201.
yang membedakan umatnya dari pemeluk agama lain. Contohnya, agama sebagai jalan hidup bisa mendorong orang untuk hidup di biara atau komunitas
keagamaan, atau melakukan banyak ritual, termasuk shalat lima waktu, mengharamkan daging babi, ataupun menyunat.
55
Dalam segi ini, keimanan berusaha tetap dipegang, bahkan perlu untuk diimplementasikan. Tampak bahwa
dalam segi ini, agama sangat bersinggungan dengan kepentingan publik. Ini berarti, agama tidak cukup hanya berupa kepercayaan akan spiritualitas yang
sifatnya interior, ataupun sebagai identitas afiliasi kelompok saja. Banyak pihak menghormati kebebasan beragama sebagai salah satu hak
asasi manusia terpenting di era modern: “Sebuah elemen esensial dalam tata internasional yang baik yakni kebebasan beragama.”
56
Lebih dari penting, banyak pihak berpendapat bahwa kebebasan beragama ialah hak dasar doktrin hak asasi
manusia modern. Kebebasan beragama dijelaskan sebagai, “kemenangan kebebasan yang paling berharga,”
57
“kebebasan pertama, pembentuk, fons et origo atas seluruh hak dan kebebasan lainnya.”
58
Littell menyatakan, “di antara hak-hak dasar lainnya, kebebasan beragama adalah yang paling diprioritaskan”.
59
Ada banyak alasan beragam atas keutamaan ini, tetapi kebanyakan komentator cenderung sepakat bahwa kebebasan beragama merupakan dasar
masyararakat demokratis dan bebas. Mereka memahami bahwa kebebasan politik
55
Gunn, “The Complexity of Religion and the Definition of “Religion” in International Law,” p. 204.
56
Dari the Amsterdam Declaration by the First Assembly of the World Council of Churches, dalam Ninan Koshy, “The Ecumenical Understanding of Religious Liberty: The
Contribution of the World Council of Churches”, Journal of Church and State 38, 1996, p. 141.
57
Franklin H. Littell, The Ecumenical Commitment to Human Rights, Journal of Ecumenical Studies
29 1992, p. 388.
58
Peter L. Berger, The First Freedom, Commentary 86 1988, p. 64.
59
Littell, The Ecumenical Commitment to Human Rights, p. 383.
tidak terpisahkan dari kebebasan beragama. Kebebasan politik berakar pada kebebasan beragama dan tidak bisa diperkokoh ataupun dikembangkan terkecuali
melaluinya. Semua partai yang berusaha memberi dasar lain atas kebebasan politik telah gagal dalam usahanya dan hancur dalam rezim tirani.
60
Pengakuan atas hubungan khusus antara kebebasan beragama dan kebebasan dasar lainnya sama sekali tidak terpisahkan dari observasi ini. Lebih
dari 150 tahun lalu, Audi menyatakan:
Jelas bahwa sebuah masyarakat tanpa kebebasan beragama belum benar-benar bebas. Lebih jauh, kebebasan diperlukan demokrasi... Karenanya, jika idealita seseorang
ialah sebuah masyarakat demokratis dan bebas, ia membutuhkan kerangka sosial konstitusional untuk menjamin paling tidak hal berikut: 1 kebebasan atas kepercayaan
agama, dipahami sebagai melarang negara atau siapapun untuk menanamkan kepercayaan agama dalam populasi umum, yang dimaksudkan untuk meng-eksklusi atau membatasi
perkembangan persaingan kepercayaan agama; 2 kebebasan untuk beribadah meliputi, minimal, hak kementrian kerukunan beragama, juga hak memanjatkan doa seorang diri;
dan 3 kebebasan untuk ikut serta dalam dan mengajar anak-anak upacara dan ritual keagamaan, memelihara praktek-praktek keagamaan tersebut tanpa melanggar hak-hak
moral dasar.
61
Berbagai pengakuan atas urgensi kebebasan beragama tersebut memposisikan kebebasan tersebut sebagai sebuah instrumen hak asasi manusia
terpenting dalam sejarah manusia. Pengakuan tersebut diabadikan dalam instrumen-insturmen hak asasi manusia internasional, seperti Universal
Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
DUHAM tahun 1948 dan Internasional Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik KIHSP tahun 1966.
60
Abbé Hugues-Félicité Robert de Lamennais dalam C. B. Hastings, Hughes-Félicité Robert de Lamennais: A Catholic Pioneer of Religious Liberty, Journal of Church and State 30
1988, p. 321.
61
Robert Audi, The Separation of Church and State and the Obligations of Citizenship, Philosophy and Public Affairs
18 1989, pp. 265-66.
Freedom of religion or belief, in its current historical form, is a universally applicable human rights instrument. At the normative level, it has been clear from the beginning of the modern human rights era that freedom of religion is a
fundamental rights. Emerging from the ashes of the second World War, the right has been articulated most authoritatively in article 18 of both the Universal Declaration of Human Rights and the International Covenant on
Civil and Political Rights. Individuals – all human beings everywhere in the world – are the primary holders and beneficiaries of this freedom; states – ideally under continual critical scrutiny by informed citizens – are the primary
addresses and thus the primary holders of the correlative onligations. Beyond the religious freedom provisions of the Universal Declaration and the ICCPR, key elaborates us and specifications of the human right to freedom of religion
or belief are provided by the 1981 Declaration. The United Nations Human Rights Committee General Comment No. 22 48 provides normative substance to article 18 of the ICCPR.
Kebebasan beragama atau berkeyakinan, dalam sejarahnya, merupakan instrumen pelaksanaan hak asasi manusia Secara normatif, telah jelas sejak awal masa
hak asasi manusia modern bahwa kebebasan beragama adalah hak yang sangat mendasar. Timbul dari sisa-sisa Perang Dunia ke-2, hak kebebasan beragama diartikulasikan paling
otoritatif dalam pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Hak Sipil dan Politik. Individu – semua manusia di seluruh dunia – merupakan pemilik utama dan
pihak yang diuntungkan dari kebebasan ini, negara – yang idealnya di bawah kritikan tajam yang terus menerus disampaikan oleh warga negara yang terdidik – menjadi alat
utama dan juga pemilik utama kewajiban-kewajiban terkait hak tersebut. Melampaui ketentuan kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan
KIHSP, kunci dan spesifikasi yang memperinci hak asasi kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi kita disajikan oleh Deklarasi 1981. Komentar Umum No. 22 48
Komite Hak Asasi Manusia PBB menyajikan substansi normatif atas pasal 18 KIHSP.
62
DUHAM tahun 1948, artikel 18 menyebutkan: ”...Setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan
untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan
ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara pribadi...”
Dalam redaksi lain, KIHSP tahun 1966, artikel 18 1 menyatakan bahwa: “...Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu
maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup,
62
Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, pp. xxxvii-xxxviii.
untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran...”
Kebebasan beragama memiliki dua dimensi. Pertama, kebebasan internal forum internum, artinya “bebas untuk meyakini dan memeluk satu agama
tertentu,” termasuk pindah dari satu agama ke agama yang lain. Meski demikian, kebebasan internal ini tidak secara otomatis melahirkan hak untuk
memanifestasikan dan menyiarkan agama di ranah publik. Hal ini dikarenakan adanya dimensi kedua dari kebebasan beragama.
Dimensi kedua ialah kebebasan eksternal forum externum, yakni hak kondisional yang bisa menjadi subjek pembatasan karena bersinggungan dengan
hak-hak asasi orang lain. Kebebasan eksternal ini dengan jelas terutama dapat disaksikan dalam dokumen KIHSP tahun 1966, yang sekaligus membedakannya
dari DUHAM 1948. KIHSP tahun 1966, artikel 18 3 berbunyi: “...Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh
ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak mendasar dan kebebasan orang lain...”
Kedua dimensi kebebasan beragama ini saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Akibatnya, kebebasan beragama bukanlah kebebasan tanpa batasan.
Penegakan kebebasan beragama tetap harus mempertimbangkan keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, yang dirangkai dalam suatu
ketentuan hukum. Kebebasan beragama seseorang juga dibatasi oleh pengakuan atas hak dasar dan kebebasan orang lain.
Inti normatif dari hak asasi kebebasan beragama bisa dipadatkan dalam delapan komponen, antara lain:
63
1. Kebebasan internal: Setiap orang memiliki hak kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk semua orang untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau mengganti
agama atau kepercayaannya. 2.
Kebebasan eksternal: Setiap orang memiliki kebebasan, baik sendiri maupun di dalam masyarakat dengan yang lainnya, di ruang pribadi
ataupun publik, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.
3. Anti-kekerasan: Tidak seorang pun boleh ditundukkan atas kekerasan yang
akan merusak kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi agama dan kepercayaan sesuai pilihannya.
4. Anti-diskriminasi: Negara berkewajiban untuk menghormati dan
memastikan seluruh individu dalam wilayahnya tunduk terhadap jaminan hukum kebebasan beragama tanpa memandang bulu dalam segala hal,
seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan, politik, kebangsaan, kekayaan, kelahiran atau status-status lainnya.
5. Hak orang tua dan wali: Negara berkewajiban untuk menghormati
kebebasan orang tua atau wali untuk memastikan pendidikan agama dan moral anak-anak mereka dalam sesuai dengan hukum dan perlindungan
63
Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, pp. xxxviii-xxxix.
hak kebebasan beragama anak-anak sejalan dengan perkembangan kapasitas anak.
6. Kebebasan dan kedudukan hukum perusahaan: Aspek vital kebebasan
beragama, terutama dalam masa kontemporer, ialah komunitas keagamaan memiliki kedudukan dan hak kelembagaan untuk mewakili hak dan
kepentingannya sebagai masyarakat. Komunitas keagamaan karenanya memiliki hak kebebasan beragama, yang mencakup hak otonomi dalam
urusan sendiri. Walaupun mereka tidak memiliki status kedudukan hukum yang formal, mereka tetap memiliki hak memperoleh status legal sebagai
bagian dari hak kebebasan beragama atau berkeyakinan mereka dan khususnya sebagai aspek kebebasan untuk memanifestasikan keyakinan
agama tidak hanya secara individual, tetapi dalam masyarakat bersama yang lainnya.
7. Batas pembatasan yang diizinkan pada kebebasan eksternal: Kebebasan
untuk memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang dapat ditundukan hanya kepada pembatasan-pembatasan tertentu sebagaimana
ditentukan oleh hukum dan diperlukan untuk perlindungan keselamatan publik, tata tertib, kesehatan atau moral atau hak fundamental orang lain.
8. Tidak dapat dikurangi Non-derogable: Negara tidak boleh mengurangi
hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, bahkan dalam keadaan darurat sekalipun.
Walaupun kebebasan beragama berlaku untuk individu, kebebasan beragama juga mencakup perlindungan aktifitas masyarakat dan hubungan antar
generasi. Komunitas keagamaan mengambil keuntungan dari perlindungan yang diberikan atas aktifitas masyarakat. Negara dibebani dengan kewajiban-kewajiban
terkait untuk menjamin hak institusional kelompok-kelompok agama.
64
Dalam uraian yang sedikit berbeda, Siti Musdah Mulia menyebutkan beberapa prinsip kebebasan beragama, yang antara lain:
65
Kebebasan beragama berarti kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan
melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Kebebasan beragama berarti kemerdekaan menyebarkan agama, menjalankan
misi atau berdakwah dengan syarat semua kegiatan penyebaran agama itu tidak menggunakan cara-cara kekerasan maupun paksaan secara langsung
ataupun tidak langsung. Termasuk tidak mengeksploitasi kebodohan dan kemiskinan masyarakat atau bersifat merendahkan martabat manusia
sehingga tidak dibenarkan melakukan pemberian bantuan apa pun dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu.
Kebebasan beragama mencakup kebebasan untuk berpindah agama, artinya berpindah pilihan agama tertentu ke agama lain. Setiap warga negara
berhak untuk memilih agama dan kepercayaan apapun yang diyakininya dapat membawa kepada keselamatan dunia dan akhirat.
64
Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, p. ix.
65
Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Hakim, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish
, h. 228-231.
Kebebasan beragama mencakup kebebasan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama atau berbeda sekte atau berbeda faham keagamaan
sepanjang perkawinan itu tidak mengandung unsur pemaksaan dan eksploitasi, seperti perdagangan perempuan dan anak perempuan
trafficking in women and children, asalkan perkawinan tersebut dicatat di lembaga catatan sipil.
Kebebasan beragama mencakup kebebasan mempelajari ajaran agama manapun di lembaga-lembaga pendidikan, termasuk di lembaga
pendidikan milik pemerintah. Setiap siswa atau mahasiswa berhak memilih atau menentukan agama manapun yang akan dipelajarinya, dan
tidak dibatasi hanya pada agama yang dianut peserta didik. Demikian juga, kebebasan untuk tidak mengikuti pelajaran agama tertentu.
Kebebasan beragama memberi ruang pada kemunculan aliran keagamaan tertentu, bahkan kemunculan agama baru sepanjang tidak mengganggu
ketentraman umum dan tidak pula melakukan praktit-praktik yang melanggar hukum. Kebebasan itu berlaku pula untuk mereka yang
mendirikan perkumpulan untuk maksud kesehatan atau kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan ajaran agama tertentu sesuai dengan
pilihan anggota atau peserta, selama tidak mengharuskan keimanan terhadap suatu agama atau kepercayaan sebagai syarat.
Kebebasan beragama mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil pada semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup di suatu negara.
Negara tidak boleh bersikap dan berbuat diskriminatif terhadap mereka.
Tidak ada istilah mayoritas-minoritas, penganut agama samawi dan non- samawi, agama asli dan agama pendatang, serta agama resmi dan tidak
resmi.
Regulasi Kebebasan Beragama di Indonesia
Dalam konteks sejarah, Indonesia ternyata telah lama menegakkan berbagai kebijakan terkait kebebasan beragama. Usaha atas regulasi kebebasan
beragama di Indonesia telah berlangsung sejak abad XVI-XVII. Catatan sejarah kebebasan beragama di Indonesia ini didasarkan atas kesaksian para pelancong
asing yang pada masanya berkunjung ke Indonesia. Berdasarkan catatan mereka, beberapa kesultanankerajaan di Indonesia telah mengadakan usaha-usaha ke arah
penghargaan atas kebebasan beragama. Vincent Le Blanc – seorang pengembara asal Perancis yang mengunjungi
Kesultanan Banten pada abad XVII, kira-kira pada masa ayahanda Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir 1596-1651 M. –
menyaksikan bahwa Sultan Banten memberikan kebebasan beragama kepada rakyatnya dan juga orang asing yang mengunjungi Banten. Sultan Banten
memberikan izin kepada orang Cina untuk memberikan klenteng sebagai rumah ibadah mereka. Selain itu, Sultan Banten memberikan izin bagi para pendeta
Katolik untuk menjalankan ritual keagamaan mereka di tanah Banten.
66
66
Lihat Pierre Bergeron, ed., Les Voyages Fameux du Sieur Vincent Le Blanc Marseillais Paris: Gervais Clousier, 1649, h. 148-149. Dikutip dari Ayang Utriza NWAY, “Islam dan
Pluralisme di Indonesia,” dalam Hakim, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid
, h. 314.
Nicolas Gervaise – seorang pendeta Katolik Perancis yang pada abad XVII berdiam di Thailand – mencatat toleransi tinggi yang diberikan oleh Kesultanan
Makassar terhadap umat Katolik Portugis, sebagaimana yang ia dengar dari orang- orang yang pernah berkunjung ke sana. Dia menulis bahwa Sultan Makassar ket:
Gervaise tidak menuliskan namanya mempersilahkan umat Katolik untuk menjalankan ibadah mereka di ruang publik. Sultan Makassar mendirikan pula
sebuah gereja indah dan besar untuk umat Katolik dari Portugal itu. Selanjutnya, Sultan Makassar memberikan kebebasan beragama bahkan bagi para misionaris
Katolik dan orang Portugis yang memutuskan untuk menetap di Makassar.
67
Di Kesultanan Aceh, James Lancaster – orang Inggris yang melakukan kontak dagang dengan Aceh pada tahun 1011 H.1602 M. – menceritakan bahwa
terdapat ulama besar di Kesultanan Aceh yang bernama Syamsuddin al-Sumatra’i w. 1039 H.1630 M.. Lancaster menceritakan bahwa al-Sumatra’i mengajak
berdiskusi Jenderal Inggris mengenai agama Kristen. Sayangnya, jenderal menolak karena ia datang ke Aceh untuk berdagang dan bukan berdiskusi tentang
agama.
68
67
Nicolas Gervaise menulis, “...il leur donna aussi la liberte d’y faire l’exercise public de leur religion
.” artinya: ...dia [Raja Makassar] memberikan kepada mereka [orang-orang Portugis] kebebasan menjalankan agama mereka [Katolik] di tempat umum. Gervaise melanjutkan, “...il
leur fit batir une eglise magnifique dans une ville qu’il donna aux marchands de cette nation pour etablir leur commerce
.” artinya: ...Raja Makassar mendirikan sebuah gereja ang menkjubkan di dalam kora Makassar yagn dia berikan kepada para pedagang dari Portugal untuk melancarkan
perdagangan mereka. Kemudian Gervaise menulis, “Quand aux Portugais et aux missionaire qui etaient venus s’etablir dans ke Macassar, ils conserverent toujours ler bonnes graces du roi et le
libre exercise de leur religion. ” artinya: Adapun orang-orang Portugis dan para Missionaris yang
datang dan menetap di Makassar, mereka tetap terus mendapatkan kemurahan hati dari para raja dan kebebasan menjalankan agama mereka. Lihat Nicolas Gervaise, Description Historique du
Royaume de Macassar Paris: Kime, 2003, h. 105-106. Dikutip dari Utriza NWAY, “Islam dan
Pluralisme di Indonesia,” h. 315-316.
68
James Lancaster, “The First Voyage Made to East-Indie by Master James Lancaster,” dalam Samuel Purchas, ed., Purchas His Pilgrimes London: William Stansby, 1625, h. 156.
Dikutip dari Utriza NWAY, “Islam dan Pluralisme di Indonesia,” h. 316.
Perjuangan untuk menegakkan prinsip kebebasan beragama di Indonesia sebenarnya tidak berangkat dari nol sama sekali. Sejak berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia NKRI, agama menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dasar negara Indonesia,
Pancasila, dengan tegas menyebutkan dalam sila pertamanya, bahwa dasar negara Indonesia ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam sejarahnya, keputusan
untuk menetapkan dasar negara Pancasila memang menemui dialektika yang tidak sederhana. Namun, bagaimana pun ketatnya perdebatan yang telah terjadi, hingga
saat ini Indonesia menganut Pancasila sebagai dasar negaranya. “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi legitimasi utama dalam penegakan toleransi dan kebebasan
beragama. Asas netralitas negara atas pluralitas agama dan kepercayaan masyarakat menjadi landasan pokok berdirinya NKRI ini.
Dalam instrumen hak asasi manusia, kebebasan beragama termasuk ke dalam kategori hak sipil dan politik. Di Indonesia, instrumen-instrumen yang
mengatur hak sipil dan politik ini antara lain: 1. UUD 1945 Pasal 28 A, 28 B ayat 1, 2, 28 D ayat 1, 3, 4, 28 E ayat
1, 2, 3, 28 F, 28 G ayat 1, 2, 28 I ayat 1, 2; 2. Ketetapan MPR Nomor XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia;
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita;
4. Undang-undang Nomor 5 tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam,
Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia;
5. Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial;
6. UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM Pasal 9-Pasal 35; 7. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahaan Kovenan Internasional
Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1966; 8. Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi
Hak-hak Anak; 9. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948.
Hal-hal yang dilakukan Indonesia dalan Menjamin dan Melindungi Hak- hak Sipil dan Politik warga negara, antara lain:
1. Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen Hak Asasi Manusia yang terkait tentang Hak-hak Sipil dan Politik;
2. Mengamandemenkan Undang-Undang Dasar 1945 dengan memasukan BAB yang mengatur HAM tersendiri;
3. Harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan; 4. Melakukan diseminisasi dan sosialisasi di seluruh wilayah Republik
Indonesia terkait dengan Hak-hak Sipil dan Politik; 5. Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional
Perlindungan anak dan Komisi Nasional Perempuan; 6. Pembentukan Kementerian Negaran Urusan HAM yang menangani
masalah HAM yang kemudian di gabung dengan Departemen Kehakiman dan
HAM yang sekarang berubah menjadi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia;
7. Mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui Pengadilan HAM Ad Hock;
8. Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2004-2009 yang berisi tentang pedoman kerja mengenai langkah-langkah yang akan disusun secara
berencana dan terpadu pada tingkat nasional dalam rangka mewujudkan penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia.
Sebelum Januari 2006, Indonesia hanya mengakui lima agama resmi; Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu. Akhirnya, Konghucu mendapatkan
pengakuan sebagai agama resmi ke-6. Organisasi-organisasi keagamaan selain dari keenam agama yang diakui tersebut dapat mendaftar ke Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata hanya sebagai organisasi sosial yang melarang kegiatan-kegiatan keagamaan tertentu. Pemerintah mensyaratkan kelompok-
kelompok keagamaan yang diakui secara resmi untuk mematuhi instruksi Departemen Agama dan departemen lainnya seperti Surat Keputusan Bersama
Menteri yang direvisi mengenai Pendirian Rumah Ibadat 2006, Bantuan Asing kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia 1978 dan Pedoman Penyiaran Agama
1978. Sementara itu, pada dasarnya, jaminan atas kebebasan beragama di negara
ini sudah cukup kuat. Jaminan dimaksud yaitu:
Pertama, Pasal 28 e ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen yang menyebutkan bahwa: 1 “...Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali...” 2 “...Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya...” Hal ini masih diperkuat lagi oleh Pasal 29 yang berbunyi: 1 “...Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa...” 2 “...Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu...”
Kedua, Undang-undang UU RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia HAM, terutama Pasal 22, menyebutkan bahwa: 1 “...Setiap orang
bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu...” 2 “...Negara menjamin kemerdekaan setiap orang
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu...” Selain itu, juga terdapat dalam Pasal 8 yang berbunyi:
“...Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah...”
Ketiga, UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Dengan meratifikasi KIHSP tersebut, Indonesia berarti
terikat untuk menjamin: Hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut Pasal 18; Hak orang
untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas
kebebasan untuk menyatakan pendapat Pasal 19; Persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama
tanpa diskriminasi Pasal 26; dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak negara yang
terlibat menandatangani kovenan internasional tersebut Pasal 27. Selain regulasi fundamental di atas, Indonesia memiliki beberapa
peraturan – yang akhirnya diketahui bertanggung jawab atas beberapa kasus pelanggaran kebebasan beragama – sebagai turunan dari konstitusi dan undang-
undang di atas. Revisi Surat Keputusan Bersama SKB tahun 1969 tentang Pendirian
Rumah Ibadah dilakukan pemerintah pada tahun 2006. Tujuan revisi itu adalah mempermudah pendirian rumah ibadah baru. SKB yang telah direvisi
mengharuskan kelompok agama yang hendak membangun rumah ibadah baru untuk mengumpulkan 90 tanda tangan anggota jemaat dan 60 tanda tangan
pemeluk agama lain yang berada dalam komunitas itu yang mendukung pendirian rumah ibadah serta persetujuan dari kantor urusan agama setempat. Sementara itu,
Pedoman Bantuan Asing kepada Lembaga Keagamaan mengharuskan lembaga keagamaan dalam negeri untuk memperoleh persetujuan dari Menteri Agama
sebelum menerima dana dari donor asing. Adapun Pedoman Penyebaran Agama melarang ajakan untuk berpindah agama dalam berbagai situasi.
Berkaitan juga dengan aturan pedoman penyebaran agama, Undang- undang Perlindungan Anak tahun 2002 menjadikan upaya untuk mengubah
keyakinan anak pindah agama melalui ”tipu muslihat” danatau ”kebohongan” sebagai kejahatan yang dapat dikenai hukuman hingga 5 tahun penjara.
Pasal 156 KUHP membuat penyebaran permusuhan, penodaan, dan penghinaan terhadap suatu agama dapat dikenai hukuman hingga 5 tahun penjara.
Walaupun hukum diterapkan terhadap semua agama yang diakui secara resmi, namun pasal ini biasanya berlaku pada kasus-kasus yang melibatkan penghinaan
dan penodaan terhadap Islam. Pasal ini sangat sering memicu kontroversi dalam hal kebebasan beragama di Indonesia.
Pada tanggal 9 Desember 2006, DPR mensyahkan Undang-undang Administrasi
Kependudukan yang
mengharuskan warganegara
mengidentifikasikan diri mereka pada KTP sebagai pemeluk salah satu dari enam agama yang diakui oleh Pemerintah. Undang-undang tersebut melegalisir apa
yang di masa lalu merupakan praktek administrasi di seluruh negeri. Undang- undang tersebut tidak mengijinkan pencatuman agama lain dalam KTP tersebut.
Pada tanggal 28 Juni 2007, Pemerintah mengeluarkan Peraturan No. 372007 yang mengacu ke Undang-undang Administrasi Kependudukan dan
Perkawinan. Peraturan baru mengijinkan para pemuka Aliran Kepercayaan untuk memimpin upacara perkawinan dan meminta kantor catatan sipil untuk
mendaftarkan ijin nikah yang ditandatangani oleh pemimpin perkawinan tersebut, sehingga membuat perkawinan-perkawinan ini diakui secara resmi.
Sungguhpun demikian, keberadaan jaminan atas prinsip kebebasan beragama dalam sistem perundang-undangan di Indonesia ini – baik dalam
konstitusi, maupun dalam undang-undang – masih belum terimplementasi dengan
baik dalam pratiknya. Kekeliruan dimaksud adalah ketidaksesuaian antara apa yang seharusnya dengan apa yang nyatanya terjadi berdasarkan parameter norma,
standar dan hukum HAM internasional maupun konstitusi, hukum, undang- undang dan peraturan yang relevan dan konsep HAM internasional, terutama hak-
hak sipil keagamaan religious civil rights yang spiritnya tidak lain adalah prinsip kebebasan beragama itu sendiri. Kekeliruan dimaksud bisa dilakukan oleh negara
sebagai pihak yang telah terikat dalam traktat HAM internasional maupun anggota masyarakat sendiri, yang secara sengaja atau tidak sengaja, paham atau tidak
paham tentang prinsip-prinsip HAM, dalam bentuk pelanggaran terhadap prinsip kebebasan beragama.
Berbagai regulasi yang dibuat negara terkait dengan kehidupan keberagamaan malah sangat sering menjadi pangkal masalah kasus-kasus
pelanggaran kebebasan beragama. Selain, tentu saja, adanya motif subjektif dari kelompok-kelompok masyarakat yang berniat melanggar kebebasan beragama di
Indonesia.
Bentuk-bentuk Pelanggaran Kebebasan Beragama di Indonesia
Meskipun regulasi negara yang mengatur tentang perlindungan kebebasan beragama cukup banyak dianut oleh Indonesia, namun berbagai pelanggaran atas
kebebasan beragama tetap saja berlangsung hingga saat ini. Belakangan, sepanjang tahun 2003 s.d. 2008, kita menemukan beragam pola pelanggaran
kebebasan beragama yang terjadi dalam berbagai level dan dengan pelaku
pelanggaran yang berbeda-beda. Bahkan, pada kasus-kasus tertentu, intensitas pelanggaran kebebasan beragama semakin meruncing akhir-akhir ini.
Untuk lebih memahami berbagai pelanggaran kebebasan beragama tersebut, maka kita akan memetakan pola pelanggaran kebebasan beragama di
Indonesia ke dalam kategori-kategori berikut ini: 1. Pembatasan Negara atas Pengakuan Status Agama Resmi
Departemen Agama RI menambah status agama resmi menjadi enam, setelah sejak Januari 2006 Konghucu dianggap sebagai agama
resmi. Sebelumnya, agama resmi yang diakui hanyalah Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Hindu. Atheisme tetap tidak diakui.
69
Organisasi agama di luar enam agama resmi ini diperbolehkan mendaftar ke Departemen Pariwisata, dan itu pun semata-mata sebagai
organisasi sosial. Akibatnya, ada pelarangan sejumlah kegiatan keagamaan tertentu dan pelarangan agama-agama yang jumlah
pemeluknya sedikit minoritas.
70
Pemerintah memperbolehkan praktek Aliran Kepercayaan Asli Indonesia, namun hanya sebagai manifestasi budaya, dan bukan sebagai
69
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,” Diakses pada tanggal 21 Nopember 2008 dari http:jakarta.usembassy.govbhsLaporanLaporan_Kebebasan_Beragama_
2007. html.
70
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003,” Diakses pada tanggal 21 Nopember
2008 dari
http:jakarta.usembassy.govpress_relkebebasan_beragama1.html
.
agama. Para pengikut Aliran Kepercayaan harus mendaftar ke Departemen Pendidikan Nasional.
71
2. Diskriminasi Pelayanan Catatan Sipil terhadap Agama Minoritas Pemerintah gagal memberikan perlakuan setara di bidang-bidang
tertentu, seperti catatan sipil kepada penganut agama minoritas. Kaum animis, Baha’i dan yang lainnya menemui kesulitan mendapatkan Kartu
Tanda Penduduk KTP. Pemerintah mewajibkan semua warga negara dewasa memiliki KTP, dengan mencantumkan agama yang dipeluknya.
Beberapa petugas serta merta menolak penganut agama minoritas mendapatkan KTP, sementara yang lainnya tidak secara akurat
mencantumkan agama yang dianut oleh pemilik KTP. Misalnya, banyak animis yang memiliki KTP mendapati agama yang tercantum dalam KTP
mereka adalah Islam atau agama resmi lainnya.
72
Banyak penganut Sikh yang dicantumkan sebagai penganut Hindu dalam KTP karena pemerintah
tidak secara resmi mengakui agama mereka. Warga negara yang tidak memiliki KTP menemui kesulitan dalam mendapatkan perkerjaan.
73
Modus seperti ini dialami oleh para penganut agama atau kepercayaan minoritas lainnya dalam pencatatan pernikahan. Mereka
kesulitan mendaftarkan atau mencatatkan pernikahan atau kelahiran karena pemerintah tidak mengakui agama mereka, meskipun terdapat
71
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2005,” Diakses pada tanggal 21 Nopember
2008 dari
http:jakarta.usembassy.govbhsLaporanlaporan20kebebasan20 beragama 202005-1.html.
72
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003,”
73
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”.
peraturan pada bulan Juni 2007 yang berkaitan dengan administrasi perkawinan dan sipil. Pada prakteknya, pasangan yang dihalangi untuk
mendaftarkan pernikahan mereka atau kelahiran seorang anak sesuai dengan keyakinannya masuk ke dalam agama atau menyatakan seolah-
olah mereka penganut salah satu dari enam agama yang diakui. Bila mereka memilih untuk tidak mencatatkan pernikahannya atau kelahiran
anaknya, di masa yang akan datang akan mendapatkan kesulitan, seperti anak yang tidak memiliki akte kelahiran tidak dapat masuk sekolah dan
tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa. Mereka juga tidak memenuhi syarat untuk bekerja sebagai pegawai negeri.
74
Kelahiran anak dari pernikahan yang tidak didaftarkan atau dicatatkan secara otomatis
menyebabkan anak mereka tidak bisa mendapatkan akte kelahiran. Bahkan anak tersebut dapat tercatat sebagai anak di luar nikah, dan hanya
dicatat sebagai anak dari pihak ibu saja. Selain itu, pasangan laki-laki dan perempuan dari agama yang
berlainan mendapat hambatan besar untuk menikah dan secara resmi mendaftarkan pernikahan mereka. Mereka kesulitan menemukan pemuka
agama yang bersedia memimpin upacara pernikahan mereka dan mencatatkan pernikahan semacam ini kepada pemerintah. Akibatnya,
beberapa orang sengaja pindah agama agar bisa menikah. Yang lainnya,
74
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”
pergi ke luar negeri dan menikah untuk kemudian mendaftarkan pernikahan mereka ke Kedutaan Besar Indonesia.
75
3. Pembatasan Pendirian Rumah Ibadah Pemerintah sejak lama melalui SKB tahun 1969 tentang Pendirian Rumah
Ibadah membatasi pembangunan dan pertambahan rumah ibadah, dan tetap mempertahankan pelarangan rumah pribadi untuk dijadikan tempat ibadah,
kecuali masyarakat sekitar menyetujui dan kantor Departemen Agama setempat mengijinkan. Tentu saja, aturan seperti ini sangat mendiskriminasi
pemeluk agama minoritas di suatu wilayah. Padahal, kebutuhan adanya rumah ibadah tidak terkait secara langsung dengan jumlah mayoritas atau minoritas
suatu umat beragama, melainkan kebutuhan pribadi seorang atau beberapa penganut agama.
Kenyataannya, mendapatkan dukungan dan persetujuan dari masyarakat sekitar tidaklah mudah. Bahkan pada beberapa kasus,
meskipun izin dari masyarakat sudah didapat, namun tiba-tiba sekelompok orang dari luar lingkungan itu datang dengan membawa daftar panjang
tanda tangan yang menolak proyek pembangunan rumah ibadah tersebut, akibatnya izin pendirian rumah ibadah pun tertunda. Diskriminasi ini tidak
hnya dialami oleh para penganut agama non-muslim di tengah-tengah mayoritas masyarakat muslim. Selain itu, pemerintah menyatakan secara
rutin menerima keluhan dari Muslim di Papua, Nusa Tenggara Timur,
75
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003,”.
Sulawesi Utara, dan provinsi-provinsi lain, yang melaporkan kesulitan yang ditemui dalam pendirian masjid di wilayah-wilayah itu.
76
Pemerintah akhirnya merevisi Surat Keputusan Bersama SKB tahun 1969 tentang Pendirian Rumah Ibadah pada tahun 2006 sebagai
respons atas adanya kelompok militan yang mendasarkan tindakannya pada SKB tahun 1969. Tujuan revisi itu adalah mempermudah pendirian
rumah ibadah baru. SKB yang telah direvisi mengharuskan kelompok agama yang hendak membangun rumah ibadah baru untuk mengumpulkan
90 tanda tangan anggota jemaat dan 60 tanda tangan pemeluk agama lain yang berada dalam komunitas itu yang mendukung pendirian rumah
ibadah serta persetujuan dari kantor urusan agama setempat.
77
Sejak pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama yang direvisi mengenai Pendirian Rumah Ibadat pada bulan Maret 2006,
pelaksanaan dan pembelaan hak-hak yang diberikan di bawah SKB tersebut tidak selalu dilaksanakan di tingkat daerah. Sebagian umat
Kristiani dan Hindu menunjukkan adanya tindakan diskriminasi secara sporadis, di mana pemerintah daerahnya menolak memberikan ijin
pembangunan gereja dan kuil walaupun kelompok tersebut telah mengumpulkan tanda tangan sesuai dengan yang diminta. Misalnya,
Parisadha Hindu Dharma Indonesia melaporkan bahwa mereka tetap tidak bisa mendirikan sebuah kuil di dekat Jakarta walaupun telah
76
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003,”.
77
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,” Diakses pada tanggal 21 Nopember 2008 dari http:jakarta.usembassy.govbhsLaporanlaporan_kebebasan_beragama_
2006-2.html.
mengumpulkan persyaratan tanda tangan yang diminta.
78
Selain itu, beberapa kelompok militan secara paksa menutup dua gereja tanpa adanya
campur tangan aparat kepolisian meskipun dalam Peraturan Bersama terdapat masa tenggang grace period selama dua tahun untuk
memperoleh izin. Dua puluh gereja lainnya, yang tutup setelah mendapat tekanan dari kelompok militan, tetap ditutup. Meski selalu hadir di
lapangan, polisi hampir tidak pernah bertindak untuk mencegah penutupan gereja secara paksa dan terkadang malah membantu kelompok militan
dalam penutupannya.
79
4. Penyerangan Bangunan dan Fasilitas Agama Selain adanya aturan pembatasan dari pemerintah terhadap masyarakat untuk
mendirikan fasilitas keagamaan, seperti rumah ibadah, sebagian masyarakat merasa berhak untuk mengambil alih otoritas pemerintah tersebut. Di antara
masyarakat muncul berbagai gerakan yang cenderung ke arah penyerangan dan perusakan bangunan dan fasilitas agama.
Di Perbangunan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, kelompok Kristen Lutheran membeli tanah pada tahun 2003 untuk
mendirikan sebuah gereja baru, tetapi militan Islam dari luar wilayah tersebut menghancurkan gereja yang baru setengah jadi itu. Di tempat
lain, pada tanggal 3 Oktober 2004, Forum Komunikasi Umat Islam Karang Tengah, sebuah kelompok masyarakat Muslim setempat dengan
78
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”.
79
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.
bantuan dari anggota Front Pembela Islam FPI, mendirikan tembok setinggi dua meter dan selebar lima meter yang memblokir akses menuju
Sekolah Katholik Sang Timur. Warga sekitar yang mayoritas beragama Islam merasa keberatan dengan pengoperasian sekolah tersebut karena
sebuah paroki Katholik secara rutin mengadakan kegiatan keagamaan di aula sekolah, yang mana bertentangan dengan ijin operasinya. Akhirnya
tembok itu dihancurkan setelah adanya perintah dari pemerintah daerah setempat pada tanggal 25 Oktober 2004.
80 Pada tahun 2005, Imparsial melaporkan serangkaian aksi penutupan gereja yang sebagian besar
terjadi di Jawa Barat.81
No Tanggal
Lokasi Nama Gereja
1 21 April 2005
Cisewu, Kabupaten garut Penutupan Pos
Kebaktian Gereja Pasundan
2
8 Mei 2005 Lembang, Bandung
Penutupan Gereja Huria Kristen Batak Protestan
3
16 Juli 2005 Perum Gading Tutukan
Soreang, Kab. Bandung Penutupan Gereja
Sidang Jemaat Allah GSJA
4 16 Juli 2005
Perum gading Tutukan Soreang, Kab. Bandung
Penutupan Gereja Huria Kristen Batak Protestan
HKBP
5 27 Juli 2005
Katapang, Kab. Bandung Penutupan Gereja
Kristen Pasundan GKP
6 31 Juli 2005
Karangroto, Kec. Genuk, Semarang
Penutupan Pembongkaran Tempat
Pembinaan Iman Gereja Isa Almasih GIA
7 31 Juli 2005
Kompleks Permata, Cimahi, Kab. Bandung
Penutupan Gereja Sidang Jemaat Allah
8
31 Juli 2005 Kompleks Permata,
Cimahi, Kab. Bandung Penutupan Gereja
Anglikan
80
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2005,”.
81
Gufron Mabruri, et.al., Demokrasi Selektif terhadap Penegakan HAM; Laporan Kondisi HAM Indonesia 2005
Jakarta: Imparsial, 2006, h. 67-68.
9 31 Juli 2005
Kompleks Permata, Cimahi, Kab. Bandung
Penutupan Gereja Pentakosta Filadelphia I
10 31 Juli 2005
Kompleks Permata, Cimahi, Kab. Bandung
Penutupan Gereja Pentakosta Filadelphia II
11 31 Juli 2005
Kompleks Permata, Cimahi, Kab. Bandung
Penutupan Gereja Pantekosta di Indonesia
12 31 Juli 2005
Kompleks Permata, Cimahi, Kab. Bandung
Penutupan Gereja Bethel Indonesia
13 7 Agustus 2005
Kec. Haurgeulis, Kab. Indramayu
Penutupan Gereja Kristen Kemah Daud
GKKD
14 7 Agustus 2005
Kampung Warung Mekar Ds. Bungursari RT. 6 RW.
3, Kec. Bungursari, Kab. Purwakarta
Penutupan Gereja Kristen Kemah Daud
GKKD
14 12 Agustus 2005
Penutupan TK Tunas Pertiwi
15
22 Agustus 2005 Bandung
Penutupan Gereja Kristen Pasundan
Dayeuhkolot
16
27 Agustus 2005 Margahayu, Kab. Bandung Penutupan Gereja
Katholik
17 28 Agustus 2005
Ciledug Penutupan Gereja
Kristen Indonesia
18 11 September
2005 Jalan Melati Raya Ujung,
Perumahan Jatimulya, Kampung Jati, Desa
Jatimulya, Kec. Tambun, Kab. Bekasi
Penutupan Gereja HKBP Huria Kristen
Batak Protestan Getsemani
19 11 September
2005 Jalan Melati Raya Ujung
No. 2, Bekasi Penutupan Gereja
Kristen Indonesia Gekindo
20 -
Cileunyi Penutupan GGP
Padalarang
21
- Cileunyi
Penutupan GBT
22
- Cileunyi
Penutupan GPDI
23 -
Cileunyi Penutupan GKP
Ketapang Soreang
24 -
Cileunyi Penutupan GSJA
Setelah pemerintah memberlakukan Peraturan Bersama tentang Pendirian Rumah Ibadah pada tahun 2006, yang merupakan revisi SKB
tahun 1969, kelompok militan secara paksa menutup dua gereja tanpa
adanya campur tangan aparat kepolisian meskipun dalam Peraturan Bersama terdapat masa tenggang grace period selama dua tahun untuk
memperoleh izin. Dua puluh gereja lainnya, yang tutup setelah mendapat tekanan dari kelompok militan, tetap ditutup. Meski selalu hadir di
lapangan, polisi hampir tidak pernah bertindak untuk mencegah penutupan gereja secara paksa dan terkadang malah membantu kelompok militan
dalam penutupannya.
82
Pada tanggal 31 Maret 2006, Puluhan orang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Kota Tangerang kemarin pagi menyegel Taman
Kanak-kanak Kristen, Daniel, di Kelurahan Batusari, Kecamatan Batu Ceper, Tangerang, Banten. Mereka membentangkan spanduk-spanduk
berisi protes atas keberadaan sekolah itu di pintu masuk dan gerbang sekolah. Menurut ketuanya, Tubagus Mahdi, pengelola sekolah belum
memiliki izin lingkungan dan pendidikan dari Departemen Pendidikan Nasional, meski sudah beroperasi beberapa bulan. Kepala Sekolah TK
Daniel, Teddy, menjelaskan izin lingkungan dan pendidikan sedang dalam proses. Tapi izin secara lisan telah diberikan oleh ketua RT, RW, dan
lurah setempat. Itu sebabnya, ia membantah warga memprotes keberadaan sekolahnya.
83
Pada tanggal 30 November 2005, Pemerintah Tangerang membongkar lima gereja dan satu musala, yang dibangun di atas lahan
82
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,” .
83
“TK Kristen ‘Disegel’,” berita diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari
http:www.tempo.co.idhgnusa20060401brk,20060401-75733,id.html
.
milik Sekretariat Negara. Namun, pembongkaran oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Tangerang itu dihalang-halangi jemaatnya. Lima
Gereja yang dibongkar adalah Gereja Kristen Protestan Indonesia, Gereja Pantekosta Indonesia, Huria Kristen Batak Protestan, Gereja Pantekosta
Haleluya Indonesia, dan Gereja Bethel Indonesia. Sebuah musala juga akan dibongkar. Lima gereja itu di satu lokasi, yakni Jalan Danau Sentani
Biru, Bencongan, Kecamatan Curug. Saat Satuan Polisi Pamong Praja tiba, jemaat sudah siap di geraja masing-masing.
84
Pada tanggal 2 September 2006, sekelompok massa membakar Gereja Misi Evangelis di Siompi, Aceh Singkil, setelah tersebar berita
bahwa gereja tersebut merencanakan kebaktian kebangkitan. Saat sejumlah besar umat Kristen berangkat menuju kebaktian tersebut, mereka
dihadang oleh beberapa Muslim yang tidak menyetujui kebaktian kebangkitan tersebut. Polisi tidak menghalangi serangan tersebut. Pastor
Luther Saragih ditahan sebentar oleh polisi dan diminta memulangkan umat Kristen tersebut. Kemudian pada malam itu, sekitar 100 orang
dengan sepeda motor membakar gereja dan mencari Pastor Saragih dan istrinya yang sedang hamil. Pastor dan istrinya melarikan diri ke hutan dan
bersembunyi disana hingga mereka ditemukan selamat oleh teman- temannya di pagi harinya. Pastor Saragih dan istrinya kemudian pindah
untuk menghindar karena masih terus menerima ancaman.
85
84
“Pemerintah Tangerang Bongkar Paksa Lima Gereja dan Musala,” berita diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari http:www.tempo.co.idhgjakarta20051130brk,20051130-
69892,id.html
85
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”.
Pada tanggal 8 Maret 2007, sekitar 200 anggota FPI dan Forum Betawi Rempug, sebuah kelompok yang terdiri dari penduduk asli Jakarta,
menyerang Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar di Jakarta Timur yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena para pelajarnya
menyanyi hingga larut malam dan mengganggu masyarakat setempat. FPI juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun terdapat fakta
bahwa sekoah tersebut memiliki ijin-ijin resmi baik untuk keberadaan bangunan maupun asrama baru. Polisi mengirimkan satu detasemen untuk
menghentikan massa tersebut. Sekolah tersebut masih berfungsi hingga kini.
86
5. Kekerasan terhadap Aliran-aliran Agama Minoritas yang Menyimpang Pemerintah – melalui Majelis Ulama Indonesia MUI – sejak lama telah
banyak mengeluarkan larangan berupa fatwa sesat terhadap beberapa aliran yang dianggap menyimpang dari Islam. Fatwa sesat dan larangan ini ternyata
tidak cukup. Sebagian masyarakat secara nyata melakukan berbagai aksi kekerasan terhadap pengikut aliran-aliran yang dianggap sesat itu, sekaligus
menghancurkan fasilitas-fasilitas peribadahan dan pendidikan mereka. Sejak lama MUI telah memberlakukan larangan resmi terhadap Ahmadiyah,
Jamaah Salamullah, Darul Arqam serta aliran-aliran lainnya yang dianggap menyimpang dari ajaran agama resmi. Meskipun begitu, pemerintah dinilai
lamban mengambil langkah apapun dalam menyikapi larangan itu. Akibatnya,
86
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”.
hingga saat ini ancaman kekerasan terhadap para pengikut aliran-aliran itu masih tetap terpelihara.
Pada tahun 1980, Majelis Ulama Indonesia MUI mengeluarkan fatwa pendapat yang bersifat nonhukum, tidak mengikat, tetapi
berpengaruh yang dikeluarkan oleh pemuka agama Islam yang menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan merupakan bagian dari Islam. Atas
pengaruh fatwa itu, pada tahun 1984 Departemen Agama menerbitkan surat edaran yang melarang Ahmadiyah menyebarkan ajarannya di
Indonesia. Pada tahun 2003, Departemen Dalam Negeri menyatakan bahwa Ahmadiyah diakui secara hukum. Namun, pada tanggal 28 Juli
2005, MUI memperbarui fatwa tahun 1980 itu. Media massa mengutip pernyataan Menteri Agama M. Maftuh Basyuni pada bulan Februari yang
menyatakan bahwa pengikut Ahmadiyah harus membentuk agama baru atau kembali kepada Islam.
87
Fatwa MUI memang tidak berniat mempengaruhi masyarakat agar melakukan aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah, namun fakta di lapangan menunjukkan
setelah diterbitkannya fatwa sesat oleh MUI, maka sebagian masyarakat segera mengambil langkah sendiri untuk membubarkan segala kegiatan
Ahmadiyah di lingkungannya. Hal yang patut disesalkan ialah walaupun jumlah pasukan polisi yang diturunkan pada dua penyerangan terpisah
terhadap jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat pada bulan Juli 2005 banyak, polisi
87
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.
tidak menangkap siapa pun. Ini menunjukkan menunjukkan bahwa perangkat hukum di Indonesia masih lemah dalam menjamin kebebasan beragama.
Meskipun saat itu pemerintah pusat belum mengambil sikap yang jelas, sebagian pemerintah daerah segera melarang kegiatan Ahmadiyah
setelah kelompok militan menyerang masjid-masjid, rumah-rumah, dan harta benda lainnya milik Ahmadiyah. Pada bulan Juli 2005 kabupaten
Bogor menerbitkan surat keputusan yang melarang aktivitas Ahmadiyah. Pada bulan September, menyusul serangan massa ke kompleks
Ahmadiyah, Kabupaten Cianjur secara resmi melarang semua aktivitas Ahmadiyah. Pada bulan Oktober 2005, Kantor Wilayah Departemen
Agama Nusa Tenggara Barat mengeluarkan pelarangan terhadap Ahmadiyah. Tindakan ini merupakan kelanjutan dari pelarangan yang
sudah ada sebelumnya di Lombok Barat 2001 dan Lombok Timur 1983.
88
Pada tanggal 28 September 2005, di Cianjur, para pejabat Cianjur, yakni Bupati Wasidi Swastomo, Kepala Kejaksaan Negeri Deddi Siswadi,
dan Kepala Kepolisian Resor Ajun Komisaris Besar Anang Suhardi menandatangani surat keputusan bersama yang melarang aktivitas jemaah
Ahmadiyah di wilayah itu. Wasidi mengatakan, keputusan diambil berdasarkan pada rekomendasi Majelis Ulama Indonesia MUI, DPRD,
Komando Distrik Militer, dan desakan sekitar 40 organisasi Islam di wilayah itu. Keputusan ini menyusul kejadian pekan lalu, ratusan orang
88
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.
menyerbu perkampungan warga jemaah Ahmadiyah di Kecamatan Cibeber dan Campaka, Cianjur.
89
Kejadian pekan sebelumnya, ribuan orang menyerbu Kampung Neglasari, Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur,
Senin malam tanggal 19 September 2005 hingga Selasa dinihari 20 September 2005. Mereka merusak masjid dan perumahan di
perkampungan jemaat Ahmadiyah di wilayah PTPN VIII Panyairan itu. Massa yang datang dengan mengendarai sepeda motor dan mobil juga
merusak sejumlah tempat. Di antaranya, di Kampung Rawaekek Desa Sukadana Kecamatan Campaka, Kampung Panyairan Desa Campaka
Kecamatan Campaka, dan Kampung Ciparay Desa Salagedang Kecamatan Cibeber.
90
Labelisasi sesat tidak berhenti hanya bagi Ahmadiyah. Berbagai aliran dan sekte lainnya terkena larangan baik dari pemerintah maupun
masyarakat. Pada bulan Oktober 2005, Kantor Wilayah Departemen Agama Nusa Tenggara Barat mengeluarkan larangan terhadap 13 sekte,
termasuk Ahmadiyah, Saksi Yehovah, Hari Krishna, dan sembilan aliran kepercayaan dan menyatakan sekte-sekte menyimpang dari ajaran Islam,
Kristen, dan Hindu. Di tempat lain, sejumlah penganut kelompok kecil yang berbasis ajaran Islam bentrok dengan aparat kepolisian pada bulan
89
“Pemimpin Cianjur Larang Aktivitas Ahmadiyah,” berita diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari
http:www.tempo.co.idhgnusa20050928brk,20050928- 67225,id.html
.
90
“Ribuan Orang Serbu Perkampungan Ahmadiyah Cianjur,” berita diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari
http:www.tempo.co.idhgnusa20050920brk,20050920- 66852,id.html
.
Oktober 2005 di sebuah desa terpencil di Palu, Sulawesi Tengah. Polisi berupaya melakukan perundingan dengan pemimpin karismatik kelompok
ini yang dikenal dengan nama Madi” agar ia mau menghadap ke kantor polisi dan menjelaskan mengapa ia mengancam penduduk desa dan
melarang mereka berpuasa dan salat pada bulan Ramadan. Tiga anggota kepolisian dan dua anggota sekte ini tewas di tempat. Anggota sekte ini
dilaporkan menyandera
dua orang
petugas, tetapi
kemudian melepaskannya kembali. Jaksa penuntut pada bulan Januari 2006
menuntut hukuman mati bagi lima anggota kelompok ini.
91
Pada beberapa kasus, fatwa sesat MUI berujung dengan dakwaan penodaan agama dan diselesaikan dengan dijatuhkannya sanksi pidana.
Pada bulan Agustus 2005, Pengadilan Negeri di Jawa Timur memvonis Muhammad Yusman Roy dua tahun penjara karena mempraktikkan salat
dengan dua bahasa, Arab dan Indonesia, yang oleh MUI disebut sebagai menodai keaslian ajaran Islam yang berbahasa Arab. Pada tanggal 28
Desember 2005, polisi menangkap Lia Eden, pemimpin Jamaah Salamullah, dan mengevakuasi dua puluh pengikutnya untuk menghindari
kekerasan saat terjadi keributan yang menuntut pembubaran kelompok sekte kecil itu. Pada tanggal 29 Juni 2006, Pengadilan Negeri di Jakarta
memvonis Lia Eden dua tahun penjara atas dakwaan penodaan terhadap ajaran agama. Para pengikut Jamaah Salamullah yang berjumlah sedikit
itu meyakini bahwa malaikat Jibril Gabriel menyampaikan wahyu
91
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.
melalui Eden dan mencampuradukkan unsur-unsur agama Kristen dan Islam. MUI mengeluarkan fatwa pada tahun 1997 yang menyatakan
bahwa ajaran Lia Eden sesat.
92
Pada beberapa kasus lainnya, sejumlah orang dituntut dan ditangkap atas tuduhan melecehkan dan menodai ajaran Islam. Pada bulan
September 2005 pengadilan di Jawa Timur memvonis enam orang terapis narkoba dan kanker lima tahun penjara dan tiga tahun penjara atas
dakwaan melanggar ajaran Islam. Fatwa MUI setempat menyatakan bahwa ajaran pusat rehabilitasi ini sesat. Polisi menangkap para terapis ini
saat mereka sedang mempertahankan diri dari serangan ratusan orang ke kantor mereka. Pada bulan Januari 2006, pemerintah mendakwa Sumardi
Tappaya, guru agama sebuah SMU di Sulawesi, atas penghinaan agama yang dapat dipidana maksimal 5 tahun penjara. Polisi menahan Tappaya
setelah seorang kerabatnya menuduhnya melakukan salat sambil bersiul. MUI setempat menyatakan perbuatan itu sesat. Pada tanggal 28 Juni 2006,
Pengadilan Negeri Polewali memvonis Sumardi enam bulan penjara.
93
Laporan Imparsial
menunjukkan merangkum
beberapa pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang
tahun 2005:
94
No Tanggal
Lokasi Kasus
1 31 Agustus 2005
Malang, Jawa Timur Larangan sholat
dwibahasa dan vonis 2
92
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.
93
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.
94
Mabruri, et.al., Demokrasi Selektif terhadap Penegakan HAM; Laporan Kondisi HAM Indonesia 2005
, h. 71.
tahun penjara terhadap Ustad Roy
2 24 Maret 2005
Batam, Kepulauan Riau Vonis 3 tahun penjara
terhadap Masud Simanungkalit, 50 tahun
dalam kasus salah tafsir ayat Al-Quran
3 15 Februari 2005
Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah
Penangkapan terhadap nabi palsu yang
menimpa Zikrullah
4 15 Juli 2005
Cibinong Penutupan secara paksa
terhadap kampus Jamaah Ahamdiyah
5 19 September
2005 Kampung Neglasari, Desa
Sukadana, Kecamatan Campaka, Kabupaten
Cianjur Penyerangan dan
penjarahan terhadap pemukiman Jamaah
Ahmadiyah
6 29 September
2005 Jakarta
Pelarangan dan penetapan tersangka
terhadap Lia Aminuddin dan 33 orang
pengikutnya karena dianggap melakukan
penodaan agama
7 4 Juni 2005
Desa Krampulan, Kecamatan Besuk,
Probolinggo Pelarangan buku terbitan
Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam
YKNCA dan penutupan kegiatan yang
dilakukannya
8 21 Oktober 2005
Perumahan Bumi Asri, Dusun Ketapang, Desa
Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten
Lombok Barat Ancaman pengusiran
dan pengrusakan 3 rumah Jamaah
Ahmadiyah
9 24 Juli 2005
Markas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kemang,
Bogor Pengrusakan rumah
milik Direktur Jamaah Ahmadiyah Mln.
Hidayatullah dan Dosen Jamaah Mln.
Qomaruddin
Selama Januari-November 2008, The Wahid Institute mencatat ada 232 kasus dalam 280 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sedangkan laporan Setara Institute 2007 tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan pada rentang waktu yang sama menunjukkan adanya 135 kasus
dalam 185 tindak pelanggaran. Kasus pelanggaran yang paling dominan adalah kekerasan berbasis agama 55 kasus dan penyesatan 50 kasus. Penguasaan
agama atas ruang publik dengan tampilan yang tidak ramah dan mengobarkan persaingan antar umat semakin meningkat.
95
Isu kebebasan beragama bahkan akhirnya berujung pada penyerangan terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
AKKBB oleh massa beratribut Front Pembela Islam FPI pada tanggal 1 Juni 2008, yang disebabkan karena pembelaan AKKBB atas ahmadiyah. Penyerangan
massa yang bertepatan dengan peringatan hari Pancasila menyebabkan 12 orang massa AKKBB terluka.
96
Dari kasus ini, ternyata resistensi atas penegakan kebebasan beragama begitu kuat dari sebagian masyarakat, bahkan dilakukan
dengan cara-cara kekerasan. Bentuk-bentuk pelanggaran kebebasan beragama di atas sangat berkaitan
satu sama lain. Pola yang bisa kita temukan ialah meskipun telah ada dasar jaminan kebebasan beragama dalam UUD 1945, undang-undang dan instrumen
HAM internasional, ternyata masih terdapat aturan-aturan pada tingkat lebih praktis yang menganulir jaminan-jaminan tersebut. Beberapa dari peraturan itu
digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai legitimasi dalam melakukan serangkaian usaha pelanggaran kebebasan beragama. Kemudian, meskipun di
95
“Koalisi Partai Islam Perlu untuk Representasi Umat”, berita diakses pada tanggal 12 Desember
2008 dari
http:cetak.kompas.comreadxml2008121101133018koalisi.partai .islam.perlu.untuk.representasi.umat.
96
“Kebhinekaan Dicederai”, diakses pada tanggal 12 Desember 2008 dari
http:cetak.kompas.comreadxml200806 0201293516kebhinnekaan.dicederai
.
lapangan pelanggaran kebebasan beragama dalam bentuk kekerasan terus terjadi, pihak aparat hukum enggan mengambil sikap dan bahkan memberi toleransi
terhadap kekerasan itu. Di sisi lain, beberapa pemerintah daerah telah mengambil kebijakan sepihak dengan ikut mengeluarkan berbagai larangan terhadap aliran
atau sekte yang diklaim sesat, terutama oleh MUI. Keluarnya berbagai larangan dari pemerintah daerah ini ternyata semakin menguatkan argumen oleh sebagian
masyarakat dalam mengusir paksa pengikut aliran atau sekte “terlarang” itu. Dari pola pelanggaran kebebasan beragama ini, kita bisa simpulkan bahwa pelaku
pelanggaran kebebasan beragama terbagi ke dalam dua pihak, pertama ialah pemerintah pusat maupun daerah, serta masyarakat dalam bentuk ormas atau
perkumpulan tertentu. Kedua pihak ini meskipun bergerak dalam level yang seringkali berbeda, namun sama-sama memberikan tekanan terhadap kelompok-
kelompok minoritas dan gagal dalam menjamin kebebasan beragama. Kesimpulan yang sama diberikan oleh Prof Dr Azyumardi Azra. Beliau
menilai bahwa peraturan yang menjamin dasar-dasar kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia sudah banyak, namun tidak dilengkapi adanya konsistensi
penegakan hukum sehingga kekerasan terhadap penganut agama atau aliran tertentu masih terjadi. Apalagi kalau kasus terjadinya tindak kekerasan terhadap
kelompok tertentu dilakukan oleh massa, aparat keamanan sering bersikap tidak peduli atau takut pada tekanan massa. Padahal, kalau kejahatan dilakukan oleh
massa dalam jumlah besar maka seharusnya pemimpinnya yang diproses secara hukum. Di sisi lain, Azyumardi juga mengakui adanya persoalan masyarakat yang
kini sedang mengalami kegoncangan dan disorientasi sosial akibat banyaknya pengangguran dan kemiskinan, sehingga mudah marah dan emosional.
97
97
“Belum Konsisten Penegakan Hukum Kebebasan Beragama,” berita diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari
http:www.antara.co.idarc2008214belum-konsisten- penegakan-hukumkebebasan-beragama
.
BAB IV KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA