PENDAHULUAN Kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M. Dawam Rahardjo

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah Pada bulan Oktober 2004, sebuah sekolah Katolik di Ciledug dibarikade oleh sekelompok orang Islam dengan alasan bahwa sekolah itu telah difungsikan secara ilegal menjadi tempat ibadah. Dengan alasan yang sama pula, pada September 2005, 23 buah gereja telah ditutup oleh sekelompok kaum Muslim di Jawa Barat. Belum lama ini, pusat Ahmadiyah diserang oleh sekelompok kaum Muslim, dan para penghuninya dipaksa meninggalkan tempat itu. Berangkat dari catatan buruk kebebasan beragama di Indonesia di atas, dan ketidakpastian dasar negara antara sekular dan agama, maka Mujiburrahman mempertanyakan bagaimanakah kiranya bangsa Indonesia dapat merumuskan kebebasan beragama berdasarkan kesepakatan bersama yang samar-samar mengenai hakikat negara Indonesia yang bukan negara agama dan bukan pula negara sekular? 1 Pertanyaan ini menjadi penting karena hakikat negara Indonesia memang mengalami semacam ambiguitas, atau “bukan-bukan” bukan sekular dan bukan agama. Persoalan ambiguitas ini semakin merepotkan manakala dibenturkan dengan realitas keragaman pluralitas masyarakat, terutama keragaman agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia. Selain enam agama Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu yang diakui secara resmi oleh negara, Indonesia kaya akan agama atau kepercayaan lokal indigenous religion – seperti 1 Mujiburrahman, “Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid, Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2007, h. 290. komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, komunitas Kaharingan di Kalimantan dan lain sebagainya – serta aliran-aliran yang ada dalam agama resmi tersebut. Menurut Amin Abdullah, realitas pluralitas agama yang belum berlanjut pada pluralisme agama disebabkan oleh hegemoni kepentingan kelompok tertentu. Kepentingan itu juga sering dijustifikasi dengan landasan teks keagamaan. 2 Bangsa Indonesia perlu beragama secara damai dalam fakta keragaman, karena itu diperlukan sistem untuk memecahkan masalah tanpa kekerasan. Bangsa Indonesia juga memerlukan sikap yang positif terhadap perbedaan agama sikap yang terbuka, toleran, siap berdialog dengan kelompok yang berbeda. Sebaliknya, bangsa ini juga sebaiknya menghindarkan diri dari pemikiran dan usaha-usaha menghilangkan keragaman agama. Termasuk di dalamnya tidak mengakui adanya keragaman, menginginkan keseragaman, memaksakan nilai agama satu kelompok atas kelompok yang lain, memakai kekuasaan untuk menindas agama yang berbeda, dan memberikan cap yang buruk pada agama dan pemeluknya yang dianggap berbeda. Bila sistem ini tidak tercapai, maka dapat dipastikan berpotensi menimbulkan benturan clash antar budaya dan agama. 3 2 Dikutip dari Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Liberatif Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004, h. 6. 3 Samuel P. Huntington berhipotesis bahwa sumber fundamental dari konflik dalam dunia baru tidak lagi ideologi atau ekonomi, melainkan budaya. Tentang hipotesis samuel P. Huntington ini, lihat samuel P. Huntington, “Benturan Antar Peradaban; Masa Depan Politik Dunia,” dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, Agama dan Dialog Antar Peradaban Jakarta: Penerbit Paramadina, 1996, h. 3-35. Sayangnya, dikarenakan klaim kebenaran truth claim agama atau kepercayaan masing-masing, 4 maka usaha-usaha ke arah toleransi dan dialog terbuka antar agama ini tidak selalu mudah. Selain itu, kompleksitas permasalahan di Indonesia juga menjadikan kesan tumpang-tindihnya problem sosial. Pluralitas kompleks di Indonesia juga menjadikan tidak mudahnya menggagas toleransi dan dialog terbuka di antara masyarakat. Untuk hidup beragama dalam kemajemukan agama dan ekspresi atasnya, tampaknya dibutuhkan konsep kebebasan beragama. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, kesadaran batin dan agama; dalam hal ini ternasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri. Tak seorang pun dapat dikenakan paksaan sehingga mengakibatkan terganggunya kebebasan untuk memeluk atau menerima agama atau kepercayaan pilihannya. 5 Kenyataannya, pelanggaran kebebasan beragama tidak hanya berlangsung secara horizontal antar masyarakat, 6 akan tetapi tampaknya justru negaralah yang – secara langsung atau tidak langsung – menjadi penyebab atau bahkan aktor 4 Menurut Arthur J D’Adamo, klaim kebenaran hanya muncul pada kelompok sendiri, sedangkan kelompok yang lain dianggap jauh menimpang dari kebenaran. Dikutip dari Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Liberatif, h. 3. 5 Rumusan kebebasan beragama dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen antara lain UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, Deklarasi Universal HAM PBB Pasal 18, Deklarasi PBB tahun 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Keyakinan, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik KIHSP Pasal 18. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 22, dan UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan KIHSP. 6 Salah satu contoh kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia yakni kasus penutupan gereja tahun 2005 di mana SKB Menteri Agama K.H. Achmad Dahlan dan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud pada tahun 1969 dianggap sumber kericuhan, lihat pembahasannya dalam “Sebatang Salib yang Dikunci,” Tempo, 11 September 2005, h. 26-33. pelanggaran kebebasan beragama. Contoh kasus pelanggaran kebebasan beragama yang hingga kini masih terjadi di Indonesia ialah klaim agama asli dan agama sempalan yang dirasakan sangat problematik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah selalu menuding agama atau kepecayaan lokal sebagai agama sempalan yang harus kembali ke agama induknya agama-agama resmi yang diakui negara. Padahal, menurut para penganut agama lokal tersebut justru agama merekalah yang seharusnya disebut sebagai agama asli atau agama induk. Karena justru agama-agama besar: Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha, yang merupakan agama impor. 7 Pelanggaran ini selanjutnya berujung pada pelanggaran hak-hak sipil sebagian masyarakat. Dalam hal ini, ingin ditekankan bahwa negara sebetulnya memiliki tanggung jawab utama dalam menjamin berlangsungnya kebebasan beragama. 8 Selain daripada itu, pemahaman dan sikap eksklusif dalam beragama adalah faktor lain yang dipandang mengganggu kebebasan beragama. Beberapa padanan istilah terkait dengan pemahaman dan sikap eksklusif dalam beragama, antara lain Islam radikal, 9 Islam fundamentalis, Islam militan, Islam ekstrem sampai Islam skripturalis. 10 7 Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid, h. 218. 8 Lihat komentar M. Dawam Rahardjo tentang tanggung jawab negara atas kebebasan beragama atau sebagai bagian hak sipil dalam M. Dawam Rahardjo, “Negara, Agama dan Penegakan Hak Sipil,” artikel diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http:www.icrp- online.orgwmview.php?ArtCat=2pos=15 . 9 Penggunaan istilah Islam radikal misalnya dalam Khamami zada, Islam Radikal; Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia Jakarta: Teraju, 2002. 10 M. Dawam Rahardjo, “Islam Radikal Vs Islam Liberal,” Tempo, 12 Januari 2003, h. 84. Oleh karenanya, diskursus konsep kebebasan beragama di Indonesia perlu diapresiasi dan didalami, baik itu dalam hal perkembangan wacana dan praktik kebebasan beragama di Indonesia, maupun dalam pemikiran tokoh intelektual yang konsern dalam bidang ini. Dalam hal ini, Indonesia mengenal seorang tokoh intelektual yang konsern dalam isu-isu kebebasan beragama. Beliau adalah Muhammad Dawam Rahardjo. Mantan Rektor UNISMA, Direktur LP3ES, Direktur IIIT Indonesia, dan President of the Board of IFIS ini dikenal cukup kontroversial dalam menanggapi problem-problem kebebasan beragama di Indonesia. Beliau pernah dipecat dari Muhammadiyah karena tanggapan-tanggapan kontroversialnya, terutama saat melakukan pembelaan terhadap Ahmadiyah dan Lia Aminuddin. 11 Walau begitu, Dawam tetap meneriakkan “Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah”. M. Dawam Rahardjo aktif membela kebebasan beragama dalam kasus- kasus jamaah Ahmadiyah, Komunitas Eden, JIL, kelompok Syiah dan minoritas lainnya. Ia menghadiri sidang-sidang Lia Aminuddin dan Muhammad Abdurrahman, pemimpin dan juru bicara Komunitas Eden, yang diadili atas tuduhan penodaan agama. 12 Ditinjau dari pemikirannya, M. Dawam Rahardjo memiliki perspektif murni dan utuh tentang kebebasan beragama di Indonesia. Pemikirannya tentang relasi Pancasila dan trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme, serta keyakinannya bahwa kebebasan beragama harus diwujudkan sebagai bagian dari 11 Lihat wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo terkait dengan pemecatan dirinya dari Muhammadiyah, dalam Tempo, 5 Februari 2006. 12 Ihsan Ali Fauzi, et.all., ed., Demi Toleransi Demi Pluralisme; Esai-esai untuk Merayakan 65 tahun M. Dawam Rahardjo Jakarta: Penerbit Paramadina, 2007, h. 21. hak sipil masyarakat, menempatkan beliau sebagai tokoh pemikir Islam Indonesia yang popular dalam hal pembelaan kebebasan beragama. Penentangannya terhadap otoritas Majelis Ulama Indonesia MUI beserta fatwa-fatwanya menunjukkan keberanian dan ketulusan beliau dalam melakukan pembelaannya. Meski tidak berusia muda lagi dan tidak sesehat dulu, Dawam tetap kritis dalam memahami dan menyikapi realitas umat dan bangsa. Kajiannya tentang kebebasan beragama tidak hanya berhenti dalam produksi intelektual belaka, akan tetapi dibuktikan dalam langkah-langkah kontroversialnya. Di atas semuanya, sosok M. Dawam Rahardjo tetaplah sosok pemikir pembaharu Islam sebagaimana beliau dahulu memulainya bersama generasi Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, dan lain-lain. Tidak terhitung banyaknya “murid” hasil binaan beliau yang berhasil meneruskan jejaknya dalam melakukan pembaharuan- pembaharuan Islam Indonesia. Sisi intelektual dan kontroversialnya inilah yang menempatkan M. Dawam Rahardjo sebagai perspektif yang relevan dalam membahas konsep dan problem kebebasan beragama di Indonesia. Dengan pertimbangan inilah, maka penulis memberi judul skripsi ini, “Kebebasan Beragama di Indonesia dalam Perspektif M. Dawam Rahardjo”. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dikarenakan keterbatasan dan demi terfokusnya pembahasan, maka penulisan skripsi ini saya batasi pada pembahasan “Kebebasan Beragama di Indonesia dalam Perspektif M. Dawam Rahardjo”. Maka, sebagai rumusan dari pembatasan masalah di atas, penulis merumuskan, 1. Bagaimanakah wacana kebebasan beragama di Indonesia? 2. Bagaimanakah landasan pandangan M. Dawam Rahardjo tentang kebebasan beragama di Indonesia? 3. Bagaimanakah tanggapan M. Dawam Rahardjo atas pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia? Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini antara lain: 1. Untuk mengetahui latar belakang pemikiran M. Dawam Rahardjo 2. Untuk mengetahui wacana kebebasan beragama di Indonesia 3. Untuk mengetahui kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M. Dawam Rahardjo secara utuh. Adapun manfaat dari penulisan ini adalah: 1. Bagi para intelektual, cendekiawan, dan akademisi agar dapat memberikan sumbangan bagi khazanah pemikiran, ide atau gagasan, dan juga untuk menambah literatur atau bahan referensi pada Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta sumbangsih bagi dunia pendidikan. 2. Bagi pemerintah, pejabat, politisi, tokoh Ormas keagamaan dan aktivis elemen masyarakat sipil lainnya agar dalam membangun negara-bangsa Indonesia tetap memperhatikan prinsip kebebasan beragama. 3. Bagi penulis adalah agar dapat menambah wawasan dan pemahaman utuh – yang tidak bersifat menghakimi – mengenai konsep kebebasan beragama di Indonesia, terutama dalam perspektif M. Dawam Rahardjo. Studi Kepustakaan Sejauh ini, sulit menemukan hasil penelitian atau buku yang membahas aspek-aspek pemikiran M. Dawam Rahardjo. Hal ini disebabkan beliau hingga saat ini masih hidup, sehingga pemikirannya secara langsung masih bisa disuarakan olehnya. Pun demikian, penulis menemukan sebuah buku yang cukup relevan dalam membahas pribadi M. Dawam Rahardjo dan segi-segi pemikirannya. Buku Demi Toleransi Demi Pluralisme, merupakan karya kumpulan esai- esai untuk merayakan 65 tahun M. Dawam Rahardjo. Buku yang disunting oleh Ihsan Ali Fauzi, Syafiq Hasyim dan JH. Lamardy ini diterbitkan oleh Penerbit Paramadina pada tahun 2007. Buku ini membahas pribadi M. Dawam Rahardjo, baik dari sisi biografis maupun kesan-kesan para kolega dan sahabat beliau. Selanjutnya, Demi Toleransi Demi Pluralisme juga mengupas segi-segi pemikiran dan aktivisme M. Dawam Rahardjo melalui tulisan para kontributor yang merupakan orang-orang dekat beliau, atau mereka yang sama-sama memperjuangkan toleransi dan pluralisme di Indonesia. Karenanya, hal yang paling menonjol dari buku ini ialah citra M. Dawam Rahardjo sebagai pembela toleransi dan pluralisme keagamaan di Indonesia. Karya di atas belum secara khusus memfokuskan kajian mengenai kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M. Dawam Rahardjo. Untuk itu, penulis mencoba melakukan kajian terhadap pemikiran M. Dawam Rahardjo dalam memandang kebebasan beragama di Indonesia. Metode Penelitian Jenis penelitian dalam mengkaji masalah ini ialah penelitian kualitatif. Secara metodologis, metode yang digunakan dalam mengkaji masalah ini adalah metode penelitian kepustakaan library research, dengan menggali sumber- sumber primer, maupun sumber-sumber sekunder. Pengumpulan data menggunakan studi dokumenter, yakni dengan memanfaatkan bahan-bahan primer dan sekunder. Adapun sumber primer dalam masalah ini adalah tulisan-tulisan tentang kebebasan beragama yang ditulis langsung oleh M. Dawam Rahardjo. Sedangkan sumber sekundernya adalah sumber-sumber yang menunjang pembahasan masalah. Analisis data menggunakan teknik deskriptif-analitis. Deskriptif di sini dimaksudkan sebagai upaya untuk mendeskripsikan perspektif M. Dawam Rahardjo dalam memandang konsep kebebasan beragama di Indonesia. Analitis berarti menganalisis pemikiran-pemikiran M. Dawam Rahardjo sehingga akan nampak jelas rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Teknik penulisan dalam skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi terbitan CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sistematika Penulisan Pembahasan dalam skripsi ini dituangkan dalam lima bab, termasuk BAB I sebagai pendahuluan dan BAB V sebagai penutup. Adapun rincian sistematika penulisan yang penulis susun antara lain sebagai berikut: BAB I adalah pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi kepustakaan, metodologi penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan. BAB II mengulas biografi singkat M. Dawam Rahardjo. Dalam bab ini akan dideskripsikan latar belakang keluarga dan pendidikan M. Dawam Rahardjo, pemikiran dan aksinya, serta buku-buku karyanya. BAB III akan membahas wacana kebebasan beragama di Indonesia. Bab ini meliputi pembahasan definisi dan prinsip kebebasan beragama, serta regulasi kebebasan beragama dan bentuk-bentuk pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. BAB IV akan menganalisis kebebasan beragama di Indonesia menurut M. Dawam Rahardjo. Bagian ini akan mendalami pemikiran beliau tentang Pancasila dan trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme, kebebasan beragama sebagai hak sipil, dan diakhiri dengan beberapa pandangan M. Dawam Rahardjo atas kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. BAB V sebagai penutup. Seluruh elaborasi pembahasan di atas akan diikat dalam beberapa kesimpulan dan ditambahkan beberapa saran yang penulis tawarkan dalam bagian ini.

BAB II BIOGRAFI M. DAWAM RAHARDJO