Intoleransi dalam Kebebasan Beragama Ber

Intoleransi dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan serta Penanganannya oleh Polri
(Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
Polri sebagai pengemban fungsi pemerintahan negara yang mempunyai tugas pokok
sebagaimana tersebut dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 memiliki kewajiban melindungi
warga negaranya untuk mendapatkan rasa aman yang dibutuhkan masyarakat,
sebagaimana juga terdapat dalam janji yang dipakai sebagai pedoman kerja oleh setiap
prajurit Polri yaitu Catur Prasetya:
Sebagai insan Bhayangkara, kehormatan saya adalah, berkorban demi masyarakat, bangsa
dan negara untuk:
1.
2.
3.
4.

Meniadakan segala bentuk gangguan keamanan;
Menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak asasi manusia;
Menjamin kepastian berdasarkan hukum;
Memelihara perasaan tenteram dan damai.

Rasa aman menjadi kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Dengan rasa aman yang

diperoleh masyarakat maka segala aktivitas kehidupan dapat berjalan dengan baik, dan
sebaliknya. Aman juga merupakan salah satu bentuk hak asasi manusia, oleh sebab itu
negara memiliki kewajiban melindungi warga negaranya untuk mendapatkan rasa aman
tersebut. Keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) yang kondusif dapat tercipta
manakala Polri mampu menunjukkan keberhasilannya melaksanakan tugas sehingga
masyarakat memperoleh suasana perasaan-perasaan terbebas dari gangguan (fisik maupun
psikis), perasaan dilindungi dari segala macam bahaya, bebas dari kekhawatiran, perasaan
damai lahir dan batin (Chryshnanda, 2004:98). Sebagaimana fungsi, tugas dan perannya
tercantum dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri sebagai
berikut:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban;
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Menurut Awaloedin Djamin, keberhasilan Polri dapat diukur dari tercapainya misi dan
tujuan sesuai dengan tugas pokoknya secara efektif dan efisien (Djamin, 2011:49). Untuk
mencapai pemolisian yang efektif diperlukan petugas kepolisian yang profesional.
Chryshnanda menyatakan bahwa profesionalisme Polri adalah sikap, cara berpikir, tidakan,
perilaku dan pelaksanaan pemolisiannya dilandasi ilmu kepolisian yang diabdikan pada
kemanusiaan dalam mewujudkan terpeliharanya kamtibmas dan tegaknya hukum
(2009:130). Seiring dengan berkembangnya kualitas dan kuantitas tantangan tugas yang

dihadapi, maka profesionalisme tersebut harus senantiasa ditingkatkan yang menurut
Farouk Muhammad ada lima aspek, yaitu jati diri, pengetahuan, etika, peralatan dan
kebijakan (Muhammad:126-127).
[Type text]

Tantangan
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih kurang 17.000 pulau, berisikan sekitar
254,9 juta manusia (BPS, Susenas 2014-2015) dengan kurang lebih 500 suku yang
menyusunnya. Para pendiri bangsa telah sepenuhnya sadar akan kondisi ini. Sebagaimana
disampaikan Soepomo dalam sidang BPUPKI Tahun 1945 menganjurkan untuk mendirikan
sebuah negara nasional yang bersatu dalam arti Totaliter dimana negara tidak akan
mempersatukan diri dengan golongan yang lebih besar akan tetapi yang akan mengatasi
segala golongan dan akan mengindahkan dan menghormati keistimewaan dari segala
golongan baik golongan yang besar maupun golongan yang kecil. Dengan sendirinya dalam
negara nasional yang bersatu, urusan agama akan terpisah dari urusan negara dan dalam
negara nasional itu urusan agama akan diserahkan kepada golongan-golongan agama yang
bersangkutan dengan demikian seseorang akan merdeka memeluk agama yang disukainya,
baik golongan agama yang terbesar maupun golongan agama yang terkecil (Setneg RI,
1992:60).
Kompleksitas permasalahan yang diemban Polri hingga saat ini semakin meningkat seiring

dengan berjalannya era reformasi Tahun 1998 dengan tema besar demokratisasi , yang
sekaligus mengakhiri rezim otoritarian. Masa transisi hingga tahun 1999 dipenuhi dengan
berbagai tuntutan anak bangsa antara lain HAM dan otonomi daerah serta desakan
pemisahan diri dari propinsi Timor Timur. Isu HAM disambut oleh pemerintahan baru
dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undangundang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum,
sedangkan otonomi daerah dengan Undang-undang Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004. Selain hal tersebut, reformasi juga telah menjadi tonggak sejarah bagi Polri,
yaitu berdasarkan Tap MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang pemisahan Polri dari ABRI (saat
itu) dimana sebelumnya selama kurang lebih 40 tahun, Polisi merupakan bagian dari
angkatan bersenjata (Tap MPRS Nomor II Tahun 1960, dan dikuatkan dengan Undangundang Pokok Kepolisian Nomor 13 Tahun 1961)
Euforia demokratisasi yang diusung sebagai agenda reformasi Tahun 1998 berlangsung tak
terkendali sehingga menimbulkan salah tafsir tentang makna kebebasan. Kebebasan yang
kebablasan ini berakibat pada kekerasan antar suku, antar kampung, antar kelompok
agama, dan antar pendukung partai di berbagai pelosok negeri. Padahal, seluruh elemen
sepakat, bahwa kebebasan yang ingin dicapai adalah bebas dari rasa takut, bebas
menyampaikan pendapat, dan tegaknya supremasi hukum. Perlu diingat bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini bukan negara monarki, bukan pula negara agama,
melainkan negara konstitusional, yakni negara hukum yang demokratis. Ketika kekerasan
antar kelompok terjadi, timbul korban jiwa dan harta, semua lupa bahwa bangsa ini

mempunyai pilar kebangsaan yang menyatukan perbedaan yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Semua hanya saling membenarkan pendapatnya sendiri dan menyalahkan yang lainnya.
[Type text]

Sejak awal reformasi hingga saat ini kekerasan sering terjadi di masyarakat, baik yang
dilakukan oleh pribadi maupun kelompok. Kekerasan-kekerasan tersebut mempunyai latar
belakang yang berbeda-beda, ada yang dilakukan karena motif praktis tuntutan ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan hidup, ada juga yang dilakukan karena mempertahankan dan
memaksakan ideologi dan berujung tindakan intoleransi yang tentu saja jauh dari
pemahaman akan pluralisme. Beberapa kali kekerasan menimpa umat beragama tertentu
dan dilakukan oleh kelompok tertentu. Pelaku kekerasan mempunyai paham bahwa
ideologinya adalah paling benar dan ideologi yang lain salah, dan sayangnya kelompok
penganut ideologi tertentu bergerak secara radikal dengan membenarkan kekerasan. Kalau
kita amati, ada pola komunikasi yang tidak benar dalam memahami perbedaan. Kita sadari
bahwa sebenarnya manusia telah dianugrahi oleh sang pencipta berupa akal budi dan
kemampuan berkomunikasi. Ironisnya pola komunikasi dengan sesamanya yang seharusnya
dilakukan dengan dialog yang santun dan menghargai perbedaan justru dilupakan dan
diganti dengan model pemaksaan kehendak, kekerasan hingga pembunuhan hanya untuk
menghilangkan perbedaan. Seseorang yang berperilaku memaksakan kehendak dengan
cara-cara yang sadis sebenarnya sedang mengalami krisis kepercayaan baik terhadap diri

sendiri atau terhadap kelompok yang diikutinya. Krisis kepercayaan tersebut muncul karena
orang/kelompok tersebut tidak mempunyai ruang untuk mengaktualisasikan
diri/kelomponya secara positif. Untuk menutupi krisis tersebut, maka orang dan
kelompoknya menganggap orang lain yang berbeda ideologi sebagai musuh yang harus
diperangi agar tidak mengganggu eksistensinya.
Intoleransi (intolerance) dalam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Menurut data Wahid Institute, telah didokumentasikan bahwa terjadi 276 pelanggaran
kebebasan beragama dan peristiwa intoleransi agama pada 2011, naik dari 198 pelanggaran
dan peristiwa intoleransi pada 2010, selanjutnya sepanjang tahun 2012 telah terjadi 274
kasus kekerasan atas nama agama. Hal ini meningkat 1 % dari tahun 2011 yang berjumlah
267 kasus. Kemudian di tahun 2013 terdapat 245 kasus yang sama dan di tahun 2014
terdapat 158 peristiwa. Meskipun dilihat dari tren yang ada setiap tahunnya selalu
menurun, hal ini cukup disayangkan mengingat Indonesia merupakan Negara yang
Berbhineka Tunggal Ika. Hal ini membuktikan bahwa, sebagian besar masyarakat ternyata
masih gagap dalam menyikapi masalah perbedaan. Ada dua faktor yang menyebabkan
kenapa hal ini terus terjadi: faktor internal dan eksternal. Faktor internal terjadi karena
adanya keterbatasan pengetahuan oleh pemeluk agama dalam memahami agamanya,
sehingga memunculkan pemahaman skripturalisme. Skripturalisme adalah sebuah
pemahaman yang menempatkan agama hanya sebatas teks-teks keagamaan. Dalam paham
ini, fungsi utama dalam sebuah agama hanya terletak pada teks-teks yang terkandung di

dalamnya. Mereka mengabaikan substansialisasi dan kontekstualisasi keagamaan.
Dampaknya adalah mereka terpenjara oleh teks, dogma, dan simbolisme keagamaan. Hal ini
tentu saja sangat berbahaya, karena pemahaman semacam ini akan berpotensi besar untuk
melahirkan kekerasan dan anarkisme.
[Type text]

Sedangkan fakor eksternal terjadi diluar agama, seperti gagalnya Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dalam mengakomodasi ekspresi-ekspresi Islam yang berbeda. Dalam kasus kekerasan
atas nama agama misalnya, banyak fatwa-fatwa MUI yang ikut berkontribusi menyulut api
kebencian, misalkan dengan fatwa fatwa diskriminatif, seperti pelarangan Ahmadiyah.
Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan pembiaran oleh negara juga menjadi faktor
eksternal yang menyuburkan kekerasan atas nama agama. Disini terlihat jelas, peran negara
masih impoten dalam menjaga perbedaan yang sudah menjadi fakta sosial. Dalam
berbagai kasus, seringkali pemerintah lebih membela mayoritas dan mengorbankan yang
minoritas. Padahal menurut UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
seharusnya negara, pemerintah, dan masyarakat wajib mengakui dan melindungi HAM
seseorang tanpa kecuali. Oleh karena itu, dalam menjaga hak-hak minoritas, semestinya
tugas negara harus lebih aktif sehingga fungsi negara bisa terwujud dengan baik. Seperti,
pertama menjalankan konstitusi dengan sebaik-baiknya, kedua memastikan semua warga
negara berhak memiliki keyakinan masing-masing. Dalam hal ini, negara harus bisa

memastikan kebebasan masyarakat. Ketiga, negara harus bisa memberikan perlindungan
bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
Masih dari catatan Wahid Institute, bahwa di tahun 2014, pelaku pelanggaran terhadap
kebebasan dan intoleransi beragama melibatkan 98 aktor negara dengan Kepolisian
menduduki peringkat tertinggi yaitu 25 pelaku, sisanya adalah pemerintahan
kabupaten/kota hingga desa dan TNI serta 89 oleh aktor non negara antara lain oleh FPI, FJI,
FUI, Aliansi Hindu Muda Indonesia, dll (The Wahid Institute, 2014:21-24).
Memang harus diakui bahwa reformasi telah membawa perubahan kepada Negara ini
kearah yang lebih baik, namun juga tidak sedikit pula memberikan dampak yang buruk
akibat dari pemahaman yang salah akan reformasi. Bukan reformasi sendirian yang
memberikan dampak buruk, tetapi memang kelahirannya disertai dan diiringi oleh era
keterbukaan terhadap berbagai macam informasi. Sebagian besar masyarakat masih gagap
dalam menanggapi keterbukaan informasi tersebut dan menganggap bahwa informasi yang
didapatnya merupakan suatu kebenaran yang mutlak tanpa harus mengujinya dalam realita
lingkungan yang ada, selanjutnya anggapan tersebut memberikan kontribusi yang besar
terhadap perilaku masyarakat saat ini, mudah marah, emosi, merasa sok paling benar dan
akhirnya berujung pada tindakan kekerasan baik fisik maupun non fisik.
Apabila dilihat pada data yang disajikan oleh The Wahid Institute hampir seluruh aktor non
negara yang menjadi pelaku intoleransi adalah organisasi masyarakat. Keberadaan
organisasi masyarakat mulai bermunculan juga sebagai akibat dari era kebebasan yang

diusung oleh reformasi. Konstitusi Negara Indonesia juga mendukung akan hal tersebut
yaitu dalam Undang-undang Dasar NRI 1945 amandemen keempat. Pasal mengenai Hak
Asasi Manusia menjiwai ketetapan-ketetapan Pasal 28 C tentang hak memajukan diri dan
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk masyarakat, bangsa dan negaranya. Pasal 28
E (2) tentang kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan bersikap seusai hati
[Type text]

nurani, (2) hak berserikat, berkumpul dan berpendapat. Pasal 28 F tentang hak
berkomunikasi untuk mengembangkan pribadi & lingkungan. Keberadaan ormas atau NGO
(Non Goverment Organization) juga telah diatur dalam Undang-undang RI Nomor 8 tahun
1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan diubah dengan Undang-undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarkatan. Sesuai dengan definisinya bahwa ormas
didirikan berdasarkan atas kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa (UU No. 8 Tahun 1985), sedangkan yang dimaksud
kesamaan dalam UU No. 17 Tahun 2013 adalah aspirasi, kehendak, kebutuhan,
kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi
tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Konsep
kesamaan tersebut ditonjolkan dengan suatu identitas yang mencolok dan tentu saja
semakin memperuncing perbedaan yang memang secara alami telah ada dan dimiliki oleh
Negara Indonesia ini.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 telah memberikan
jaminan konstitusional kepada setiap warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan
dan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya itu. Berbagai produk kebijakan
turunannya juga telah menegaskan jaminan sebagaimana tertuang dalam Konstitusi. UU
Nomor 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Sipil dan Politik, yang salah satu pasalnya
memuat jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan juga telah menjadi landasan bahwa
produk hukum internasional itu telah menjadi bagian hukum Indonesia yang mengikat
negara untuk menjamin dan memenuhinya. Namun demikian, jaminan konstitusional dan
legal sebagaimana tersedia dalam perundang-undangan Indonesia belum cukup mampu
memproteksi kebebasan dasar tersebut. Berbagai pelanggaran kebebasan justru dipicu oleh
negara yang terus memproduksi perundang-undangan yang restriktif terhadap warga
negara yang memeluk agama/keyakinan, yang dianggap berbeda dari mainstream. Demikian
juga minimnya pengetahuan publik atas kebebasan sipil warga negara, yang kemudian
memicu praktik intoleransi dan tindakan kriminal terhadap warga negara lainnya. Dua
persoalan inilah yang menjadi tantangan serius pemenuhan jaminan kebebasan sipil,
khususnya kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia.
Definisi
Kebebasan beragama adalah sebuah jaminan oleh pemerintah bagi kebebasan kepercayaan
untuk individu dan kebebasan beribadah untuk individu dan kelompok. Kebebasan
beragama dinilai oleh banyak pihak dari berbagai bangsa dan masyarakat sebagai sebuah

hak asasi manusia fundamental (Davis, Derek H., The Evolution of Religious Liberty as a
Universal Human Right, dipublikasi kembali pada tanggal 5 Desember 2006).
Pelanggaran hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan (violation of right to freedom of
religion or belief) adalah setiap bentuk kegagalan atau kelalaian negara dalam implementasi
seperti campur tangan atas kebebasan orang atau tidak melindungi seseorang atau
kelompok orang yang menjadi sasaran intoleransi atau tindak pidana berdasarkan agama
[Type text]

atau keyakinan. Menurut DUHAM didefinisikan sebagai setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang, dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (The Wahid Institute, 2014:13).
Diskriminasi dan intoleransi berdasarkan agama, merupakan bentuk pelanggaran kebebasan
beragama/berkeyakinan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 Deklarasi tentang
Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama/ Keyakinan,
yaitu, setiap pembedaan, pengabaian, larangan atau pengutamaan favoritisme) yang
didasarkan pada agama atau kepercayaan dan tujuannya atau akibatnya meniadakan atau
mengurangi pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan

kebebasan-kebebasan fundamental atas suatu dasar yang sama, seperti tidak mau
menerima suatu kelompok atau mengungkapkan dan mengekspos kebencian terhadap
kelompok lain berdasarkan perbedaan agama atau keyakinan (Hasani, 2009:16).
Mengacu pada definisi di atas, maka ada dua bentuk cara negara melakukan pelanggaran,
yaitu; [a] dengan cara melakukan tindakan aktif yang memungkinkan terjadinya
pembatasan, pembedaan, campur tangan, dan atau menghalanghalangi penikmatan
kebebasan seseorang dalam beragama/berkeyakinan (by commission); dan [b] dengan cara
membiarkan hak-hak seseorang menjadi terlanggar, termasuk membiarkan setiap tindak
pidana yang dilakukan oleh seseorang tidak diproses secara hukum (by omission) (Hasani,
2009:16).
Intoleransi merupakan turunan dari kepercayaan bahwa kelompoknya, sistem kepercayaan
atau gaya hidupnya lebih tinggi daripada yang lain. Hal ini dapat menimbulkan sejumlah
konsekuensi dari kurangnya penghargaan atau pengabaian terhadap orang lain hingga
diskriminasi yang terinstitusionalisasi, seperti apartheid atau penghancuran orang secara
disengaja melalui genosida. Seluruh tindakan semacam itu berasal dari penyangkalan nilai
fundamental seorang manusia (U.S. Department of Justice, Hate Crime: The Violence of
Intolerance http://www. usdoj.gov/crs/pubs/htecrm.htm).
Kejahatan intoleransi dan kebencian adalah tindakan-tindakan yang dimotivasi oleh
kebencian atau bias terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan gender, ras,
warna kulit, agama, asal negara, dan/atau orientasi seksualnya. Tindakan intoleransi dapat
merupakan kejahatan berat, seperti penyerangan atau berkelahi, tapi tidak selalu. Dapat
juga berupa tindakan-tindakan yang lebih ringan, seperti ejekan terhadap ras/ agama
seseorang. Komunikasi tertulis, termasuk grafiti atau surat tak bernama, yang menunjukkan
prasangka atau intoleransi terhadap seseorang atau sekelompok orang juga merupakan
kejahatan berdasar pada kebencian, termasuk vandalisme (perusakan) dan percakapan
berdasarkan intoleransi maupun apa yang dianggap beberapa orang adalah lelucon (Hasani,
2009:18).
[Type text]

UNESCO mencatat beberapa gejala intoleransi dan indikator perilakunya: (UNESCO:
Tolerance: the threshold of peace. A teaching/learning guide for education for peace, human
rights and democracy (Preliminary version). Paris: UNESCO. 1994:16.)
Bahasa: pencemaran dan bahasa yang pejoratif atau eksklusif yang menghilangkan nilai,
merendahkan dan tidak memanusiakan kelompok budaya, ras, bangsa atau seksual, dan
penyangkalan hak bahasa.
Membuat stereotipe: mendeskripsikan semua anggota suatu
dikarakteristikkan oleh atribut yang sama biasanya negative.

kelompok dengan

Menyindir: menarik perhatian pada perilaku, atribut dan karakteristik tertentu dengan
tujuan mengejek atau menghina.
Prasangka: penilaian atas dasar generalisasi negatif dan stereotipe daripada atas dasar fakta
aktual dari sebuah kasus atau perilaku spesifi k individu atau kelompok.
Pengkambinghitaman: menyalahkan kejadian traumatis atau permasalahan sosial pada
orang atau kelompok tertentu.
Diskriminasi: pengecualian dari jaminan sosial dan kegiatan dengan hanya berlandaskan
pada alasan yang merugikan.
Pengasingan (ostracism): berperilaku seolah yang lainnya tidak hadir atau tidak ada.
Penolakan untuk berbicara kepada atau mengakui pihak lain, atau kebudayaannya.
Pelecehan: perilaku yang disengaja untuk mengintiminasi dan merendahkan pihak lain,
kerap dimaksudkan sebagai cara mengeluarkan mereka dengan paksa dari komunitas,
organisasi atau kelompok.
Penajisan dan penghapusan: bentuk-bentuk penodaan simbol atau struktur keagamaan atau
kebudayaan yang ditujukan untuk menghilangkan nilai dan mengejek kepercayaan dan
identitas mereka yang kepadanya struktur dan simbol ini berarti.
Gertakan (bullying): penggunaan kapasitas fisik yang superior atau sejumlah besar (orang
red.) untuk menghina orang lain atau menghilangkan kepemilikan atau status mereka.
Pengusiran: pengeluaran secara resmi atau paksa atau penyangkalan hak untuk masuk atau
hadir di sebuah tempat, dalam kelompok sosial, profesi atau tempat lain dimana ada
kegiatan kelompok, termasuk di mana keberlangsungan hidup tergantung, seperti tempat
kerja atau tempat perlindungan (shelter), dan sebagainya.
Instrumen pokok hak asasi manusia yang mengatur jaminan kebebasan beragama/
berkeyakinan adalah Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) khususnya
pasal 18, yang mencakup: (1) kebebasan untuk menganut atau memilih agama atas
kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama[Type text]

sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan
agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penaatan,pengamalan dan pengajaran;
(2) tanpa pemaksaan sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau memilih
agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya; (3) kebebasan untuk
mengenjawantahkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh
ketentuan berdasarkan hukum, dan apabila diperlukan untuk melindungi keamanan,
ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang
lain; (4) negara-negara pihak Konvenan ini berjanji untuk menghormai kebebasan orang tua,
dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa agama dan moral bagi
anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Indonesia pada tahun 2005 telah meratifikasi kovenan internasonal ini melalui UU No. 12/
2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Kovenan
ini bersifat mengikat secara hukum (legaly binding) dan sebagai negara pihak (state parties)
yang telah meratifikasi, Indonesia berkewajiban memasukkannya sebagai bagian dari
perundangundangan nasional dan memberikan laporan periodik kepada Dewan HAM PBB.
Instrumen hak asasi manusia lainnya yang mengatur jaminan kebebasan beragama/
berkeyakinan adalah Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi
Berdasarkan Agama atau Keyakinan (Declaration on The Elimination of All Forms of
Intolerance and of Discrimination Based On Religion Or Belief) yang dicetuskan melalui
resolusi Sidang Umum PBB No. 36/55 pada 25 November 1981. Deklarasi ini jauh lebih rinci
mengatur jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan dibanding Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik, hanya saja karena bentuknya deklarasi maka bersifat tidak
mengikat (non binding) bagi negara pihak. Meskipun tidak mengikat secara hukum, deklarasi
ini mencerminkan konsensus yang luas dari komunitas internasional. Karena itu, memiliki
kekuatan moral dalam praktik hubungan internasional pada umumnya. Sebagai negara
anggota PBB, Indonesia tidak bisa mengabaikan deklarasi ini dalam menjalankan kewajiban
memenuhi hak asasi warga negaranya.
Pasal 6 Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan
Agama dan Keyakinan:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Deklarasi ini dan dengan tunduk pada ketentuanketentuan Pasal 1 ayat 3 hak atas kebebasan pikiran, hati nurani, beragama atau keyakinan
harus mencakup, antara lain, kebebasan-kebebasan berikut:
1.
2.
3.

Beribadah atau berkumpul dalam hubungannya dengan suatu agama atau keyakinan,
dan mendirikan serta mengelola tempat-tempat untuk tujuan-tujuan ini;
Mendirikan dan mengelola berbagai lembaga amal atau kemanusiaan yang tepat;
Membuat, memperoleh dan mempergunakan samapai sejauh memadai berbagai
benda dan material yang diperlukan berkaitan dengan upacara atau adat istiadat
suatu agama atau keyakinan;

[Type text]

4.
5.
6.
7.
8.
9.

Menulis, mengemukakan dan menyebarluaskan berbagai penerbitan yang relevan di
bidang-bidang ini;
Mengajarkan suatu agama atau keyakinan di tempat-tempat yang cocok untuk
maksud-maksud ini;
Mengumpulkan dan menerima sumbangan-sumbangan keuangan dan sumbangansumbangan lain sukarela dari perseorangan atau lembaga;
Melatih, menunjuk, memilih atau mencalonkan dengan suksesi para pemimpin yang
tepat yang diminta dengan persyaratan-persyaratan dan standar-standar agama atau
keyakinan apapun;
Menghormati hari-hari istirahat, dan merayakan hari-hari libur dan upacara;
Mendirikan dan mengelola kominikasi-komunikasi dengan seseorang dan masyarakat
dalam persoalan-persoalan agama atau keyakinan pada tingkat nasional dan
internasional. upacara menurut ajaran-ajaran agama atau keyakinan seseorang.

Berdasarkan kedua instrumen hak asasi manusia di atas secara ringkas definisi operasional
Kebebasan beragama/berkeyakinan meliputi kebebasan untuk memeluk suatu agama atau
keyakinan pilihannya sendiri, kebebasan baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain menjalankan ibadah agama atau keyakinan sesuai yang dipercayainya, serta
mematuhi, mengamalkan dan mengajarkan secara terbuka atau tertutup, termasuk
kebebasan berganti agama atau keyakinan, bahkan untuk tidak memeluk agama atau
keyakinan sekalipun (Hasani, 2009:9-11).
Secara eksplisit Pasal 28 J ayat (2) UUD RI 1945 menegaskan bahwa: Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.
Dengan adanya klausul sebagaimana di atas, seluruh jaminan kebebasan beragama/
berkeyakinan termasuk jaminan hak asasi manusia lainnya di dalam konstitusi, sangat
berpotensi hanya menjadi deretan pasal bisu yang tidak bisa digunakan oleh warga negara
sebagai pelindung hak-hak warga negara.
Padahal, sebagaimana disebutkan dalam Pasal (4) Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik, pembatasan terhadap hak asasi manusia hanya dibenarkan dengan alasanalasan yang lazim dalam disiplin hak asasi manusia:
1.

Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang
telah diumumkan secara resmi. Negara-negara Pihak Kovenan ini dapat mengambil
langkah-langkah yang mengurangi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan Kovenan
ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang
langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya

[Type text]

2.
3.

berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata
berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.
Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18 sama
sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini.
Setiap Negara Pihak Kovenan ini yang menggunakan hak untuk melakukan
pengurangan tersebut harus segera memberitahukannya kepada Negara-negara Pihak
lainnya melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa,
mengenai ketentuan-ketentuan yang dikuranginya, dan mengenai alasan-alasan
pemberlakuannya. Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui perantara
yang sama pada saat berakhirnya pengurangan tersebut. Dengan demikian, tidak
dibenarkan suatu negara manapun mengurangi, membatasi atau bahkan
mengesampaikan pemenuhan dari hak-hak yang dijamin dalam Kovenan Sipil dan
Politik. Kalaupun pembatasan terpaksa harus dilakukan, hanya dan bila hanya syaratsyarat kumulatif yang ditentukan oleh kovenan tersebut dipenuhi oleh negara yang
bersangkutan.

Syarat kumulatif yang dimaksud adalah pertama, sepanjang ada situasi mendesak yang
secara resmi dinyatakan sebagai situasi darurat yang mengancam kehidupan bernegara;
kedua, penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada diskriminasi
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial; dan ketiga, pembatasan
dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB).
Hak-hak kemerdekaan beragama ini selanjutnya dibagi dalam dua wilayah Kebebasan
internal (forum internum) dan kebebasan eksternal (forum externum) (The Wahid Institute,
2014:7-12).
1.
Kebebasan Internal (Forum Internum), kebebasan internal yang berisi kebebasan hati
nurani untuk meyakini, menganut dan berpindah agama dan keyakinan serta hak
untuk mempertahankan menganut atau berpindah dari suatu agama atau keyakinan.
Hak-hak kebebasan ini telah diakui secara internasional maupun nasional sebagai
salah satu elemen HAM yang tidak bisa dikurangi dan dibatasi (non-derogable rights),
bahkan dalam keadaan perang dan keadaan darurat umum sekalipun, negawa wajib
untuk tidak mengintervensi apalagi memaksa (coercion) forum internum ini,
sebagaimana diatur dalamPasal 28I (ayat 1), Pasal 4 (ayat 2) Kovenan Hak Sipil dan
Politik dan pasal 74 dan 74 UU HAM.
Coercion alias pemaksaan, selanjutnya menyebut dengan kata pemaksaan, dalam sejumlah
standar internasional diletakan di ranah non-derogable rights. Pemaksaan di sini diartikan
sebagai tindakan pemaksaan yang dilakukan negara (state), termasuk penggunaan ancaman
kekerasan fisik atau sanksi hukum demi memaksa orang-orang yang percaya atau tidak
percaya untuk menaati kepercayaan dan penganut agama mereka, untuk menolak agama
atau kepercayaan mereka, atau untuk mengganti agama atau kepercayaan mereka.
[Type text]

Kebijakan-kebijakan atau praktik-praktik bertujuan atau berdampak serupa, misalnya
kebijakan atau praktik yang yang membatasi akses akan pendidikan, pelayanan kesehatan,
pekerjaan, atau hak-hak lain yang dijamin juga dikategorikan sebagai tindakan pemaksaan.
Tabel 1
Instrumen Nasional dan Internasional tentang Forum Internum
Forum Internum
Hak/Kebebasan
Instrumen Hukum
Pasal
Bunyi Pasal
1

Hak kebebasan untuk DUHAM
menganut, berpindah
agama.

2

18

ICCPR

18

UUD NRI 1945

28
29

UU Nomor
39/1999

[Type text]

4

3

4

Setiap orang berhak atas
kebebasan pikiran, hati nurani dan
agama; dalam hal ini termasuk
kebebasan berganti agama atau
kepercayaan
Setiap orang berhak atas
kebebasan berpikir, keyakinan dan
beragama. Hak ini mencakup
kebebasan untuk menetapkan
agama atau kepercayaan atas
pilihannya sendiri
Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama ...
Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap
penduduk
untuk
memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat
menurut
agamanya
dan
kepercayaannya itu
Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran dan hati nurani ... adalah
hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan
apapun dan oleh siapapun.

Lanjutan Tabel 1
1

Hak
untuk
tidak
dipaksa
menganut
atau tidak menganut
suatu agama.

[Type text]

2

22

DUHAM

18

ICCPR

18

Deklarasi
Universal 1981
tentang
Penghapusan
Diskriminasi dan
Intoleransi
Berdasar Agama
Komentar Umum
Nomor 22 Komite
HAM PBB

1

3

Paragraf
5

4

(1)Setiap orang bebas memeluk
agamanya masing-masing dan
untuk
beribadah
menurut
agamanya dan kepercayaannya
itu.
(2)
Negara
menjamin
kemerdekaan
setiap
orang
memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat
menurut
agamanya
dan
kepercayaannya itu.
Setiap orang berhak atas
kebebasan pikiran, hati nurani dan
agama; dalam hal ini termasuk
kebebasan berganti agama atau
kepercayaan ...
(2) Tidak seorang pun dapat
dipaksa
sehingga
terganggu
kebebasannya untuk menganut
atau menetapkan agama atau
kepercayaannya sesuai dengan
pilihannya.
(2) Tidak seorangpun dapat
dijadikan sasaran pemaksaan yang
akan mengurangi kebebasannya
untuk menganut suatu agama
atau kepercayaannya menurut
pilihannya.
Pasal 18.2 melarang pemaksaan
yang dapat melanggar hak untuk
menganut atau menerima suatu
agama
atau
kepercayaan,
termasuk penggunaan ancaman
kekerasan fisik atau sanksi hukum
guna memaksa orang-orang yang
percaya atau tidak percaya untuk
menaati
kepercayaan
dan
penganut agama mereka, untuk
menolak agama atau kepercayaan
mereka, atau untuk mengganti
agama atau kepercayaan mereka.

Lanjutan Tabel 1
1

2

UU Nomor
39/1999

22

3

Sumber: The Wahid Institute hal 8-9
2.

4

(1) Setiap orang bebas memeluk
agamanya masing-masing dan
untuk
beribadah
menurut
agamanya dan kepercayaannya
itu.

Kebebasan Eskternal (Forum Eksternum) yakni kebebasan baik sendiri atau bersamasama dengan orang lain, di tempat umum atau di wilayah pribadi untuk
memanifestasikan agama dan keyakinan dalam bentuk pengajaran, pengamalan,
ibadah dan penataannya. Kebebasan ini termasuk juga kebebasan untuk mendirikan
tempat ibadah, kebebasan untuk menggunakan simbol-simbol agama, hak kebebasan
untuk merayakan hari besar agama, hak kebebasan untuk menetapkan pemimpin
agama, hak untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama, hak orang tua untuk
mendidik agama kepada anaknya, hak untuk mendirikan dan mengelola organisasi
keagamaan. Hak-hak di atas mengacu kepada instrumen-instrumen di bawah ini:
Tabel 2
Instrumen Nasional dan Internasional tentang Forum Eksternum
Hak/Kebebasan
1

Instrumen
Hukum
2

Hak
kebebasan DUHAM
untuk
beribadah
baik secara pribadi
maupun bersamasama baik secara
tertutup
maupun
terbuka.

[Type text]

Forum Eksternum
Pasal
18

3

Bunyi Pasal
4

Setiap orang berhak atas kebebasan
pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal
ini termasuk kebebasan berganti agama
atau kepercayaan, dengan kebebasan
untuk
menyatakan
agama
atau
kepercayaann
dengan
cara
mengajarkannya, melakukannya, beribadat
dan mentaatinya, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain, di muka
umum maupun sendiri.

Lanjutan Tabel 2
1

2

ICCPR

18

UUD NRI
1945

29

UU Nomor
39/1999

22

3

55

Deklarasi
Universal
1981
Komentar
Umum 22

6
Paragraf
4

Hak
kebebasan Deklarasi
untuk mendirikan Universal
tempat ibadah
1981

6

Hak
kebebasan Deklarasi
untuk menggunakan Universal
simbol-simbol
1981
agama

6

[Type text]

4

Setiap orang berhak atas kebebasan
berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini
mencakup kebebasan untuk menetapkan
agama atau kepercayaan atas pilihannya
sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain,
baik di tempat umum atau tertutup, untuk
menjalankan agama dan kepercayaannya
dalam kegiatan ibadah, pentaatan,
pengamalan, dan pengajaran.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah
menurut agamnya dan kepercayaanya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap
orang memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaanya itu.
Setiap anak berhak untuk beribadah
menurut
agamanya,
berpikir,
dan
berekspresi sesuai dengan tingkat
intelektualitas dan usianya di bawah
bimbingan orang tua dan atau wali.
(a) Beribadah atau berkumpul dalam
hubungan dengan suatu agama atau
kepercayaan
Konsep ibadah mencakup kegiatan
ritual dan seremonial yang merupakan
pengungkapan langsung dari kepercayaan
seseorang
(a) Beribadah atau berkumpul dalam
hubungan dengan suatu agama atau
kepercayaan dan mendirikan serta
mengelola tempat-tempat untuk tujuan
itu
(c) Memperoleh, membuat dan
menggunakan secukupnya perlengkapan
dan
bahan-bahan yang diperlukan
berkaitan dengan upacara atau adat
istiadat suatu agama atau kepercayaan

Lanjutan Tabel 2
1

2

Komentar
Umum 22

Hak
kebebasan Deklarasi
untuk
merayakan Universal
hari besar agama
1981
Komentar
Umum 22

Hak
kebebasan Deklarasi
untuk menetapkan Universal
pemimpin agama
1981

Komentar
Umum 22`

Hak
untuk Deklarasi
mengajarkan
dan Universal
menyebarkan ajaran 1981
agama

[Type text]

3

Paragraf
4

6

Paragraf
4

6

Paragraf
4

6

4

Pelaksanaan dan praktik agama atau
kepercayaan
mungkin tidak hanya
mencakup kegiatan-kegiatan seremonial,
tetapi juga kebiasaan-kebiasaan seperti
peraturan tentang makanan, pemakaian
pakaian tertentu atau penutup-kepala
(h) Menghormati hari-hari istrahat dan
merayakan hari-hari libur dan upacaraupacara menurut ajaran-ajaran agama atau
kepercayaan seseorang
Konsep ibadah mencakup kegiatan ritual
dan
seremonial
yang
merupakan
pengungkapan langsung dari kepercayaan
seseorang, penggunaan cara-cara dan
obyek-obyek ritual, penunjukan simbolsimbol, dan menjalankan hari raya dan hari
istirahat
(g) Memilih, menunjuk, memilih atau
mencalonkan
melalui suksesi para
pemimpin yang tepat yang diperlukan
berdasarkan persyarakat-persyaratan dan
standar-standar agama atau kepercayaan
seseorang.
Kemudian, pengamalan dan pengajaran
agama atau kepercayaan mencakup
kegiatan-kegiatan integral yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok agama berkaitan
dengan urusan-urusan mendasar mereka,
seperti
kebebasan
untuk
memilih
pemimpin agama, pendeta, dan guru
(d)
Menulis,
menerbitkan
dan
menyebarluaskan berbagai penerbitan
yang relevan di bidang-bidang ini
(e) Mengajarkan suatu agama atau
kepercayaan di tempat-tempat yang sesuai
dengan tujuan-tujuan tersebut

Lanjutan Tabel 2
1

2

Komentar
Umum 22

Hak orang tua untuk ICCPR
mendidik
agama
kepada anaknya

3

Para 4

18

Deklarasi
Universal
1981

5

ICESCR

13

UU No. 39 / 55
1999
tentang
HAM

[Type text]

4

Kemudian, pengamalan dan pengajaran
agama atau kepercayaan mencakup
kegiatan-kegiatan integral yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok agama berkaitan
dengan urusan-urusan mendasar mereka,
seperti kebebasan untuk memilih pemimpin
agama, pendeta, dan guru, kebebasan untuk
membentuk seminari atau sekolah agama
dan kebebasan untuk membuat dan
menyebarluaskan teks-teks atau publikasipublikasi agama.
(4) Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji
untuk menghormati kebebasan orang tua
dan apabila diakui, wali hukum yang sah,
untuk memastikan bahwa pendidikan agama
dan moral bagi anak-anak mereka sesuai
dengan keyakinan mereka sendiri.
(1) Orang tua atau para wali hukum anak
berhak mengatur kehidupan di dalam
keluarga sesuai dengan agama atau
kepercayaannya dan dengan mengingat
pendidikan kesusilaan dalam membimbing
semua anak hingga dewasa.
(3) Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji
untuk menghormati kebebasan orang tua
dan wali yang sah, bila ada, untuk memilih
sekolah bagi anak-anak mereka selain yang
didirikan oleh lembaga pemerintah,
sepanjang memenuhi standar minimal
pendidikan sebagaimana ditetapkan atau
disetujui oleh negara yang bersangkutan,
dan untuk memastikan bahwa pendidikan
agama dan moral anak-anak mereka sesuai
dengan keyakinan mereka.
Setiap anak berhak untuk beribadah
menurut
agamanya,
berpikir,
dan
berekspresi
sesuai
dengan
tingkat
intelektualitas dan usianya di bawah
bimbingan orang tua dan atau wali.

Lanjutan Tabel 2
1

Hak
untuk
mendirikan
dan
mengelola
organisasi
atau
perkumpulan
keagamaan
Hak menyampaikan
kepada pribadi atau
kelompok materimateri keagamaan

2

Konvensi
14
Hak
Anak
1989

UU No. 39 / 24
1999
tentang
HAM
Deklarasi
Universal
1981

6

Sumber: The Wahid Institute, 2014:9-12

3

4

(2) Pihak Negara akan menghormati hak
dan tugas orangtua serta, apabila dapat
diterapkan, perwalian resmi, untuk memberi
arahan pada anak dalam menjalankan
haknya
dengan
secara
konsisten
mempertimbangkan
kapasitas
perkembangan anak.
(1) Setiap orang berhak untuk berkumpul,
berapat, dan berserikat untuk maksudmaksud damai.

(i) mendirikan dan mengelola komunikasikomunikasi
dengan
seseorang
dan
masyarakat dalam persoalan-persoalan
agama atau kepercayaan pada tingkat
nasional dan internasional.

Pelanggaran terhadap Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
Bentuk-bentuk pelanggaran terhadap kebebasan bearagama sesuai The Wahid Institute
(2014:26-27) antara lain :
1.
Pemaksaan dengan intimidasi atau ancaman fisik, tindakan negara seperti polisi,
tentara, atau Satpol PP yang dilakukan dengan ancaman penggunaan fisik.
2.
Pemaksaan ancaman sanksi hukum, tindakan negara dengan ancaman sanksi hukum
seperti penjara, denda, tidak menerima KTP atau bentuk-bentuk administrasi lainnya.
3.
Kriminalisasi keyakinan, berupa tindakan penerapan sanksi dalam peraturan
undangan, umumnya tentang penyalahgunaan dan penodaan agama. Tindakan dapat
berbentuk penyelidikan, penyidikan, pemidanaan, penuntutan ke pengadilan hingga
pemenjaraan terhadap seorang atau sekelompok orang yang divonis melakukan
penodaan terhadap suatu agama di Indonesia.
4.
Pemaksaan dengan kebijakan. Tindakan ini merupakan praktik aparat negara yang
menerapkan sanksi hukum atau kebijakan tertentu seperti tidak mengeluarkan kartu
identitas atau mencatat akta perkawinan karena seseorang bagian dari sekte tertentu
seperti Ahmadiyah, misalnya.
5.
Pembatasan ibadah, tindakan aparat negara yang berusaha membatasi atau
menghalangi seseorang atau sekelompok orang untuk beribadah baik di rumah ibadah
atau tempat ibadah tertentu.
[Type text]

6.
7.

8.

9.
10.

Pelarangan ibadah merupakan tindakan yang melarang seseorang atau sekelompok
orang, berbentuk surat resmi pelarangan maupun tindakan pelarangan di lapangan.
Pembiaran, merupakan tindakan pengabaian atau kelalaian negara mencegah
pelanggaran atau intoleransi yang dilakukan oleh warga negara lain atas dasar agama.
Tindakan ini dapat berbentuk tidak mencegah kekerasan yang belum terjadi, tidak
melakukan upaya yang sesuai prosedur hukum untuk menghentikan kekerasan
terhadap kelompok keagamaan oleh kelompok lain, dan tidak mengambil tindakan
hukum yang semestinya terhadap para pelaku kekerasan atas nama agama baik secara
individu maupun kelompok. Dalam tindakan pembiaran ini, aparat negara biasanya
berdalih bahwa mereka tidak mampu mencegah atau menghentikan kekerasan karena
minimnya personil atau dalih untuk menghindari konflik yang lebih besar. Aparat
negara sebaliknya mengevakuasi korban kekerasan dengan dalih untuk mengamankan
mereka atau meminta korban pindah ke tempat lain agar tidak menjadi korban
kekerasan berikutnya.
Pembatasan aktivitas keagamaan, tindakan aparat negara yang berusaha membatasi
atau menghalangi seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan aktivitas
keagamaan seperti pemilihan pimpinan agama, penyebaran ajaran keagamaan, dan
lain-lain.
Pelarangan aktivitas keagamaan, berupa larangan aparat negara, resmi maupun
kebijakan di lapangan terhadap aktivitas keagamaan tertentu.
Penyegelan tempat ibadah merupakan tindakan pencabutan izin, pelarangan
penggunaan bangunan sebagai tempat ibadah dan berbagai tindakan lain yang
bertujuan agar suatu rumah ibadah tidak berdiri di satu lokasi.

Selain catatan tentang keterlibatan kepolisian dalam sejumlah tindakan aktif penyegelan,
dan pemberian izin penyegelan, banyaknya angka institusi kepolisian sebagai pelaku
tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan disebabkan oleh tugas dan fungsi
kepolisian yang pada pokoknya wajib memberikan perlindungan kepada setiap warga
negara dan jika terjadi tindakan kriminal, berupa kekerasan berbasis agama, dan polisi tidak
melakukan tindakan pencegahan, maka berarti kepolisian sudah mengabaikan tugasnya.
Demikian juga sebagai aparat penegak hukum, kepolisian seharusnya menindak dan
memproses secara hukum setiap orang yang melakukan tindakan kriminal, dan karena polisi
diam, maka polisi kembali membukukan tindakan pelanggaran akibat lalai memproses
secara hukum. Namun demikian, perlu dicatat bahwa tingginya angka bagi kepolisian
sebagai pelaku tidak berdiri sendiri. Sebagai aparat hukum, polisi umumnya menjalankan
apapun hukum/kebijakan yang diproduksi negara, sekalipun hukum/kebijakan itu
diskriminatif.
Langkah Politik Positif Negara
Satu pernyataan politik yang secara deklaratif menegaskan komitmen pemerintah dalam
memberikan jaminan kebebasan bergama/ berkeyakinan adalah pernyataan presiden Susilo
[Type text]

Bambang Yudhoyono, setelah terjadinya penyerangan oleh Front Pembela Islam (FPI)
terhadap aksi damai yang dilakukan oleh Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan (AKKBB) pada 1 Juni 2008. Waktu itu Presiden menyatakan:
Negara kita adalah negara hukum yang punya UUD, UU dan peraturan yang
berlaku. Bukan negara kekerasan. Oleh karena itu terkait insiden kekerasan
kemarin, saya minta hukum ditegakkan. Pelaku-pelakunya diproses secara
hukum diberikan sanksi hukum yang tepat. Ini menunjukkan negara tidak boleh
kalah dengan perilaku-perilaku kekerasan. Negara harus menegakkan tatanan
yang berlaku untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan. Negara harus menegakkan
tatanan yang berlaku untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia,
Sikap pemerintah merespon peristiwa 1 Juni 2008, harus diakui merupakan dukungan politik
yang sangat besar bagi Polri untuk menuntaskan aksi kekerasan yang dilatarbelakangi oleh
isu kebebasan beragama/ berkeya-kinan. Vonis terhadap Rizieq Shihab dan Munarman
sebagai aktor pelaku kekerasan telah melemahkan modal sosial gerakan FPI dan sejenisnya.
Namun demikian, pilihan pemerintah mengeluarkan SKB Pembatasan Ahmadiyah (Surat
Keputusan Bersama Tiga Menteri Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008,
Nomor: 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/
atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat), yang
hanya berselang 8 hari dari peristiwa ini, justru kembali memperkuat modal sosial gerakan
Islam yang selama ini menekan pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah.
Presiden Joko Widodo melalui Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, sebagaimana diberitakan
oleh Tempo.co (31 Maret 2016), bahwa Presiden meminta kepada Polri agar bersikap tegas
kepada kelompok intoleran. Hal tersebut berkaitan dengan kejadian beberapa waktu
sebelumnya, terdapat kelompok masyarakat yang melarang suatu kegiatan yang dilakukan
oleh masyarakat dengan alasan berkaitan dengan ajaran komunis dan akhirnya dibubarkan
oleh polisi.
Tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan
sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi dan hukum nasional Indonesia, antara lain:
1.

UUD 1945, pasal 29: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaan itu.

2.

UUD 1945, pasal 28I, ayat 4: Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

3.

UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, pasal 71: Pemerintah wajib dan bertanggung
jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak-hak asasi manusia

[Type text]

yang diatur dalam UU ini, peraturan-perundangan lain, dan hukum internasional
tentang HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia.
4.

UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and
Politcal Rights, pasal 2: Negara bertindak menghormati dan memberi jaminan bagi
setiap individu yang hidup dalam wilayahnya dan yang merupakan subyek dalam
jurisdiksinya hak-hak yang tercantum dalam Kovenan ini tanpa pembedaan dalam
bentuk apapun, seperti atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pandangan politik atau lainnya, asal-muasal sosial atau kebangsaan, properti,
kelahiran, atau status lainnya.

5.

UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, pasal 16: Negara
akan mengambil langkah untuk mencegah terjadinya bentuk-bentuk perlakuan atau
penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat di seluruh
wilayah dalam jurisdiksinya, ketika tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh atau
dengan dipicu oleh atau dengan persetujuan atau dukungan dari seorang pejabat
publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat publik.

Tindakan Polisi
Secara jamak yang dilakukan Polisi selama ini dalam menyikapi tindakan intoleransi adalah
ikut serta dalam tindakan intoleransi tersebut dalam bentuk; ikut serta
mendesak/membatasi/melarang/membubarkan (secara halus), kegiatan keagamaan atau
kegiatan yang dianggap menodai/tidak menghormati hari keagamaan oleh suatu kelompok
masyarakat,
dengan
alasan
untuk
mencegah
kemungkinan
terjadinya
bentrokan/kerusuhan/perusakan oleh kelompok masyarakat penentang tersebut.
Sikap/alasan tindakan Polisi seperti hal tersebut, menjadi sangat umum dilakukan, apalagi
jika berhadapan dengan ormas/golongan agama mayoritas dan menyangkut isu yang
sensitif. Sikap Polisi tersebut kemungkinan diakibatkan karena:
1.

Kurangnya pemahaman terhadap ketentuan (peraturan perundang-undangan) yang
menjadikannya gamang dan akhirnya cenderung mengikuti arus yang besar;

2.

Ketidaksiapan Polisi dalam menyikapi tindakan intoleransi sebagai akibat dari
kurangnya informasi dan berdampak dalam kurangnya personil Polri untuk
mengantisipasinya;

3.

Ketidaknetralan Polisi. Dalam hal ini, tindakan Polisi dipengaruhi oleh latar belakang
keyakinannya (keyakinan agamanya) ataupun hubungan relasi Polisi dengan
kelompok/agama/keyakinan atau orang dalam kelompok tersebut.

Dengan demikian, menjadi kewajiban Pimpinan Polri dan segenap anggota Polri untuk
meningkatkan profesionalisme dan netralitas dalam penanganan pelanggaran kebebasan
beragama dan intoleransi, lebih bertindak tegas dalam penegakan hukum terhadap
[Type text]

siapapun yang melakukan pelanggaran apapun agama dan keyakinannya, dan wajib tanpa
terkecuali memberikan perlindungan kepada setiap warga negara yang mengalami
kekerasan akibat persekusi dan intoleransi. Profesionalisme Polri dengan jalan
meningkatkan pendidikan hak asasi manusia dan peningkatan kapasitas aparatnya,
khususnya dalam konteks memberikan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan.
Polisi tidak lagi menggunakan alasan demi menjaga ketertiban namun pada saat yang sama
mengorbankan hak dan kebebasan beragama kelompok minoritas, atau kelompok
manapun.
Sekian.

Daftar bacaan:
Chryhnanda, 2009. Polisi Penjaga Kehidupan, YPKIK, Jakarta.
Djamin, Awaloedin, 2011. Sistem Administrasi Kepolisian, YPKIK, Jakarta.
Hasani, Ismail, 2008. Berpihak dan Bertindak Intoleran, Laporan Kondisi
Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008, Intoleransi Masyarakat dan Restriksi
Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Setara Institute,
Jakarta.
Muhammad, Farouk, Menuju Reformasi Polri, PTIK Press dan Restu Agung, Jakarta.
Sekretariat Negara RI, 1992, Risalah Sidang BPUPKI, Koperasi Sekretariat Negara RI, Jakarta.
The Wahi