Analisa Yuridis Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dalam Pemeriksaan Keuangan Daerah

(1)

ANALISA YURIDIS KEWENANGAN BADAN PEMERIKSA

KEUANGAN (BPK) DALAM PEMERIKSAAN

KEUANGAN DAERAH

TESIS

Oleh

ERIANUR 067005029/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISA YURIDIS KEWENANGAN BADAN PEMERIKSA

KEUANGAN (BPK) DALAM PEMERIKSAAN

KEUANGAN DAERAH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

ERIANUR 067005029/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : ANALISA YURIDIS KEWENANGAN BADAN PEMERIKSA (BPK) KEUANGAN DALAM PEMERIKSAAN KEUANGAN DAERAH

Nama Mahasiswa : Erianur Nomor Pokok : 067005029 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Muhammad Abduh, SH) Ketua

(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D e k a n

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 23 Juli 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH

Anggota : 1. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS 2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Potensi daerah selama ini terpusat pada suatu titik pemerintahan (sentralisasi), telah bergeser melalui pintu otonomi daerah, dengan terbaginya pengelolaan potensi ke daerah-daerah yang ada (desentralisasi). Beralihnya pola pemerintahan tersebut telah melahirkan sebuah konsep pembangunan yang arahnya adalah meningkatkan peran serta masyarakat untuk pembangunan. Pemberian kewenangan penuh untuk mengelola, mengatur dan memanfaatkan keuangan daerah. Peluang ini menjadi kesempatan bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk membangun daerah-daerah tertinggal, dan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi yang saat ini diyakini sebagai indikator yang sahih mengukur tingkat kemakmuran. Pelaksanaan akuntabilitas dan transparansi keuangan negara diwujudkan dengan berjalan dan berfungsinya peran auditor, atau pemeriksa keuangan negara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga tinggi negara yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah seiring perkembangan telah menyikapi hal tersebut. Sebagai lembaga tinggi negara yang independen, bertugas untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara dan selanjutnya memeriksa semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki otoritas dalam menjalankan fungsinya.

Penelitian pada tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat

deskriptif analitis, dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu

penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan penelahaan terhadap bahan-bahan hukum yang bersumber dari data sekunder, dengan teknik pengumpul data melalui studi dokumen, dengan penelusuran kepustakaan (library research). Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan (library research) dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa Perimbangan Keuangan Negara dan Daerah setelah Reformasi adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Pengelolaan APBD dalam Pelaksanaan Otonomi merupakan Pengelolaan keuangan daerah yang dijabat oleh kepala pemerintahan daerah, karena keuangan daerah merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah. Sehingga diperlukan kecakapan yang tinggi bagi pimpinan daerah agar pengelolaan dan terutama alokasi dari keuangan daerah dilakukan secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan pembangunan daerah. Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan selaku pejabat pengelola APBD, dan kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah

Norma Pemeriksaan APBD oleh BPK didasarkan kepada ketentuan dalam UU BPK yang menyatakan BPK memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara


(6)

lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara”. Kewenangan Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Sesuai wewenangnya BPK dapat melakukan tiga macam pemeriksaan. Pertama, Pemeriksaan Keuangan; yakni pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah, dalam rangka memberikan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Kedua, Pemeriksaan Kinerja; yakni pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengidentifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian DPR, DPD dan DPRD. Ketiga, Pemeriksaan dengan tujuan tertentu; yakni pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah


(7)

ABSTRACT

Local potensial which used to be focused on one division in central government (centralization) has shifted through the local autonomy act which transfers the potential management to the existing local governments (decentralization). This transfer of authority has resulted in a concept of development intended to improve the role and participation of community in a development and the local governments are given a full authority to manage, arrange, and utilize their finance. This opportunity provides a chance to the local governments to develop the less –developed regions and pushes the acceleration of economic growth which is currently believed as a valid indicator in measuring the level of community welfare. The implementation of accountability and transparency of state finance is materialized in line with the active role and function of state finance is inspectors. BPK (Finance Investigating Body), as a higher institution of the state which is free from the influence and power of the government, in line with the development process, has responded to it. As an independent higher institution og the state, BPK has an authority to implement its function an is assigned to investigate the government’s responsibility for state finance and then also investigates all of the implementation of National Revenue and Expenditure Budget (APBN)

This is an analytical descriptive legal study with normative juridical approach; a research conducted by studying the legal materials originated from the secondary data obtained through documentation study or library research. These data obtained through library research were analyzed through the qualitative analysis method.

The result of this study revealed that the Post-reformation State-Local Finance Balance was a system of just, proportional, democratic, transparent, and liable finance distribution in the framework of funding the organizing of decentralization by considering local potential, condition, and needs ang the amount of funding for organizing deco-centralization and supporting tasks.

The management of APBD (National Revenue and Expenditure Budget) in Autonomy Implementation is the management of local administration finance headed by the Head of Local Government because local administration finance is part of the local government authority. For this purpose, a highly capable local government head is needed to achieve an effective and efficient management of finance allocation to meet the objectives of local development. The authority of local financial management is implemented by the chairman of the task force of financial manager in his capacity as the axecutive manager of APBD (Nation revenue and expenditure Budget), and the chairman of the task force of local government apparatus in his capacity as the officer using the local budget/assets.

The norms of APBD Investigation by BPK is based on the stipulation in Law on Finance Investigating Body (BPK) stating that BPK investigates the management and responsibility of state finance held by Central Government, Local Government, and the other State Institutions such as Bank Indonesia, State-owned Enterprises,


(8)

Public Service Institutions, Local Government-owned Enterprises, and the other institutions or bodies managing state finance. The investigation authority of BPK includes finance investigation, performance investigation, and other investigations with specific purposes. Based on its authority, BPK can do three kinds of investigations. First, Finance Investigation, a task to investigate the government’s financial report to generate an opinion about the level of the naturalness of the information presented in the government’s financial report. Second, Performance Investigation, a task to investigate the economic aspect, the aspects of efficiency and effectiveness intended to identity the issues which must be paid attention by DPR, DPD and DPRD. Third, Investigation for specific purpose is an investigation done for specipic purpose other than investigating financial affairs and performance. The investigation for specific purpose includes the investigation of other issues related to finance, investigative examination, and investigating the government’s internal control system.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul Tesis penelitian ini adalah: “ ANALISA YURIDIS KEWENANGAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DALAM PEMERIKSAAN KEUANGAN DAERAH ”. Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Muhammad Abduh, SH., Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS., Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum., Dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada:


(10)

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.

2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, sebagai Komisi Penguji, Sekaligus sebagai Sekretaris Ilmu Hukum penulis, yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran kepada penulis.

5. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum., sebagai Komisi Penguji yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan yang sangat penting kepada penulis.

6. Kepada Kedua Orang Tua tercinta yang semasa hidupnya mendidik dengan penuh rasa kasih sayang.

7. Istri tercinta Ria Lestari, yang penuh rasa kasih sayang dan senantiasa memberi semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini


(11)

8. Kepada Abang , Kakak dan Adik Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan Doa dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

9. Kepada Rekan-rekan di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Beserta seluruh Staff Ilmu Hukum terima kasih atas segala bantuan selama penulis mengikuti perkuliahan, semoga Tuhan Membalas kebaikan yang berlipat ganda, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, Mei 2010

Penulis,


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Erianur

Tempat/Tanggal Lahir : Mns Timu, 26 Maret 1961 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS PTTUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara)

Alamat : Jl. Rinte Raya No.130 Komp Kejaksaan Simpang Selayang Medan 20135

Pendidikan : SD Negeri Tamat Tahun 1974 SMP Negeri Tamat Tahun 1977 SMU Negeri Tamat Tahun 1981

Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Medan Tamat Tahun 1987

Strata Dua (S2) Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2010

Istri : Ria Lestari Anak : Edmuntdo


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 11

1. Kerangka Teori... 11


(14)

G. Metodelogi Penelitian ... 22

1. Jenis Penelitian... 22

2. Teknik Pengumpul Data... 25

3. Analisis Data ... 26

4. Sistematika Penulisan ... 26

BAB II : PERIMBANGAN KEUANGAN NEGARA DAN DAERAH SETELAH REFORMASI... ... 27

A. Keuangan Negara ... 27

B. Keuangan Daerah... ... 34

1. Perbandingan APBD Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah.. 35

2. Pemeriksaan Atas Tanggungjawab Keuangan Daerah... 40

C. Perimbangan Keuangan Negara dan Daerah Setelah Reformasi... ... 42

BAB III : PENGELOLAAN KEUANGAN APBD DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH... 54

A. Pengelolaan Keuangan Daerah ... 54

B. Pengelolaan Keuangan APBD dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah ... 70


(15)

C. Penggunaan dan Pengelolaan Administrasi Anggaran ... 97

1. Penggunaan Administrasi Anggaran Keuangan Negara... 97

2. Pertanggungjawaban Anggaran Keuangan Negara Dan Daerah... 108

BAB IV : NORMA PEMERIKSAAN APBD OLEH BADAN PEMERIKSA KEUANGAN... 128

A. Norma Pemeriksaan APBD oleh Badan Pemeriksa Keuangan ... 128

B. Mekanisme Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Terhadap Keuangan Daerah... 136

BAB V : PENUTUP... 148

A. Kesimpulan ... 148

B. Saran... 151


(16)

ABSTRAK

Potensi daerah selama ini terpusat pada suatu titik pemerintahan (sentralisasi), telah bergeser melalui pintu otonomi daerah, dengan terbaginya pengelolaan potensi ke daerah-daerah yang ada (desentralisasi). Beralihnya pola pemerintahan tersebut telah melahirkan sebuah konsep pembangunan yang arahnya adalah meningkatkan peran serta masyarakat untuk pembangunan. Pemberian kewenangan penuh untuk mengelola, mengatur dan memanfaatkan keuangan daerah. Peluang ini menjadi kesempatan bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk membangun daerah-daerah tertinggal, dan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi yang saat ini diyakini sebagai indikator yang sahih mengukur tingkat kemakmuran. Pelaksanaan akuntabilitas dan transparansi keuangan negara diwujudkan dengan berjalan dan berfungsinya peran auditor, atau pemeriksa keuangan negara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga tinggi negara yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah seiring perkembangan telah menyikapi hal tersebut. Sebagai lembaga tinggi negara yang independen, bertugas untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara dan selanjutnya memeriksa semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki otoritas dalam menjalankan fungsinya.

Penelitian pada tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat

deskriptif analitis, dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu

penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan penelahaan terhadap bahan-bahan hukum yang bersumber dari data sekunder, dengan teknik pengumpul data melalui studi dokumen, dengan penelusuran kepustakaan (library research). Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan (library research) dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa Perimbangan Keuangan Negara dan Daerah setelah Reformasi adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Pengelolaan APBD dalam Pelaksanaan Otonomi merupakan Pengelolaan keuangan daerah yang dijabat oleh kepala pemerintahan daerah, karena keuangan daerah merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah. Sehingga diperlukan kecakapan yang tinggi bagi pimpinan daerah agar pengelolaan dan terutama alokasi dari keuangan daerah dilakukan secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan pembangunan daerah. Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan selaku pejabat pengelola APBD, dan kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah

Norma Pemeriksaan APBD oleh BPK didasarkan kepada ketentuan dalam UU BPK yang menyatakan BPK memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara


(17)

lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara”. Kewenangan Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Sesuai wewenangnya BPK dapat melakukan tiga macam pemeriksaan. Pertama, Pemeriksaan Keuangan; yakni pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah, dalam rangka memberikan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Kedua, Pemeriksaan Kinerja; yakni pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengidentifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian DPR, DPD dan DPRD. Ketiga, Pemeriksaan dengan tujuan tertentu; yakni pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah


(18)

ABSTRACT

Local potensial which used to be focused on one division in central government (centralization) has shifted through the local autonomy act which transfers the potential management to the existing local governments (decentralization). This transfer of authority has resulted in a concept of development intended to improve the role and participation of community in a development and the local governments are given a full authority to manage, arrange, and utilize their finance. This opportunity provides a chance to the local governments to develop the less –developed regions and pushes the acceleration of economic growth which is currently believed as a valid indicator in measuring the level of community welfare. The implementation of accountability and transparency of state finance is materialized in line with the active role and function of state finance is inspectors. BPK (Finance Investigating Body), as a higher institution of the state which is free from the influence and power of the government, in line with the development process, has responded to it. As an independent higher institution og the state, BPK has an authority to implement its function an is assigned to investigate the government’s responsibility for state finance and then also investigates all of the implementation of National Revenue and Expenditure Budget (APBN)

This is an analytical descriptive legal study with normative juridical approach; a research conducted by studying the legal materials originated from the secondary data obtained through documentation study or library research. These data obtained through library research were analyzed through the qualitative analysis method.

The result of this study revealed that the Post-reformation State-Local Finance Balance was a system of just, proportional, democratic, transparent, and liable finance distribution in the framework of funding the organizing of decentralization by considering local potential, condition, and needs ang the amount of funding for organizing deco-centralization and supporting tasks.

The management of APBD (National Revenue and Expenditure Budget) in Autonomy Implementation is the management of local administration finance headed by the Head of Local Government because local administration finance is part of the local government authority. For this purpose, a highly capable local government head is needed to achieve an effective and efficient management of finance allocation to meet the objectives of local development. The authority of local financial management is implemented by the chairman of the task force of financial manager in his capacity as the axecutive manager of APBD (Nation revenue and expenditure Budget), and the chairman of the task force of local government apparatus in his capacity as the officer using the local budget/assets.

The norms of APBD Investigation by BPK is based on the stipulation in Law on Finance Investigating Body (BPK) stating that BPK investigates the management and responsibility of state finance held by Central Government, Local Government, and the other State Institutions such as Bank Indonesia, State-owned Enterprises,


(19)

Public Service Institutions, Local Government-owned Enterprises, and the other institutions or bodies managing state finance. The investigation authority of BPK includes finance investigation, performance investigation, and other investigations with specific purposes. Based on its authority, BPK can do three kinds of investigations. First, Finance Investigation, a task to investigate the government’s financial report to generate an opinion about the level of the naturalness of the information presented in the government’s financial report. Second, Performance Investigation, a task to investigate the economic aspect, the aspects of efficiency and effectiveness intended to identity the issues which must be paid attention by DPR, DPD and DPRD. Third, Investigation for specific purpose is an investigation done for specipic purpose other than investigating financial affairs and performance. The investigation for specific purpose includes the investigation of other issues related to finance, investigative examination, and investigating the government’s internal control system.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan derasnya arus reformasi, sempat terfikir bagi beberapa daerah untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hal ini dipicu oleh perlakuan tidak adil oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah.

Sebagai wujud akomodasi dari tuntutan daerah tersebut pemerintahan Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Disahkannya dan diberlakukannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undnag Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, telah membuka seluasnya kesempatan bagi daerah-daerah di seluruh Indonesia untuk melaksanakan otonomi daerah.

Potensi daerah yang selama ini terpusat pada suatu titik pemerintahan

(sentralisasi), sekarang ini telah bergeser melalui pintu otonomi daerah, dengan


(21)

Beralihnya pola pemerintahan tersebut telah melahirkan sebuah konsep pembangunan yang arahnya adalah meningkatkan peran serta masyarakat untuk pembangunan.1

Pemberian kewenangan penuh untuk mengelola, mengatur dan memanfaatkan keuangan daerah menjadi peluang sekaligus tantangan bagi daerah. Ketimpangan pembangunan pada masa orde baru, diyakini berbagai pihak dipicu sebagai akibat pembagian jatah daerah yang timpang pula.

Peluang ini menjadi kesempatan bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk membangun daerah-daerah tertinggal, dan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi yang saat ini diyakini sebagai indikator yang sahih mengukur tingkat kemakmuran.

Buruknya tata kelola keuangan negara pada masa Orde Baru adalah merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997-1998. Belum terwujudnya transparansi dan akuntabilitas fiskal sekaligus merupakan salah satu faktor penyebab dan belum terwujudnya Good Governance, karena selama ini kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah dirasakan masih terlalu lemah.2

Tuntutan transparansi dan akuntabilitas publik atas penyelenggaraan negara menguat sejak bergulirnya gerakan reformasi, yang dipelopori oleh para mahasiswa, demikian juga transparansi dan akuntabilitas atas keuangan negara diperlukan untuk

1

Djoko Sudantoko, Dilema Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Andi, 2002), hlm. 20. 2

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, (Yogyakarta: Andi, 2002), hlm. 168.


(22)

mewujudkan perbaikan sistem sosial Indonesia, terutama sejak era reformasi setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru.

Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, telah membuka seluasnya kesempatan bagi para pejabat daerah untuk mengeksploitasi potensi kekayaan daerah.

Pengeksploitasian potensi kekayan daerah, yang seyogyanya dipergunakan untuk memperoleh pendanaan bagi daerah dalam bentuk penggalian potensi-potensi yang ada sebagai sumber keuangan daerah sudah selayaknya dalam pengelolaannya dipertanggung jawabkan secara transparan kepada masyarakat.

Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah (PP) No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 157 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, jo Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menegaskan bahwa: “sumber-sumber pendapatan/penerimaan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah”.


(23)

Sumber pendapatan asli daerah sebagai penunjang penyelenggaraan daerah terdiri dari :3

a. Pajak daerah

b. Retribusi jasa umum; c. Perusahaan daerah d. Dinas daerah

e. Pendapaan daerah lainnya

Berkaitan dengan retribusi sebagai sumber andalan Pendapatan Asli Daerah, di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Berkaitan dengan retribusi jasa umum diatur lebih lanjut tentang jenis retribusi berdasarkan 3 (tiga) penggolongan di atas, Jenis-Jenis retribusi jasa umum menurut Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001, yaitu:

“Retribusi pelayanan kesehatan, retribusi pelayanan persampahan atau kebersihan, retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akta catatan sipil, retribusi pelayanan pemakaman dan penguburan mayat, retribusi pelayanan parker di tepi jalan umum, retribusi pelayanan pasar, retribusi pengujian kendaraan bermotor, retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran, retribusi penggantian biaya cetak peta, dan retribusi pengujian kapal perikanan”.

Mekanisme pengelolaan keuangan daerah, saat ini menjadi salah satu yang mendapat sorotan paling tajam. Dari hasil pemeriksaan Semester II Tahun 2009, dengan pemeriksaan atas 189 laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) 2008, yang belum diperiksa pada semester I Tahun 2009, terdiri atas pengelolaan dan

3

Josep Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 143.


(24)

tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, BHMN/BLU, yang seluruhnya berjumlah 769 objek dengan 10.498 temuan senilai Rp. 46,55 Triliun.

“Menyimak informasi hasil pemeriksaan yang telah dilakukan BPK selama tahun 2009 dalam semester I dan II mampu melakukan pemeriksaan sebanyak 189 entitas Laporan Keuangan Tahun Buku Anggaran 2008 dengan cakupan asset sebesar Rp 14,81 triliun. Adapun hasil pemeriksaan kinerja tahun 2009 sebanyak 189 entitas meliputi anggaran 2007, 2008 dengan nilai yang diperiksa sebesar Rp. 46,55 triliun.4

Hasil ini merupakan prestasi yang bisa terbilang luar biasa bagi BPK. Kemampuan BPK selayaknya dapat dioptimalkan, jika fungsi BPK dapat secara intens mendorong pihak Inspektorat Daerah/Badan Pengawas Daerah (Bawasda) melakukan fungsi yang sama dengan BPK, maka fungsi pengawasan dapat berjalan sesuai aturan dan keinginan publik. Keterbatasan Bawasda pada daerah sejatinya dapat dipahami. Auditor pemda ini, secara garis hirarkis organisasi bertanggung jawab kepada kepala daerah.

Inspektorat Daerah/Badan Pengawas Daerah (Bawasda) yang kerap disebut dengan auditor Pemda selalu terbentur dengan alasan klasik tersebut. Jika disimak sepak terjang internal auditor Pemda umumnya terkesan bersikap feminimisme, ketika berhadapan dengan organisasi yang sejajar dengan kedudukannya. Ketika berhadapan dengan kepala daerah atau anggota legislatif, amanah rakyat yang dipegangnya luntur saat itu juga.

4

BPK,Diduga ketidak patuhan terhadap peraturan perundang-undangan mengakibatkan potensi kerugian negara dan kekurangan penerimaan negara, www.bpk.go.ide, hlm. 1


(25)

Sampai saat ini belum ada auditor pemda yang pernah menyeret Gubernur ataupun Bupati/Walikota ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan penyelewengan keuangan daerah. Menyikapi hal ini, pemerintah meninjau kembali kedudukan auditor pemda yang bertanggungjawab kepada BPK atau anggota legislatif.

Keterbatasan BPK sebagai auditor menjangkau seluruh instansi Pemda perlu mendapat perhatian. Dalam UUD 1945, memang ditegaskan bahwa perwakilan BPK ditempatkan di setiap ibukota propinsi, namun saat ini tingkat kebocoran uang negara sudah mencapai angka yang sangat mengkhawatirkan. Dari tahun ke tahun, hasil pemeriksaan BPK semakin banyak saja temuan-temuan penyelewengan keuangan negara yang sudah saatnya harus diminimalkan bahkan kalau bisa dihapuskan.

Pelaksanaan akuntabilitas dan transparansi keuangan negara diwujudkan dengan berjalan dan berfungsinya peran auditor, atau pemeriksa keuangan negara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga tinggi negara yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah seiring perkembangan telah menyikapi hal tersebut. Sebagai lembaga tinggi negara yang independen, BPK yang lahir melalui UUD 1945 yang selanjutnya dipertegas dengan UU Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang Nomr 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, adalah lembaga yang bertugas untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara dan selanjutnya memeriksa semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki otoritas dalam menjalankan fungsinya.


(26)

Ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No.15 tahun 2006 tentang BPK, menyebutkan: “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara”.

UUD Republik Indonesia memberikan posisi yang sangat tinggi pada BPK sebagai suatu lembaga negara sendiri. Tugas BPK adalah untuk memelihara transparansi dan akuntabilitas seluruh aspek keuangan negara.

BPK bertugas untuk memeriksa semua asal usul dan besarnya penerimaan negara dari manapun sumbernya. BPK bertugas untuk memeriksa dimana uang negara itu disimpan, sekaligus bertugas memeriksa untuk apa uang negara tersebut dipergunakan.

Keuangan negara di Indonesia bukan saja tercermin pada APBN dan APBD, Keuangan negara itu juga tercermin pada kegiatan BUMN dan BUMD, Yayasan, Dana Pensiun, maupun perusahaan yang terkait dengan kedinasan. Bahkan, keuangan negara juga mencakup bantuan atau subsidi kepada lembaga sosial milik swasta.

Tujuan pemeriksaan BPK adalah untuk memperbaiki tata kelola keuangan negara yang kurang baik selama masa pemerintahan Orde Baru. Perbaikan tata kelola


(27)

keuangan negara tercermin dalam paket tiga Undang-undang Keuangan Negara tahun 2003-2004.5

Pengelolaan keuangan daerah menjadi tantangan baru yang dihadapi oleh pemerintah. Sebagaimana yang sudah dimaklumi, bahwa tingkat korupsi yang tinggi menjadi salah satu masalah di berbagai negara merupakan masalah dasar yang harus diselesaikan.6 Pemeriksaan keuangan yang dipergunakan oleh Pemerintah Daerah selama ini dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang ada di daerah, seperti Badan Pengawas Daerah yang merupakan perangkat pemerintahan daerah yang melaksanakan tugas atas penyerahan tugas oleh kepala daerah.

Namun mengingat pemeriksaan keuangan oleh perangkat yang ada di daerah tersebut, selama ini terkesan hasil dari pemeriksaan tersebut tidak akurat, dan tidak diketahui oleh publik, sehingga hal ini menimbulkan kecurigaan adanya ”main mata” antara pengguna keuangan dengan pemeriksa keuangan yang ada di daerah.

Padahal menurut peraturan yang ada, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dijelaskan dalam BAB I bagian pertama: “Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan

5

Anwar Nasution, “Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Peranan BPK Dalam Mewujudkan Cita-Cita Reformasi Sistem Sosial Indonesia.” Pidato Ulang Tahun ke-60, Badan Pemeriksa Keuangan, 8 Januari 2007, Jakarta, hlm 1, Ketiga Undang-Undang mengenai Keuangan negara itu adalah masing-masing: (i) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (ii) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan (iii) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

6

Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintahan Daerah, (Jakarta: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hlm. 56.


(28)

kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggung jawaban, dan pengawasan keuangan daerah”.

Keuangan daerah dalam pengelolaanya harus dipisahkan antara pengelolaan dan pengawasan keuangan daerah. Hal ini membuka peluang untuk berkolusi antara pejabat pengelola dan pengawasan keuangan daerah.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa BPK memiliki peran yang cukup penting dalam mengatur kondisi fiskal di Indonesia, termasuk keuangan daerah. Oleh karena itulah timbul ketertarikan melakukan penelitian yang berjudul: “Analisa Yuridis Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam Pemeriksaan Keuangan Daerah”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang dinilai dapat memenuhi unsur-unsur dalam penelitian tesis ini nantinya, permasalahan yang diangkat adalah:

1. Bagaimana Perimbangan Keuangan Negara dan Daerah setelah Reformasi? 2. Bagaimana Pengelolaan Keuangan APBD dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah? 3. Bagaimana Norma Pemeriksaan APBD oleh Badan Pemeriksa Keuangan ?

C. Tujuan Penelitian

Pengkajian dan penelitian yang disusun adalah berusaha untuk menemukan konsepsi yang tepat mengenai Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)


(29)

Dalam Pemeriksaan Keuangan Daerah, dengan konsepsi yang diprediksikan tersebut, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk Mengetahui Perimbangan Keuangan Negara dan Daerah setelah Reformasi.

2. Untuk mengetahui Pengelolaan APBD dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. 3. Untuk Mengetahui Norma Pemeriksaan APBD oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, menjadi sumbangan pemikiran dalam pengkajian dan pengembangan khasanah ilmu pengetahuan hukum, khususnya bagi penemuan konsepsi yang tepat mengenai pengaturan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Pemeriksaan Keuangan Daerah.

2. Secara Praktis menjadi sumbangan pemikiran bagi para perumus atau pengambil kebijakan (law making process) pada tataran pemerintah daerah. Khususnya mengenai optimalisasi kewenangan BPK dalam pemeriksaan Keuangan Daerah yang dapat menciptakan pengelolaan keuangan daerah yang bersih dan baik (good

and clean governance).

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan baik di perpustakaan Universitas Sumatera Utara yang diamati, penelitian yang mengangkat judul “Analisa Yuridis Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam


(30)

Pemeriksaan Keuangan Daerah”, ini belum pernah dilakukan baik dalam judul dan permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya pertanggung jawabkan, karena dilakukan dengan menjunjung tinggi keilmuan, rasionalitas, objektifitas, terbuka dan dapat dipertangungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka teori

Untuk mengkaji mengenai kewenangan dalam konteks penelitian dalam pemeriksaan keuangan daerah oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga tinggi negara yang independen, yang keberadaanya ditegaskan dalam UUD 1945, dapat dikategorikan sebagai sub sistem dari pemerintahan negara hukum, yang bersusun negara kesatuan, oleh karena itu dalam membicarakan pemerintahan daerah dan penggunaan keuangan daerah, sudah tentu harus berada dalam kerangka negara kesatuan pula, dengan demikian akan dipergunakan teori negara hukum sebagai teori utamanya (Grand Theory) sedangkan pengaplikasiannya mempergunakan teori pengawasan (Aplied Theory).

Bagir Manan dalam Lilik Mulyadi, menegaskan ciri-ciri minimal dari suatu negara berdasarkan atas hukum, pada azasnya secara substansial berdasarkan aspek-aspek sebagai berikut:

a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum;

b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya;

c. Ada lembaga yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap masyarakat;


(31)

d. Ada Pembagian kekuasaan.7

Berdasarkan rumusan di atas mengandung beberapa unsur yang merupakan unsur dari negara hukum.

Unsur pertama, dikenal dengan asas legalitas, yaitu pemerintahan menurut undang-undang (wetmatigeheid van het bestuur). Dimana setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan kepada undang-undang dan undang-undang dasar. Indonesia sebagai negara hukum juga tidak lepas dari pengaruh perkembangan ini, sebagaimana terlihat dari penjelasan UUD 1945 sebagaimana yang diintrodusir oleh Sri Sumantri bahwa:

”... dalam menjalankan tugas dan kewajibannya (pemerintah) harus selalu berpijak pada undang-undang dasar dan peraturan perundang-undangan lain. Dengan perkataan lain aparatur negara mulai dari presiden hingga aparatur di bawahnya menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan yang ditentukan dalam peraturan”.8

Unsur kedua mengharuskan adanya jaminan hak-hak asasi manusia atau warga negara dicantumkan dalam undang-undang dasar. Unsur ketiga keharusan adanya pembagian kekuasaan negara.9

Berdasarkan unsur negara hukum yang telah disebutkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa, semua tindakan (termasuk pemerintah) harus berdasarkan

7

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 10.

8

Sri Sumantri, M, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 29-30

9

Unsur ini adalah perkembangan lebih lanjut dari pemikiran John Locke tahun 1960 yang membagi kekuasaan kepada: (1) Kekuasaan membentuk Undang-undang (Legislative Power), (2) Kekuasaan melaksanakan undang-undang (Executive Power), dan ke (3) kekuasaan federatif

(Federative Power), Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap tindakan


(32)

hukum, serta adanya pembagian tugas yang jelas dalam pemerintahan, baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah.

Pelaksanaan pengawasan terhadap pemerintah ditentukan oleh beberapa teori konsekwensi pengawasan yang berpeluang dapat menjelaskan penyebab keberhasilan dan kegagalan atau efektivitas suatu sistem pengawasan. pertama teori kekuatan yuridis, kedua teori tipe pengawasan, ketiga teori otoritas pengawasan, keempat teori komunikasi, kelima teori publisitas, keenam teori arogansi kekuasaan.

Dalam teori tipe pengawasan dikenal dua tipe pengawasan yang paling menonjol yaitu: pengawasan represif, yang diartikan sebagai teori pengawasan yang menggunakan cara memaksa dan mengancam dengan sanksi untuk mencapai tujuannya. Selanjutnya Pengawasan normatif, yang dimaksudkan sebagai bentuk pengawasan yang menggunakan cara sinkronisasi pemahaman nilai-nilai dan tujuan.

Untuk teori otoritas pengawasan mencakup: a) keabsahan (legitimiteit), pengawasan yang dilakukan oleh badan yang diakui berwenang, b) Pengawasan dengan menggunakan suatu keahlian (deskunding heid), c) Pengawasan yang mendapat kepercayaan (geloof), d) kesadaran hukum (rechtsbewustzijn).10

2. Kerangka Konsepsional

Dipandang dari sudut Hukum Tata Negara, masalah pemerintahan daerah merupakan variannya dalam penelitian ini yang berkaitan dengan masalah keuangan daerah, dan dapat dikatakan merupakan subsistem dari sistem pemerintahan Negara.

10


(33)

Di dalam suatu kehidupan Negara, apabila Negara mempunyai wilayah yang sangat luas, dan jumlah penduduk yang sangat banyak, maka persoalan yang amat penting adalah bagaimana menata organisasi negara tersebut bisa menjadi lebih efektif dan efisien dalam pembagian wewenang atau kekuasaan yang ada pada pusat-pusat pemerintahan sampai ke daerah-daerah.

Penataan ini menjadi penting apabila diingat bahwa semua urusan-urusan pemerintah itu tidak dijalankan seluruhnya oleh suatu pemerintahan terpusat yang dikendalikan oleh beberapa orang yang menduduki jabatan-jabatan strategis pada pusat-pusat pemerintahan.

Meskipun tidak dapat disangkal bahwa pelaksanaan sentralisasi kekuasaan pada satu sisi memberikan kemudahan-kemudahan dalam proses pegambilan keputusan, yaitu sebuah keputusan dapat diambil sesegera dan secepat mungkin oleh satu badan atau orang yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkannya, dan di samping itu merupakan sarana yang amat penting bagi menjaga keutuhan suatu negara. Namun seperti dikatakan oleh Mariun,11 ”bahwa dalam pelaksanaan bidang-bidang tugas-tugas tertentu, sistem sentralisasi ini tidak menjamin kesesuaian tindakan-tindakan pemerintah dengan keadaan-keadaan khusus di Daerah-daerah”. Hal ini mengingatkan negara dengan wilayah yang sedemikian luasnya, memiliki heterogenitas kepentingan dari masing-masing wilayah yang cukup beragam. Dengan demikian bila sentralisasi ini dijalankan secara kaku, niscaya akan menimbulkan

11

Mariun menurut kutipan Josef Rihu Kaho: Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hlm.8


(34)

benturan-benturan yang datangnya justru dari heterogenitas kepentingan dari daerah-daerah tersebut.

Untuk meminimalkan kesukaran-kesukaran yang ditimbulkan sistem sentralisasi ini, salah satu jalan yang dianggap baik untuk ditempuh adalah dengan melakukan penyebaran sentralisasi kekuasaan itu, apakah dalam bentuk pelimpahan kekuasaan atau penyerahan beberapa kekuasaan atau wewenang kepada satu atau beberapa badan tingkatan pemerintah yang ada di dalam negara itu.

Jika bentuk pelimpahan kekuasaan yang akan ditempuh, hal ini disebut dengan dekonsentrasi yang merupakan salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dianut dan dilaksanakan sepanjang sejarah pemerintah di Indonesia sampai saat ini.

Dekonsentrasi menurut Amrah Muslimin,12 adalah pelimpahan sebagian dari kewenangan Pemerintah Pusat pada alat-alat pemerintahannya yang terdapat di Daerah-daerah. Di lain pihak Danurejo mendefenisikan dekonsentrasi itu sebagai pelimpahan wewenang dari organ-organ bawahan setempat dan administratif.13 menurut UU No. 32 Tahun 2004 (Pasal 1 angka 8), adalah pelimpahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

Pejabat pemerintah yang berada di daerah yang akan melaksanakan tugas-tugas pemerintahan berdasarkan azas dekonsentrasi ini, adalah berdasarkan garis

12

Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, (Bandung: Alumni, 1982), hlm... 13


(35)

kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat yang menugaskannya. Dengan demikian pejabat tersebut tidak boleh menyimpang dari garis-garis politik atau kebijakan/instruksi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Oleh sebab itu pemerintah seperti ini tidak berhak untuk menyelenggarakan sesuatu urusan yang timbul karena inisiatif sendiri dari pejabat pemerintah tersebut sesuai dengan kondisi daerahnya.

Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Dalam perkembangan berikutnya mungkin kurang atau tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam artian belum benar-benar menjamin daya guna atau efektifitas pemerintah, dan kurang menjamin kecepatan dan ketepatan tindakan-tindakan pemerintahan. Apalagi dengan semakin meningkatnya tuntutan dan aspirasi masyarakat di daerah-daerah yang menuntut pengikutsertaan tenaga mereka dalam urusan-urusan pemerintahan yang berjalan di daerahnya masing-masing, maka pada gilirannya diperlukan pranata lain yang dapat dengan segera mengantisipasi kepentingan-kepentingan daerah-daerah secara lebih leluasa dan mandiri dalam ikut serta mengurus dan mengatur kepentingan daerah tersebut. Pranata tersebut adalah desentralisasi.

Desentralisai,14 adalah pelimpahan kewewenangan pada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah-daerah tertentu untuk mengurus

14


(36)

rumah tangganya sendiri. Sedangkan Joeniarto15, mengartikan desentralisasi itu sebagai pemberian wewenang dari Pemerintah Negara kepada Pemerintah Lokal untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Adapun pengertian desentralisasi menurut Pasal 1 angka 7 UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Secara ketatanegaraan pengertian desentralisasi adalah dimaksudkan untuk menggambarkan usaha-usaha untuk melepaskan diri dari pusat pemerintahan dengan jalan penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah-daerah Otonom untuk dapat mengurus dan mengatur kepentingan yang telah menjadi urusan rumah tangga daerah otonom itu. Dalam hal ini sudah tentu usaha untuk melepaskan diri dari pemerintah pusat bukanlah berarti lepas sama sekali dari ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melainkan dengan diserahkannya beberapa kekuasaan dari pemerintah pusat ke daerah-daerah dimaksudkan agar daerah-daerah tidak terlalu tergantung sama sekali kepada pemerintah pusat.

Beberapa urusan yang telah dapat dan lebih tepat diurus sendiri oleh daerah dan bersifat khas daerah, sudah tentu akan lebih efektif dan memberikan hasil guna yang lebih baik bila dipercayakan kepada masing-masing daerah untuk mengurusnya, dibandingkan jika urusan tersebut masih ditangani oleh pemerintah pusat. Apalagi

15


(37)

bila secara persis dan sampai sekecil-kecilnya kebutuhan masyarakat daerah, meskipun dapat mengetahuinya mungkin saja tidak akan mampu untuk memberi pelayanan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada setiap daerah.

Boedisoesetya, 16 memiliki pemikiran yang sama dengan pengertian di atas, dimana ia menyatakan:

”Bahwa alasan mengadakan pemerintahan daerah adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih

doelmatig untuk diurus oleh Pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan

kepada Daerah. Hal-hal yang lebih tepat diurus oleh Pemerintah Pusat, tetap diurus oleh Pemerintah Pusat yang bersangkutan. Dengan demikian maka persoalan desentralisai adalah persoalan tekhnik belaka, yaitu tekhnik pemerintahan yang ditujukan untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya.” Desentralisai sebagai salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan berikutnya melahirkan pengertian otonomi, yaitu merupakan suatu hak atau wewenang dan kewajiban sesuatu daerah otonom untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan rumah tangganya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menyelenggarakan otonomi ini, Pemerintah Pusat menyerahkan sejumlah urusan pemerintah yang kelak menjadi urusan rumah tangga daerah tersebut harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat dan harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya,17 dalam rangka

16

Boedisoesotya, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, (Jakarta: Gunung Agung, 1968), hlm. 38

17

Lihat penjelasan Umum angka 1 huruf b UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.


(38)

meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan secara merata di seluruh Wilayah Negara Indonesia.

Dengan diserahkannya sesuatu urusan menjadi rumah tangga daerah (otonomi), mengandung arti bahwa pembuatan keputusan mengenai urusan tersebut bergeser ke tahap yang lebih rendah, yakni dimana keputusan tersebut dibuat oleh perangkat pemerintah daerah. Dengan demikian adanya penyerahan urusan-urusan itu berarti masyarakat daerah beserta aparatur pemerintah daerah diberi kepercayaan dan kesempatan untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan khusunya di daerah. Atau dalam bahasa lain seperti dikatakan Laode Ida,18 bahwa eksistensi pemberian otonomi kepada daerah pada hakekatnya menjadikan daerah dalam sistem pemerintahan yang demokratis sebagai subyek untuk menentukan dirinya sendiri. Dalam konteks inilah, seperti dikatakan Laode Ida selanjutnya, otonomi daerah pada dasarnya mewujudkan self-rule, self-rule governance, self-rule legislation.

Kelebihan-kelebihan asas sentralisasi adalah:

1. Sentralisai menjadi landasan kesatuan kebijaksanaan lembaga atau masyarakat. 2. Sentralisai dapat mencegah nafsu memisahkan diri dari Negara dan dapat

meningkatkan rasa persatuan,

3. Sentralisasi meningkatkan rasa persamaan dalam perundang-undangan, pemerintahan dan pengadilan sepanjang meliputi kepentingan seluruh wilayah.

18

Laode Ida: Disentralisai dan Demokrasi, Jurnal Demokrasi & HAM, vol 2 nomor 2 Juni-September 2002, hal 98


(39)

4. Dalam sentralisasi terdapat hasrat lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan daerah, golongan atau perorangan, masalah biaya untuk keperluan umum menjadi beban merata dari seluruh pihak.

5. Tenaga yang lemah dapat dihimpun menjadi suatu kekuatan yang besar. Dengan demikian dapat menyelenggarakan sesuatu yang besar dan berada di bidang material, ideal maupun moral.

6. Sentralisasi meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintah, meskipun hal tersebut belum merupakan suatu kepastian.

Sedangkan kelebihan-kelebihan asas desentralisasi menurut J in het Veld adalah sebagai berikut:19

1. Desentralisasi memberikan penilaian yang lebih tepat terhadap daerah dan penduduk yang beraneka ragam

2. Desentralisasi meringankan beban pemerintah, karena Pemerintah Pusat tidak mungkin mengenal seluruh dan segala kepentingan dan kebutuhan setempat dan tidak mungkin pula mengetahui bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya. Daerahlah yang mengetahui sedalam-dalamnya kebutuhan daerah dan bagaimana memenuhinya. Dengan desentralisasi dapat dihindarkan adanya beban yang melampaui batas dari perangkat Pusat yang disebabkan tunggakan kerja.

19

Faisal Akbar Nasution, Sumber-sumber Pembiayaan Daerah Otonom dalam rangka menunjang keberhasilan Otonomi Daerah, Disertasi, SPS USU, 2007, hlm. 13-14.


(40)

3. Pada desentralisasi unsur individu daerah lebih menonjol karena dalam ruang lingkup yang sempit seseorang dapat lebih mempergunakan pengaruhnya ke dalam masyarakat luas.

4. Pada desentralisasi masyarakat setempat dapat kesempatan ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintah, ia tidak hanya merasa sebagai objek saja,

5. Desentralisasi meningkatkan turut sertanya masyarakat setempat dalam melakukan kontrol terhadap segala tindakan dan tingkah laku Pemerintah. Ini dapat menghindari pemborosan dan dalam hal tertentu desentralisasi dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna.

Pelaksanaan pembangunan di negara republik Indonesia tidak akan terlaksana jika daerah tidak dibebankan kewajiban untuk ikut serta melaksanakannya, sehingga akan terdapat pemerataan tugas dan tanggung jawab dalam melaksanakan pembangunan itu. Yang perlu adalah keserasian hubungan diantara kedua tingkatan pemerintahan terutama dalam pelaksanaan dilapangan, yaitu pemerintah pusat dengan alat dekosentrasinya, sedangkan pemerintah daerah dengan melalui desentralisasinya (otonom) yang dimilikinya sesuai dengan amanat undang-undang.

Keuangan merupakan faktor penting dalam suatu Negara, disebabkan pengaruhnya yang menentukan terhadap kompleksitas kelangsungan hidup Negara dan masyarakat. Pengaruh dari aspek keuangan antara lain juga mencerminkan kualitas keberadaan dari suatu pemerintahan dalam menjalankan fungsi-fungsi kenegaraannya.


(41)

Dengan diserahkannya sumber-sumber pembiayaan bagi kelancaran tugas otonomi daerah seharusnya dapat membiayai sendiri semua kebutuhan dalam melaksanakan urusan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya. Oleh karena itu daerah harus mempunyai suatu anggaran belanja yang ditetapkan sendiri berdasarkan kewenangan yang ada padanya. Sebab tanpa sumber pembiayaan yang cukup pemerintah daerah hampir dapat dipastikan tidak akan dapat melaksanakan kewajiban pelayanan terhadap kepentingan masyarakat di daerahnya. Dengan perkataan lain, ketiadaan biaya yang cukup memadai dapat menyebabkan hilangnya ciri pokok dan mendasar dari suatu daerah otonom.20

G. Metodologi Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang di angkat dan untuk menjawab tujuan penelitian maka dalam metode penelitian ini langkah-langkah yang dipergunakan diuraikan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif menurut Ronald Dworkin sebagaimana yang dikutip Bismar Nasution disebut juga penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian

20

Josef Rihu Kaho, Prospek Otonomi Daerah Negara Republik Indonesia , Identifikasi beberapa Faktor yang mempengaruhi Penyelenggaraannya, Rajawali, Jakarta, 1997, hlm. 125.


(42)

yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it by the judge through judicial proces.21

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis,22 artinya bahwa penelitian ini hanya menggambarkan bagaimana suatu ketentuan hukum dalam konteks teori-teori hukum yang dalam pemaparannya menggambarkan tentang berbagai persoalan yang berkaitan pemeriksaan keuangan daerah oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan penelahaan terhadap bahan-bahan hukum yang bersumber dari data sekunder yang meliputi:23

21

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang ”Penelitian Hukum dan hasil Penulisan Penelitian Hukum pada Majalah akreditasi”, FH USU, tanggal 18 Februari 2003, hlm.1. Lihat juga Sunaryati Hartono dalam Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, (Bandung : Alumni, 1994), hlm. 118 yang menyatakan bahwa dalam penelitian perkembangan (development research), penelitian dasar (basic research), dan penelitian terapan lainnya yang menyangkut hukum tidak dapat dilakukan menurut metode-metode penelitian sosial, tetapi membutuhkan metode penelitian yang berbeda dan khas, yang sesuai dengan objek atau materi ilmu hukum itu sendiri, yaitu norma-norma hukum.Ibid., hlm. v, Sunaryati Hartono menghimbau dan meyakinkan para Sarjana Hukum, dan pemimpin serta para pengelola fakultas-fakultas hukum untuk kembali memperhatikan metode penelitian dan penafsiran hukum, yang sayang sekali sudah 30 tahun diabaikan di tanah air kita, hal ini seolah-olah metode penelitian hukum sejak tahun 1960-an sudah diganti dengan penelitian sosiologi hukum dan metode penelitian sosiologis, yang sejak waktu itu dianggap sebagai metode penelitian yang lebih mengungkapkan kenyataan hidup yang sebenarnya.

22

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Cet. IV, Peneliian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 12

23

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 116; bandingkan dengan Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Pramedia Group, 2005), hlm. 141, yang menyatakan bahwa dalam penelitian hukum tidak mengenal adanya data, Ibid., hlm. 36


(43)

a. Bahan hukum primer,24 yaitu peraturan perundang-undangan yang relevan dengan penelitian ini seperti: UU No.15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tangung Jawab Keuangan Negara. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undnag Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah,

b. Bahan hukum sekunder yaitu berupa buku-buku bacaan seperti: Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, karangan Ahmad Yani, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Pemerintahan Daerah di Indonesia,

24

Bambang Sunggono, loc.cit., yang menyatakan: Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari: 1). Norma atau kaidah dasar yaitu Pembukaan UUD 1945, 2). Peraturan Dasar, yaitu UUD 1945, Ketetapan-ketetapan MPR, 3). Peraturan Perundang-undangan, 4). Bahan Hukum yang tidak dikodifikasi, misalnya hukum adat, 5). Yurisprudensi, 6). Traktat, 7). Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. Dalam Pasal 1 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dinyatakan bahwa: Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum, selanjutnya dalam Pasal 54 dinyatakan Teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, keputusan kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat, Keputusan Menteri, keputusan kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat harus berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini, lebih lanjut dalam Pasal 56 dinyatakan: Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini


(44)

Hukum Administrasi Daerah, karangan C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, Determinasi Kebijakan Anggaran Negara Indonesia Indonesia, Studi Yuridis, karangan Dian Puji N. Simatupang, Papas Sinar Sinanti, Jakarta. 2005, Problematika Yuridis, Penegakan Hukum dan Reformasi Administrasi Keuangan Daerah, dalam Kapita Selekta Penegakan Hukum di Indonesia, karangan H. Soekarwo, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2006, Otonomi Daerah, Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, karangan Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, Hukum Pemerintahan Daerah, karangan Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Pustaka Bani Quraisy, 2005, Hukum Keuangan Negara, karangan W. Riawan Tjandra, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006.

c. Bahan hukum tertier yaitu Kamus Terminologi Hukum, Inggris-Indonesia, Kamus Standar Bahasa Indonesia, karangan Ali M.B dan T. Deli, penerbit Penebar Ilmu, Bandung, 2000.

2. Teknik Pengumpul Data

Teknik pengumpul data dalam penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data melalui studi dokumen, yaitu dilakukan dengan menginventarisir berbagai bahan hukum baik, bahan hukum primer, sekunder, maupun tertier melalui penelusuran kepustakaan (library research).


(45)

3. Analisis Data

Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan (library

research) dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu

menganalisis bahan-bahan hukum yang bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier untuk selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian kalimat.

4. Sistematika Penulisan

Penelitian untuk menyusun Thesis terdiri dari 5 (lima) Bab, yang akan diuraikan dalam sistematika sebagai berikut;

Bab pertama merupakan pendahuluan, yang akan membahas latar belakang masalah, rumusan masalah yang menjadi pusat perhatian peneliti, yang selanjutnya di jelaskan dalam tujuan dan manfaat penelitian, untuk memahami ide dasar peneliti dalam penulisan tesis ini perlu menguraikan kerangka teori dan kerangka konsepsional, sebagai titik awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam, yang diikuti dengan pilihan metodologi penelitian yang tepat.

Bab kedua membahas Perimbangan Keuangan Negara dan Daerah setelah Reformasi. Bab tiga membahas Pengelolaan Keuangan APBD dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Bab empat membahas Norma Pemeriksaan APBD oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bab lima merupakan bab penutup yang akan menyimpulkan hasil penelitian, yang kemudian diikuti dengan pemberian saran-saran atau rekomendasi terhadap temuan hasil penelitian ini.


(46)

BAB II

PERIMBANGAN KEUANGAN NEGARA DAN DAERAH SETELAH REFORMASI

A. Keuangan Negara

Berbicara tentang keuangan negara, kita tidak bisa mendefinisikan dalam suatu defenisi tertentu, karena definisi keuangan negara bersifat politis, tergantung kepada sudut pandang, sehingga apabila berbicara keuangan negara dari sudut pemerintah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBN, sedang apabila bicara keuangan dari sudut pemerintah daerah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBD, demikian seterusnya dengan Perjan, PN-PN maupun Perum. 25

Dengan perkataan lain definisi keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD, Keuangan Negara pada Perjan, Perum, PN-PN dan sebagainya, sedangkan definisi keuangan negara dalam arti sempit, hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya.26

Beberapa ahli berpendapat keuangan negara dalam BUMN/BUMD adalah sebatas saham di perusahaan itu. UU Korupsi hanya bisa diterapkan dalam penjualan saham secara melawan hukum. Namun negara tetap bisa melakukan upaya hukum perdata maupun pidana berdasarkan undang-undang selainnya.

25

Arifin P Soeria Atmaja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum, Teori, Kritik, dan Praktik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 70

26

Hekinus Manao, Definisi Keuangan Negara Kembali Diperdebatkan, Hukumonline, hlm. 2, diakses 30 Oktober 2009.


(47)

Ketua Komisi Hukum Nasional, J.E Sahetapy dalam Diskusi Publik Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi mengatakan perlu kejelasan definisi secara yuridis dalam menentukan pengertian keuangan negara. Menurutnya pengertian keuangan negara masih tersebar dalam beberapa undang-undang. Diantaranya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 49 Prp. Tahun 1960, serta munculnya pasal piutang perusahaan negara dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 Tentang Tata cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.27

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No.17/2003 mendefinisikan keuangan negara adalah: “semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”..

Berdasarkan pengertian di atas maka keuangan negara tersebut dapat meliputi;28

1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, serta melakukan pinjaman

2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga

3. Penerimaan negara

27

J.E Sahetapy, “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Senin, 12 Nopember 2007, Hukumonline, hlm. 1, diakses 30 Oktober 2009

28

Muhammad Djumhana, Pengantar Hukum Keuangan Daerah, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm.12


(48)

4. Pengeluaran negara 5. Penerimaan daerah 6. Pengeluaran daerah

7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain, baik berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara dan daerah

8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah, dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah, dan/atau kepentingan umum

9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 17/203, menurut J.E. Sahetapy definisi keuangan negara tersebut belum jelas, dimana pihak yang pro perluasan definisi keuangan negara akan berpegang pada ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Apabila terjadi kerugian pada BUMN dan Persero, penegak hukum dan aparat negara menggunakan ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Keuangan Negara dan penjelasan umum Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Esensinya, penyertaan negara yang dipisahkan merupakan kekayaan negara yang menurut sifatnya berada dalam ranah hukum publik. Karenanya, apabila terjadi


(49)

kerugian negara maka ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dapat diberlakukan pada pengurus BUMN.29

Sementara pihak yang menginginkan penyempitan definisi keuangan negara terutama bagi BUMN, menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan penyertaan negara merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Ketika kekayaan negara telah dipisahkan maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk ke dalam ranah hukum publik namun masuk ranah hukum privat.

Pendapat senada disampaikan Direktur Informasi dan Akuntansi Ditjen Perbendaharaan Departemen Keuangan, Hekinus Manao. Cakupan keuangan negara menurut beliau sesuai Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara meliputi Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.30

Pemahaman kedudukan keuangan negara berdasarkan ketentuan itu menurutnya terbatas pada kekayaan yang dipisahkan, yaitu sebesar modal yang disetor atau perubahannya. “Kalau pemerintah memegang saham 50% maka

29

Hekinus Manao, Op.Cit., hlm.1. 30

Hariyadi B. Sukamdani, “Definisi Keuangan Negara Kembali Diperdebatkan”,


(50)

penyertaannya ya 50%, jangan ditafsirkan aset BUMN identik dengan aset negara, “jelasnya. 31

Hekinus menambahkan pemahaman yang keliru terjadi saat keuangan negara ditafsirkan sebagai seluruh aset BUMN/BUMD merupakan aset pemerintah. Jika demikian berarti seluruh piutang maupun utang BUMN/BUMD juga piutang pemerintah dan mestinya seluruh utang utang BUMN/D adalah utang pemerintah. Padahal, ketika suatu bagian kekayaan negara masuk pada BUMN/BUMD maka bagian kekayaan pemerintah yang disertakan di dalamnya tunduk pada ketentuan rezim korporasi.32

Dengan demikian, aturan tentang pertanggungjawaban kerugian negara dalam konteks BUMN/BUMD mengacu pada UU No.1 Tahun 1995 Perseroan Terbatas dan UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.

Sementara itu Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan dan kepabeanan, Hariyadi B. Sukamdani mengatakan kerancuan pengertian keuangan negara berdampak pada dunia usaha.

Ketidakpastian hukum muncul sehingga stakeholders BUMN tidak berani mengambil keputusan strategis. Hariyadi mencontohkan kinerja perbankan yang menurun serta kasus korupsi tender KPU yang menyeret pengusaha membuat pihak swasta takut bekerjasama dengan pemerintah.33

31

Hekinus Manao, Op.Cit.,hlm.2 32Ibid

. 33


(51)

Dilain pihak Erman Radjagukguk, mengkaitkan keuangan negara dengan kerugian negara, berkaitan dengan apakah kekayaan BUMN merupakan keuangan negara, ia menegaskan bahwa kekayaan negara menyangkut BUMN berbentuk Persero bukanlah harta kekayaan BUMN secara keseluruhan. Melainkan kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN yang berbentuk saham yang dimiliki oleh negara.34

Tindak pidana korupsi, baru dapat dikenakan pada orang yang menggelapkan surat berharga dengan jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum sesuai Pasal 8 UU No.20 Tahun 2001 jo Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketentuan PP No.14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah adalah sebuah kesalahan. Pasal 19 dan 20 menyebutkan tata cara dan penghapusan secara bersyarat maupun mutlak piutang perusahaan negara/daerah diserahkan pada PUPN dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan begitu tidak ada pemisahan kekayaan BUMN Persero dengan kekayaan negara sebagai pemegang saham.35

Ketentuan Undang-undang No.49 tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) mendefinisikan piutang negara atau hutang kepada negara sebagai jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau badan-badan baik secara

34

Erman Rajagukguk, ”Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara”, hukumonline, hlm.3, diakses 30 Oktober 2009

35


(52)

langsung atau tidak langsung dikuasai negara. Menurut Hekinus, aturan ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan tidak seharusnya digunakan lagi.36

Aturan ini diterbitkan saat pemerintah RI mengambil alih perusahaan-perusahaan eks Belanda, sementara kedudukan perusahaan-perusahaan negara waktu itu berbeda. Karenanya, lanjutnya, seharusnya digunakan penafsiran lex posteriori derogat lex

priori (hukum yang berlaku kemudian menghapuskan hukum yang berlaku

terdahulu).37

Oleh karena itu upaya hukum negara jika terjadi kerugian harus sesuai dengan mekanisme UU No. 1/1995, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, khususnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 54 ayat(2) UU No. 1/1995, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007, dimana pemegang saham dapat menggugat direksi atau komisaris apabila keputusan mereka dianggap merugikan pemegang saham.

Tuntutan pidana juga dapat dikenakan pada direksi BUMN/BUMND yang melakukan delik penggelapan, pemalsuan data dan laporan keuangan, pelanggaran Undang-undang Perbankan atau lainnya yang memuat ketentuan pidana.

36

Hekinus Manao, Op.Cit.,hlm.3 37


(1)

keuangan daerah. Pasal 5 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, bahwa kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan, penjelasan ini kemudian dipertegas dalam ayat 2 pada pasal yang sama, bahwa pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pad ayat (1) mempunyai kewenangan: Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD; pasal ini secara seksama menegaskan bahwa setiap kepala daerah memegang amanah rakyat dalam mengelola keuangan publik. Laporan pertanggungan jawaban pengelolaan keuangan daerah pemda untuk saat ini diwujudkan melalui Laporan Keuangan yang wajib disusun oleh setiap instansi pemda dalam bentuk Neraca, Laporan Arus Kas, Laporan Realisasi Anggaran dan Catatan Atas laporan Keuangan yang wajib dilaporkan setiap periode 31 Desember, hal ini menjadi satu catatan penting bahwa transparansi sangat dikedepankan tidak seperti dulu lagi.

Norma Pemeriksaan APBD oleh BPK didasarkan kepada ketentuan dalam UU BPK yang menyatakan BPK memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara”. Kewenangan Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Sesuai wewenangnya BPK dapat melakukan tiga macam pemeriksaan.


(2)

Pertama, Pemeriksaan Keuangan; yakni pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah, dalam rangka memberikan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Kedua, Pemeriksaan Kinerja; yakni pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengidentifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian DPR, DPD dan DPRD. Ketiga, Pemeriksaan dengan tujuan tertentu; yakni pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah

B. Saran

Untuk menghadapi Globalisasi perekonomian dan pembangunan nasional yang menekankan pada pelaksanaan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggungjawab, maka perlu disusun suatu rumusan yang jelas berkaitan dengan manajemen keuangan daerah. Hal ini adalah salah satu bentuk bagaimana pemerintah daerah mempersiapkan suatu pra kondisi dalam pentas perekonomian internasional dan perekonomian nasional.

Keuangan daerah sebagai sumber pembiayaan daerah, yang tertuang dalam APBD bersumber tidak saja dari pendapatan asli daerah, akan tetapi juga diperoleh dari dana pemerintah pusat yang di alokasikan ke daerah dalam rangka penunjang


(3)

pelaksanaan asas dekosentrasi dan desentralisasi, oleh karena itu dalam pengelolaan dan pemanfaatan haruslah mengacu kepada mekanisme penggunaan anggaran dengan berpedoman kepada aturan yang jelas pula.

Pemeriksaan keuangan daerah, secara umum harus dibuat suatu kerangka yang jelas dan pasti tentang pembagian kewenangan, baik pemeriksaan terhadap keuangan daerah yang bersumber dari pendapatan asli daerah maupun keuangan daerah yang merupakan dana alokasi dari pemerintah pusat ke daerah, sehingga pemeriksaan penggunaan dan pengelolaan anggaran yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan maupun lembaga pemeriksa lain tidak saling tumpang tindih.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Arifin P Soeria Atmaja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum, Teori, Kritik, dan

Praktik, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

Adrian Sutedi, Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah, Dalam Kerangka

Otonomi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Anwar Nasution, “Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Peranan BPK Dalam Mewujudkan Cita-Cita Reformasi Sistem Sosial Indonesia.” Pidato

Ulang Tahun ke-60, Badan Pemeriksa Keuangan, 8 Januari 2007, Jakarta

Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, (Bandung: Alumni, 1982) Aheruddin, www. Sumbawa News.Com diakses tanggal 20 Juli 2009

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998

Boedisoesotya, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, (Jakarta: Gunung Agung, 1968)

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang ”Penelitian Hukum dan hasil

Penulisan Penelitian Hukum pada Majalah akreditasi”, FH USU, tanggal 18

Februari 2003,

Djoko Sudantoko, Dilema Otonomi Daerah, Andi, Yogyakarta, 2002.

Danurejo menurut kutipan Joeniarto, Perkembangan Pemerintah Lokal, Alumni Bandung, 1982

Erman Rajagukguk, ”Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara”,

hukumonline, diakses 30 Oktober 2009

Faisal Akbar Nasution, Sumber-sumber Pembiayaan Daerah Otonom Dalam Rangka Menunjang Keberhasilan Otonomi Daerah, Disertasi, SPS USU, 2007

Faizal Syamri, “BPK dan Pengelolaan Keuangan Daerah,“ http://www.harianbatampos.com/index.php?option=com_content&task=view


(5)

Hekinus Manao, Definisi Keuangan Negara Kembali Diperdebatkan, Hukumonline, diakses 30 Oktober 2009.

Hariyadi B. Sukamdani, “Definisi Keuangan Negara Kembali Diperdebatkan”,

Hukumonline, hlm. 2, diakses 30 Oktober 2009.

Hal Keuangan Negara’’, www. Wikipedia.com, diakses tanggal 7 Agustus 2009

Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan

Pemerintah, (Bandung: Alumni, 2004)

Imran Nating,”Kewenangan Mengaudit Keuangan Badan Usaha Milik Negara, Antara BPK Dan Kementerian BUMN,” solusihukum.com. Diakses tanggal 12 Agustus 2007.

Josep Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

J.E Sahetapy, “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Senin, 12 Nopember 2007, Hukumonline, diakses 30 Oktober 2009

Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah, Perkembangan Pemikiran,

Pengaturan dan Pelaksanaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003

Kristian Widya Wicaksono, Administrasi dan Birokrasi Pemerintah, 2006, Yogyakarta, Graha Ilmu

Lawrence M Friedman, “A History of Amercan Law, Simon and Schuster”, New York, 1974, New York W.W.Norton ang Campany, 1984, (diterjemahkan bebas dalam bahasa Indonesia)

Laode Ida: Disentralisai dan Demokrasi, Jurnal Demokrasi & HAM, vol 2 nomor 2 Juni-September 2002

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, 2002, Yogyakarta, Andi Yogyakarta

Muhammad Djumhana, Pengantar Hukum Keuangan Daerah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007

Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintahan Daerah, Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 56.


(6)

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Pramedia Group, 2005).

Philipus M Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994)

Sunaryati Hartono dalam Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, (Bandung : Alumni, 1994),

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Cet. IV, Peneltiian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995)

Sri Sumantri, M, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992)

Victor M. Situmorang, Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah, hlm. 63.

Visi dan Misi Badan Pemeriksa Keuangan, www.bpk.go.id, diakses tanggal 14 Agustus 2007.

B. Undang-undang

Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Undang-undang No.15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

undang Nomor 25 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah