❏ Rumnasari K. Siregar
Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis: Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Volume V No. 1 April Tahun 2009 Halaman 19
GENRE FIKSI DALAM LINGUISTIK FUNGSIONAL SISTEMIS: PERBANDINGAN TEKS “LAU KAWAR” DAN “PUTRI TIKUS”
Rumnasari K. Siregar
Politeknik Negeri Medan
Abstract
This research applies Sistemic Functional Linguistics approach to analyze transitivity system and social context in “Lau Kawar” and “Putri Tikus”. The two texts are choosed
because they have the same basic meaning, i.e. ‘swear’ although it is packaged by different cultural background. The analysis results showed that transitivity system in “Lau Kawar”
are dominant in the material process, but “Putri Tikus” are dominant in the relational process. The similarity of those two texts occur in particular-human participant and the
location sircumstans. In the context of situation, the two texts have the similar meaning, except the participant features. In cultural context, the structure of two texts is different in
application of abstract and coda. Key words: fiction genre, transitivity system, text, sosial context
1. PENDAHULUAN
Kajian genre dalam pelbagai ranah penggunaan bahasa meningkat dekade terakhir ini. Namun,
banyak kajian genre lebih berfokus pada bentuk dan fungsi retoris wacana ilmiah daripada wacana
sastra lihat, misalnya, Ansary dan Babaii 2004; Babaii dan Ansary 2005; Ming 2007; dan Porcaro
2007. Bagi dunia pendidikan, genre sastra, yang disebut oleh Eggins 2004:75 sebagai genre fiksi,
sangat efektif sebagai alat pedagogis sebab memuat nilai-nilai didaktis. Model teks seperti ini
juga dapat membantu para guru dalam mengembangkan kompetensi komunikasi anak
didiknya.
Salah satu jenis genre fiksi itu ialah teks cerita rakyat. Model teks ini merupakan produk
sebuah budaya, dan berfungsi di dalam budaya itu. Makna genre fiksi yang ditata dalam sistem bahasa
tertentu merupakan realisasi dari pengalaman penulisnya tentang dunia. Maknanya dapat
dieksplorasi apabila diuraikan konteks sosial teks tersebut, diperikan relasi konteks sosial dengan
tata bahasa, serta ditentukan pola atau kecenderungan pemakaian aspek tata bahasa.
Tentunya sangat menarik untuk mengeksplorasi hubungan antara struktur bahasa dan makna sosial
yang dibentuk dalam teks naratif tersebut.
Dalam tata bahasa fungsional sistemik, teks adalah hasil dari suatu rangkaian pilihan.
Pilihan yang direalisasikan dalam teks adalah realisasi pilihan itu sendiri dalam dimensi
kontekstual, termasuk konfigurasi situasional khusus dari bidang, pelibat, dan sarana register,
kesepakatan budaya genre, dan kedudukan ideologis. Pilihan semantis ini kemudian
direalisasikan kembali melalui pilihan leksikogramatikal, dan setiap dimensi semantis
terhubung melalui suatu cara yang dapat diramalkan dan sistematis dengan pilihan dari
empat sistem struktur gramatikal secara bersamaan, yakni modus, ketransitifan, klausa
kompleks, dan tema. Susunan makna yang lebih tinggi dalam sebuah teks ditafsirkan sebagai
“semiotik sosial”, yaitu sistem makna budaya.
Kajian ini mencoba menerapkan teori Linguistik Fungsional Sistemik LFS untuk
mengidentifikasi elemen leksikogramatikal yang secara semantis dipilih oleh penulis teks dalam
membentuk dan merealisasikan struktur genre. Kajian yang berbasis pada LFS sejatinya
menggunakan elemen leksikogramatika untuk menjelaskan elemen bahasa, peran dan maknanya
dalam konteks, serta hubungan di antaranya. Dua teks cerita rakyat, yaitu teks “Lau Kawar” LK
dan “Putri Tikus” PT, dipilih sebagai bahan analisis sebab secara semantis keduanya memiliki
makna dasar yang sama, yaitu ‘kutukan’, meskipun makna itu dikemas dalam latar budaya yang
berbeda. Melalui penerapan teori LFS, makna kedua teks akan dibandingkan dengan
mengungkapkan sistem ketransitifan dan konteks sosial yang membangun teks tersebut.
2. METODE PENELITIAN
Sistem ketransitifan dan manifestasi bahasanya pada LK dan PT digolongkan ke dalam klausa-
klausa. Penelitian ini hanya berfokus pada klausa simpleks. Berbasis pada kategorisasi proses dalam
❏ Rumnasari K. Siregar
Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis: Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Volume V No. 1 April Tahun 2009 Halaman 20
sistem ketransitifan, proses material, mental, relasional, verbal, wujud, dan tingkah laku
dipetakan pada setiap klausa simpleks. Begitu pula dengan tipe-tipe partisipan dan sirkumstan yang
terdapat pada proses tersebut. Dalam kajian ini klasifikasi proses dan partisipan yang
diperkenalkan oleh Halliday 1994 dan Eggins 2004 digunakan sebagai kerangka analisis. Untuk
analisis tipe partisipan diadopsi model Eggins, Wignell, dan Martin 1993, terdiri atas 1
Manusiakhusus, 2 Manusiaumum, 3 Bukan manusiatempat dan waktu, 4 Bukan
manusiametaforis, 5 Bukan manusiakonkret.
Prosedur selanjutnya ialah menghitung kekerapan komponen ketransitifan pada setiap
korpus untuk mengetahui dominasi elemen ketransitifan sebagai realisasi maknanya. Analisis
statistik ini berguna dalam membandingkan persentase komponen ketransitifan pada teks LK
dan PT. Konteks situasi dianalisis mengacu pada komponen bidang, pelibat, dan sarana, sedangkan
konteks budaya didasarkan pada elemen abstrak, oreientasi, evaluasi, komplikasi, resolusi, dan
koda.
3. TEORI LINGUISTIK FUNGSIONAL SISTEMIK
Dalam LFS model analisis teks merupakan titik acuan atau kerangka teoretis yang berguna untuk
analisis teks naratif. Teori LFS dipilih karena memuat pandangan yang holistik tentang bahasa,
yakni bahasa sebagai sumber semiotik sosial yang digunakan oleh orang-orang untuk menyelesaikan
tujuannya dengan mengungkapkan makna dalam konteks lihat Teich 1999:2; Eggins 2004:20—21.
Bertumpu pada dasar kontekstual ini, teori LFS mempertimbangkan bahasa sebagai suatu sumber
atau makna potensial yang tersedia bagi penutur dalam memenuhi tujuan komunikasi. Alasan lain
ialah bahwa teori LFS utamanya dibentuk untuk kajian teks, dengan berfokus pada realisasi makna
teks. Teori LFS, dengan demikian, dapat digunakan untuk menyingkap makna teks naratif,
seperti cerita rakyat, dan menghubungkannya dengan konteks wacana, dan juga dengan latar
belakang umum teks tersebut.
Rancangan tata bahasa sistemik adalah hasil usaha yang lama dalam menciptakan
kerangka gramatikal yang merefleksikan penataan tata bahasa fungsional. Michael Halliday
menggagas lahirnya teori LFS, dan para ahli lain— seperti Teich 1999, Eggins 2004, Matthiessen
2005—meneruskan pengembangannya. Hal ini bisa ditelusuri dari makalah Halliday 1961,
“Categories of the Theory of Grammar”, yang membahas deskripsi tata bahasa Cina periksa
Neale 2002: 42; Matthiessen 2005; dan Ming 2007:74. Makalah ini memuat pernyataan awal
teorinya yang disebut “Tata Bahasa Skala dan Kategori”, dan “tata bahasa” ini selanjutnya
dikenal sebagai LFS. Dasar teori Halliday bersumber dari karya Firth dan rekan-rekannya
pada Aliran Linguistik London. Halliday adalah murid Firth, dan mengadopsi dan mengembangkan
karyanya.
Ancangan Halliday pada bahasa bertolak dari pandangan bahwa hubungan antara pengataan
yang digunakan orang-orang dan maknanya bersifat tidak arbitrer Gerot dan Wignel 1994:v-
vi. Penggunaan bahasa, meskipun unik, dapat dieksplorasi, dan elemen bahasa dan peristiwa
bahasa khusus secara sistematis dapat diuji dari sudut pandang fungsional. Berangkat dari ide Firth
tentang makna sebagai butir bahasa terpenting dalam konteks sosial, Halliday mengembangkan
bahasa sebagai sistem pembentuk makna, dengan memberi tekanan pada ‘pilihan’. Artinya, penutur
bahasa dapat membentuk makna melalui pilihan dan penggunaan kata-kata, dan telaah bahasa yang
sistematis dalam penggunaan ialah bagaimana penutur memahami makna tersebut.
Konsep fungsional bersifat inheren dalam LFS. Konsep ini mengandung tiga pengertian,
yaitu 1 bahasa terstruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia; 2 fungsi
bahasa dalam kehidupan manusia adalah untuk memaparkan atau menggambarkan, memper-
tukarkan, dan merangkai pengalaman manusia, dan 3 setiap unit bahasa bersifat fungsional terhadap
unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu menjadi unsur lihat Saragih 2005:3.
Lebih lanjut, istilah metafungsi diadopsi untuk menunjukkan bahwa fungsi merupakan
sebuah komponen yang integral dalam LFS. Metafungsi adalah dimensi tambahan dalam
penataan bahasa, yang meliputi fungsi ideasional, interpersonal dan tekstual Cicekli dan Korkmaz
1998:173; Halliday 2002: 90-92; Saragih 2005:6; dan Ming 2007:76. Fungsi ideasional, yang
tergolong subtipe eksperiensial dan logis, mengungkapkan pengalaman; fungsi interpersonal
membentuk dan mendukung interaksi orang-orang yang berbahasa; dan fungsi tekstual menciptakan
wacana yang koheren. Sejalan dengan itu, bahasa menyandang tiga makna, yakni makna pengalaman
makna ideasional, makna pertukaran makna interpersonal, dan makna perangkaian atau
penataan makna tekstual. Lebih khusus, “makna pengalaman”, menurut Eggins 2004:206,
“diekspresikan melalui sistem ketransitifan atau tipe proses, dengan pilihan proses yang
mensyaratkan peran dan konfigurasi partisipan”.
❏ Rumnasari K. Siregar
Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis: Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Volume V No. 1 April Tahun 2009 Halaman 21
3.1 Sistem Ketransitifan
Makna ketransitifan mengacu pada ciri klausa yang mengungkapkan pengalaman
pembicara penulis tentang dunia. Istilah ini selaras dengan “modus” dan “tema” yang mengungkapkan
fungsi tekstual dan interpersonal. Sistem ketransitifan sebuah bahasa menggambarkan fakta
bahwa pengalaman ditafsirkan sebagai perangkat ranah terbatas tentang makna yang berbeda sesuai
dengan tipe proses dan sifat partisipan yang terlibat di dalamnya, serta dihubungkan dengan
tipe sirkumstan yang berbeda. Ketiga komponen ketransitifan ini—proses, partisipan, dan
sirkumstan—pada klausa umumnya direalisasikan sebagai frase verba, frase nomina, dan frase
adverbial atau frase preposisional, berturut-turut.
Istilah proses yang dinyatakan melalui bahasa merupakan hasil konsepsi manusia tentang
dunia. Entitas yang terlibat dalam setiap proses diacu sebagai partisipan. Tipe dan peran partisipan
ditentukan oleh tipe prosesnya. Komponen sirkumstan mengacu pada lingkungan, sifat, atau
lokasi berlangsungnya proses. Sirkumstan yang berlaku untuk semua jenis proses terdiri atas
sembilan kategori: rentang waktu dan tempat, lokasi waktu dan tempat, cara kualitas, alat, dan
perbandingan, sebab alasan, tujuan, keadaan, konsesi, dan kepentingan, penyerta, masalah,
lingkungan, sudut pandangan, dan peran.
Tipe proses terdiri atas 1 material, 2 mental, 3 relasional, 4 verbal, dan 5 wujud,
dan 6 tingkah laku. Proses material melibatkan tindakan fisik. Proses material memiliki aktor
pelaku, gol partisipan yang terpengaruh, pembermanfaat resipien dan klien, dan jangkauan
lingkup atau perluasan proses. Proses mental mengungkapkan aktivitas perasaan, pikiran, dan
persepsi manusia. Proses ini melibatkan partisipan yang disebut pengindera dan fenomenon. Proses
relasional terkait dengan hubungan yang terbentuk di antara dua hal atau konsep. Partisipan pada
proses relasional meliputi penyandang dan atribut, tanda dan nilai, serta pemilik dan milik.
Halliday dan Matthiessen 2004:171 berpendapat bahwa proses material, mental, dan
relasional merupakan proses utama dalam sistem ketransitifan. Tipe-tipe proses yang lain terdapat di
antara ketiga proses ini. Proses verbal, misalnya, berada pada batas antara proses mental dan proses
relasional. Partisipan pada proses verbal disebut pembicara, perkataan sesuatu yang dikatakan,
dan penerima partisipan yang menerima pesan. Proses wujud terletak antara proses relasional dan
proses material, dan proses ini hanya memiliki satu partisipan: maujud benda yang hadir pada proses.
Proses tingkah laku yang mengacu pada proses psikologis manusia atau perilaku psikologis berada
pada batas antara proses material dan proses mental. Partisipan pada proses tingkah laku ialah
petingkah laku. Tabel 1 memperlihatkan konfigurasi kategori leksikogramatikal ini.
Tabel
1. Tipe Proses dan Peran Partisipan
dalam LFS
Tipe Proses Partisipan I
Partisipan II
Material Aktor Gol
Mental Pengindera Fenomenon
Relasional 1 Identifikasi:
Tanda Nilai
2 Atribut:
Penyandang Atribut
3 Kepemilikan:
Pemilik Milik
Tingkah Laku Petingkah Laku
- Verbal Pembicara Perkataan
Wujud Maujud -
3.2 Teks dan Konteks
Teks, dalam model LFS, adalah unit bahasa yang fungsional dalam konteks sosial
Halliday 2002:26; Ansary dan Babaii 2004. Sebuah teks—yang dibentuk oleh sejumlah
klausa—tergolong fungsional manakala teks itu memiliki kepaduan bentuk kohesi dan kepaduan
makna koherensi. Dua jenis kepaduan ini dalam teks tercapai apabila piranti leksikal dan piranti
gramatikal yang digunakan berfungsi efektif. Relasi teks dengan konteks sosial adalah relasi
konstrual; artinya konteks sosial menentukan teks dan teks juga menentukan konteks sosial Saragih
2005:204—205.
Teks dapat direalisasikan oleh sejumlah klausa. Dalam teks, klausa merupakan unit
pemrosesan utama pada struktur leksikogramatikal. Fungsi klausa dianalisis
berdasarkan a subjek, predikator, komplemen, dan keterangan SPKK; b tema dan rema; c
lama dan baru; dan d proses, partisipan, dan sirkumstan. SPKK mencakup tempat sintaktis
dalam teks. Penanda tema-rema dan lama-baru memperlakukan cara teks dikemas dan cara
informasi dalam sebuah teks dibangun pada sebuah klausa. Analisis proses, partisipan, dan sirkumstan
pada teks mengungkapkan cara pemakai bahasa merekayasa bahasa dalam mengungkapkan
persepsinya tentang realitas.
Sebagai bagian dari konteks bahasa, konteks sosial mengacu pada segala sesuatu di luar
yang tertulis atau terucap, yang mendampingi bahasa atau teks dalam peristiwa pemakaian
bahasa atau interaksi sosial. Konteks sosial terbagi atas tiga kategori, yaitu konteks situasi, konteks
budaya, dan konteks ideologi. Konteks situasi adalah konteks langsung penggunaan bahasa.
❏ Rumnasari K. Siregar
Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis: Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Volume V No. 1 April Tahun 2009 Halaman 22
Konteks situasi dapat ditetapkan dengan tiga variabel utama yang mempengaruhi penggunaan
bahasa, yaitu bidang, pelibat, dan sarana Gerot dan Wignell 1994:11; Saragih 2005:5; Christie dan
Unsworth 2000:3. Bidang dihubungkan dengan aktivitas sosial, isi atau topik; pelibat adalah sifat
hubungan di antara orang-orang yang terlibat; dan sarana adalah medium dan peran bahasa dalam
situasi—lisan atau tulisan, disertai atau diikuti aktivitas. Variabel situasional ini dikaitkan dengan
tiga area makna yang sudah diacu sebagai ideasional, interpersonal, dan tekstual.
Tabel
2. Relasi variabel kontekstual dengan metafungsi
Variabel konteks situasi
Komponen sistem bahasa metafungsi
Bidang: aktivitas sosial, topik
Ideasional: mengungkapkan pengalaman
Pelibat: peran dan relasi sosial
Interpersonal: membolehkan interaksi
Sarana: medium dan peran bahasa
Tekstual: mencapai koherensi dan keterhubungan
Konteks budaya ialah kegiatan sosial yang bertahap untuk mencapai suatu tujuan. Dalam
pengertian ini, konteks budaya mencakup tiga hal, yaitu 1 batasan kemungkinan ketiga unsur
konteks situasi, 2 tahap yang harus dilalui dalam satu interaksi sosial, dan 3 tujuan yang akan
dicapai dalam interaksi sosial. Selanjutnya, konteks idiologi mengacu pada konstruksi atau
konsep sosial yang menetapkan apa seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan seseorang dalam
satu interaksi sosial. Ideologi merupakan konsep atau citra ideal yang diinginkan atau diidamkan
oleh anggota masyarakat dalam satu komunitas.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN