Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Mengenai

tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Ayat 2 Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana di atur dalam pasal 6 Ayat 2, 3, 4 dan 5 UU No.1 tahun 1974.”

5. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Mengenai

pengaturan batas umur kapan seseorang itu dikatakan dewasa tidak ada suatu ketegasan dalam Undang-undang Perkawinan ini. Apabila diperhatikan isi dari Undang-Undang tersebut terdapat beberapa pengaturan batas umur dalam melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu : Pasal 6 ayat 2 : “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orangtua.” Pasal 7 ayat 1 : “Perkawinan hanya dizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.” Pasal 47 : “Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.” Pasal 48 : “Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.” Pasal 50 ayat 1 : “Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orangtua, berada dibawah kekuasaan wali.” Dari pengaturan batas umur dalam melakukan perbuatan hukum seperti tersebut diatas, terdapat dua pasal mengenai penentuan dewasa yaitu Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 47. Memang, kalau kita perhatikan ayat 2 Pasal 6, seolah-olah kita dapat menarik kesimpulan, bahwa anak yang sudah berumur 21 tahun dianggap sudah dewasa. Sehingga sesuai dengan ketentuan ayat 2 Pasal 6; anak yang sudah berumur 21 tahun tidak perlu lagi mendapat izin dari orangtua. Hal ini kita tarik secara acontrario dari bunyi ayat 2 Pasal 6 itu sendiri, yang menentukan bahwa bagi mereka yang belum mencapai umur 21 tahun 19 MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008. harus mendapat izin dari kedua orang tua untuk melangsungkan perkawinan. Kalau sudah berumur 21 tahun tidak perlu izin dari kedua orangtua, karena orang yang telah mencapai umur 21 tahun sudah dianggap dewasa dan telah dapat menentukan kehendaknya tanpa izin dan setahu orang tua. 20 Apabila ditarik kesimpulan sementara bahwa ketentuan Pasal 6 ayat 2 tersebut hanya berlaku; khusus untuk melangsungkan perkawinan saja bukan berlaku umum untuk segala perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47. Membandingkan kedua bunyi ketentuan diatas pembuat Undang- Undang nampaknya membuat dua kategori tentang batas-batas kedewasaan seorang anak : 1. untuk melakukan perkawinan seorang anak dianggap sudah dewasa apabila telah berumur 21 tahun; sehingga anak yang melakukan perkawinan kalau sudah berumur 21 tahun tidak memerlukan izin dari kedua orangtua atau wali yang lain seperti yang diatur pada pasal 6 ayat 2 dan ayat seterusnya. 2. Anak yang sudah berumur 18 tahun keatas ataupun yang sudah kawin sebelum sampai umur 21 tahun ingat batas umur untuk kawin 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan seperti yang ditentukan pada ayat 1 Pasal 7; dianggap sudah terlepas dari kekuasaan orangtua mereka 21 . Jadi dari keterangan diatas anak yang belum berumur 18 tahun atau yang belum kawin berada dibawah kekuasaan orangtua Pasal 47 ayat 1 . Dengan demikian orang yang sudah berumur 18 tahun lebih, kalaupun belum berumur 21 tahun : a. telah lepas dari kekuasaan orangtua. b. telah dianggap mampu melakukan tindakan hukum, didalam dan diluar pengadilan tanpa bantuan dan perwakilan orang tua. c. Telah mampu dan berhak mengurus hak milik dan kepentingan sendiri tanpa bantuan dan perwakilan orangtuanya. Jadi batas umur seseorang dikatakan dewasa untuk melakukan perbuatan hukum khusus melangsungkan perkawinan adalah 21 tahun, sedangkan untuk melakukan perbuatan hukum umum diluar perkawinan seperti perbuatan hukum dalam bidang kebendaan dan perjanjian adalah 18 tahun. 6. Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Di dalam Pasal 39 Undang-Undang Jabatan Notaris, disebutkan : 20 M.Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, CV. Zahir Trading Co, Medan, 1975, halaman 200. 21 Ibid, halaman 200-201. 20 MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008. “1 Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Paling sedikit berumur 18 delapan belas tahun atau telah menikah; dan b. Cakap melakukan perbuatan hukum. 2Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 dua orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 delapan belas tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 dua penghadap lainnya. 3 Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dinyatakan secara tegas dalam akta.” Dengan demikian Undang-undang Jabatan Notaris telah dengan tegas menyebutkan bahwa batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum adalah 18 tahun. 7. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Nopember 1976 Nomor 477Sip1976 telah memutuskan yang intinya : 22 “Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Undang-undang tentang Perkawinan maka berdasarkan pasal 50 Undang-undang tersebut batas umur seseorang yang berada dibawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun, bukan 21 tahun”. Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari rabu, tanggal 13 Oktober 1976. Putusan Mahkamah Agung tersebut sebagai yurisprudensi adalah merupakan sumber hukum formal. Adapun yang dimaksud dengan yurisprudensi ialah rentetan keputusan hakim, yang sama bunyi tentang masalah yang serupa. Atau dengan kata lain yurisprudensi dapat berarti keputusan-keputusan hakim yang terdahulu yang dapat diikuti oleh hakim-hakim yang kemudiannya dalam perkara yang sama. Dari hasil penelitian data kepustakaan tersebut, terutama dalam bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, diperoleh suatu gambaran yang jelas bahwa ternyata ditemukan keanekaragaman batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam tata hukum Indonesia. Dari ketentuan-ketentuan hukum tersebut menunjukkan kepada kita bahwa terdapat 2 dua hal yang menjadi titik perhatian dalam kerangka teori hukum, yaitu : 1. Apabila dilihat dari satu sisi ketentuan hukum yang ada misalnya BW; ternyata ketentuan hukum tersebut tidak konsisten; 22 Yurisprudensi Indonesia, Mahkamah Agung RI, 1977 21 MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008. 2. Apabila dilihat dari sisi antar ketentuan hukum; terdapat pertentangan antar peraturan yang berlaku di Indonesia. Dalam konteks permasalahan hukum mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam tata hukum Indonesia tersebut diatas, maka asas-asas hukum yang tersedia untuk menjawabnya adalah : 1. Lex spesialis derogat legi generali ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan umum. 2. Lex posteriori derogat legi priori undang-undang yang baru mengenyampingkan undang-undang yang lama. 3. Lex superiori derogat legi inferiori ketentuan yang lebih tinggi mengeyampingkan ketentuan yang lebih rendah. Dengan asas hukum dimaksud, maka pertentangan hukum mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam tata hukum Indonesia memperoleh penyelesaian konflik sebagai berikut : a. Konflik dalam satu sisi ketentuan hukum Dalam beberapa ketentuan hukum mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum misalnya dalam ketentuan hukum BW, menentukan batas umur secara umum adalah 21 tahun, tetapi untuk perbuatan khusus dibenarkan menyimpangi batas umur 21 tahun tersebut, Dalam hal yang demikian maka berlaku asas; ketentuan khusus tersebut mengeyampingkan ketentuan umum Lex spesialis derogat legi generali. b. Konflik antar ketentuan hukum - Konflik antara ketentuan BW dengan Undang-undang Jabatan Notaris. Terdapat ketentuan yang berbeda mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam ketentuan BW dengan Undang-Undang Jabatan Notaris. Perbedaan ketentuan ini maka berlakulah asas; undang-undang yang baru mengenyampingkan undang-undang yang lama Lex posteriori derogat legi priori. Sampai disini yang berlaku atau yang dimenangkan adalah ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris. - Konflik antara Undang-Undang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam, dasar hukumnya adalah Instruksi Presiden Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 sedangkan Undang-Undang Perkawinan berdasarkan Undang-Undang Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dalam hal konflik antara Undang-undang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam maka berlaku asas; ketentuan yang lebih tinggi mengenyampingkan ketentuan yang lebih rendah Lex superiori derogat legi inferiori. Dalam hal ini Undang-undang lebih tinggi dari Instruksi Presiden. 22 MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.

BAB III BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM