5. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 19 6. Undang-undang Nomor 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris..................................................... 20 7. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia…… 21
BAB III BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN
A. Pembuatan Akta Notaris………………….……………………. 23 B. Akibat Hukum - Dapat Dibatalkan…………………………….. 28
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan……………………………………………………… 30 B. Saran…………………………………………………………….
31
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….. 33
ix
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pembuatan akta-akta notaris, notaris pasti berhadapan dengan pembuatan komparisi akta merupakan bahagian akta yang menguraikan
siapa yang datang menghadap notaris sekaligus menjelaskan status penghadap dimaksud. Penghadap yang nama-namanya disebutkan dalam
komparisi akta disebut dengan “komparan”. Pembuatan komparisi akta merupakan bahagian yang sangat penting, oleh karena kesalahan atau
kekeliruan notaris dalam merumuskan bunyi komparisi akta akan membawa konsekuensi yuridis.
Berbicara mengenai komparan berarti berbicara mengenai subyek hukum, baik bertindak untuk dirinya sendiri maupun mewakili orangpihak
lain. Setiap orang, disamping badan hukum adalah subyek hukum. Sebagai
subyek hukum setiap orang memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Mempunyai hak dan kewajiban tidak selalu berarti mampu atau cakap
melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya itu. Walaupun setiap orang pada umumnya mempunyai kewenangan hukum, tetapi ada golongan orang
yang dianggap tidak cakap melaksanakan beberapa hak atau kewajiban. Mereka yang tidak cakap itu adalah orang yang belum cukup umur dan
orang yang diletakkan dibawah pengampuan.
Batas umur seseorang merupakan salah satu ukuran yang menentukan apakah seseorang itu dikatakan masih dibawah umur
minderjarig atau sudah dewasa meerderjarig. Menurut hukum yang berlaku di Indonesia seseorang baru dapat atau cakap melakukan perbuatan
hukum, salah satu ukurannya adalah kalau dia sudah cukup umur dewasa menurut hukum.
Namun kedewasaan menurut batas umur seseorang bukanlah satu- satunya ukuran yang menentukan seseorang cakap melakukan perbuatan
hukum, masih ada ukuran-ukuran lain yaitu orang yang telah melangsungkan perkawinan dan tidak ditaruh dibawah pengampuan curatele. Dengan
demikian orang yang belum dewasa, belum kawin sebelum umur 21 tahun dan orang yang ditaruh dibawah pengampuan, oleh hukum dinyatakan tidak
cakap melakukan sendiri perbuatan hukum, tetapi harus diwakili oleh orangtua, wali atau kuratornya.
Menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disingkat KUHPerdata, orang dikatakan masih dibawah umur
apabila ia belum mencapai umur 21 tahun, kecuali ia sudah kawin. Kalau seseorang sudah kawin maka ia tidak akan menjadi orang yang dibawah
umur lagi meskipun perkawinannya itu putus sebelum ia mencapai umur 21 tahun.
1
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
Signifikasi pembicaraan tentang kedewasaan sebagai ukuran kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum ini erat kaitannya dengan
eksistensi manusia sebagai subjek hukum. “Hukum itu adalah untuk manusia. Kaidah-kaidahnya yang berisi
perintah, larangan dan perkenan itu ditujukan kepada anggota- anggota masyarakat, antara subjek hukum. Adapun subjek hukum
adalah yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum hanyalah manusia.
Jadi manusia oleh hukum diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban, sebagai subjek hukum atau sebagai orang.”
1
Sebenarnya setiap manusia sejak dilahirkan sampai meninggal dunia adalah subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Manusia adalah
pengertian biologis sedangkan orang merupakan pengertian yuridis. Disamping orang maka badan hukum digolongkan juga sebagai
subjek hukum. “Apa yang dimaksud dengan badan hukum, tiadalah lain merupakan
suatu pengertian, dimana suatu badan yang sekalipun bukan berupa seorang manusia namun dianggap mempunyai suatu harta kekayaan
sendiri terpisah dari para anggotanya dan merupakan pendukung dari hak-hak dan kewajiban seperti seorang manusia. Jelasnya badan
hukum itu dianggap mempunyai hak-hak dan kewajiban serta dapat turut serta dalam lalulintas hukum. Sudah tentu badan hukum dalam
melakukan perbuatan hukum yang bertindak sebagai suatu badan, tidak dapat bertindak sendiri, melainkan harus diwakili oleh para
pengurusnya.”
2
Dengan demikian badan hukum sebagai subjek hukum, dalam melakukan perbuatan hukum atas nama badan hukum adalah diwakili para
pengurusnya. Pengurus disini adalah orang, berarti harus cakap dalam melakukan perbuatan hukum.
Meskipun menurut hukum setiap orang mempunyai atau sebagai pendukung hak dan kewajiban, tidaklah selalu berarti mampu atau cakap
melaksanakan sendiri kewajibannya.
3
Untuk melaksanakan suatu ketentuan perundang-undangan menyatakan bahwa beberapa kelompok orang dinyatakan tidak cakap atau
tidak berwenang melakukan suatu perbuatan hukum, demikian pula beberapa kelompok orang dinyatakan tidak cakap atau tidak berwenang
1
Sudikno Martokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1995, halaman 67.
2
Abdul Muis, Hukum Persekutuan Perseroan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1995, halaman 11.
3
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Medan, 2000, halaman 121.
2
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
untuk melakukan suatu perbuatan hukum, demikian pula beberapa perbuatan hukum, baru sah apabila dilakukan dalam bentuk tertentu.
Dengan demikian batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum merupakan persoalan yang menarik untuk dikaji karena terdapat banyak
ketentuan dalam hukum yang ada di Indonesia yang mengatur tentang batas umur seseorang untuk dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum, baik
dalam lingkungan hukum privat maupun hukum publik.
Kondisi keanekaragaman pengaturan batas umur dalam hukum tersebut tidak jarang menimbulkan perbedaan persepsi dalam penerapan
hukum oleh aparat penegak hukum dan pelayan jasa hukum yang pada akhirnya akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Oleh karena itu perlu di lihat sikap Mahkamah Agung mengenai hal ini dari putusan-putusannya dalam yurisprudensi sebagai salah satu sumber
hukum formal. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia sudah seharusnya mengeluarkan terobosan-terobosan di bidang
hukum terhadap hal-hal yang masih rancu, karena salah satu fungsi kekuasaan Mahkamah Agung adalah fungsi peradilan artinya Mahkamah
Agung merupakan pengadilan kasasi yang tugasnya membina keseragaman dalam penerapan hukum, menjaga agar semua hukum dan Undang-Undang
di seluruh Indonesia diterapkan secara tepat dan adil.
Demikian juga halnya dengan notaris sebagai aparat penegak hukum dan pelayan jasa hukum kepada masyarakat, dalam pelaksanaan
kewenangannya sangat berkepentingan mengenai kepastian hukum pengaturan batas umur kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum ini.
Demikian urgensinya batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum ini, khususnya dalam praktek notaris dalam pembuatan akta-akta
otentik mengenai perbuatan hukum dibidang hukum perdata. Dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan yang ada maupun
ketentuan hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat tentang batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum ini, diharapkan dapat memberikan
gambaran yang jelas sehingga dapat menjamin kepastian hukum dalam rangka penerapan hukum khususnya dalam praktek notaris.
B. Permasalahan 1. Bagaimana pengaturan tentang batas umur kecakapan melakukan
perbuatan hukum dalam tata hukum Indonesia. 2. Bagaimana ketentuan tentang batas umur kecakapan melakukan
perbuatan hukum dalam praktek notaris di Kota Medan. C. Tujuan
Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaturan tentang batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam tata hukum yang berlaku di Indonesia.
3
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
2. Untuk mengetahui penerapan tentang batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam pembuatan akta-akta notaris di Kota Medan.
D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis, untuk mengetahui dan memahami lebih jauh masalah
pengaturan tentang batas umur seseorang untuk dikategorikan cakap melakukan perbuatan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia maupun dalam yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia dan sekaligus dapat menyumbangkan pemikiran
dibidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum khususnya dibidang hukum perdata.
2. Secara praktis, bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para praktisi hukum dan instansi-instansi pemerintah khususnya kalangan
notaris dalam upaya lebih menjamin kepastian hukum dalam pembuatan akta-akta yang dibuat oleh dan dihadapannya.
E.
Keaslian Penelitian.
Berdasarkan informasi yang tersedia dan dengan menelusuri kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian
dengan judul “Batas Umur Kecakapan Melakukan Perbuatan Hukum Dalam Praktek Notaris Di Kota Medan”, belum pernah ada yang meneliti. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa penelitian ini adalah asli. F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka
Teori.
Setiap manusia tanpa kecuali, selama hidupya adalah sebagai subyek hukum artinya sejak dilahirkan manusia memperoleh hak dan kewajiban,
sedangkan apabila meninggal dunia maka hak dan kewajibannya beralih kepada ahli warisnya.
Di dalam sejarah dikenal adanya manusia yang tidak mempunyai hak dan kewajiban, tidak merupakan subjek hukum yaitu budak belia. Bahkan
dikenal juga kematian perdata atau mort civile sebagai hukuman, misalnya harta warisannya menjadi terbuka untuk dibagi, isterinya menjadi janda.
4
Hal ini sangatlah penting terutama bila dikaitkan dengan nilai-nilai kemanusian sebagaimana tertuang dalam sila kedua Pancasila yaitu sila
kemanusiaan yang adil dan beradab. Pancasila sebagai ideologi dan dasar filsafat negara berada dalam strata puncak sesuai dengan kedudukannya
sebagai sumber tertinggi dari tata kehidupan nasional.
4
Sudikno Martokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1995, halaman 68.
4
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
Dari sudut filsafati, Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa dan sistem nilai, dan dari padanya bersumber sejumlah asas yang
seyogianya dijabarkan dalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
5
Pancasila sebagai filsafat negara merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya
diderivasi kedalam Undang-Undang Dasar 1945 dan seterusnya menjiwai serta dijabarkan kedalam seluruh peraturan perundang-undangan yang
dibuat.
Bahwa setiap manusia Indonesia adalah orang, dapat disimpulkan dari Pasal 26 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi; “bahwa yang menjadi
warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara.
Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang- Undang”.
Selanjutnya nilai kemanusiaan dalam Pancasila, antara lain di derivasi kedalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian”.
Sekalipun hukum menentukan, bahwa manusialah yang diakuinya sebagai penyandang hak dan kewajiban, tetapi segala sesuatunya hanya
dipertimbangkan dari segi yang bersangkut paut atau mempunyai arti hukum. Dalam hubungan ini bisa terjadi, bahwa hukum menentukan pilihannya
sendiri tentang manusia-manusia mana hendak diberinya kedudukan sebagai pembawa hak dan kewajiban. Hal ini berarti bahwa hukum bisa
mengecualikan manusia atau segolongan manusia tertentu sebagai makhluk hukum yang demikian itu. Sekalipun mereka itu adalah manusia, namun
hukum bisa tidak menerima dan mengakuinya sebagai orang dalam arti hukum. Apabila hukum sudah menetukan demikian, maka tertutup
kemungkinan bagi orang-orang tersebut untuk bisa menjadi pembawa hak dan kewajiban.
6
Bahwa setiap orang adalah subjek hukum, yakni pendukung hak dan kewajiban. Berdasarkan hal itu maka pada dasarnya setiap orang dapat
melakukan perbuatan hukum. Hal dapat melakukan perbuatan itu disebut kecakapan melakukan perbuatan hukum. Tetapi tidak setiap orang cakap
melakukan perbuatan hukum.
Dalam semua tatanan hukum dewasa ini berlaku ketentuan yang menetapkan bahwa setiap orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum
sepanjang undang-undang tidak menetapkan lain. Kecakapan melakukan
5
M.Solly Lubis, Pembahasan UUD 45, Alumni, Bandung, 1985, halaman 101.
6
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, halaman 67.
5
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
perbuatan hukum adalah kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum yang sah dan mengikat, yang tidak dapat dipersoalkan atau tidak dapat
diganggu gugat onaantastbaar. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum
handelingsonbekwame akibat hukumnya dapat dipersoalkan atau dapat dibatalkan aantastbaar atau voidable, bergantung kepada jenis perbuatan
hukum yang dilakukan. Orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau yang mewakilinya, dengan alasan ketidak cakapan melakukan
perbuatan hukum itu, mempunyai kemungkinan untuk menuntut pembatalan perbuatan hukum yang telah dilakukannya. Ketentuan hukum ini
dimaksudkan untuk melindungi orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum dari perbuatan hukumnya sendiri yang dilakukan tanpa pertimbangan
yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk melindunginya dari tindakannya yang dapat merugikan dirinya sendiri.
7
Dengan demikian berarti, meskipun setiap orang adalah sebagai subjek hukum tetapi hukum juga menentukan bahwa setiap orang tidak
selamanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang masih dibawah umur
belum dewasa dan orang dewasa yang ditempatkan dibawah pengampuan curatele. Hukum menentukan bahwa orang harus cakap untuk melakukan
perbuatan hukum, kecakapan ini dimaksudkan bahwa orang itu dalam melakukan perbuatan hukum telah dapat menyadari perbuatannya,
mempertimbangkan segala kemungkinan akibat perbuatannya sehingga bertanggung jawab atas akibat hukumnya.
Hukum terdiri dari atas berbagai kaidah yang berbeda-beda. Kaidah- kaidah itu mewujudkan isi aturan-aturan hukum. Banyak dari kaidah-kaidah
hukum itu yang oleh pembentuk undang-undang dirumuskan dalam aturan- aturan perundang-undangan.
Kaidah hukum adalah peraturan hidup tentang bagaimana manusia seharusnya berperilaku dalam masyarakat agar kepentingan orang lain dan
kepentingan diri sendiri terlindungi. Kaidah hukum sebagai meta kaidah merupakan asas hukum, yaitu
pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit. Peraturan konkrit menentukan bahwa orang harus cakap
dalam melakukan perbuatan hukum, kecakapan itu diukur dari orang itu sudah dewasa. Dewasa itu sendiri ditentukan dari batas umur seseorang.
Sedangkan pikiran dasar atau yang melatarbelakangi ketentuan demikian adalah bahwa orang harus bertanggungjawab atas perbuatan hukum yang
dilakukannya. Oleh karena itu disini terkandung asas tanggungjawab hukum.
7
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, halaman 92.
6
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang
demikian itulah yang disebut sebagai hak. Dengan demikian, tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat itu bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya
kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh hukum kepada seseorang.
Kekuasaan yang terletak di bidang publik disebut kewenangan, sedang di bidang perdata disebut kecakapan. Korelatif dari kekuasaan adalah
pertanggungjawaban.
8
Jadi dengan demikian hak yang dimiliki oleh subjek hukum, mengandung kekuasaan dalam arti kecakapan pada subjek hukum,
sedangkan kekuasaan itu sendiri berhadapan dengan pertanggungjawaban. Dengan kata lain pertanggungjawaban menunjuk kepada adanya kekuasaan
pada seseorang.
Dari uraian-uraian diatas, dengan bertitik tolak dari pengertian teori hukum menurut J.J.H.Bruggink, yaitu keseluruhan pernyataan-pernyataan
yang saling berkaitan dengan hukum sebagai sistem konseptual kaidah- kaidah hukum dan keputusan-keputusan hukum, dan pengertian teori hukum
menurut Rehngena Purba, yaitu susunan dan cara berfikir hukum dimana sebagai wadahnya hukum positif, maka terdapat pikiran dasar yang
menentukan bahwa orang harus telah dewasa baru dikatakan dapat atau cakap melakukan perbuatan hukum; dimana ukuran kedewasaan itu salah
satunya dilihat dari faktor batas umur adalah bahwa orang yang sudah dewasa, dianggap telah cakap dan mampu karena ia telah menyadari
sepenuhnya perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga ia dapat mempertanggungjawabkan segala akibat hukum yang ditimbulkannya.
2.
Konsepsi. Beberapa konsep dasar yang digunakan dalam tesis ini adalah :
1. Batas umur Batas umur adalah umur tertentu dari seseorang yang menjadi pemisah,
sesuatu yang menjadi tanda akhir sehingga beralih kepada keadaan tertentu dewasa.
2. Kecakapan Kecakapan berasal dari kata cakap, dalam bahasa Belanda disebut
“Bekwaam “, Dalam bahasa Inggris disebut “CapableCompetent“ adalah pandai,
mampu menurut hukum; memenuhi persyaratan hukum.
3. Perbuatan hukum
8
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, halaman 53.
7
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
Perbuatan hukum adalah tindakan seseorang berdasarkan suatu ketentuan hukum yang dapat menimbulkan suatu hubungan hukum;
akibat hukum.
4. Praktek Praktek adalah penerangan ilmu teori; kerja nyata.
5. Notaris Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
G. Metode Penelitian. 1.
Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan Penelitian. a. Sifat Penelitian
Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang
menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku dihubungkan
dengan teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum, berkaitan dengan batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam praktek notaris di
Kota Medan.
Sedangkan sifat analitis yang dicerminkan penelitian ini adalah karena penelitian ini ingin meneliti keanekaragaman pengaturan tentang batas umur
kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku dan peraturan mana yang dipedomani oleh notaris
dalam praktek pembuatan akta serta sikap Mahkamah Agung dalam putusan- putusannya.
b.
Metode Pendekatan Penelitian.
Penelitian ini mempergunakan metode pendekatan empiris untuk melihat sinkronisasi aturan-aturan hukum mengenai batas umur kecakapan
melakukan perbuatan hukum dalam praktek notaris di Kota Medan. Disamping itu juga penelitian ini didukung dengan menggunakan
metode pendekatan normatif, yaitu penelitian tentang substansi peraturan hukum yang berlaku di Indonesia menyangkut batas umur kecakapan
melakukan perbuatan hukum. 2. Sumber Data.
Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Medan dan dengan demikian yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh notaris yang
bertempat kedudukan di Kota Medan. Alasan pemilihan lokasi di Kota Medan adalah untuk lebih memudahkan peneliti malakukan penelitian karena
kewenangan notaris adalah sama di tempat kedudukan manapun ia bertugas.
8
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
Jumlah notaris di Kota Medan sesuai dengan data yang diperoleh dari Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Medan, sampai dengan posisi
Agustus 2007 sebanyak 260 notaris. Dari populasi tersebut ditetapkan responden sebanyak 30 notaris
dengan teknik non random sampling suatu teknik pengambilan sample dimana peran peneliti sangat besar, semua keputusan terletak ditangan
peneliti berupa purposive sampling karena populasi mempunyai karakteristik yang sama, jadi dalam penelitian ini peneliti menentukan sendiri responden
mana yang diangap mewakili populasi.
Disamping sumber data primer diatas, penelitian ini juga didukung dengan data sekunder, yang diperoleh dari sumber :
1. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan dan
yurisprudensi. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
tetang bahan hukum primer antara lain berupa tulisan atau pendapat ra ahli hukum.
3. Bahan hukum tertier, yaitu yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.
3. Alat Pengumpulan Data.
Alat pengumpulan data yang dipergunakan didalam penelitian ini adalah :
a. Library Research Penelitian Kepustakaan Penelitian kepustakaan diadakan untuk memperoleh data sekunder
dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, dan dokumentasi lainnya yang bersifat studi dokumen.
b. Field Research Penelitian Lapangan Penelitian lapangan ini dilakukan dengan cara membuat daftar
pertanyaan kuesioner dan wawancara. 4.
Analisis Data
Data sekunder yang diperoleh dari penelitian tersebut dianalisis secara yuridis, historis dan komparatif untuk memperoleh gambaran mengenai
peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi perihal batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum.
Data primer dalam penelitian ini yang diperoleh melalui kuesioner dan wawancara, juga dianalisis secara kualitatif, sehingga diperoleh gambaran
yang jelas tentang batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam praktek notaris di Kota Medan.
9
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
BAB II PENGATURAN TENTANG BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN
PERBUATAN HUKUM DALAM TATA HUKUM INDONESIA A. Dalam Hukum Publik
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Hukum Pidana juga tidak mengenal istilah kecakapan melakukan perbuatan hukum, oleh karena tindak pidana dapat saja terjadi oleh dan
terhadap siapapun tanpa melihat kecakapannya. Akan tetapi Hukum Pidana masih memperhatikan batas umur dari pelaku maupun korban pidana dalam
hal pertanggungjawaban pidana.
Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh seorang anak yang belum dewasa tercantum pada Pasal 45 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana selanjutnya disebut KUHP, dimana dari ketentuan ini dapat dilakukan penafsiran tentang beberapa batas umur kedewasaan
menurut hukum pidana.
Pasal 45 KUHP menentukan : Jika seorang anak yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang
dikerjakannya ketika umurnya belum 16 tahun, hakim boleh memerintahkan, supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orangtuanya, walinya atau
pemeliharaannya dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman; atau memerintahkan, supaya si tersalah diserahkan kepada pemerintah dengan
tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489,
490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536 dan 540 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan
dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan:atau menghukum anak yang bersalah itu.
Ketentuan diatas termasuk kedalam pengecualian, pengurangan dan penambahan hukum dalam hukum pidana.
Kemudian dalam Pasal 72 KUHP ditegaskan bahwa terhadap delik- delik aduan yang dilakukan oleh orang yang umurnya belum cukup 16 tahun
dan lagi belum dewasa, maka yang berhak mengadu ialah wakilnya yang sah.
Pasal 292 KUHP : Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya
lima tahun.
Pasal 330 KUHP menegaskan juga bahwa diancam hukuman barang siapa yang dengan sengaja melarikan orang yang belum dewasa dari
kekuasaan orang yang berhak.
10
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
Menurut R. Soesilo dalam bukunya “KUHP serta komentar- komentarnya lengkap pasal demi pasal” menyebutkan bahwa dewasa adalah
telah berumur 21 tahun, juga sudah atau sudah pernah kawin. 2. Lain-lain
Sekilas dapat dikemukakan ketentuan-ketentuan lainnya dalam lingkungan hukum publik mengenai batas umur kecakapan melakukan
perbuatan hukum : a. Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
-Pasal 4 huruf h : Warga Negara Indonesia adalah setiap orang yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan danatau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia h anak yang lahir di luar perkawinan
yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan
pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 delapan belas tahun atau belum kawin.
9
-Pasal 5 ayat 1 : Anak Warga Negara Indonesia yang lahir diluar perkawinan yang sah,
belum berusia 18 delapan belas tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui
sebagai Warga Negara Indonesia.
-Pasal 6 : Ayat 1 : Dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia
terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, dan Pasal 5 berakibat anak
berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 delapan
9
Dengan berlakunya Undang-undang Kewarganegaraan, penduduk Indonesia hanya digolongkan kedalam Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing. Sejalan
dengan ketentuan pasal 4 huruf h diatas timbul pertanyaan kepada kita, apakah setiap WNI dapat mengakui anak?. Sebagaimana diketahui pengakuan terhadap anak luar kawin hanya
dikenal dalam sistem hukum BW lihat pasal 280 sd 289 dan menjadi pertanyaan lagi; kepada siapakah berlaku hukum BW tersebut ?.
Dari redaksi ketentuan pasal 4 huruf h tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap WNI dapat mengakui anak. Harus dipahami bahwa sekalipun penduduk Indonesia hanya
digolongkan kedalam WNI dan WNA akan tetapi hukum perdata yang berlaku tidaklah sama terhadap setiap WNI. Memang ketentuan BW masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku menurut UU Republik Indonesia. Ketentuan BW berlaku kepada mereka yang digolongkan kedalam golongan Timur Asing Tionghoa Ingat pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 jo. Pasal 163 IS. Oleh karena itu seharusnya ketentuan pasal 4 huruf h UU Kewarganegaraan diatas harus menegaskan; pengakuan anak luar kawin oleh seorang
ayah WNI yang mana ? Tentunya WNI turunan Tionghoa.
11
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
belas tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Ayat 2 : Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagai mana dimaksud pada ayat 1 dibuat secara tertulis dan
disampaikan kepada pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan didalam peraturan
perundang-undangan. Ayat 3 : Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 disampaikan dalam waktu paling lambat 3 tiga tahun setelah anak berusia 18 delapan
belas tahun atau sudah kawin.
-Pasal 9 : Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika
memenuhi persyaratan sebagai berikut : telah berusia 18 delapan belas tahun atau sudah kawin.
b. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 2003 tentang Partai Politik.
-Pasal 2 ayat 1 : “Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50
limapuluh orang Warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 duapuluh satu tahun dengan akta notaris”.
c. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum.
-Pasal 13 : “Warga Negara Republik Indonesia yang pada waktu pemungutan
suara sudah berumur 17 tujuhbelas tahun atau sudahpernah kawin mempunyai hak memilih”.
-Pasal 41 : Syarat untuk menjadi anggota PPK, PPLN, PPS, KPPS dan KPPSLN
adalah berumur sekurang-kurangnya 17 tahun. -Pasal 60 :
Calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD KabupatenKota harus memenuhi syarat Warga Negara Republik Indonesia yang
berumur 21 duapuluh satu tahun atau lebih.
d. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
-Pasal 1 : anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapanbelas tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. e. Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 36 tahun 1990 tentang
Konvensi Hak-hak Anak.
12
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
-Yang dimaksud anak dalam Konvensi ini adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang
berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.
f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak.
-Pasal 4 ayat 1 : Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah
sekurang-kurangnya 8 delapan tahun tetapi belum mencapai umur 18 delapanbelas tahun dan belum pernah kawin.
g. Undang-undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
-Pasal 1 angka 26 : Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 delapan belas
tahun. -Pasal 68 menyebutkan :
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Ketentuan dimaksud dapat dikeculikan bagi anak berumur 13
tahun sampai 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan
sosial, dengan syarat antara lain harus mendapat izin tertulis dari orangtua atau wali Lihat pasal 69 .
Anak yang berumur paling sedikit 14 tahun dengan syarat tertentu, dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan
bagian dari kurikulum pendidikan dan pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang Lihat pasal 70.
-
B. Dalam Hukum Privat 1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Ketentuan BW tentang kedewasaan diatur dalam Pasal 330 yang berbunyi :
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 duapuluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila
perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap duapuluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum
dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian”.
Ketentuan Pasal 330 BW tersebut diatas mengandung arti bahwa batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum menurut BW adalah orang
yang telah mencapai umur genap 21 tahun atau telah kawin sebelum mencapai umur 21 tahun. Dalam hal demikian orang tersebut dapat
melakukan perbuatan hukum sepenuhya dalam arti dapat melakukan perbuatan hukum apa saja.
13
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
Istilah kedewasaan harus dibedakan dengan istilah pendewasaan atau perlunakan handlichting sekalipun dengan lembaga ini bermaksud
menjadikan orang belum dewasa menjadi dipersamakan dengan orang dewasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 419 BW, yang menyebutkan :
“Dengan melakukan perlunakan, seorang anak belum dewasa boleh dinyatakan dewasa atau bolehlah diberikan kepadanya hak
kedewasaan yang tertentu.”
Pendewasan untuk dipersamakan sepenuhnya dengan seorang yang sudah dewasa, dapat diajukan oleh seorang anak yang sudah mencapai
umur 20 tahun, dengan ketentuan dalam hal perkawinan terhadap orang itu tetap berlaku ketentuan pasal 35 dan 37 BW yaitu untuk mengikat diri dalam
perkawinan harus memperoleh izin dari orangtua atau wali. Sedangkan pendewasaan untuk dipersamakan dalam beberapa hal saja, dapat diberikan
oleh Pengadilan Negeri kepada seorang anak yang sudah mencapai umur 18 tahun.
10
Batas umur dewasa menurut ketentuan BW adalah 21 tahun yang berarti telah dapat melakukan sendiri perbuatan hukum tanpa bantuan orang
lain, akan tetapi terdapat beberapa ketentuan dalam BW yang memberikan hak kepada seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu, yaitu :
- Untuk melangsungkan perkawinan seorang pria harus telah mencapai
umur 18 tahun dan seorang wanita telah mencapai umur 15 tahun Pasal 29 dengan ketentuan setelah terlebih dahulu memperoleh izin dari kedua
orang tua mereka Pasal 35 atau izin dari wali jika kedua orangtua dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak mereka Pasal 37.
- Untuk pengakuan anak luar kawin oleh seorang laki-laki belum dewasa,
diperbolehkan setelah laki-laki tersebut telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan pengakuan anak luar kawin oleh seorang perempuan belum
dewasa tidak ada suatu pembatasan umur Pasal 282.
- Untuk membuat surat wasiat, apabila sudah mencapai umur 18 tahun.
Dalam Pasal 897 BW disebutkan para belum dewasa yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun, tak diperbolehkan membuat
surat wasiat.
- Untuk bertindak sebagai saksi di pengadilan harus telah mencapai umur
15 tahun. Pasal 1912 BW, menyatakan orang-orang yang belum genap berusia lima belas tahun, begitu juga orang-orang yang ditaruh dibawah
10
Dalam hal ini perlu diperhatikan ketentuan pasal 39 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris akan diuraikan dalam pembahasan berikutnya;
Penghadap harus memenuhi syarat paling sedikit berumur 18 tahun. Dengan demikian orang yang telah genap berumur 18 tahun telah cakap melakukan perbuatan hukum sendiri
dewasa tanpa memerlukan bantuan orang lain. Dalam suasana berlakunya Undang- undang Jabatan Notaris tersebut maka keberadaan lembaga pendewasaan yang diatur
dalam BW tersebut dengan sendirinya seharusnya menjadi tidak diperlukan lagi.
14
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
pengampuan karena dungu, sakit ingatan atau mata gelap ataupun selama perkara sedang bergantung, atas perintah hakim telah dimasukkan
dalam tahanan, tidak dapat diterima sebagai saksi.
Dari ketentuan-ketentuan BW diatas, ternyata BW sendiri tidak konsisten mengenai penentuan batas umur kecakapan melakukan perbuatan
hukum, artinya terdapat keanekaragaman batas umur seseorang untuk dapat dikategorikan cakap melakukan perbuatan hukum, walaupun dapat
disimpulkan bahwa untuk melakukan segala perbuatan hukum berlaku ketentuan umum batas umur kecakapan yaitu 21 tahun, sedangkan untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu oleh hukum diadakan beberapa pengecualian penentuan batas umur.
2. Hukum Adat.
Hukum adat ternyata tidak mengenal kriteria batas umur untuk menentukan kecakapan orang dalam melakukan perbuatan hukum,
melainkan melihatnya dari tanda-tanda tertentu. Hukum adat tidak mengenal pengertian minderjarig dan meerderjarig
seperti dalam hukum perdata Barat guna menentukan kecapakan melakukan perbuatan hukum.
Mengenai minderjarig untuk golongan Bumiputera pernah di introdusir dengan Stb.193154 dengan mencabut Stb.1917738, yang menentukan:
1. Apabila peraturan perundang-undangan memakai istilah belum dewasa, maka sekedar mengenai bangsa Indonesia, dengan istilah itu
yang dimaksudkan; segala orang yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
2. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mulai umur 21 tahun, maka
tidaklah mereka kembali lagi dalam istilah belum dewasa. 3.
Dalam paham perkawinan tidaklah termasuk perkawinan anak-anak. Kapan seseorang dianggap dewasa? Kriteria ukuran dewasa dalam
hukum adat adalah berlainan dengan kriteria yang dipakai dalam hukum perdata Barat. Dalam hukum adat kriterianya adalah bukan umur, tetapi
kenyataan-kenyataan ciri-ciri tertentu Soepomo dalam “Adatprivaatrecht van West-Java” halaman 31.
11
Ciri-ciri yang dimaksud Supomo dalam bukunya tersebut, seseorang sudah dianggap dewasa dalam hukum adat, apabila ia antara lain sudah :
a. kuwat gawe dapat mampu bekerja sendiri. artinya cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan
kemasyarakatan serta mempertanggungjawabkan sendiri segala-galanya itu.
b. cakap mengurus harta bendanya serta lain keperluan sendiri.
11
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1982, halaman 104.
15
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
Hukum Adat Indonesia asli memperhatikan petunjuk-petunjuk kodrat alam dan secara berangsur-angsur memberikan kecakapan berbuat kepada
orang muda menurut perkembangan jiwa raganya.
12
Menurut Djojodiguno dalam bukunya “Asas-asas Hukum Adat“, hukum adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara orang yang sama sekali
tidak cakap melakukan perbuatan hukum dan yang cakap melakukan perbuatan hukum. Peralihan dari tidak cakap menjadi cakap dalam
kenyataannya berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan. Pada umumnya menurut hukum adat Jawa seseorang cakap penuh melakukan
perbuatan hukum, apabila sudah hidup mandiri dan berkeluarga sendiri sudah “mentas” atau mencar”
13
Selanjutnya Djojodiguno mengatakan bahwa menurut Hukum Adat
Jawa, berakhirnya keadaan tidak lengkapnya status badan pribadi seseorang tidak digantungkan kepada keadaan dewasa dalam arti biologis, melainkan
kepada keadaan mandiri dalam arti sosial, yaitu telah kawin dan lagi pula berumahtangga sendiri Djojodigoeno-Tirtawinata; “Hukum Privat Adat Jawa-
Pusat’,dalil 8 .
14
Ter Haar dalam bukunya “Beginsellen en Stelsel van het Adatrecht” ada menulis; bahwa seseorang sudah dewasa menurut hukum adat di dalam
persekutuan-persekutuan hukum yang kecil adalah pada saat seseorang baik laki-laki atau perempuan apabila dia sudah kawin dan disamping itu telah
meninggalkan rumah orangtuanya ataupun rumah mertua dan pergi pindah dan mendirikan kehidupan rumah keluarga sendiri.
Menurut hukum adat keadaan seseorang belum cukup umur itu adalah berakhir pada waktu berakhirnya dia sebagai anak rumah. Jadi seseorang itu
sudah dewasa adalah pada saat dia tidak lagi menjadi anak rumah, tetapi sudah bisa bertindak sebagai kepala rumah tangga. Faktor ini adalah
penting, sebab seseorang yang sudah kawin belum tentu sudah dewasa, kalau dia belum menjadi kepala rumah tangga. Karena mengenai hal ini
dalam beberapa daerah lingkungan hukum orang yang baru kawin selama atau pada tahun-tahun pertama masih serumah dengan orangtua atau
mertuanya dengan tujuan supaya mereka yang baru kawin itu mendapat milik sendiri pada waktu meninggalkan rumah orangtuamertua untuk berumah
sendiri dibelakang hari. Hal ini selalu disebut dengan Mencar Jawa, Njayo Karo.
15
Kerampungan status badan pribadi dicapai orang Jawa pada saat ia mencapai status orang mandiri. Sedang orang mandiri ialah orang yang
sudah kawin, lagipula sudah berumahtangga sendiri. Orang-orang yang
12
Iman Sudiyat, Op Cit halaman 76
13
Surojo, Op Cit halaman 104.
14
Iman Sudiyat, Op Cit halaman 76.
15
Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Fakultas Hukum USU, halaman 9.
16
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
belum mencapai kerampungan status badan pribadi orang belum mandiri itu berangsur-angsur mencapai kecakapan berbuat.
16
Di daerah TapanuliBatak, seseorang itu dianggap telah dewasa apabila sudah kawin dan sudah mengepalai rumah tangga sendiri yang
disebut dengan nungnga manjae atau nungnga ditutung hudonna, dan yang belum dewsa disebut ndang ditutung dope hudonna atau ndang dope
manjae.
17
Di Aceh, untuk orang-orang yang masih onmondig minderjarig, kecakapannya berbuat terbatas, tetapi batas-batasnya ditentukan menurut
kepatutan; berakhirnya keadaan onmondig itu ditentukan “menurut akal sehat“
18
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa mengenai kapan seseorang dikatakan dewasa sehingga ia cakap melakukan perbuatan
hukum tanpa bantuan orang lain, tidak ada ketegasan dalam hukum adat karena tidak diukur dari batas umur tetapi apabila ia telah benar-benar
mandiri lepas dari tanggungan orangtua yang pada umumnya dilihat dari; apabila ia sudah kawin dan telah berumahtangga sendiri serta
anggapanperlakuan masyarakat terhadap orang tersebut. 3. Hukum Islam.
Dalam Hukum Islam, yang menjadi batas sehingga seseorang sudah melewati masa anak-anak dan sudah masuk kurun dewasa disebut baligh,
dalam hal demikian seseorang sudah dapat dipandang sempurnya akalnya. Akil baligh itu bukan dilihat dari batas umur tertentu, melainkan dilihat dari
tanda-tanda biologis, yaitu bagi anak laki-laki mulai datang mimpi telah keluar air mani dan bagi anak wanita telah datang masa kotornya haid.
Sejak saat itu orang dimaksud telah dikategorikan sebagai dewasa menurut agama Islam.
Oleh karena baligh sebagai tanda permulaan dewasa tidak dapat disamakan bagi semua orang karena permulaan haid tidak sama bagi semua
wanita dan permulaan mimpi tidak sama bagi semua pria maka ditetapkan oleh jumhur ulama bahwa umur 15 tahun adalah permulaan baligh.
19
4. Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam menyangkut tentang hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan, yang di dalamnya ada mengatur
tentang batas umur dewasa.
16
Iman Sudiyat, Op Cit halaman 78.
17
Datuk Usman, Op Cit halaman 10.
18
Iman Sudiyat, Op Cit halaman 79.
19
Ismail Muhmmad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, halaman 162.
17
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
Dalam Bab XIV tentang pemeliharaan anak, Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam, menyatakan :
“Ayat 1 batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 Tahun, sepanjang anak tersebut tidak memiliki
cacat fisik maupun mental atau belum pernah melakukan perkawinan.
Ayat 2 orangtuanya mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan. Ayat 3 pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat
dekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orangtuanya tidak mampu.”
Pasal 107 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah
melangsungkan perkawinan. Dari ketentuan Kompilasi Hukum Islam diatas, maka dewasa adalah
mereka yang telah berumur 21 tahun atau telah kawin. Konsekuensi dari ketentuan batas umur dewasa menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu 21
tahun, terlihat dalam beberapa ketentuan selanjutnya mengenai kewajiban seorang wali dan akibat putusnya perkawinan baik karena talak maupun
karena perceraian.
Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun
atau telah kawin Pasal 111 ayat 1 KHI. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah semua biaya
hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan
dapat mengurus diri sendiri yaitu 21 tahun Pasal 158 huruf d KHI.
Demikian juga halnya dalam hukum kewarisan mengenai wasiat dan hibah ditentukan sebagai berikut :
Orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain
atau lembaga Pasal 194 ayat 1 KHI. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal
sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 13 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga dihadapan dua orang
saksi untuk dimiliki Pasal 210 ayat 1 KHI.
Pengecualian batas umur dewasa di atas adalah untuk perbuatan hukum melangsungkan perkawinan sekalipun dengan syarat harus mendapat
izin dari orangtua, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi :
“Ayat 1 Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai
umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No.1
18
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16
tahun.
Ayat 2 Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana di atur dalam pasal 6 Ayat
2, 3, 4 dan 5 UU No.1 tahun 1974.”
5. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Mengenai
pengaturan batas umur kapan seseorang itu dikatakan
dewasa tidak ada suatu ketegasan dalam Undang-undang Perkawinan ini. Apabila diperhatikan isi dari Undang-Undang tersebut terdapat beberapa
pengaturan batas umur dalam melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu : Pasal 6 ayat 2 :
“Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orangtua.”
Pasal 7 ayat 1 : “Perkawinan hanya dizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.” Pasal 47 :
“Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama
mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan
di luar Pengadilan.” Pasal 48 :
“Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun
atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.”
Pasal 50 ayat 1 : “Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orangtua, berada dibawah kekuasaan wali.”
Dari pengaturan batas umur dalam melakukan perbuatan hukum seperti tersebut diatas, terdapat dua pasal mengenai penentuan dewasa
yaitu Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 47. Memang, kalau kita perhatikan ayat 2 Pasal 6, seolah-olah kita dapat
menarik kesimpulan, bahwa anak yang sudah berumur 21 tahun dianggap sudah dewasa. Sehingga sesuai dengan ketentuan ayat 2 Pasal 6; anak
yang sudah berumur 21 tahun tidak perlu lagi mendapat izin dari orangtua.
Hal ini kita tarik secara acontrario dari bunyi ayat 2 Pasal 6 itu sendiri, yang menentukan bahwa bagi mereka yang belum mencapai umur 21 tahun
19
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
harus mendapat izin dari kedua orang tua untuk melangsungkan perkawinan. Kalau sudah berumur 21 tahun tidak perlu izin dari kedua orangtua, karena
orang yang telah mencapai umur 21 tahun sudah dianggap dewasa dan telah dapat menentukan kehendaknya tanpa izin dan setahu orang tua.
20
Apabila ditarik kesimpulan sementara bahwa ketentuan Pasal 6 ayat 2 tersebut hanya berlaku; khusus untuk melangsungkan perkawinan saja
bukan berlaku umum untuk segala perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47.
Membandingkan kedua bunyi ketentuan diatas pembuat Undang- Undang nampaknya membuat dua kategori tentang batas-batas kedewasaan
seorang anak : 1. untuk melakukan perkawinan seorang anak dianggap sudah dewasa
apabila telah berumur 21 tahun; sehingga anak yang melakukan perkawinan kalau sudah berumur 21 tahun tidak memerlukan izin dari
kedua orangtua atau wali yang lain seperti yang diatur pada pasal 6 ayat 2 dan ayat seterusnya.
2. Anak yang sudah berumur 18 tahun keatas ataupun yang sudah kawin sebelum sampai umur 21 tahun ingat batas umur untuk kawin 19 tahun
bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan seperti yang ditentukan pada ayat 1 Pasal 7; dianggap sudah terlepas dari kekuasaan orangtua
mereka
21
. Jadi dari keterangan diatas anak yang belum berumur 18 tahun atau
yang belum kawin berada dibawah kekuasaan orangtua Pasal 47 ayat 1 . Dengan demikian orang yang sudah berumur 18 tahun lebih, kalaupun
belum berumur 21 tahun : a. telah lepas dari kekuasaan orangtua.
b. telah dianggap mampu melakukan tindakan hukum, didalam dan diluar
pengadilan tanpa bantuan dan perwakilan orang tua. c. Telah mampu dan berhak mengurus hak milik dan kepentingan sendiri
tanpa bantuan dan perwakilan orangtuanya. Jadi batas umur seseorang dikatakan dewasa untuk melakukan
perbuatan hukum khusus melangsungkan perkawinan adalah 21 tahun, sedangkan untuk melakukan perbuatan hukum umum diluar perkawinan
seperti perbuatan hukum dalam bidang kebendaan dan perjanjian adalah 18 tahun.
6.
Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Di dalam Pasal 39 Undang-Undang Jabatan Notaris, disebutkan :
20
M.Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, CV. Zahir Trading Co, Medan, 1975, halaman 200.
21
Ibid, halaman 200-201.
20
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
“1 Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Paling sedikit berumur 18 delapan belas tahun atau telah
menikah; dan b. Cakap melakukan perbuatan hukum.
2Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 dua orang saksi pengenal yang berumur
paling sedikit 18 delapan belas tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2
dua penghadap lainnya.
3 Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dinyatakan secara tegas dalam akta.”
Dengan demikian Undang-undang Jabatan Notaris telah dengan tegas menyebutkan bahwa batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum
adalah 18 tahun. 7.
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
Sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Nopember 1976 Nomor 477Sip1976 telah memutuskan yang intinya :
22
“Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Undang-undang tentang Perkawinan maka berdasarkan pasal 50 Undang-undang tersebut
batas umur seseorang yang berada dibawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun, bukan 21 tahun”.
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari rabu, tanggal 13 Oktober 1976.
Putusan Mahkamah Agung tersebut sebagai yurisprudensi adalah merupakan sumber hukum formal.
Adapun yang dimaksud dengan yurisprudensi ialah rentetan keputusan hakim, yang sama bunyi tentang masalah yang serupa. Atau
dengan kata lain yurisprudensi dapat berarti keputusan-keputusan hakim yang terdahulu yang dapat diikuti oleh hakim-hakim yang kemudiannya
dalam perkara yang sama.
Dari hasil penelitian data kepustakaan tersebut, terutama dalam bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, diperoleh suatu gambaran yang jelas bahwa ternyata ditemukan keanekaragaman batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam
tata hukum Indonesia.
Dari ketentuan-ketentuan hukum tersebut menunjukkan kepada kita bahwa terdapat 2 dua hal yang menjadi titik perhatian dalam kerangka teori
hukum, yaitu : 1. Apabila dilihat dari satu sisi ketentuan hukum yang ada misalnya BW;
ternyata ketentuan hukum tersebut tidak konsisten;
22
Yurisprudensi Indonesia, Mahkamah Agung RI, 1977
21
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
2. Apabila dilihat dari sisi antar ketentuan hukum; terdapat pertentangan antar peraturan yang berlaku di Indonesia.
Dalam konteks permasalahan hukum mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam tata hukum Indonesia
tersebut diatas, maka asas-asas hukum yang tersedia untuk menjawabnya adalah :
1. Lex spesialis derogat legi generali ketentuan khusus mengenyampingkan
ketentuan umum. 2. Lex posteriori derogat legi priori undang-undang yang baru
mengenyampingkan undang-undang yang lama. 3. Lex superiori derogat legi inferiori ketentuan yang lebih tinggi
mengeyampingkan ketentuan yang lebih rendah. Dengan asas hukum dimaksud, maka pertentangan hukum mengenai
batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam tata hukum Indonesia memperoleh penyelesaian konflik sebagai berikut :
a. Konflik dalam satu sisi ketentuan hukum
Dalam beberapa ketentuan hukum mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum misalnya dalam ketentuan hukum BW,
menentukan batas umur secara umum adalah 21 tahun, tetapi untuk perbuatan khusus dibenarkan menyimpangi batas umur 21 tahun
tersebut, Dalam hal yang demikian maka berlaku asas; ketentuan khusus tersebut mengeyampingkan ketentuan umum Lex spesialis derogat legi
generali.
b. Konflik antar ketentuan hukum - Konflik antara ketentuan BW dengan Undang-undang Jabatan Notaris.
Terdapat ketentuan yang berbeda mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam ketentuan BW dengan
Undang-Undang Jabatan Notaris. Perbedaan ketentuan ini maka berlakulah asas; undang-undang yang baru mengenyampingkan
undang-undang yang lama Lex posteriori derogat legi priori. Sampai disini yang berlaku atau yang dimenangkan adalah ketentuan
Undang-Undang Jabatan Notaris.
- Konflik antara Undang-Undang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum
Islam. Kompilasi Hukum Islam, dasar hukumnya adalah Instruksi
Presiden Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 sedangkan Undang-Undang Perkawinan berdasarkan Undang-Undang Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974
Dalam hal konflik antara Undang-undang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam maka berlaku asas; ketentuan yang lebih
tinggi mengenyampingkan ketentuan yang lebih rendah Lex superiori derogat legi inferiori. Dalam hal ini Undang-undang lebih tinggi dari
Instruksi Presiden.
22
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
BAB III BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM
DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN. A. Pembuatan Akta Notaris
Dalam pembuatan akta-akta notaris, notaris senantiasa harus berhadapan dengan pembuatan komparisi akta, artinya pembuatan bagian
dari akta notaris yang menguraikan siapa yang berhadapan dengan notaris sekaligus menguraikan status penghadap dimaksud.
Orang yang menghadap dihadapan notaris disebut komparan, dituangkan dalam komparisi yang merupakan bagian dari kepala akta.
Dewasa ini perkataan “komparisi” dapat kita artikan sebagai: cara bagaimana merumuskan dengan kalimat-kalimat yang jelas dalam kualitas apa
seseorang itu menghadap notaris agar dapat dengan jelas diketahui siapa yang menjadi subjek hukum yang terikat atas akibat hukum yang timbul dari
perjanjian, penetapan atau pernyataan yang dimuat dalam akta tertentu.
23
Dari ketentuan Undang-undang Jabatan Notaris tersebut jelas secara normatif bahwa batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum harus
memenuhi syarat paling sedikit berumur 18 tahun dan penghadap harus dikenal oleh notaris.
Mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam praktek notaris di Kota Medan, sesuai dengan hasil penelitian penulis dapat
disampaikan sebagai berikut : Hasil penelitian ini diperoleh di Kota Medan dengan mengajukan
pertanyaan melalui kuesioner kepada sejumlah notaris dengan tempat kedudukan di Kota Medan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Medan bahwa jumlah notaris yang bertempat kedudukan di Kota
Medan posisi per-bulan Agustus 2007 berjumlah 260 orang notaris. Dengan demikian populasi penelitian ini adalah 260 notaris.
Dari 260 notaris tersebut diambil sampel sebanyak 30 notaris yang dianggap telah dapat mewakili pendapat dari seluruh notaris di Kota Medan.
Sesuai dengan hasil kuesioner kepada 30 notaris di Kota Medan mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam
praktek notaris di Kota Medan, dengan pertanyaan : •
Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dalam Pasal 19 ayat 1 huruf a disebutkan
“Penghadap harus memenuhi syarat paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah”, Apakah ketentuan batas umur 18 tahun tersebut
telah Saudara terapkan dalam praktek pembuatan akta ?.
23
M.U.Sembiring, Tehnik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ,Medan, 1997, halaman 29.
23
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
Dari pertanyaan kepada 30 notaris tersebut seluruhnya 100 menjawab “Ya”.
Dari jawaban 30 notaris tersebut menunjukkan bahwa batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam praktek notaris di
Kota Medan adalah 18 tahun yaitu sesuai dengan ketentuan Undang- undang Jabatan Notaris.
• Sejak kapankah Saudara mengetahui bahwa batas umur kecakapan
melakukan perbuatan hukum adalah 18 tahun ?. Dari pertanyaan kepada 30 notaris tersebut seluruhnya 100
menjawab “Mengetahuinya sejak berlakunya Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris”.
Sebenarnya sebelum
berlakunya Undang-undang Jabatan Notaris tersebut juga telah terjadi polemik diantara para praktisi hukum
mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum terutama setelah lahirnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan. Undang-undang Perkawinan sekalipun tidak secara tegas menyebutkan batas umur dewasa, namun dengan
memperhatikan pasal 47 dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dengan pengakhiran kekuasaan orangtua berarti memberikan kepada
anak itu status dewasa artinya telah cakap melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa bantuan orang lain.
Ketidaktegasan batas umur dewasa dalam Undang-undang Perkawinan tersebut maka para praktisi hukum tetap memberlakukan
batas umur 21 tahun menurut KUHPerdata untuk dikatakan dewasa.
• Apakah ketentuan batas umur 18 tahun tersebut Saudara berlakukan
terhadap semua jenis pembuatan akta? Dari pertanyaan kepada 30 notaris tersebut seluruhnya 100
menjawab “Tidak”, dimana untuk akta-akta perbuatan hukum tertentu yaitu akta-akta mengenai perbuatan hukum yang menyangkut
pertanahan seperti akta pelepasan hak atas tanah, akta pengikatan jual beli, akta kuasa dan lain-lain, dalam praktek notaris di Kota Medan
tidak memberlakukan batas umur 18 tahun melainkan 21 tahun.
Fakta ini tentunya terjadi sebagai akibat dari keanekaragaman ketentuan batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam
tata hukum yang berlaku di Indonesia. Kondisi keanekaragaman pengaturan batas umur kecakapan
melakukan perbuatan ini menimbulkan berbagai pertanyaan dari berbagai pihak. Hal ini misalnya dapat terlihat dari surat jawaban
Direktorat Jenderal Hukum Dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman pada waktu itu, tertanggal 26 September 1978 Nomor :
YA.826414, yang ditujukan kepada Ketua Balai Harta Peninggalan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang, perihal
24
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
Putusan Mahkamah Agung mengenai batas umur seseorang yang berada dibawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun bukan 21
tahun, yang selengkapnya isinya sebagai berikut fotocopy surat mana ada disimpan penulis :
“Sehubungan dengan persoalan mengenai batas umur dewasa bagi seseorang yang sering Saudara tanyakan baik dalam Raker maupun
dengan surat kepada kami, maka dengan ini kami beritahukan, bahwa sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Nopember 1976
Nomor 477Sip1976, bahwa umur seseorang yang berada dibawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun.
Dengan demikian Putusan tersebut dapat Saudara pergunakan sebagai pegangan dalam melaksanakan tugas Balai Harta
Peninggalan selaku wali Pengawas, dan untuk jelasnya bersama ini kami lampirkan salinan dari Putusan Mahkamah Agung tersebut.”
Sesuai dengan hasil wawancara dengan Syafruddin staf Kantor Pertanahan Kota Medan, mereka tidak menerima atau
menolak permohonan pendaftaran tanah apabila terdapat data yuridis berupa akta notaris yang dilakukan oleh penghadap yang belum
mencapai umur 21 tahun.
Alasannya adalah berdasarkan Peraturan Menteri AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1977
tentang Pedoman Pengisian Akta Jual Beli, Badan Pertanahan Nasional sub 6a :
“Pengertian cakap melakukan tindakan hukum adalah telah berumur 21 tahun atau telah menikah sebelum 21 tahun”.
Pedoman ini menjadi acuan bagi Kantor Pertanahan terhadap seluruh akta-akta yang menyangkut pertanahan sehingga tidak
melayani permohonan pendaftaran tanah apabila penghadap dalam pembuatan akta notaris tersebut belum mencapai umur 21 tahun.
Akta-akta notaris yang berkaitan dengan pertanahan seperti akta pelepasan hak atas tanah, akta pengikatan jual beli dan akta
kuasa dalam prakteknya, Kantor Pertanahan tidak menerima dan atau menolak akta tersebut jika para penghadap belum berusia 21 tahun,
berarti Kantor Pertanahan dengan Peraturan Menteri Agraria diatas lebih jauh berpedoman kepada ketentuan BW Burgelijk Wetbook
mengenai kedewasaan.
Kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum dikaitkan dengan dewasa dalam hukum pertanahan bersandar kepada
ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “belum dewasa adalah mereka yang belum genap 21 tahun dan
sebelumnya belum kawin”, hal ini dapat dimaklumi karena tidak
25
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
tegasnya mengenai ketentuan umur dewasa dalam hukum, terutama hukum adat yang dapat dijadikan dasar pengaturannya.
Kalau ditelusuri lebih jauh, hukum pertanahan kita justru bersandar kepada hukum adap bukan kepada hukum produk kolonial
BW. Undang-undang Pokok Agraria pasal 5 menyebutkan; Hukum
agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
undang-undang ini, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur- unsur yang bersandar pada hukum agama.
Menurut hemat penulis, jika hukum adat sendiri tidak ada mengatur mengenai batas umur kecakapan melakukan perbuatan
hukum, sedangkan Undang-undang Jabatan Notaris telah mengatur dengan tegas 18 tahun sebagai hukum produk legislatif nasional,
mengapa Kantor Pertanahan masih mengacu kepada BW 21 tahun sebagai hukum produk legislatif kolonial ?, Apalagi Peraturan Menteri
AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional secara hirarkis kedudukannya jauh berada dibawah Undang-undang.
Menghadapi fakta seperti, notaris secara orang perorangan tentunya selalu memberikan argumen hukum kepada Kantor
Pertanahan, akan tetapi Kantor Pertanahan selalu tetap pada pendiriannya seperti dikemukakan diatas. Dalam kejadian seperti ini
notaris hanya mengambil sikap dengan mengikuti kehendak Kantor Pertanahan.
Memang harus diakui, tidak satu pun ketentuan hukum khusus secara umum dan tegas menetapkan cakap melakukan perbuatan
hukum yang dikaitkan dengan unsur dewasa secara yuridis dan unsur umur secara biologis sehingga dianggap secara normal mempunyai
kematangan berpikir dan kemampuan menyadari sepenuhnya tindakan dan akibatnya. Namun, sebaliknya kita hanya dapat melihat
tujuannya, yaitu untuk melindungi anak di bawah umur yang tidak patut menerima akibat hukum.
Perbedaan ketentuan cakap melakukan perbuatan hukum, karena dewasa menunjukkan adanya perbedaan anggapan pada
kemampuan fisik dan atau mental manusia untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang terukur secara biologis atau psikologis,
sehingga dinilai sanggup menyandang hak dan kewajiban khusus terhadap perbuatan hukum tertentu.
Faktual, pertentangan pengaturan-pengaturan umur dewasa justru terjadi pada perbuatan hukum, subjek hukum dan objek hukum
tertentu, contohnya notaris dengan kewenangannya membuat akta
26
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
pertanahan untuk penghadap yang berumur 18 tahun, tentu tidak akan diterima ketika akta tersebut didafatarkan di Kantor Pertanahan,
karena subyek hukum belum mencapai umur 21 tahun.
Konflik hukum tersebut seharusnya dapat diselesaikan dengan cara berfikir hukum sehingga konstelasi hukum menjadi satu sistem
yang sinkronisasi dan konsistensi, dalam hal ini menurut Alvi Syahrin, “perbuatan hukum anak yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat persetujuan dari orangtua atau walinya”.
Dengan demikian kecakapan seseorang yang dikaitkan dengan kemampuan bertindak dalam hukum pertanahan bersandar kepada
ketentuan Pasal 452 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu orang yang ditempatkan di bawah pengampuan berkedudukan sama
dengan anak yang belum dewasa. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan mental atau sifat pemborosan atau karena pailitnya
subyek hukum.
Konsekuensinya bahwa setiap perbuatan hukum hak atas tanah yang diperbuat oleh orang yang mempunyai kedudukan di bawah
pengampuan dapat dibatalkan demi hukum. Kebatalan berlaku atas semua perbuatan hukum baik perbuatan hukum berganda maupun
tindakan hukum sepihak. Dengan mengatakan perbuatan hukum batal, berarti bahwa karena adanya cacat hukum mengakibatkan tujuan
perbuatan hukum tersebut menjadi batal.
• Dalam pembuatan akta-akta notaris, penghadap harus dikenal oleh
notaris. Untuk mengenali penghadap khususnya menyangkut nama dan batas umur dari orang yang datang menghadap notaris, tanda
pengenal apakah yang Saudara pergunakanyang diminta kepada penghadap?.
Dari pertanyaan kepada 30 notaris tersebut seluruhnya 100 menjawab “Kartu Tanda Penduduk KTP”, dengan tidak menutup
kemungkinan memakai Surat Izin Mengemudi SIM, Paspor atau tanda pengenal lainnya.
Pada umumnya notaris dalam memastikan batas umur seseorang penghadap guna mengetahui apakah orang tersebut cakap
melakukan perbuatan hukum adalah dengan melihat Kartu Tanda Penduduk KTP yang bersangkutan sebagai bukti formal, namun
notaris harus tetap waspada bilamana dicari kebenaran materilnya ; apakah umur yang tercantum pada KTP adalah umur yang
sebenarnya karena selama ini sangat mungkin terjadi rekayasa dalam pembuatan KTP atau seseorang memiliki lebih dari satu KTP dengan
data yang berbeda. Notaris tidak berwenang untuk meneliti atau memastikan bahwa tanda pengenal yang diperlihatkan kepadanya asli
atau palsu. Untuk memastikan kebenaran umur penghadap
27
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
seharusnya dengan melihat akta kelahiran dari penghadap, namum dalam praktek sulit sekali untuk minta diperlihatkan akta kelahiran
seseorang, karena hal ini dianggap pertanda ketidakpercayaan notaris terhadap bukti formal KTP yang diperlihatkan. Disamping
ketersinggungan penghadap, maka permintaan untuk meperlihatkan akta kelahiran juga dianggap telah menyentuh urusan pribadi
penghadap. Menjadi dilematis bagi notaris secara praktis bilamana harus mengejar kebenaran materil dari umur seorang penghadap,
karena notaris sebagai pelayan jasa hukum harus memberikan pelayanan dengan tetap menerapkan hukum sebagaimana mestinya
dan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan dari notaris memerlukan pelayanan yang cepat dan praktis. Namun demikian
walaupun notaris masih bisa membela diri dengan alasan adanya bukti formal tapi kalau menurut naluri notaris ada indikasi penyeludupan
umur pada KTP, kiranya harus tetap ditindaklanjuti demi kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak.
Selain tanda pengenal KTP, tentunya notaris masih mempergunakan tanda pengenal lainnya seperti SIM, Paspor dan lain-
lain. Tanda pengenal selain KTP, biasanya dipergunakan notaris apabila penghadap tidak membawa KTP atau membawa KTP tetapi
sudah jatuh tempotidak berlaku lagi.
B. Akibat Hukum – Dapat Dibatalkan Untuk mengetahui akibat hukum dari perbuatan hukum orang yang
belum dewasa, dapat kita lihat dari pasal 1446 KUHPerdata, yang menyebutkan :
Semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa atau orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, adalah batal
demi hukum, dan atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar
kebelumdewasaan atau pengampuannya.
Kalau ketentuan tersebut kita kaitkan dengan tindakan hukum si belum dewasa yang menimbulkan perikatan tersebut, maka dapat dikatakan, bahwa
redaksi pasal tersebut memberikan kesan kepada kita, bahwa semua tindakan yang dibuat si belum dewasa adalah batal demi hukum, dan
mestinya dengan konsekuensi, bahwa sejak semula perikatan itu tidak ada tidak lahir. Namun anak kalimat selanjutnya dari pasal tersebut memberikan
kepada kita suatu gambaran yang lain, yaitu tindakan hukum tersebut bisa dituntut pembatalannya, atau dengan perkataan lain, tidak batal demi hukum,
tetapi bisa dituntut pembatalannya. Demikian itulah tafsiran dari para sarjana
28
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
pada umumnya. Pasal 1331 KUHPerdata memberikan dukungan yang kuat untuk pendapat seperti itu.
24
Pasal 1331 KUHPerdata menyebutkan : Karena itu orang-orang yang didalam pasal yang lalu dinyatakan tidak
cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang mereka telah perbuat, dalam hal-hal dimana kekuasaan itu tidak dikecualikan
oleh undang-undang.
Dalam hal, atas dasar ketidakcakapan salah satu pihak dalam perjanjian, perjanjian itu dituntut pembatalannya dan kemudian dibatalkan
oleh hakim, maka berdasarkan pasal 1451 KUHPerdata, para pihak harus dikembalikan pada posisi sebelum perjanjian itu dibuat. Berdasarkan pasal
tersebut hal itu berarti bahwa apa yang telah diserahkan atau dibayarkan kepada sitidakcakap, harus dikembalikan, karena telah dialihkan kepada
orang lain, maka nilai prestasi itu bisa dituntut kembali, asal dibuktikan bahwa sitidakcakap telah mendapat manfaat daripadanya, atau kalau benda itu oleh
itu telah habis digunakan atau dikonsumir, harus dibuktikan bahwa apa yang dipakai atau dikonsumir itu berguna bagi sitidakcakap.
24
J. Satrio, Hukum Pribadi Bagian I Persoon Alamiah, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, halaman 67-68.
29
MANGATAS NASUTION : BATAS UMUR KECAKAPAN MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PRAKTEK NOTARIS DI KOTA MEDAN, 2008.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN