Cara Pengumpulan Data

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

A. Letak Administratif

Panorama Puncak Pato terletak pada Jorong Pato, Kenagarian Batu Bulat, Kecamatan Lintau Buo Utara dengan letak astronomisnya 0 0 22’11” LS sampai

0 0 0 0 23’0” LS dan 100 40’23” BT sampai 100 41’7” BT sedangkan batas administratifnya adalah sebagai berikut:

1. Sebelah utara berbatasan dengan Gunung Sago, Kec. Lintau Buo Utara

2. Sebelah selatan berbatasan dengan Jorong Kawai, Kec. Lintau Buo Utara

3. Sebelah timur berbatasan dengan Jorong Ladang Lawas dan Jorong Lesung Batu, Kec. Lintau Buo Utara

4. Sebelah barat berbatasan dengan Nagari Andaleh Baruh Bukit, Kec. Sungayang

Letak astronomis dan batas administrasi lokasi penelitian dapat dilihat pada peta IV.1 berikut;

39

B. Keadaan Iklim

Salah satu parameter iklim yang memberikan kontribusi terhadap longsor adalah hujan. Parameter iklim tersebut adalah berupa curah hujan yang terdiri dari jumlah bulan basah dan jumlah bulan kering. Bulan basah merupakan jumlah hujan dengan rata-rata > 100 mm/bulan, sedangkan bulan kering merupakan bulan dengan jumlah hujan rata-rata < 60 mm/bulan ( Wisnubroto, dkk., dalam Rahman 2014 ). Data curah hujan daerah penelitian didapatkan dari stasiun Buo. Data curah hujan yang digunakan adalah data rata-rata bulanan selama 4 tahun terakhir, dan tercantum dalam Tabel IV.1 berikut ;

Tabel IV.1 Data Klimatologi Satsiun Buo Periode 2009-2012

NO Tahun

BULAN

Rata Jan

Des Jumlah rata

582 3.825 318,75 Jumlah Bulanan

Sumber: Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Sumatera Barat (2014) Keterangan:

BB : Bulan Basah

BL

: Bulan Lembab

BK

: Bulan Kering

Tabel IV.1 di atas menunjukkan daerah penelitian memiliki jumlah bulan kering sebanyak 2, dan jumlah bulan basah sebanyak 42. Dalam menentukan tipe iklim dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut :

Q = 4,76 % Klasifikasi iklim menurut Schmit-Ferguson tecantum pada Tabel IV.2

beriukut;

Tabel IV.2 Tipe Iklim menurut Schmit-Ferguson Golongan

Q (%)

Tipe Iklim

A 0 < Q <14.3

Sangat Basah

B 14.3 < Q < 33.3

Basah

C 33.3 < Q < 60

Agak Basah

Agak Kering

Sangat Kering

Luar Biasa Kering Sumber: Wisnubroto, dkk dalam Arif (2014)

H Q > 700

Berdasarkan tabel IV.2 ditunjukkan bahwa Panorama Puncak Pato Kabupaten Tanah Datar mempunyai tipe iklim A yaitu tipe iklim sangat basah.

C. Geologi

Geologi merupakan parameter lahan yang memberikan kontribusi terhadap longsor. Berdasarkan peta geologi lembar Solok (1995), skala 1 : 250.000 terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Dept. ESDM daerah penelitian tersusun oleh jenis batuan Vulkanik dan Intrusi yaitu Andesit

Gunung Malintang (Qamg) yang merupakan breksi andesit sampai basal, aglomerat, pecahan lava berongga, endapan lava dan lahar seperti yang terlihat pada peta IV.2 berikut ;

Berdasarkan susunan batuan di daerah penelitian menunjukkan bahwa lapisan batuan yang tersusun dari hasil endapan proses gunungapi. Hasil endapan tersebut berpotensi longsor karena pengaruh aktifitas manusia pada lereng yang membuat kemiringan lereng yang curam menjadi tidak stabil, sehingga mempermudah bidang gelincir untuk meluncurkan sebagian massa batuan di atasnya.

D. Keadaan Topografi

Daerah di sekitar Panorama Puncak Pato pada umumnya merupakan

0 daerah bertopografi datar (0-13%) atau (0 0 -7 ), landai/miring (14-25%) atau

0 0 0 (8 0 -14 ), curam (26-40%) atau (15 -22 ) dan sangat curam (>40%) atau (>22 0 ). Topografi datar sebagian besar terdapat di sebelah timur Panorama

Puncak Pato. Daerah yang memliliki topografi landai, curam dan sangat curam berada di sebelah utara Panorama Puncak Pato. Topografi sangat curam juga terdapat di sebelah barat dan selatan Panorama Puncak Pato seperti terlihat pada peta IV.3 berikut;

Peta di atas menunjukkan bahwa lereng daerah penelitian bervariasi antara datar hingga sangat curam. Kondisi lereng yang seperti itu apabila penggunaan dan pengelolaan lahan yang tidak baik, seperti kemiringan lereng sangat curam dijadikan perkebunan dan menebangi pohon pinus yang seyogyanya berfungsi untuk memberi gaya penahan bagi lereng tersebut tetapi malah diambil kayunya oleh masyarakat sekitar yang membuat lereng menjadi tidak stabil dan mudah untuk mengalami longsor.

E. Bentuklahan

Berdasarkan turunan peta geologi dan peta lereng diperoleh bentuklahan daerah penlitian berupa bentuklahan asal vulkanik. Bentuklahan asal vulkanik tersebut kemudian di overlay menjadi satuan bentuklahan seperti; lerengtengah vulkanik, lerengbawah vulkanik, lerengkaki gunungapi, datarankaki gunungapi. Satuan bentuklahan tersebut akan membedakan longsor yang terjadi pada setiap satuan bentuklahan yang tedapat di daerah penelitian. Longsor yang terjadi dapat mempengaruhi morfologi daerah setempat dan rusaknya infrastruktur seperti jalan, perkebunan masyarakat dan kelestarian Panorama Puncak Pato. Satuan bentuklahan lokasi penelitian dapat di lihat pada peta IV.4 berikut;

F. Tanah

Tanah merupakan parameter karakteristik lahan yang menentukan terjadinya longsor. Tanah yang terdapat di lokasi penelitian didominasi oleh jenis tanah Kambisol. Jenis tanah ini adalah tanah yang berkembang di atas batuan vulkanik. Jenis tanah ini ditemukan di dataran tinggi batu andesit dan daerah sekitar longsor. Tanah ini memiliki horizon A berwarna merah gelap hingga coklat gelap kemerahan dengan tekstur sedang (lempung) hingga agak halus (lempung liat berdebu) memiliki konsistensi gembur hingga agak teguh pada keadaan lembab. Jenis tanah ini agak masam (pH 5,5) dan memiliki solum dengan kedalaman dalam sampai sangat dalam. Secara genesis tanah ini merupakan tanah yang sedang berkembang karena tidak ditemukan gejala- gejala hidromorfik (pengaruh air) di dalam penampang 59 cm dari

permukaan tanah. Persebaran jenis tanah di daerah penelitian tercantum pada peta IV.5 berikut;

G. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan yang dominan di daerah penelitian adalah tegalan/kebun campuran. Hasil pengukuran peta IV.6 dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan lahan tegalan/kebun campuran menempati area terluas diikuti belukar/alang-alang, hutan lindung, pemukiman dan hutan. Penggunaan lahan lokasi penelitian dan persentasenya dapat di lihat pada table IV.3 berikut;

Tabel IV.3. Persentase Penggunaan Lahan Daerah Penelitian

1 Tegalan/kebun

102.48

campuran 2 Belukar/alang-alang 5.92

4.72

3 Hutan lindung

Sumber: Hasil Pengukuran Peta Penggunaan Lahan (2014) Table di atas menunjukkan bahwa luas lokasi penelitian adalah 125.5 ha. Penggunaan lahan terbesar adalah kebun campuran dengan luas 102.48 ha karena perkebunan merupakan mata pencaharian utama masyarakat setempat. Penggunaan lahan yang tedapat pada lokasi penelitian sangat beragam selain kebun campuran juga terdapat hutan dengan luas 5.94 ha, semak belukar dengan persentase 4.72%, hutan lindung 4.65.% dan permukiman dengan persentase 4.24%. Peta penggunaan lahan lokasi penelitian sudah sesuai dengan peta rencana tata ruang wilayah kabupaten Tanah Datar tahun 2011- 2031 yaitu kawasan budidaya yang dapat dilihat pada peta IV.6 berikut ;

H. Satuan Lahan

Satuan lahan di lokasi penelitian berjumlah 11 ( sebelas ) satuan lahan. Sampel penelitian berjumlah 9 ( sembilan ) dari 11 (dua belas) sedangkan 2 ( dua ) satuan lahan lainnya tidak dijadikan sampel penelitian karena tutupan lahannya adalah hutan lindung yang lokasinya sangat sulit untuk dicapai karena jalan yang ekstrim dan apabila terjadi longsor di satuan lahan ini tidak akan menimbulkan korban serta kerusakan infrastruktur seperti jalan raya karena jaraknya yang jauh dari aktifitas manusia seperti pemukiman, perkebunan, dan jalan raya. Persebaran masing-masing satuan lahan di Panorama Puncak Pato dapat dilihat melalui peta IV.7 dan lokasi sampel penelitian dapat dilihat pada peta IV.8 berikut;

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Lahan pada Lokasi Penelitian

Karakteristik lahan pada suatu lahan dapat ditentukan berdasarkan beberapa aspek yaitu; 1) iklim; curah hujan, 2) geologi; struktur lapisan batuan, 3) geomorfologi; bentuklahan, satuan bentuklahan, kemiringan lereng, panjang lereng, bentuk lereng, 4) tanah; tekstur, struktur, solum, konsistensi,

5) hidrologi; kedalaman muka air tanah dan penggunaan lahan. Aspek tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan terjadinya bahaya longsor pada lokasi penelitian.

a. Curah Hujan

Curah hujan merupakan salah satu variabel yang sangat berpengaruh pada keadaan hidrologi daerah penelitian. Daerah penelitian merupakan daerah yang mempunyai curah hujan cukup tinggi tiap bulan, sehingga disaat musim hujan datang potensi terjadinya longsor semakin tinggi, hal ini didukung dengan keadaan topografi di daerah Panorama Puncak Pato yang berpotensi terhadap terjadinya longsor. Data curah hujan lokasi penelitian dalam kurung waktu 4 tahun dari tahun 2009-2012 dapat di lihat pada tabel V.1 berikut;

Tabel V.1. Data Curah Hujan Stasiun Buo Periode 2009-2012

NO Tahun

BULAN

Des Jumlah Rata

582 3.825 318,75 Jumlah Bulanan

Sumber; BPSDA, 2014

Menurut publikasi data Klimatologi stasiun Buo yang merupakan stasiun penghitung curah hujan terdekat dengan lokasi penelitian menyatakan bahwa jumlah curah hujan stasiun Buo dalam kurung waktu 4 tahun adalah dengan total rata – rata jumlah hujan 3884.5 mm/tahun, hujan maximum pada bulan November yaitu 467.5 mm/tahun, dan jumlah hujan minimum pada bulan Juli 137 mm/tahun. Kondisi curah hujan seperti ini merupakan kondisi yang sangat memicu terjadinya bahaya longsor pada lokasi penelitian. Curah hujan lokasi penelitian tergolong sangat tinggi karena >2500 mm/tahun yaitu 3884.5 mm/tahun.

b. Struktur Lapisan Batuan

Struktur lapisan batuan merupakan faktor yang sangat menentukan dan penting untuk dipertimbangkan, hasil pengamatan lapangan dapat dilihat pada Tabel V.2 berikut ini:

Tabel V.2 Hasil Pengamatan Struktur Lapisan Batuan Kriteria lapisan

No. Sampel

Kode satuan lahan

Harkat

Batuan

1 1 V4.IV.Kamb.Qamg.Kc Miring

2 2 V4.IV.Kamb.Qamg.Blkr Miring bergelombang

3 3 V4.IV.Kamb.Qamg.Ht

Miring

4 4 V5.III.Kamb.Qamg.Blkr Miring

5 5 V5.III.Kamb.Qamg.Kc Miring bergelombang

6 6 V6.II.Kamb.Qamg.Kc

Miring

7 7 V6.II.Kamb.Qamg.Pem Miring

8 8 V7.I.Kamb.Qamg.Kc

Horizontal

1 Sumber: Pengamatan lapangan, 2014.

9 9 V7.I.Kamb.Qamg.Pem

Horizontal

Berdasarkan Tabel V.2 dapat dilihat struktur lapisan batuan di daerah penelitian bervariasi yaitu terdiri dari horizontal, miring, dan miring bergelombang. Struktur lapisan batuan lokasi penelitian dapat di lihat pada gambar V.1 berikut;

Gambar V.1. Pengamatan Terhadap Struktur Lapisan Batuan

Sumber; Pengamatan lapangan, 2014. Dari gambar di atas dapat diamati bahwa ini struktur lapisan batuan miring dengan lapisan keras dan lunak pada lahan berberbukit. Struktur lapisan ini Sumber; Pengamatan lapangan, 2014. Dari gambar di atas dapat diamati bahwa ini struktur lapisan batuan miring dengan lapisan keras dan lunak pada lahan berberbukit. Struktur lapisan ini

c. Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng dapat dilihat langsung di lapangan dan disesuaikan klasifikasinya. Kemiringan lereng daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel

V.3 berikut ini:

Tabel V.3 Hasil Pengamatan Kemiringan Lereng Kelas Kemiringan

No. Sampel

Kode satuan lahan

Persen

Derajat Harkat

1 1 V4.IV.Kamb.Qamg.Kc

2 2 V4.IV.Kamb.Qamg.Blkr

3 3 V4.IV.Kamb.Qamg.Ht

4 4 V5.III.Kamb.Qamg.Blkr

5 5 V5.III.Kamb.Qamg.Kc

6 6 V6.II.Kamb.Qamg.Kc

7 7 V6.II.Kamb.Qamg.Pem

8 8 V7.I.Kamb.Qamg.Kc

5 3 1 Sumber: Pengamatan lapangan (September 2014)

9 9 V7.I.Kamb.Qamg.Pem

Berdasarkan Tabel V.3 dapat dilihat kemiringan lereng di daerah penelitian bervariasi yaitu terdiri dari kelas I, II, III, dan IV. Kemiringan lereng pada sampel 1-7 merupakan lahan yang memiliki tingkat kemiringan Berdasarkan Tabel V.3 dapat dilihat kemiringan lereng di daerah penelitian bervariasi yaitu terdiri dari kelas I, II, III, dan IV. Kemiringan lereng pada sampel 1-7 merupakan lahan yang memiliki tingkat kemiringan

Gambar V.2. Pengamatan Terhadap Kemiringan Lereng

Sumber; Pengamatan lapangan, 2014. Gambar V.2 di atas merupakan salah satu contoh kemiringan lereng sangat curam yaitu 49% pada sampel 2. Pengukuran kemiringan lereng dilakukan dengan menggunakan Abney Level. Semakin tinggi derajat kemiringan lereng di daerah tersebut semakin tinggi pula potensi bahaya longsor yang akan terjadi, apalagi penggunaan lahan yang tidak sesuai seperti gambar di atas lahan yang sangat curam dijadikan kebun oleh masyarakat.

d. Panjang Lereng

Panjang lereng dapat dilihat langsung di lapangan dan disesuaikan klasifikasinya. Panjang lereng daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel V.4 berikut ini:

Tabel V.4. Hasil Pengukuran Panjang Lereng No Sampel

Kode satuan lahan

Kriteria

Hasil Harkat

1 1 V4.IV.Kamb.Qamg.Kc Pendek

11 1

2 2 V4.IV.Kamb.Qamg.Blkr Sedang

48 2

3 3 V4.IV.Kamb.Qamg.Ht Sangat Panjang 350

4 4 V5.III.Kamb.Qamg.Blkr Pendek

13.2 1

5 5 V5.III.Kamb.Qamg.Kc

Pendek

13.1 1

6 6 V6.II.Kamb.Qamg.Kc

Sedang

32 2

7 7 V6.II.Kamb.Qamg.Pem Sedang

50 2

8 8 V7.I.Kamb.Qamg.Kc

Sedang

45 2

13 1 Sumber: Pengamatan lapangan (September 2014)

9 9 V7.I.Kamb.Qamg.Pem

Pendek

Berdasarkan Tabel V.4 dapat dilihat panjang lereng di daerah penelitian bervariasi yaitu terdiri dari pendek, sedang, dan sangat panjang. Lereng paling panjang berada pada sampel 3 dengan panjang 350 m dan lereng paling pendek terdapat pada sampel 1 dengan panjang 11 m. Panjang lereng juga dapat di lihat pada gambar V.3 berikut;

Gambar V.3. Pengamatan Terhadap Panjang Lereng

Sumber; Pengamatan lapangan, 2014.

Gambar V.3 di atas merupakan panjang lereng dengan kriteria pendek yaitu 11 m pada sampel 1 di lokasi penelitian. Panjang lereng sangat mempengaruhi banyaknya material yang dibawa oleh longsor itu sendiri. Semakin panjang suatu lereng maka semakin banyak material yang akan dibawanya sedangkan semakin pendek suatu lereng maka akan sedikit membawa material. Kondisi lereng ini memang mempunyai lereng yang pendek tetapi terletak di pinggir jalan sehingga dapat merusak jalan raya dan menimbulkan korban nyawa apabila ada pengendera yang melintas pada jalan tersebut.

e. Bentuk Lereng

Bentuk lereng dapat dilihat langsung di lapangan dan disesuaikan klasifikasinya. Bentuk lereng daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel V.5 berikut ini:

Tabel V.5. Hasil Pengamatan Bentuk Lereng Kriteria Bentuk

No. Sampel

Kode satuan lahan

Harkat

Lereng

1 1 V4.IV.Kamb.Qamg.Kc Cekung

2 2 V4.IV.Kamb.Qamg.Blkr Cembung Cekung

3 3 V4.IV.Kamb.Qamg.Ht Cembung Cekung

4 4 V5.III.Kamb.Qamg.Blkr Cekung

5 5 V5.III.Kamb.Qamg.Kc

Cekung

6 6 V6.II.Kamb.Qamg.Kc

Lurus

7 7 V6.II.Kamb.Qamg.Pem Cembung

8 8 V7.I.Kamb.Qamg.Kc

Lurus

1 Sumber: Pengamatan lapangan (September 2014)

9 9 V7.I.Kamb.Qamg.Pem

Lurus

Berdasarkan Tabel V.5 dapat dilihat bentuk lereng di daerah penelitian bervariasi yaitu terdiri dari lurus, cembung, cekung, dan cembung cekung. Bentuk lereng yang bervariasi akan menjadi gaya pendorong terjadinya longsor. Tabel di atas menunjukkan bahwa bentuk lereng cembung cekung terdapat pada sampel 2 dan 3 sedangkan bentuk lereng cekung pada lokasi penelitian sebanyak tiga sampel dengan satuan lahan V4.IV.Kamb.Qamg.Kc, V5.III.Kamb.Qamg.Blkr, V5.III.Kamb.Qamg.Kc. Bentuk lereng lurus ditemukan pada sampel 7, 8, dan 9, hanya satu dengan bentuk lereng cembung yaitu pada sampel 6. Bentuk lereng cembung cekung dapat dilihat pada Gambar V.4 berikut;

Gambar V.4. Pengamatan Terhadap Bentuk Lereng

Sumber; Pengamatan lapangan, 2014. Gambar V.4 merupakan salah satu contoh bentuk lereng cembung cekung di lokasi penelitian pada sampel 2. Semakin banyak variasi bentuk lereng, Sumber; Pengamatan lapangan, 2014. Gambar V.4 merupakan salah satu contoh bentuk lereng cembung cekung di lokasi penelitian pada sampel 2. Semakin banyak variasi bentuk lereng,

f. Tekstur Tanah

Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif antara berbagai partikel tanah, sehingga dari rasa kasar atau licinnya dapat di bedakan menjadi apakah tanah itu pasir, pasir berlempung, pasir berdebu, lempung, lempung berdebu, lempung berpasir, geluh, geluh berlempung, geluh berdebu, dan geluh berpasir. Hasil yang didapatkan dari penelitian diperoleh dari uji lapangan sehingga dapat ditentukan tekstur tanah masing – masing sampel, dapat dilihat pada Tabel V.6 berikut:

Tabel V.6 Hasil Analisis Tekstur Tanah No. Sampel Kode satuan lahan

Kriteria

Harkat

1 1 V4.IV.Kamb.Qamg.Kc Liat berpasir

2 2 V4.IV.Kamb.Qamg.Blkr Lempung berdebu

3 3 V4.IV.Kamb.Qamg.Ht

Liat berdebu

4 4 V5.III.Kamb.Qamg.Blkr Lempung berpasir

5 5 V5.III.Kamb.Qamg.Kc Lempung berpasir

6 6 V6.II.Kamb.Qamg.Kc Lempung berdebu

7 7 V6.II.Kamb.Qamg.Pem Lempung berdebu

8 8 V7.I.Kamb.Qamg.Kc Lempung berdebu

2 Sumber: Pengamatan lapangan, 2014.

9 9 V7.I.Kamb.Qamg.Pem Pasir berdebu

Berdasarkan Tabel V.6 dapat dilihat kelas tektur tanah daerah penelitian bervariasi yaitu; pasir berdebu, lempung berdebu, lempung berpasir, liat berpasir dan liat berdebu. Keadaan tanah yang seperti ini berpotensi terjadinya longsor karena tanah yang bertekstur lempung berdebu, lempung berpasir sangat rentan terjadi longsor dalam kondisi panas ataupun hujan dan Berdasarkan Tabel V.6 dapat dilihat kelas tektur tanah daerah penelitian bervariasi yaitu; pasir berdebu, lempung berdebu, lempung berpasir, liat berpasir dan liat berdebu. Keadaan tanah yang seperti ini berpotensi terjadinya longsor karena tanah yang bertekstur lempung berdebu, lempung berpasir sangat rentan terjadi longsor dalam kondisi panas ataupun hujan dan

Gambar V.5. Pengamatan Terhadap Tekstur Tanah

Sumber; Pengamatan lapangan, 2014.

Gambar V.5 merupakan contoh dari tekstur lempung berpasir pada sampel

5 di lokasi penelitian. Kondisi tekstur tanah ini apabila terdapat pada lereng sangat curam dengan penggunaan lahan kebun campuran maka akan sangat mudah untuk terjadinya longsor.

g. Struktur Tanah

Struktur tanah dapat dilihat langsung di lapangan dan disesuaikan klasifikasinya. Struktur tanah daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel V.7 berikut;

Tabel V.7. Hasil Analisis Struktur Tanah Kelas

No Sampel

Kode satuan lahan

Harkat Struktur

1 1 V4.IV.Kamb.Qamg.Kc Remah

2 2 V4.IV.Kamb.Qamg.Blkr Remah

3 3 V4.IV.Kamb.Qamg.Ht

Gumpal

4 4 V5.III.Kamb.Qamg.Blkr Remah

5 5 V5.III.Kamb.Qamg.Kc

Remah

6 6 V6.II.Kamb.Qamg.Kc

Remah

7 7 V6.II.Kamb.Qamg.Pem Remah

8 8 V7.I.Kamb.Qamg.Kc

Remah

1 Sumber: Pengamatan lapangan, 2014.

9 9 V7.I.Kamb.Qamg.Pem

Remah

Berdasarkan Tabel V.7 dapat dilihat kelas struktur tanah daerah penelitian didominasi oleh struktur tanah yang remah dan hanya satu sampel yang memiliki struktur tanah gumpal. Struktur tanah yang seperti ini merupakan salah faktor pemicu terjadinya longsor seperti pada Gambar V.6 berikut;

Gambar V.6. Pengamatan Terhadap Struktur Tanah

Sumber; Pengamatan lapangan, 2014. Gambar V.6 merupakan contoh struktur tanah remah dengan nilai harkat 1

dan dikategorikan sangat baik yang mendominasi struktur tanah daerah dan dikategorikan sangat baik yang mendominasi struktur tanah daerah

h. Solum Tanah

Solum tanah dapat dilihat langsung di lapangan dan disesuaikan klasifikasinya. Solum tanah lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel V.8 berikut;

Tabel V.8. Hasil Analisis Solum Tanah Hasil

No. Sampel Kode satuan lahan

Kelas Solum

Harkat (cm)

1 1 V4.IV.Kamb.Qamg.Kc Sangat Dangkal

2 2 V4.IV.Kamb.Qamg.Blkr Dangkal

3 3 V4.IV.Kamb.Qamg.Ht

Dalam

4 4 V5.III.Kamb.Qamg.Blkr Sangat Dangkal

5 5 V5.III.Kamb.Qamg.Kc

Dangkal

6 6 V6.II.Kamb.Qamg.Kc

Dangkal

7 7 V6.II.Kamb.Qamg.Pem Sangat Dangkal

8 8 V7.I.Kamb.Qamg.Kc Sangat Dangkal

30 2 Sumber: Pengamatan lapangan, 2014.

9 9 V7.I.Kamb.Qamg.Pem

Dangkal

Tabel V.8 menunjukkan bahwa solum tanah pada lokasi penelitian bervariasi mulai dari dalam, dangkal, dan sangat dangkal. Solum tanah dalam yaitu 110 cm terdapat pada sampel 3 dengan satuan lahan V4.IV.Kamb.Qamg.Ht dan solum dangkal terdapat pada sampel 2, 5, 6, 9, sedangkan solum sangat dangkal terdapat pada sampel 1, 4, 7, dan 8. Solum tanah sangat dangkal dapat dilihat pada gambar V.7 berikut;

Gambar V.7. Pengamatan Terhadap Solum Tanah

Sumber; Pengamatan lapangan, 2014.

Gambar V.7 merupakan solum tanah sangat dangkal < 25 cm yaitu 22 cm dengan harkat 1 pada sampel dengan satuan lahan V4.IV.Kamb.Qamg.Kc. Kondisi solum tanah ini yang sangat dangkal sehingga mudah untuk terjadi longsor karena perakaran tumbuhan yang berada di atasnya tidak dapat menahan beban materialnya.

i. Konsistensi Tanah

Konsistensi tanah merupakan sifat tanah yang menunjukkan kekuatan daya adhesi dan daya kohesi terhadap tanah di sekitarnya, atau benda lain. Konsistensi tanah sangat berpengaruh terhadap longsor, tidak adanya daya adhesi pada butiran tanah akan semakin mempercepat laju longsor begitu juga dengan sebaliknya. Hasil konsistensi tanah yang diperoleh dari data primer melalui pengamatan lapangan dengan cara kualitatif disajikan pada Tabel V.9 berikut:

Tabel V.9. Hasil Analisis Konsistensi Tanah No. Sampel Kode satuan lahan

Kelas Konsistensi Harkat

1 1 V4.IV.Kamb.Qamg.Kc

Sangat Gembur

2 2 V4.IV.Kamb.Qamg.Blkr Sangat Gembur

3 3 V4.IV.Kamb.Qamg.Ht

Gembur

4 4 V5.III.Kamb.Qamg.Blkr Sangat Gembur

5 5 V5.III.Kamb.Qamg.Kc

Sangat Gembur

6 6 V6.II.Kamb.Qamg.Kc

Sangat Gembur

7 7 V6.II.Kamb.Qamg.Pem Sangat Gembur

8 8 V7.I.Kamb.Qamg.Kc

Sangat Gembur

1 Sumber: Pengamatan lapangan, 2014.

9 9 V7.I.Kamb.Qamg.Pem

Sangat Gembur

Berdasarkan Tabel V.9 dapat dilihat konsistensi tanah daerah penelitian didominasi oleh kelas konsistensi sangat gembur, sedangkan hanya satu kelas konsistensi

gembur pada sampel 3 dengan satuan lahan V4.IV.Kamb.Qamg.Ht yang dapat dilihat pada Gambar V.8 berikut;

Gambar V.8. Pengamatan Terhadap Konsistensi Tanah

Sumber; Pengamatan lapangan, 2014.

Gambar V.8 merupakan contoh kelas konsistensi gembur pada sampel 3 dengan satuan lahan V4.IV.Kamb.Qamg.Ht. Konsistensi tanah ini sangat mudah untuk terjadinya longsor karena keadaan tanah yang tidak kuat Gambar V.8 merupakan contoh kelas konsistensi gembur pada sampel 3 dengan satuan lahan V4.IV.Kamb.Qamg.Ht. Konsistensi tanah ini sangat mudah untuk terjadinya longsor karena keadaan tanah yang tidak kuat

j. Kedalaman Muka Air Tanah

Kedalaman muka air tanah dapat dilihat langsung di lapangan dan disesuaikan klasifikasinya. Kedalaman muka air tanah daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel V.10 berikut ini:

Tabel V.10. Hasil Pengukuran Kedalaman Muka Air Tanah No Sampel

Kode satuan lahan

Kriteria

Hasil Harkat (cm)

1 1 V4.IV.Kamb.Qamg.Kc Dalam

2 2 V4.IV.Kamb.Qamg.Blkr Dalam

3 3 V4.IV.Kamb.Qamg.Ht

Dalam

4 4 V5.III.Kamb.Qamg.Blkr Dalam

5 5 V5.III.Kamb.Qamg.Kc

Dalam

6 6 V6.II.Kamb.Qamg.Kc

Dalam

7 7 V6.II.Kamb.Qamg.Pem Dalam

8 8 V7.I.Kamb.Qamg.Kc

Agak Dangkal 150

3 Sumber: Pengamatan lapangan, 2014.

9 9 V7.I.Kamb.Qamg.Pem

Agak Dangkal 173

Berdasarkan Tabel V.10 dapat dilihat kedalaman muka air tanah di lokasi penelitian didominasi oleh muka air tanah yang dalam, yang kedalamannya agak dangkal yaitu pada sampel 8 dengan satuan lahan V7.I.Kamb.Qamg.Kc dan sampel 9 dengan kedalamannya 173 cm. Kedalaman muka air tanah dapat juga di lihat pada Gambar V.9 berikut;

Gambar V.9. Pengamatan Terhadap Kedalaman Muka Air Tanah

Sumber; Pengamatan lapangan, 2014.

Gambar V.9 merupakan contoh kedalaman muka air tanah dalam pada sampel 7 di lokasi penelitian. Semakin dalam muka air tanah di daerah tersebut maka semakin tinggi pula potensi longsor yang akan terjadi karena keadaan air tanah seperti itu membuat tanah menjadi kering yang mengakibatkan tidak adanya gaya adhesi antara butir-butir tanah sehingga adanya rongga yang besar pada tanah itu sendiri.

k. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan dapat dilihat langsung di lapangan dan disesuaikan klasifikasinya. Penggunaan lahan daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel

V.11 berikut;

Tabel V.11. Hasil Pengamatan Penggunaan Lahan No. Sampel

Kode satuan lahan

P. Lahan Harkat

1 1 V4.IV.Kamb.Qamg.Kc Kebun campuran

2 2 V4.IV.Kamb.Qamg.Blkr Kebun campuran

3 3 V4.IV.Kamb.Qamg.Ht

Hutan

4 4 V5.III.Kamb.Qamg.Blkr Belukar

5 5 V5.III.Kamb.Qamg.Kc

Kebun campuran

6 6 V6.II.Kamb.Qamg.Kc

Kebun campuran

7 7 V6.II.Kamb.Qamg.Pem Permukiman

8 8 V7.I.Kamb.Qamg.Kc

Permukiman

4 Sumber: Pengamatan lapangan, 2014.

9 9 V7.I.Kamb.Qamg.Pem

Permukiman

Berdasarkan Tabel V.10 dapat dilihat penggunaan lahan di daerah penelitian bervariasi yaitu hutan, belukar, kebun campuran, dan pemukiman. Penggunaan lahan kebun campuran terdapat pada empat sampel yaitu sampel

1, 2, 5, dan 7. Hasil dari pengamatan menemukan ada perubahan penggunaan lahan yaitu pada sampel 2 dan 8.

Gambar V.10. Pengamatan Terhadap Penggunaan Lahan

Sumber; Pengamatan lapangan, 2014.

Gambar V.10 di atas menunjukkan sampel 2 terjadi perubahan penggunaan lahan dari semak belukar menjadi kebun campuran sedangkan pada sampel 8 terjadi perubahan dari kebun campuran menjadi permukiman penduduk. Kondisi seperti itu akan dapat mengakibatkan kestabilan dari lahan itu sendiri terganggu oleh perubahan penggunaan lahan dan dapat menimbulkan korban jiwa seperti pada sampel 8 yang menjadikan kebun untuk permukiman. Hal demikian membuat meningkatnya bahaya longsor yang terjadi pada lokasi penelitian.

2. Bahaya Longsor

Tingkat bahaya longsor didasarkan pada kondisi fisik daerah penelitian berupa satuan lahan. Satuan lahan disusun berdasarkan satuan bentuklahan, lereng, penggunaan lahan, jenis tanah dan batuan. Hasil analisis terhadap 13 variabel dan 9 satuan lahan yang menjadi sampel sebagai penentu tingkat bahaya longsor diperoleh lima kelas bahaya longsor. Berdasarkan hasil pengolahan data primer dan sekunder setelah pengamatan lapangan menunjukkan bahwa daerah penelitian yang memiliki tingkat tingkat bahaya longsor yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat bahaya longsor lokasi penelitian dapat di lihat pada Tabel V.12 berikut;

Tabel V.12. Tingkat Bahaya Longsor

Karakteristik Lahan

No Kode Satuan Lahan

Tanah

Hidrologi

lahan JH

PL Bahaya

1 Miring V4.IV.Kamb.Qamg.Kc St 5 4 St

Halus Kebun 4 Remah 1 Sd 1 1 Dl 1 3 36 Sedang

Gembur

2 V4.IV.Kamb.Qamg.Blkr

St Miring 5

3 St

3 IV 4 Variasi

1 Kebun 3 37 Sedang

43 V5.III.Kamb.Qamg.Blkr

3 Hutan V4.IV.Kamb.Qamg.Ht St 5 4 St 5 S 3 IV Variasi 4 Sp 4 Gumpal Dl 4 2 Dl 1 1 Tinggi

34 V5.III.Kamb.Qamg.Kc

Miring

4 St

3 IV Cekung

1 Remah

Sd

1 4 Sangat St 5 4 Sedang 3 1 1 Dl

1 Belukar 2 Sedang

Gembur

33 Sedang 6 V6.II.Kamb.Qamg.Kc

5 Miring St 5

30 Rendah V6.II.Kamb.Qamg.Pem

St Miring 5 4 S

3 Sr

1 II Lurus

7 Miring St 5 4 S

2 II 2 Cembung

30 Gembur Rendah

8 V7.I.Kamb.Qamg.Kc

28 Rendah 9 V7.I.Kamb.Qamg.Pem

St Horizontal 5 1 S

2 I 1 Lurus

1 Ad 3 Permukiman 4

Gembur

St Horizontal 5 1 S

3 Sr

1 I 1 Lurus

1 Ad 3 Permukiman 4

Keterangan; Bl = Bentuklahan

TT = Tekstur Tanah

KMA = Kedalaman Muka Airtanah

JH

= Jumlah Harkat

Sp

= Sangat Panjang

SBl = Satuan Bentuklahan

ST = Struktur Tanah

PL = Penggunaan Lahan H = Harkat

= Pendek

KL = Kemiringan Lereng

SL = Solum Tanah

CH = Curah Hujan

= Kriteria

Sd

= Sangat Dangkal

BL = Bentuk Lereng KS = Konsistensi Tanah

St = Sangat Tinggi Ad = Agak Dangkal

PL = Panjang Lereng

SLB = Struktur Lapisan Batuan

= Sangat Rendah

Tabel V.12 menunjukkan bahwa daerah Panorama Puncak Pato memiliki tingkat yang tinggi dan sedang untuk terjadinya bahaya longsor pada lereng baratnya dan berada di pinggir jalan. Tingkat bahaya longsor rendah terdapat pada sepanjang jalan di lereng timur Panorama Puncak Pato yang menghubungkan antara Lintau dan kota Batusangkar sehingga apabila terjadi longsor dapat menimbulkan korban jiwa serta kerusakan infrastruktur jalan itu sendiri. Tingkat bahaya longsor dapat dilihat pada Peta V.1 berikut;

B. Pembahasan Penelitian

Berdasarkan hasil kerja lapangan dan hasil penelitian yang dikemukakan sebelumnya, bahwa tingkat bahaya longsor ditentukan oleh karakteristik lahan itu sendiri. Pembahasan hasil penelitian akan dibahas lebih lanjut dalam 2 bagian yaitu karakteristik lahan dan tingkat bahaya longsor berikut;

1. Karakteristik Lahan

a. Iklim

Berdasarkan topografi lembar Solok skala 1 : 50.000 dan pengamatan lapangan maka Panorama Puncak Pato terletak pada ketinggian 1075 m-1208 m diatas permukaan laut. Daerah penelitian merupakan daerah yang terletak pada daerah beriklim tropis dan mempunyai curah hujan cukup tinggi dengan 3884.5 mm/tahun, sehingga disaat musim hujan datang potensi terjadinya longsor semakin tinggi, hal ini didukung dengan keadaan topografi di daerah Panorama Puncak Pato yang berpotensi terhadap terjadinya longsor. Kowal dan Kasam, 1979 dalam Banuwa ( 2013 ) menyatakan bahwa kemampuan hujan di daerah tropis untuk menimbulkan longsor lebih besar daripada di daerah beriklim sedang, karena daerah tropis umumnya mempunyai curah hujan yang relative lebih tinggi daripada di daerah beriklim sedang. Selama kejadian hujan, jumlah hujan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan sedangkan penyebaran hujan berpengaruh terhadap luasan longsor yang terjadi, Kohnke Bertrand, 1959 dalam Banuwa ( 2013 ).

b. Geologi

Berdasarkan hasil temuan di lapangan struktur lapisan batuan daerah penelitian berbentuk horizontal, miring sampai dengan miring berbukit. Batuan daerah penelitian merupakan batuan yang berasal dari aktifitas dari gunung api yang berupa erupsi magma yang keluar dari perut bumi kemudian mengalami pendinginan dan mengeras menjadi batu sehingga tanah endapan yang berasal dari gunung api merupakan tanah yang sangat rentan dan labil terhadap longsor. Faktor geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah struktur geologi, sifat batuan, hilangnya perekat tanah karena proses alami (pelarutan), dan gempa. Struktur geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah kontak batuan dasar dengan pelapukan batuan, retakan/rekahan, perlapisan batuan, dan patahan. Zona patahan merupakan zona lemah yang mengakibatkan kekuatan batuan berkurang sehingga menimbulkan banyak retakan yang memudahkan air meresap, Surono ( 2003 ) dalam Effendi ( 2008 ).

c. Geomorfologi

Berdasarkan hasil dari pengamatan di lapangan dapat dilihat bahwa satuan bentuklahan lokasi penelitian adalah lereng gunung api dan dataran kaki gunung api yang merupakan daerah perbukitan dengan kelas kemiringan lereng daerah penelitian bervariasi yaitu kelas II (14 – 25%), kelas III (26 – 40%) dan kelas IV ( > 40%). Topografi mulai dari landai, curam, dan sangat curam dan bentuk lereng yaitu cekung, cembung, variasi cembung cekung Berdasarkan hasil dari pengamatan di lapangan dapat dilihat bahwa satuan bentuklahan lokasi penelitian adalah lereng gunung api dan dataran kaki gunung api yang merupakan daerah perbukitan dengan kelas kemiringan lereng daerah penelitian bervariasi yaitu kelas II (14 – 25%), kelas III (26 – 40%) dan kelas IV ( > 40%). Topografi mulai dari landai, curam, dan sangat curam dan bentuk lereng yaitu cekung, cembung, variasi cembung cekung

Karnawati dalam Priyono, 2006 dalam Saputra ( 2014 ) menjelaskan 3 tipologi lereng yang rentan terjadi longsor yaitu; a) lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah gembur dialasi oleh batuan atau tanah yang lebih kompak, b) lereng yang tersusun oleh perlapisan batuan yang miring searah kemiringan lereng, c) lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan. Tanah gembur yang menyusun lereng pada tipologi pertama umumnya tebal dan bersifat lengket apabila basah, namun dalam keadaan kering akan berubah menjadi retak- retak dan getas. Bagian bawah dari lapisan tanah tersebut umumnya terdapat perlapisan tanah atau batuan yang bersifat kompak dan kedap air, jika terjadi hujan air hanya terakumulasi pada lapisan tanah karena sulit menembus lapisan kedap air tersebut. Lapisan tanah bagian atas akan bergerak menuruni lereng ( bidang gelincir ) karena melampaui kemampuan tanah untuk tetap bertahan stabil pada lereng. Semakin tinggi kemiringan lereng suatu daerah maka semakin tinggi tingkat bahaya longsor yang akan terjadi didaerah tersebut. Foth, 1978 dalam Banuwa ( 2013 ) menyatakan bahwa panjang lereng dan bentuk lereng juga sangat berpengaruh terhadap longsor. Panjang pendeknya suatu lereng akan mempengaruhi luasan daerah yang akan terjadi longsor dan bentuk lereng akan mempengaruhi kecepatan lonsor banyaknya material yang dibawa oleh longsor itu sendiri. Berdasarkan keadaan topografi daerah penelitian yang bervariasi akan menyebabkan lokasi penelitian mudah untuk terjadinya bahaya longsor.

d. Tanah

Tanah daerah penelitian terdiri atas 1 jenis yaitu tanah kambisol. Keadaan tanah daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel V.6 sampai Tabel V.9. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat keadaan tanah bervariasi. Struktur tanah terdiri atas remah dan gumpal, konsistensi sangat gembur dan lepas- lepas sedangkan tekstur tanah kasar, sedang, dan halus.

Tanah sangat berpengaruh terhadap longsor karena komposisi tanah akan mempengaruhi daya serap air dan kepekaan terhadap longsor. Tanah berpengaruh terhadap longsor, dimana sifat-sifat tanah tersebut adalah tekstur tanah, kedalaman/solum tanah, dan konsistensi tanah. Tekstur tanah merupakan perbandingan persentase pasir, debu, dan lempung. Banyak sedikitnya ukuran butir ketiga fraksi tersebut akan mempengaruhi respon terhadap masukan air. Tanah bertekstur pasir karena kekuatan agregatnya kurang kuat, maka akan mudah lepas apabila kelembaban bertambah. Tanah yang bertekstur lempung mampu menyimpan air dalam waktu yang lama, sehingga menyebabkan berat volume massa tanah bertambah. Pada tanah yang mempunyai solum tebal mampu menerima dan menyimpan air lebih besar daripada tanah dengan solum tipis, yang berarti akan berpengaruh pada berat massa agregat tanah ( Suryono, 2000 ). Keadaan tanah di daerah penelitian ini termasuk berpotensi terhadap bahaya longsor karena melihat dari semua variabel-variabel tanah yang ada di daerah penelitian, selain itu tanah daerah tersebut merupakan tanah yang berasal dari tanah endapan gunung api sehingga tanah menjadi kurang kuat dan rentan terhadap air.

e. Hidrologi

Kedalaman muka air tanah lokasi penelitian berdasarkan tabel V.10 didominasi oleh muka air tanah yang dalam dan tersebar pada 7 sampel yang berbeda, sedangkan satu sampel lainnya memiliki muka air tanah yang agak dangkal. Rodrigues et al. dan Mello et al. ( 2003 ) dalam Hermon ( 2012 ) menjelaskan bahwa proses terjadinya longsor diawali dengan air meresap ke dalam tanah sehingga menambah bobot tanah tersebut, jika air menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng atau keluar lereng. Semakin dalam muka air tanah di daerah tersebut maka semakin tinggi pula potensi longsor yang akan terjadi karena keadaan air dapat menembus lapisan tanah kedap air yang dapat mengakibatkan terjadinya longsor. Kondisi hidrologis yang juga berpengaruh tehadap longsor adalah keterdapatan mata air/jalur rembesan. Air dalam penghantar umumnya bergerak perlahan-lahan menuju ke permukaan air bebas yang terdekat seperti danau, sungai, dan laut tetapi jika ada satu lapisan kedap air yang membatasi sebuah penghantar dan lapisan itu tersingkap di permukaan maka air tanah dapat muncul di permukaan pada jalur rembesan atau sebagai mata air, CEGM ( 1979 ) dalam Sugiharyanto ( 2009 ). Jalur rembesan ( seepage ) yang terdapat pada tebing sepanjang jalan di lereng barat Panorama Puncak Pato yang dapat memicu terjadinya longsor secara tiba-tiba seperti pada gambar V.11 berikut;

Gambar V.11 Jalur Rembesan Air Tanah

Sumber; Pengamatan Lapangan, 2014.

f. Penggunaan lahan

Penggunaan lahan daerah penelitian sangat berpengaruh terhadap tingkat bahaya longsor di daerah penelitian. Penggunaan lahan yang didominasi oleh kebun campuran, tingkat bahayanya lebih tinggi dari pada penggunaan lahan lainnya karena berada didekat permukiman warga dan jalan raya yang dapat menimbulkan korban serta rusaknya infrastruktur seperti jalan dan permukiman tersebut apabila terjadi longsor. Penggunaan lahan berpengaruh terhadap longsor, hampir semua longsor terjadi dipengaruhi oleh aktivitas manusia yaitu dengan mengubah bentuk lereng yang menyebabkan air mudah masuk ke dalam tanah atau mengubah tata guna tanah yang mempengaruhi keseimbangan lereng ( Suryono, 2000 ).

Hairiah et al. ( 2007 ) mengemukakan bahwa tingginya frekuensi longsor disebabkan oleh terjadinya alih fungsi lahan, baik dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya, atau dari kawasan budidaya dengan karakteristik

menyerupai kawasan lindung menjadi kawasan budidaya yang tidak menunjang fungsi konservasi lingkungan hidup. Penggunaan lahan lokasi penelitian merupakan kawasan budidaya sesuai dengan peta RTRW kab. Tanah Datar tahun 2011-2031 namun pengelohannya dilakukan masyarakat setempat tidak memperhatikan teknik konservasi tanah. Menurut Choirudin et al. 2007 dalam Hermon ( 2012 ) mengatakan bahwa hampir semua longsor terjadi akibat aktifitas manusia dalam pengelolaan lahan pada daerah yang berlereng curam, sehingga keseimbangan lahan akan terganggu dan rentan terhadap longsor.

2. Tingkat Bahaya Longsor

Berdasarkan total pengharkatan seluruh variabel penelitian, maka dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan yaitu tingkat bahaya longsor rendah terjadi pada

V6.II.Kamb.Qamg.Kc, V6.II.Kamb.Qamg.Pem, V7.I.Kamb.Qamg.Kc, V7.I.Kamb.Qamg.Pem dan tingkat bahaya longsor sedang terjadi pada satuan lahan dengan kode V4.IV.Kamb.Qamg.Kc, V4.IV.Kamb.Qamg.Blkr, V5.III.Kamb.Qamg.Kc, V5.III.Kamb.Qamg.Blkr. Satuan lahan yang memiliki tingkat bahaya longsor tinggi terjadi pada satuan lahan dengan kode V4.IV.Kamb.Qamg.Ht. Tingkat bahaya longsor tinggi ini terdapat pada lereng barat Panorama Puncak Pato dengan penggunaan lahan hutan yang berada di pinggir jalan. Tabel V.12 menunjukkan bahwa semakin besar harkat struktur lapisan batuan, kemiringan lereng, panjang lereng, bentuk lereng, tekstur tanah, struktur

satuan

lahan

dengan

kode

tanah, tebal solum tanah, konsistensi, kedalaman muka airtanah, penggunaan lahan dan curah hujan maka akan semakin tinggi pula tingkat bahaya longsor di daerah penelitian. Mardianto ( 2001 ) serta Hermon dan Triyatno ( 2005 ) dalam Hermon ( 2013 ) melakukan penelitian dengan mengembangkan metode Zuidam dan Concelado ( 1979 ), memberikan informasi bahwa pada tingkat bahaya longsor rendah memiliki tanah ynag stabil dan tidak pernah atau jarang terjadi longsor kecuali pada tebing jalan dan sungai. Tingkat bahaya longsor sedang peluang terjadinya longsor 1 kali dalam 5 tahun pada lahan dengan kemiringan > 15% sedangkan tingkat bahaya longsor tinggi peluang terjadinya longsor 1-2 kali dalam 5 tahun.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan ada pada BAB V dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Karakteristik lahan di lokasi penelitian menunjukkan daerah penelitian berpotensi terjadi bencana alam longsor. Karakteristik lahan memberikan

pengaruh atau menunjukkan sifat-sifat yang menjadi faktor pemicu terjadinya longsor di daerah penelitian, hal ini dibuktikan dari hasil pengamatan dan pengukuran sebagai berikut; a) iklim; curah hujan sangat tinggi, b) geologi; struktur lapisan batuannya horizontal, miring bergelombang sampai dengan miring berbukit, c) geomorfologi; topografi yang sangat curam dengan lereng yang panjang dan bentuk lereng bervariasi, d) tanah; tekstur tanah sedang dengan konsistensi tanah sangat gembur, e) hidrologi; kedalaman muka air tanah tergolong dalam, f) penggunaan lahan; hutan, kebun, belukar, dan permukiman.

2. Tingkat bahaya longsor dapat dibedakan menjadi 3 jenis tingkat bahaya longsor yaitu tingkat bahaya longsor rendah terjadi pada satuan lahan dengan kode V6.II.Kamb.Qamg.Kc, V6.II.Kamb.Qamg.Pem, V7.I.Kamb.Qamg.Kc,

V7.I.Kamb.Qamg.Pem dan tingkat bahaya longsor sedang terjadi pada satuan lahan

V4.IV.Kamb.Qamg.Blkr, V5.III.Kamb.Qamg.Kc, V5.III.Kamb.Qamg.Blkr sedangkan satuan lahan yang memiliki tingkat bahaya longsor tinggi yaitu V4.IV.Kamb.Qamg.Ht.

dengan kode

V4.IV.Kamb.Qamg.Kc,

B. Saran

1. Disarankan kepada penduduk yang berada dan bagi pengendara kendaraan di sekitar satuan lahan yang mempunyai potensi bahaya longsor tinggi dan

sedang supaya berhati-hati dan waspada jika terjadi longsor secara tiba- tiba .

2. Disarankan terhadap pemerintah daerah setempat agar dapat melakukan penanggulangan dan sosialisasi kepada penduduk setempat tentang bahaya longsor dan penataan ruang daerah lereng perbukitan yang dapat menjadi

solusi untuk mengurangi terjadi longsor di lereng barat Panorama Puncak Pato.

3. Diharapkan ada penelitian yang berikutnya terhadap Resiko dan kerentanan longsor serta penanganannya pada Panoraman Puncak Pato ini.