Kesimpulan dan Rekomendasi

E. Kesimpulan dan Rekomendasi

Rekonstruksi proses identifikasi tanah terlantar dapat digunakan untuk menilai berhasil tidaknya kebijakan penetapan tanah terlantar. Pengalaman di Blitar menunjukkan bahwa tidak adanya satupun lahan yang dinyatakan sebagai tanah terlantar disebabkan pendataan tanah yang berasal dari data sengketa, dilakukan dengan keterbatasan pemahaman, dan dijalankannya program dalam keterbatasan kerangka kerja dan tenggat waktu. Dengan kalkulasi pendataan dapat dikirim ke Kanwil BPN Propinsi Jawa Timur tepat pada waktunya, Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar bertaktik menjadikan data sengketa sebagai data tanah terindikasi terlantar.

Kasus pertama (Gunung Nyamil) yang dikaji di atas menunjukkan bahwa meski suatu wilayah dalam kondisi kekosongan aktifitas dari pemegang kuasa sementara dan kekosongan yuridis mengingat belum jelas alas hak atas wilayah tersebut, serta telah didayagunakannya tanah tersebut oleh masyarakat, tidak berarti ia dapat dan mudah diproses melalui kebijakan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Akibatnya, Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar dan selanjutnya BPN RI di Pusat tidak berhasil menetapkan tanah di Gunung Nyamil sebagai tanah terlantar.

Dalam kasus kedua (Desa Soso) memberi pengertian kita bahwa tanah yang telah jelas-jelas ditetapkan sebagai obyek landreform oleh pelaksana kebijakan dan pihak perkebunan tidak segera dijalankan untuk diredistribusi. Beralihnya penguasaan tanah (sewa-menyewa) secara internal di lahan perkebunan justru difasilitasi oleh pihak pemegang HGU. Kondisi ini melahirkan konflik beragam aktor. Selain itu penggantian komoditas tanam oleh perusahaan yang mestinya telah memenuhi unsur penelantaran tanah, juga tidak menjadi pertimbangan bagi lembaga pertanahan. Dengan kondisi demikian, tanah perkebunan ini tidak (dapat) ditetapkan sebagai tanah terindikasi, alih-alih ditetapkan sebagai tanah terlantar. Ini menunjukkan Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar lemah mengelola konflik-konflik atas tanah negara yang dikuasakannya kepada pihak perusahaan perkebunan. Tim fasilitasi konflik pertanahan di Blitar yang sifatnya lintas-sektoral harus lebih aktif, selain perlu memberikan otoritas lebih kuat pada Kantor Pertanahan di Blitar sehingga tidak ragu dalam menjalankan kebijakan penanganan konflik pertanahan.

Hasil Penelitian Sistematis STPN, 2013

Kebijakan pendayagunaan tanah untuk kepentingan negara dan redistribusi tanah atau reforma agraria kepada masyarakat akan sulit dijalankan jika pencabutan hak atas tanah dari pemilik semula dilakukan melalui strategi kebijakan penertiban tanah terlantar. Dengan menargetkan tanah seluas 7,3 juta ha tanah terlantar dari total luas 8,1 juta ha sebagai obyek Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), maka dikhawatirkan angka dari tanah dalam kuasa negara berupa tanah terlantar seluas itu tidak dapat diperoleh. Akibatnya, PPAN dan kebijakan reforma agraria hanya akan memiliki jangkauan yang minimal, yakni terhadap obyek tanah adat (masyarakat). Lebih-lebih jika tanah tersebut secara existing telah dikuasai masyarakat, sehingga yang terjadi kemudian hanyalah kebijakan legalisasi aset.

Lembaga ini tidak menyadari bahwa pelaksanaan PP No. 11/2010 adalah mekanisme pelaksanaan reforma agraria (RA) yang menjadi agenda utama politik pertanahan di Indonesia. Bahkan BPN RI sendiri tidak menempatkan kebijakan ini dalam kerangka tersebut, dilihat kebijakan ini dari sisi pelaksanaan, anggaran, kelembagaan, hingga proses peradilannya dalam menghadapi gugatan pihak pemegang semula. Artinya, sejak dari desain hingga pelaksanaan, kebijakan ini telah diteknikalisasi secara reduktif, sehingga tampak nyata ia tidak memiliki sisi politis sama sekali dalam upaya perombakan ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia.

Penelitian ini merekomendasikan bahwa penertiban pendayagunaan tanah terlantar ditempatkan sebagai pelaksanaan politik pertanahan dan bukan semata-mata pelaksanaan administrasi pertanahan berupa pengendalian. Akan tetapi ia benar-benar sebagai bagian dari agenda utama politik dan kebijakan penataan struktur penguasaan tanah melalui reforma agraria. Dengan demikian maka perlu penempatan ulang kebijakan ini di dalam pemahaman, kelembagaan, pendanaan, dan operasionalisasi yang menempatkannya sebagai agenda utama BPN RI sebagai pelaksanaan Reforma Agraria yang sesungguhnya (genuine).

78 Membaca Ulang Politik dan Kebijakan Agraria

DAFTAR PUSTAKA Buku dan Artikel

Andi, Achdian, Tanah bagi yang Tak Bertanah, Landreform pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965, Bogor: Kekal Press, 2008

Borras Jr, Saturnino M. dan Jennifer C. Franco, “Contemporary Discourses and Contestations around Pro-Poor Land Policies and Land Governance”, Journal of Agrarian Change, Vol. 10 No. 1, Januari 2010

Tim Fasilitasi Sengketa Pertanahan, “Buku Data Sengketa Pertanahan Kab. Blitar”, Kab. Blitar Tahun 2012 Burns, Peter, “Adat, yang Mendahului Semua Hukum”, dalam Jamie S. Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga, (eds.), Adat dalam Politik Indonesia, Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia, 2010

Li, Tania M. The Will to Improve: Governemntality, Development, and Practice of Politics, Duke University Press, 2007 Luthfi, Ahmad Nashih, dkk., Kronik Agraria Indonesia, Memperluas Imajinasi Lintas Zaman, Sektor dan Aktor, STPN Press, Sajogyo Institute, dan ISSI, 2010

Setiawan, Usep, “Tanah Terlantar”, Republika, 13 April 2010 Shigero Sato, War, Nationalism, and Peasants Java Under the Japanese

Occupation 1942–1945, Australia: Allen & Unwin, Ltd. 1994 Termorshuizen-Arts, Marjanne, “Rakyat Indonesia dan Tanahnya: Perkembangan Doktrin Domein di Masa Kolonial dan Pengaruhnya dalam Hukum Agraria Indonesia”, dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono, Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, HuMa, van Vollenhoven Institute, KITLV-Jakarta, 2010

Vollenhoven, C. van, Orang Indonesia dan Tanahnya, STPN Press, Sajogyo Institute, HuMa, dan TAB, 2013 Wolmer, W., dan Scoones, I , An Introduction to Policy Processes. IDS: Brighton, 2005

Website

Detiknews, Sabtu, 16-02-2013, “BPN Nyatakan 51.976 Hektar Tanah di Indonesia Sebagai Tanah Terlantar”, diakses tanggal 17 Februari 2013

Hasil Penelitian Sistematis STPN, 2013 Hasil Penelitian Sistematis STPN, 2013

dprd-blitar-baru-tahu-mafia-tanah, diakses pada 18 Juni 2013. http://huma.or.id/pembaruan-hukum-dan-resolusi-konflik/penetapan- tanah-terlantar-digugat.html , diakses tanggal 14 Juni 2013. http://news.detik.com/surabaya/read/2012/07/11/132450/1962850/4

75/ratusan-warga-di-blitar-turun-ke-jalan-tuntut-eks-perkebunan, diakses pada 18 Juni 2013.

http://www.koran-sindo.com/node/308461, diakses pada 18 Juni 2013.

Wawancara dan Diskusi

B, tokoh tani di Babatan Desa Ngadipuro, wawancara di Ngadipiro, tanggal 15 Juli 2013. Diskusi Sosialisasi PP No 11 tahun 2010 di STPN, 15 April 2010.

Gunawan Wiradi, Pakar Agraria, wawancara melalui telepon, 25 November 2013. M, tokoh tani di Babatan Desa Ngadipuro, wawancara di Ngadipiro, tanggal 15 Juli 2013

P, 70 tahun, tokoh tani Desa Soso, wawancara di Soso, tanggal 17 Juli 2013 Kepala Kantor Pertanahan kabupaten Blitar, wawancara di Blitar, 12 Juli

2013 Kasie Pengendalian Tanah BPN Kabupaten Blitar, wawancara di Blitar,

12 Juli 2013. Kasie Pendaftaran Tanah BPN Kabupaten Blitar, wawancara di Blitar, 13 Juli 2013. Rahma Mary, salah satu pengacara perwakilan petani dalam kasus gugatan tanah terlantar di Batang, komunikasi pribadi melalui telepon, 20 Juli 2013.

80 Membaca Ulang Politik dan Kebijakan Agraria

Lampiran:

Salinan Keputusan Tanggal 26 Mei 1964, No. SK 49/Ka/64

Luas yang No.

Luas

Nama Kebun

Seluruhnya

Diduduki Letak Tanah

(Ha)

Rakyat (Ha)

1. Panglungan

133 Kab. Jember 2. Pongadjaran

212 Kab. Jember 3. Segunung

170 Kab. Jember 4. Sumberdjae

532 Kab. Jember 5. Tukun

120 Kab. Jember 6. Ubalan

838 Kab. Jember 7. Wonokerso

221,5 Kab. Jember 8. Dilem / Kalikater

Kab. Mojokerto 9. Gedoro / Gondang

182 Kab. Ngawi 10. Margomulyo

Kab. Kediri 11. Pakellan

250 Kab. Kediri 12. Gukosewu

53 Kab. Kediri 13. Gotjang

159 Kab. Kediri 14. Djurangbanteng

Kab. Blitar 15. Gondang Tapen

266 Kab. Blitar 16. Karanganyar

143 Kab. Blitar 17. Karangnongko

110 Kab. Blitar 18. Kulonbambang

Kab. Blitar 19. Kruwuk

262 Kab. Blitar 20. Gunung Nyamil

426 Kab. Blitar 21. Ngusri

80 Kab. Blitar 22. Nyunyur

100 Kab. Blitar 23. Pidjiombo

Kab. Blitar 24. Petungombo

138 Kab. Blitar 25. Rotoredjo

15 Kab. Blitar 26. Sekargadung

1043 Kab. Blitar 27. Kali Genteng

1 Kab. Tulungagung 28. Kaliduwe / Panggungkalah

Kab. Tulungagung 29. .......(?)

85 Kab. Tulungagung

Hasil Penelitian Sistematis STPN, 2013

30. Pontjowati

125 Kab. Trenggalek 31. ..... Wilis

178

- Kab. Trenggalek 32. Gledaganpantjur /

166

1398 Kab. Malang Sumberpakel

2007

33. Kali Glidig

341 Kab. Malang 34. Mujoharajo

529

619 Kab. Malang 35. ..... / Ralesari

1716

- Kab. Malang 36. ..... (?)

1451 Kab. Malang 37. Sumbertjulang

1851

651 Kab. Malang 38. Sumbermandjing

992

- Kab. Malang 39. Gonosekar

121

230 Kab. Malang 40. Gonowangi

707

45 Kab. Malang 41. Tretes Panggung

279

640 Kab. Malang 42. Wonokerto

670

- Kab. Malang 43. Wonotoja

1479

450 Kab. Malang 44. Wonolopo

1406

516 Kab. Malang 45. .........(?)

686

- Kab. Lumadjang 46. ..........(?)

2077

404 Kab. Lumadjang 47. Gunung Gantung / Telakaja

822

- Kab. Djember 48. Gukosawah

129

35 - Kab. Bondowoso

82 Membaca Ulang Politik dan Kebijakan Agraria