Sudah Jadi Masa Lampau

Sudah Jadi Masa Lampau

Tidak ada alasan lain, Jakarta—dulu dikenal tuntutan setelah ditemukan kenyataan di lapangan. sebagai Batavia—harus diutamakan karena Dari sana kemudian disimpulkan penyelesaiannya, ditetapkan sebagai ibu kota, pada waktu negeri dan ini tugas pihak perekayasa. ini masih bernama Nederlands Indië dan sekarang jadi Republik Indonesia. Gagasan teranyar adalah

Langkah berikutnya berupa pengumpulan data membangun terowongan serbaguna. Barang anyar dasar sebagaimana disarankan oleh Operation

seperti itu memerlukan banyak persiapan. Apa yang Room. Seperti layaknya dalam lingkungan Angkatan harus dimulai secepat-cepatnya adalah yang disebut Bersenjata, Pemerintah DKI yang pada waktu itu data dasar. Sebenarnya, bagi Jakarta hal itu sudah dikomandani oleh Ali Sadikin, Jenderal KKO, sangat menumpuk. Saya ragu jangan-jangan banyak yang disiplin. Kali ini perintah bersifat menjenis (khas), sudah tertimbun atau seperti orang Belanda bilang, karena tujuannya untuk kepentingan menetapkan in het vergeetboek geraakt, terselip entah di mana tata ruang. Maklum, ketika itu di luar Kebayoran (asal jangan terlanjur diloakkan).

JAKARTA,

Baru, daerah boleh kita anggap masih ‘kosong’. Karena kebetulan saya ditunjuk sebagai koordinator,

Semenjak sekitar tahun 1960-an saya terlibat sayalah yang harus menentukan jenis data dasar yang

Foto: Igan S. Sutawidjaja

Selalu yang Pratama

dalam upaya penyediaan data dasar bagi kota raksasa

diperlukan, sumbernya, cara memperolehnya, dan itu. Peta yang pertama yang pantas saya sebutkan dengan sendirinya, juga cara menyajikannya.

adalah Peta Geologi Teknik Jakarta-Bogor. Tokoh yang empunya gagasan itu adalah Soetaryo Sigit,

Berturut-turut data itu menyangkut curah hujan,

geologiwan pertama lulusan Bagian Geologi, FMIPA, Prime Novelties for Jakarta rupabumi, air tanah, dan data serta informasi yang

Universitas Indonesia, Cabang Bandung, sekarang berguna sebagai penunjang. Data curah hujan

Oleh: M.M. Purbo-Hadiwidjoyo

Institut Teknologi Bandung. Peta ini terbit ketika mudah diperoleh, karena Koninklijk Meteorologisch beliau jadi Sekjen Departemen Pertambangan, di en Geophysisch Instituut sudah menerbitkannya,

Ever since the colonial period when it was called Batavia, prime issues went always to this

samping itu menjabat Kepala Biro Penanaman Modal data rupabumi berupa peta topografi pada skala

1:50,000 dan 1:25.000.

city, currently known as Jakarta, Indonesia’s first megacity. This article deals with those

Asing. Peta berukuran 150 x 100 cm ini ditempelkan di dinding di belakang meja kerjanya.

facts, particularly so regarding water. It started with the introduction of an integrated

Saya kemudian mencoba menemukan kembali Apa yang nyata adalah awal perkembangan titik tetap yang digunakan sebagai acuan pada waktu

surface water management system, something very basic. Though very very much smaller

daerah Jabotabek. Setelah Jakarta bypass, jalan bebas

dilakukan pemetaan topografi. Arsip titik tetap yang

in scale and importance, earlier Batavia, in fact, got another primer, i.e., the use of self-

hambatan pertama, Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi) bersangkutan di daerah Jakarta, Bogor, Tangerang,

flowing wells from the firstly discovered artesian basin, lying underneath the town. Later,

pun menyusul. Hal yang juga tak dapat ditawar- Bekasi—yang kemudian dikenal sebagai daerah

something peculiar was decided, the first ever in this country, the design of a piped-water Jabotabek—ada di Jawatan Topografi Angkatan tawar adalah data untuk membangun kota seperti

keterdapatan bahan bangunan, dan itu berkisar dari Darat. Saya pernah mencoba mencari kembali arsip

supply system, conveying the abundantly discharging spring whose water was, and still

tanah uruk, batu belah, hingga pasir.

itu, dan ternyata tidak segampang saya kira semula.

is, of splendid quality. The spring issues in the lower slope of Mt. Salak above Bogor. The

Tidak semua data itu dapat saya peroleh.

Selanjutnya adalah pabrik semen Cibinong. Ini

system, including a some 70 km-long pipeline is until today, after more than a century of

merupakan pabrik semen berikutnya milik pemerintah,

Setelah itu, tahuan (informasi-red) yang

service. The latest issue of making Jakarta flood-free is still hanging on.

setelah sebelumnya ada Pabrik Semen Indarung dekat

berhubungan dengan medan yang kami kumpulkan berhubungan dengan medan yang kami kumpulkan

Ada selajur daerah tak terlampau lebar yang seluruh Indonesia buatan Sekutu menjelang PD terbentang timur-barat dari bagian selatan DKI

II usai, dalam rangka persiapan mereka merebut hingga sebelum Depok. Itulah yang dianggap kembali wilayah Asia Tenggara. Meskipun sudah sebagai daerah peresapan air yang mengimbuh berumur lebih dari 15 tahun, data geologi potret cadangan air tanah dalam cekungan Jakarta. Dulu, itu tetap sangat berharga; kita tidak perlu berbicara

daerah itu masih lumayan kosong. Berdasar hasil

tentang mutu.

temuannya, tim menganjurkan agar lajur itu dapat dipertahankan sebagai ‘daerah hijau’. Siapa hirau?

Kita dapat mengerti mengapa lajur itu justru menarik, data curah hujan seluruh daerah Jakarta-Bogor. karena kedekatannya dengan Jakarta. Oleh sebab

Hal yang selanjutnya dapat dikumpulkan adalah

Rekaman curahan hujan itu tersedia sejak perempatan terakhir abad ke-19 hingga 1941, menjelang PD itu, sekarang daerah itu sudah berubah jadi tempat

II meletus, dan terhimpun dalam Verhandelingen

hunian padat.

Koninklijk Meteorologisch-Geophysch Insituut di

Air yang terlibat dalam pengimbuhan “waduk”

Batavia. Selain itu saya juga memperoleh peta curah

bawah-tanah itu sudah mulai meresap sejak di

hujan dengan data turunan.

hulu DAS Ciliwung. Itu berupa luahan dari badan gunung api, waduk bawah-tanah alami yang

pertama di hulu, Gunung Salak dan Gunung Gede- diperoleh. Penyebabnya, karena dari lingkungan Pangrango. Sebagian air dari waduk alam itu muncul

Data dan informasi air tanah cukup mudah untuk

instansi sendiri, Direktorat Geologi. Arsip Direktorat Geologi selamat melewati huru-hara perang berupa sejumlah mata air. Itu telah berabad-abad dan bahkan bertambah. Saya menemukan satu lamanya menjadi sumber bagi penghidupan orang banyak. Sudah sejak awal, orang memanfaatkannya eksemplar laporan perihal air bawah-tanah (air untuk persawahan. Pada gilirannya itu pula yang tanah) seluruh Indonesia buatan Komando Strategi menjelmakan Kerajaan Pajajaran. Sekutu Asia Tenggara, dan sumbernya juga arsip yang sama, berkas hasil pemboran-dalam. Begitu

Kedatangan Belanda sebagai kekuatan politik bergabung dengan Jawatan Pertambangan Federal asing pertama mengubah segala tatanan. Di di tahun 1950 yang saya lakukan adalah memeriksa

dalamnya termasuk berubahnya tataguna air. Maka laporan yang ada, satu demi satu. Di kemudian terjadilah ‘loncatan’, ketika ‘ditemukan’ bahwa mata hari, sebagai pimpinan bagian yang membawahkan

air besar yang muncul di kaki Gunung Salak, alih- arsip, saya mencoba mencari kembali laporan alih dibiarkan mengalir ke alur sungai, lebih baik tersebut. Bentuknya menarik, berukuran folio dan dimanfaatkan bagi Batavia, kota dengan jumlah mimeographed, stensil-cetak, cara yang paling cocok

penduduk yang terus bertambah.

pada zaman menjelang akhir PD II. Saya sempat heran, karena barangnya tidak lagi ada.

Sebenarnya, Batavia ketika itu sudah mengenal air bersih yang berasal dari sumur-bor, dan airnya juga Salah seorang anggota tim adalah Sukardi mengalir sendiri (artesis). Belanda menguasai cara Puspowardoyo seorang yang sangat aktif—kini membor air; mereka juga tahu mutunya, kedalaman sudah tiada—yang sangat menguasai persoalan. asal air itu, dan berapa meter bubungannya di atas Hasilnya ia sajikan berupa tiga buah penampang muka tanah. Tulisan ini tidak bermaksud membahas hidrogeologi Jakarta selatan-utara. Penampang itu pokok itu; sampai di sini sumur bor yang pertama. sangat besar artinya untuk memperoleh gambaran mengenai pola gerakan air tanah, termasuk daerah

Mata air di Gunung Salak muncul di ketinggian pengimbuhan. Daerah itu harus diwaspadai dan beberapa puluh meter di atas permukaan laut (dapl), luahnya besar, dan mutunya sangat baik. Karena selanjutnya dilindungi.

muncul di titik yang cukup tinggi, air itu tanpa Dengan ketiga penampang itu kita dapat bantuan sarana selain pipa, karena gaya berat, dapat memperoleh gambaran bentuk tri-matra yang mengalir ke pengguna di kota pantai. Dengan sistem disebut cekungan air tanah Jakarta. Itulah cekungan

pipa, Batavia di pantai yang terpisah beberapa puluh artois pertama yang dikenali di negeri ini, dan kita kilometer dari sumber airnya jadi kota pertama di dapat mengikuti di dalamnya pergerakan air yang Hindia Belanda, dan dua abad jadi contoh. tercurah dari hulu DAS Ciliwung, menuju ke ujungnya yang ada di bawah Teluk Jakarta. Memang ada

Di lereng Gunung Gede-Pangrango juga terdapat sejumlah mata air. Terutama yang diketahui banyak

zaman ketika orang bertanya, apa sebab pemboran- air-dalam di Jakarta Utara menghasilkan air tawar? di sebelah barat Puncak. Satu di antaranya, yang Bahkan sumur-bor di Pulau Onrust airnya tawar paling terkenal, adalah kelompok mata air Cisarua dan dimanfaatkan kapal yang menyinggahi Batavia.

yang sejak dulu dimanfaatkan, awalnya untuk

Jawabnya dapat ‘dibaca’ di penampang itu.

sawah dan keperluan rumahtangga, dan sejak pra- PD II juga untuk kolam renang. Tanpa diolah, air itu sawah dan keperluan rumahtangga, dan sejak pra- PD II juga untuk kolam renang. Tanpa diolah, air itu

Akhir-akhir ini kita menyaksikan peminat air gunung bertambah. Pihak itu tak lain adalah pelaku bisnis air botolan atau air minum dalam kemasan (AMDK). Usaha ‘air mineral’ ini berkembang sangat pesat, dan produksinya tidak hanya dijual di kota besar yang hausnya tak dikendalikan, karena diramu dengan teh dan entah dengan rasa buah apa, semua dijajakan sampai ke daerah pelosok, tidak terkecuali di sekitar sumber air, Cisarua. Apa sebabnya? Sangat praktis dan ditanggung bersih.

Air gunung dikemas dalam botol segala ukuran, sesuai dengan permintaan dan selera pembeli. Sedikit tambahan, agar diperoleh gambaran besar volum yang diangkut ke Jakarta, kita coba ‘mengintip armada pengangkut’, dengan wadah sangat beragam, dalam kemasan botol aneka ukuran dan meruah tidak kepalang dengan truk tangki, semua sesuai dengan pesanan. Apakah ada angka statistik? Saya kira tidak ada, karena perhatian kita belum sejauh itu.

Itu satu sisi mata uang. Karena bisnis menyangkut uang, entah uang mana dan siapa. Sisi yang lain, semua air itu dari gunung, semula menuju entah ke mana, tetapi yang pasti untuk pesawahan atau pertanian. Di sini kesulitan muncul, karena ketiadaan angka statistik. Tugas siapa? Yang jelas, bukan urusan Pemerintah DKI semata.

Dalam hubungan dengan tata air ini saya merasa sangat beruntung. Tahuan saya mengenai perkara itu dan lingkungan banyak bertambah berkat terlibat kegiatan sejak awal tahun 1970-an (Pelita I), meskipun tidak dalam penelitian air tanah, melainkan karena melihat sana-sini. Peluang datang dan tak terpisahkan karena terbawa-bawa kegiatan tersebut.

Agar menjenis, sejak Pelita I hingga kini, nyaris setengah abad, dan tempatnya antara Bogor-Cianjur.

Saya pernah menyusuri jalan setapak, pematang sawah dan lorong, serta jalan desa yang diperkeras atau bahkan diaspal, sendiri atau dengan teman. Yang saya saksikan lingkungan yang sudah banyak berubah. Data angka tidak ada, namun, gambaran umum dalam benak, bahwa daerah antara Bogor- Cianjur, sekilas pandang, bagian di dekat Bogor lebih banyak beralih-rupa ketimbang yang di timur Puncak. Itu kesan, bukan statistik.

Dalam kurun waktu itu, alaman (pengalaman- red) yang saya peroleh dan saya nilai sangat berharga untuk disajikan di sini, berasal dari tahun 1980- an. Ketika itu saya anggota Tim Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang bertugas menatar alihbasa dosen di sebuah hotel di Cisarua, 10 km timur Bogor. Karena saat itu musim hujan, seperti lazimnya hujan terjadi, sangat lebat tetapi hanya sebentar, berjeda dan disusul guyuran berikut. Hotel itu yang dibangun beberapa tahun sebelum peristiwa yang saya bahas ini, menempati sebidang lahan miring di tepi kanan jalan raya. Lahan milik hotel seluruhnya terbangun, jika tidak untuk gedung tentu untuk jalan beraspal. Dengan latar itu, kepada saya disuguhkan peristiwa hujan lebat yang mengguyur. Hanya selang beberapa menit seusai hujan, semua sudah kering! Ke mana air hujan lari? Ke mana lagi jika tidak ke Ci Liwung, nun di bawah sana. Lewat got di pinggir jalan, dalam beberapa menit air hujan sudah mencapai Ci Liwung dan selanjutnya menuju Jakarta. Itu kisah yang saya saksikan hampir setengah abad yang lalu.

Peristiwanya berlangsung singkat, tetapi kecamuk dalam benak saya tiada henti, bahkan saat ini. Apa yang dapat saya berbuat, apalagi seorang diri? Maka saya mencoba berbuat, dan saat itu tiba ketika ada ajakan menulis sesuatu tentang Jakarta yang sedang menghadapi masalah besar, banjir yang dirasakan tiada hentinya. Berbagai tanya-jawab berkecamuk dalam benak. Dulu, sebelum ada hotel setiap musim penghujan guyuran demi guyuran pasti tidak akan

lari begitu saja. Ketika itu lereng masih tertutup persawahan bersengked, seperti yang masih tersisa di tempat berdekatan, seperi terlihat pra-1970. Laju-alir air yang melimpas teredam berkurang berkat sawah yang bersengked.

Apa mungkin mengubah kisah perjalanan air hujan? Tentu saja bisa. Andaikata pada waktu membangun hotel itu, perencananya sadar bahwa hotel berdampak jauh. Ia dapat membantu alam dengan meresapkan air dari langit itu dengan gawai (alat, perkakas), dan air dapat masuk kembali (meresap) ke dalam tanah. Gawai itu berupa sumur imbuh atau sumur peresap (kini populer disebut: sumur resapan), bergantung pada sudut pandang. Maksudnya, agar curahan dari hujan alih-alih jadi limpasan permukaan ‘lari’ begitu cepat, air hujan diarahkan jadi pengimbuh cadangan air di bawah Jakarta. Jika yang kita gunakan istilah sumur peresap—atau lebih pendek sumur resap—yang dijadikan tujuan adalah mengurangi jumlah air dari curahan dengan membelokkan sebagian limpasan permukaan agar meresap ke dalam tanah. Cara itu mengurangi beban selokan.

Tidak mungkin itu dilaksanakan. Penyebabnya sederhana, karena hal itu menambah kerja, dan itu sudah di luar kontrak. Jika tetap diminta, anggaran proyek bertambah. Ini pasti tidak disetujui pihak proyek, bouwheer, istilah Belanda yang sampai kini biasa digunakan. Bagaimanapun, ini adalah bisnis.

Pernah dalam rangka mengurangi limpasan, ada anjuran membuat sumur peresap. Hemat saya, orang umumnya tidak paham akan gunanya. Oleh sebab itu, ‘anjuran’ itu tidak mungkin diikuti, karena artinya menambah beban penduduk. Pelaksanaan semua itu harus lewat ketentuan yang tertuang dalam undang- undang dan dijabarkan dalam perda, peraturan daerah. Siapa yang terkena tidak hanya perorangan, juga developer, yaitu yang dewasa ini kita jumpai di mana-mana, sampai di pelosok negeri. Mereka pengembang dan bertugas membangun perumahan, juga bagi perorangan.

Saya kira, ini perkara baru karena ‘dunia air’ memang sangat ‘baru’ bagi kita. Di Bumi Parahyangan atau Tatar Sunda, dulu air tidak disoal, cur-cor, ada di mana saja. Sikap kita berhadapan dengan air tercermin dalam undang-undang, peraturan tertinggi negara, yang membagi ‘dunia air’ jadi dua, ada air permukaan yang kewenangannya di Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan air yang ada di bawah permukaan, air tanah, yang otoritas pengelolaannya ada di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) cq Badan Geologi. Ini batasan birokrasi, dan akarnya tertanam dalam dalam sejarah, sehingga tidak mudah dicabut, karena perlu merombak pola pikir kita.

Tidak mengherankan, ketika muncul pokok bahasan mengurangi jumlah limpasan, banyak pihak keluar dengan gagasan membangun waduk, dan tentu saja agar dilaksanakan segera. Bagaimana membangun waduk, jika calon tempatnya saja tidak kita ketahui, di anak Ci Liwung yang mana? ‘Proyek’ itu—sebab hanya lewat proyek benda itu dapat dibangun—tidak mungkin dilakukan tanpa apa yang dinamakan persiapan yang didasari data. Kita masih ingat akan peristiwa jebolnya bendungan—istilah ‘waduk’ kini jarang digunakan lagi; mungkin karena tinggalan zaman Belanda—berapa waktu yang lalu (Situgintung-red). Barangkali ada baiknya peristiwa jebolnya bendungan Cipanas disinggung juga di sini. Karena kehadiran bendungan itu maka lalulintas dari Cianjur menuju Puncak diperpendek. Kenyataannya, di belakang bendungan itu tertampung air entah berapa ribu atau bahkan puluh ribu meter kubik. Jika tidak salah ingat, peristiwa itu terjadi di musim penghujan, November 1932, dan laporannya ada dalam Arsip Geologi.

Sebelum mengakhiri bagian ini ada gunanya informasi bahwa pernah dibentuk Dewan Air Indonesia, dan diresmikan awal 1970-an. Dewan yang beranggotakan tiga orang itu terdiri dari Ir. Srimurni Dulhomid (alm), Prof. Sugandar Somawiganda, dan saya sendiri. Pelantikan dilakukan Prof. Sarwono Prawirohardjo, Ketua LIPI, tetapi sejak dilantik belum pernah berapat.

Kita kembali sejenak ke kisah pengumpulan data dasar untuk DKI. Tim sempat mengumpulkan data Pantai Calincing di timur Tanjung Priok. Hal yang menarik, dengan informasi yang tersedia, kami dapat menyimpulkan bahwa garis pantai mundur, proses yang ada hubungannya dengan selesainya proyek Waduk Jatiluhur. Bahan endapan yang terangkut dari daerah hulu dan selama sejarah mengendap di muara, tiba-tiba berhenti. Kami tidak menelusuri proses itu lebih lanjut, karena itu di luar tugas kami. Kami hanya sampai pada simpulan bahwa bagian terbesar bahan endapan itu terbawa Ci Tarum, dan semula berhenti di hulu bendungan.