Latar Hostoris Timbulnya Tarekat

C. Latar Hostoris Timbulnya Tarekat

Mengikuti suatu tarekat berarti melakukan olah bathin, riyadhah , mujahadah di bidang ruhaniah dan membersihkan diri dari sifat ujub, takabbur, rya’ , hubb ad-dunya sekaligus harus memiliki sifat ikhlas, tawadhu’ , tawakkal, dan

ridha 181 . Dengan cara seperti ini, seorang sufi dapat mencapai tujuan peleburan diri dengan nyata.

Tidak benarlah pendapat bahwa tasawuf dalam Islam timbul atas pengaruh- pengaruh dari luar Islam seperti pengaruh falsafah Yunani, agama Kristen, Hindu, Budha dan lain- lain. Tidaklah pula benar pendapat bahwa kata “sufi” berasal dari kata sophos Yunani karena sophos telah masuk ke dalam kata Arab falsafah, dan falsafah ditulis dengan huruf sin dan bukan dengan shad, yang terdapat dalam kata

shufi dan tashawwuf. 182 Tarekat sufisme pada tahap awal merupakan fenomena individual yang

spontan dari pengaruh aktifitas kehidupan Rasul saw. yang mendalam. Kemudian individu-individu lainnya mengikuti jejak tersebut dan memusatkan diri pada rel

178 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid V, (Bandung : Mizan, 2001), h. 215.

179 Ribath adalah tempat tinggal orang-orang yang mengkhususkan dirinya untuk beribadah.Pada mulanya, seringkali orang yang menjadi penghuni ribath diasosiasikan dengan

tasawuf dan dianggap sebagai menyimpang dari ajaran Islam.Lihat Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Jakarta : Mizan, ) h. 92.

180 Zawiyah pada awalnya merujuk pada sudut satu bangunan, seringkali masjid, tempat sekelompok orang (biasanya disebut fuqara’, orangorang fakir) berkumpul untuk mendengar

pengajian seorang syeikh. Lihat :Ibid., h. 96. 181 Dadang Kahmad, Tarekat Dalam Islam Spiritualitas Masyarakat Modern, Cet. I

(Bandung : Pustaka Setia, 2002), h. 74. 182 Harun Nasution (ed), Thariqat Qadariyah Naqsabandiyah; Sejarah, Asal-Usul dan

Perkembangannya, Ibid., (Tasikmalaya: IAILM, 1990),h. 11.

kehidupan dan tingkah laku yang asketis saat itu dikenal dengan sebutan zuhud dan nusak 183 (kaum pertapa), qura’ (para pembaca Alquran).

Lahirnya pola hidup sufistik yang melembaga menjadi tarekat tampaknya tidak terlepas dari perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat. Munculnya gerakan zuhud dan uzlah yang dipelopori oleh Hasan al-Basri (w.110 H) dan Ibrahin Adahm (w. 159 H) adalah contoh dari reaksi terhadap situasi dinamika masyarakat yang adal pada masa itu. Jadi lahirnya pola hidup sufistik apalagi yang melembaga seperti tarekat, sesungguhnya adalah merupakan jawaban terhadap kondisi sosial dan dinamika hubungan masyarakat pada waktu itu.

Pasca era Khulafa al-Rasyidin dilanjutkan dengan berdirinya Khalifah Umayyah , kondisi para khalifah tidak mencerminkan kesederhanaan dan kezuhudan, malah kehidupan materialistis telah menjadi bagian dari moralitas keseharian mereka. kebiasaan hidup mewah dan hura-hura merupakan realitas sehari-hari yang takkan mungkin dipungkiri. Kehidupan zuhud yang dicontohkan Rasul saw. dan sahabat-sahabatnya sudah terabaikan. Terlebih lagi saat terjadi pergolakan politik yang sangat dahsyat dari peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan pertentangan politik antara Ali bin Abi Talib dengan barisan Tolhah - Zubair - Aisyah dan kemudian antara Ali dengan Mu’awiyah bin Abi Sofyan pada masa sebelumnya telah menimbulkan segolongan umat yang menjauhkan diri dari masyarakat yang kacau itu. Persaingan politik yang menimbulkan peperangan sesama muslim, mereka lihat tidak sejalan dengan sunnah Nabi saw., bahkan bertentangan dengan ajaran dalam Alquran. Mereka melihat dosa telah dilakukan dan teringat akan siksaan neraka, dalam mengasingkan diri itu mereka banyak melaksanakan ibadat. Mereka melarikan diri dari masyarakat yang berkelahi dan

184 tak patuh itu. Dalam sejarah mereka dik 185 enal dengan Mu’tazilah Pertama .

183 Ibid.

184 Disebut Mu’tazilah pertama adalah untuk membedakannya dengan Mu’tazilah kedua yang dipelopori oleh Wasil bin ‘Ata. Mu’tazilah pertama lahi r karena permasalahan politik, sedang

Mu’tazilah kedua lahir karena masalah akidah.Lihat : Harun Nasution (ed), Thariqat Qadariyah Naqsabandiyah; Sejarah, Asal-Usul dan Perkembangannya, op. cit., h. 6.

185 Harun Nasution (ed), Thariqat Qadariyah Naqsabandiyah; Sejarah, Asal-Usul dan Perkembangannya, ibid.,h. 5.

Paling tidak ada dua faktor utama yang menyebabkan lahirnya tarekat, yaitu faktor dinamika politik dan faktor perubahan sosial. 186

Pertama; faktor dinamika politik. Di bagian barat dunia Islam seperti Palestina, Mesir, Syiria menghadapi serangan Kristen Eropa yang terkenal dengan perang Salib. Dan selama antara 490H/1096M hingga 656H/1258 M telah terjadi delapan kali peperangan yang cukup dahsyat. Selanjutnya di bagian Timur dunia Islam mengahadapi serangan bangsa Mongol yang dengan mudah menaklukkan setiap

daerah yang diserangnya. 187 Kedua; faktor perubahan sosial. Sebagai akibat dari situasi politik di kota Baghdad

sebagai pusat kekuasaan dan peradaban Islam juga tidak menentu, serta perebutan kekuasaan oleh para Amir terus terjadi, dimana secara formal khalifah tetap diakui, tetapi sesungguhnya secara praktis yang memerintah adalah para amir dan sultan- sultan. Saat itulah umat Islam mulai mengalami disintegrasi sosial yang sangat parah, seperti pertentangan antara Sunni deng an Syi’ah, pertentangan kelompok Turki dengan kelompok Arab-Persia. Akibatnya kehidupan sosial merosot dan

keamanan sangat terganggu. 188 Ada teori lain yang mengatakan kemungkinan lahirnya tarekat dalam Islam

tidak hanya faktor politik dan perubahan sosial dalam masyarakat Islam seperti yang dikemukakan di atas. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah kecenderungan beribadah yang berlebihan dan perbedaan penafsiran. Pertama,para sufi ingin mengamalkan ibadah sebanyak mungkin. Keinginan ini membuat mereka – sadar atau tidak- telah melakukan ibadah yang sesungguhnya tidak dipraktekkan oleh Rasul saw., baik cara maupun jumlahnya dalam pensucian jiwa, maka muncullah upaya-upaya untuk melembagakan cara yang sudah terbiasa dilakukan itu. Kedua, perbedaan-perbedaan di kalangan para ulama dalam memahami ayat- ayat Alquran maupun hadis selalu terjadi. Perbedaan pemahaman ini tentu berakibat pada perbedaan dan implementasinya. Ada pandangan bahwa pensucian jiwa yang paling baik adalah jika dilakukan secara berkhalwat, melalui ajaran

186 Karisuddin Aqib, Inabah, (Surabaya : Bina Ilmu, 2005) h. 2 187 K. Ali, A Study Of Islamic History, (Delhi : Idarat Adaby, 1990) h. 273. 188 Ibid., h. 135-135 186 Karisuddin Aqib, Inabah, (Surabaya : Bina Ilmu, 2005) h. 2 187 K. Ali, A Study Of Islamic History, (Delhi : Idarat Adaby, 1990) h. 273. 188 Ibid., h. 135-135

Sejarah perkembangan tarekat dapat dibagi dalam tiga fase. Fase pertama adalah tahap khanaqah. Khanaqah dalam istilah sufi/tarekat adalah sebuah tempat atau pusat pertemuan. Seorang syeikh hidup bersama muridnya dalam ikatan peraturan yang tidak terlalu ketat. Syeikh menjadi mursyid atau guru. Amalan- amalan/zikir dan metode yang mereka lakukan tidak semuanya bersumber dari ajaran guru. Mereka melakukan kontemplasi kadang-kadang secara individu, kadang-kadang secara bersama-sama, hal ini terjadi sekitar abad ke-10 M. Fase kedua adalah fase tarekat. Pada tahap ini ajaran-ajaran, metode, peraturan- peraturan sudah mulai terbentuk. Semua amalan yang akan dilakukan berpusat pada ajaran guru. Guru adalah sosok kharismatik yang wajib dipatuhi. Guru memiliki silsilah tarekatnya sampai kepada Rasul saw. Dalam tahap ini para sufi mencapai kedekatannya kepada Tuhan dengan istilah-istilah tertentu seperti ma‘rifat, mahabbah dan sebagainya. Fase ini berlangsung sekitar abad ke-13 M. Fase ketiga adalah tha’ifah . Pada masa ini terjadi transisi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Pada tahap ini, tarekat memiliki arti antara lain organisasi sufi yang bertujuan melestarikan ajaran syeikh. Seorang murid, setelah masa tertentu tidak lagi harus bersama gurunya. Mereka boleh mendirikan cabang di tempat lain. Bahkan banyak cabang tarekat yang pada akhirnya berbeda dengan tarekat

asalanya. Fase ini berlangsung sekitar abad ke-15 M. 190 Dalam kaitan inilah muncul dan berkembangnya berbagai organisasi tarekat atau aliran tasawuf hingga saat ini.

Gejala munculnya embrio tarekat secara formal dalam dunia Islam sekitar abad keenam hijriyah tidak terlepas dari hadirnya sufi-sufi berkaliber tinggi, seperti Abdul Qadir Zailani, Al-Syuhrawardi, Al- Naqsabandi, Ibn Rifa‘i, Mahy al -Din ibn Arabi dan lain-lain. Mereka meninggalkan murid-murid dan pengikutnya untuk bertaqarrub kepada Allah dan ada sebagian mereka yang membentuk organisasi

189 Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin , ( Jakarta : Ati Atisa, tt) h. 42

190 Kharisuddin, Op.Cit., h. 4-5 190 Kharisuddin, Op.Cit., h. 4-5