Hasil Analisis EOF

IV.1 Hasil Analisis EOF

Variabilitas H s menunjukkan variasi nilai H s dari nilai rata-ratanya. Gambar VI.1 menunjukkan rata-rata tinggi gelombang signifikan di seluruh domain. Rata- rata

H s tertinggi berada di Samudra Hindia (SH) hingga mencapai 2,8 m, kemudian diikuti oleh nilai rata-rata H s di Samudra Pasifik (SP) yang mencapai 2,5 m. Rata- rata H s di Laut Cina Selatan (LCS) mencapai 1,6 m sedangkan untuk perairan

Indonesia bagian dalam nilai rata-rata H s tidak lebih dari 1 m.

Gambar IV.1 Rata-rata tinggi gelombang signifikan selama 25 tahun (1991-2015).

Analisis EOF pada kajian ini menghasilkan 8 mode yang mewakili 95,35% dari total variansi sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar IV.2. Mode 1 mewakili 64,32%, mode 2 mewakili 16,60%, mode 3 mewakili 6,09%, dan mode 4 mewakili 3,37% dari total variansi. Sedangkan mode 5, mode 6, mode 7, dan mode 8 secara keseluruhan hanya mewakili 4,97% dari total variansi. Pada pembahasan hasil analisis EOF ini difokuskan kepada mode 1 sampai mode 4 yang secara total telah mewakili 90,38% dari total variansi.

Explained

Mode

Variance Total

Gambar IV. 2 Mode yang mewakili 95% dari total variansi.

Pola spasial dari mode 1 ditunjukkan oleh Gambar IV.3a. Hampir seluruh perairan LCS dan SP didominasi oleh nilai pola spasial positif, sedangkan SH didominasi oleh pola spasial bernilai negatif. Perbedaan tanda pola spasial menunjukkan keberlawanan fase variabilitas temporal oleh mode 1 antara perairan sebelah utara Indonesia yang meliputi LCS dan SP dengan perairan sebelah selatan Indonesia yang meliputi SH dan perairan Indonesia bagian dalam.

Analisis power spectrum dilakukan untuk mengetahui periode dari berbagai sinyal pada pola temporal mode 1. Hasil analisis power spectrum mode 1 ditunjukkan oleh Gambar IV.3b, yang memperlihatkan bahwa mode 1 didominasi oleh sinyal dengan periode 12 bulan. Apabila dilihat dari pola temporal mode 1 yang ditunjukkan oleh Gambar IV.3c terlihat jelas bahwa jarak puncak ke puncak pola temporal sekitar 1 tahun (12 bulan). Dapat disimpulkan bahwa mode 1 didominasi pengaruh monsun 12 bulanan.

Gambar IV. 3 Hasil analisis EOF (a) pola spasial, (b) power spectrum dari pola temporal, (c) pola temporal mode 1.

Dari pola temporal tersebut dapat dilihat juga bahwa puncak pola temporal terjadi pada musim barat (DJF) dan lembah terjadi pada musim timur (JJA). Hasil

perkalian pola spasial dan pola temporal mode 1 memperlihatkan bahwa H s di LCS dan SP akan mempunyai nilai yang lebih tinggi dari rata-ratanya pada saat musim barat sedangkan Hs di SH dan perairan Indonesia bagian dalam mempunyai nilai yang lebih rendah dari rata-ratanya. Contoh, pada bulan

Desember 1991, nilai pola temporal  1  154 , 01 dan nilai pola spasial di LCS u 1  0 , 0049 . Sehingga pada bulan Desember 1991, mode 1 membuat nilai H s di LCS lebih tinggi  H s   1 . u 1  154 , 01  0 , 0049  0 , 75 m dari nilai rata-ratanya. Sedangkan pada waktu yang sama, variansi tinggi gelombang di SH adalah  H s   1 . u 1  154 , 01   0 , 0040   0 , 62 m, yaitu 0,62 m lebih rendah daripada nilai rata-rata tinggi gelombang signifikan di tempat tersebut.

Pada musim timur akan terjadi kejadian sebaliknya, mode 1 menghasilkan H s yang lebih tinggi dari rata-ratanya untuk daerah SH dan perairan Indonesia bagian dalam sedangkan untuk daerah LCS dan SP akan mempunyai nilai yang lebih rendah dari rata-ratanya. Contoh, pada bulan Juli 2008, nilai pola temporal

 1   211 , 20 dan nilai pola spasial di LCS u 1  0 , 0049 . Sehingga pada bulan Juli 2008,

LCS lebih rendah  H s   1 . u 1   211 , 20  0 , 0049   1 , 03 m, yaitu 1,03 m dari nilai rata-ratanya. Sedangkan pada waktu yang sama, variasi tinggi gelombang di SH adalah  H s   1 . u 1   211 , 20   0 , 0040  0 , 84 m lebih tinggi daripada nilai rata-rata tinggi gelombang signifikan di tempat tersebut.

Gambar IV. 4 Hasil analisis EOF (a) pola spasial, (b) power spectrum dari pola temporal, (c) pola temporal mode 2.

Pola spasial mode 2 ditunjukkan oleh gambar IV.4a. Hampir seluruh domain memiliki nilai pola spasial positif. Hal ini menunjukkan bahwa variabilitas sebagian besar domain mempunyai fase yang sama. Nilai pola spasial maksimum berada di LCS. Nilai pola spasial di SH juga cukup besar yang menunjukkan cukup besarnya pengaruh mode 2 di LCS dan SH. Contoh pada bulan Juli 2002,

nilai pola temporal  2  186 , 99 dan nilai pola spasial di LCS u 2  0 , 0067 . Sehingga pada bulan Juli 2002, mode 2 membuat nilai H s di LCS lebih tinggi  H s   2 . u 2  186 , 99  0 , 0067  1 , 25 m dari nilai rata-ratanya. Sedangkan pada pada bulan April 2013 variansi tinggi gelombang di LCS adalah  H s   2 . u 2   156 , 27  0 , 0067   1 , 04 m, yaitu 1,04 m lebih rendah daripada nilai rata-rata tinggi gelombang signifikan di tempat tersebut. Sedangkan

pengaruh mode 2 di SP khususnya di utara Pulau Papua sangat kecil, terlihat dari nilai pola spasial yang mendekati nol. Contoh pada bulan Juli 2002, nilai pola

temporal  2  186 , 99 dan nilai pola spasial di SP u 2   0 , 0004 , sehingga variansi tinggi gelombang pada bulan Juli 2002 di SP adalah  H s   2 . u 2  186 , 99  0 , 0004   0 , 07 , yaitu 0,07 m lebih rendah daripada nilai rata-rata tinggi gelombang signifikan di tempat tersebut. Sedangkan pada bulan

April 2013 mode 2 membuat nilai H s di SP lebih tinggi  H s   2 . u 2   156 , 27   0 , 0004  0 , 06 m dari nilai rata-ratanya. Dilihat dari besar variansi yang dihasilkan oleh mode 2 dapat disimpulkan bahwa mode 2

menghasilkan variansi yang sangat kecil atau tidak signifikan.

Pola temporal mode 2 yang ditunjukkan oleh Gambar IV.4c memperlihatkan adanya dua puncak dalam satu tahun. Berdasarkan analisis power spectrum pada Gambar IV.4b diketahui bahwa terdapat sinyal 6 dan 12 bulanan yang memberikan kontribusi terhadap keseluruhan komposisi sinyal yang paling dominan. Selain sinyal musiman yang diperlihatkan pada pola temporal mode 2, terdapat juga sinyal tiga tahunan yang berkontribusi terhadap sinyal pada mode 2. Pengaruh antartahunan yang mempengaruhi gelombang pada daerah domain terlihat pada mode 2.

Gambar IV.5a memperlihatkan pola spasial mode 3 dari analisis EOF yang dilakukan terhadap H s . Pola spasial tersebut memperlihatkan bahwa adanya perbedaan fase antara LCS dan SP. Nilai pola spasial di LCS bernilai positif sedangkan di SP bernilai negatif. Sedangkan di SH dan perairan Indonesia bagian dalam nilai pola spasialnya bernilai positif dengan nilai yang lebih rendah daripada di SP. Pola temporal mode 3 ditunjukkan oleh Gambar IV.5c dan analisis power spectrum -nya disajikan pada Gambar IV.5b. Analisis power spectrum mode 5 sampai mode 8 dapat dilihat pada Lampiran A. Berdasarkan analisis power spectrum yang dilakukan terlihat bahwa adanya sinyal enam tahunan (antartahunan) dan 12 tahunan (dekadal) yang memberikan kontribusi terhadap keseluruhan komposisi sinyal, meskipun sinyal 6 dan 12 bulanan tetap sebagai sinyal yang paling dominan.

Gambar IV. 5 Hasil analisis EOF (a) pola spasial, (b) power spectrum dari pola temporal, (c) pola temporal mode 3.

Pola spasial mode 4 yang ditunjukkan oleh Gambar IV.6a hanya memberikan kontribusi sebasar 3,37% terhadap total variansi. Mode 4 memperlihatkan bahwa LCS dan perairan Indonesia bagian dalam mempunyai nilai pola spasial positif, sedangkan SP dan SH mempunyai nilai pola spasial negatif. Perairan di utara Benua Australia dan utara Pulau Sumatra juga mempunyai nilai pola spasial positif. Hasil analisis power spectrum terhadap mode 4 yang disajikan pada Gambar IV.6b memperlihatkan bahwa adanya sinyal intraseasonal yang mempengaruhi sinyal-sinyal pada mode 4.

Gambar IV. 6 Hasil analisis EOF (a) pola spasial, (b) power spectrum dari pola temporal, (c) pola temporal mode 4.