Pengaruh Sirkulasi Atmosfer Terhadap Tinggi Gelombang Signifikan

IV.2 Pengaruh Sirkulasi Atmosfer Terhadap Tinggi Gelombang Signifikan

Berdasarkan hasil analisis EOF terlihat bahwa variabilitas gelombang pada domain model lebih dari 90% dipengaruhi oleh mode 1, mode 2, mode 3, dan mode 4. Faktor yang paling mempengaruhi mode 1 adalah monsun dengan periode 12 bulan, tetapi dari analisis power spectrum terdeteksi juga adanya pengaruh sinyal intraseasonal dengan periode empat bulan pada mode 1 ini. Berdasarkan pola spasial pada Gambar IV.3a terlihat bahwa daerah perairan Indonesia terbagi menjadi 2 zona yaitu bagian utara khatulistiwa dan selatan khatulistiwa. Bagian utara khatulistiwa mempunyai fase positif sedangkan zona bagian selatan khatulistiwa mempunyai fase negatif.

Karakteristik yang dihasilkan oleh mode 1 memperlihatkan bahwa pengaruh angin pada musim barat (DJF) dan musim timur (JJA) sangat berkontribusi terhadap H s . Berdasarkan pola medan angin pada Gambar IV.7a dan 7c terlihat adanya dua zona medan angin, yaitu daerah bagian utara khatulistiwa dan selatan khatulistiwa. Pada musim barat kecepatan angin di LCS dan SP tinggi, demikian

pula dengan H s di sekitar daerah tersebut juga mengalami peningkatan dari rata- ratanya. Sedangkan pada musim timur, angin bertambah kuat di atas SH, begitu pula dengan H s di SH yang mengalami peningkatan. Sehingga terlihat jelas bahwa mode 1 merepresentasikan pengaruh monsun terhadap H s di perairan Indonesia dengan periode 12 bulan. Akan tetapi, terlihat adanya ketidaksamaan pada pola temporal tersebut pada selang-selang waktu tertentu dan diperkirakan gangguan tersebut dimodulasi oleh pengaruh fenomena intraseasonal dan dekadal.

Gambar IV. 7 Rata-rata medan angin (m/s) musiman (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON.

Untuk melihat pengaruh fenomena intraseasonal pada pola temporal mode 1, maka dilakukan pemisahan sinyal yang mempunyai periode 2-4 bulan dengan cara bandpass filter . Hasil pemisahan sinyal tersebut dapat dilihat pada Gambar IV.8. Lingkaran biru menunjukkan periode DJF ketika MJO memberikan dampak terhadap tinggi gelombang yaitu tahun 1996, 2001, 2003, 2004, 2006, 2011, dan 2014. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ramdhani (2015). Pada penelitiannya mengungkapkan bahwa pada periode DJF tahun 1996, 2001, 2003, 2004, 2006, dan 2010, MJO memberikan dampak terhadap kenaikan persentase kejadian tinggi gelombang > 2 m sebanyak 10-20%.

Gambar IV. 8 Pola temporal dan bandpass filter periode 2-4 bulan pola temporal mode 1.

Tabel IV.1 Koefisien korelasi mode 1 dan mode 2 tinggi gelombang di Atlantik Utara (NA), Pasifik Utara (NP), Samudra di bumi bagian selatan (SO) pada periode DJF dan JJA (Semedo dkk., 2011).

H s (NA)- NAO 0,26

H s (NP)- NPI 0,83

H s (NP)- SOI 0,57

H s (SO)- SAMI 0,57

Tabel IV.2 Koefisien korelasi mode 1 sampai mode 4 dengan DMI, ONI, dan PDO.

Mode 1

Mode 2

Mode 3 Mode 4

H s - DMI -0.12

H s - ONI -0.27

H s - PDO -0.35

Fenomena dekadal pada mode 1 dibuktikan pada Gambar IV.9 yang memperlihatkan pola temporal mode 1 yang telah di -bandpass filter dengan periode 9-13 tahun dibandingkan dengan indeks PDO. Dengan menggunakan taraf kepercayaan 90% dan batas selang kepercayaan |r|  0,25 didapatkan koefisien korelasi pola temporal mode 1 dan indeks PDO yang telah di- detrend (Tabel IV.2) sebesar -0,35. Untuk melihat pengaruh PDO terhadap tinggi gelombang di perairan Indonesia, diambil tiga titik yang mewakili perairan Indonesia yaitu, Titik A mewakili LCS, Titik B mewakili SH, dan Titik C mewakili SP. Dari Gambar IV.9 terlihat adanya korelasi negatif antara mode 1 dengan indeks PDO di Titik A dan Titik C serta korelasi positif di Titik B.

Titik A

Titik C

Titik B

Gambar IV. 9 Lokasi uji fenomena dekadal pada mode 1.

Gambar IV. 10 Indeks PDO yang di- detrend dengan (a) pola temporal mode 1 yang di- detrend , (b) hasil perkalian pola spasial dan pola temporal di Titik A (Laut Cina Selatan) yang di- bandpass filter periode 9-13 tahun, (c) hasil perkalian pola spasial dan pola temporal di Titik B (Samudra Hindia) yang di- bandpass filter periode 9-13 tahun, dan (d) hasil perkalian pola spasial dan pola temporal di Titik C (Samudra Pasifik) yang di- bandpa ss filter periode 9-13 tahun. Lokasi Titik A-C dapat dilihat pada Gambar

IV.9.

Mode 2 dipengaruhi oleh sinyal 6 dan 12 bulanan secara dominan, tetapi terdapat juga sinyal antartahunan, yaitu tiga tahunan yang memberikan pengaruh pada mode 2. Berdasarkan pola spasial yang terlihat pada Gambar IV.4a terlihat bahwa perairan Indonesia terbagi atas 2 zona berdasarkan garis lintang, yaitu daerah sekitar SP dan yang berjauhan dengan SP. Zona disekitar SP mempunyai fase yang cendrung tidak terpengaruh sedangkan yang berjauhan dengan SP mempunyai fase positif. Zona disekitar SP mempunyai fase yang berbeda dengan daerah lain karena daerah tersebut mendapat pengaruh sinyal antartahunan yang terjadi di SP.

Fenomena antartahunan pada mode 2 dibuktikan pada Gambar IV.11 yang memperlihatkan pola temporal mode 2 yang telah di -bandpass filter dengan periode 3-7 tahun dibandingkan dengan Ocean Niño Index (ONI) dan Dipole Mode Index (DMI). Dengan menggunakan taraf kepercayaan 90% dan batas

selang kepercayaan |r|  0,25 didapatkan koefisien korelasi pola temporal mode 2 dan ONI dan DMI yang telah di- detrend (Tabel IV.2) sebesar -0,25 dan -0,05. Dari nilai koefisien korelasi tersebut terlihat bahwa ENSO memberikan pengaruh kepada variabilitas tinggi gelombang sedangkan dipole mode tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap variabilitas tinggi gelombang.

Gambar IV. 11 Pola temporal mode 2 yang di- detrend , ONI, dan DMI.

Seperti mode lainnya, mode 3 juga dominan dipengaruhi oleh sinyal 6 dan 12 bulanan. Tetapi ada sinyal lain yang mempengaruhi sinyal pada mode 3 yaitu sinyal antartahunan dan dekadal. Secara spasial terlihat adanya tiga zona karakteristik untuk mode 3 ini. Zona 1 yaitu SP yang dipengaruhi oleh sinyal Seperti mode lainnya, mode 3 juga dominan dipengaruhi oleh sinyal 6 dan 12 bulanan. Tetapi ada sinyal lain yang mempengaruhi sinyal pada mode 3 yaitu sinyal antartahunan dan dekadal. Secara spasial terlihat adanya tiga zona karakteristik untuk mode 3 ini. Zona 1 yaitu SP yang dipengaruhi oleh sinyal

Gambar IV. 12 Pola temporal mode 3 yang di- detrend , ONI, dan DMI.

Tabel IV.2 memperlihatkan koefisien korelasi pola temporal mode 3 dengan ONI dan indeks PDO. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan 90% dan batas selang kepercayaan |r|  0,25 didapatkan koefisien korelasi pola temporal mode 3 yang telah di- detrend dengan ONI dan indeks PDO yang telah di- detrend sebesar -0,40 dan -0,34. Dari nilai koefisien korelasi tersebut terlihat bahwa ENSO dan PDO memberikan pengaruh kepada variabilitas tinggi gelombang.

Gambar IV.13 Pola temporal mode 3 yang di- detrend dan indeks PDO.

Mode 4 yang secara spasial memperlihatkan adanya kemungkinan pengaruh swell dari samudra. Gambar IV.14 memperlihatkan rata-rata H s yang diakibatkan oleh swell . Gambar tersebut memperlihatkan bahwa adanya peningkatan H s di SH dan SP, sedangkan di perairan Indonesia bagian dalam tidak mendapat pengaruh swell .

Penelitian Semedo (2011) memperlihatkan bahwa tinggi gelombang seas di perairan Indonesia kecil sekali baik pada periode DJF maupun JJA, sedangkan tinggi gelombang swell cukup tinggi, bahkan mencapai 2 m untuk SH dan SP. Tinggi gelombang total, tinggi gelombang swell , dan tinggi gelombang seas dapat dilihat di Lampiran B.

Pola spasial mode 4 memperlihatkan adanya pengaruh swell di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, sedangkan Perairan Indonesia bagian dalam tidak mendapat pengaruh swell . Perbedaan variansi tinggi gelombang di Perairan Indonesia yang disebabkan oleh swell tersebut terlihat dari perbedaan fase antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia denga Perairan Indonesia bagian dalam pada pola spasial mode 4.

(a)

(b)