Penundaan Asimilasi KEBIJAKAN FORMULASI PSH DALAM SISTEM HUKUM

117 KEPPRES Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi mengatur dua jenis Remisi, yaitu: a. Remisi umum, yaitu remisi yang diberikan kepada narapidana pada hari Proklamasi Republik Indonesia setiap Tanggal 17 Agustus; b. Remisi khusus. Dimaksud dengan remisi khusus yaitu remisi yang diberikan kepada narapidana pada hari- hari besar keagamaan yang dianut oleh narapidana, dengan ketentuan jika suatu agama dari narapidana tersebut mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan dalam setahun, agama yang dipilih ialah hari besar yang paling dimuliakan oleh penganut agama bersangkutan. Sesuai Pasal 4 ayat 2 KEPPRES 174 Tahun 1999 .

3. Penundaan Asimilasi

Asimilasi adalah salah satu bagian penting dari pemasyarakatan narapidana. Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.01.PK.04.10 Tahun1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas menyatakan bahwa asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan 118 di dalam kehidupan masyarakat. Asimilasi berbeda dengan pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas serta berbeda pula dengan pengawasan. Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan yang dilaksanakan berdasarakan Pasal 15 dan Pasal 16 KUHP serta Pasal 14, 22, dan Pasal 29 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Cuti menjelang bebas adalah proses pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan bagi narapidana yang menjalani masa pidana atau sisa masa pidana yang pendek. Sedangkan pengawasaan adalah langkah atau kegiatan yang berfungsi untuk mencegah terjadinya penyimpangan pelaksanaan asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjalang bebas, termasuk di dalamnya kegiatan evaluasi dan pelaporan. Tujuan dari asimilasi adalah 1 membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana dan anak didik pemasyarakatan kearah pencapaian tujuan pembinaan, 2 memberi kesempatan bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan untuk pendudukan dan ketrampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri ditengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana, 3 119 mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan. Untuk pelaksanaan asimilasi, maka narapidana harus memenuhi syarat-syarat substantif dan administratif. Persyaratan substanstif yang harus dipenuhi ialah : a. telah menunjukkankesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana; b. telah menujukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif; c. berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat; d. masyarakat telah dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana yang bersangkutan; e. selama menjalani piana, naapidana tidak pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam waktu 9 sembilan bulan terakhir; f. masa pidana yang telah dijalani khusus untuk asimilasi narapidana telah menjalani setengah dari masa pidana, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. 120 Sedangkan persyaratan administratif yang harus dipenuhi bagi narapidana dalam tahapan asimilasi adalah : a. salinan putusan pengadilan ekstrak vonis; b. surat keterangan asli dari kejaksaan bahwa narapidana yang bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana lainnya; c. laporan penelitian kemasyarakatan litmas dari BAPAS tentang pihak keluarga yang akan menerima narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak lain yang ada hubungannya dengan narapidana; d. salinan daftar huruf F daftar yang memuat tentang pelanggaran tatatertib yang dilakukan narapidana selama menjalankan masa pidana dari Kepala LAPAS; e. salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana seperti grasi, remisi, dan lain-lain dari kepala LAPAS; f. surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima narapidana, seperti pihak keluarga, sekolah, instansi pemerintah atau swasta dengan diketahui oleh pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepada desa; Asmilasi hanya diberikan kepada narapidana yang sudah memenuhi persyaratan baik secara substantif maupun 121 administratif. Meninjau persyaratan baik yang bersifat administratif maupun substantif seperti dikemukakan di atas, maka bagi narapidana narapidana seumur hidup, akan sukar untuk mendapatkan haknya untuk memperoleh asimilasi. Seperti dalam persyaratan bahwa haruas ada surat keterangan asli dari kejaksaan bahwa narapidana yang bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana lainnya; Di samping itu memperhatikan pula persyaratan yang menyatakan bahwa harus ada salinan daftar huruf F daftar yang memuat tentang pelanggaran tatatertib yang dilakukan narapidana selama menjalankan masa pidana dari Kepala LAPAS. Pengasingan Isolasi dan Pengamanan Sering terdengar bahwa pembinaan yang salah atau tidak tepat sasaran menjadikan LAPAS sebagai bagian dari school crime. Pengisolasian narapidana narapidana seumur hidup bertujuan untuk dilakukan memisahkan narapidana narapidana seumur hidup dengan narapidana lain. Di samping itu untuk mempermudah pemantauan aktivitas dari narapidana bersangkutan. Beberapa pengalaman di LAPAS Klas II a Palu menunjukan bahwa narapidana lari keluar LAPAS, akibat dari provakasi yang dibuat oleh narapidana narapidana seumur hidup. Oleh karena itu dipandang 122 sangat berbahaya apabila tidak dilakukan tindakan pencegahan dalam wujud isolasi. Kelemahan dari pengisolasian dan perlakuan yang buruk terhadap narapidana seumur hidup dapat memicu gangguan keamanan dalam LAPAS. Seperti diketahui bahwa keamanan dan ketertiban dalam LAPAS merupakan syarat mutlak terlaksananya program-program pembinaan bagi narapidana narapidana seumur hidup maupun narapidana dalam LAPAS pada umumnya.Akan tetapi langkah-langkah pengamanan harus disesuaikan dengan kebutuhan pembinaan. Kebutuhan tersebut adalah mencakup : 1 Kegiatan keamanan dan keteriban Kamtib LAPAS berfungsi memantau dan mencegah sedini mungkin gangguan kamtib LAPAS. 2 Kegiatan kamtib tidak selalu berupa kegiatan fisik; 3 Kegiatan kamtib ditujukan agar suasana kehidupan tidak mencekam; 4 Menjaga agar tidak terjadi pelarian; 5 Memelihara, mengawasi dan menjaga agar suasana kehidupan selalu tertib dan dinamis. Meninjau kebutuhan kamtib serta untuk menyikapi dalam rangka memenuhi tuntutan berbagai permasalahan 123 gangguan Kamtib akibat dari ulah narapidana seumur hidup maka harus diambil langkah-langkah yang terpadu, profesional dan managerial. Manajerial dimaksud bahwa Kalapas adalah sebagai pengambil keputusan semestinya mengambil langkah- langkah yang bijak untuk menanggulangi kamtib akibat narapidana narapidana seumur hidup yang dianggap rawan dengan kamtib LAPAS. Kepala Satuan Pengamanan LAPAS sebagai penyusun rencana program dan penerapan strategi penanggulangan kamtib, disertai dengan pejabat LAPAS lain seperti kepala regu pengamanan karupam, yang sebetulnya mempunyai peranan strategis dalam rangka : 1 menjaga supaya jangan sampai terjadi pelarian sensitif melahirkan narapidana seumur hidup baru; 2 menjaga supaya tidak terjadi kericuhan; 3 menjaga tertibnya perikehiduan penghuni LAPAS; 4 menjaga utuhnya gedung dan seisinya, terutama setelah tutup kantor. Tuntutan lain dalam melakukan pembinaan dan perlakuan khusus terhadap narapidana narapidana seumur hidup ialah mengenali lingkungan strategis di dalam dan di luar LAPAS. Secara bertahap membiasakan diri untuk mengenal, memahami dan menguasai perawatan dan penggunaan 124 persenjataan atau alat-alat pengamanan lainnya serta penguasaan seni bela diri. Sebagai bagian penting dari pembinaan dan perlakuan khusus dari narapidana narapidana seumur hidup ini ialah petugas LAPAS dituntut untuk memahami langkah-langkah preventif dan represif apabila terjadi gangguan kamtib LAPAS. Langkah preventif apabila ada indikasi akan terjadi kerusuhan kebanyakan dilakukan oleh para narapidana seumur hidup, yaitu : 1 melakukan upaya persuasif dan edukatif; 2 melakukan upaya kompromi dan musyawarah; 3 mengamanankan bagian dan fasilitas penting LAPAS; 4 mengamankan barang dan dokumen penting; 5 menghubungi aparat keamanan, dinas pemadam kebakaran atau instansi lain yang terkait. Langkah represif diambil apabila telah ada indikasi kerusuhan yang mulai tidak terkendali, yang meliputi a pemukulan lonceng tanda bahaya, alarm secara terus- menerus; b perintah atau arahan yang tegas dan jelas dari KALAPAS atau pejabat yang ada yang bertanggungjawab atas pengamanan LAPAS; 125 c melakukan koordinasi penanganan gangguan kamtib dengan aparat keamanan, dinas pemadaman kebakaran dan instansi terkait lainnya; d menempati posisi atau titik siaga yang telah ditentukan; e memecah kekuatan massa narapidana yang pro dan kontra dengan kerusuhan; f memperkecil dan mempersempit kekuatan dan ruang gerak narapidana yang pro kerusuhan; g memberi tembakan peringatan, gas air mata dan peluru hampa atau peluru karet; h apabila ada yang telah membahayakan jiwa petugas, secara terukur dapat memberi tembakan melumpuhkan dengan peluru taburtajam. Bila disimak mengenai beberapa faktor yang berkaitan dengan pembinaan narapidana seumur hidup, maka seharusnya dipahami oleh para petugas LAPAS selaku pembina. Faktor tersebut secara tak langsung mendorong terjadi narapidana seumur hidup, yang mencakup : a ketidakpuasan dan merasa diperlakukan tidak tidak adil dalam proses penyidikan, penuntutan dan putusan peradilan; derita dan dendam atas penyiksaan fisik dan psychis selama proses peradilan; ketidakpuasan dan dendam terhadap perlakuan aparat penegak hukum, 126 termasuk petugas LAPAS atau Rutan;dendam terhadap lawan perkaranya; b kerinduan, kecemasan, ketakutan dan kecemburuan kepada keluarga yang ditinggalkan, termasuk kebutuhan biologis.Terlibat hutang, di dalam maupun di luar LAPAS; Ingin menjadi pahlawan di lingkungan narapidana; c Kejengkelan, kecemasan dan ketakutan kepada sesama narapidana, karena pemerasan, perkosaan, perkelahian dan ancaman antar sesama narapidana. d Lembaga Pemasyarakatan LAPAS sebagai institusi yang diberi wewenang untuk menjalankan peradilan pidana tahapan purna ajudikasi post-adjudication phase. Dari pembahasan sebelumnya telah diungkap upaya-upaya yang dilakukan oleh LAPAS dalam pembinaan narapidana umum maupun narapidana residivis dengan berbagai kendala yang dihadapi sarana prasarana, dan keberadaan hakim wasmat. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas LAPAS bisa disimpulkan bahwa pembinaan narapidana kejahatan konvensional yang menjalani pidana penjara seumur hidup tak ada jaminan tingkat reintegrasinya untuk bisa kembali menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna. e Sebaliknya bila diterapkan pidana jangka pendek maka bisa saja terus-menerus terjadi residivis 127 umum maupun khusus, karena memang masa pembinaan narapidana yang begitu pendek. Pembinaan narapidana selain dimungkinkan oleh kelengkapan sarana prasarana dan keaktifan hakim wasmat, juga keterlibatan narapidana pada semua fase pembinaan fase awal, fase lanjutan, dan fase akhir. Dengan masa pidana yang pendek, kemudian pemberian hak remisi dan pengurangan masa tahanan, maka sukar untuk seorang narapidana memperoleh pembinaan intensif untuk mempersiapkannya menjadi warga masyarakat perwujudan konsep rehabilitasi dan resosialisasi. f Pembinaan terhadap narapidana PSH pun terkendala dengan masa pidana, meskipun sudah dilakukan pembinaan khusus, namun karena masa pidana yang pendeksingkat, maka seseorang narapidana tidak sempat mengikuti semua fase pembinaan dengan baik. Selain itu seorang narapidana PSH seakan sudah terbiasa dengan situasi dan kondisi kehidupan pemasyarakatan, dan selalu ada kecenderungan untuk mengulangi tindak pidana. Pengulangan demikian karena tidak mengabdi pada konsepsi penjeraan dalam vergelding theorien teori pembalasan, penyesalan dan tak tumbuh kesadaran untuk memperbaiki kehidupan pribadi, hal ini juga dipengaruhi oleh bobot pengenaan pidana penjara seumur 128 hidup oleh hakim sehingga seakan menghilangkan masa pembinaan di dalam LAPAS. Ketiadaan harapan untuk kembali ke masyarakat, dengan demikian tidak perlu sebetulnya mencapai sasaran penjeraan, karena narapidana seumur hidup tinggal hanya menunggu kapan harus berakhir masa hidupnya, maka sukar diharapkan bagi penerapan pidana penjara seumur hidup dapat berfungsi sebagai sarana deterensi sebagaimana dimaksud dalam teori tujuan pemidanaan doel theorien. Oleh karena itu bila kita kembali pada penelusuran teoretis konsepsional sebagai landasannya, maka paling tidak ada 3 tiga hal penting yang patut diungkap melalui berkaitan dengan ditetapkannya suatu sanksi sebagai sanksi pidana penjara seumur hidup, yakni 1 penelusuran ide dasar ditetapkan sanksi pidana penjara seumur hidup, 2 deskripsi kebijakan hukum pidana dalam penetapan sanksi pidana penjara seumur hidup, dan 3 keterkaitan penetapan sanksi pidana penjara seumur hidup dengan pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Penelusuran Ide Dasar Sanksi Pidana Penjara Seumur Hidup. Ide dasar atau konsepsi dasar adalah merupakan nilai-nilai atau pandangan yang melatarbelakangi 129 ditetapkannya sanksi pidana penjara seumur hidup. Pidana penjara seumur hidup adalah bagian dari pidana perampasan pencabutan kemerdekaan yang sudah ditentukan waktunya definite period of time. Oleh karena pidana seumur hidup merupakan bagian dari pidana perampasan kemerdekaan berupa pidana penjara, maka perlu didefinisikan dengan jelas tentang maksud dari pidana penjara. Menurut Tongat Pidana Penjara sebagai pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah lembaga pemasyarakatan yang menyebabkan orang tersebut harus mentaati semua peraturan tata-tertib bagi mereka yang telah melanggar. 3 Barda Nawawi Arief dalam Tongat menegaskan bahwa dilihat dari sudut penjatuhan pidana dan juga dari sudut terpidana, pidana seumur hidup itu bersifat pasti definite sentences karena siterpidana dikenakan jangka waktu yang pasti. 4 Disebabkan sifatnya yang pasti itu, Roeslan Saleh dalam Tongat 5 menyatakan bahwa orang menjadi keberatan terhadap pidana seumur hidup.sebab dengan putusan yang demikian, terpidana tidak akan mempunyai harapan lagi kembali 3 Tongat, Pidana Seumur Hidup, Dalam Sistem Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Muhammadiyah Malang, 2004. h. 35. 4 Ibid. h. 37. 5 Ibid. 130 kedalam masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief 6 masalah pidana penjara seumur hidup dapat dikategorikan atas beberapa hal antara lain : Tingkat pencelaan masyarakat yang tinggi terhadap suatu tindak pidana tidak hanya dapat ditunjukkan dengan ancaman pidana seumur hidup, tetapi juga dapat dengan menetapkan maksimum pidana penjara yang cukup tinggi dalam waktu tertentu antara 25-40 tahun. Pidana penjara seumur hidup kurang sesuai dengan tujuan filsafat sistem pemasyarakatan, karena pada hakekatnya perampasan kemerdekaan seseorang itu seharusnnya hanya bersifat sementara untuk waktu yang tertentu sebagai sarana untuk memulihkan integritas terpidana agar mampu mengadakan readaptasi sosial Pidana penjara seumur hidup hanya dapat diterima secara eksepsional, sekedar untuk ciri simbolik akan sangat tercelanya perbuatan yang bersangkutan dan sebagai tanda peringatan bahwa yang bersangkutan dapat dikenakan maksimum pidana penjara dalam waktu tertentu yang cukup lama; jadi tidak untuk benar-benar diterapkan secara harafiah; sehubungan dengan kesimpulan diatas maka dalam aturan umum Buku I dapat dirumuskan maksimum umum untuk delik-delik yang diancam dengan pidana penjara seumur 6 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti Bandung. 1986. h. 217 131 hidup. Disamping itu perlu ditetapkan pula pidana minimum umum untuk delik-delik yang diancam dengan pidana seumur hidup itu dengan disertai klausul yang memberi kemungkinan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana di bawah minimum umum tersebut. pidana penjara seumur hidup hendaknya selalu dirumuskan sebagai alternatif dari pidana mati atau selalu dialternatifkan dengan pidana penjara dalam waktu tertentu. Pandangan Barda Nawawi Arief di atas paling tidak mengandung 4 empat konsepsi dasar tentang pidana penjara seumur hidup, yakni 1 pidana penjara seumur hidup adalah salah satu jenis sanksi pidana yang kurang sejalan dengan falsafah pembinaan dalam sistem pemasyarakatan yang mengandalkan pola rehabilitasi dan resosialisasi. 2 pidana penjara seumur hidup bersifat eksepsional perkecualian bahkan cenderung berkarakter simbolik, 3 oleh karena itu untuk delik yang diancam dengan pidana penjara seumur hidup harus disertai dengan pertimbangan dan pedoman pemidanaan sentencing guide yang tepat., 4 pidana penjara seumur hidup adalah pidana yang selalu dialternatifkan dengan pidana penjara waktu tertentu atau pidana mati. Ide dasar pemberlakuan sanksi Pidana Penjara Seumur Hidup terkait pula dengan tujuan 132 pemidanaan tujuan penjatuhan pidana. Pada dasarnya ada 3 tiga teori tujuan pemidanaan, yakni teori retributive, teori teleologis, dan teori retributivisme teleologis. Pandanganteori retributive ini merupakan pandangan atau teori yang dianggap paling klasik mengenai konsepsi pemidanaan.dalam pandangan ini,diadaikan,bahwa setiap individu manusia itu bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Menurut pandangan ini seorang pelaku tindakan pidana mutlak harus di pidana. semboyan yang sangat populer dalam era ini adalah darah ganti darah blood to blood, mati diganti dengan mati eyes to eyes nyawa ganti nyawa .berdasarkan semboyan yang demikian itulah muncul kemudian pendapat yang menyatakan, bahwa teori retributive atau teori pebalasan dalam pemidanaan merupakan a realic of barbarism. Bagi penganut pandangan ini maka pemidanaan atas perbuatan yang salah adalah adil, karena akan memperbaiki keseimbangan moral yang dirusak oleh kejahatan.pidana, menurut pandangan ini mengandung nilai moral, yang bebas dari akibat lain yang diharapkan lebih lanjut. Berbeda dengan teori retributif yang menekankan pada pentingnya pidana sebagai pembalasan, akan tetapi menurut Teori Teleologis pidana digunakan sebagai sesuatu yang dapat dipergunakan untuk mencapai kemanfaatan.baik 133 yang berkaitan dengan orang yang bersalah maupun yang berkaitan dengan dunia. Dengan demikian,menurut teori ini pidana dimaksudkan sebagai alat pencegahan baik yang bersifat khusus special prevention maupun yang bersifat umum general pevention teorikedua ini melihat punishment sebagai cara untuk mencegah atau mengurangi kejahatan.Premisnya adalah bahwa pemidanaan sebagai tindakan yang menyebabkan derita bagi terpidana,hanya dianggap sah apabila terbukti bahwa dijatuhkannya pidana itu memang menimbulkan akibat lebih baik dari pada tidak dijatuhkannya pidana terhadap pihak-pihak yang terlibat.karena titik tekan teori ini pada aspek kemanfaatan utilitas yaitu untuk memperbaiki pelaku dan mencegah orang lain melakukan kejahatan, oleh pakar yang lain teori ini disebut sebagai teoripandangan utilitarian prevention. Menurut aliran ini sstem pemidanaan besifat plural,karna menghubungkan prinsip-prinsip teleologis, misalnya utilitarianism, dan prinsip-prinsip retributivism dalam satu kesatuan, sehingga sering disebut aliran integratif.bertolak dari prinsip utilitarian dan teleologis pandangan ini menganjurkan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan fungsi pidana sekaligus baik yang bersifat retribution maupun yang bersifat utilitarian 134 misalnya pencegahan dan rehabilitasi satu hal yang patut dicatat bekaitan dengan perkembangan teori pemidanaan tersebut adalah adanya pergeseran orientasi pemidanaan dari prinsip menghukum punishment for punishment yang cenderung mengabaikan aspek hak asasi manusia kearah gagasanide pembinaan treatment, maatregelen yang lebih menghargai dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.berkaitan dengan masalah tujuan pemidanaan ini, sependapat dengan Muladi yang pada intinya menyatakan, bahwa dalam konteks Indonesia maka teori pemidanaan yang cocok digunakan dalam sistim hukum pidana indonesia adalahkombinasi tujuan pemidanaan yang didasarkan pada aspek sosiologis, idiologis dan yuridis filosifis masyarakat indonesia sendiri.teori pemidanaan ini disebut sebagai teori pemidanaan yang integratif kemanusiaan dalam sistim pancasila.menurut Muladi tujuan pemidanaan yang demikian didasarkan pada asumsi dasar, bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap pengimbangan.untuk mewujudkan tujuan pemidanaan yang integratif kemausiaan dalam sistim pancasila seperangkat tujuan tersebut diatas harus terpenuhi,dengan catatan, bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis.bertolak dari teori yang dikemukakan Muladi dapat dikemukakan,bahwa 135 dalam konteks indonesia pemenuha salah satu tujuan pemidanaan tidak boleh menghilangkanmengabaikan tujuan pemidanaan yang lain. 2 Kebijakan hukum pidana. Secara gradual dan fundamental, terminologi “kebijakan”berasal dari istilah policy Inggrisatau politiek Belanda. terminologi itu dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintahDalam artian luas termasuk penegak hukumdalam mengelola,mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik,masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukumperaturan dengan suatu tujuan Umumyang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat Warga Negara. Dari kedua terminologi diatas, maka “Kebijakan Hukum Pidana”Pardant istilah “Politik Hukum Pidana”. Lazimnya, istilah ”Politik hukum pidana”juga disebut dengan istilah Penal policy, Criminal Law Policy atau strafrechtpolitiek. Menurut Sudarto, politik hukum adalah : Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. Kebijakan dari sutu negara melalui badan-badan yang berwewenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang 136 dikehendaki dan diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dengan tujuan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Sedangkan menurut A.Mulder, dalam strafrechtpolitiek ditentukan garis-garis kebijakan tentang ; Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diperbaiki. Apa yang dapat dipebuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Cara bagaimana penyidikan, pengusutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. Berdasarkan dimensi diatas,kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan “usaha untuk mewujudkan peraturan perundang- undangan pidana agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu ius constitutumdan masa mendatang ius constituendum”. Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit.sebab,sebagai suatu sistem hukum pidana terdiri dari budaya cultural, struktur structural dan substansi substansive hukum. Oleh karena undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum, maka pembaharuan hukum pidana, disamping memperbaharui perundang-undangan, juga mencakup pembaharuan ide dasar dan ilmu hukum pidana. Dikaji dari perspektif politik hukum, pada dasarnya politik hukum pidana berusaha 137 membuat dan merumuskan perundang-undangan pidana yang baik. Menurut MarcAncel, Penal Policy merupakan “ilmu sekaligus seni yang bertujuan memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.”peraturan hukum positif disini diartikan sebagai peratuan perundang-undangan hukum pidana. Karena itu istilah penal policy, menurut Ancel, sama dengan istilah “Kebijakan atau Politik Hukum Pidana “. Usaha dan kebijakan membuat peraturan hukum pidana yang baik, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga bagian dari politik kriminal dengan kata lain, dari sudut politik kriminal, politik hukum pidana identik dengan pengertian ”Kebijakan Penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Berdasarkan dimensi di atas,jelaslah bahwa ruang lingkup kebijakan pidana sebenarnya leih luas dari pada pembaharuan hukum pidana aspek ini berorientasi pada kenyataan bahwa kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap kongkretisasi atau operasionalisasi, fungsinalisasi hukum pidana yang terdiri dari : Tahap fomulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang, tahap ini disebut sebagai 138 tahap kebijakan legislatif. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat pengak hukum mulai dari kepolisian sampa pengadilan.tahap ini di sebut sebagai tahap kebijakan yudikatif. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara kongrit oleh aparat- aparat pelaksana pidana.tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif. Pada hakikatnya, kebijakan hukum pidana Penal Policy, Criminal law policy atau strafrechtpolitiek merupakan proses penegakan hukum pidana secara menyeluruh atau total. Oleh karena itu, diharapkan ketiga tahapan tersebut merupakan satu jalinan mata rantai yang berkorelasi dalam sebuah kebulatan sistem.dengan demikian,kebijakan legislatif adalah tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan proses fungsionalisasi operasionalisasi konkretisasi hukum pidana dan merupakan fundamen tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Bila dikaji lebih luas lagi, maka kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana material, hukum pidana formal dan hukum pelaksana pidana. Pada dasarnya, sebagai kebijakan yang berdiri sendiri untuk menanggulangi kejahatan, kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari tujuan kriminal. Menurut 139 Sudarto, politik kriminal diartikan ke dalam 3 tiga pengetian. Sedangkan bagi Hamdan, dalam pengertian praktis, politik kriminal adalah usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi aktivitas dari pembentuk undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan aparat eksekusi pemidanaan. Aktivitas badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan satu sama lain sesuai fungsinya masing-masing. Selanjutnya, proses penegakan hukum dalam penanggulangan kejahatan melalui kebijakan penalhukum pidana sangat penting eksistensinya. Aspek ini tersirat melalui seminar Kriminologi ke 3 tahun 1976 dimana disebutkan bahwa: “Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk sosial defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan rehabilitatie dengan memperbaiki atau memulihkan kembali si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan pembuat dan masyarakat. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari saha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana. Karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari 140 kebijakan penegakan hukum Law inforcement policy. Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang hukum Pidana pada hakekatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat social defence. Sehingga wajar apabila kejahatan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial social policy .kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional ntuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi, dalam pengertian social policy sekaligus tercakup di dalamnya social welfare policy dan social defence policy.

2. Kedudukan Dan Pengaturan Pidana Seumur Hidup Dalam Kajian Perbandingan Di Beberapa Negara