BAB II ASPEK HISTORIS KELUARNYA KETETAPAN KUOTA 30 BAGI
PEREMPUAN DAN KELUARNYA KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.2224PUU-VI2008
TENTANG SUARA TERBANYAK
II.A. Sekilas Tentang Gerakan Perempuan dan Usulan 30 Kuota Perempuan Dalam Politik
Berbicara mengenai representasi kaum perempuan di parlemen merupakan suatu proses sejarah yang sangat panjang. Adapun dalam sejarahnya, Kongres Wanita
Indonesia pertama diselenggarakan pada tahun 1928, dimana lahirnya pergerakan dan perjuangan wanita Indonesia pada saat itu bersama-sama dengan dikumandangkan
Sumpah Pemuda di seluruh tanah air Indonesia, dan semenjak saat itulah berbagai perkumpulan dan organisasi berdiri yang dilandasi oleh kesadaran bahwa kaum wanita
juga sanggup dan mampu ikut mengatur masyarakat. Dalam forum inilah organisasi-organisasi perempuan dari berbagai kelompok
etnis, agama dan bahasa dipersatukan. Hal tersebutlah yang membangkitkan kesadaran dan meningkatkan rasa nasionalisme di kalangan perempuan, itulah merupakan tonggak
sejarah lahirnya semangat kaum perempuan di wilayah publik terutama dapat berperan dalam meningkatkan kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam
pembangunan, termasuk dalam dunia politik. Kemunculan dan perkembangan organisasi- organisasi inilah yang memainkan peranan penting dalam meningkatkan kualitas diri
perempuan, seperti meningkatkan kemampuan manajemen, memperluas wawasan, dan mengembangkan jaringan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini, salah satu persoalan penting dalam Pemilihan Umum pemilu adalah tentang porsi keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Pada masa reformasi,
peran kaum perempuan terus meningkat, hal tersebut dapat dilihat bahwa kaum perempuan pada tatanan politik di masa itu mulai berkembang, dimana perempuan yang
sebelumnya hanya sekedar menjadi pemilih kemudian kaum perempuan berkembang menjadi memilih dan dipilih. Sehingga dengan adanya perkembangan tersebut, kaum
perempuan dapat semakin meningkatkan kesadaran akan haknya untuk berpolitik, dan tidak hanya sebagai pemilih yang pasif, namun dapat menunjukkan kiprahnya bahwa
berpolitik adalah bagian hak azasi yang harus direbut untuk menentukan masa depan kaum perempuan.
Peran perempuan dalam dunia politik seakan beraneka ragam, dimana dalam dunia perpolitikan, sebenarnya perempuan bisa menembus apa saja dengan kualitas yang
dimilikinya. Bahkan kaum perempuan itu mampu untuk menjadi pemimpin. Namun harapan itu sangat jauh dari kenyataan dilapangan. Dalam hal ini, perempuan banyak
yang ditolak oleh komunitasnya sendiri ketika ingin berperan lebih. Banyak kalangan perempuan yang tidak siap bersaing dan mendukung ketika sesama perempuan maju
untuk bersaing dalam sebuah ranah politik. Hal tersebutlah yang menyebabkan mendominasinya peran laki-laki daripada perempuan di bidang politik.
Kurangnya keterwakilan perempuan di parlemen disebabkan oleh serangkaian hambatan yang membatasi kemajuan mereka. Oleh karena itu, berbagai strategi harus
dipelajari secara terperinci untuk mengatasi hambatan tersebut, sehingga tujuan untuk meningkatkan representasi kaum perempuan di parlemen bisa diwujudkan.
Universitas Sumatera Utara
Perubahan dalam cara penyelenggaraan pemilu, dengan jumlah partai politik yang cukup besar di bawah pemerintahan Orde Lama, menjadi 3 partai di bawah pemerintahan
rezim Orde Baru, kemudian berkembang menjadi 48 partai di era reformasi, hal tersebut menghasilkan perubahan yang signifikan dalam pola representasi perempuan dalam
berbagai lembaga negara, khususnya di Dewan Perwakilan Rakyat DPR. Dalam negara yang menganut sistem nilai patriarkal, seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk
menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang cenderung membatasi peran kaum perempuan hanya
pada urusan rumah tangga. Berbeda dengan periode Orde Lama era Soekarno, pada masa Orde Baru era
Soeharto dengan konsep partai mayoritas tunggal, representasi perempuan dalam lembaga legislatif dan dalam institusi-institusi kenegaraan ditetapkan oleh para pemimpin
partai di tingkat pusat dan sejumlah elit tertentu. Akibatnya, sebagian perempuan yang menempati posisi penting tersebut memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan dengan
para pejabat dan pemegang kekuasaan di tingkat pusat. Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem pemilu proporsional pemilih tidak memilih kandidat orang, tetapi memilih
simbol partai untuk berbagai tingkatan pemerintahan, yaitu tingkat kabupaten, propinsi dan nasional. Akibatnya, sebagian dari mereka tidak melewati tahapan dalam proses
pencalonan atau pemilihan, dan kemungkinan tidak memiliki kemampuan dalam mengartikulasikan kepentingan para konstituennya.
Pada pemilihan umum tahun 1999 yang lalu, dari 48 partai politik yang pada saat itu ikut dalam pemilihan terdapat beberapa partai politik yang mengusung isu isu
kesetaraan gender dalam kampanyenya. Proses pemilihan pada saat itu mengalami
Universitas Sumatera Utara
perubahan yang cukup berarti, dimana rekrutmen kandidat partai untuk lembaga legislatif termasuk perempuan harus disetujui oleh daerah dan para pengambil keputusan partai di
daerah tersebut kecuali tidak berlaku bagi wakil dari angkatan bersenjata dan polisi. Sebagian besar wakil perempuan yang terpilih berpartisipasi dalam proses pemilu, antara
lain dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat, diskusi, ceramah dan kegiatan partai lainnya yang berhubungan dengan kampanye pemilu. Meskipun secara nasional, sejak
pemilu tahun 1955, unsur perempuan selalu terwakili di Dewan Perwakilan Rakyat DPR dan di Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR, walaupun persentase
keterwakilan mereka menunjukkan perbedaan. Ada beberapa faktor yang menghalangi kaum perempuan untuk dapat menjadi
anggota parlemen yaitu faktor pertama, berhubungan dengan konteks budaya di Indonesia yang masih sangat kental dengan budaya patriarki. Persepsi yang sering
dipegang adalah bahwa arena politik adalah seutuhnya untuk kaum laki-laki dan bahwa tidaklah pantas bagi kaum perempuan untuk menjadi anggota parlemen. Faktor kedua,
berhubungan dengan proses seleksi dalam partai politik. Seleksi terhadap para kandidat biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai, yang hampir
selalu kaum laki-laki. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, dimana kesadaran mengenai kesetaraan gender dan keadilan masih sangat rendah, pemimpin laki-laki dari
partai-partai politik mempunyai pengaruh yang tidak proporsional terhadap politik partai, khususnya dalam hal gender. Perempuan tidak memperoleh banyak dukungan dari partai-
partai politik karena struktur kepemimpinannya yang didominasi oleh kaum laki-laki. Faktor ketiga, tidak adanya jaringan antara organisasi massa, LSM dan partai-partai
politik untuk memperjuangkan representasi kaum perempuan. Adapun jaringan
Universitas Sumatera Utara
organisasi-organisasi wanita di Indonesia baru mulai memainkan peranan penting sejak tahun 1999.
Sejak pemerintahan B.J. Habibie 1998-1999 inilah telah terjadi peningkatan semangat keterbukaan dalam sistem politik, jumlah organisasi non-pemerintah ornop
telah meningkat, dan pembatasan-pembatasan terhadap aktifitas partai-partai politik juga telah dihapuskan. Kondisi ini telah membawa pengaruh positif terhadap perempuan.
Berbagai organisasi non-pemerintah yang aktif di bidang hak-hak perempuan telah meningkatkan kegiatan mereka.
Sementara pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, muncul sebuah kaukus politik perempuan, yang terdiri dari sebuah organisasi anggota-anggota parlemen dan
Pusat Pemberdayaan Politik Perempuan yaitu sebuah jaringan organisasi-organisasi khusus wanita. Organisasi-organisasi ini tampil untuk membangun sebuah jaringan antara
perempuan di parlemen, di antara pimpinan partai politik, di antara pimpinan organisasi- organisasi massa, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk meningkatkan dan memperkuat
upaya keras mereka dalam bidang politik. Secara umum, organisasi-organisasi ini setuju untuk memperjuangkan kuota bagi
representasi perempuan serta menyatakan perlunya kuota minimum sebesar 20-30 persen bagi representasi kaum perempuan di parlemen. Mereka juga telah memperjuangkan
pencantuman kuota ini dalam konstitusi, walaupun mereka masih belum berhasil pada saat itu. Oleh sebab itu, mereka tengah berupaya membujuk DPR Dewan Perwakilan
Rakyat dan Departemen Dalam Negeri lembaga yang bertanggungjawab merumuskan revisi terhadap konstitusi agar kuota bagi perempuan dicantumkan dalam amandemen
selanjutnya terhadap konstitusi. Mereka juga meminta agar pimpinan partai-partai politik
Universitas Sumatera Utara
mengangkat isu representasi perempuan dalam posisi-posisi strategis dalam partai-partai politik tersebut.
Membahas mengenai sejarah representasi kaum perempuan di parlemen yaitu terdapat persoalan utamanya mengenai porsi keterwakilan perempuan di lembaga
legislatif. Pada zaman orde baru, Garis-Garis Besar Haluan Negara GBHN menjadi pedoman pelaksanaan pemerintahan dan berbagai kebijakan nasional termasuk di
dalamnya ketetapan mengenai peranan kaum perempuan.
38
Dalam konteks ketidakadilan gender, masyarakat menganggap bahwa sudah sepantasnya perempuan harus lebih diutamakan dan mereka membuat keputusan-
keputusan terpenting bagi diri mereka sendiri, karena selama ini yang terjadi hal-hal yang berkaitan dengan persoalan perempuan diputuskan oleh orang-orang yang melihat
perempuan hanya sebagai objek semata. Misalnya dalam konteks keterwakilan di Legislatif beberapa LSM dan beberapa Partai Politik pun mengusulkan kuota 30 untuk
keterwakilan perempuan di lembaga legislatif dengan mengajukan affirmative action upaya penyetaraan.
Posisi ini terus dipertahankan dan GBHN tahun 1999 dinyatakan pemberdayaan kaum perempuan dilaksanakan melalui
upaya, yaitu pertama, peningkatan kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang
mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, yang kedua, meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap
mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan kaum perempuan dalam melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan
keluarga dan masyarakat.
38
Dapat dilihat di: http:www. adkasi.org. diakses pada tanggal 08 Agustus 2009
Universitas Sumatera Utara
Melihat beberapa fakta dan tuntutan yang muncul tersebut maka isu kuota untuk kaum perempuan dapat diwujudkan, dimana implementasi tindakan affirmative dalam hal
perwakilan perempuan di parlemen dan partai politik telah berhasil diundangkan secara formal dalam Pasal 65 Undang-undang Pemilu No.12 tahun 2003. Pasal tersebut adalah
65 ayat 1, yang dikenal dengan sebutan “kuota” untuk perempuan, lengkapnya pasal tersebut berbunyi “Setiap partai politik beserta pemilu dapat mengajukan calon anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten Kota untuk setiap daerah pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.”
Sehingga dari sinilah kuota 30 bagi perempuan itu mulai berlaku dalam pemilihan umum.
Dengan dikeluarkan dan disahkannya Undang-undang No.12 pasal 65 ayat 1 tentang pemilu mengenai kuota perempuan tersebut merupakan langkah awal perjuangan
politik perempuan yang mendapat dukungan formal untuk berkiprah di politik. Kuota perempuan ini nantinya dapat menempatkan perempuan dalam posisi yang cukup kuat,
karena jumlah kuota anggota perempuan di parlemen yang nantinya akan dapat mempengaruhi keputusan yang akan dihasilkan.
Dengan demikian, meskipun telah ada peraturan perundangan yang memandatkan kuota 30 dalam parlemen itu tidak menjamin peningkatan keterwakilan perempuan
dalam politik. Selain itu, dalam kenyataannya pemenuhan kuota tersebut bukanlah suatu hal yang mudah. Meskipun ketentuan yang ada sifatnya mensyaratkan, itu hanya disertai
sanksi moral dan bukan sanksi yang tegas yang dapat mendesak pemenuhan kuota tersebut. Adapun dalam UU No.12 tahun 2008 pasal 65 ayat 1 tentang pemilu belum
menyentuh substansi ideal sebagai pranata hukum sebagaimana yang diharapkan, karena
Universitas Sumatera Utara
sifatnya yang masih berupa “himbauan”, dimana pernyataan tersebut tidak atau belum memberlakukan sanksi pada partai politik atas gagalnya affirmative action
Gerakan pemberdayaan perempuan merupakan suatu perwujudan penghormatan atas hak-hak asasi manusia yang telah menemukan momentum yang paling penting pada
awal abad ke-20. Gerakan ini menyeluruh meliputi dimensi politik, ekonomi, dan kehidupan sosial baik skala lokal maupun internasional. Di dunia ekonomi dan politik,
gerakan pemberdayaan perempuan telah mampu menembus dinding tebal yang membatasi gerak kaum perempuan itu sendiri. Sekarang di pentas politik, kaum
perempuan memiliki hak untuk memilih dan dipilih di hampir seluruh dunia. Negara- negara yang tergabung dalam Persatuan Bangsa Bangsa PBB telah memuat pernyataan
keadilan sosial dan ekonomi terhadap kaum perempuan di dalam konstitusi masing- masing.
30. Oleh sebab itu keterlibatan perempuan dalam legislatif kembali mendapatkan payung hukum
dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.
Di Indonesia, respon terhadap resolusi PBB terkait pemberdayaan perempuan tersebut telah melahirkan berbagai regulasi politik di antaranya yaitu dikeluarkannya
Undang-undang UU. Adapun beberapa peraturan perundang-undangan telah mengatur kuota 30 perempuan bagi partai politik parpol dalam menempatkan calon anggota
legislatifnya, yaitu Undang-undang UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Undang-undang ini telah memberikan mandat kepada partai politik untuk dapat
memenuhi kuota 30 bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat. Kemudian juga adanya Undang-undang UU Nomor 10 tahun 2008 tentang
Universitas Sumatera Utara
Pemilihan Anggota Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyebutkan penyertaan sekurang-
kurangnya 30 keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dengan
dikeluarkannya UU No. 2 dan 10 tahun 2008 tersebut maka peluang untuk mencapai target ideal keterwakilan kaum perempuan semakin terbuka lebar.
Berdasarkan UU No 102008 ada beberapa hal baru terkait implementasi kuota minimal 30 perempuan dalam pengajuan bakal calon Anggota DPR dan DPRD.
Pertama, adanya perintah bagi KPU untuk mengembalikan berkas pencalonan pada partai politik yang tidak mampu memenuhi kuota 30 perempuan di setiap daerah
pemilihan. Kedua, berlakunya mekanisme zipper dalam penomoran calon perempuan, yakni setiap tiga nama calon yang diajukan minimal terdapat satu calon perempuan.
Dengan mekanisme ini diharapkan para calon perempuan lebih punya akses untuk terpilih menjadi Anggota DPRD.
Adapun pengisian kuota tersebut tentu saja bukan sesuatu yang bersifat gratis dan hanya sebatas memenuhi formalitas. Pengisian kuota tersebut harus berbasiskan
kompetensi dan kompetisi yang konstitusional serta transparan, sehingga kaum perempuan yang berkualitas saja yang berhak mengisi kepengurusan parpol dan legislatif.
Hal ini sangat penting, sebab selama ini penetapan caleg atau kepengurusan parpol dari kaum perempuan masih jauh dari kualitas. Akibatnya, upaya pemberdayaan kaum
perempuan dalam politik pun cenderung minimalis. Kader yang masuk sangat minim
Universitas Sumatera Utara
kompetensi sehingga masih belum berdaya jika dibandingkan dengan kebanyakan politisi pria.
39
Organisasi pergerakan perempuan pada era tahun 1950-an mulai muncul dan berkembang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Disahkannya UU partai
politik oleh DPR merupakan kado terindah untuk perempuan Indonesia yaitu Undang- undang partai politik yang menetapkan kuota 30 untuk keterlibatan perempuan dalam
proses politik. Dengan ditetapkannya Undang-undang tersebut, peluang wanita Indonesia untuk berperan dalam segala segi kehidupan semakin terbuka. Dengan berhasilnya
dicantumkan kuota 30 bukan berarti perjuangan politik perempuan selesai, namun ini hanya langkah awal bagi agenda politik perempuan dalam jangka panjang. Oleh sebab
itu, akhirnya untuk penguatan keterwakilan perempuan pada pemilu tahun 2004, kaum perempuan diberikan kuota 30 pada pengajuan calon legislatif untuk semua tingkatan
baik DPRD Kabupatenkota, DPRD Provinsi dan DPR RI, dan hal tersebut telah diatur dalam Undang-undang.
Kebijakan affirmatif bukanlah kuota, namun banyak juga yang mencampuradukkan istilah kuota dengan affirmatif. Kebijakan affirmatif bentuknya
beragam, seperti pelatihan, peningkatan kapasitas, kuota dan sebagainya. Jadi kuota hanya salah satu bentuk tindakan affirmatif, jadi kuota bukan tujuan akhir tetapi alat
untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Dengan disahkannya kuota ini, diharapkan dapat menjadi motivasi bagi kaum perempuan untuk dapat berkiprah di politik. Sehingga dapat
mewujudkan partisipasi politik perempuan pada lembaga formal yang akan membuat keputusan politik, serta diharapkan posisi perempuan menjadi lebih baik di lembaga
legislatif.
39
Dapat dilihat di: http:www.sinarharapan.co.idberita.html, diakses pada tanggal 8 Maret 2009
Universitas Sumatera Utara
Disahkannya UU partai politik oleh DPR merupakan kado terindah untuk perempuan Indonesia yaitu Undang-undang partai politik yang menetapkan kuota 30
untuk keterlibatan perempuan dalam proses politik. Dengan ditetapkannya Undang- undang tersebut, peluang wanita Indonesia untuk berperan dalam segala segi kehidupan
semakin terbuka. Dengan berhasilnya dicantumkan kuota 30 bukan berarti perjuangan politik perempuan selesai, namun ini hanya langkah awal bagi agenda politik perempuan
dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, akhirnya untuk penguatan keterwakilan perempuan pada pemilu tahun 2004, kaum perempuan diberikan kuota 30 pada
pengajuan calon legislatif untuk semua tingkatan baik DPRD Kabupatenkota, DPRD Provinsi dan DPR RI, dan hal tersebut telah diatur dalam undang-undang.
Secara normatif, peraturan perundang-undangan bagi kaum perempuan dalam bidang politik tidak mendiskriminasi perempuan, namun dalam kenyataannya tingkat
representasi perempuan di badan legislatif pada berbagai tingkatan memang dirasa masih sangat rendah. Oleh sebab itu, dengan adanya upaya dari kaum perempuan yang
mengatasnamakan dirinya mewakili kelompok perempuan yang memiliki basis kelompok-kelompok perempuan pemilih yang mendukung sekaligus mengetahui,
memahami dan memperjuangkan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan kelompok kaum perempuan tersebut.
Dengan demikian, kebersamaan dan solidnya ikatan diantara kaum perempuan tersebut akan dapat menyusun secara sistemik dan komprehensif tentang kepentingan-
kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan yang perlu diperjuangkan dengan mempertimbangkan dampaknya yang positif dan bukan hanya pada kaum perempuan,
tapi juga anak-anak, masyarakat, dan bangsa. Sehingga secara hukum, kuota perempuan
Universitas Sumatera Utara
dapat ditingkatkan dengan pelaksanaan yang tegas. Walaupun penerapan kuota perempuan dalam dua kali pemilu 2004 dan 2009 ini belum menunjukkan peningkatan
yang signifikan, tetapi hal ini merupakan suatu pembelajaran politik bagi kaum perempuan itu sendiri, baik bagi para pemilih maupun politisinya, dimana merupakan
pembelajaran dalam membangun demokratisasi yang berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Pada pemilihan umum legislatif tahun 2009 inilah Undang-undang Nomor 10 dan Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 diberlakukan, dimana undang-undang tersebut
merupakan suatu upaya pemerintah dalam meningkatkan keterlibatan kaum perempuan di bidang politik. Oleh sebab itu, keterlibatan kaum perempuan di politik menjadi aman
dengan adanya, system kuota, zipper system, dan aturan sistem nomor urut tersebut, yang mana dengan adanya undang-undang tersebut maka merupakan suatu peluang besar
untuk mencapai target ideal dalam mengupayakan keterwakilan kaum perempuan di legislatif.
Sebuah titik terang terhadap isu keterwakilan perempuan yang muncul kembali dengan di sahkannya UU No. 10 Tahun 2008 yang mengkombinasikan penerapan sistem
kuota, zipper system dan aturan nomor urut. Melalui sistem kuota yang diterapkan, maka telah terjamin setidak-tidaknya 30 calon legislatif perempuan di letakkan di antara tiga
orang caleg di dalam nomor urut, dimana hal tersebut merupakan suatu upaya untuk mencegah agar caleg-caleg perempuan tidak diletakkan pada nomor urut besar. Sesuai
dengan aturan nomor urut, maka kesempatan menjadi anggota legislatif akan lebih besar lagi bagi caleg dengan nomor urut kecil, seperti halnya dibuktikan oleh hasil pemilu di
tahun 2004.
Universitas Sumatera Utara
Apa yang diterapkan pemerintah terhadap sistem zipper di atas memang sangat jelas semata-mata untuk mengupayakan menegakkan keadilan terhadap hak-hak kaum
perempuan yang selama ini di batasi dalam bidang politik. Tetapi dalam perkembangannya, kesempatan yang diperoleh caleg perempuan melalui kombinasi
affirmative action pada Undang-undang Pemilu tahun 2008 menjadi kabur, ketika banyak partai politik yang memutuskan untuk beralih mengajukan dan menerapkan aturan sistem
suara terbanyak di dalam kebijakan internal partai. Keadaan menjelang pelaksanaan pemilu legislatif 2009 menjadi semakin diperburuk lagi, ketika aturan sistem suara
terbanyak itu kemudian disahkan dan diberlakukan oleh Mahkamah Konstitusi MK melalui keputusan Judisial Review atas UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 214 huruf a, b, c, d,
dan e, pada tanggal 23 Desember 2008.
40
II.B. Proses Keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi No.22 24PUU- VI2008
Hak kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam politik adalah termasuk HAM Hak Azasi Manusia, karena demokrasi tidak akan mungkin dibangun tanpa adanya
keikutsertaan kaum perempuan didalamnya. Oleh sebab itu, legitimasi dari suatu
Tentang Suara Terbanyak
Keterwakilan kaum perempuan dalam pemilu adalah terwakilinya kepentingan kaum perempuan oleh wakil-wakil mereka di dalam lembaga dan dalam proses politik.
Keterwakilan perempuan ini menjadi salah satu wujud dari cerminan terhadap adanya sebuah demokrasi yang sekarang berusaha untuk diwujudkan.
40
Dapat dilihat : http :www.wri.or.id, “Penelitian Politik Perempuan”, diakses pada tanggal 30 Juli 2009
Universitas Sumatera Utara
kebijakan yang demokratis harus pula mempertimbangkan kepentingan pemilih yang terdiri dari kaum perempuan dan laki-laki.
41
Seperti halnya pada Pemilihan Umum tahun 2004 yang lalu, dapat dilihat bahwa keterwakilan calon legislatif laki-laki masih lebih tinggi daripada calon legislatif
perempuan. Kurangnya keterwakilan perempuan pada struktur kepartaian maupun di parlemen disebabkan oleh serangkaian hambatan yang membatasi kemajuan mereka.
Selain karena sistem yang memang cenderung mendiskriminasi, lemahnya posisi perempuan juga disebabkan kurang adanya kemampuan dan kemauan untuk setara. Hal
ini dapat dilihat dari masih rendahnya peran dan partisipasi politik perempuan, ditandai dengan rendahnya keterwakilan perempuan baik dalam kepengurusan partai politik
maupun dalam keterwakilan di lembaga legislatif. Hal ini seakan diperkuat karena sempitnya akses kaum perempuan dalam memasuki bidang politik.
42
Adapun pada pemilu tahun 2004 yang lalu, sistem yang di pakai adalah sistem nomor urut, yaitu calon yang terpilih nantinya adalah calon yang menduduki nomor urut
1, 2, dan 3. Tetapi, pada pemilu 2009 yang seharusnya tetap memakai sistem nomor urut tersebut dan hal itu juga telah diatur dalam UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilu, tetapi
nyatanya sistem tersebut tidak berlaku. Adapun pada saat itu, penetapan calon legislatif terpilih akan memakai sistem berdasarkan suara terbanyak, yaitu calon yang terpilih
nantinya adalah calon yang mendapatkan suara yang terbanyak.
41
Ani Widyani Soetjipto, Affirmative Action Untuk Perempuan di Parlemen: Panduan Parlemen di Indonesia, Yayasan API, hal.230
42
Dapat dilihat di : http:www. Maulinniam.wordpress.com. diakses pada tanggal 8 Maret 2009
Mahkamah Konstitusi MK telah menghapus sistem nomor urut dalam Undang-undang Pemilu dan sekarang
penetapan calon anggota legislatif terpilih kini ditentukan berdasarkan suara terbanyak,
Universitas Sumatera Utara
demikian putusan MK atas uji materi UU No.102008 tentang Pemilu yaitu pasal 214 huruf a, b, c, d dan e.
Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e, menyatakan bahwa Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupatenkota dari Partai Politik Peserta
Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan:
a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupatenkota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 tiga puluh
perseratus dari BPP; b. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada
jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi
ketentuan sekurang-kurangnya 30 tiga puluh perseratus dari BPP; c. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan
perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan
sekurang-kurangnya 30 tiga puluh perseratus dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100 seratus perseratus dari BPP;
d. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi
diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;
Universitas Sumatera Utara
e. Dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 tiga puluh perseratus dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
43
Dalam hal ini, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk dapat memperhatikan keterlibatan kaum perempuan di bidang politik, dimana dengan adanya
Berdasarkan isi pasal dalam undang-undang tersebut di atas dijelaskan bahwa perolehan suara dan penentuan calon terpilih dalam pemilihan umum adalah berdasarkan
dengan nomor urut, dimana setiap caleg harus bisa memperoleh suara sekurang- kurangnya 30 dari BPP yang sudah ditentukan. Oleh sebab itu, dengan adanya sistem
nomor urut tersebut nantinya berapa pun jumlah suara yang didapat oleh caleg-caleg yang menduduki nomor urut besar akan diberikan kepada nomor urut yang lebih kecil yaitu
nomor urut 1, 2, dan 3. Sehingga sangat kecil peluang para caleg yang berada di nomor urut besar untuk dapat menjadi anggota dewan, tetapi malah sebaliknya akan menjadi
peluang yang sangat besar bagi para caleg yang berada di nomor urut jadi tersebut untuk dapat menjadi anggota dewan.
Adapun pada pemilu tahun 2009, dengan adanya undang-undang tersebut di atas, peran kaum perempuan dalam pemilu tersebut menjadi sangat dominan dan signifikan,
karena pada pemilu mendatang, kaum perempuan dapat menempati posisi yang strategis, baik itu dalam konteks undang-undang maupun dalam konteks pemilu itu sendiri. Hal
tersebut dapat dilihat dari tahapan penyelenggaraan pemilu tahun 2009, dimana pada tahun ini untuk menempatkan perempuan menjadi calon anggota DPR, DPRD Provinsi,
dan DPRD KabupatenKota adalah merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh berbagai partai politik.
43
Undang-undang Republik Indonesia No.10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Universitas Sumatera Utara
UU No.10 tahun 2008, yaitu pasal 8 ayat 1 butir d dan pasal 55 ayat 2, maka peluang kaum perempuan untuk dapat terlibat di politik semakin terbuka lebar. Dimana
pemerintah juga telah menetapkan sistem zipper yang telah diatur dalam UU tersebut di atas guna mengupayakan kesetaraan dan menegakkan keadilan terhadap hak-hak kaum
perempuan dalam bidang politik. Sehingga setiap partai politik untuk menjadi peserta pemilu harus mencantumkan perempuan sebagai calon legislatif adalah sebagai
penyeimbangan karena pada pemilu yang akan datang laki-lakai dan perempuan di dalam kedudukan politik yaitu 2:1, dimana setiap partai politik harus mencantumkan paling
sedikit 1 orang perempuan bakal calon diantara 3 orang bakal calon, itulah yang dinamakan dengan sistem zipper, sehingga dari ketiga calon legislatif tersebut salah
satunya wajib menyertakan perempuan. Apabila partai politik tidak mengikutsertakan perempuan, maka KPU akan
mengumumkan dan akan mempublikasikan ke media, kepada publik, kepada masyarakat bahwa partai ini tidak memiliki kesetaraan gender, tidak peduli terhadap perempuan dan
tidak sensitif gender. Hal itu merupakan poin penting agar pengujian partai politik memiliki keadilan politik terhadap perempuan. Jadi inilah kesempatan perempuan agar
dapat bergelut dalam partai politik untuk menjadi calon legislatif baik anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD KabupatenKota.
Tetapi dalam kenyataannya, kesempatan yang diperoleh oleh caleg perempuan melalui UU tersebut diatas menjadi tidak berpengaruh, karena pada saat itu banyak partai
politik yang ingin mengajukan dan menerapkan aturan sistem suara terbanyak di dalam kebijakan internal partai. Adapun beberapa partai politik yang mengajukan penetapan
Universitas Sumatera Utara
calon terpilih berdasarkan suara terbanyak yaitu Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional PAN, dan Partai Golongan Karya Golkar.
Oleh sebab itulah, dengan adanya pengajuan dari beberapa partai politik tersebut diatas, dan setelah berbagai partai politik lainnya mengajukan pencalonan dan
menetapkan nomor urut para caleg-calegnya untuk menjadi bakal calon legislatif, maka aturan untuk memakai sistem suara terbanyak ini kemudian di sahkan pemberlakuannya
oleh Mahkamah Konstitusi MK melalui keputusan Judisial Review atas UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e.
Kemudian tepat pada hari selasa tanggal 23 Desember 2008, Ketua Mahkamah Konstitusi MK yaitu Bapak Mohammad Mahfud MD mengeluarkan surat keputusan
No.22 24PUU-VI2008 dan membacakan putusannya tersebut di gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Adapun isi dalam surat keputusan tersebut dinyatakan “Menimbang
bahwa dalil pemohon beralasan sepanjang mengenai pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU No.102008 maka permohonan pemohon dikabulkan”.
44
Mahkamah Konstitusi disingkat MK adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-
sama dengan Mahkamah Agung.
45
Menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009, Mahkamah Konstitusi MK telah mengeluarkan dan mengesahkan sistem
pembagianperolehan kursi Pemilu Legislatif di Indonesia berdasarkan suara terbanyak. Adapun ketentuan ini berlaku sejak hari Selasa, tanggal 23 Desember 2008, dimana
sistem pemilihan umum calon legislatif untuk pemilu tahun 2009 telah mengalami revisi,
yaitu Mahkamah Konstitusi MK telah mengeluarkan surat keputusan
44
Dapat dilihat pada: http:inilah.comberitapolitikmk-putuskan-suara-terbanyak-caleg.html, diakses pada tanggal 26Juni 2009
final dan
45
Dapat dilihat pada: http:www.wikipedia.com, diakses pada tanggal 20 Juli 2009
Universitas Sumatera Utara
mengikat atas perkara No.22 24PUU-VI2008
Sebuah terobosan baru semenjak 1955 dalam demokrasi dan politik di Indonesia. Sebuah langkah maju dimana masyarakat bisa memilih calon yang ddidukungnya secara
langsung tanpa ada suatu apapun yang menghalangi. Dengan adanya keputusan ini maka semua harus menyesuaikan termasuk KPU, Panwaslu ataupun bahkan internal partai.
Keputusan ini menjadi kabar yang menggembirakan bagi caleg yang berada di nomor urut bawah dan sebaliknya akan menjadi berita yang tidak menyenangkan bagi para caleg
yang telah menduduki nomor urut kecil atas. Jadi, dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi MK tersebut dapat memberikan kesempatan kepada para calon legislatif
yang tidak berada di nomor urut satu untuk dapat menunjukkan dirinya bahwa walaupun tidak di urutan pertama tetapi dapat meraup suara terbanyak, hal tersebut menjadi suatu
motivasi bagi para caleg untuk dapat berpacu dan bersaing untuk mendapatkan suara yang sebanyak-banyaknya.
yang isinya memutuskan bahwa memberlakukan atau mengesahkan sistem pemilihan berdasarkan suara terbanyak dalam
pemilihan umum calon anggota legislatif tahun 2009. Para hakim konstitusi juga memutuskan bahwa caleg yang nantinya terpilih pada hasil Pemilu 2009 akan ditentukan
melalui sistem suara terbanyak.
Dalam putusannya tersebut, pihak Mahkamah Konstitusi MK menilai bahwa pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e tersebut nantinya hanya menguntungkan para calon
legislatif yang berada di nomor urut jadi yakni 1, 2, dan 3, Sedangkan calon legislatif yang berada di nomor urut bawah meski mendapatkan suara terbanyak, tapi perolehan
suaranya itu nantinya akan diberikan kepada nomor urut jadi 1, 2, dan 3 tersebut. Hal tersebut juga diperjelas oleh Hakim Konstitusi yaitu Bapak Arsyad Sanusi yang
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan bahwa jika pasal tersebut yang menentukan pemenang dalam pemilihan umum adalah yang memiliki suara di atas 30 persen dan menduduki nomor urut lebih
kecil adalah bersifat inskontitusional, yaitu bertentangan dengan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
46
Adapun dalam keputusan tersebut bahwa caleg terpilih harus ditentukan melalui mekanisme perolehan suara terbanyak juga akan diperkirakan dapat membawa implikasi
Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi MK mengabulkan gugatan uji materi atas pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU No.102008
tentang Pemilu tersebut. Sehingga penetapan calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 nanti tidak lagi memakai sistem nomor urut dan digantikan dengan memakai sistem suara
terbanyak. Komisi Pemilihan Umum juga menyatakan siap mengaplikasikan aturan mengenai penetapan caleg terpilih dengan suara terbanyak sesuai dengan keputusan
Mahkamah Konstitusi. Di antara pertimbangan MK atas keputusan tersebut adalah bahwa ketentuan pasal
214 huruf a, b, c, d dan e UU No. 102008 yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif terpilih adalah calon yang mendapat suara di atas 30 persen dari bilangan
pembagi pemilih BPP atau menempati nomor urut lebih kecil, dinilai bertentangan secara substantif dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat 1 UUD
1945. Dengan kata lain, MK ingin mengembalikan kedaulatan kepada rakyat sebagai pemilik yang sebenarnya dalam kehidupan demokrasi. Pada intinya pasal 214
menyatakan bahwa caleg DPR, DPD dan DPRD terpilih ditentukan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 persen dari Bilangan Pembagi Pemilih
BPP, dan jika calon yang memenuhi syarat melebihi jumlah kursi tersebut, maka kursi diberikan pada calon dengan nomor urut kecil.
46
Ibid
Universitas Sumatera Utara
yang lebih luas. Diperkirakan dengan mekanisme suara terbanyak tersebut, persaingan antar caleg bisa bermuara pada pembelian suara, terutama oleh caleg yang memiliki dana
besar untuk kampanye, dan diperkirakan juga keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 214 Undang-undang No.10 Tahun 2008 dan pada pemilu legislatif
2009 menggunakan sistem nomor urut maka calon perempuan yang akan terpilih nantinya sebagai anggota DPR jumlahnya tidak jauh berbeda dari hasil Pemilu 2004 yang
lalu.
47
Mahkamah Konstitusi MK mengabulkan penghapusan pola nomor urut dalam penentuan caleg terpilih dalam pemilu 2009 banyak menuai kritik. Dengan adanya
keputusan MK No.22-24PUU-VI2008 yang mengatur tetang sistem pemilu yang akan digunakan dalam pemilu legislatif 2009 telah mengubah pelaksanaan pemilu di
Indonesia. Sistem pemilihan yang digunakan dan pengaruhnya kepada representasi kaum perempuan sangatlah besar.
48
Dengan membatalkan pasal 214 huruf a sampai e, maka penetapan calon terpilih dilakukan berdasarkan siapa yang meraih suara terbanyak, yang akibatnya sistem zipper,
yakni sistem di mana partai menempatkan minimal satu perempuan di antara tiga calon Sebenarnya penerapan aturan suara terbanyak sebagai
penentu caleg terpilih dianggap lebih adil dibandingkan pola nomor urut. Namun akibatnya kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen yang disyaratkan dalam
undang-undang menjadi tidak berarti, sehingga keputusan Mahkamah Konstitusi MK mengenai penetapan calon anggota legislatif caleg dengan sistem suara terbanyak
dianggap tidak adil bagi caleg perempuan, dan menguntungkan caleg-caleg yang memiliki uang.
47
Dapat dilihat pada: http:pustakamawar.wordpress.comkeputusan-mk-caleg-suara terbanyak.html,
diakses pada tanggal 26 Juni 2009
48
Ani Widyani Soetjipto, Loc.Cit
Universitas Sumatera Utara
menjadi tidak berguna. Penerapan suara terbanyak tentunya tidak sejalan dengan upaya affirmative action yang hanya sesuai apabila digunakan aturan nomor urut oleh MK.
Padahal, jika kita merujuk kepada Negara-negara yang memiliki keterwakilan perempuan yang baik, maka sistem zipper dan kuota terbukti efektif dan berhasil meningkatkan
angka representasi kaum perempuan di parlemen. Kebijakan Affirmative Action adalah tindakan khusus yang bersifat sementara, dimana jika keadilan dan kesetaraan itu telah
tercapai maka kebijakan ini bisa dicabut kembali. Lebih jauh Affirmative Action bukanlah kuota dalam artian memberikan jatah kursi secara gratis di parlemen. Langkah affirmative
action atau disebut juga diskriminasi positif ini sudah merupakan langkah maju secara legal formal, namun di sisi lain juga menyisakan persoalan karena tidak memberikan
jaminan penuh terhadap perubahan nasib perempuan terutama pasca keluarnya fatwa MK di atas.
Selain gagalnya sistem zipper tersebut, aturan suara terbanyak juga akan mempersulit caleg perempuan untuk masuk ke dalam parlemen. Suara terbanyak
mengharuskan para caleg perempuan untuk terjun dan lebih dekat dengan para konstituennya secara langsung. Aktivitas caleg untuk terjun kepada masyarakat
pemilihnya tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dengan status dan kondisi ekonomi yang terbatas dimiliki oleh perempuan, maka tentunya akan sulit bagi
perempuan untuk terjun langsung kepada konstituen. Disamping itu, pendidikan politik terhadap perempuan yang lebih terbatas dibanding laki-laki, tentunya menyulitkan upaya
politik caleg perempuan untuk berkampanye di dalam pemilu. Pasca keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi MK tentang anggota legislatif
terpilih berdasarkan suara terbanyak, filosofi Pemilu 2009 mengalami perubahan. Bila
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya dengan penetapan nomor urut, dimana partai politik parpol diasumsikan sebagai pihak yang paling mengetahui kualitas calon anggota legislatif caleg, maka
dengan suara terbanyak ini diasumsikan pemilih sudah tahu kualitas caleg yang akan dipilih.
Oleh sebab itu, dengan adanya keputusan MK ini, maka para caleg nomor urut 1 dalam DCT merupakan orang yang hanya bisa pasrah menerima keputusan tersebut, Dan
ditambah lagi KPU juga langsung berjanji menjalankan keputusan MK ini. Sehingga tidak ada pilihan lain untuk para caleg nomor urut 1 untuk tetap harus berjuang sama-
sama dengan caleg lain untuk mendapatkan suara terbanyak. Inilah wajah demokrasi Indonesia yang sesungguhnya, di pemilu tahun 2009, rakyat akan mendapatkan wakilnya
berdasarkan pilihan mereka sendiri, apakah ingin memilih caleg perempuan atau laki- laki. Hal itu semua dikembalikan kepada masing-masing rakyat untuk siapa yang akan
pantas menjadi wakilnya, karena memang pada dasarnya demokrasi merupakan sebuah sistem yang banyak diterapkan oleh berbagai negara di belahan dunia termasuk Indonesia
yang berangkat dari asumsi bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat yang ditentukan berdasarkan suara mayoritas.
Tetapi sebagian besar orang memang pesimis target untuk keterwakilan perempuan di parlemen itu akan tercapai apalagi pasca keluarnya keputusan Mahkamah
Konstitusi MK tentang suara terbanyak. Sistem kuota 30 yang ditentukan oleh undang-undang memang tidak melindungi perempuan secara kolektif tetapi hanya
sekadar membuka peluang kepada perempuan untuk bersaing.
Universitas Sumatera Utara
BAB III ANALISIS SIKAP POLITIK CALON LEGISLATIF PEREMPUAN NOMOR