SIKAP POLITIK ANGGOTA DPRD TERHADAP ANGGOTA DPRD PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF DPRD KOTA BANDAR LAMPUNG

(1)

SIKAP POLITIK ANGGOTA DPRD TERHADAP ANGGOTA

DPRD PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF

DPRD KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

WAHYU AVISENA

Skripsi

Sebagai Salah SatuSyaratuntukMencapaiGelar

SARJANA ILMU PEMERINTAHAN

Pada

JurusanIlmuPemerintahan FakultasIlmuSosialdanIlmuPolitik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(2)

ABSTRAK

SIKAP POLITIK ANGGOTA DPRD TERHADAP ANGGOTA DPRD PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF DPRD

KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

WAHYU AVISENA

Perempuan adalah kaum marginal yang dianggap lebih rendah dibandingkan

laki-laki, marginalisasi perempuan adalah rendahnya status dan akses serta penguasaan

seorang perempuan terhadap sumber-sumber daya ekonomi, politik dalam

pengertian kemiskinan yang menyebabkan kemiskinan, dan menjadi

permasalahan di dalam DPRD Kota Bandar Lampung, di dalam DPRD Kota

Bandar Lampung dari 45 Anggota hanya terdapat 6 anggota DPRD perempuan,

yaitu hanya 13% keterwakilan perempuan.

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah, ”Bagaimana Sikap Politik Anggota DRPD Terhadap Anggota DPRD Perempuan di Lembaga Legislatif DRPD Kota

Bandar Lampung?” dengan melihat permasalahan yang dikaji maka tujuan penelitian ini untuk Bagaiamana Sikap Politik Anggota DRPD Terhadap Anggota

Perempuan di Lembaga Legislatif DRPD Kota Bandar Lampung.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Jenis data

yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer didapat dari


(3)

Hasil penelitian yang diperoleh mengacu kepada tanggapan anggota DPRD Kota

Bandar Lampung terhadap Anggota DPRD perempuan di lembaga legislatif,

anggota DPRD memiliki pengetahuan mengenai keterwakilan perempuan di

lembaga legislatif, anggota DPRD berpendapat keterwakilan perempuan dianggap

sangat penting untuk memperjuangkan hak kaum perempuan tersebut. Hal yang

telah dilakukan anggota DPRD sebagai anggota DPRD untuk Mendukung

keterwakilan perempuan dengan cara memaksimalkan peranan perempuan di

legislatif DPRD Kota Bandar Lampung, Anggota DPRD melakukan sosialisasi

dan pengarahan terhadap masyarakat mengenai pentingnya keterwakilan

perempuan dalam memperjuangkan kepentingan perempuan.

Hasil yang telah dilakukan anggota DPRD perempuan yaitu mendukung dalam

kebijakan program kesehatan bagi ibu melahirkan, pengobatan dan imunisasi di

berbagai puskesmas Kota Bandar Lampung. Walaupun didalam anggota DPRD

terdapat anggota DPRD yang menolak mengenai keterwakilan perempuan

tersebut, karena perempuan tidak dapat maksimal dikarenakan keterbatasan

sebagai ibu rumah tangga, akan tetapi sebagian besar mendukung atau dengan

kata lain positif mengenai keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.


(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 11

C. Tujuan Penelitian 11

D. Kegunaan Penelitian 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gender dan Politik 12

B. Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif 16

C. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 18

a. Definisi DPRD 18

b. Kedudukan DPRD 19

c. Fungsi DPRD... 19

d. Tugas dan Wewenang DPRD 19

D. Sikap 20

1. Pengertian Sikap 20

2. Ciri-ciri Sikap 21

3. Fungsi Sikap 22

4. Komponen Sikap 23

E. Sikap Politik DPRD terhadap Keterwakilan Perempuan di lembaga Legislatif 25


(8)

ii

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian 32

B. Fokus Penelitian 34

C. Lokasi Penelitian 35

D. Penentuan Informan 35

E. Sumber Data 37

F. Teknik Pengumpulan Data 38

G. Instrumen Pengumpulan Data 39

H. Teknik Pengolahan Data 40

I. Teknik Analisis Data 40

IV. KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF DPRD KOTA BANDAR LAMPUNG A. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandar Lampung 43

B. Pelaksanaan Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif DPRD Kota Bandar Lampung ... 55

V. SIKAP POLITIK ANGGOTA DPRD TERHADAP KEBIJAKAN KETERWAKILAN 30% PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF DPRD KOTA BANDAR LAMPUNG A. Deskripsi Informan... 58

B. Tanggapan Anggota DPRD Kota Bandar Lampung Terhadap Kebijakan Keterwakilan Perempuan di Lembag Legislatif... 59

C.Sikap Anggota DPRD 75

VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 104

B. Saran 106

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsep penting yang harus dipahami dalam membahas kaum perempuan

adalah membedakan antara konsep seks (Jenis Kelamin) dan konsep gender.

Pemahaman dan pembedaan terhadap kedua konsep tersebut sangat diperlukan

dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan

sosial yang menimpa kaum perempuan. Analisis gender dalam sejarah

pemikiran manusia tentang ketidakadilan sosial diangap suatu analisis baru

dan mendapat sambutan akhir-akhir ini. (Mansor, 2004 : 4)

Manifestasi ketidakadilan sosial yang disebabkan perbedaan paham antara

seks dan gender memunculkan masalah perempuan seperti:

1. Marginalisasi perempuan yaitu rendahnya status dan akses serta penguasaan seorang perempuan terhadap sumber-sumber daya ekonomi, politik dalam pengertian kemiskinan yang menyebabkan kemiskinan. Dibandingkan dengan mayoritas laki-laki, mayoritas perempuan mengalami masalah karena kemarginalan mereka.

2. Subordinasi yaitu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin lebih utama dibandingkan jenis kelamin yang lain. Sudah sejak lama dahulu ada pandangan menempatkan kedudukan perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, contohnya jika keluarga lebih cenderung mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak, maka anak laki-laki mendapatka prioritas utama.

3. Adanya pandangan steriotipe yang salah satunya menimpa perempuan, misalkan label kaum perempuan sebagai ibu rumah tangga sangat merugikan perempuan yang hendak aktif dalam kegiatan laki-laki


(10)

2

seperti kegiatan politik, bisnis maupun birokrasi. Sementara laki-laki sebagai pencari nafkah mengakinatkan apa saja yang dihasilkan perempuan dianggap sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhatikan. (Hafidz, 1995)

Berdasarkan uraian di atas dapat di lihat bahwa memang ketika tidak ada

dukungan bagi perjuangan perempuan maka selamanya perempuan akan

termarginalkan dan dianggap tidak mampu berkompetisi dengan laki-laki.

Lebih jauh lagi ketika pengetian keadilan gender ataupun ketidakadilan gender

belum sepenuhnya dapat dipahami oleh perempuan dan masyarakat pada

umunya, maka akan menjadi bias.

Dalam sejarah perjuangan HAM didunia internasional, persoalan gender telah

berhasil diangkat pada tahun 1979, yang ditandai dengan lahirnya suatu

konvensi yang isinya menyatakan tentang penghapusan segala bentuk

diskriminasi terhadap perempuan, dikenal dengan nama Convention on the

Elimination of all forms Discrimination Against Women (yang selanjutnya

disebut CEDAW)

Bila dikatakan bahwa partisipasi perempuan – khusunya Indonesia – dalam berbagai aspek mulai dirasakan sejak dikeluarkannya ketentuan-ketentuan

yang itu mendukung perjuangan perempuan menuju langkah yang lebih maju,

seperti misalnya :

Elimination of all forms Discrimination Against Women

(CEDAW), yang diratifikasi oleh Indonesia ke dalam UU No. 7 Tahun 1984.

Konvensi tentang hak-hak politik perempuan (UU No. 18 Tahun 1956)

Women International Convention ke-4 tahun 1995 di Beijing, yang


(11)

program pemberdayaan perempuan dalam setiap sector segera ditindak lanjuti secara nya tad an professional. (Konfederasi Cedaw)

.

Untuk menuju pembangunan yang responsif gender, diperlukan kebijakan

yang sensitif terhadap gender dan permasalahan perempuan. Oleh karena itu,

perlu dilakukan upaya dalam meningkatkan partisipasi dan keterwakilan

perempuan dalam proses pengambilan kebijakan, salah satu upayanya adalah

dengan membuat peraturan yang menjamin hak-hak politik perempuan, atau

upaya lain seperti memberikan pendidikan serta arti pentingnya perempuan

untuk terlibat dalam politik.

Indonesia sendiri sudah mengadopsi banyak peraturan yang dapat mendukung

perjuangan maupun pergerakan perempuan, seperti konvensional CEDAW

terseubut yang diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1984, tepatnya pada

tanggal 24 Juli 1984, namun dalam kenyataannya peraturan-peraturan tersebut

ternyata belum mampu mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan

perempuan, bahkan cukup mampu mengatasi permasalahan yang berkaitan

dengan perempuan, bahkan mampu mengatasi permasalahan yang berkaitan

dengan perempuan, bahkan UU tersebut pada saat itu belum banyak diketahui

oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Proses sosialisasi dan transformasi

informasi yang tidak merata, membuiat peraturan tersebut tidak begitu dikenal

oleh masyarakat Indonesia pada saat itu.

Selain itu, budaya, sistem sosial, sistem politik, hingga masalah kemiskinan

masih menjadi kendala utama bagi perempuan dalam hal partisipasi


(12)

4

salah satu kendali bagi perkembangan partisipasi politik perempuan hingga

saat ini, dengan kata lain bahwa kultur tersebut selalu menempatkan

perempuan pada sektor domestik. Hal ini salah satunya disebabkan oleh

anggapan yang menyebutkan bahwa perempuan itu lemah, emosional, dan

sebagainya. Sehingga perempuan dianggap tidak mampu untuk bergelut dalam

bidang politi, yang dikenal keras, maskulin, rasional (dalam artian tidak hanya

megandalkan perasaaan)

Faktor lain yang juga menjadi kendala utama rendahnya partisipasi politik

perempuan adalah pendidikan, yaitu terlihat perbedaan angka buta huruf yang

signifikan, antara laki-laki dan perempuan, maupun antara perempuan yang

menjadi kepala keluarga, terutama pada usia 45 tahun keatas yaitu 4,31% bagi

Perempuan dan hanya 0,19% bagi laki-laki. Di kota Bandar Lampung angka

melek huruf untuk perempuan sebanyak 94,2% dan untuk laki-laki 98% (untuk

usia penduduk diatas 15 tahun). Data angka partisipasi sekolah 16-18 tahun

(4,5% pada tahun 2002) tingginya angka putus sekolah bias disebabkan karena

tuntutan keluarga untuk mengurangi beban ekonomi dan terutama terjadi pada

keluarga ekonomi lemah. Sampai dengan tahun 2003 jumlah perempuan

berumur 10 tahun kertas yang tidak sekolah dan belum tamat Sekolah Dasar

(SD) lebih besar dibandingkan laki-laki. Untuk perempuan yang tamat

Sekolah Lanjuta Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjuta Tingkat Atas

(SLTA) Lebih Sedikit Laki-laki.


(13)

Keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga pengambil kebijakan, baik

publik maupun negara seharusnya tidak hanya dalam taraf “diperhatikan”

tetapi sudah dalam taraf “diwajibkan” yang artinya setiap partai itu wajib

memberikan 30% hak perempuan yang sudah ditentukan. Hal ini dikarenakan

dalam realitasnya jumlah perempuan yang ada dalam lembaga/institusi

pengambil kebijakan masih sangat minim, sehinnga kebijakan yang ada, dirasa

kurang peka terhadap permasalahan perempuan itu sendiri.

Tabel.1

Persentase Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Menurut Agama, Pekerjaan, Jenis Kelamin, Pendidikan, dan Usia

Periode Tahun 1994-2001, 2004-2009, 2009-2014

PERIODE

1999-2004 2004-2009 2009-2014 Agama 1. Islam

2. Kristen Protestan 3. Katolik 4. Hindu 5. Budha 80,5% 11,3% 5,6% 2,2% 0,2% 83,5% 10,5% 3,8% 1,8% 0,4% 83,8% 10,4% 3,7% 1,6% 0,5% Pekerjaan 1. Mantan Anggota DPR

2. Swasta 3. PNS 4. Purnawirawan 19, % 69,9% 4,1% 5,5% 37,1% 50,3% 4,7% 4,6% 34,9% 56,7% 4,2% 3,6% Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan 91,0% 9,0% 89,3% 10,7% 82,4% 17,6% Pendidikan 1. Lulusan S1

2. Lulusan S2

64,19% 13,28% 47,64% 6,04% 82,4% 17,6% Usia 1. <25 Tahun

2. 25-50 Tahun 3. 50 Tahun Keatas

3,7% 38,8% 57,5% 0,4% 49,0% 50,6% 0,7% 63,2% 36,1% Sumber : Koran Tempo, kamis 1 Oktober 2009


(14)

6

Melihat Tabel.1 Menunjukan bahwa keterwakilan perempuan dari periode ke

periode mengalami peningkatan, dan bahkan apabila di lihat perkembangan

dari periode 1999-2004 sd 2009-2014 kenaikannya cukup signifikan yaitu 9

persen meiningkat menjadi 17,7 Persen.

Namun pencapaian keterwakilan perempuan pada masing-masing rovinsi

masih bervariasi jumlahnya, terdapat beberapa provinsi yang tidak ada

keterwakilan perempuan, seperti provinsi Lampung, Kalimantan Selatan,

Sulawesi Tenggara, dan provinsi Aceh (Tabel.2).

Tabel.2

Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif Nasional dan Provinsi Hasil Pemilu 2009

Provinsi L % P %

Aceh 13 100 0 0

Sumatera Utara 28 93,3 2 6,7 Sumatera Barat 13 92,3 1 7,1

Riau 10 90,3 1 9,1

Jambi 1 33,3 2 66,7

Sumatera Selatan 4 57,1 3 42,9 Bengkulu 16 94,1 1 5,9

Lampung 3 100 0 0

Bangka Belitung 3 75 1 25 Kepualaun Riau 13 72,2 5 27,8 DKI Jakarta 16 76,2 5 23,8 Jawa barat 70 76,9 21 23,1 Jawa tengah 17 77,3 5 22,7 DI Yogyakarta 68 88,3 9 11,7 Jawa Timur 7 87,5 1 12,5

Banten 66 75,9 21 24,1

Bali 9 100 0 0

Nusa Tenggara Barat 10 100 0 0 Nusa Tenggara Timur 12 92,3 1 7,7 Kalimantan Barat 9 90 1 10 Kalimantan Tengah 6 75 2 25 Kalimantan Selatan 11 100 0 0


(15)

Kalimantan Timur 4 66,7 2 33,3 Sulawesi Utara 5 83,3 1 16,7 Sulawesi Tengah 5 83,3 1 16,7 Sulawesi Selatan 21 87,5 3 12,5 Sulawesi Tenggara 3 100 0 0

Gorontalo 4 80 1 20

Sulawesi Barat 2 66,7 1 33,3

Maluku 3 75 1 25

Maluku Utara 0 0 3 100

Irian Jaya Barat 7 70 1 30

Papua 2 66,7 3 33,3

INDONESIA 461 82,3 99 17,7 Sumber : Komisi Pemilihan Umun,2009-2014

Tabel.3

Keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Nasional dan Provinsi Hasil Pemilu 2009

Provinsi L % P %

Aceh 7 87,5 1 12,5

Sumatera Utara 7 87,5 1 12,5 Sumatera Barat 7 87,5 1 12,5

Riau 6 75 2 25

Jambi 6 75 2 25

Sumatera Selatan 5 62,5 3 37,5

Bengkulu 5 62,5 3 37,5

Lampung 7 87,5 1 12,5

Bangka Belitung 6 75 2 25 Kepualaun Riau 5 62,5 3 37,5

DKI Jakarta 6 75 2 25

Jawa barat 7 87,5 1 12,5

Jawa tengah 6 75 2 25

DI Yogyakarta 4 50 4 50 Jawa Timur 7 87,5 1 12,5

Banten 7 87,5 1 12,5

Bali 8 100 0 0

Nusa Tenggara Barat 6 75 2 25 Nusa Tenggara Timur 6 75 2 25 Kalimantan Barat 4 50 4 50 Kalimantan Tengah 6 75 2 25 Kalimantan Selatan 7 87,5 1 12,5 Kalimantan Timur 7 87,5 1 12,5 Sulawesi Utara 7 87,5 1 12,5 Sulawesi Tengah 4 50 4 50


(16)

8

Sulawesi Selatan 7 87,5 1 12,5 Sulawesi Tenggara 7 87,5 1 12,5

Gorontalo 8 100 0 0

Sulawesi Barat 5 62,5 3 37,5

Maluku 6 75 2 25

Maluku Utara 7 87,5 1 12,5 Irian Jaya Barat 5 62,5 3 37,5

Papua 6 75 2 25

INDONESIA 204 77,3 60 22,7 Sumber : Komisi Pemilihan Umun,2009-2014

Sementara keterwakilan perempuan pada Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

pencapaiannya sedikit lebih baik dibandingkan dengan keterwakilan

perempuan di DPR. Keterwakilan perempuan di DPD menurut hasil pemilu

tahun 2004 sebesar 19,8 persen dan meningkat menjadi 22,7 persen pada

pemilu 2009. Namun demikian capaian ini tidak diikuti oleh semua provinsi,

seperti pada provinsi Bali dan provinsi Gorontalo pada pelaksanaan pemilu

2009 keterwakilan perempuan di DPD tidak ada. Sementara terdapat 2

provinsi yang mencapai 37 persen yaitu provinsi Irian Jaya Barat dan

Kepulauan Riau.

Berdasarkan wawancara dengan bagian persidangan pada tanggal 23 Mei

2012 Didalam DPRD Kota Bandar Lampung pada periode tahun 2004-2009

terdapat 5 Anggota DPRD perempuan dari jumlah 45 Anggota DPRD, oleh

karena itu hanya 11% keterwakilan perempuan. Sedangkan pada periode tahun

2009-2014 terjadi peningkatan menjadi 6 dari jumlah anggota DPRD sebanyak

45 orang, dan menjadi 13% keterwakilan perempuan di lembaga legislatif


(17)

Tabel.4

Daftar Anggota DPRD Perempuan Kota Bandar Lampung Periode 2004-2009

No Nama Keterangan

1 A. Purwanti, S.P PKS

2 Selviana, S.E PAN

3 Eva Saropah, S.E PDIP

4 Mungliana, S.E PDS

5 Dra. Syarifah Demokrat Sumber : Bagian persidangan DPRD Kota Bandar Lampung

Tabel.5

Daftar Anggota DPRD Perempuan Kota Bandar Lampung Periode 2009-2014

No Nama Keterangan

1 Hj. Ernita, SH.,M.H Demokrat 2 Dra. Syarifah Demokrat 3 Hj. Dolly Sandra, S.P Golkar 4 Dra. Hj. Mintarsih Yusuf Golkar 5 Kostina, SE.,M.H PDIP 6 Ir.Hj. Ratna Hapsari Barusman MM.,M.H Hanura Sumber : Bagian persidangan DPRD Kota Bandar Lampung

Permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini adalah bagaimana cara

anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) menanggapi tentang

keterwakilan 30% Perempuan di Lembaga Legislatif yang telah diketahui

perempuan adalah kaum marginal yang dianggap lebih rendah dibandingkan

laki-laki, dan yang menjadi permasalahan di dalam DPRD Kota Bandar

Lampung tidak memenuhi kuota 30 % keterwakilan perempuan yang telah

ditetapkan dalam UU No.10 Tahun 2008 yang membahas tentang Partai

Politik dan UU No.2 Tahun 2008 yang membahas tentang pemilihan umum.


(18)

10

anggota DPRD perempuan, yaitu hanya 13% dan tidak mencapai 30% serta

bagaimana sikap politik anggota dewan terhadap anggota DPRD perempuan

Kota Bandar Lampung.

Sesuai dengan skripsi peneliti yang berjudul Sikap Politik Anggota DRPD

Terhadap Kebijakan Keterwakilan 30% Perempuan di Lembaga Legislaitf

DPRD Kota Bandar Lampung. Skripsi ini bertujuan untuk melihat bagaimana

Sikap Politik Anggota DPRD Terhadap Anggota DPRD Perempuan di

Lembaga Legislatif yang telah diketahui perempuan sebagai minortias

dibandingkan laki-laki, dan didalam DPRD Kota Bandar Lampung hanya 13%

keterwakilan perempuan dari 30% yang ditetapkan.

Berdasarkan pemahaman tersebut, alasan peneliti yang melandasi layak dan

pentingnya melakukan peneliti adalah perempuan sebagai kaum yang marginal

yang dianggap tidak mampu berkompetisi dengan laki-laki, dan didalam ruang

lingkup DPRD Kota Bandar Lampung yang mempunyai 45 Anggota Dewan

DPRD dari total keseluruhan itu yang berjumlah 45 hanya terdapat 6 anggota

perempuan, yang apabila dipersentasikan hanya 13% keterwakilan perempuan


(19)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka yang menjadi rumusan masalah pada

penelitian ini adalah: ”Bagaimana Sikap Politik Anggota DRPD Terhadap Anggota DPRD Perempuan di Lembaga Legislatif DRPD Kota Bandar

Lampung?”

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui Sikap Politik Anggota DRPD Terhadap Anggota DPRD

Perempuan di Lembaga Legislatif DRPD Kota Bandar Lampung.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah:

1. Secara akademis, hasil penelitian ini sebagai salah satu kajian Ilmu

Pemerintahan di dalam mata kuliah Gender dan Politik, khususnya yang

berkaitan dengan Sikap Politik Anggota DRPD Terhadap Anggota DPRD

Perempuan di Lembaga Legislatif DRPD Kota Bandar Lampung.

2. Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan masukan

dan pertimbangan akademis khususnya bagi Anggota DPRD Kota Bandar

Lampung, berkaitan dengan Sikap Politik Anggota DRPD Terhadap

Anggota DPRD Perempuan di Lembaga Legislatif DRPD Kota Bandar


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Gender dan Politik

Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan

yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.

Feminisme tidak seperti pandangan atau pemahaman lainnya. Feminisme

tidak berasal darisebuah teori atau konsep yang didasarkan atas formula teori

tunggal. Itu sebabnya, tidakada abstraksi pengertian secara spesifik atas

pengaplikasian feminisme bagi seluruh perempuan disepanjang masa.

Pengertian feminisme itu sendiri menurut Najmah dan Khatimah Sai’idah dalam bukunya yang berjudul Revisi Politik Perempuan (2003:34)

menyebutkan bahwa:

Feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan yang terjadi baik dalam keluarga, di tempat kerja, maupun di masyarakat serta adanyatindakan sadar akan laki laki maupun perempuan untuk mengubah keadaan tersebut secara leksikal. Feminisme adalah gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.


(21)

Pengertian feminisme dapat berubah dikarenakan oleh pemahaman atau

pandangan para feminis yang didasarkan atas realita secara historis dan

budaya, serta tingkat kesadaran persepsi dan perilaku. Bahkan diantara

perempuan dengan jenis-jenis yang hampir mirip terdapat perbedaan

pendapat dan perdebatan mengenai pemikiran feminis, sebagaian didasarkan

atas alasan (misalnya akar kebudayaan) patriarkhi dan dominasi laki-laki,

dansampai resolusi final atas perjuangan perempuan akan non-eksploitasi

lingkungan, kebebasan kelas, latar belakang, ras, dan gender.

(Sumber:http://ml.scribd.com/doc/79192419/Feminism di unduh pada hari Minggu Tanggal 07 Oktober 2012)

Feminism Liberal adalah salah satu bentuk dari Feminisme, Apa yang disebut

sebagai Feminisme Liberal ialah terdapat pandangan untuk menempatkan

perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini

menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan

pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut

mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu

pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada

perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri.

Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia

dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan


(22)

14

Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang

tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari

teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh

kaum pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat

“maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi

kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi.

Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang

memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum

Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “di dalam” negara hanya

sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam

hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Dalam

perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai

“kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap

perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan

kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.

Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang

merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi

pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan

haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung


(23)

Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka

adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor

domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab

wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang

materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat

mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah,

berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.

Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas.

Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki,

sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya

terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu,

pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan

yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil

dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi

perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang

politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia,

reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota

bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis

liberal.

(Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme diunduh pada hari Minggu Tanggal 07 Oktober 2012)


(24)

16

B. Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif

Muhammad Anis Qasim Ja’far (1998:82-84) ada dua pendapat mengenai hak-hak politik perempuan, yaitu:

Pendapat pertama mengatakan bahwa perempuan dilarang menggunakan hak-hak politiknya. Pendapat ini didasarkan oada argumentasi sebagai berikut:

1. Perempuan berbeda dengan laki-laki dalam aspek fisik, intelektual, dan moral

2. Perbedaan alami dalam menunaikan tugas-tugas antara laki-laki dan perempuan menuntut pengkhususan perempuan pada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan memelihara anak.

3. Jika perempuan terlibat langsung dalam kegiatan politik maka hal itu akan membahayakan perselisihan akibat perbedaan pandangan politik. Pada umumnya perempuan cenderung pada politik konservatif dan tradisional. Jika ia terlibat langsung dalam politik maka ia akan dimanfaatkan oleh para pendukung partai tersebut. 4. Perempuan tidak dituntut untuk mengikuti tugas wajib militer.

Selama tidak dituntut untuk melaksanakan tugas negara, maka ia tidak punya hak terlibat langsung dalam kegiatan politik yang harus dibatasi pada orang yang melaksanakan wajib militer saja. 5. Kadang-kadang keikut sertaan perempuan dalam kegiatan politik

dan persamaan dengan laki-laki akan menyebabkan laki-laki tidak menghormatinya.

Pendapat Kedua, berpendapat bahwa penting adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam menggunakan hak-hak politik. Karena kepentingan umum dan praktek demokrasi yang benar menghendaki hal itu. Perempuan merupakan separuh masyarakat, mereka mempunyai kepentingan yang sama dengan laki-laki. Oleh karena itu, persamaan diantara keduanya harus direalisasikan dalam mengatur urusan-urusan umum negara. Hal ini tidak bias dilakukan kecuali kalau perempuan dapat menggunakan hak-hak politik secara sempurna.


(25)

Perkembangan tuntutan politik kaum perempuan telah terjadi dalam empat

tahap:

Pertama, isu tentang perempuan dibawa karena politik yang akan menyebabkan partai dipaksa untuk member respon. Kedua, untuk menghindari tuduhan bahwa gerakan perempuan adalah gerakan yang seksionalis, maka perempuan mencoba merubah isu tuntutan perempuan kedalam dimensi yang lebih luas, yaitu masalah hak asasi manusia, dan dalam hal ini partai dapat merespon lebih lanjut dalam tiga bentuk tindakan, yaitu rethoric, affirmative action, atau positf discrimintation. Ketiga, gerakan perempuan mengambil strategi ganda yaitu bekerja dengan jaringan perempuan dan bekerja dalam dunia politik partai yang didomisili laki-laki. Keempat, perempuan member peintah lebih dekat terhadap aturan main politik yang berarti mengubah gender dari dalam partai yaitu merubah struktur dan program partai. Secara singkat selalu akan terjadi hubungan yang dinamis antara tuntutan perwakilan politik permpuan dengan tanggapan dari partai. (Lovenduski 1993:1-5)

Upaya Affirmative Action atau tindakan khusus untuk mendorong

keterwakilan perempuan dalam politik terus disuarakan, seperti pada

pelaksanaan pemilu 2009, peraturan perundang-undangan telah mengatur

kouta 30% perempuan bagi partai politik (Parpol) dalam menempatkan calon

anggota legislatifnya. Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang

Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan

Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

pemilu legislatif serta memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi

kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan


(26)

18

Pasal 8 butir d UU Nomor 10 Tahun 2008, misalnya, menyebutkan

penyertaan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada

kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol dapat

menjadi peserta pemilu. Selain itu pasal 53 UU Pemilu Legislatif tersebut

juga menyatakan daftar bakal calon juga memuat sedikitnya 30%

keterwakilan perempuan.

Kemudian pasal 66 ayat 2 Nomor 10 Tahun 2008 juga menyebutkan KPU,

KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase

keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa

ceta harian dan elektronik nasional. Sementara di pasal 2 ayat 3 UU parpol

disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30%

keterwakilan Perempuan, dipasal 20 tentang kepengurusan parpol disebutkan

juga tentang penyusunan yang memperhatikan keterwakilan perempuan

paling rendah 30%. Dan pada DPRD Kota Bandar Lampung Dari Periode

2004-2009 dan Periode 2009-2014 Tabel 5 dan Tabel 6 yang mengalami

peningkatan dari 11% menjadi 13%.

C. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Menurut UU No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR,

DPR, DPD, dan DPRD adalah sebagai berikut:

a. Definisi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan lembaga legislatif daerah yang berkedudukan sejajar dan menjadi mitra


(27)

Pemerintah Daerah. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah mereka yang memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003.

b.Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah.

2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai unsur lembaga perwakilan daerah memiliki tanggung jawab yang sama dengan pemerintah daerah dalam membentuk peraturan daerah untuk kesejahteraan rakyat.

c. Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

1. Legislasi: Diwujudkan dalam membentuk peraturan daerah bersama-sama dengan kepala daerah

2. Anggaran: Diwujudkan dalam menyusun dan menetapkan APBD bersama pemerintah daerah

3. Pengawasan: Diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang, Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah dan Kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.

d.Tugas dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

1. Membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan kepala daerah untuk mencapai tujuan bersama

2. Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang diajukan oleh Walikota

3. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan kepala daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), kebijakan pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah

4. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah kepada Mentri Dalam Negeri Republik Indonesia melalui Gubernur

5. Memilih Wakil Walikota dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Walikota

6. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah

7. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah

8. Meminta laporan pertanggung jawaban Kepala Daerah dalam pelaksanaan tugas desentralisasi


(28)

20

9. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah

10.Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

11.Menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan pengawasan fungsional 12.Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam

ketentuan perundang-undangan.

D. Sikap

1. Pengertian Sikap

Menurut LL. Thurtone (Ahmadi 2002:163) Sikap adalah tingkatan

kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan

obyek psikologi. Objek psikologi disini meliputi : simbol, kata-kata,

slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya.

Seseorang dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu obyek psikologi

apabila ia suka (like) atau memiliki sikap yang favorable, sebaliknya orang

yang dikatakan memiliki sikap yang negatif terhadap suatu obyek

psikologi bila ia tidak suka (dislike) atau sikapnya unfavorable terhadap

obyek psikologi menurut Back, Kurt (1977), (Ahmadi 2002:3)

Zimbardo dan Ebbesen (Ahmadi 2002:163) mendefinisikan sikap adalah

suatu predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide

atau obyek yang berisi komponen-komponen cognitive, affective,


(29)

Sebagian besar para ahli dan peneliti setuju, sikap adalah predisposisi yang

dipelajari, mempengaruhi tingkah laku, berubah dalam hal intensitasnya,

biasanya konsisten sepanjang waktu dalam situasi yang sama, dan

komposisinya hampir selalu kompleks (Ahmadi, 2002:164)

Berdasarkan pengertian sikap yang dikemukakan oleh beberapa ahli di

atas, maka sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu

kecenderungan untuk memberikan tanggapan yang berupa kesiapan dari

perwujudan perasaan terhadap objek tertentu untuk dapat ditentukan yang

dimana hasilnya kearah kognitif, afektif, dan Perilaku. Sikap tersebut

merupakan hasil dari suatu respon yang dapat diukur terhadap objek

tertentu.

2. Ciri-ciri Sikap

Sikap menentukan jenis atau tabiat tingkah laku dalam hubungannya

dengan perangsang yang relevan, dapat dikatakan bahwa sikap merupakan

faktor internal, tetapi tidak semua faktor internal adalah sikap. Adapun

ciri-ciri sikap menurut Gerungan (2004:163) yaitu:

1. Sikap bukan dibawa orang sejak ia dilahirkan, melainkan dibentuk dan dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya.

2. Sikap itu dapat berubah-ubah, karena itu sikap dapat dipelajari orang, atau sebaliknya, sikap itu dapat dipelajari karena itu sikap dapat berubah-ubah pada orang-orang bila terdapat keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah berubahnya sikap pada orang itu.

3. sikap itu berdiri sendiri, akan tetapi senantiasa mengandung relasi tertentu terhadap suatu objek. Dengan kata lain sikap itu terbentuk,


(30)

22

dipelajari atau berubah senantiasa berkaitan dengan suatu objek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas.

4. Objek sikap dapat merupakan suatu hal tertentu, akan tetapi dapat merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut. Jadi sikap dapat berkaitan dengan satu objek saja tetapi juga berkaitan dengan sederetan objek yang serupa.

5. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sifat inilah yang membeda-bedakan sikap dari kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimilki orang.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa sikap itu dapat

berubah-ubah sesuai kondisi dan lingkungan sekitar. Atau dengan kata lain

dibentuk dalam proses yang berulang-ulang terhadap suatu objek tertentu.

3. Fungsi Sikap

Menurut Ahmadi (2002:179) fungsi sikap dapat dikelompokkan menjadi

empat kelompok, yaitu:

1. Sikap berfungsi sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Bahwa sikap adalah sesuatu yang bersifat communicable, artinya sesuatu yang mudah menjalar, sehingga mudah pula dimiliki bersama. Justru karena itu suatu golongan yang mendasarkan atas kepentingan bersama dan pengalaman bersama biasanya ditandai oleh adanya sikap anggotanya yang sama terhadap suatu objek.

2. Sikap berfungsi sebagai alat pengukur tingkah laku, bahwa tingkah laku timbul karena hasil pertimbangan-pertimbangan dari perangsang-perangsang yang tidak reaksi secara spontan, akan tetapi terdapat proses yang secara sadar untuk menilai perangsang-perangsang tersebut. Jadi antara perangsang-perangsang dan reaksi disisipkannya sesuatu yang berwujud pertimbangan-pertimbangan terhadap perangsang itu sebenarnya.

3. Sikap berfungsi sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa manusia dalam menerima pengalaman-pengalaman dari luar yang sikapnya tidak pasif, tetapi diterima secara aktif, artinya semua pengalaman yang berasal dari luar tidak sepenuhnya dilayani oleh manusia, tetapi manusia memilih mana-mana yang perlu dan tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman ini diberi penilaian, lalu dipilih.


(31)

4. Sikap politik berfungsi sebagai pernyataan pribadi. Sikap sering mencerminkan pribadi seseorang. Ini sebabnya bahwa sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu dengan melihat sikap-sikap pada objek-objek tertenttu, sedikit banyak orang dapat mengetahui pribadi orang tersebut. Jadi disimpulkan bahwa sikap merupakan pernyataan pribadi.

Fungsi sikap dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengukur sejauh

mana tingkah laku seseorang sebagai alat untuk menyesuaikan diri terhadap

fenomena atau objek tertentu yang diaktualisasikannya didalam

pengalaman-pengalaman pribadi sebagai cerminan dari dirinya.

4. Komponen Sikap

Dilihat dari strukturnya, sikap terdiri atas tiga komponen. Menurut L.

Mann yang dikutip oleh Azwar (2005:4-5), ketiga komponen sikap terdiri

dari:

1. Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seering kali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini), terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial.

2. Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional ini lah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan merubah sikap seseorang.

3. Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap suatu dengan cara-cara tertentu.


(32)

24

Selanjutnya Menurut Abu Ahmadi (2002 : 162) tiap sikap mempunyai 3

aspek yaitu:

a. Aspek Kognitif

Aspek kognitif yaitu aspek yang berhubungan dengan gejala mengenal pikiran. Ini berarti berwujud pengolahan, pengalaman dan keyakinan serta harapan-harapan individu tentang objek atau kelompok objek tertentu.

b. Aspek Afektif

Aspek afektif yaitu aspek yang berwujud proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipati dan sebagainya yang ditujukan kepada objek-objek tertentu.

c. Aspek Evaluatif

Aspek Evaluatif yaitu aspek yang berwujud proses tendensi atau kecenderungan untuk berbuat sesuatu objek, misalnya kecenderungan memberi pertolongan, menjauhkan diri dan sebagainya.

Berdasarkan penjelasan Komponen-komponen sikap tersebut, maka dapat

ditarik kesimpuloan bahwa sikap terdiri dari tiga komponen yaitu aspek

kognitif (pandangan/pengetahuan), aspek afektif (Perasaan), dan aspek

Evaluatif (Kecenderungan Berindak)

Selanjutnya sikap diartikan sebagai kesiapan merespon yang sifatnya positif,

negatif dan netral terhadap objek atau situasi secara konsisten. Adapun

definisi sikap oleh Abu Ahmadi (2002: 163) sikap positif, sikap negatif, dan

netral adalah:

1. Sikap positif adalah sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, meneima, mengakui, menyetujui serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.

2. Sikap negatif adalah sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.


(33)

3. Sikap netral adalah sikap masyarakat yang tidak menunjukkan sikap setuju atau menolak.

E. Sikap Politik DPRD mengenai Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif

Menurut Suwondo dalam Ahmad Tamimi (2004), sikap politik di artikan

oleh Gibson Ivancevich dan Donely, sebagai kesiagaan mental yang

diorganisir lewat pengalaman yang mempunyai pengaruh tertentu kepada

tanggapan seseorang terhadap orang lain. Objek, situasi yang berhubungan

dengannya, menurut ketiga ahli tersebut sikap mempunyai hubungan yang

erat dengan nilai dalam arti bahwa nilai-nilai dapat digunakan sebagai

suatu cara untuk mengeluarkan sejumlah sikap. Sikap, seseorang dapat

menyatukan perasaan setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang,

dan pola yang menentukan pandangan tentang dunia.

Sikap politik menurut Alfian (1982:134-135), sikap dan tingkah laku

politik adalah kecenderungan seseorang untuk bertindak (diam juga

merupakan sikap) terhadap situasi atau keadaan.

Sikap politik dapat dinyatakan sebagai “kesiapan untuk bereaksi terhadap objek tertentu yang bersifat politik, sebagai hasil penghayatan terhadap

objek tersebut”. Munculnya sikap politik tersebut akan diperkirakan perilaku politik apa yang sekiranya akan muncul. Akan tetapi, perilaku


(34)

26

politik juga tidak selamanya mewakili sikap politik seseorang

(Sastroatmodjo, 1995:4, 7).

Pelaksanaan suatu kebijakan harus didukung oleh masyarakat agar

kebijakan tersebut menjadi efektif. Ada tiga bentuk sikap individu atau

masyarakat terhadap suatu objek politik atau kebijakan. Menurut Anderson

dalam Irfan Islamy (2003:110-112) dan Robert Dahl dalam Arifin Rahman

(2002:53-54) mengungkapkan tiga bentuk sikap masyarakat terhadap suatu

kebijakan atau suatu objek politik yaitu:

1. Mendukung

Komponen ini menjelaskan subab-subab mengapa setiap anggota masyarakat perlu mengetahui dan melaksanakan suatu kebijakan atau mengapa masyarakat mendukung suatu kebijakan sehingga pelaksanaan suatu kebijakan dapat berjalan efektif meliputi:

Respek anggota masyarakat terhadap otoritas atau putusan-putusan badan pemerintah. Adanya keyakinan bahwa kebijakan itu dibuat secara sah, konstitusional dan dibuat oleh pejabat pemerintah yang berwenang serta dibuat melalui prosedur yang benar.

Bila suatu kebijakan itu dibuat berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka masyarakat cenderung mempunyai kesediaan diri untuk menerima dan melaksanakan kebijakan tersebut.

Adanya ketentuan pribadi. Seseorang atau sekelompok orang sering memperoleh keuntungan yang langsung dengan menerima dan melaksanakan kebijakan, karena kebijakan itu sesuai dengan kepentingan pribadinya.

2. Menolak

Komponen menjelaskan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan mengapa orang tidak mematuhi dan melaksanakan


(35)

suatu kebijakan atau mengapa masyarakat menolak suatu kebijakan yang dapat menghambat jalannya suatu kebijakan meliputi:

- Kebijakan yang bertentangan dengan sistem nilai masyarakat secara luas atau kelompok-kelompok tertentu, maka kebijakan tersebut tidak akan dilaksanakan atau dipatuhi.

- Keanggotaan seseorang dalam suatu perkumpulan atau kelompok Seseorang bisa patuh atau tidak patuh pada peraturan perundang-undangan atau kebijakan karena keterlibatannya dalam keanggotaan atau suatu perkumpulan yang kadang-kadang mempunyai ide-ide atau gagasan-gagasan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum atau keinginan pemerintah. Akibatnya akan cenderung tidak patuh atau melawan peraturan kebijakan. - Adanya ketidakpastian hukum

Tidak adana kepastian hukum, ketidakjelasan ukuran kebijakan yang saling bertentangan satu sama lain dan sebagainya, dapat menjadi sumber ketidakpatuhan orang kepada hukum atau kebijakan.

3. Netral

Pada komponen ini menjelaskan beberapa alasan yang menunjukkan sikap setuju atau menolak terhadap politik atau kebijakan meliputi:

- Orang merasa tidak melihat perbedaan yang tegas antara keadaan yang sebelumnya.

- Seseorang cenderung kurang perduli terhadap suatu kebijakan jika ia merasa bahwa tidak ada masalah terhadap hal yang dilakukan, karena ia tidak dapat mengubah hasilnya dengan jelas.

Sebagai salah satu fungsi DPRD yaitu melaksanakan pengawasan terhadap

undang-undang, dan berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun

2008 dan No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pemilu legislatf serta memberikan

mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam


(36)

28

Kemudian No.12 tahun 2003 pasal 65 tentang pemilu yang menyatakan

bahwa setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan DPRD

Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan

keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Seharusnya dalam

suatu lembaga legislatif terdapat keterwakilan 30% perempuan, akan tetapi

di dalam DPRD Kota Bandar Lampung tidak mencapai 30% hanya 13%.

Sikap politik anggota DPRD adalah kecenderungan anggota DPRD yang

mempunyai pengaruh tertentu dalam menilai objek dalam sistem politik.

Pada penelitian ini, peneliti mengkaji komponen sikap anggota DPRD

Kota Bandar Lampung dalam Keterwakilan Perempuan Minimal 30% di

Lembaga Legislatif DPRD Kota Bandar Lampung dimana komponen

menurut L. Mann yang dikutip oleh Azwar (2005: 4-5), ketiga komponen

sikap terdiri dari sikap politik tersebut terdiri atas kognitif, afektif dan

evaluatif.

Untuk melihat hasil dari sikap politik anggota DPRD Kota Bandar

Lampung apakah mendukung, menolak, netral, dan tindakan apa yang

akan mereka lakukan sebagai wakil rakyat di dalam DPRD Kota Bandar

Lampung serta wakil bagi partai mereka terhadap permasalahan

keterwakilan 30% perempuan di lembaga legislatif Kota Bandar Lampung


(37)

F. Kerangka Pikir

Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2008 dan UU No 10 Tahun 2008 serta

UU No.12 tahun 2003 pasal 65, keterwakilan 30% Perempuan didalam

DPRD Kota Bandar Lampung tidak memenuhi, karena dari 45 anggota

hanya terdapat 6 anggota DPRD perempuan yang hanya 13%

keterwakilannya. Sesuai dengan skripsi peneliti, peneliti ingin mengetahui

bagaimana sikap Anggota DPRD dalam permasalahn ini.

Sikap politik DPRD muncul setalah melihat, memahami dan menghayati

tentang bagaimana keterwakilan perempuan yang dianggap kaum marginal

dan minoritas yang dapat memperjuangkan perempuan tidak sampai 30%

didalam DPRD Kota Bandar lampung, dan hanya mencapai 13%. Sikap

tersebut merupakan per-disposisi atau kecenderungan bertindak

dikarenakan dari sudut pandang masyarakat yang pluralism atau juga dari

sudut pandang multi dimensi.

Sikap politik tersebut dibentuk dari tiga komponen Menurut Saifudin

Azwar dalam bukunya yang berjudul Sikap Manusia (2005:20) disebutkan

bahwa terdapat tiga respon mengenai sikap yaitu kognitif yaitu

pengetahuan anggota DPRD terhadap Keterwakilan Perempuan, afektif

yaitu perasaan anggota DPRD dan Evaluatif yaitu dasar sikap dan

penilaian terhadap Keterwakilan Perempuan serta tindakan yang

dilakukan. Berdasarkan tiga komponen tersebut menimbulkan sikap


(38)

30

mereka lakukan sebagai wakil rakyat di dalam DPRD Kota Bandar

Lampung serta wakil bagi partai mereka yang mempunyai peran dalam

keterwakilan perempuan di lembaga legislatif khususnya DPRD Kota


(39)

Adapun untuk memperjelas kerangka pikir dalam penelitian ini dapat

dilihat pada bagan kerangka pikir di bawah ini:

Sebagai Bentuk Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Menghasilkan Sikap

Gambar 1. Kerangka Pikir Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif DPRD

Kota Bandar Lampung

Sikap Anggota DPRD Kota Bandar Lampung

berdasarkan aspek : 1. Kognitif

2. Afektif 3. Evaluatif

Positif

 Mendukung Keterwakilan Perempuan

 Menerima

 Bagaimana Tindakannya?

Negatif

 Menolak

 Mengkristisi Keterwakilan Perempuan

 Bagaimana Tindakannya?

Netral

 Tidak Bersikap


(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menggambarkan mengenai

bagaimana Sikap Politik Anggota DRPD Terhadap Anggota DPRD

Perempuan di Lembaga Legislatif DPRD Kota Bandar Lampung, sehingga

tergolong pada penelitian dengan menggunakan penelitian deskriptif

pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (1999:42) mendefinisikan

kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang mengahasilkan data

deskriptif berupa kata-kata/lisan dari orang lain/perilaku yang dapat diamati.

Menurut Rooney Kuntur (2003:95) penelitian Deskriptif (Deskriptive

Reasearch) adalah penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas

suatu kejadian sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang

diteliti. Jenis penelitian deskrptif ini biasanya dilakukan terhadap satu variabel

yang diteliti dengan mencoba menguraikan serinci mungkin sesuai dengan

masalah penelitian yang diinginkan. Peneliti deskriptif dapat melibatkan lebih

dari satu variabel. Namun diuraikan satu persatu. Salah satu ciri yang


(41)

bagaimana satu variabel berhubungan dengan variabel yang lainnya atau

bagaimana satu variabel dipengaruhi variabel lain.

Sedangkan penelitian kualitatif menurut Ronny Kuntur (2003:18) adalah

penelitian yang datanya kualitatif, umumnya berbentuk narasi atau

gambar-gambar. Mungkin saja pada penelitian kualitatif ada data berupa angka-angka

tetapi sebenarnya angka-angka tersebut hanya menjelaskan sesuatu.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berusaha melihat

kebenaran-kebenaran atau membenarkan kebenaran-kebenaran, namun didalam melihat kebenaran-kebenaran

tersebut, tidak selalu dapat dan cukup didapat dengan melihat sesuatu yang

nyata, akan tetapi kadang kala perlu pula melihat sesuatu yang bersifat

tersembunyi, dan harus melacak lebih jauh kebalik sesuatu yang nyata

tersebut.

Penelitian kualitatif dalam proposal penelitian ini bertujuan untuk melihat

Sikap Politik Anggota DRPD Terhadap Anggota Perempuan di Lembaga

Legislatif DPRD Kota Bandar Lampung. Serta apa dan bagaimana langkah


(42)

34

B. Fokus Penelitian

Pentingnya fokus penelitian kualitatif ialah untuk membatasi studi dan bidang

kajian penelitian. Menurut Sugiyono (2006:233) batasan masalah dalam

penelitian kualitatif disebut dengan fokus yang berisi pokok masalah yang

masih bersifat umum. Tanpa adanya fokus penelitian, maka peneliti akan

terjebak pada melimpahnya volume data yang diperoleh di lapangan. Karena

itu fokus penelitian memiliki Sikap Politik yang sangat penting dalam

membimbing dan mengarahkan jalannya penelitian.

Fokus dalam penelitian ini adalah Sikap Politik Anggota DRPD Terhadap

Anggota DPRD Perempuan di Lembaga Legislatif DPRD Kota Bandar

Lampung, yang dimana keterwakilan Perempuan dari 45 anggota DPRD

terdapat 6 Anggota Perempuan sedangkan berdasarkan UU Nomor 2 Tahun

2008 dan UU No 10 Tahun 2008 keterwakilan perempuan di lembaga

legislatif adalah 30%. Untuk Menilai sikap politik digunakan tiga aspek yaitu

Kognitif (Pandangan/pengetahuan tentang suatu masalah), afektif (Perasaan),

dan Evaluatif (Kecenderungan dalam melakukan tindakan), sehingga dapat

diketahui Sikap Anggota DRPD Kota Bandar Lampung dalam Menanggapi


(43)

Adapun sikap Tersebut terbagi tiga yaitu Positif (Mendukung Keterwakilan

Perempuan di Lembaga Legislatif dan Bagaimana tindakannya mengenai

Keterwakilan Perempuan tersebut), Negatif (Menolak, mengkritisi

Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif Bagaimana tindakannya

mengenai Keterwakilan Perempuan tersebut), netral (Tidak Bersikap)

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan didalam Lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat

(DPRD) Kota Bandar Lampung, Kota Bandar Lampung dipilih menjadi lokasi

penelitian dengan alasan berdasarkan UU No.2 Tahun 2008 dan No.10 Tahun

2008 serta No.12 tahun 2003 pasal 65, tentang keterwakilan 30% perempuan,

DPRD Kota Bandar Lampung tidak memenuhi 30% keterwakilan perempuan,

karena dari 45 anggota hanya terdapat 6 anggota DPRD perempuan, oleh

karena itu hanya 13% keterwakilan perempuannya.

D. Penentuan Informan

Sumber data merupakan hal yang sangat penting untuk mendapatkan hasil

penelitian. Sumber data yang diperoleh dari penelitian ini merupakan data

primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang baru diperoleh

melalui wawancara dengan penentuan informan berdasarkan teknik purposive


(44)

36

Teknik penentuan informan dilakukan secara purposive sampling. Berkaitan

dengan teknik purposive sampling, menurut Spreadley dan Faisal (1990: 67)

teknik pengambilan sampel purposive adalah sampel ditetapkan secara

sengaja oleh peneliti, dalam hubungan ini lazimnya dinyatakan atas

kriteria-kriteria atau pertimbangan-pertimbangan tertentu, jadi tidak melalui proses

pemilihan sebagaimana yang dilakukan dalam teknik random.

Selanjutnya, Spreadley dan Faisal (1990) mengungkapkan, agar memperoleh

informasi yang lebih terbukti berdasarkan informan, terdapat beberapa

kriteria yang perlu dipertimbangkan:

1. Subjek yang lama dan intensif dengan suatu kegiatan atau aktivitas yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian;

2. Subjek yang masih terkait secara penuh dan aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian;

3. Subjek yang mempunyai cukup banyak informasi, banyak waktu, dan kesempatan untuk dimintai keterangan;

4. Subjek yang berada atau tinggal pada sasaran yang mendapat perlakuan yang mengetahui kejadian tersebut

Menurut Sugiyono (2009:52), sumber informasi yang dipilih secara purposive

sampling adalah :

“Sebagai sampel sumber data yang ditetapkan secara sengaja untuk

peneliti lazimnya didasarkan atas kreteria atau pertimbangan-pertimbangan. Penggunaan purposive sampling bertujuan untuk mengambil sampel secara subyektif dengan anggapan bahwa sampel yang diambil itu merupakan keterwakilan (representatif) bagi peneliti, sehingga pengumpulan data yang langsung pada sumbernya dapat dilakukan secara proporsional demi keakuratan penelitian”.


(45)

Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian iniadalah anggota DPRD

Kota Bandar Lampung berdasarkan masing-masing fraksinya, serta

menggunakan Trianggulasi data yang menggunakan tokoh-tokoh lain baik itu

wanita ataupun pria yang berhubungan dengan keterwakilan Perempuan di

Lembaga Legislatif

E. Sumber Data

Menurut Loftland (1984:47) sumber data yang utama pada penelitian kualitatif

ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti sumber daa

tertulis. Adapun sember data dalam penelitian ini adalah :

1. Data primer

Data primer yang digunakan adalah yang berasal dari hasil wawancara. Sumber

data yang dapat ditulis ataua direkam. Wawancara akan dilakukan kepada

informan yang telah ditentukan dengan menggunakan panduan wawancara

mengenai Sikap Politik Anggota DRPD Terhadap Keterwakilan 30%

Perempuan di Lembaga Legislatif DPRD Kota Bandar Lampung.

Teknik pemilihan individu (seseorang) yang akan diwawancarai dilakukan

secara purposive. Alasan memakai teknik purposive disebabkan oleh

bentuk dan cirri penelitian itu sendiri yaitu untuk mendapatkan


(46)

38

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada.

Data sekunder ini digunakan sebagai pendukung guna mencari fakta yang

sebenarnya. Data sekunder juga diperlukan untuk melengkapi informasu dalam

rangka mencocokan data yang diperoleh. Sumber data sekunder yang akan

digunakan antara lain berita surat kabar, website, dokumen-dokumen, artikel,

jurnal,dan referensi-referensi.

F. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang benar dan akurat sehingga mampu menjawab

permaslahan penelitian. Maka teknik pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah:

1. Wawancara Mendalam (in-depth interview)

Secara sederhana wawancara diartikan sebagai alat pengumpulan data

dengan menggunakan Tanya Jawab antara Pencari Informasi dan sumber

Informasi. Seperti diungkap Hadari Nawawi (2001:111) yaitu:

”wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan lisan, untuk menjawab secara lisan pula. Ciri utama wawancara adalah langsung dengan tatap muka (face to face relationship) antara si pencari informasi (interview/interview hunter) dengan sumber informasi (interviewe)”

Berdasarkan definsi diatas, maka informan yang direncakan pada

penelitian ini dimungkinkan kepada Anggota DPRD Kota Bandar


(47)

2. Dokumentasi

Menurut Hadari Namawi (2001:111) Dokumen yang berupa tulisan

ataupun film bagi peneliti dapat digunakan untuk diproses (Melalui

Pencatatan, pengetikan, atau alat tulis), tetapi kualitas tetap menggunakan

kata-kata, yang biasanya disusun kedalam teks yang diperluas.

Teknik dokumentasi pada penelitian ini dengan cara mengumpulkan data

melalui peninggalan tertulis. Terutama berupa surat kabar, website,

perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah penelitian.

G. Instrument Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data yang dipergunakan dalm penelitian ini adalah:

1. Pedoman Wawancara

Dalam penelitian ini dipergunakan daftar pertanyaan yang telah dibuat

sebelumnya dan digunakan untuk mewawancarai pihak-pihak yang terkait

dengan penelitian ini. Penulis juga menggunakan alat tulis menulis dan

tape recorder dalam penelitian

2. Pedoman Dokumentasi

Dokumentasi berupa dokumen-dokumen yang ada ditempat penelitian dan

berupa data-data yang dapat djadikan sebagai sumber data dalam

penelitian. Penulis menggunakan alat tulis dan fotokopi dokumen untuk


(48)

40

H. Teknik Pengolahan Data

Setelah data diperoleh dari lapangan terkumpul maka tahap berikutnya ialah

mengolah data tersebut. Adapung teknik yang digunakan dalam pengolahan

data sebagaimana yang disebutkan LexyJ. Moleong (2006:38) adalah:

1. Editing

Yaitu teknik mengolah data dengan cara meneliti kembali data yang telah diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi maupun dokumentasi untuk menghindari kekliruan dan kesalahan. Tahap editing yang aka dilakukan oleh penulis dalam penelitian ini menyajikan hasil wawancara dan observasi berupa kalimat-kalimat yang kurang baku disajikan dengan menggunakan kalimat baku dan bahasa yang mudah dipahami.

2. Interprestasi

Interprestasi merupakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan. Pembahasan hasil penelitian dilakukan dengan cara meninjau hasil penelitian secara kritis dengan teori yang relevan dan informasi yang akurat yang diperoleh dilapangan.

I. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif yaitu suatu

penelitian yang bertujuan untuk membuat deskriptif, gambaran atau lukisan

secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta

hubungan antar fenomena yang diselidiki. Fenomena yang diteliti secara

deskriptif tersebut dicari informasi mengenai hal-hal yang dianggap

mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian. Menurut Purwanto dan

Sulistyastuti (2007:93) analisis data merupakan proses manipulasi data hasil

penelitian/proses menyederhanakan data kedalam bentuk yang lebih mudah


(49)

Menurut Matew Miles dan Huberman (1992:16) terdapat tiga komponen

analisi yaitu:

1. Reduksi Data

Yaitu sebagai proses pemilihan, pemusatan pada penyederhanaan,

pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan yang tertulis dilapangan. Reduksi data yang dilakukan penulis

dalam penelitian ini adalah analisis yang menajam, menggolongkan,

mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data

mengenai hasil tentang Sikap Politik Anggota DRPD Terhadap

Keterwakilan 30% Perempuan di Lembaga Legislatif dengan cara

sedemikian hingga kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi.

Reduksi data sesudah penelitian dilapangan, sampai laporan akhir lengkap

tersusun. Pada pengumpulan data terjadilah tahapan reduksi selanjutnya

yaitu membuat ringkasan mengenai penelitian ini. Reduksi data sebagai

proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian di lapangan.

2. Penyajian Data (Display Data)

Menurut Matew Miles dan Huberman (1992:16) membatasi suatu

penyajian data sebagai sekumpulan informasi yang tersusun untuk member

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

Penyajian-penyajian yang lebih baik merupakan suatu cara yang utama

bagi analisis kualitatif yang valid. Penyajian yang paling sering digunakan

adalah pada data kualitatif adalah bentuk teks naratif, berbagai jenis


(50)

42

informasi yang tersusun dalam bentuk padu dan mudah diraih. Dalam

penelitian ini penyajian data yang akan digunakan adalah bentuk teks

naratif yang disertai bagan dan table yang isinya berkaitan dengan

penelitian ini tentunya.

3. Penarikan Kesimpulan (Verifikasi)

Berdasarkan permulaan pengumpulan data, penganalisis kualitatif mulai

mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola kejelasan,

konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan prposisi.

Peneliti yang kompeten akan menangani kesimpulan-kesimpulan itu

dengan longgar, tetap terbuka, dan skeptik, tetapi kesimpulan sudah

disediakan, mula-mula belum jelas, kemudian lebih rinci dan mengakar

dengan kokoh. Kesimpulan akhir mungkin muncul sampai pengumpulan

data berakhir, tergantung pada kesimpulan-kesimpulan catatan lapangan,

pengkodean, penyimpanan, metode pencarian ulang yang digunakan dan


(51)

IV. KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF DPRD KOTA BANDAR LAMPUNG

A. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandar Lampung

Komposisi Anggota DPRD Kota Bandar Lampung penetepan kursi DPRD

Kota Bandar Lampung dari hasil legislatif tahun 2009 DPRD Kota Bandar

Lampung, terdapat 10 Partai politik peserta pemilih yang memenuhi

perolehan wakil-wakil di DPRD Kota Bandar Lampung dalam dapil 5 (Lima)

dari 10 partai tersebut adalah:

1. Fraksi Demokrat : 10 Orang 2. Fraksi Golkar : 8 Orang 3. Fraksi PKS : 5 Orang 4. Fraksi PDIP : 5 Orang 5. Fraksi PAN : 5 Orang 6. Fraksi PPP : 4 Orang 7. Fraksi Geindra : 4 Orang 8. Fraksi Kebangkitan Nurani Rakyat : 4 Orang 45 Orang

Terdiri dari PKB 2 Orang, Hanura 2 Orang, PNBK 1 Orang, sehingga 45


(52)

44

Fraksi - fraksi:

Tugas fraksi berdasarkan perolehan DPRD Kota Bandar Lampung Nomor:

01/ DPRD B L /

2012: tentang tata tertib penetepan dan susunan perolehan Fraksi - fraksi

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandar Lampung.

Berdasarkan perwakilan DPRD Kota Bandar Lampung Nomor: 01/ DPRD -

BL I 2012' ada beberapa Fraksi – fraksi.

1. Fraksi Demokrat:

Ketua : Hi. FERRY FRISAL PARINUSA, SH Wakil Ketua : ENDANG ASNAWI

Sekretaris : SEPTRIO FRIZO, S.A SE Wakil Sekretaris : HENDRA MUKRI

Bendahara : ERNITA, SH.MH 2. Fraksi Golkar:

Ketua : MW. HERU SAMBODO, ST.MH Wakil Ketua : Hi. SOWONDO

Sekretaris : BENSON WEATHA, SH Wakil Sekretaris : HJ. MINTARSIH YUSUF Bendahara : ROMI HUSIN, SToiP2 3. Fraksi PAN:

Ketua : WAHYU LESMONO, SE Wakil Ketua : SURYA JAYA AMPERA, SE Sekretaris : HAMRIN SUGANDI, SH.MH Wakil Sekretaris : MUSWIR, A.md

Bendahara : ARIANTO. SH. M.Si 4. Fraksi PDIP:

Ketua : WIYADI, SP

Wakil Ketua : HANAFI PULI.ING

Sekretaris : HAMONANGAN NAPITUPULU Wakil Sekretaris : Drs. YOSE RIZAL

Bendahara : KOSTIANA. SE

5. Fraksi PPP:

Ketua : NUR SYAMSI, ST Wakil Ketua : MUSABAQAH, A.md

Sekretaris : Hi. ALBERT ALAM, S'Pd' M.Pd Wakil Sekretaris : HENDRIK KISINJER, S.KOM


(53)

6. Fraksi PKS:

Ketua : YUSUF EFE,NDI, SE

Wakil Ketua : HENDRIE KURNIAWAN, SE Sekretaris : NANDANG HENDRAWAN, SE Wakil Sekretaris : FAHMI SASMITA, SPN

Bendahara : WIDARTO

7. Fraksi Gerindra:

Ketua : IKWAN FADIL IBRAHIM, ST Wakil Ketua : M. BASIRI AFANDI, SE Sekretaris : SAINI NURJAYA, SE

Bendahara : M. JIMMI KHOEINI ERCHMAN, SH

8. Fraksi KNRI:

Ketua : IR. HJ. RATNA HAPSARI B, MM Wakil Ketua : E,FFENDI TASLIN, SE

Sekretaris : TAUFIK RAHMAN, S.Ag Bendahara : YASER AHCMAD, S.SOS

Dinamika DPRD:

Dalam perkembangan DPRD Kota Bandar Lampung, sesuai dengan

keputusan Mentri Dalam Negeri melalui Gubemur Lampung Nomor: G / 528

/HK / 2009. Tentang Kota Bandar Lampung massa keanggotaan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandar Lampung massa keanggotaan 2009 -

20I4. Peresmian Anggota DPRD Kota Bandar Lampung hasil pemilu

Legislatif tahun 2009.

pada tanggal 18 AgJstus 2009 dalam massa nya Anggoia Dewan 209 -2014.

Dengan komposisi sebagai berikut:

1. Pimpinan DPRD

2. Komisi-komisi

3. Badan Anggaran

4. Badan Musyawarah


(54)

46

1. Alat Kelengkapan DPRD

a. Pimpinan DPRD

Pimpinan DPRD menurut Pasal 53 Keputusan DPRD Kota Bandar

Lampung Nomor 4 Tahun 2004 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Kota

Bandar Lampungmempunyai tugas:

1. Memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasikl sidang untuk mengambil keputusan.

2. Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua.

3. Menjadi juru bicara DPRD.

4. Melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPRD.

5. Mengadakan konsultasi kepada Walikotadan instansi pemerintah lainnya sesuai dengan keputusan DPRD.

6. Mewakili DPRD dan alat kelengkapan DPRD di pengadilan.

7. Melaksanakan keputusan DPRD berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan keputusan perundang-undangan.

b. Panitia Musyawarah

Panitia musyawarah merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat

tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan

DPRD. Menurut Pasal 56 Keputusan DPRD Kota Bandar Lampung

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Kota Bandar

Lampung dijelaskan bahwa Panitia Musyawarah mempunyai tugas:

1. Memberikan pertimbangan tentang penetapan progran kerja DPRD diminta atau tidak diminta.

2. Menetapkan kegiatan dan jadwal acara rapat DPRD.

3. Memutuskan pilihan mengenai isi risalah rapat apabila timbul perbedaan pendapat.

4. Memberi saran pendapat untuk memperlancar kegiatan. 5. Merekomendasikan pembentukan panitia khusus.


(55)

Setiap Panitia Musyawarah wajib:

a. Mengadakan konsultasi dengan fraksi-fraksi sebelum mengikuti rapat Panitia Musyawarah.

b. Menyampaikan pokok-pokok hasil rapat Panitia Musyawarah kepada fraksi.

c. Komisi

Komisi merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan

dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD. Pasal

59 Keputusan DPRD Kota Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Peraturan Tata Tertib DPRD Kota Bandar Lampung menjelaskan bahwa

Komisi mempunyai tugas:

1. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Daerah.

2. Melakukan pembahasan terhadap rancangan peeraturan daerah dan rancangan keputusan DPRD.

3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan sesuai dengan bidang komisi masing-masing.

4. Membantu pimpinan DPRD untuk mengupayakan penyelesaian masalah yang disampaikan oleh kepala daerah dan masyarakat kepada DPRD.

5. Menerima, menampung dsn membahas serta menindak lanjuti aspirasi masyarakat.

6. Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. 7. Melakukan kunjungan kerja Komisi yang bersangkutan atas

persetujuan Pimpinan DPRD.

8. Mengadakan rapat kerja dan dengar pendapatan.

9. Mengajukan usul kepada Pimpinan DPRD yang termasuk dalam ruang lingkup bidang tugas masing-masing Komisi.

10. Memberikan laporan tertulis kepada Pimpinan DPRD tentang hasil pelaksanaan tugas Komisi.


(56)

48

Struktur Komisi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandar

Lampung periode 2011-2012.

Tabel.6

Daftar Nama Anggota Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandar Lampung

No. NAMA JABATAN

1 Wiyadi, SP Ketua

2 Benson Wertha, SH Wakil Ketua

3 Hi. Ferry Frizal Parinnusa, SH Sekretaris

4 Drs. Zulkismir Anggota

5 M. Jimmy Khoimeni Irsan, SH. MM Anggota

6 Romi Husin, SH Aanggota

7 H. Arianto, SH. M.Si Anggota

8 Efendi Taslim, SE. MM Anggota

9 Nursyamsi, ST Anggota

10 Yusuf Effendy, SE Anggota


(57)

Tabel.7

Daftar Nama Anggota Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandar Lampung

No NAMA JABATAN

1 Endang Asnawi Ketua

2 Surya Jaya Ampera, SE Wakil Ketua

3 Hi. Benny HN Mansyur, S.Sos Sekretaris

4 Ir. RM. Ayub Sulaiman Anggota

5 Hendra Mukri, S.Sos Anggota

6 Dra. Hj. Mintarsih Yusuf Anggota

7 Windarto, SE Anggota

8 Hamonangan Napitupulu Anggota

9 M. Basiri Affandi, SE Anggota

10 Hi. Yasser Achmad, S.Sos Anggota

11 Musabakah, A.Md Anggota


(58)

50

Tabel.8

Daftar Nama Anggota Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandar Lampung

No NAMA JABATAN

1 Hi. Berlian Mansyur, A.Md Ketua

2 Handrie Kurniawan, SE Wakil Ketua

3 Septrio Frizo, SA. SE Sekretaris

4 H. Agusman Arif, SE, MM Anggota

5 Drs. Hi. Suwondo, M.Pd Anggota

6 Hanafi Pulung Anggota

7 Hamrin Sugandi, SE, MM Anggota

8 Wahyu Lesmono, SE Anggota

9 Ir. Hj. Ratna H. Barusman, MM,. MH Anggota

10 Sainin Nurjaya Anggota

11 Hendri Kisinjer, S.I.Kom Anggota


(59)

Tabel.9

Daftar Nama Anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandar Lampung

No NAMA JABATAN

1 Nandang Hendrawan, SE Ketua

2 Hi. Albert Alam, S.Pd. M.Pd Wakil Ketua

3 Ikhwan Fadhil Ibrahim, SH Sekretaris

4 Dra. Hj. Syarifah Anggota

5 Muswir, A.Md Anggota

6 Ernita, SH. MH Anggota

7 Kostiana, SE Anggota

8 Hj. Dolly Sandra, SP Anggota

9 Taufik Rahman, S.Ag Anggota

Sumber: Bagian Persidangan DPRD Kota Bandar Lampung

Bidang tugas komisi-komisi dalam DPRD Kota Bandar Lampung terdiri

dari:

1. Komisi A, bidang pemerintahan meliputi pemerintahan umum, ketertiban

dan keamanan, kependudukan, komunikasi/pers,

hukum/perundang-undangan, perizinan, pertanahan, kepegawaian/aparatur, sosial, politik,

KPU, Kantor Arsip Daerah dan Organisasi Masyarakat.

2. Komisi B, bidang perekonomian dan keuangan meliputi perindustrian,

perdagangan, pertanian, perikanan, kelautan, peternakan, perkebunan,


(60)

52

dan penanaman modal, keuangan daerah, asset daerah, perpajakan,

retribusi, perbankan, perusahaan daerah dan perusahaan patungan.

3. Komisi C, bidang pembangunan meliputi pekerjaan umum, pemetaan,

penataan dan pengawasan kota, pertamanan, kebersihan, perhubungan,

pertambangan dan energi, perumahan rakyat dan lingkungan hidup.

4. Komisi D, bidang kesejahteraan rakyat meliputi ketenagakerjaan,

pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepemudaan dan olahraga,

agama, kebudayaan, sosial, kesehatandan keluarga berencana, peranan

wanita, transmigrasi, museum dan cagar budaya.

d. Badan Kehormatan

Badan kehormatan merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap

dan dibentuk oleh DPRD dalam Rapat Paripurna DPRD. Menurut Pasal 61

Keputusan DPRD Kota Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Peraturan Tata Tertib DPRD Kota Bandar Lampung, Badan Kehormatan

mempunyai tugas:

1. Mengamati, mengevaluasi disiplin, etika dan moral para anggota DPRD

dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan sesuai dengan kode

etik DPRD.

2. Meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD terhadap

peraturan tata tertib dan kode etik DPRD sesuai sumpah/janji.

3. Melakukan penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi atas pengaduan


(61)

4. Menyampaikan hasil kesimpulan atas penyelidikan, verifikasi dan

klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sebagai rekomendasi

untuk ditindak lanjuti oleh DPRD.

5. Menyampaikan rekomendasi kepada pimpinan DPRD berupa

rehabilitasi nama baik apabilakemudian dinyatakan tidak terbukti

adanya pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD atas pengaduan

pimpinan DPRD, masyarakat dan atau pemilih sbagaimana dimaksud

pada ayat (3).

Menurut pasal 61 Keputusan DPRD Kota Bandar Lampung Nomor 4

Tahun 2004 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Kota Bandar Lampung

dijelaskan bahwa untuk melaksanakan tugasnya, Badan Kehormatan

berwenang:

1. Memanggil anggota yang bersangkutan untuk memberikan penjelasan

dan pembelaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan.

2. Meminta keterangan pelapor, saksi dan atau pehak-pihak lain yang

terkait termasuk untuk meminta dokumen atau bukti lain.

3. Menjalin kerjasama dan atau meminta keterangan dari badan/lembaga


(1)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap politik anggota DPRD Kota Bandar Lampung terhadap Anggota DPRD perempuan di lembaga legislatif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis kepada 7 anggota DPRD Kota Bandar Lampung dapat ditarik kesimpulan bahwa Dilihat dari tiga aspek yaitu kognitif, afektif, dan evaluatif.

Aspek kognitif, para informan mengetahui mengenai sikap politik anggota DPRD Kota Bandar Lampung terhadap Anggota DPRD perempuan di lembaga legislatif. Aspek afektif, para informan mempunyai sikap rata-rata tidak peduli terhadap isu-isu negatif dalam keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Aspek evaluatif, para informan mempunyai penilaian yang baik dengan apa yang dilakukannya sebagai anggota DPRD yang berasal dari partai agar dapat meningkatkan keterwakilan perempuan, dan dengan apa yang dilakukan partai politiknya yang mempunyai andil dalam meningkatkan keterwakilan perempuan.


(2)

105

Anggota DPRD mendukung keterwakilan perempuan, karena keterwakilan perempuan dianggap sangat penting untuk memperjuangkan hak kaum perempuan tersebut, hal yang telah dilakukan anggota DPRD baik itu anggota DPRD laki-laki ataupun perempuan untuk mendukung keterwakilan perempuan adalah dengan cara memaksimalkan peranan perempuan di legislatif melakukan sosialisasi. Serta pengarahan terhadap masyarakat mengenai pentingnya keterwakilan perempuan dalam memperjuangkan kepentingan yang berhubungan dengan perempuan melalui wadah sebagai anggota DPRD dan sebagai wakil dari partai.

Anggota DPRD Perempuan mengatakan dengan lebih banyaknya Keterwakilan lebih baik, karena lebih banyak pilihan dan dukungan karena ada hal-hal tertentu yang hanya dapat dimengerti oleh perempuan yang apabila banyak terwakili akan semakin bagus. Walaupun memang dari standar yang ditentukan masih jauh bahkan belum sampai separuhnya. Hasil dari dukungan anggota DPRD perempuan salah satunya yaitu mendukung dalam kebijakan program kesehatan bagi ibu melahirkan, pengobatan dan imunisasi di berbagai puskesmas Kota Bandar Lampung.

Bentuk penolakan yang dilakukan anggota DPRD Kota Bandar Lampung Berlian Mansur meruapakan indikasi bahwa sebagian masyarakat beranggapan bahwa perempuan masih memiliki keterbatasan, dikarenakan kewajiban dia sebagai Ibu rumah tangga dalam keluarga, serta kultur budaya didalam masyarakat. Salah satu informan anggota DPRD menolak adanya


(3)

106

keterwakilan perempuan di lembaga legislatif dikarenakan keterbatasan pada perempuan itu sendiri.

B. Saran

Berdasarkan simpulan di atas, peneliti menyarankan anggota DPRD dapat lebih memaksimalkan upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, bukan hanya melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya keterwakilan perempuan untuk memperjuangkan kaum perempuan melalui wadah sebagai anggota DPRD dan sebagai wakil dari partai. Sebagai wakil dari patai anggota DPRD diharapkan mampu melakukan suatu kegiatan partai yang berhubungan penyuluhan mengenai keterwakilan perempuan, serta pemgembangan sumber daya perempuan di masyarakat untuk menciptakan sumber daya perempuan yang lebih baik, dan di masa yang akan datang dapat meningkatkan keterwakilan perempuan yang dapat memperjuangkan kepentingan perempuan itu sendiri.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Ahmadi, Abu. 2002. Psikologi Sosial. Rineka Cipta. Jakarta.

Alfian. 1982. Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia. L3PS. Jakarta. Azwar, Saifiuddin. 2005. Sikap Manusia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Bogdan dan Taylor, 1999. Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah.

Aditya, Bandung

____ . DR. 1999. Analisis Gendaer dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar

____ . DR. 2004. Analisis Gendaer dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar

Gerungan. 2004. Psikologi Sosial. Refika Aditama. Bandung.

Hafidz, Liza. 1995. Perempuan Dalam Wacana Politik Orde Baru. LP3ES. Jakarta

Islamy, Irfan. 2003. Prinsip-prinsip Perumusan kebijakan Negara. PT Bumi Aksara. Jakarta.

Loftland dan Loftland, 1984. Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Bima Aksara. Jakarta

Lovenduski, Joni, dan Norris, Pippa.1993. Gender dan Politik. Sage Publication Miles, Matthew dan A. Michael Huberman. 1992. Analisa Data Kualitatif Buku

Sumber Tentang Metode-Metode Baru. UI Press. Jakarta.

Moelong, Lexy J. 2006. Metodelogi Penelitian Kualitatif:edisi revisi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.


(5)

Nawawi, Hadari, 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajah Mada University press, Yogyakarta

Qasim Jafar, Anis. 1998. Pengantar Teknik Analisa Gender.Jakarta Rahman, Arifin. 2002. Sistem Politik Indonesia. SIC. Surabaya. Ronny Kuntur. 2003. Metodelogi Penelitian. PPM. Jakarta

Sai’idah, Najmah dan Husnul Khotimah. 2003. Revisi Politik Perempuan. Bogor: Idea Pustaka.

Sastroatmodjo, Soejono. 1995. Perilaku Politik. IKIP Semarang Press. Semarang. Sparadley dan Faisal. 1990. Format-Format Penelitian Sosial. PT Rajawali

Perss. Jakarta

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kualitatif R dan D. Alfabeta. Bandung. . 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. R&D. Bandung.

Tamimi, Ahmad. 2004. Sikap Politik Pengurus PAN Terhadap Wawasan


(6)

Sumber Lain :

UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Partai Politik

UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD

UU No 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Perempuan

UU No.18 Tahun 1956 Tentang Hak-hak Politik Perempuan

http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme http://ml.scribd.com/doc/79192419/Feminism

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23854/4/Chapter%20II.pdf

http://menegpp.go.id/V2/index.php/datadaninformasi/politik-hukum-a- pengambilan-keputusan?download=27%3Aketerwakilan-perempuan-di-lembaga-legislatif