PENDAHULUAN Sikap Politik Calon Legislatif Perempuan Nomor Urut Satu Terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.22 & 24/PUU-VI/2008 (Studi Pada Calon Legislatif Perempuan DPRD Kota Medan) Tentang Suara Terbanyak.

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah Kaum perempuan selalu menjadi objek pembicaraan, terutama pada masa yang berdekatan dengan dilaksanakannya pemilihan umum pemilu. Pada dasarnya pemilihan umum memang merupakan salah satu sarana utama untuk menegakkan tatanan politik yang demokratis, sehingga nantinya laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kebebasan dalam menentukan hak pilihnya, yang pada hakekatnya hubungan dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan haruslah sama, seimbang dan setara. Pergerakan dan perjuangan wanita Indonesia secara nyata lahir bersama-sama dengan dikobarkannya semangat nasional oleh pemimpin-pemimpin nasional pada saat dikumandangkan “Sumpah Pemuda” di seluruh tanah air pada tahun 1928. Semenjak saat itulah berbagai perkumpulan dan organisasi berdiri yang dilandasi oleh kesadaran bahwa kaum wanita sanggup dan mampu ikut mengatur masyarakat. Adapun kesadaran perempuan tersebut akan memberikan dampak besar dalam mendorong kepada keadilan dan keharmonisan hidup bersama dengan laki-laki. Jatuhnya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998 memberi harapan baru bagi terjadinya reformasi yang menyeluruh dalam sistem politik, pemerintahan, ekonomi, dan sosial. 1 1 Dr. Muhadjir M. Darwin, Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Wacana, 2005, hal.52 Pada masa reformasi, banyak dilihat suatu perubahan-perubahan yang signifikan meskipun dalam hal ini partisipasi perempuan pada saat itu dalam kancah politik belum optimal. Perempuan pada tatanan politik di masa itu mulai berkembang, dimana Universitas Sumatera Utara perempuan yang sebelumnya hanya sekedar menjadi pemilih, tetapi kemudian perempuan berkembang menjadi memilih dan dipilih. Perkembangan tersebut membawa pengaruh besar bagi kaum perempuan, ini dipengaruhi berbagai hal yang diantaranya adalah meningkatnya kesadaran perempuan terhadap keterlibatannya dalam bidang politik, bersamaan dengan timbulnya kesadaran akan kekurangan pengetahuannya tentang politik. Sehingga dengan adanya perkembangan tersebut, kaum perempuan dapat semakin meningkatkan kesadaran akan haknya untuk berpolitik, dan tidak hanya sebagai pemilih yang pasif, namun dapat menunjukkan kiprahnya bahwa berpolitik adalah bagian hak azasi yang harus direbut untuk menentukan masa depan kaum perempuan itu sendiri. Melihat fakta-fakta yang muncul tersebut maka isu kuota untuk perempuan dapat diwujudkan. Dengan demikian pada tahun 2003, Undang-undang No.12 pasal 65 ayat 1 tentang pemilu mengenai kuota perempuan disahkan, yang menyatakan bahwa “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD KabupatenKota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30”. Ini merupakan langkah awal perjuangan politik perempuan yang mendapat dukungan formal untuk berkiprah di bidang politik. Adapun kuota perempuan diterapkan dengan alasan yaitu kuota perempuan bukan diskriminasi tetapi memberikan kompensasi atas hambatan-hambatan aktual yang mencegah perempuan dan keterlibatannya secara adil dalam posisi politik, selain itu perempuan mempunyai hak representasi yang setara, dan juga pengalaman perempuan diperlukan dalam kehidupan politik. 2 Dengan demikian, meskipun telah ada peraturan perundangan yang memandatkan kuota 30 dalam parlemen, itu tidak menjamin peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik. Selain itu, dalam kenyataannya pemenuhan kuota tersebut bukanlah suatu 2 Harmona Daulay, Perempuan dalam Kemelut Gender, Medan: USU Press, 2007, hal.37 Universitas Sumatera Utara hal yang mudah. Meskipun ketentuan yang ada sifatnya mensyaratkan, itu hanya disertai sanksi moral dan bukan sanksi yang tegas yang dapat mendesak pemenuhan kuota tersebut. Dalam bidang politik, hal ini dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di panggung politik dan lembaga-lembaga politik formal jumlahnya masih sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki. Dunia politik selalu diasosiasikan dengan ranah publik yang relatif dekat dengan laki-laki, mengingat kehidupan sosial tidak bisa dipisahkan dari akar budayanya dimana mayoritas masyarakat di dunia masih kental dengan ideologi patriarki. Dalam konteks budaya semacam ini dominasi laki-laki atas berbagai peran di masyarakat dan di ranah publik tidak terelakkan. 3 Adapun dalam UU No.12 tahun 2008 pasal 65 ayat 1 tentang pemilu belum menyentuh substansi ideal sebagai pranata hukum sebagaimana yang diharapkan, karena sifatnya yang masih berupa “himbauan”, dimana pernyataan tersebut “tidak” atau “belum” memberlakukan sanksi pada partai politik atas gagalnya Tetapi bukan hanya kaum lelaki saja yang bisa bergelut dalamnya, pada zaman modern ini juga sudah banyak perempuan yang ikut bergelut di bidang politik, namun partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan publik dan keterwakilan dalam lembaga pengambilan keputusan masih sangat rendah, termasuk dalam lembaga kemasyarakatan dan birokrasi, dengan alasan perempuan disini sering dianggap sebagai kaum yang lemah dan tidak sepatutnya bergelut dengan dunia politik yang penuh dengan kekerasan dan kekasaran akan permainan kekuasaan, dengan begitu perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan membuat kebijakan dalam hal ini. affirmative action 3 Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, hal.158 30. Universitas Sumatera Utara Sehingga dalam hal ini, keterlibatan perempuan dalam bidang politik kembali mendapatkan payung hukum dengan dikeluarkannya Undang-undang Pemilu No.10 tahun 2008, yaitu pada pasal 8 ayat 1 butir d dinyatakan bahwa “Partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30 keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”. Pasal tersebut menyatakan bahwa adanya suatu keharusan bagi partai politik untuk dapat menyertakan sedikitnya 30 kaum perempuan dalam kepengurusan partai. Keterlibatan perempuan dalam pemilu dengan kuota 30 merupakan suatu peluang bagi perempuan dengan keterwakilannya untuk dapat kiranya menyuarakan kepentingannya serta kepentingan umum dengan membawa aspirasi dalam berbagai bidang. Adapun wacana keterlibatan perempuan dalam dunia politik dengan memberikan kuota 30, masih menjadi wacana kontroversi. Banyak kalangan perempuan sendiri menolak dengan alasan membatasi langkah perempuan yang ditinjau dengan hitungan statistik yang berdasarkan jumlah masih dinilai tidak adil. Tetapi sebagian kalangan perempuan yang lain menyambut wacana tersebut dengan langkah maju untuk memberi gerak bagi perekrutan kaum perempuan dalam dunia politiknya. Dengan adanya ketentuan kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik, maka dapat memberikan suatu kemajuan bagi kaum perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam bidang politik. Dengan begitu sekarang perempuan bebas mencalonkan dirinya untuk dapat menduduki jabatan politiknya. Perjuangan emansipasi di bidang politik mendapatkan angin segar. Hal tersebut ditandai dengan adanya Undang-undang No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik mengatur ketentuan kuota minimal 30 bagi perempuan dalam kepengurusan partai politik Universitas Sumatera Utara maupun dalam anggota legislatif, dimana setiap tiga nama yang didaftarkan dalam caleg, harus menyertakan satu nama perempuan. Hal tersebut jelas terdapat dalam UU No.10 tahun 2008 pasal 55 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat 1, setiap 3 tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 satu orang perempuan bakal calon”. Undang-undang pemilu tersebut telah menunjukkan bahwa pentingnya perhatian khusus ke perempuan. Hal itu tampak dengan adanya ketentuan affirmative action untuk calon anggota legislatif perempuan yang berupa pemberian kuota ke perempuan. Adapun penetapan kuota tersebut dipandang merupakan mekanisme paling efektif untuk menjamin akses perempuan di bidang politik. Kuota tersebut bisa menjadi titik pijak dimulainya pembaruan semua kebijakan dan perundang-undangan yang lebih berspektif gender dan lebih sensitif atas kepentingan perempuan. Adanya upaya affirmative action untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik akan kembali diuji pada pemilu 2009. Beberapa peraturan perundang- undangan pun telah mengatur kuota 30 perempuan bagi partai politik parpol dalam menempatkan calon anggota legislatifnya, hal itu terdapat dalam UU No.102008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta UU No.22008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada partai politik untuk memenuhi kuota 30 bagi perempuan dalam politik, terutama di Lembaga Perwakilan Rakyat. Affirmative action tersebut merupakan diskriminasi positif positive discrimination atau suatu langkah-langkah khusus yang dilakukan untuk mempercepat tercapainya kesetaraan dan keadilan. Adapun salah satu sarana yang terpenting untuk Universitas Sumatera Utara menerapkannya adalah hukum, karena jaminan pelaksanaannya harus ada dalam Konstitusi dan UU. Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat sendiri, bukannya tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat pemenuhan kuota 30 bagi keterwakilan perempuan dalam politik itu penting yaitu kuota perempuan berfungsi sebagai pencapaian landasan keadilan, pada pelaksanaannya tidak dapat menghindari dari persiapan pengkaderan politisi perempuan yang handal dengan sebanyak-banyaknya sehingga ruang yang dicanangkan dapat terisi dengan baik. Selain itu karakteristik kapasitas, pengalaman, nilai, dan cara pandang yang berbeda yang dimiliki perempuan dapat memberikan kontribusi yang berbeda pada perpolitikan. Paling tidak, pola asuh yang diterapkan pada perempuan akan membuat suasana lembaga dewan tidak terlalu agresif dan penuh dengan kekerasan, menjadi diwarnai dengan berbagai konsensus, musyawarah mufakat . Selain itu, tujuan utama dari affirmative action atau tindakan khusus sementara ini adalah untuk memperbaiki ketimpangan yang disebabkan oleh perbedaan ras, bahasa, gender, dan kelompok sosial, maupun kasta. Dengan memberikan kesempatan dan keberpihakan khusus pada individu-individu yang berasal dari kelompok-kelompok yang berbeda diharapkan dapat menciptakan kesetaraan dan keadilan. Tindakan khusus sementara affirmative action tersebut bertujuan memberi peluang lebih besar bagi perempuan untuk bisa terlibat aktif di politik formal dalam posisi pengambilan keputusan, melalui partai politik maupun sebagai kandidat legislatif di semua tingkatan. Dalam sistem demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat yang ditentukan berdasarkan suara mayoritas. Pada Pemilihan Umum Legislatif 2009, Universitas Sumatera Utara penetapan calon legislatif akan memakai sistem berdasarkan suara terbanyak. Mahkamah Konstitusi MK telah menghapus sistem nomor urut dalam Undang-undang Pemilu dan sekarang penetapan calon anggota legislatif terpilih kini ditentukan berdasarkan suara terbanyak, Berdasarkan maksud dari pasal 214 UU No.102008 tersebut diatas dapat dilihat bahwa pasal tersebut hanya menguntungkan para calon legislatif yang berada di nomor urut jadi yakni nomor urut 1, 2, dan 3. Sedangkan, calon legislatif yang berada di nomor urut buntut meski mendapatkan suara terbanyak, tapi perolehan suaranya itu nantinya akan diberikan kepada nomor urut jadi 1, 2, dan 3 tersebut. Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi MK mengabulkan gugatan uji materi atas pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU No.102008 tentang Pemilu tersebut. demikian putusan MK atas uji materi UU No.102008 tentang Pemilu yaitu pasal 214 huruf a, b, c, d dan e. Sehingga pada tanggal 23 Desember 2008, sistem pemilihan umum calon legislatif telah mengalami revisi, yaitu Mahkamah Konstitusi MK telah mengeluarkan keputusan No.22 24PUU-VI2008 yang isinya memutuskan bahwa memberlakukan atau mengesahkan sistem pemilihan berdasarkan suara terbanyak dalam pemilu calon legislatif 2009. Ketetapan kuota 30 sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan, dan hasilnya pada Jadi, keputusan Mahkamah Konstitusi MK tersebut dapat memberi kesempatan kepada para calon legislatif yang tidak berada di nomor urut satu untuk dapat menunjukkan dirinya bahwa walaupun tidak di urutan pertama tetapi dapat meraup suara terbanyak, hal tersebut menjadi suatu motivasi bagi para caleg untuk dapat berjuang dan bekerja keras dalam meraih kursi parlemen. Universitas Sumatera Utara saat itu adalah 5 orang perempuan yang terpilih dari 45 orang anggota DPRD Kota Medan yang terpilih. Sementara itu pada pemilu 2009, perempuan dalam Daftar Calon Tetap DCT untuk DPRD Kota Medan yaitu sebanyak 463 orang dari jumlah keseluruhan yaitu sebanyak 1.378 orang, dan hasilnya hanya 6 orang perempuan yang terpilih dari 50 orang anggota DPRD Kota Medan yang terpilih. Sedangkan dalam Daftar Calon Tetap DCT DPRD Kota Medan pada Pemilu 2004 yang lalu, jumlah perempuan yang berada di nomor urut satu yaitu sebanyak 12 orang dan dalam Daftar Calon Tetap DCT pada pemilu 2009, jumlah perempuan yang berada di nomor urut satu bertambah menjadi 23 orang. 4 Dengan demikian, berdasarkan wacana tersebut di atas maka disinilah penulis tertarik ingin meneliti dan ingin mengetahui seberapa jauh pandangan, tanggapan, dan Data tersebut diatas mengindikasikan bahwa masih mendominasinya kaum laki- laki di parlemen. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa masih rendahnya keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif jika dibandingkan dengan kaum laki-laki yang terpilih pada saat itu. Beberapa fakta pun mendukung bahwa adanya ketidakinginan kaum perempuan untuk terjun dalam bidang politik. Adapun dalam kenyataannya caleg perempuan yang dicalonkan partai politik lebih banyak hanya menjadi pelengkap untuk memenuhi kuota 30. Kekurangan caleg perempuan tersebut di tandai dengan adanya sebagian besar perempuan yang masih beranggapan kalau politik bukanlah dunianya. Dalam hal ini budaya patriarki juga salah satu faktor yang membuat perempuan tidak ingin terjun di dunia politik, karena politik masih identik dengan dunia maskulin kaum pria. Padahal dalam hal ini, jika perempuan ikut serta didalamnya maka nasib kaum perempuan akan dapat diperjuangkan nantinya. 4 Data diperoleh dari: Komisi Pemilihan Umum KPU Kota Medan Universitas Sumatera Utara tindakan dari calon legislatif perempuan yang berada di nomor urut satu terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi MK tersebut. Untuk itulah melalui penelitian ini, penulis ingin mengetahui serta membahas tentang sikap calon legislatif perempuan yang menduduki nomor urut satu dalam menanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi MK tentang sistem suara terbanyak. I.B. Perumusan Masalah Dengan dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi MK No.22 24PUU-VI2008 yang isinya yaitu memutuskan bahwa memberlakukan atau mengesahkan sistem pemilihan suara terbanyak dalam pemilihan umum calon legislatif tahun 2009. Keputusan itu kemudian memicu banyak pendapat pro dan kontra dari berbagai pihak. Bagi yang pro, keputusan berdasarkan suara terbanyak dianggap sebagai jalan keluar yang paling konstitusional dan harapannya adalah terpilihnya anggota-anggota legislatif yang memiliki legalitas dan makin dekat dengan konstituennya. Selama ini dirasa bahwa para anggota legislatif telah terpisah dari para pemilih karena berdasarkan sistem nomor urut tersebut. Situasi itu kemudian membawa partai politik memiliki peranan yang besar dalam menentukan anggota legislatif yang akan ditempatkan di kursi dewan tersebut. Sedangkan bagi yang kontra, keputusan MK tersebut merupakan liberalisasi politik yang akan berakibat pada meningkatnya politik orang kaya karena dengan sistem suara terbanyak tersebut hanya calon yang memiliki kemampuan material yang berlebih yang akan dapat bertahan. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan data yang diperoleh, tingkat partisipasi dan minat perempuan untuk mengikuti pencalonan pada pemilu 2009 cukup tinggi, dimana jumlah perempuan yang terdaftar didalamnya berjumlah 463 orang, dan hanya 23 orang yang menduduki nomor urut satu, hal tersebut dapat dilihat pada Dengan demikian, yang menjadi masalah dalam hal ini yaitu dengan adanya keputusan Daftar Calon Tetap DCT DPRD Kota Medan pada Pemilu 2009. MK tentang sistem suara terbanyak tersebut seolah-olah mementahkan perjuangan kaum perempuan dalam berpolitik, karena hal itu berarti menandakan hilangnya porsi perempuan dalam anggota dewan yang tadinya sudah aman dengan adanya jumlah kuota tertentu sebagai syarat untuk dapat duduk di lembaga legislatif. Seharusnya perjuangan kaum perempuan dalam bidang politik mendapatkan bantuan dalam mengupayakan serta meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, yang dikarenakan masih besarnya dominasi kaum pria di lembaga tersebut dan seolah- olah keputusan MK ini tidak membantu perjuangan mereka. Dengan adanya permasalahan tersebut, maka peneliti ingin mengetahui sikap dari beberapa calon legislatif perempuan di nomor urut satu terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi MK tersebut. 1. Bagaimana pandangan, tanggapan, dan tindakan calon legislatif perempuan nomor urut satu DPRD Kota Medan 2009 terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi MK Oleh sebab itu, berdasarkan latar belakang dan masalah yang telah diuraikan diatas, maka penulis mengajukan pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: No.22 24PUU-VI2008 2. Bagaimana pemahaman calon legislatif perempuan nomor urut satu DPRD Kota Medan 2009 terhadap gerakan feminisme? tentang suara terbanyak? Universitas Sumatera Utara I.C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pemikiran dari calon legislatif perempuan nomor urut satu DPRD Kota Medan terhadap akibat yang ditimbulkan dari keputusan Mahkamah Konstitusi MK tentang sistem suara terbanyak. 2. Untuk mengetahui pola sikap dan tindakan gerakan feminisme yang dilakukan oleh calon legislatif perempuan nomor urut satu DPRD Kota Medan akibat adanya keputusan Mahkamah Konstitusi MK tentang sistem suara terbanyak. I.D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Secara akademis, penelitian ini berfungsi sebagai referensi tambahan bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, khususnya mahasiswai Departemen Ilmu Politik. 2. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dan pengalaman dalam melihat bagaimana sebenarnya kedudukan dan perkembangan kaum perempuan saat ini dalam bidang politik. Universitas Sumatera Utara I.E. Kerangka Teori Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. 5 Konsep sikap pertama kali diangkat ke dalam bahasan ilmu sosial oleh Thomas 1918 yaitu seorang sosiolog yang banyak menelaah tentang kehidupan dan perubahan sosial. Sikap mulai menjadi fokus pembahasan dalam ilmu sosial semenjak awal abad ke 20. Sikap attitude berasal dari bahasa Italia “attitudine” yaitu “Manner of placing or holding the body, or way of feeling, thinking and behaving” yang artinya sikap adalah cara menempatkan atau membawa diri, atau cara merasakan, jalan pikiran, dan perilaku. Dalam penelitian ini, penulis mengambil teori-teori yang berkaitan dengan masalah diatas. Berikut adalah penjelasan lebih rinci tentang teori yang mendukung penelitian ini. I.E.1. Sikap 6 • Menurut Myers 1996 Sikap juga merupakan salah satu pokok bahasan yang penting dalam psikologi sosial, yang pada dasarnya para pakar tidak selalu sepakat tentang definisinya. Adapun definisi sikap menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut: Sikap adalah reaksi evaluatif yang baik atau tidak baik untuk mengatakan sesuatu atau seseorang, yang diperlihatkan pada kepercayaan seseorang, perasaan atau perilaku yang diharapkan. Attitude is a favourable or unfavourable evaluative reaction to ward something or someone, exhibited in one’s belief, feelings or intended behavior. 5 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.37 6 Dapat dilihat pada: www.thefreedictionary.com, diakses pada tanggal 8 Maret 2009 Universitas Sumatera Utara • Menurut Azjen 1988 Sikap adalah watak untuk merespon yang baik atau tidak baik pada suatu objek, orang, lembaga atau peristiwa. An attitude is a disposition to respond favourably or unfavourably to an object, person, institution or event. • Menurut Eagly Chaiken 1992 Sikap adalah suatu kecenderungan psikologis yang dinyatakan dengan mengevaluasi kesatuan tertentu dengan derajat tingkat dari beberapa kebaikan atau keburukan. Attitude is a psychological tendency that is expressed by evaluating a particular entity with some degree of favor or disfavor. 7 Sementara itu tidak seluruh konsensus diantara para ilmuan sosial yang memperhatikan definisi sikap, ada kesetujuan mandiri yang mempengaruhi atau menolak sebagai suatu komponen yang kritis pada konsep sikap itu. Lain halnya dengan Louis Thurstone adalah seorang ahli psikologi sosial yang pada tahun 1928 mendefinisikan sikap sebagai “jumlah seluruh kecenderungan dan perasaan, kecurigaan dan prasangka, prapemahaman yang mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu hal khusus”. Tetapi di tahun 1931 ia berkata secara sederhana bahwa “sikap adalah menyukai atau menolak suatu obyek psikologis”. 8 Dari definisi-definisi tersebut tampak bahwa meskipun ada perbedaan, semuanya sependapat bahwa ciri khas dari sikap adalah mempunyai objek tertentu orang, perilaku, konsep, situasi, benda, dan sebagainya, mengandung penilaian setuju-tidak setuju dan suka-tidak suka. 9 7 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hal.232 8 Daniel J. Mueller, Mengukur Sikap Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, hal.4 9 Sarlito Wirawan Sarwono, Loc.Cit Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap adalah pengaruh atau penolakan, penilaian, serta suka atau tidak suka terhadap suatu obyek. Sehingga sikap mengandung Universitas Sumatera Utara suatu penilaian yang dapat mempengaruhi suatu tindakan. Adapun terkait dengan judul diatas, maka sikap politik adalah perilaku seseorang untuk merespon, menilai, dan mengemukakan pendapat terhadap suatu keputusan, dimana politik adalah suatu proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud pada proses pembuatan keputusan di dalam suatu negara. Seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa sikap tidak dapat dilihat secara langsung. Untuk mengatahui sikap seseorang terhadap suatu objek, maka dapat dilihat melalui tiga domain sikap, yaitu pengetahuan kognisi, perasaan afek dan perilaku konasi. 10 Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaaan atas kaum Sehingga yang menjadi titik tolak pengukuran sikap dalam penelitian ini yaitu diukur berdasarkan pandangan, tanggapan, dan tindakan seseorang dalam menyikapi suatu keputusan. I.E.2. Patriarki Dalam pencapaian tujuan dan partisipasi yang dapat menciptakan kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan akan memberikan keseimbangan yang lebih tepat mencerminkan komposisi masyarakat dan diperlukan untuk memperkuat dan memajukan fungsi demokrasi yang sejati dalam suatu negara. Dalam hal ini, peran kaum perempuan dalam bidang politik masih sangat kurang. Kendala utama disebabkan oleh mendominasinya peran laki-laki dari pada perempuan dalam hal kekuasaan atau yang disebut dengan patriarki. Budaya patriarki di kalangan masyarakat telah mengakar dan mendominasi dalam berbagai kehidupan. 10 Ibid., hal.263 Universitas Sumatera Utara perempuan. 11 Engels 1972 berpendapat bahwa asal mula patriarki berkaitan dengan mulai adanya pemilikan pribadi dan pewarisan yang berujung pada pengaturan jenis kelamin perempuan dalam satuan keluarga monogami. Namun pendapatnya itu dikritik karena mereduksi subordinasi perempuan pada faktor-faktor ekonomis dan ketidakmampuannya menjelaskan ketimpangan gender dalam masyarakat pra dan pasca- kapitalis. 12 Patriarki menurut Kamla Bhasin adalah sistem yang selama ini meletakan kaum perempuan terdominasi dan tersubordinasi patriarki. Hubungan antara perempuan dan laki-laki bersifat Hierarkis : yakni laki-laki berada pada kedudukan dominan sedangkan perempuan sub-ordinat, laki-laki menentukan, perempuan ditentukan Dalam hal ini, perdebatan feminis pun berkisar di seputar soal kemungkinan mengembangkan teori umum tentang patriarki. 13 Seperti yang dikemukakan oleh para feminis sosialis dan marxis memusatkan perhatiannya pada soal otonomi maupun hubungan antara kapitalisme dan patriarki. Para feminis yang lain mengemukakan pandangan yang berbeda-beda tentang manfaat dari upaya menggabungkan marxisme dan feminisme menjadi teori tunggal “bersistem ganda”, mengingat tak memadainya pembahasan gender dalam teori marxis dan masih perlunya membahas bentuk-bentuk penindasan lain seperti yang berkaitan dengan soal ras. 14 11 Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal.18 12 Ibid Dalam hal ini yang penting diperhatikan adalah ciri khas masalah patriarki yang selalu ada dimana-mana dan perubahannya sepanjang sejarah maupun perwujudannya yang berbeda-beda secara kultural. 13 Dapat dilihat di : http:amienstein.tripod.com, diakses pada tanggal 09 Mei 2009 14 Peter Beilharz, Op.Cit., hal.19 Universitas Sumatera Utara I.E.3. Feminisme Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan yang dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya, dengan lahirnya era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. 15 Kata feminisme berasal dari bahasa Perancis yang pertama kali digunakan pada tahun 1880-an, untuk menyatakan perjuangan perempuan menuntut hak politiknya. Hubertine Auclort adalah pendiri perjuangan politik perempuan yang pertama di Perancis, dalam salah satu publikasinya menggunakan kata feminisme dan femeniste. Sejak itulah feminisme tersebar diseluruh Eropa dan sampai AS, melalui New York pada tahun 1906. Gerakan feminisme di New York diwarnai oleh perjuangan menuntut hak- hak perempuan sebagai warga negara, hak perempuan di bidang sosial, politik, dan ekonomi. 16 Gerakan feminisme adalah sebuah gerakan pembebasan dan perlindungan hak- hak perempuan dalam masyarakat. Adapun gerakan feminisme ini lebih memusatkan perhatian kepada “masalah perempuan” yang mengasumsikan bahwa munculnya permasalahan ketidakmampuan kaum perempuan untuk bersaing dengan laki-laki tetapi 15 Dapat dilihat pada: http:id.wikipedia.orgwikiFeminismeFeminisme_liberal. diakses pada tanggal 25 Maret 2009 16 A. Nunuk Prasetyo Muniarti, Getar Gender, Magelang : Indonesiatera, 2004, hal.XXVIII Universitas Sumatera Utara pada dasarnya perempuan adalah makhluk rasional yang memiliki kemampuan sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Gerakan feminisme sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut. 17 Feminisme berdasar pada asumsi bahwa gender merupakan konstruksi sosial yang didominasi oleh pemahaman yang bias laki-laki dan menindas perempuan. Feminisme secara umum menantang asumsi dasar masyarakat dan mencari alternatif pemahaman yang lebih membebaskan, yaitu pemahaman yang meletakkan wanita dan pria dalam posisi yang seimbang. Feminisme secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu feminisme liberal dan feminisme radikal. Feminisme liberal merupakan dasar pergerakan perempuan pada tahun 1960-an hingga 1970-an yang didasarkan atas paham demokrasi liberal, yaitu bahwa keadilan mencakup juga jaminan terhadap kesamaan hak bagi semua individu. Feminisme liberal berkaitan terutama dengan citra publik dan hak asasi perempuan. Berbeda dengan Feminisme liberal, feminisme radikal melihat persoalan tidak sebatas pada hak yang bersifat publik, mereka mempersoalkan dasar struktur masyarakat yang menurut mereka patriarkis. Oleh karena itu, jika feminisme liberal beranggapan bahwa masalah gender dapat diatasi dengan distribusi hak secara adil, maka bagi feminisme radikal hal ini tidak menyelesaikan persoalan. Berikut ini adalah penjelasan lebih rinci tentang teori feminisme liberal dan feminisme radikal. 17 Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal.79 Universitas Sumatera Utara I.E.3.1. Feminisme Liberal Feminisme liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Gagasan feminisme liberal telah muncul sejak akhir abad-19 dan awal abad-20, namun baru pada tahun 60-an gerakan ini kelihatan menonjol, dan akhirnya mendominasi pemikiran tentang perempuan di seluruh dunia, khususnya dunia ketiga saat ini. 18 Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan. Oleh karena itu jalan keluar yang ditawarkan oleh aliran ini adalah perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa atau mampu bersaing di berbagai aspek kehidupan dalam persaingan bebas, sehingga mempunyai kedudukan yang setara dengan laki-laki. 19 Feminisme liberal berupaya mencapai kesetaraan bagi perempuan dengan cara mereformasi struktur-struktur institusional yang ada. Menurut aliran ini, setiap manusia punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan yaitu disebabkan oleh kesalahan pada diri perempuan itu sendiri. Maka dalam hal ini, kaum perempuan harus dapat bersaing yang nantinya dapat mempunyai kedudukan yang setara dengan kaum laki-laki. 20 18 Ibid., hal.83 19 Ibid., hal.81 20 Peter Beilharz, Op.Cit., hal.17 Inilah ragam feminisme yang bekerja untuk mengintegrasikan perempuan ke dalam struktur mainstream masyarakat. Ia berakar pada teori kontrak sosial pemerintahan yang dibentuk Revolusi Amerika. Mereka tampak memusatkan energinya untuk membangun dan melindungi kesempatan yang setara bagi perempuan melalui legislasi dan alat-alat demokrasi lainnya. Mereka Universitas Sumatera Utara bermaksud membangun kesempatan yang setara bagi perempuan dalam ruang publik dalam terminologi-terminologi kesempatan kerja dan upah. 21 Tokoh dalam aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai Feminisme Kekuatan yang merupakan solusi, menurutnya kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada laki-laki. Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Feminisme liberal dalam hirauan utamanya yaitu laki-laki dan perempuan memiliki hak-hak yang sama. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Oleh sebab itu asumsi dasar dari feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan freedom dan kesetaraan equality berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada ‘kesempatan yang sama dan hak yang sama’ bagi setiap individu, termasuk didalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting bagi mereka dan karenanya tidak perlu pembedaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Itulah sebabnya usulan mereka untuk memecahkan masalah kaum perempuan adalah dengan cara menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas. 22 21 Ali Husain Al-Hakim, Membela Perempuan: Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, Jakarta: Al- Huda, 2005, hal.30 22 Dr. Mansour Fakih, Op.Cit., hal.81-82 Pada intinya kaum feminisme liberal menganggap bahwa perempuan dan laki-laki memang Universitas Sumatera Utara diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama pula untuk memajukan dirinya dalam berbagai hal. Oleh sebab itu aliran ini berupaya mempercepat tercapainya kesetaraan dan keadilan dalam berbagai bidang. Kesetaraan atau kesamaan atau dengan kata lain disebut dengan “equality” adalah suatu konsep yang menunjukkan bahwa semua manusia “sama” di mata hukum. Kesetaraan juga menunjukkan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang ”sama” untuk mendapat perlakuan yang adil, terutama kesamaan hak bagi perempuan harus ditegakkan di dalam suatu negara. Melalui suatu perdebatan, terbentuklah teorisasi feminis secara jelas dan meyakinkan telah menjadi perdebatan ‘persamaan dan perbedaan’. Persamaan dan perbedaan, keduanya adalah istilah yang kaya, kompleks dan diperjuangkan dalam hak-hak mereka sendiri, hal tersebut telah menggambarkan perbedaan dan perspektif yang bersaing dalam teori feminis. Orang-orang yang berkepentingan dalam menggambarkan posisi ideologi telah memetakan pencarian ‘persamaan’ ke dalam bentuk-bentuk feminisme liberal atau sosialis dan mencari ‘perbedaan’ ke dalam bentuk feminisme radikal atau kultural. 23 Teori feminis liberal meyakini bahwa masyarakat telah melanggar nilai tentang hak-hak kesetaraan terhadap wanita, terutama dengan cara mendefinisikan wanita sebagai sebuah kelompok ketimbang sebagai individu-individu. Mazhab ini mengusulkan agar wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Gerakan utama feminisme liberal tidak mengusulkan perubahan struktur secara fundamental, melainkan memasukan wanita ke dalam struktur yang ada berdasarkan prinsip kesetaraan dengan laki-laki. Aliran feminis liberal melihat bahwa persamaan posisi derajat laki-laki dan perempuan itu dapat 23 Terjemahan dari buku: Judith Squires, Gender In Political Theory, Published in the USA by Blackwell, publisher Inc.Commerce place 350maen street malden, MA 02148, USA, hal.115 Universitas Sumatera Utara dicapai melalui reformasi hukum dan politik. Perempuan dapat menyamakan posisi dirinya dengan laki-laki di masyarakat, jika perempuan dapat mengaktualisasikan kemampuannya. Adapun inti dari ajaran feminis liberal adalah memfokuskan pada perlakuan yang sama terhadap wanita di luar, daripada di dalam keluarga, perjuangan harus menyentuh kesetaraan politik antara wanita dan laki-laki melalui penguatan perwakilan wanita di ruang-ruang publik. 24 Adapun keadilan atau yang disebut dengan “justice” dalam literatur mengenai gender dalam teori politik disamakan dengan ‘etika keadilan’. Pertama, etika keadilan adalah perspektif yang lebih tepat dan meyakinkan menurut ‘pandangan tidak dari manapun’ dan oleh karena itu pada dasarnya netral sehubungan dengan masalah gender. Kedua, etika keadilan adalah sebuah produk dari jiwa pria dan secara intrinsik bergender. Ketiga, etika keadilan adalah sebuah bentuk pemikiran moral yang terbatas secara khusus dan spesifik secara historis yang memainkan peranan signifikan dalam proses penggenderan identitas sosial. 25 Keadilan justice merupakan suatu upaya untuk menempatkan suatu kaum agar memperoleh pengakuan dan perlakuan yang adil dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini, kaum perempuanlah yang selalu menjadi pokok pembahasannya. Berbicara mengenai keadilan, 24 Dapat dilihat pada : dunia saat ini masih dipenuhi dengan ketidakadilan, terutama terhadap kaum perempuan. Jumlah perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, perempuan yang miskin, perempuan yang buta huruf dan perempuan yang seringkali mengalami pelecehan seksual masih dalam hitungan persentase cukup tinggi. Itulah contoh dari adanya ketidakadilan tersebut. Selain itu, dalam bidang perpolitikan, http:zietraelmart.multiply.comjournalitem17 . diakses pada tanggal 10 April 2009 25 Terjemahan dari buku: Judith Squires, Op.Cit., hal.140 Universitas Sumatera Utara jumlah kaum perempuan yang duduk di parlemen juga masih sangat rendah bila diband Dalam hal ini, feminisme liberal merupakan dasar pergerakan perempuan pada tahun 1960-an hingga 1970-an yang didasarkan atas paham demokrasi liberal, yaitu bahwa keadilan mencakup juga jaminan terhadap kesamaan hak bagi semua individu. Feminisme liberal berkaitan terutama dengan citra publik dan hak asasi perempuan. ingkan dengan kaum pria, bahkan kaum pria masih jauh lebih banyak jumlahnya di parlemen. Aliran feminis liberal mengupayakan terciptanya keadilan, terutama keadilan terhadap keberadaan kaum perempuan. Oleh karenanya g Menurut aliran feminis liberal, perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki baik itu dalam bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Seperti halnya dalam bidang politik, reformasi hukum yang berperspektif keadilan melalui desakan 30 kuota bagi perempuan dalam keterlibatannya di politik adalah merupakan kontribusi dari pengalaman feminis liberal. Dalam pandangan feminisme liberal, keadilan dan kesetaraan terwujud bukan dari campur tangan negara di dalamnya, sehingga feminisme liberal menyatakan bahwa negara harus bertindak memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap individu, baik pada kaum perempuan maupun pada kaum laki-laki. Pada dasarnya dalam pandangan ini campur tangan negara tidak boleh ada dan tidak mendominasi erakan utama feminisme liberal tidak mengusulkan perubahan struktur secara fundamental, melainkan berupaya memasukkan wanita ke dalam struktur yang ada berdasarkan prinsip kesetaraan dengan laki-laki. Adapun akar dari teori feminisme liberal bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Universitas Sumatera Utara segala bentuk pergerakan kaum feminisme, karena feminisme liberal menganggap bahwa keadilan bagi perempuan adalah keadilan yang individual atau keadilan diri sendiri, sehingga tidak boleh ada pengaturan negara terhadap upaya untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan tersebut. I.E.3.2. Feminisme Radikal Feminisme radikal mulai muncul sejak pertengahan tahun 1970-an. Aliran ini menawarkan ideologi perjuangan separatisme perempuan. Feminisme radikal merupakan kelompok pertama penganut teori konflik yang sejarahnya justru muncul sebagai reaksi atas kultur sexism atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 60-an, khususnya sangat penting dalam melawan kekerasan seksual dan pornografi. 26 Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat adanya sistem patriarki. Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biologis. Sehingga, dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, mereka menganggapnya berakar pada jenis kelamin laki- laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya. 27 Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan. Feminisme radikal melihat bahwa dominasi laki-laki atas perempuan adalah wujud penindasan yang paling mendasar dan berakar mendalam. 28 26 Dr. Mansour Fakih, Op.Cit., hal.84 27 Ibid., hal.84-85 28 Peter Beilharz, Op.Cit., hal.17 Universitas Sumatera Utara Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Sehingga gerakan ini disebut sesuai dengan namanya yang radikal. Bagi gerakan feminisme radikal, revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk merubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki. 29 Teori feminisme radikal menganut paham sosialis. Dan tokoh dari aliran ini adalah Marxis, menurut Marx “tidak ada sosialisme tanpa pembebasan perempuan dan tidak ada pembebasan perempuan tanpa sosialisme”. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme radikal sosial menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan, dimana kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Feminisme radikal bertujuan menarik garis tegas antara perilaku yang determinan secara biologis dengan perilaku yang determinan secara budaya. Hal tersebut dilakukan untuk membebaskan, baik pria maupun perempuan sebebas mungkin, dari aturan-aturan gender mereka yang terdahulu. Adapun sistem patriarki tersebut disebabkan oleh mendominasinya peran laki-laki dari pada perempuan. Sehingga budaya patriarkhi di kalangan masyarakat telah mengakar dan mendominasi dalam berbagai kehidupan saat ini, bahkan dalam lingkungan terkecil seperti keluarga, nuansa dominasi laki-laki juga sangat kuat. 30 29 Dr. Mansour Fakih, Op.Cit., hal.85 30 Ali Husain Al-Hakim, Op.Cit., hal.29 Aliran ini menolak setiap jenis kerjasama, dimana feminisme radikal ingin mengembangkan analisis feminis yang lebih nyata dan lebih merdeka. Dalam hal ini, analisis sosialis Marx tersebut bermanfaat untuk Universitas Sumatera Utara melihat problem-problem ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan penindasan yang menjadi beban kaum perempuan. Dalam membahas teori tentang kesetaraan, banyak orang yang mempelajari teori gender dan politik dari perspektif kesetaraan sangat meyakini bahwa gender akan menjadi tidak relevan jika dilihat secara politik, atau dengan kata lain tidak berhubungan satu sama lain. Pada kenyataannya bahwa pria dan wanita umumnya dipahami berbeda adalah alasan yang tidak cukup untuk memperlakukan mereka secara berbeda dalam lingkungan politik. 31 Kesetaraan pada kaum perempuan menurut aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat adanya sistem patriarki. Menurutnya tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki- laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak- hak reproduksi, seksualitas, seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi Feminisme secara garis besar diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu feminisme liberal dan feminisme radikal. Adapun feminisme liberal merupakan dasar pergerakan perempuan yang didasarkan atas paham demokrasi liberal, yaitu bahwa keadilan mencakup juga jaminan terhadap kesamaan hak bagi semua individu terutama dengan citra publik dan hak asasi perempuan. Hal tersebut berbeda dengan feminisme radikal yang melihat persoalan kesetaraan tidak hanya sebatas pada hak yang bersifat publik tetapi mereka lebih jauh mempersoalkan dasar struktur masyarakat yang menurut mereka patriarkis. Oleh karena itu, jika feminisme liberal beranggapan bahwa masalah gender dapat diatasi dengan distribusi hak secara adil, maka bagi feminisme radikal hal ini tidak menyelesaikan persoalan. 31 Terjemahan dari buku: Judith Squires, Op.Cit., hal.117 Universitas Sumatera Utara privat-publik. Menurutnya pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan tersebut adalah merupakan salah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Sehingga informasi atau pandangan buruk black propaganda banyak ditujukan kepada feminis radikal. Oleh karena itulah gerakan ini disebut sesuai dengan namanya yang radikal Selain kesetaraan, keadilan pada dasarnya juga menyangkut akan masalah gender dan kaum perempuan. Adapun literatur mengenai gender dalam teori politik biasanya disamakan dengan yang namanya ‘etika keadilan’. Etika keadilan ini dikecam secara luas dalam teori politik feminis. Apa yang telah muncul dalam literatur teori feminis, yang dilambangkan sebagai perspektif etika keadilan adalah sebuah artikulasi tertentu tentang objektivisme moral. . 32 Aliran feminis radikal lahir dari aktivitas dan analis politik mengenai hak-hak sipil dan gerakan-gerakan perubahan sosial. Feminis radikal juga dikembangkan dari gerakan-gerakan Kiri Baru New Left yang menyatakan bahwa perasaan-perasaan keterasingan dan ketidakberdayaan pada dasarnya diciptakan secara politik dan karenanya transformasi personal melalui aksi-aksi radikal merupakan cara dan tujuan yang paling baik. Aliran feminis radikal ini secara fundamental menolak agenda Adapun, ide dasar dari feminisme adalah kesetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan yang dibangun atas dasar kesetaraan dan keadilan akan hak-hak antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Secara garis besar, terdapat dua aliran utama dalam feminisme yaitu feminisme liberal dan feminisme radikal. Setiap aliran feminis tersebut memiliki perspektif yang berbeda mengenai hakekat ketidakadilan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Masing-masing aliran memiliki pendekatan dan strategi yang beragam pula dalam mengartikan ketidakadilan gender tersebut. 32 Ibid., hal.141 Universitas Sumatera Utara feminisme liberal mengenai kesamaan hak wanita dan menolak strategi kaum liberal yang bersifat tambal sulam, incremental, dan tidak menyeluruh. 33 Dalam pandangan feminisme radikal bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat adanya sistem patriarki yang disebabkan oleh mendominasinya peran laki-laki dari pada perempuan. Sehingga menurut feminisme radikal kesetaraan dan keadilan terhadap kaum perempuan tidak akan terwujud karena budaya patriarki tersebut telah mengakar dan mendominasi dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh sebab itu, feminisme radikal menyatakan bahwa dalam mewujudkan keadilan dan kesetaran diperlukan peran dan campur tangan negara untuk mengatur dan mejamin agar terwujudnya kesetaraan dan keadilan bagi kaum perempuan di dalam Lain halnya dengan feminis liberal yang lebih menekankan akan kesamaan antara wanita dan laki-laki, aliran feminis radikal menekankan pada perbedaan antara kaum wanita dan kaum laki-laki. Seperti halnya wanita dan laki-laki dalam mengkonseptualisasikan kekuasaan secara berbeda, dimana bila laki-laki berusaha untuk mendominasi dan mengontrol orang lain, maka wanita lebih tertarik untuk berbagi dan merawat kekuasaan. Pada dasarnya ajaran feminis radikal menyatakan “the personal is political” yang merupakan slogan yang kerap digunakan oleh kaum feminis radikal. Yang artinya bahwa pengalaman-pengalaman individual wanita mengenai ketidakadilan dan kesengsaraan yang oleh para wanita dianggap sebagai masalah-masalah personal. Pada hakekatnya feminis radikal menganggap bahwa isu-isu politik yang membuat ketidakseimbangan kekuasaan antara wanita dan laki-laki. Aliran feminis radikal juga menolak sistem hirarki yang berstrata berdasarkan garis jender dan kelas, yang sebagaimana hal tersebut diterima oleh aliran feminis liberal. 33 Dapat dilihat pada: http:zietraelmart.multiply.comjournalitem17. diakses pada tanggal 10 April 2009 Universitas Sumatera Utara pemerintahan dan masyarakat. Sehingga negara harus lebih memperhatikan akan keberadaan kaum perempuan di bidang politik yaitu dengan cara membuka akses seluas- luasnya bagi kaum perempuan untuk dapat berpartisipasi di bidang politik. Hal ini di sadari karena tanpa adanya campur tangan negara maka akan sulit dalam mencapai keadilan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. I.F. Definisi Konsep Definisi konsep merupakan hal yang penting dalam penelitian. Dalam penelitian, seorang peneliti menggunakan istilah yang khusus untuk menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak ditelitinya. Inilah yang disebut konsep, yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. 34 1. Sikap mengandung suatu penilaian yang dapat mempengaruhi suatu tindakan dalam diri seseorang, oleh sebab itu sikap politik adalah perilaku seseorang untuk merespon, menilai, dan mengemukakan pendapat terhadap suatu keputusan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan definisi konsep sebagai berikut: 2. Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria sehingga kaum perempuan harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Dalam hal ini, feminisme diklasifikasikan kedalam dua aliran, yaitu feminisme liberal dan feminisme radikal. 34 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Op.Cit., hal.33 Universitas Sumatera Utara I.G. Definisi Operasional Definisi operasional adalah suatu penjelasan tentang suatu variabel yang diukur. Definisi operasional merupakan petunjuk bagaimana suatu variabel diukur yang dijelaskan melalui rincian dari indikator-indikator pengukuran suatu variabel tersebut. Dalam penelitian ini maka variabel yang akan diteliti adalah sikap calon legislatif perempuan terhadap sistem pemilihan umum yang berdasarkan suara terbanyak. 1. Sikap, dapat dilihat dari tiga indikator, yaitu: a. Pandangan tentang makna kesetaran dan keadilan, yaitu suatu cara pandang yang mengungkapkan tentang arti nilai kesetaraan dan keadilan terhadap kaum perempuan. b. Tanggapan tentang nilai kesetaraan dan keadilan, yaitu suatu sikap yang mengemukakan alasan tentang kesetaraan dan keadilan terhadap kaum perempuan. c. Tindakan akan kesetaraan dan keadilan, yaitu suatu sikap yang akan dilakukan dalam mengupayakan kesetaraan dan keadilan terhadap kaum perempuan. 2. Feminisme, dapat dilihat dari dua indikator, yaitu: a. Feminisme Liberal, adalah suatu pandangan yang lebih menekankan akan kesamaan antara perempuan dan laki-laki. Dalam pandangan feminisme liberal, keadilan dan kesetaraan terwujud bukan dari campur tangan negara di dalamnya, sehingga feminisme liberal menyatakan bahwa negara harus bertindak memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap individu, baik pada kaum perempuan maupun pada kaum laki-laki. Pada dasarnya dalam pandangan ini campur tangan negara tidak boleh ada dan tidak mendominasi segala bentuk Universitas Sumatera Utara pergerakan kaum feminisme, karena feminisme liberal menganggap bahwa keadilan bagi perempuan adalah keadilan yang individual atau keadilan diri sendiri, sehingga tidak boleh ada pengaturan negara terhadap upaya untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan tersebut. b. Feminisme Radikal, adalah suatu pandangan yang lebih menekankan pada adanya suatu perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Dalam pandangan feminisme radikal bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat adanya sistem patriarki yang disebabkan oleh mendominasinya peran laki- laki dari pada perempuan. Sehingga menurut feminisme radikal kesetaraan dan keadilan terhadap kaum perempuan tidak akan terwujud karena budaya patriarki tersebut telah mengakar dan mendominasi dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh sebab itu, feminisme radikal menyatakan bahwa dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan diperlukan peran dan campur tangan negara untuk mengatur dan menjamin agar terwujudnya kesetaraan dan keadilan bagi kaum perempuan di dalam pemerintahan dan masyarakat. Sehingga dalam hal ini, negara harus lebih memperhatikan akan keberadaan kaum perempuan di bidang politik yaitu dengan cara membuka akses seluas-luasnya bagi kaum perempuan untuk dapat berpartisipasi di bidang politik. Hal ini di sadari karena tanpa adanya campur tangan negara maka akan sulit dalam mencapai keadilan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Universitas Sumatera Utara I.H. Metode Penelitian I.H.1. Jenis Penelitian Untuk mengetahui serta menguraikan bagaimana sebenarnya sikap dari calon legislatif perempuan tersebut terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, maka penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif descriptive research adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap obyek yang diteliti. 35 35 Ronny Kountur, Metode Penelitian: Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: PPM, 2003, hal.105 Pada penelitian deskriptif ini, penulis memusatkan perhatian pada penemuan fakta sebagaimana keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Penelitian deskriptif bukan hanya sekedar menemukan fakta yang terjadi di lapangan tetapi juga melakukan analisis terhadap fakta dan data yang didapat di lapangan tersebut. Metode penelitian deskriptif ini digunakan untuk menggambarkan serta mendeskripsikan tanggapan serta tindakan dari calon-calon legislatif perempuan yang nantinya bakal menjadi objek dalam penelitian ini. I.H.2. Lokasi Penelitian Untuk mendapatkan informasi yang dapat mendukung penelitian ini, maka penulis melakukan penelitian secara langsung kepada calon legislatif perempuan nomor urut satu di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD Kota Medan periode 2009-2014. I.H.3. Teknik Pengumpulan Data Universitas Sumatera Utara Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan, maka penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu data primer dan data sekunder. 36 1. Data Primer Untuk memperoleh data dan fakta yang berupa informasi yang jelas, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut : Pengumpulan data primer ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara yaitu suatu cara pengumpulan data dengan tujuan mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada informan serta melakukan proses tanya jawab secara langsung dengan para informan yang terkait dalam penelitin ini. Dalam penelitian ini, yang menjadi alasan peneliti memilih calon legislatif perempuan nomor urut satu pada partai politik di bawah ini adalah karena kelima partai politik tersebut dapat menempatkan calon legislatif perempuan di nomor urut satu lebih dari satu orang pada setiap daerah pemilihan. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah: 1. Dra. Lily, MBA. MH Partai Perjuangan Indonesia Baru, Daerah Pemilihan I 2. Latifah Hanum, SE Partai Hati Nurani Rakyat, Daerah Pemilihan II 3. Sri Mutia Ulin Nuha Partai Pemuda Indonesia, Daerah Pemilihan III 4. Maria Sinaga Partai Demokrasi Pembaruan, Daerah Pemilihan IV 5. Dra. Hasnil Aida Partai Kebangkitan Nasional Ulama, Daerah Pemilihan V Dengan demikian, data yang nantinya diperoleh dari hasil wawancara tersebut merupakan data pendukung bagi terlaksananya penelitian ini. 2. Data Sekunder 36 Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial, Formal – Formal Kualitatif dan Kualitas, Surabaya: Airlangga University Press, 2001, hal.51 Universitas Sumatera Utara Pengumpulan data sekunder ini dilakukan dengan tinjauan kepustakaan dan dokumentasi. Dalam hal ini penulis mengumpulkan data dan informasi melalui referensi kepustakaan dengan mempelajari buku-buku, undang-undang, peraturan-peraturan, artikel-artikel dalam majalah, koran, jurnal ilmiah, laporan-laporan penelitian serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, yang nantinya teori-teori yang didapat tersebut dapat dijadikan panduan dalam melakukan suatu penelitian. I.H.4. Teknik Analisa Data Dalam penelitian ini, teknik analisa data yang digunakan penulis adalah jenis analisa data dengan pendekatan kualitatif. Adapun istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. 37 37 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal.4 Dalam kerangka penelitian kualitatif, data yang nantinya didapat dari hasil wawancara dan dokumentasi akan ditampilkan dalam bentuk uraian lalu dianalisis kemudian dijelaskan secara mendalam selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpulan yang dapat menjelaskan masalah yang diteliti. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu suatu metode dengan tujuan memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti, dimana jenis penelitian ini biasanya diiringi dengan jenis analisis data secara kualitatif. Sehingga nantinya yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini akan terjawab setelah data dan informasi terkumpul dan kemudian dianalisis. Universitas Sumatera Utara I.H.5. Sistematika Penulisan Untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih terperinci, serta untuk mempermudah dalam memahami isi dari skripsi ini, maka penulis membagi kedalam empat bab. Untuk itu penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep, definisi operasional dan metode penelitian. BAB II : ASPEK HISTORIS KELUARNYA KETETAPAN KUOTA 30 BAGI PEREMPUAN DAN KELUARNYA KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.2224PUU-VI2008 Menguraikan tentang sejarah dikeluarkannya ketetapan kuota 30 bagi perempuan dan keputusan Mahkamah Konstitusi MK tentang sistem suara terbanyak. TENTANG SUARA TERBANYAK BAB III : ANALISIS SIKAP POLITIK CALON LEGISLATIF PEREMPUAN NOMOR URUT 1 DPRD KOTA MEDAN TERHADAP KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.2224PUU-VI2008 Menguraikan secara garis besar mengenai pandangan, tanggapan, dan tindakan dari calon legislatif perempuan nomor urut satu terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak TENTANG SUARA TERBANYAK Universitas Sumatera Utara yang dilihat berdasarkan pada nilai kesetaraan dan keadilan terhadap kaum perempuan. BAB IV : PENUTUP Bab ini merupakan bagian terakhir dalam penulisan skripsi, yang berisikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya yang berguna bagi penulis dalam penyusunan skripsi. Universitas Sumatera Utara

BAB II ASPEK HISTORIS KELUARNYA KETETAPAN KUOTA 30 BAGI

Dokumen yang terkait

Rekrutmen Calon Legislatif (Studi Tentang Mekanisme Penetapan Calon Legislatif DPRD Provinsi Sumatera Utara 2014 di DPW Partai Nasdem Sumatera Utara)

3 124 98

Strategi Pemenangan Calon Anggota Legislatif Perempuan Pada Pemilu Legislatif 2009 (Studi Pada : Caleg Perempuan Terpilih Pada DPRD Kota Medan).

1 40 121

MEKANISME PENCALONAN ANGGOTA LEGISLATIF PASCA KEPUTUSAN MK NO. 22-24/PUU-VI/2008 TENTANG PENETAPAN CALEG TERPILIH BERDASARKAN SUARA TERBANYAK. (Studi pada DPD Partai Golkar dan DPD PKS Kota Malang)

0 41 32

SIKAP POLITIK ANGGOTA DPRD TERHADAP ANGGOTA DPRD PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF DPRD KOTA BANDAR LAMPUNG

0 12 71

DAMPAK KEBIJAKAN AFFIRMATIVE ACTION CALON LEGISLATIF PEREMPUAN TERHADAP KUALITAS REKRUTMEN CALON LEGISLATIF PEREMPUAN DPC PDI PERJUANGAN KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN 2013

0 9 100

SIKAP POLITIK ANGGOTA DPRD TERHADAP ANGGOTA DPRD PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF DPRD KOTA BANDAR LAMPUNG

0 3 67

STRATEGI POLITIK CALON LEGISLATIF PEREMPUAN PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2009 (Kasus : Calon Legislatif Perempuan dari Partai Demokrat di Kabupaten Bungo).

0 0 19

Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PPU_VI/2008 Tentang Suara Terbanyak Terhadap Jumlah Keterwakilan Perempuan (Studi Kasus Calon Anggota Legislatif Perempuan yang Kalah Jumlah Suara pada Pemilu 2009 di Kota Payakumbuh).

0 0 10

PERBANDINGAN STRATEGI POLITIK CALON ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN DALAM PEMILU LEGISLATIF 2009 di KOTA PADANG.

0 0 6

Perempuan dan Politik: Studi Komunikasi Politik tentang Keterwakilan Perempuan di Legislatif

0 0 14