Pendapatan Usahatani Padi Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu Di Desa Purwasari, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat

PENDAPATAN USAHATANI PADI MELALUI PENGELOLAAN
TANAMAN TERPADU DI DESA PURWASARI, KECAMATAN
BANJARSARI, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

RIDHA FIRLANA KHAIRUNNISA NUR

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendapatan Usahatani
Padi Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu di Desa Purwasari, Kecamatan
Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Ridha Firlana Khairunnisa Nur
NIM H34134032

ABSTRAK
RIDHA FIRLANA KHAIRUNNISA NUR. Pendapatan Usahatani Padi Melalui
Pengelolaan Tanaman Terpadu di Desa Purwasari, Kecamatan Banjarsari,
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Dibimbing oleh NETTI TINAPRILLA.
Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) merupakan sebuah inovasi teknologi
yang dikembangkan oleh Kementerian Pertanian yang dapat dimanfaatkan oleh
petani dalam meningkatkan produktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk
menentukan derajat penerapan PTT dan pendapatan usahatani padi di Desa
Purwasari, Kecamatan Banjarsari. Penelitian dilakukan pada bulan September
hingga Oktober tahun 2015, penentuan sampel dengan cara purposive, dengan
jumlah responden 30 petani PTT dan 30 petani non PTT. Hasil penelitian tingkat
penerapan teknologi PTT masih tergolong rendah yaitu 79.11 persen, meskipun
demikian PTT mampu meningkatkan hasil produksi petani PTT yaitu 4.79 ton per
hektar lebih besar daripada petani non PTT yaitu 4.34 ton per hektar. Produksi

yang tinggi mempengaruhi tingkat pendapatan petani PTT Rp9152 082.67(R/C:
1.55) dan petani non PTT Rp7 473 663.55(R/C: 1.47), namun berdasarkan hasil
uji statistik tidak terdapat perbedaan pendapatan petani PTT dan non PTT pada
tingkat kepercayaan 95 persen.
Kata kunci : pendapatan usahatani, penerapan PTT, PTT
jasa (tangible, responsivene
ss,

ABSTRACT
RIDHA FIRLANA KHAIRUNNISA NUR. Rice Farm Income Through
Integrated Crop Management in Purwasari Village, Banjarsari, Ciamis District,
West Java. Supervised by NETTI TINAPRILLA.
Integrated crop management(ICM) isaninnovativetechnology developedby
the Ministryof Agriculturethatcan be used byfarmers toincrease productivity. This
research aimed to determinelevel of PTT implementation and farm income in
Purwasari Village, Banjarsari..A research from September until October 2015 that
was purposive choosen, the sum of respondents 30 PTT farmers and 30 non PTT
farmers.The result showed that the PTT technology implementation level is still
low at 79.11 percent, nevertheless PTT is able to increase the production of PTT
farmers which is 4.79 tons per hectare is larger than that of non PTT farmers is

4.34 tons per hectare. High production affects the level of income PTT farmers
Rp9 152 082.67(R/C: 1.55) and non PTT farmers Rp7 473 663.55(R/C: 1.47),But
based on result statistic test no differences income PTT farmers and non PTT
farmers at 95% confidence level.
Key words : farm income, PTTimplementation, PTT

PENDAPATAN USAHATANI PADI MELALUI PENGELOLAAN
TANAMAN TERPADU DI DESA PURWASARI, KECAMATAN
BANJARSARI, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

RIDHA FIRLANA KHAIRUNNISA NUR

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

PROGRAM ALIH JENIS DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan judul
Pendapatan Usahatani Padi Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu di Desa
Purwasari, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Netti Tinaprilla MM selaku
dosen pembimbing yang telah banyak memberi saran. Terima kasih penulis
sampaikan kepada Tintin Sarianti SP MM selaku Dosen Evaluator pada saat
kolokium dan Saudari Ai Ema sebagai pembahas pada saat seminar hasil yang
telah memberikan saran dan kritik. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir
Burhanuddin MM selaku Dosen Penguji Utama dan Rahmat Yanuar SP MSi
selaku Dosen Penguji Komisi Pendidikan yang telah memberikan saran dalam
penyempurnaan pembuatan skripsi. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Kecamatan Banjarsari, khususnya Ibu Ani selaku penyuluh Desa Purwasari,
Bapak Darus dan Bapak Jajang selaku kepala dan sekertaris Desa Purwasari,

ketua kelompok tani dan anggota kelompok yang menjadi petani sampel di Desa
Purwasari yang telah membantu dalam pengumpulan data, serta rekan-rekan Alih
Jenis IV Agribisnis yangtelahmembantu dalam penyelesaian skripsi.Ungkapan
terima kasih disampaikan penulis kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016
Ridha Firlana Khairunnisa Nur

DAFTAR ISI
Hal
DAFTAR ISI

vi

DAFTAR TABEL

vii


DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
4
7
7

8

TINJAUAN PUSTAKA
Persentase Derajat Ketepatan Penerapan Komponen Program PTT
Pendapatan Usahatani Padi Terkait Penerapan Program PTT

8
8
10

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teori
Pengelolan Tanaman Terpadu (PTT)
Analisis Pendapatan dan Ukuran Usahatani
Peran Teknologi Terhadap Produksi
Kerangka Pemikiran Operasional

11
11
11

14
15
18

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Pengumpulan Data
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Sampel
Metode Pengolahan dan Analsisi Data
Derajat Penerapan Program PTT
Analisis Pendapatan dan Keuntungan Usahatani

19
19
20
20
20
20
21


HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Lokasi Penelitian
Karakteristik Petani Responden
Penggunaan Input Produksi
Persentase Derajat Ketepatan Penerapan Komponen Program PTT
Pendapatan dan Keuntungan Usahatani Padi
Analisis Uji-T test

23
23
26
30
32
37
43

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran


44
44
45

DAFTAR PUSTAKA

46

LAMPIRAN

49

RIWAYAT HIDUP

53

DAFTAR TABEL

1
2

3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Luas panen, produksi, dan produktivitas tanaman pangan di Jawa Barat tahun
2013
1
Rata-rata jumlah petani yang menerapan PTT di Kecamatan Banjarsari pada
tahun 2014
5
Kandungan N, P2O5 dan K2O pada bahan organik
13
Perhitungan pendapatan dan keuntungan usahatani
22
Populasi penduduk Desa Purwasari menurut umur tahun 2014
24
Jumlah penduduk Desa Purwasari menurut pekerjaan tahun 2014
25
Kelompok tani tanaman pangan di Desa Purwasari Tahun 2014
25
Karakteristik responden berdasarkan pengalaman bertani padi di Desa
Purwasari tahun 2015
26
Karakteristik responden berdasarkan pengalaman sekolah lapang PTT padi di
Desa Purwasari tahun 2015
27
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Purwasari
tahun 2015
28
Karakteristik responden berdasarkan kelompok usia di Desa Purwasari tahun
2015
28
Karakteristik responden berdasarkan luas lahan di Desa Purwasari tahun 2015 29
Karakteristik responden berdasarkan status kepemilikan lahan di Desa
Purwasari tahun 2015
29
Karakteristik responden berdasarkan jumlah tanggungan petani di Desa
Purwasari tahun 2015
30
Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada usahatani padi di Desa Purwasari per
hektar per satu musim tanam
32
Persentase rata-rata penerapan teknologi PTT di Desa Purawasari Tahun 2015 33
Penerimaan rata-rata usahatani padi petani PTT dan non PTT per satu musim
tanam di Desa Purwasari tahun 2015
38
Biaya total rata-rata usahatani padi petani PTT per hektar per satu musim
tanam di Desa Purwasari Tahun 2015
39
Biaya total rata-rata usahatani padi petani non PTT per hektar per satu musim
tanam di Desa Purwasari Tahun 2015
40
Pendapatan dan keuntungan rata-rata usahatani padi petani PTT dan petani
non PTT per satu musim di Desa Purwasari tahun 2015
42

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Produktivitas padi di Jawa Barat pada tahun 2009-2014
2
Produktivitas padi di beberapa Kabupaten di Jawa Barat tahun 2009-2013
3
Tingkat pemahaman petani terhadap teknologi pertanian tanaman tangan Padi
di Kecamatan Banjarsari tahun 2010-2014
6
Perbedaan produksi akibat dari perbedaan manajemen
16

5
6
7
8
9

Pergeseran kurva total physical product (TPP) ke atas akibat perubahan
teknologi
17
Perubahan teknologi dan fungsi produksi
17
Kerangka pemikiran operasional
19
Benih bersertifikat
34
Sistem jajar legowo 6:1 di Desa Purwasari
35

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Produk domestik regional bruto sektor pertanian di provinsi jawa barat atas
dasar harga berlaku tahun 2013
49
Produktivitas padi pada setiap provinsi di Pulau Jawa tahun 2013
49
Peningkatan produksi padi nasional dari tahun 2005-2015
49
Luas panen dan produksi padi menurut Kecamatan di Kabupaten Ciamis
Tahun 2013
50
Produktivitas padi di Desa Purwasari tahun 2009 - 2014
50
Anjuran penerapan teknologi PTT di Desa Purwasari
51
Tingkat penerapan responden terhadap teknologi PTT di Desa Purwasari
tahun 2015
51
Independent samples test petani PTT dan petani non PTT
52

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor utama di Jawa Barat sebagai
penggerak perekonomian masyarakat. Kondisi alam, iklim dan keadaan topografi
yang mendukung untuk ditanami berbagai macam tanaman pertanian. Sektor
pertanian meliputi usaha tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan,
perikanan dan kehutanan. Salah satu sektor pertanian yang banyak dilirik oleh
petani Jawa Barat adalah tanaman pangan, yang apabila dilihat berdasarkan
ketenagakerjaan di Jawa Barat sebagian besar penduduk bekerja pada sektor ini
yaitu 66.84 persen pada tahun 2013 (BPS 2014).
Tanaman pangan memberikan kontribusi terhadap PDRB Jawa Barat
sebesar 74.06 persen pada tahun 2013. Angka tersebut merupakan angka tertinggi
dari beberapa sektor pertanian di Jawa Barat (Lampiran 1). Salah satu tanaman
pangan yang menjadi komoditas unggulan adalah padi. Padi dapat diolah menjadi
beras yang merupakan makanan pokok dan sumber karbohidrat bagi masyarakat,
sehingga tidak heran apabila sebagian besar penduduk di Jawa Barat bekerja pada
sektor tanaman pangan, terutama bercocok tanam padi sebagai mata pencaharian
utama yang dapat dilihat berdasarkan luas panen pada Tabel 1.
Tabel1 Luas panen, produksi, dan produktivitas tanaman pangan di Jawa Barat
tahun 2013
Komoditas
Luas panen
(Ha)
Produksi
(Ton)
Produktivitas
(Ton/Ha)

Padi

Jagung

Ubi Kayu

Kedelai

Kacang Kacang
Hijau
Tanah

Ubi
Jalar

2 029 891

152 923

95 505

35 682

9 121

54 346

26 635

12 083 162

1 101 998

2 138 532

51 172

11 002

91 573

485 065

5.953

7.206

22.392
Share (%)

1.434

1.206

1.685

18.212

1.48

0.38

2.26

1.11

Luas panen
84.43
6.36
(Ha)
Sumber: BPS Jawa Barat, 2014 (Diolah)

3.97

Berdasarkan Tabel 1, komoditas padi pada tahun 2013 memiliki luas panen
tertinggi diantara komoditas jagung, ubi kayu, kedelai, kacang hijau, kacang tanah
dan ubi jalar. Luas panen padi dari total lahan panen tanaman padi adalah 84.43
persen, sehingga padi dapat dikatakan sebagai komoditas utama dalam bercocok
tanam. Luas panen dan produksi padi yang tinggi tidak diikuti dengan angka
produktivitas yang tinggi pula, melainkan menghasilkan angka yang masih sangat
rendah yaitu 5.953 ton per hektar apabila dibandingkan dengan produktivitas padi
di Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Timur (Lampiran 2). Hal tersebut karena
potensi lahan pertanian yang luas belum dapat dimanfaatkan secara optimal,
dimana dalam satu tahun rata-rata petani hanya mampu melakukan produksi dua
musim tanam, sehingga menjadi salah satu alasan pemerintah masih melakukan

2

kegiatan impor dari negara asing seperti Thailand, Vietnam, Cina, Pakistan dan
Amerika Serikat, serta menjadi kendala pemerintah terhadap swasembada beras
yang sedang dicanangkan saat ini1. Rata-rata produktivitas padi di Jawa Barat
yang masih rendah dan diikuti dengan fluktuasi padi dari tahun ke tahun dapat
dilihat pada Gambar 1.

Produktivitas Padi Jawa Barat (Ton/Ha)

5.953
5.922
5.893

5.874
5.806
5.760

2009

2010

Gambar 1

2011

2012

2013

2014

Produktivitas padi di Jawa Barat pada tahun 2009-2014

Sumber: BPS Jawa Barat(2014)

Berdasarkan Gambar 1, Rata-rata produktivitas padi di Jawa Barat dari
tahun 2009 hingga tahun 2014 berada pada kisaran 5.7 – 5.8 ton per hektar. Ratarata produktivitas padi mengalami fluktuasi setiap tahun, salah satunya dapat
disebabkan kondisi lingkungan yang tidak menentu, seperti yang terjadi saat ini
yaitu kekeringan panjang yang sedang terjadi di seluruh wilayah Indonesia.
Kekeringan panjang yang disebabkan oleh El Nino diprediksi akan berlangsung
hingga bulan November yang mengakibatkan terjadinya gagal panen, namun
menurut Menteri Pertanian (2015) kekeringan yang melanda lahan pertanian di
Indonesia tidak banyak memberikan pengaruh terhadap produksi padi karena
pemerintah telah melakukan antisipasi dan tindakan, seperti menyediakan pompa
air. Berdasarkan data BPS Nasional apabila dibandingkan dengan produksi pada
tahun 2014, terjadi peningkatan sebesar 6.25 persen ARAM I pada tahun 2015.
Kenaikan produksi yang terjadi pada tahun ini merupakan sejarah, karena angka
tersebut merupakan angka kenaikan tertinggi selama sepuluh tahun terakhir 2
(Lampiran 3). Meskipun terjadi kekeringan, namun produksi padi tetap meningkat
dan diharapkan mampu mencapai target pemerintah akan swasembada.
Pemerintah terus menciptakan sebuah inovasi teknologi untuk mencapai
target produksi dan swasembada, seperti teknologi pengelolaan tanaman terpadu
(PTT) yang mulai diperkenalkan oleh pemerintah pada tahun 2008 melalui
sekolah lapang. PTT merupakan sebuah inovasi teknologi yang digunakan dalam
memecahkan berbagai permasalahan pada usahatani padi terutama pada musim
1

http://m.kompasiana.com/www.kompasianakhoiri.com/mewujudkan-indonesia-sebagai-lumbungpadi-dunia-1_552a4438f17e61b872d623d8 (16 September 2015, 13:52)
2
Menteri Pertanian. 2015. Kekeringan Tak Pengaruhi Produksi Pangan. Sinartani Membangun
Kemandirian Agribisnis. Edisi 15-21 Juli No. 3615 Tahun XLV Hal 12.

3

kemarau, karena salah satu komponen PTT yaitu pengaturan air secara berselang
dapat diterapkan pada saat musim kemarau, selain itu PTT mampu meningkatkan
produktivitas padi, pendapatan petani dan efisiensi usahatani (Kinanthi et al.
2014). Teknologi PTT terdiri dari 13 komponen yang penerapannya disesuaikan
dengan kondisi di lapangan dan mampu menekan biaya produksi yang
dikeluarkan oleh petani (Haryani 2009). Teknologi PTT sudah banyak diterapkan
di seluruh wilayah indonesia, meskipun penerapannya belum sesuai anjuran PTT,
seperti yang dilakukan oleh petani di Jawa Barat yaitu petani di Tasikmalaya,
Sukabumi, Bandung, Cianjur, Subang, Ciamis, Karawang, Kuningan, Garut,
Indramayu dan Majalengka menerapkan teknologi ini untuk meningkatkan
produktivitas (BPTP Jawa Barat 2013).
Komponen teknologi PTT pada masing-masing kabupaten masih belum
seutuhnya diterapkan, tetapi teknologi ini sudah dapat diterima oleh beberapa
petani, seperti 37.5 persen petani di Kabupaten Subang sangat setuju terhadap
penerapan teknologi PTT (BPTP Jawa Barat 2013), begitupula dengan petani di
Kabupaten Cianjur sebesar 43.08 persen (Kinanthi et al. 2014). Pengenalan dan
penyaluran teknologi PTT tidak mudah untuk diterima langsung oleh petani,
sehingga melalui kegiatan gelar teknologi dan sosialisasi langsung kepada petani
dan menunjuk salah satu lokasi untuk menerapkan teknologi dapat mempercepat
penyebaran teknologi PTT, meningkatkan pemahaman petani dan petugas lapang.
Berdasarkan beberapa kabupaten di Jawa Barat yang menerapkan teknologi PTT,
tingkat produktivitas yang dihasilkan dari tahun 2009 hingga tahun 2013 masih
mengalami peningkatan dan penurunan (Gambar 2).

Produktivitas Padi di Beberapa Kabupaten
(Ton/Ha)
8
7
6
5
4
3
2
1

2009
2011
2013

0

Gambar 2

Produktivitas padi di beberapa Kabupaten di Jawa Barat tahun 20092013
Sumber : BPS Jawa Barat (2014)

Berdasarkan Gambar 2, produktivitas padi di beberapa kabupaten di Jawa
Barat berada pada kisaran angka 5-6 ton per hektar. Penerapan teknologi PTT
dianggap mampu meningkatkan produktivitas, namun penerapan teknologi yang

4

belum optimal atau sesuai dengan anjuran akan berpengaruh terhadap produksi
yang dihasilkan (Tiominar 2015).Beberapa kabupaten yang menerapkan teknologi
PTT mengalami peningkatan produksi, antara lain Bandung, Cianjur, Karawang,
Indramayu dan Majalengka. Hal tersebut terjadi karena lingkungan dan sumber
daya yang ada mendukung penerapan PTT, seperti tersedianya sumber air dari
sungai citarum, kondisi kesuburan tanah, serangan OPT yang relatif rendah di
Kabupaten Bandung dan tersampaikan teknologi tepat guna di Kabupaten lainnya
(BPTP Jawa Barat 2013). Penyampaian teknologi oleh petugas lapang masih
sangat rendah untuk diadopsi petani, karena keterbatasan pengetahuan dan
pemahaman petani mengenai teknologi PTT (Ismilaili 2015), seperti yang terjadi
di Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Kuningan, Majalengka dan Subang
yang mengalami fluktuasi produktivitas yang diduga karena penerapan teknologi
yang belum sesuai anjuran. Salah satu masalah utama adalah lemahnya pembina
lapang yang mengakibatkan petani pemilik, penggarap, dan buruh tani tidak
memiliki pemahaman, keyakinan dan keterampilan terhadap penerapan teknologi
PTT padi yang terjadi di Kabupaten Garut terutama tanam jajar legowo 2:13.
Pada tahun 2015 Kabupaten Ciamis sebagai provinsi yang menerapkan
teknologi PTT merupakan salah satu wilayah pemasok beras nasional sebanyak
180 ribu ton atau 43.37 persen dari total produksi sebanyak 415 ribu ton4. Kondisi
pertanian di Kabupaten Ciamis sama hal nya dengan kondisi di wilayah lain yang
saat ini sedang dilanda kekeringan panjang, namun Kabupaten Ciamis berhasil
melakukan panen raya. Keberhasilan panen raya di musim kemarau panjang ini
berkat adanya pompa air dan perbaikan irigasi yang dilakukan pemerintah
Kabupaten Ciamis. Irigasi teknis menjadi faktor pendukung proses produksi padi,
dimana tanah sawah irigasi teknis terluas berada di wilayah tenggara Kabupaten
yaitu Kecamatan Banjarsari, Lakbok, Pamarican dan Purwadadi. Penggunaan
irigasi teknis di Kecamatan tersebut mempengaruhi hasil produksi padi yang
tinggi pula(Lampiran 4), karena dengan adanya irigasi yang baik maka proses
pengairan lahan sawah dapat dilakukan secara efektif dan efisien sesuai anjuran
teknologi PTT yang saat ini sudah diterapkan (Kinanthi et al. 2014). Setiap
Kabupaten di Jawa Barat terus melakukan gelar teknologi PTT melalui sekolah
lapang, pelatihan dan penyuluhan kepada petani dan petugas lapang untuk
meningkatkan produktivitas padi.

Rumusan Masalah
Kecamatan Banjarsari sebagai wilayah sawah dengan irigasi teknis dan
penghasil potensial padi di Kabupaten Ciamis, memiliki jumlah desa paling
banyak diantara kecamatan yang berada di Kabupaten Ciamis yaitu 21 desa
dengan luas panen dan produksi cukup besar yaitu 6 800 hektar dan 46 928 ton
3

Temu Aplikasi Teknologi Pertanian Dalam Percepatan Penerapan Inovasi Teknologi Jajar
Legowo 2:1. http://jabar.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/component/content/article/4-infoaktual/421-garut (14 September 2015, 10:15)
4
Bupati Lakukan Panen Raya di Musim Kemarau Senin, 07 September 2015
http://www.ciamiskab.go.id/berita (14 September 2015, 12:21). Press Release Humas Setda Kab.
Ciamis.

5

pada tahun 2014. Begitupula dengan ketenagakerjaan di Kecamatan Banjarsari
sebesar 73.24 persen masyarakat bekerja pada sektor pertanian. Petani di
Kecamatan Banjarsari terus melakukan budidaya padi sesuai kapasitas dan
kemampuan yang dimiliki untuk dapat memenuhi permintaan masyarakat dan
membantu pemerintah dalam mencapai swasembada beras dengan mengikuti
sekolah lapang PTT.
Komponen teknologi PTT yang dianjurkan oleh pemerintah sebanyak tiga
belas komponen yaitu varietas unggul baru (VUB), benih bermutu dan berlabel,
pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah, pengendalian
OPT, pengaturan populasi tanam, pupuk organik, pengelolaan tanah sesuai musim
dan pola tanam, penanaman bibit muda kurang dari 21 hari, tanam 1-3 bibit per
rumpun, pengairan secara efektif dan efisien, penyiangan gulma menggunakan
gasrok, panen tepat waktu dan perontokan gabah sesegera mungkin.Berdasarkan
komponen anjuran PTT, BP3K Kecamatan Banjarsari melakukan perubahan
dengan menjadikan sebelas komponen PTT yang diterapkan sesuai dengan
pertimbangan kondisi dan kemampuan petani disana yang dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel2

Rata-rata jumlah petani yang menerapan PTT di Kecamatan Banjarsari
pada tahun2014
Tingkat
Sasaran
Tingkat
Penerapan penerapan
Penerapan
No.
Komponen PTT
tahun
tahun
tahun
2014 (%)
2014 (%)
2013 (%)
1. Penggunaan benih bermutu
63
65
64
2. Pengolahan tanah
81
83
82
3. Tanam bibit muda
52
54
53
4. Jumlah tanaman per lubang
54
56
55
5. Jarak tanam
60
62
61
6. Pemupukan urea berdasarkan
BWD dan pemupukan P & K
46
47
47
berdasarkan analisa tanah
7. Penggunaan pupuk organik
40
41
41
8. Pengaturan air secara berselang
55
57
56
9. Pengendalian OPT
57
59
58
10. penyiangan gulma menggunakan
100
100
100
gasrok
11. Panen dan Pasca Panen
61
63
62
Rata-rata penerapan PTT
56.9
58.7
57.9

Sumber: BP3K Kecamatan Banjarsari(2015)

Berdasarkan Tabel2, rata-rata petani yang menerapan komponen PTT di
Kecamatan Banjarsari masih berada pada kisaran 40 hingga 100 persen.
Penerapan teknologi PTT dilakukan secara bertahap dengan bantuan pihak
penyuluh pertanian melalui gelar teknologi dan sosialisasi langsung kepada
petani,sebab teknologi ini merupakan proses perubahan budidaya dari metode

6

konvensional menjadi metode organik yang membutuhkan waktu adaptasi yang
cukup lama. Sasaran penerapan teknologi PTT pada tahun 2014 belum dapat
tercapai secara keseluruhan, meskipun terdapat tiga komponen yang sudah
mencapai sasaran, yaitu pemupukan urea, NPK, pupuk organik dan penyiangan
gulma menggunakan gasrok. Sasaran penerapan teknologi PTT pada tahun 2014,
delapan komponen diantaranya hanya mampu mencapai sasaran sebesar 50
persen. Hal ini karena masih banyak tantangan dan pertimbangan petani, seperti
pengunaan benih bermutu dan berlabel yang digunakan petani ketika gabah hasil
panen sebelumnya sudah tidak dapat digunakan sebagai bibit untuk penanaman
selanjutnya, sertakegiatan penanamandenganjumlah benih padi setiap lubangnya
masih berjumlah banyak karena kekhawatiran petani akan serangan hama keong
dan jarak tanam legowo yang dirasa belum maksimal karena banyak lahan yang
kosong dan sayang apabila tidak ditanami.
Tingkat penerapan petani mengenai pemberian pupuk menggunakan urea,
NPK dan pupuk organik sangat rendah dibandingkan dengan komponen lain,
meskipun sasaran pada tahun 2014 tercapai. Pengetahuan, keterampilan dan sikap
petani sangat penting dalam menjalankan teknologi, karena mampu menunjang
tingkat keberhasilan penerapan teknologi PTT. Pelaksanaan teknologi PTT belum
mampu mencapai angka 100 persen, meskipun demikian dari tahun ke tahun
terjadi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petani akan adanya
teknologi pertanian, seperti yang digambarkan pada Gambar 3 berikut ini.
Tingkat Pemahaman Petani Terhadap Teknologi
Pertanian (%)
70
60
50
40
30
20
10
0
2010

Jarak Tanam

Gambar 3

2011

Pupuk Organik

2012

2013

Benih Bermutu

2014

Pengendalian OPT

Tingkat pemahaman petani terhadap teknologi pertanian tanaman
tangan Padi di Kecamatan Banjarsari tahun 2010-2014
Sumber : BP3K Kecamatan Banjarsari (2015)

Berdasarkan Gambar 3, tingkat pemahaman petani terhadap penerapan
teknologi pertanian memperoleh respon baik dari petani di Kecamatan Banjarsari.
Pengetahuan, keterampilan dan sikap petani akan teknologi pertanian terus
mengalami peningkatan dari tahun 2010 hingga tahun 2014, dimana terdapat
hubungann dengan komponen teknologi PTT. Komponen pengendalian OPT
sangat ditekankan oleh petani hingga tingkat pemahamannya mencapai angka 60
persen. Hama dan penyakit merupakan masalah yang sering dihadapi oleh petani

7

setiap tahunnya, karena serangan hama dan penyakit sangat berpengaruh pada
proses produksi. Selain pengendalian OPT, Pemahaman petani terhadap
penggunaan benih bersertifikat terus meningkat setiap tahunnya, terlihat dari
banyaknya penggunaan benih bersertifikat dengan varietas benih yang digunakan
seperti Ciherang, IR dan Hibrida. Setiap varietas memiliki keunggulan masingmasing, pada umumnya petani menggunakan benih varietas Ciherang karena
varietas ini memiliki porduksi yang tinggi, mudah dalam pemeliharaannya dan
memiliki pangsa pasar yang tinggi (Pertiwi et al.2011).
Pemahaman petani akan penggunaan pupuk organik yang masih sangat
rendah. Ketersediaan dan manfaat pupuk organik yang tidak terlihat secara
langsung, menjadikanpenggunaan pupuk anorganik menjadi prioritas utama
karena manfaat yang dihasilkan terlihat secara langsung. Penggunaan pupuk
anorganik seperti NPK dan Urea masih belum sesuai dengan dosis yang di
tetapkan. Penggunaan dosis pupuk yang belum sesuai dengan anjuran PTT dan
tidak berimbang mengakibatkan biaya yang dikeluarkan oleh petani masih sangat
tinggi. Pengetahuan, keterampilan dan sikap petani sangat penting untuk
melakukan manajemen teknis dalam menentukan dan menggunakan input
produksi sesuai kebutuhan dan digunakan secara efisien yang mampu menekan
biaya produksi (Haryani 2009).
Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petani dalam penerapan
teknologi pertanian seperti PTT dapat digambarkan melalui tingkat keberhasilan
petani dalam melakukan usahatani dengan membandingkan jumlah produksi dan
pendapatan petani padi PTT dan petani konvensional. Dengan adanya sebuah
pembanding maka akan terlihat metode mana yang sebaiknya digunakan oleh
petani, yang nantinya akan menjadi rekomendasi kepada petani dalam melakukan
budidaya. Berdasarkan pemaparan yang ada, sebaiknya dilakukan identifikasi
seberapa besar penerapan masing-masing komponen teknologi PTT yang mampu
meningkatkan produksi dan pendapatan petani di Kecamatan Banjarsari dengan
memperhatikan;
1 Seberapa besar tingkat derajat penerapan PTT pada usahatani padi di Desa
Purwasari Kecamatan Banjarsari?
2 Berapa besar pendapatan usahatani padi yang menerapkan PTT di Desa
Purwasari Kecamatan Banjarsari?

Tujuan Penelitian
1 Menentukan derajat penerapan PTT pada usahatani padi di Desa Purwasari
Kecamatan Banjarsari.
2 Menganalisis pendapatan usahatani padi terkait dengan penerapan PTT di
Desa Purwasari Kecamatan Banjarsari.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini mengenai penerapan program PTT padi di Kecamatan
Banjarsari dengan melakukan Analisis Pendapatan Usahatani Padi Melalui
penerapan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Desa Purwasari,

8

Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Hasil dari penelitian ini
diharapkan mampu memberikan tambahan pengetahuan dan wawasan kepada
semua pihak. Manfaat bagi penulis adalah sebagai menambah pengetahuan dan
wawasan mengenai budidaya padi dengan penerapan teknologi PTT, bagi
penyuluh sebagai masukan dalam memberikan pengarahan dan pendampingan
kepada petani di lapangan dan bagi petani sebagai masukan dan memberikan
motivasi dalam menjalankan usahatani dengan teknologi PTT sehingga
menghasilkan produksi padi yang optimal. Manfaat bagi akademisi dan peneliti
sebagai bahan pustaka dalam melakukan penelitian.

Ruang Lingkup Penelitian
Unit analisis penelitian ini adalah usahatani padi dengan menggunakan
teknologi PTT, yang kemudian menentukan persentase derajat ketepatan
penerapan teknologi PTT dari masing-masing komponen yang mempengaruhi
pendapatan petani di Desa Purwasari. Komponen PTT terdiri dari VUB, benih
bermutu dan berlabel, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara
tanah, pengendalian OPT, pengaturan populasi tanam, pupuk organik, pengelolaan
tanah sesuai musim dan pola tanam, penanaman bibit muda kurang dari 21 hari,
tanam 1-3 batang per rumpun, pengairan secara efektif dan efisien, penyiangan
gulma menggunakan gasrok, panen tepat waktu dan perontokan gabah sesegera
mungkin. Analisis produksi padi dilakukan satu musim tanam dalam satu tahun.

TINJAUAN PUSTAKA
Persentase Derajat Ketepatan Penerapan Komponen Program PTT
Program pemerintah dalam meningkatkan pertanian di Indonesia khususnya
tanaman pangan seperti padi dapat ditingkatkan dengan penerapan teknologi.
Penerapan teknologi pertanian mampu meningkatkan produktivitas secara
Optimal dengan sumber daya yang tersedia (Zakaria 2014). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Adnyana dan Kariyasa (2006), Tiominar (2015),
Musyarofah (2013), Zakaria (2014) dan Kinanthi et al. (2014) penerapan
komponen PTT dimasing-masing wilayah belum seluruhnya dilakukan dan
persentase penerapan masing-masing komponen PTT pun belum mencapai 100
persen. Teknologi PTT terdiri dari dua komponen, yakni komponen teknologi
dasar dan komponen teknologi pilihan.
Salah satu komponen yang mampu mencapai angka 100 persen adalah
pengairan efektif dan efisien, karena sistem pengairan dikelola khusus oleh
petugas irigasi (Kinanthi et al. 2014), dimana jaringan irigasi dan pasokan air
yang terjamin mampu memotivasi petani mengadopsi teknologi (Zakaria 2014),
namun masih terdapat petani yang tingkat penerapannya hanya 46.37 persen yaitu
petani yang lebih memilih menggenangi lahan sawahnya dan tidak melakukan
pengairan berselang (Timoniar 2015). Hal ini pun sesuai dengan penelitian yang

9

dilakukan oleh oleh Adnyana dan Kariyasa (2006), dimana pengairan secara
berselang belum hanya dilakukan 85-92 persen karena terbatasnya ketersediaan
air dan lokasi sawah relatif dekat dengan saluran air sekunder dan tersier.
Komponen penting lainnya adalah penggunaan benih varietas unggul baru
(VUB) yang penerapannya mencapai 95 persen(Kinanthi et al. 2014). Penerapan
benih VUB relatif lebih mudah diterapkan, tidak memerlukan biaya tambahan dan
mudah didapatkan, namun penerapan benih bermutu dan bersertifikat bagi petani
merupakan hal yang sulit karena memerlukan biaya yang tinggi dan kualitas benih
dianggap kurang maksimal, sehingga tingkat penerapannya hanya mencapai 60
persen (Kinanthi et al. 2014). Meskipun petani telah menggunakan VUB bermutu
dan bersertifikat, namun penggunaan bibit muda berumur kurang dari 21 hari
menjadi tantangan bagi para petani, dimana tingkat penerapannya sangat rendah
yaitu 65 persen (Kinanthi et al. 2014) karena bibit muda dianggap lebih beresiko
terhadap serangan hama keong dan memerlukan pemeliharaan intens. Berbeda
dengan penelitian Tiominar (2015) yang tingkat penerapannya hingga mencapai
91.94 persen, karena bibit muda mampu mengoptimalkan pertumbuhan bibit di
lahan tanam, lebih tahan terhadap stres akibat pencabutan di pesemaian,
pengangkutan dan penanaman kembali. Selain itu, bibit muda memiliki kadar
nitrogen yang lebih tinggi pada daun (Tiominar 2015).
Dalam melakukan budidaya padi komponen pengaturan populasi tanaman,
jumlah bibit per lubang dan pengaturan jarak tanam perlu diperhatikan.
Pengaturan populasi tanam yang dilakukan petani berada pada tingkat penerapan
73persen dengan jumlah per lubang 1-3 bibit (Musyarofah 2013), namun masih
terdapat petani yang menanam padi dengan jumlah per lubang lebih dari 3 bibit.
Hal tersebut dilakukan karena petani menghindari serangan hama keong, sehingga
petani lebih memilih menanam dengan jumlah rumpun yang lebih banyak
(Kinanthi et al. 2014). Komponen pilihan lain yang diterapkan petani adalah
pengaturan jarak tanam yang sering muncul dengan istilah jajar legowo yang
diterapkan oleh petani hanya 43-45 persen, dimana sebagian petani lebih memilih
menanam dengan jarak tegel (Tiominar 2015). Berdasarkan persepsi petani,
pengaturan jarak tanam menggunakan jajar legowo tidak terlalu signifikan dan
membutuhkan biaya buruh tanam yang lebih tinggi, hal tersebut pun sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Kinanthi et al. (2014), karena jarak tanam
legowo membutuhkan jumlah tenaga kerja yang banyak dan memiliki
kemampuan tanam tersebut.
Penggunaan pupuk organik oleh petani mencapai 85 persen, dimana
terdapat dampak positif dan negatif dari penggunaan pupuk organik yaitu menurut
Kinanthi et al. (2014) pupuk organik mampu mengurangi penggunaan pupuk
kimia dan menghemat biaya karena harga pupuk kimia lebih mahal, sedangkan
menurut Tiominar (2015) kinerja pupuk organik tidak dapat langsung terlihat pada
tanaman, sehingga petani enggan memberikan pupuk organik dan lebih memilih
pupuk anorganik seperti urea yang dapat dilihat langsung hasilnya. Namun
berbeda dengan penelitian Adnyana dan Kariyasa (2006), penggunaan pupuk urea
masih tinggi antara 45-79 persen karena kurangnya fasilitas Bagan Warna Daun
(BWD), sehingga pemberian pupuk tidak berimbang. Penggunaan pupuk
bertujuan menjaga unsur hara tanah, sedangkan untuk menjaga padi dari serangan
hama dan penyakit diterapkan komponen pengendalian hama terpadu dan
penyiangan gulma menggunakan landak. Pengendalian hama terpadu yang

10

dilakukan petani masih sangat rendah dengan tingkat penerapan hanya 46.7
persen (Musyarofah 2013) dan 47.18 persen (Tiominar 2015), sebab masih
banyak para petani yang mengandalkan pestisida kimiawi yang mengakibatkan
tanaman resisten terhadap obat-obatan yang diberikan, begitupula dengan petani
yang penerapannya hanya 15 persen karena dianggap pestisida kimiawi lebih
praktis penggunaannya (Kinanthi et al. 2014).
Komponen pemeliharaan selanjutnya adalah penyiangan gulma
menggunakan landak yang penerapannya masih sangat rendah hanya 15 persen
(Kinanthi et al. 2014), dimana petani lebih memilih penyiangan gulma dengan
cara manual yaitu menggunakan tangan, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan
petani dengan cara mencabut gulma secara manual oleh tenaga kerja wanita
(Musyarofah 2013). Komponen teknologi PTT yang terakhir adalah pengelolaan
panen dan pasca panen yang harus dilakukan oleh petani yang terdiri dari dua
indikator yaitu panen tepat waktu dan perontokan gabah secara langsung.
Teknologi pilihan panen tepat waktu dan perontokan gabah secara langsung
belum diterapkan oleh petani (Kinanthi et al. 2014), karena kesulitan tenaga kerja
panen dan kebutuhan ekonomi yang mendesak, namun terdapat beberapa petani
yang menerapkan komponen pengelolaan panen dan pasca panen dengan tingkat
penerapan mencapai 50.40 persen, karena panen yang tidak tepat waktu
mengakibatkan tidak seluruh gabah dapat dirontokkan. Adapula petani yang tidak
melakukan panen tepat waktu karena petani sudah melakukan kontrak dengan
tengkulak sebelum padi panen (Tiominar 2015).

Pendapatan Usahatani Padi Terkait Penerapan Program PTT
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan suatu inovasi teknologi
yang mampu meningkatkan produktivitas secara optimal dengan penggunaan
input-input produksi yang tersedia sesuai dengan kebutuhan. Penggunaan inputinput produksi secara tepat guna akan mempengaruhi jumlah biaya produksi yang
harus dikeluarkan, sebab melalui pendekatan PTT penggunaan saprodi dapat
dihemat (Kusmiatunet al.2012) karena penggunaan input lebih sedikit
(Musyawaroh 2013) sehingga mampu menekan biaya produksi yang akhirnya
dapat meningkatkan pendapatan bersih petani (Haryani 2009 dan Hidayat et al.
2012).
Pendapatan merupakan suatu tolak ukur keberhasilan usahatani, dengan
melihat jumlah pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan output dikalikan
dengan harga jual yang berlaku. Pendapatan petani yang menerapkan PTT lebih
besar dibandingkan petani non PTT, yaitu rata-rata pendapatan petani PTT Rp14
826 995.4 sedangkan rata-rata pendapatan petani non PTT Rp11 865 498.39
(Kusmiatun et al. 2012). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Haryani (2009) dan
Ratmini dan Herwenita (2014), bahwa penerapan PTT lebih menguntungkan
dibandingkan non PTT dengan pendapatan yang diperoleh lebih tinggi 38.67
persen daripada non PTT, sebab biaya input yang dikeluarkan berbeda untuk
masing-masing perlakuan.
Komponen PTT terdiri dari 13 komponen yang sebaiknya diterapkan
semuanya secara utuh untuk dapat memperoleh hasil yang optimal (Kinanthi et
al.2014). Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat et al. (2012)

11

dan Aswani et al.(2014), dengan membandingkan jenis benih yang digunakan,
yaitu petani yang menggunakan benih sesuai anjuran PTT yaitu VUB seperti
Inpari dan Cigeulis menghasilkan gabah dan kualitas beras yang meningkat,
sehingga memperoleh pendapatan lebih besar yaitu petani PTT VUB Rp17 410
000 per hektar, petani PTT non VUB Rp13 488 806 per hektar dan petani non
PTT Rp9 885 625 per hektar atau terjadi peningkatan sebesar 29.07 persen sampai
76.12 persen. Efisiensi (R/C) usahatani padi petani PTT adalah 1.87 lebih tinggi
dibandingkan petani non PTT yaitu 1.66 (Kinanthi et al. 2014), hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Aswani et al.(2014) yang tingkat efisieni
mencapai 3.15 petani PTT dan 2.34 petani non PTT.
Berdasarkan uji beda antara pendapatan petani PTT dan petani non PTT
dengan taraf nyata 95 persen yaitu nilai probabilitas kurangdari 5 persen atau sig. t
= 0.000 (< 0.05) berarti terima H1 artinya terdapat perbedaan nyata antara
pendapatan bersih usahatani penerapan PTT dengan usahatani padi non PTT
(Kusmiatun et al. 2012), sama hal nya dengan petani sebelum menerapkan PTT
dan sesudah menerapkan PTT yaitu terdapat perbedaan nyata antara pendapatan
bersih yang berdasarkan Tabel t hitung menunjukkan t hitung 6.59 > t Tabel 2.11
(Sig 2-tailed) (Siregar 2013). Hal tersebut karena terdapat peningkatan biaya
produksi, peningkatan produktivitas hasil panen dan berimbas terhadap
peningkatan pendapatan petani (Mulyani dan Jumiati 2014).

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teori
Pengelolan Tanaman Terpadu (PTT)
Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) merupakan sebuah inovasi teknologi
yang dikembangkan oleh Kementerian Pertanian yang mulai dikenalkan kepada
petani tahun 2008 pada komoditas tanaman pangan padi, jagung dan kedelai.
Sudah cukup banyak paket teknologi tepat guna yang dapat dimanfaatkan oleh
petani dalam meningkatkan produktivitas, kualitas dan kapasitas produksi, namun
paket teknologi masih belum sepenuhnya dapat diadopsi oleh masyarakat petani,
karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh petani
(Kementan 2009). PTT merupakan paket teknologi yang terdiri dari dua
komponen yaitu komponen teknologi PTT dasar dan komponen teknologi PTT
pilihan. Komponen teknologi PTT dasar dapat diterapkan di semua lokasi,
sedangkan komponen teknologi PTT pilihan disesuaikan dengan kondisi,
kemauan dan kemampuan (Ditektorat Jenderal Tanaman Pangan 2015).
Teknologi PTT pertama kali dikenalkan kepada petani melalui kegiatan
sekolah lapang (SL). SL-PTT adalah salah satu metode penyuluh, proses
transformasi informasi dan teknologi PTT sebagai tempat belajar non formal bagi
petani untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam menggali
masalah, mengenali peluang, menyusun rencana usahatani, mengatasi
permasalahan, mengambil keputusan, menerapkan teknologi, mengevaluasi dan
memperbaiki teknologi sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat.Adapun

12

komponen teknologi PTT dasar dan pilihan menurut Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Jawa Barat (2011) berikut ini:
A. Komponen teknologi PTT dasar
Komponen ini mudah diterapkan dan memberikan pengaruh besar
terhadap kenaikan hasil dan pendapatan petani. Komponen teknologi dasar
terdiri atas 6 komponen, yaitu:
1. Varietas unggul baru (VUB)
VUB adalah varietas yang mempunyai ketahanan terhadap biotik dan
abiotik dan mempunyai hasil produksi tinggi dengan mutu beras yang lebih
baik. Pemilihan varietas baik inbrida dan hibrida berdasarkan hasil
pengkajian spesifik lokasi terhadap ketahan OPT, rasa nasi, permintaan
pasar dan harga pasar yang tinggi. Agar mengurangi risiko hama dan
penyakit, hindari penggunaan varietas yang sama secara terus-menerus.
Contoh jenis varietas unggul baru antara lain varietas ciherang memiliki
umur panen 115-125 hari dan produktivitas 5-8 ton/ha, varietas INPARI-1
memiliki umur panen 108 hari dan produktivitas 7.3-10 ton per ha, varietas
INPARI-2 memiliki umur panen 115 hari dan produktivitas 5.8-7.3 ton/ha,
varietas INPARI-3 memiliki umur panen 110 hari dan produktivitas 6-7.5
ton per ha dan varietas Cibogo memiliki umur panen 115-125 hari dan
produktivitas 7-8.1 ton per ha.
2. Benih bermutu dan berlabel
Benih bermutu adalah benih berlabel dengan tingkat kemurnian dan daya
tahan tubuh yang tinggi yang sudah lulus proses sertifikasi. Benih ini akan
menghasilkan bibit yang sehat dengan akar yang banyak dan lebih tahan
terhadap serangan hama. Manfaat penggunaan benih ini adalah
mempertahankan sifat-sifat unggul termasuk daya hasil yang tinggi. Jumlah
pemakaian per hektar lebih hemat yaitu 10-15 kg per ha dari 20-25 kg per
ha.
3. Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah
Pemberian pupuk bervariasi berdasarkan lokasi, musim tanam dan jenis
padi yang digunakan. Pupuk yang digunakan adalah N, P dan K yang
dosisnya berdasarkan BWD (bagan warna daun) untuk N dan PUTS (
perangkat uji tanah sawah) untuk P dan K.
4. Teknik Pengendalian OPT
Pengendalian OPT dilaksanakan berdasarkan pendekatan Pengendalian
Hama Terpadu (HPT) dengan melakukan identifikasi jenis dan populasi
hama yang sebaiknya dilakukan secara alamiah. Jenis hama padi yang
utama adalah tikus sawah, wereng coklat, penggerek batang padi dan keong
mas, sedangkan jenis penyakit padi yang utama adalah bercak, blas, busuk,
pelepah, tungro dan hawar daun bakteri.
5. Pengaturan populasi tanam
Pengaturan populasi tanam dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan dan
keinginan petani yaitu sistem jajar legowo:
- Legowo 2:1 , jarak tanam 25 x 12.5 x 50 cm
- Legowo 2:1 , jarak tanam 20 x 10 x 40 cm
- Legowo 4:1 , jarak tanam 25 x 12.5 x 50 cm
- Legowo 4:1 , jarak tanam 20 x 10 x 40 cm
- Legowo 6:1 , jarak tanam 27 x 27 x 40 cm

13

Jumlah rumpun yang Optimal akan menghasilkan lebih banyak malai
per meter persegi dan berpeluang untuk mencapai hasil yang
tinggi.Pertumbuhan yang sehat dan seragam mempercepat penutupan
permukaan tanah, sehingga menekan pertumbuhan gulma.
6. Pupuk organik
Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan organik yaitu dari
sisa tanaman, kotoran hewan, pupuk hijau dan kompos padat atau cair.
Pemberian pupuk dalam jumlah yang sesuai sangat penting bagi
keberlanjutan lahan sawah. Sumber bahan organik yang utama dan banyak
tersedia pada tanaman padi adalah jerami. Kandungan unsur hara pada
beberapa bahan organik dapat dilihat pada Tabel 3.

No
1
2
3
4
5

Tabel3 Kandungan N, P2O5dan K2O pada bahan organik
K2O (%)
Jenis Bahan Organik
N (%)
P2O5 (%)
Jerami Padi
0.5 – 0.8
0.15 – 0.26 1.2 – 1.7
Kotoran Sapi
0.8 – 1.2
0.44 – 0.88 0.4 – 0.8
Kotoran Kambing/domba 2.0 – 3.0
0.88
2.1
Kotoran ayam
1.5 – 3.0
1.15 – 2.25 1.0 – 1.4
Kompos
0.5 – 2.0
0.44 – 0.88 0.4 – 1.5

Sumber : BPTP Jawa Barat (2011)

B. Komponen teknologi PTT pilihan
1. Pengelolaan tanah sesuai musim dan pola tanam
Pengelolaan tanah hingga berlumur dan rata agar pertumbuhan baik dan
seragam bagi tanaman, serta upaya pengendalian gulma. Pengelolaan dapat
dilakukan dengan traktor atau ternak.
2. Penanaman bibit muda kurang dari 21 hari
Bibit kurang dari 21 hari lebih tahan lama menghadapi stres akibat
pencabutan bibit di pesemaian, pengangkutan dan penanaman kembali, serta
memiliki bahan makanan cadangan untuk pertumbuhan bibit.
3. Tanam 1-3 batang per rumpun
Penanaman bibit dengan jumlah per lubang leboh banyak akan
meningkakan persaingan antar bibit dalam rumpun yang sama.
4. Pengairan secara efektif dan efisien
Pengairan dengan teknik berselang, gilir-giring, gilir glontor, macakmacak dan basah kering. Pemberian air dihemat hingga 30 persen tanpa
menurunkan hasil panen.
a. Pengairan berselang yaitu air di areal pertanaman diatur pada kondisi
tergenang dan kering secara bergantian.
b. Pengairan gilir-giring yaitu dilakukan 4-5 hari sekali apabila debit air
sungai sekitar 40 persen.
c. Pengairan gilir-glontor yaitu dilakukan 2-3 hari apabila debit air
sungai sekitar 40-60 persen.
d. Pengairan basah kering yaitu kondisi lahan tergenang dan kering
secara bergantian

14

5. Penyiangan menggunakan gasrok
Penyiangan dilakukan menjelang hari ke 21 setelah tanam. Manfaatnya
adalah ramah lingkungan dan hemat tenaga kerja, meningkatkan jumlah
udara dalam tanah, serta merangsang pertumbuhan akar lebih baik.
6. Panen tepat waktu
Panen tanaman padi berbeda-beda sesuai dengan varietas padi. Pada saat
panen perlu diperhatikan umur tanaman, cara pemanenan, tinggi
pemotongan tanaman sekitar 20 cm dari permukaan tanah. Panen terlalu
awal menyebabkan gabah hampa, gabah hijau dan butir kapur lebih banyak.
Terdapat tiga macam sistem pemanenan padi, yaitu:
- Individual atau keroyokan adalah sistem pemanenan padi dengan
jumlah pemanen tidak terbatas, siapa saja boleh ikut panen tanpa
ikatan satu dengan lainnya.
- Ceblokan atau Sromo adalah sistem pemanenan padi dengan jumlah
pemanen terbatas, orang lain tidak boleh ikut panen tanpa seijin
penceblok yang sebelumnya ikut merawat tanaman (penyiangan)
tanpa dibayar.
- Kelompok adalah sistem pemanenan padi dengan jumlah tenaga
pemanen terbatas dengan sistem kerja beregu (kelompok) dan
perontokannya menggunakan mesin perontok.
7. Perontokan gabah sesegera mungkin
Perontokan adalah melepaskan butir gabah dari malainya dengan cara
memberi tekanan pada malai. Proses perontokan gabah sesegera mungkin,
paling lama 1-2 hari setelah panen. Untuk menghasilkan mutu gabah yang
baik maka sebaiknya gabah secepatnya dijemur. Kematangan gabah sangat
menentukan rendeman, tingkat keilangan hasil dan mutu beras.
Analisis Pendapatan dan Ukuran Usahatani
Ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang
mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan
memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu (Seokartawi 1995).
Usahatani pada skala besar umumnya memerlukan modal yang besar, penerapan
teknologi, manajemen modern dan bersifat komersial, sedangkan usahatani pada
skala kecil umumnya modal yang diperlukan sedikit atau pas-pasan, penerapan
teknologi tradisional dan bersifat memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri.
Sebagian besar petani dengan skala kecil tergolong pada semi subsisten, yaitu
tidak sepenuhnya komersil, sehingga mereka mempunyai hubungan dengan pasar
dan memperoleh sebagian dari pendapatannya dengan dalam bentuk uang
(Soekartawi et al.1986). Dalam melakukan kegiatan usahatani memerlukan biaya
yang digunakan untuk membeli kebutuhan input-input yang akan menghasilkan
output dan memperoleh pendapatan usahatani.
Pendapatan usahatani merupakan suatu ukuran keberhasilan dari sebuah
usahatani. Terdapat dua istilah pendapatan usahatani, yaitu pendapatan kotor
usahatani dan pendapatan bersih usahatani. Pendapatan kotor usahatani atau
penerimaan adalah nilai produk total dalam jangka waktu tertentu, baik yang
dijual maupun yang tidak dijual, sedangkan pendapatan bersih usahatani adalah
selisih antara penerimaan dan pengeluaran total usahatani. Pendapatan bersih

15

usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan
faktor produksi dan modal milik sendiri.
Pengeluaran total usahatani adalah nilai semua masukan yang habis terpakai
atau dikeluarkan di dalam produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga
petani. Terdapat dua pengeluaran usahatani, yaitu pengeluaran tunai dan
pengeluaran tidak tunai. Pengeluaran tunai adalah biaya yang dikeluarkan oleh
petani, sedangkan pengeluaran tidak tunai adalah pengeluaran yang diabaikan
dalam perhitungan, seperti penyusutan, tenaga kerja dalam keluarga dan benih
dari musim tanam sebelumnya. Penyusutan adalah penurunan nilai inventaris
yang disebabkan oleh pemakaian selama tahun pembukuan. Komponen bunga
modal milik sendiri atau yang dipinjam dari orang lain tidak dihitung sebagai
pengeluaran(Soekartawi et al.1986).
Setelah diperoleh nominal dari setiap komponen, sebaiknya menilai
penampilan usahatani kecil, yaitu menentukan penghasilan bersih usahatani,
imbalan kepada modal petani, imbalan kepada seluruh modal dan imbalan kepada
tenaga kerja keluarga. Penghasilan bersih diperoleh daripenerimaan usahatani
dikurangi bunga modal pinjaman. Ukuran ini menggambarkan imbalan terhadap
semua sumberdaya milik keluarga yang dipakai dalam usahatani. Modal usahatani
dapat diperoleh dari modal sendiri dan modal pinjaman. Untuk melihat seberapa
besar imbalan terhadap total modal petani, maka perlu diketahui selisih antara
pendapatan bersih usahatani dan nilai tenaga kerja keluarga yang diukur
berdasarkan tingkat upah yang berlaku dan hasilnya dinyatakan dalam persen
terhadap nilai seluruh modal.
Imbalan terhadap modal petani diperoleh dari selisih penghasilan bersih dan
tenaga kerja keluarga. Hasil dari perhitungan, dinyatakan dalam persen terhadap
nilai modal petani. Selanjutnya, menghitung imbalan terhadap tenaga kerja
keluarga, yaitu selisih antara penghasilan bersih usahatani dan bunga modal petani
yang diperhitungkan. Ukuran imbalan ini dapat dibagi dengan jumlah anggota
keluarga yang bekerja dalam usahatani dan dapat dibandingkan dengan upah kerja
luar keluarga. Dapat pula diketahui seberapa efisien usahatani dengan menghitung
rasio antara penerimaan dan biaya atau R/C (Return Cost Ratio). Apabila nilai
R/C lebih dari satu maka usahatani dikatakan menguntungkan.
Peran Teknologi Terhadap Produksi
PTT adalah sebuah inovasi teknologi baru yang dikenalkan oleh pemerintah
kepada para petani. Proses penerapan teknologi sangat dipengaruhi oleh tingkat
inovasi dalam pengambilan keputusan. Teknologi memiliki peranan yang penting
dalam usahatani yaitu mensubstitusikan input dan mengubah outputyang
dihasilkan yang akhirnya berpengaruh terhadap proses produksi (Doll dan Orazem
1984). Tahapan adopsi inovasi melalui beberapa tahapan yaitu kesadaran
(awaren