Derajat haemonchosis berdasarkan jumlah cacing dan telur tiap gram tinja (TTGT) pada domba ekor tipis

DERAJAT HAEMONCHOSIS BERDASARKAN JUMLAH
CACING DAN TELUR TIAP GRAM TINJA
(TTGT) PADA DOMBA EKOR TIPIS

SITI HOLIJAH RANGKUTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Derajat Haemonchosis
Berdasarkan Jumlah Cacing dan Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) pada Domba
Ekor Tipis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Siti Holijah Rangkuti
NIM B04100107

ABSTRAK
SITI HOLIJAH RANGKUTI. Derajat Haemonchosis Berdasarkan Jumlah Cacing
dan Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) pada Domba Ekor Tipis. Dibimbing oleh
YUSUF RIDWAN dan FADJAR SATRIJA.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari derajat infeksi kecacingan
akibat Haemonchus contortus berdasarkan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT)
pada domba ekor tipis. Sampel tinja diambil dari 20 ekor domba yang diinfeksi
oleh Haemonchus contortus dengan dosis infeksi 500, 1000, 2000, 4000 larva
infektif dan kelompok non infeksi sebagai kontrol. Cacing dewasa dikoleksi dari
domba infeksi pada akhir percobaan pada minggu kedelapan setelah infeksi. Hasil
penelitian menunjukkan establishment tertinggi terjadi pada kelompok dosis 500,
1000, 2000 dan 4000 dengan persentase 50.1%, 14.6%, 6.1% dan 3.6%. Analisis
regresi linear menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara jumlah TTGT dan
jumlah cacing Haemonchus contortus. Derajat infeksi dikategorikan berdasarkan
jumlah cacing terlihat infeksi ringan dengan 1 – 250 ekor cacing menghasilkan

TTGT sebanyak 50 – 4400 telur, infeksi sedang dengan 251 – 500 ekor cacing
menghasilkan TTGT sebanyak 4400 – 8800 telur dan infeksi tinggi dengan >500
ekor cacing menghasilkan TTGT >8000 telur.
Kata Kunci : derajat infeksi, Estabilishment, Haemonchus contortus, TTGT

ABSTRACT
SITI HOLIJAH RANGKUTI. Degree of Haemonchosis based on the number of
worm and worm egg per gram (EPG) of faeces on thin tail sheep. Supervised by
YUSUF RIDWAN and FADJAR SATRIJA.
The aim of this experiment was to study the degree of helminth infection
caused by Haemonchus contortus based on the number of worm and egg per gram
of faeces (EPG) on thin tail sheep. Faecal samples were collected from 20 sheeps
infected by Haemonchus contortus with the doses of 500, 1000, 2000, 4000
infected larva and non infected group as control. Adult worms were collected
from the experimental sheeps at the end of experiment. In eighth week after
infection, the results showed the highest establishment occurred on the infected
groups of 500, 1000,2000 and 4000 larvae with the percentage of 50.1%, 14.6%,
6.1% and 3.6%, repectively.. Linear regression analysis showed strong
relationship between the number of EPG and the number of worms of
Haemonchus contortus. Degree infection were categorized based on the number

of worms showed a mild infection with 1-250 worms produced as many as 504400 EPG, medium infection with 251-500 worms produced as many as 44008800 EPG and heavy infection with >500 worms produced >8000 EPG.
Key words : degree infection, Estabilshment, Haemonchus contortus, EGP

DERAJAT HAEMONCHOSIS BERDASARKAN JUMLAH
CACING DAN TELUR TIAP GRAM TINJA
(TTGT) PADA DOMBA EKOR TIPIS

SITI HOLIJAH RANGKUTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 ini ialah infeksi
Haemonchus contortus dengan judul Derajat Haemonchosis Berdasarkan Jumlah
Cacing dan Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) pada Domba Ekor Tipis.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Drh Yusuf Ridwan MSi dan Drh
Fadjar Satrija MSc, PhD selaku pembimbing, serta Bayu Febram Prasetyo, SSi,
Apt selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberi saran.
Penghargaan tidak lupa penulis sampaikan kepada Bapak Eman, Bapak Kosasih
dan rekan sepenelitian yaitu Eniza Rukisti, Pika Sati S dan Hayatullah Frio M
yang telah banyak membantu selama penelitian serta ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada Ira, Wiwit, Laras dan teman-teman ACROMION 47 yang telah
memberikan semangat. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah,
ibu, Aisyah, Nuraini dan Fauzi atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2014
Siti Holijah Rangkuti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vii

DAFTAR GAMBAR

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian


1

TINJAUAN PUSTAKA

2

METODE

4

Tempat dan Waktu Penelitian

4

Hewan Coba

4

Prosedur Penelitian


5

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

SIMPULAN

9

DAFTAR PUSTAKA

9

RIWAYAT HIDUP

11

DAFTAR TABEL

1 Data jumlah cacing jantan dan betina dan persentase estabilishment
2 Jumlah telur tiap gram tinja berdasarkan derajat infeksi

7
8

DAFTAR GAMBAR
1 Organ reproduksi cacing dewasa Haemonchus contortus
2 Grafik hubungan jumlah cacing dengan TTGT

3
7

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domba merupakan ternak ruminansia yang banyak dipelihara di Indonesia.
Domba merupakan komoditi ternak penting dalam usaha peternakan rakyat dan
mempunyai peran strategis bagi kehidupan ekonomi masyarakat di pedesaan.
Peternak umumnya memelihara domba secara semi intensif dengan jumlah ternak
antara 3-5 ekor. Domba digembalakan pada siang hari dan dikandangkan pada

malam hari. Pakan domba berupa rumput diambil dengan mengandalkan alam
sekitar (Sudarmono dan Sugeng 2005). Pemeliharaan domba dengan cara
digembalakan dan pakan seadanya menyebabkan domba mudah terserang oleh
berbagai penyakit. Penyakit penting yang umumnya mengganggu kesehatan
ternak domba adalah orf, skabies dan penyakit akibat parasit yang dapat
menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas ternak.
Penyakit parasitik yang penting pada ternak domba adalah haemonchosis.
Hemonchosis disebabkan oleh cacing Haemonchus contortus yang mempunyai
kebiasaan menghisap darah. Kebiasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
anemia yang ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit dan Packed Cell Volume
(PCV). Infeksi kronis yang disertai dengan rendahnya asupan nutrisi ternak dapat
berakibat terjadi penurunan protein dan penurunan berat badan (Lastuti et al.
2006). Kerugian ekonomi dapat pula terjadi seperti penurunan produksi daging,
susu dan wol baik secara kuantitatif maupun kualitatif serta dapat menyebabkan
kematian ternak (Lastuti et al. 2006).
Derajat keparahan infeksi dipengaruhi oleh jumlah cacing yang menginfeksi
yang dapat didiagnosis melalui pemeriksaan tinja untuk mengetahui jumlah telur
tiap gram tinja (TTGT). Selama ini, standar penentuan derajat infeksi yang
digunakan berdasarkan data TTGT berasal dari penelitian luar negeri. Hal ini yang
mendorong dilakukannya penelitian mengenai derajat infeksi cacing pada domba

ekor tipis yang mengalami haemonchosis, sehingga dapat diketahui derajat
haemonchosis melalui pemeriksaan tinja.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat keberhasilan larva infekti
(L3) menjadi cacing dewasa, korelasi antara jumlah cacing dengan TTGT serta
derajat infeksi kecacingan yang diinfeksi oleh L3 H. contortus pada domba ekor
tipis.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau acuan
mengenai derajat infeksi H. contortus melalui pemeriksaan TTGT pada domba
ekor tipis.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Domba di Indonesia
Domba merupakan ruminansia kecil hasil domestikasi yang diklasifikasikan
pada sub famili Caprinae dan genus Ovis aries. Devendra dan McLeroy (1982),
Tillman (1981) dan Manson (1978) melaporkan bahwa jenis-jenis domba yang
banyak diternakkan di Indonesia adalah domba ekor tipis, domba ekor gemuk

(domba gibas) dan domba priangan.
Domba ekor tipis merupakan domba asli Indonesia yang tersebar luas di
daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah (Shodiq dan Abidin 2008). Ciri-ciri dari
domba ekor tipis adalah berwarna dominan putih dengan warna hitam di sekitar
mata, hidung dan beberapa bagian tubuh lainnya. Domba jantan mempunyai
tanduk kecil dan melingkar, sedangkan domba betina tidak memiliki tanduk. Ciri
lainnya memiliki ekor tipis dan tidak berlemak. Keunggulan domba ekor tipis
adalah mempunyai sifat prolifik yaitu mampu melahirkan anakan kembar. Domba
ini dapat melahirkan 2-5 anak setiap kelahiran.
Menurut penelitian Krisnayana (2011) domba ekor tipis memiliki kekebalan
terhadap infeksi Haemonchus contortus. Domba ekor tipis memiliki gen yang
dapat terekspresi dan berpengaruh terhadap mekanisme ketahanannya terhadap
infeksi Haemonchus contortus. Domba yang berasal dari Indonesia seperti domba
sumatera dan domba persilangan antara domba Sumatera dengan domba ekor
gemuk dilaporkan tidak memiliki ketahanan terhadap infeksi Haemonchus
contortus (Romjali et al. 1996).
Klasifikasi dan morfologi H. contortus
Haemonchus contortus adalah cacing dari kelas Nematoda, Ordo
Strongylida dan super famili Trichostrongyloidea. Cacing dewasa hidup di dalam
abomasum ruminansia kecil termasuk domba dan kambing. Cacing jantan
panjangnya 10-20 mm dan betina 18-30 mm. Cacing jantan dan betina dapat
dibedakan melalui pengamatan morfologi organ reproduksi (Urquhart et al. 1987).
Cacing betina berwarna merah, mempunyai pola spiral merah dan ukurannya lebih
besar dari pada cacing jantan. Sedangkan cacing jantan tidak mempunyai pola
spiral merah dan ukurannya kecil.
Organ reproduksi cacing betina terdiri dari ovarium, oviduct, uterus dan
diakhiri dengan vagina pendek yang bermuara pada vulva. Uterus dan vagina
dihubungkan dengan ovijector. Cacing betina mempunyai vulva flap yang
berfungsi dalam proses kopulasi dan pengeluaran telur. Setiap ekor cacing betina
dewasa dapat bertelur sampai 10.000 butir perhari.
Cacing jantan mempunyai organ reproduksi yang terdiri dari testis tunggal
yang memanjang dan vas deferens berujung di duktus ejakulatori. Terdapat organ
asesoris yang terdiri dari sepasang spikulum dan gubernakulum. Pada ujung
posterior tubuh ditemukan pelebaran kutikula yang disebut bursa kopulatriks.
Organ ini berfungsi membantu proses pelekatan cacing jantan dan betina pada saat
kopulasi.

3
A

B

C

V

S

BK

G

Gambar 1 Organ reproduksi cacing dewasa H. contortus A. Betina dan Jantan, B.
Betina, C. Jantan, V. Vulva flap, BK. Bursa kopulatriks, S. Spikulum
dan G. Gubernakulum.
(Sumber : [BVA] British Veterinary Association 2010)
Siklus hidup, Patogenesis, Gejala klinis, dan Diagnosa Haemonchosis
Siklus hidup Haemonchus contortus bersifat langsung, tidak membutuhkan
inang antara, terdiri dari fase pre-parasitik (hidup bebas) diluar tubuh induk
semang, dan fase parasitik didalam tubuh inangnya. Cacing dewasa hidup di
abomasum. Cacing betina dalam abomasum memproduksi telur yang keluar
bersama pengeluaran tinja. Pada suhu dan kelembaban optimal telur akan menetas
mengeluarkan larva stadium 1 (L1). Setelah melalui dua kali molting, L1
berkembang menjadi L2 dan selanjutnya menjadi L3 yang merupakan stadium
infektif dalam waktu 4 sampai 6 hari. Larva infektif menempel pada rumputrumputan atau batang semak. Domba akan terinfeksi jika memakan rumput yang
mengandung L3. Didalam tubuh inang L3 tumbuh dan berkembang menjadi L4
atau disebut tahap pradewasa. Selanjutnya L4 berkembang menjadi L5 atau tahap
dewasa yang siap bertelur pada hari ke-15 sampai hari ke-20 setelah infeksi
(Urquhart et al. 1987). Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan infeksi
diantaranya status kekebalan individu, umur hewan, kejadian penyakit seperti
diare dan anemia dan kejadian kronis pada hewan yang pernah terinfeksi H.
contortus.
Patogenesis dari haemonchosis dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
umur domba, ukuran dan berat badan, lama infeksi dan status nutrisi. Infeksi H.
contortus menyebabkan hewan mengalami anemia dan hipoproteinemia.
Patogenitas dipengaruhi oleh jumlah cacing yang menginfeksi. McKenna (1987)
mengelompokkan derajat infeksi berdasarkan hasil penghitungan telur tiap gram
tinja (TTGT) ke dalam tiga kelompok yaitu kategori rendah dengan infeksi telur
≤500, infeksi sedang 600-2000 telur dan infeksi tinggi >2000 telur pada domba
berumur kurang dari 12 bulan. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi
cacing H. contortus pada domba yaitu domba mengalami anemia dan penurunan
Packed Cell Volume (PCV), diare, dehidrasi dan terjadinya akumulasi cairan pada
jaringan sub mandibular (bottle jaw), abdomen, rongga thoraks dan dinding usus.
Infeksi cacing ini juga dapat menyebabkan tingkat pertumbuhan domba yang
lebih rendah, mengurangi kinerja reproduksi yang terlihat nyata, memiliki
kerentanan yang lebih tinggi terhadap paparan penyakit dan menyebabkan
kematian (Browning 2006).

4
Diagnosis haemonchosis dapat dilihat berdasarkan gejala klinis yang
ditimbulkan. Selain itu, dapat pula ditentukan dengan mengidentifikasi telur-telur
cacing di bawah mikroskop. Bedah bangkai pada ternak yang mati juga akan
membantu dalam penetapan diagnosis penyakit ini.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian H. contortus pada domba
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian infeksi cacing
Haemonchus contortus pada domba dikawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia
diantaranya faktor lingkungan akibat suhu tinggi, kelembaban dan curah hujan.
Pada musim hujan, derajat infeksi cacing parasit lebih tinggi dibandingkan pada
musim kemarau. Genetik juga merupakan salah satu faktor yang membuat domba
rentan terhadap infeksi cacing ini. Faktor lainnya yaitu berkembangnya populasi
parasit yang resistensi terhadap anthelmintik akibat penggunaan yang berlebihan
(Browning 2006). Faktor lain yang dapat mempengaruhi diantaranya adalah
kepadatan ternak, lamanya ternak merumput, masa selama menyapih sampai
beranak kembali, disatukannya berbagai jenis ternak yang merumput bersama dan
perbandingan antara jumlah ternak muda dan dewasa.

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Helmintologi dan kandang
ruminansia kecil Unit Pengelola Hewan Laboratorium (UPHL), Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung mulai
bulan Juli hingga Oktober 2013.
Hewan Coba
Hewan yang digunakan adalah domba jantan berumur antara 6 hingga 8
bulan digunakan dalam penelitian ini. Berat badan domba yang digunakan
berkisar antara 14-19 Kg pada awal penelitian. Sebelum digunakan untuk
penelitian domba diberi anthelmintik Albendazol agar domba bebas dari infeksi
cacing yang dibuktikan dengan tidak ditemukan telur cacing pada pemeriksaan
tinja.
Desain Penelitian
Sebanyak 20 ekor domba jantan dengan umur 6 hingga 8 bulan dibagi
menjadi 5 kelompok, masing-masing terdiri dari 4 ekor domba. Kelompok
pertama merupakan kelompok kontrol tidak diinfeksi, kelompok kedua sampai
lima merupakan kelompok domba yang diinfeksi masing-masing dengan dosis
500, 1000, 2000 dan 4000 larva H. contortus. Sampel tinja diambil dari setiap
domba percobaan untuk diperiksa dan memastikan domba tidak terinfeksi
sebelum domba diinfeksi. Pada minggu kedelapan setelah diinfeksi, tinja kembali
diperiksa untuk mengetahui jumlah TTGT, kemudian domba disembelih dan
dihitung jumlah cacing H. contortus yang terdapat dalam abomasum domba. Data

5
jumlah cacing dan TTGT di analisis untuk mengetahui korelasinya serta untuk
menentukan kategori derajat infeksinya.
Prosedur Penelitian
Penyiapan Larva Infektif (L3) Haemonchus contortus
Larva infektif yang digunakan untuk menginfeksi hewan percobaan
diperoleh dari hasil pupukan telur cacing H. contortus. Telur cacing diperoleh dari
cacing H. contortus betina yang diisolasi dari abomasum yang diperoleh dari
tempat pemotongan hewan di Empang. Cacing betina dewasa yang diperoleh dari
abomasum digerus menggunakan gerusan hypofise agar telur cacing dapat keluar.
Telur cacing yang diperoleh ditambahkan beberapa tetes aquades dicampur
dengan tinja sapi yang bebas cacing dan dicampur dengan bahan penambah
vermikulit dengan perbandingan 1:3. Pupukan diaduk dan jika terlalu kering
ditambahkan dengan aquades beberapa tetes. Pupukan diinkubasi selama 7 hari
pada suhu ruangan agar semua larva menjadi larva infektif. Pemupukan dilakukan
setiap hari sampai diperoleh jumlah larva infektif yang diperlukan. Pengumpulan
larva dilakukan menggunakan metode Baermann. Gelas Baermann yang diisi
dengan pupukan tinja lalu ditambah dengan aquades sampai terendam dan
dibiarkan selama 1 hari.
Prosedur Infeksi Buatan
Larva yang telah terkumpul kemudian dihitung sesuai dosis yang telah
ditentukan yaitu 500, 1000, 2000 dan 4000 larva infektif. Masing-masing dosis
dimasukkan ke dalam kapsul gelatin, kemudian diinfeksi secara peroral
menggunakan aplikator kapsul ke dalam abomasum domba.
Penghitungan Telur Tiap Gram Tinja (TTGT)
Jumlah telur cacing tiap gram tinja (TTGT) diperiksa pada minggu
kedelapan pasca infeksi dengan melakukan pemeriksaan sampel tinja.
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan metode McMaster. Sebanyak 2
gram sampel tinja dimasukkan ke dalam gelas. Tambahkan larutan gula jenuh
sebanyak 58 ml sehingga volume seluruhnya menjadi 60 ml, lalu diaduk dan
disaring menggunakan saringan teh. Suspensi tinja diambil menggunakan pipet
lalu segera dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster. Diamkan 2-3 menit
kemudian diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 40 kali. Telur cacing
H. contortus yang ditemukan dihitung untuk mengetahui jumlah TTGT. Jumlah
TTGT dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
TTGT = n x
Keterangan :
n
BT
V total
V kamar hitung

x

= Jumlah telur
= Berat tinja (gr)
= Volume total (ml)
= Volume kamar hitung (ml)

6
Penghitungan Jumlah Cacing Dewasa
Domba disembelih pada minggu kedelapan akhir percobaan untuk dihitung
jumlah cacing H. contortus dewasa yang terdapat di dalam abomasum.
Abomasum dibuka pada bagian curvatura mayor, isi Abomasum di tampung di
dalam ember plastik. Abomasum kemudian dicuci menggunakan air dan
ditampung di dalam nampan. Cacing dikoleksi dengan menggunakan alat khusus
seperti sonde untuk mempermudah dalam mengambil cacing yang terlihat. Cacing
yang diperoleh dari isi lumen abomasum dan yang terdapat pada bilasan
dikumpulkan di dalam cawan yang berisi NaCl fisiologis untuk mengetahui
jumlah cacing jantan dan cacing betina.
Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium di tabulasikan
menggunakan program Microsoft Excel. Data TTGT dan jumlah cacing dewasa H.
contortus dianalisis dengan metode Anova sederhana dan dilanjutkan dengan
metode regresi linear menggunakan software SPSS 16.0 untuk mengetahui
hubungan antara TTGT dengan jumlah cacing dewasa.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah cacing Haemonchus contortus dan establishment
Data rata-rata jumlah cacing jantan dan betina H. contortus dapat dilihat
pada Table 1. Rata-rata jumlah cacing betina lebih banyak dibandingkan dengan
rata-rata jumlah cacing jantan dengan perbandingan antara cacing jantan dan
betina adalah 1 : 1.17. Hal ini menunjukkan bahwa cacing betina lebih dominan
dari pada cacing jantan. Telur cacing merupakan produk biologis yang dihasilkan
cacing betina produktif. Jumlah telur cacing yang dikeluarkan bersama tinja
mencerminkan jumlah cacing yang ada di dalam tubuh inang. Jumlah telur yang
keluar melalui tinja domba yang terinfeksi H. contotus biasanya tergantung pada
jumlah cacing dan perbandingan antara jumlah cacing jantan dan betina dalam
abomasum domba (Roberts and Swan 1981).
Hasil penelitian berupa jumlah cacing dan persentase establishment
disajikan pada Tabel 1. Persentase establishment atau keberhasilan perkembangan
larva menjadi cacing dewasa antar kelompok dosis infeksi berbeda nyata (p500

TTGT
50 – 4400 telur
4400 – 8800 telur
> 8000 telur

Berdasarkan jumlah cacing pada Tabel 2, maka derajat infeksi dapat
dikatagorikan derajat ringan apabila jumlah TTGT sebanyak 50 – 4400 telur,
infeksi sedang dengan jumlah TTGT sebanyak 4400 – 8800 telur dan domba yang
mengalami infeksi tinggi dengan TTGT sebanyak > 8000 telur. Walaupun sampai
saat ini penghitungan TTGT merupakan penduga derajat infeksi, namun
keakuratannya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kepadatan atau kosistensi
tinja yang semakin padat tinja maka nilai TTGT semakin kecil, jumlah tinja yang
dikeluarkan tiap hari, distribusi telur dalam tinja tidak selalu merata, perbandingan
antara cacing jantan dan betina dan reaksi immunologik dari cacing terhadap
inang.
Derajat infeksi H. contortus akan mempengaruhi perubahan patologi
anatomi (PA) dan gejala klinis pada domba yang mengalami haemonchosis.
Domba yang terinfeksi ringan dapat mengakibatkan terhentinya pertumbuhan
tubuh atau bobot badan, infeksi sedang dapat mengakibatkan penurunan berat
badan dan infeksi berat dapat menyebabkan kematian (Kusumamihardja et al.
1990). Domba yang menderita haemonchosis dapat mengalami anemia akibat
kekurangan darah. Gejala klinis anemia dapat muncul mulai dari derajat infeksi
ringan. Menurut Symon (1989) Kehilangan darah sebanyak 5 – 50 ml perhari
dapat menyebabkan gejala klinis seperti kepucatan selaput lendir, anoreksia dan
oedema. Derajat infeksi berat yaitu dengan jumlah > 500 ekor cacing maka inang
dapat kehilangan darah sebanyak 25 ml darah/hari. Hal tersebut dapat
menimbulkan anemia. Haemonchus contortus merupakan cacing penghisap darah.
Cacing dewasa yang melekat pada abomasum dapat menghisap darah sebanyak
0.05 ml/ekor cacing/hari. Beberapa menit setelah cacing hisapannya perdarahan
pada abomasum tetap terjadi (Soulsby 1982). Faktor yang dapat mempengaruhi
derajat anemia tergantung dari banyaknya cacing yang terdapat dalam tubuh inang
dan jumlah sel darah merah yang hilang akibat hisapan cacing (Symons 1989).
Semakin tinggi derajat infeksi maka semakin parah anemia yang ditimbulkan.
Terdapat tiga tahap anemia yang terjadi pada domba yang mengalami
haemonchosis. Tahap pertama disebut dengan haemonchosis akut, kejadian ini
berlangsung 7-25 hari setelah infeksi. Domba akan kehilangan sebagian besar
darah sebelum sistem eritropoietiknya mampu menghasilkan darah pengganti
(Dargie dan Allonby 1975). Kehilangan darah ini diikuti dengan menurunnya sel
darah merah, PCV dan kadar haemoglobin pada tubuh inang. Anemia tahap kedua
terjadi antara hari ke-6 hingga hari ke-14 sesudah infeksi. Kehilangan darah pada
tahap ini dapat diimbangi dengan peningkatan eritropoiesis, sehingga terjadi
keseimbangan antara kehilangan dan produksi sel darah merah, nilai PCV akan
stabil meskipun berada pada angka dibawah normal. Anemia tahap ketiga akan

9
terjadi kelelahan sistem eritropoiesis akibat kurangnya zat besi dan protein.
Menurut Abbot et al. (1986) kekurangan zat besi dan protein dapat disebabkan
akibat domba mengalami penurunan nafsu makan.

SIMPULAN
Persentase establishment cacing Haemonchus contortus dipengaruhi oleh
dosis infeksi. Semakin kecil dosis larva infektif yang diberikan maka semakin
besar persentase establishment. Terdapat hubungan positif yang kuat antara TTGT
dengan jumlah cacing. Berdasarkan jumlah cacing, derajat infeksi ringan dengan
jumlah cacing 1 – 250 ekor menghasilkan TTGT sebanyak 50 – 4400 telur, infeksi
sedang dengan jumlah cacing 251 – 500 ekor menghasilkan TTGT sebanyak 4400
– 8800 telur dan domba yang mengalami infeksi tinggi dengan jumlah cacing >
500 ekor menghasilkan TTGT sebanyak > 8000 telur.

DAFTAR PUSTAKA
Abbot EM, Parkins JJ, Holmes PH. 1986. The effect of dietary protein on the
pathophysiology of acute haemonchosis. Veterinary Parasitology. 20:291306.
[BVA] British Veterinary Association. 2010. Towards a Vaccine Against H.
contortus. Journal of The British Veterinary Association. [Internet].
[diunduh 2014 Mei 13] : 166:5 doi : 10. 1136/vr.b5621. Tersedia pada:
http://veterinaryrecord.bmj.com/content/166/1/5.1/F1.expansion.html.
Browning MLL. 2006. Haemonchus contortus (Barber Pole Worm) Infestation in
Goats. Extension Animal Scientist. Brazil (US): Alabama A & M
University.
Coadwell WJ, Ward PFV. 1982. The use of faecal egg counts for estimating worm
burdens in sheep infected with Haemonchus contortus. Parasitology.
85:251-256.
Dargie JD, Allonby EW. 1975. Pathophysiology of single infection of
Haemonchus contortus in Merino sheep : Study on red cells kinetics and
self cure phenomenon. International Journal for Parasitology. 81:213-219.
Devendra C, McLeroy GB. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics. New
York (US): Longman.
Hendrayani N. 2000. Fluktuasi Produksi Telur Cacing dan Fekunditas Cacing
Haemonchus contortus (Rudolphi 1803) pada Domba Lokal [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Krisnayana PMI. 2011. Pengaruh Infeksi Larva-3 Haemonchus contortus terhadap
Potensi Kekebalan dan Gambaran Darah domba Ekor Tipis [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Kusumamihardja S, L Zalizar, EB Retnani, R Tiuria. 1990. Hubungan antara
Jumlah Telur Cacing Haemonchus contortus Tiap Gram Tinja dengan
Kesakitan pada Domba Jantan Lokal [Laporan Penelitian]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Lastuti NDR et al. 2006. Deteksi protein Haemonchus sp pada domba dan
kambing dengan uji dot blot menggunakan antibodi poliklonal protein

10
ekskresi dan sekresi Haemonchus contortus. Media Kedokteran Hewan.
22(3):162.
Manson IL. 1987. Sheep in Java. World Animal Review. 27:17-22.
McKenna PB. 1987. The estimation of gastrointestinal strongyle worm burdens in
young sheep flocks: a new approach to the interpretation of faecal egg
counts. New Zealand Veterinary Journal. 35:94-97.
Roberts JL, Swan RA. 1981. Quantitative studies of ovine haemonchosis
relationship between feacal egg counts and total worm counts. Veterinary
Parasitology. 8:165-171.
Romjali E, Mariyono. 1996. Comparison of resistance of four genotypes of rams
to experimental infection with Haemonchus contortus. Veterinary
Parasitology. 65:127-137.
Sodiq A, Abidin Z. 2008. Sukses Menggemukkan Domba. Jakarta (ID): Agro
Media Pustaka.
Soulsby EJL. 1982. Helmints, Artropods, and Protozoa of Doesticated Animals
(Monnig). Ed Ke-7. New York (US) and London (GB): Academic Press.
Sudarmono AS, Sugeng YB. 2005. Beternak Domba Seri Agribisnis. Edisi Revisi.
Jakarta (ID): Penebat Swadaya.
Symons LEA. 1989. Pathophysiology of Endoparasitic Infection Compared with
Ectoparasitic Infestation and Microbial Infection. Australia (AU):
Academic Press.
Tillman AD. 1981. Animal Agriculture in Indonesia. Ed ke-1. Arkansas (US):
Winrock International.
Urquhart AH, Alderson JC. 1987. Longman Scientific and Technical. Ed ke-1.
New York (US): Churchill Livingstone Inc.

11

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 05 Maret 1992 dari pasangan
Bapak H. Syahbudin Rangkuti dan Ibu Hj. Sarianun Nasution. Penulis merupakan
anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan
sekolah dasar pada tahun 2004 di SD Rimba Putra Bogor dan pada tahun yang
sama penulis melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah (MTS) AlGhazaly Bogor hingga lulus pada tahun 2007. Pendidikan sekolah menengah
umum diselesaikan pada tahun 2010 di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Bogor.
Pada tahun yang sama penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan di
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Semasa menjadi mahasiswa FKH IPB
penulis aktif dalam kegiatan eksternal dan internal kampus yaitu sebagai anggota
Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik
(HKSA) FKH IPB serta mengikuti kegiatan PKM dan berbagai kepanitiaan di
dalam dan di luar kampus.