0.1 0.1 Formulasi Produk Susu Fermentasi Kering dengan Penambahan Bakteri Probiotik Lactobacillus casei dan Bifidobacterium longum

Gambar 4 Kurva pertumbuhan Streptococcus thermophillus Gambar 5 Kurva pertumbuhan Lactobacillus casei Suprihanto 2009 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00 11,00 12,00 13,00 14,00 15,00 16,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 L o g Jum lah BA L d an Nilai p H Waktu inkubasi t PH cfuml TAT Kurva Pertumbuhan L. casei

0.00 2.00

4.00 6.00

8.00 10.00

12.00 14.00

16.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Waktu Inkubasi t p H d a n L o g P o p u la s i c fu m l

0.0 0.1

0.2 0.3

0.4 0.5

0.6 0.7

0.8 0.9

1.0 pH Log Populasi cfuml Asam Laktat A s a m L a k ta t Asam l ak tat Gambar 6 Kurva pertumbuhan Lactobacillus bulgaricus Suprihanto 2009 Gambar 7 Kurva pertumbuhan Bifidobacterium longum Suprihanto 2009 Berdasarkan kurva pada Gambar 3 dan 4 diperoleh bahwa awal fase eksponensial S. lactis adalah jam ke-4 dan fase eksponensial S. thermophilus adalah jam ke 2. Penelitian Suprihanto 2009 ditunjukkan pada Gambar 5-7 dan Kurva Pertumbuhan L. bulgaricus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Waktu Inkubasi t pH da n Lo g P op ul as i cf u m l

0.0 0.1

0.2 0.3

0.4 0.5

0.6 0.7

0.8 0.9

1.0 pH Log Populasi cf u ml Asam Lakt at A sa m La kt at diperoleh bahwa awal fase adaptasi L. casei adalah jam ke-4 , L. bulgaricus jam ke-3 , dan B. longum jam ke-4. Penelitian Utama Susu sapi telah banyak dimanfaatkan sebagai produk olahan susu. Dilihat dari aspek gizi, susu digunakan sebagai sumber protein, dan sumber zat gizi mikro, yaitu kalsium Ca dan fosfor P. Jandal 1996 melaporkan bahwa pengolahan susu fermentasi dengan membuatnya dalam kondisi kering dapat mempertahankan masa simpan produk. Pengeringan pada dasarnya bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan yang dikeringkan. Proses pengeringan memberikan beberapa keuntungan, antara lain masa simpan produk kering lebih lama, untuk biji-bijian hasil pertanian, viabilitas biji lebih terjamin, dan memperkecil dan meringankan volume produk sehingga memudahkan penanganan, penyimpanan, dan transportasi Hendy 2007. Proses pengeringan bahan pangan dilakukan dengan bantuan alat pengering. Pembuatan susu fermentasi kering dipilih menggunakan proses pengeringan oleh oven dikarenakan metode ini mudah digunakan, praktis, dan mampu mengurangi kadar air pada produk. Pada pembuatan susu fermentasi kering menghasilkan 60-70 dari berat basahnya. Misalnya berat basah curd yang dikeringkan adalah 300 gram, maka berat produk kering setelah proses pengeringan sebesar 180- 210 gram. Pada penelitian utama dianalisis beberapa sifat fisiko kimia dan mikrobiologi susu fermentasi kering. Produk susu fermentasi kering terdiri atas 4 produk dengan penggunaan kultur BAL yang berbeda. Produk A1 sebagai menggunakan kultur S. lactis, produk A2 menggunakan kultur S. lactis dan L. casei, produk A3 menggunakan kultur S. lactis, S. thermophilus, dan L. bulgaricus, dan produk A4 menggunakan kultur S. lactis dan B. longum. Hasil produksi produk A1, A2, A3, dan A4 disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 Perbandingan hasil produk susu fermentasi kering Analisis Fisik Susu Fermentasi Kering Tingkat kekerasan Kekerasan merupakan salah satu penilaian karakter fisik produk dan biasanya diukur dengan cara menekannya menggunakan tangan atau digigit menggunakan gigi. Produk susu fermentasi kering diukur tingkat kekerasannya menggunakan Texture Analyzer. Hasil analisis sifat fisik tingkat kekerasan susu fermentasi kering disajikan pada Gambar 9. Gambar 9 Nilai tingkat kekerasan susu fermentasi kering Berdasarkan Gambar 9, perlakuan A2 menghasilkan susu fermentasi kering dengan tingkat kekerasan tertinggi yaitu 1193,44 g. Hal ini dikarenakan kadar air yang sedikit Gambar 9 sehingga produk memiliki kondisi yang kering dan keras. Semakin sedikit air dalam bahan pangan, sifatnya menjadi kering dan padat. Sebaliknya, perlakuan A1 mempunyai tingkat kekerasan paling rendah yaitu 905,06 g. Hal ini dikarenakan masih tingginya kadar air yang terdapat pada produk A1 setelah proses pengeringan. Tingginya kadar air ini dimungkinkan karena proses penyaringan curd dan whey masih meninggalkan sejumlah air sehingga setelah proses pengeringan kekerasan produk belum maksimal. Kekerasan suaatu produk menjadi acuan seberapa besar kandungan air yang terdapat dalam suatu produk de Man 1997. Nilai tingkat kekerasan produk susu fermentasi kering berturut-turut yaitu A1 905,06 g, A4 910,83 g, A3 1145,44 g, dan A2 1193,44 g. Diketahui bahwa nilai tingkat kekerasan produk susu fermentasi paling tinggi dimiliki oleh produk dengan penambahan L. casei. Hasil uji sidik ragam Lampiran 3 menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kekerasan produk susu fermentasi kering. 905,06 a 1193,44 a 1145,44 a 910,83 a 200 400 600 800 1000 1200 A1 A2 A3 A4 K ek er as an g Perlakuan Hal ini menandakan bahwa nilai tingkat kekerasan produk susu fermentasi kering pada perlakuan A1, A2, A3, dan A4 tidak berbeda satu sama lain. Tingkat Kelembutan Kelembutan suatu produk dapat dirasakan dengan mengunyahnya di dalam mulut. Tingkat kelembutan produk susu fermentasi kering diukur menggunakan penetrometer. Hasil analisis fisik tingkat kelembutan susu fermentasi kering disajikan pada Gambar 10. Gambar 10 Nilai tingkat kelembutan susu fermentasi kering Hasil sidik ragam Lampiran 3 menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kelembutan susu fermentasi kering. Hasil uji statistik menandakan bahwa nilai kelembutan susu fermentasi kering semua perlakuan tidak berbeda nyata satu sama lain. Berdasarkan Gambar 10, perlakuan A1 mempunyai tingkat kelembutan tertinggi yaitu sebesar 18 kgs sedangkan perlakuan A3 mempunyai tingkat kelembutan terendah yaitu sebesar 13,28 kgs. Lembutnya produk susu fermentasi kering pada perlakuan A1 disebabkan oleh tingginya kadar lemak pada susu. Kadar lemak susu yang tinggi menghasilkan produk olahan susu dengan tekstur yang lembut dan sebaliknya Banks 2007. Kelembutan susu fermentasi kering dari yang paling lembut secara berturut-turut adalah A1 18,00 kgs, A2 16,50 kgs, A4 13,39 kgs, dan A3 13,28 kgs. Keasaman PH dan Total Asam Tertitrasi Pengukuran nilai pH dilakukan saat susu telah selesai difermentasi selama 24 jam dan saat susu fermentasi kering selesai mengalami proses 18,00 16,50 13,28 13,39 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 A1 A2 A3 A4 ke lemb u tan kgs Perlakuan pengeringan. Grafik perbandingan pH susu fermentasi kering sebelum dan sesudah mengalami proses pengeringan disajikan pada Gambar 11. Gambar 11 Perbandingan pH susu fermentasi kering sebelum dan sesudah pengeringan Berdasarkan Gambar 11, nilai pH susu fermentasi kering sesudah proses fermentasi berkisar antara 5,03-5,39. Nilai pH terendah dimiliki oleh perlakuan A2 sedangkan nilai pH tertinggi dimiliki oleh perlakuan A4. Nilai pH susu fermentasi setelah mengalami proses pengeringan berkisar antara 5,74-6,14. Nilai pH terendah dimiliki oleh perlakuan A1 sedangkan nilai pH tertinggi dimiliki oleh perlakuan A4. Perbedaan nilai pH antara susu fermentasi kering sebelum dan sesudah proses pengeringan adalah karena faktor penambahan gula. Gula dapat menngkatkan nilai pH sehingga mengurangi rasa asam pada susu fermentasi. Menurut Fellows 2000, gula mempunyai senyawa-senyawa fruktosa sederhana yang dapat menyebabkan rasa manis dan mempengaruhi tingkat keasaman produk pangan. Hasil sidik ragam pada nilai pH menunjukkan bahwa nilai pH pada susu fermentasi kering semua perlakuan baik sebelum dikeringkan maupun sesudah dikeringkan tidak berbeda nyata satu sama lain Lampiran 3. Perbandingan susu fermentasi kering juga dilakukan dengan mengukur tingkat keasaman melalui total asam tertitrasi. Perbandingan tingkat keasaman susu fermentasi kering sebelum dan sesudah proses pengeringan disajikan pada Gambar 12. A1 A2 A3 A4 Sebelum 5,16 5,03 5,28 5,39 Sesudah 5,74 5,84 6,08 6,14 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 pH Gambar 12 Perbandingan total asam susu fermentasi kering sebelum dan sesudah pengeringan Berdasarkan Gambar 12, total asam susu fermentasi kering sebelum proses pengeringan berkisar antara 1,12-1,43 dengan total asam tertinggi yaitu pada produk A1. Setelah proses pengeringan, total asam menurun dan berkisar antara 0,53-0,69 dengan total asam tertinggi pada produk A2. Tingkat keasaman berbanding lurus dengan nilai pH, semakin tinggi nilai pH maka tingkat keasaman semakin turun. Menurut Roissart Luquet 1994, BAL memproduksi asam laktat dalam tingkat yang berbeda-beda tergantung dari jumlah nutrisi terutama laktosa dan komponen-komponen lain di dalam media susu selama proses fermentasi. Hasil sidik ragam pada total asam susu fermentasi kering menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata p0,05. Hasil uji Duncan menunjukkan perbedaan subset yaitu antara perlakuan A1 dan A2 dengan A3 dan A4 Lampiran 3. Analisis Kandungan Gizi Susu Fermentasi Kering Analisis kandungan gizi susu fermentasi kering meliputi analisis kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, dan fosfor. Perbandingan kandungan zat gizi susu fermentasi kering disajikan dalam bentuk grafik batang pada Gambar 13 dan 14. A1 A2 A3 A4 sebelum 1,43 1,41 1,22 1,12 sesudah 0,68 0,69 0,53 0,56 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 T o tal A sa m Gambar 13 Kandungan zat gizi lemak, protein, karbohidrat, dan air susu fermentasi kering per 100g Gambar 14 Kandungan zat gizi fosfor dan kalsium dan abu dari susu fermentasi kering per 100g Kadar Lemak Berdasarkan Gambar 13, perlakuan dengan hasil kadar lemak produk susu fermentasi kering terendah dihasilkan dari perlakuan A4 18,60 , sedangkan kadar lemak tertinggi dihasilkan dari perlakuan A1 23,89. Secara berturut-turut kadar lemak susu fermentasi kering dengan hasil terendah ke yang paling tinggi yaitu A4 18,60, A3 19,16, A2 22,40, dan A1 23,89. Hasil sidik ragam Lampiran 4 menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak susu fermentasi kering. Kadar lemak Lemak bk Protein bk Karbohidrat bk Air bb A1 23,89 35,58 18,60 18,86 A2 22,40 36,66 19,15 18,59 A3 19,16 34,19 22,89 21,19 A4 18,60 35,09 23,72 20,09 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 ka d ar p er 10 g Fosfor bk Kalsium bk Abu bk A1 0,41 0,57 3,08 A2 0,32 0,61 3,19 A3 0,29 0,52 2,57 A4 0,27 0,57 2,50 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 ka d ar p er 10 g susu fermentasi kering tidak berbeda antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lain. Menurut Amanda 2010, kadar lemak pada suatu produk olahan susu bervariasi tergantung dari penggunaan jenis susu dan metode pembuatan. Rendahnya kadar lemak pada perlakuan A4 dimungkinkan oleh banyaknya lemak yang terbuang bersama whey saat proses pemisahan dengan curd diakibatkan asam laktat yang sedikit terbentuk. Kadar lemak yang tinggi dapat mengakibatkan kerusakan produk pangan disebabkan oleh ketengikan yang terbentuk akibat terjadinya reaksi oksidasi atau hidrolisis komponen bahan pangan Herawati 2008. Lemak dalam bahan pangan, selain untuk menambahkan nilai kalori, juga sebagai penambah cita rasa dan memperbaiki tekstur. Kadar lemak susu fermentasi kering hasil perlakuan A1, A2, A3, dan A4 dengan menggunakan susu sapi mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan produk susu fermentasi kering hasil penelitian Jandal 1996 yang menggunakan susu domba. Hal ini dijelaskan oleh Bondi 1983, bahwa lemak pada susu domba 7,4berat memiliki kandungan yang lebih besar daripada susu sapi 3,5 berat. Kadar protein Berdasarkan Gambar 13 diketahui bahwa perlakuan A2 menghasilkan kadar protein susu fermentasi kering tertinggi yaitu sebesar 36,66, sedangkan perlakuan A3 menghasilkan kadar protein terendah yaitu sebesar 34,19. Kadar protein dari yang tertinggi ke yang terendah berturut-turut yaitu A2 36,66, A1 35,58, A4 35,09, dan A3 34,19. Hal ini berarti susu fermentasi kering dengan perlakuan penambahan bakteri L. casei mempunyai nilai kadar protein tertinggi. Hasil sidik ragam Lampiran 4 diketahui bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein susu fermentasi kering. Kadar protein susu fermentasi kering tiap perlakuan tidak berbeda satu sama lain . Tingginya kadar protein pada perlakuan A2 menandakan bahwa saat terjadi koagulasi, kasein yang terhidrolisis lebih banyak dibandingkan dengan yang lainnya Holland et al. 1989. Semakin banyaknya kasein yang terhidrolisis maka jumlah curd yang terbentuk semakin banyak dan semakin asam kondisi susu maka koagulasi protein yang terjadi juga semakin banyak Rahman et al. 1992. Kadar protein susu fermentasi kering pada semua perlakuan tinggi nilainya dibandingkan dengan susu fermentasi kering hasil penelitian Jandal 1996. Kadar protein susu fermentasi kering berbahan baku susu domba dengan menggunakan S. lactis dan S. cremoris yang dilaporkan oleh Jandal memiliki nilai 26,70-31,91. Kadar Karbohidrat Pada Gambar 13 ditunjukkan bahwa kadar karbohidrat susu fermentasi kering dari yang tertinggi ke yang terendah pada yaitu A4 23,72, A3 22,89, A2 19,15, dan A1 18,60. Hal ini berarti perlakuan A4 mempunyai kadar karbohidrat tertinggi dengan kadar sebesar 23,72 sedangkan perlakuan A1 mempunyai kadar karbohidrat terendah sebesar 18,60. Hasil sidik ragam Lampiran 4 memperlihatkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata pada kadar karbohidrat produk susu fermentasi kering. Hal ini juga menandakan bahwa kadar karbohidrat produk susu fermentasi kering pada semua perlakuan tidak berbeda satu sama lain. Menurut Jandal 1996, tingginya kadar karbohidrat terutama laktosa disebabkan oleh perubahan parsial dari laktosa menjadi asam laktat dan komponen-komponen volatil pembentuk rasa selama proses fermentasi. Hal ini berarti pada perlakuan A4, bakteri asam laktat yang digunakan tidak mengkonversi laktosa sebanyak pada perlakuan A1. Hal ini juga sesuai dengan perlakuan A1 yang menggunakan kultur starter S. lactis lebih banyak daripada perlakuan A4. Hal ini menyebabkan semakin banyak laktosa yang dikonversi menjadi asam laktat dan komponen-komponen volatil pembentuk rasa sehingga kadar laktosa pada produk A1 lebih rendah daripada produk A4. Kadar Fosfor dan Kalsium Pada Gambar 14 diperlihatkan bahwa kadar fosfor produk susu fermentasi kering dari yang tertinggi ke yang terendah yaitu A1 412,82 mg100g, A2 322,25 mg100g, A3 293,82 mg100g, dan A4 274,57 mg100g. Sedangkan kadar kalsium susu fermentasi kering dari yang tertinggi ke yang terendah yaitu perlakuan A2 605,20 mg100g, A4 569,71 mg100g, A1 566,26 mg100g, dan A3 523,50 mg100g. Kadar fosfor susu fermentasi kering menggunakan susu domba yang dilaporkan Jandal 1996 yaitu sebesar 160-210 mg100 gram dan kadar kalsium sebesar 210-280 mg100 gram. Hal ini berarti kadar fosfor dan kadar kalsium dari semua perlakuan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Jandal 1996. Hasil sidik ragam Lampiran 4 memperlihatkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata P0,05 terhadap kadar fosfor produk susu fermentasi kering. Uji Duncan menunjukkan perlakuan A2, A3, dan A4 tidak berbeda nyata dan memiliki kadar fosfor yang lebih rendah daripada perlakuan A1. Sedangkan hasil sidik ragam pada kadar kalsium Lampiran 6 memperlihatkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar kalsium susu fermentasi kering. Perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lain tidak berbeda pada kadar kalsium. Menurut Tamime dan Robinson 2007, penggunaan BAL dapat mempengaruhi kandungan gizi suatu produk pangan dikarenakan proses fermentasi yang dilakukan tiap BAL berbeda. Perbedaan perubahan senyawa- senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang dilakukan BAL mengakibatkan kadar fosfor dan kalsium juga berbeda. Hal ini diperkuat oleh Rahman et al 1992 bahwa fosfor dan kalsium berikatan dengan protein susu, dan apabila terjadi proses fermentasi, ikatan akan terlepas sehingga mineral fosfor dan kalsium dalam keadaan bebas. Kadar Air Hasil sidik ragam Lampiran 4 pada kadar air susu fermentasi kering menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh nyata. Produk terbaik adalah dengan kadar air terendah agar produk dapat disimpan dalam waktu yang relatif lebih lama. Tingginya kadar air pada produk pangan dapat menyebabkan kerusakan yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri patogen, jamur, dan mikroba lainnya Christian 1980. Kadar air tertinggi sampai terendah, yaitu perlakuan A3 sebesar 21,19 bb, A4 20,09 bb, A1 18,86 bb, dan A2 18,59 bb. Berdasarkan perbandingan kadar air susu fermentasi kering seluruh formulasi dengan penelitian Jandal 1996, nilai kadar air A1, A2, A3, dan A4 tergolong tinggi. Nilai kadar air yang dilaporkan Jandal 1996 adalah antara 1,37-4,24. Hal ini juga didukung oleh Fellows 2000 bahwa produk susu kering setidaknya mempunyai kadar air tidak lebih dari 3,5. Tingginya kadar air pada perlakuan A3 disebabkan oleh proses pemisahan antara whey dan curd yang kurang baik dapat mengakibatkan tingginya kadar air. Whey dan curd yang sulit dipisahkan ini diakibatkan oleh proses fermentasi yang kurang maksimal sehingga asam yang terbentuk sangat sedikit. Rahman et al. 1992 menjelaskan bahwa jika produksi asam oleh kultur laktat sangat rendah, maka proses pemisahan whey dari curd akan susah dan mengakibatkan produk yang dihasilkan mempunyai kandungan air yang tinggi. Penambahan probiotik L. casei pada perlakuan A2 mengakibatkan rendahnya kadar air susu fermentasi kering. Kemampuan probiotik dalam memecah karbohidrat oligosakarida menjadi karbohidrat rantai pendek yang mempunyai struktur lebih kecil, memungkinkan air yang terikat pada karbohidrat menjadi terpisah menjadi air yang tidak terikat Parvez et al. 2010. Oleh karena itu air dapat mudah dipisahkan bersama whey saat penyaringan curd. Kemungkinan kemampuan bakteri L. casei dengan bakteri B. longum tidak sama dalam memecah karbohidrat sehingga perlakuan A4 tidak menghasilkan kadar air yang rendah. Kadar Abu Berdasarkan sidik ragam Lampiran 4 diperlihatkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu susu fermentasi kering. Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lain. Perlakuan A2 memiki kadar abu tertinggi yaitu sebesar 3,19 lalu diikuti dengan A1 3,08, A3 2,57, dan A4 2,50. Berdasarkan Winarno 2008, semakin tingginya kadar abu suatu bahan makanan maka mengindikasikan bahwa kadar mineral suatu bahan semakin tinggi. Kadar abu juga menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang tidak dapat menguap. Atmarita dan Sadjaja 2009 menjelaskan bahwa kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan. Tingginya kadar abu produk susu fermentasi kering berdasarkan berat kering pada perlakuan A2 menunjukkan hubungan yang positif pada tingginya kadar kalsium. Selain itu, rendahnya kadar abu berdasarkan berat kering pada perlakuan A4 hanya mempunyai hubungan yang positif pada rendahnya kadar fosfor. Kontribusi Susu Fermentasi Kering terhadap Angka Kecukupan Gizi Susu fermentasi kering digunakan sebagai cemilan atau snack di beberapa negara. Sumbangan terbesar energi susu fermentasi kering berasal dari lemak. Susu fermentasi kering digunakan sebagai pangan sumber protein dan mineral kalsium. Setidaknya 25 kebutuhan protein sehari-hari tercukupi dari susu fermentasi kering Almatsier 2004. Jika merujuk pada kebutuhan protein dan kalsium rata-rata masyarakat indonesia yaitu 60 gram, maka protein yang harus dipenuhi dari produk susu fermentasi kering ini adalah 15 gram. Susu fermentasi kering mempunyai kandungan protein rata-rata 35,38 gram tiap 100 gram. Susu fermentasi kering yang dihasilkan memiliki berat +7 gramkeping, maka dalam 100 gram terdapat +14 produk. Maka untuk memenuhi 25 kebutuhan protein sehari dibutuhkan +6 keping susu fermentasi kering. Mengkonsumsi +6 keping susu fermentasi kering juga dapat memenuhi +30 kebutuhan kalsium sehari. Susu fermentasi kering ini khusus ditujukan untuk anak-anak berusia 2-6 tahun. Nilai kebutuhan zat gizi per hari untuk anak berusia 2-6 tahun berdasarkan Acuan Label Gizi Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia yaitu protein sebesar 35 gram, kalsium 500 mg, dan fosfor sebesar 400 mg. Kebutuhan protein yang harus dipenuhi yaitu setidaknya 25 dari kebutuhan satu hari. Maka jumlah susu fermentasi kering yang harus dikonsumsi yaitu sebanyak +4 keping. Selain itu, mengkonsumsi +4 keping susu fermentasi kering dapat memenuhi +28 kebutuhan kalsium sehari, dan +20 kebutuhan fosfor sehari. Analisis Mikrobiologi Analisis yang dilakukan meliputi uji Total Plate Count TPC, selektif S. lactis, selektif enumerasi dan selektif differensial. Produk A1 memakai BAL Streptococcus lactis sehingga uji mikrobiologi yang dilakukan adalah selektif S. lactis dan TPC. Hasil uji mikrobiologi pada perlakuan A1 dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15 Rataan jumlah log cfuml uji TPC dan selektif S. lactis Berdasarkan Gambar 15, jumlah total bakteri yang terdapat pada susu fermentasi kering perlakuan A1 sebesar 10,10 unit log cfuml dan rata-rata 10,07 10,10 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00 11,00 Selektif S. lactis TPC log cfu ml A1 jumlah S. lactis sebesar 10,07 unit log cfuml. Berdasarkan Codex standard:243 2003, jumlah mikroba hidup yang diinginkan dalam suatu produk susu fermentasi berjumlah minimal 1 x 10 6 cfuml atau sebesar 6 unit log cfuml. Karna et al. 2007 menyatakan bahwa jumlah minimum bakteri asam laktat dari produk susu fermentasi yang layak dikonsumsi dan memberikan manfaat kesehatan adalah sebanyak 10 5 sampai 10 6 cfug. Rata-rata jumlah bakteri S. lactis yaitu sebesar 1,2 x 10 10 cfuml Lampiran 5 dan sudah melebihi dari jumlah minimum yang telah ditetapkan 10 6 cfuml. Oleh karena itu, produk susu fermentasi kering A1 sudah memenuhi salah satu syarat sebagai produk susu fermentasi. Produk A2 menggunakan BAL S. lactis dan L. casei. Oleh karena itu, uji mikrobiologi yang dilakukan antara lain uji TPC, selektif S. lactis, selektif enumerasi dan differensial L. casei. Hasil uji mikrobiologi pada perlakuan A2 dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16 Rataan jumlah log cfuml uji TPC, selektif S. lactis, selektif enumerasi dan differensial L. casei Berdasarkan Gambar 16, rata-rata jumlah total bakteri pada produk A2 yaitu sebesar 10,23 unit log cfuml dan S.lactis sebesar 10,06 unit log cfuml. Selain itu nilai rata-rata uji selektif differensial terhadap L. casei yaitu sebesar 7,52 unit log cfuml dan uji selektif enumerasi sebesar 7,34 unit log cfuml. Menurut Tannock 1999, jumlah mikroba hidup yang harus terdapat pada produk probiotik adalah sebesar 10 6 -10 8 cfugram. Jumlah ini sudah dipenuhi oleh produk A2 dengan rata-rata jumlah bakteri S. lactis sebanyak 1,7 x 10 10 cfuml dan L. casei sebanyak 2,2 x 10 7 cfuml Lampiran 5. Oleh karena itu, produk 10,06 10,23 7,52 7,34

0,00 2,00

4,00 6,00

8,00 10,00

12,00 Selektif S. lactis TPC Selektif differensial L. casei Selektif Enumerasi L.casei log cfu ml A2 susu fermentasi kering A2 sudah memenuhi salah satu syarat sebagai produk probiotik. Produk A3 yaitu produk dengan menggunakan S. lactis dan kultur yogurt S. thermophilus dan L. bulgaricus. Uji mikrobiologi berupa TPC, selektif S. lactis, selektif enumerasi L. bulgaricus dan S. thermophillus. Hasil uji mikrobiologi pada produk A3 dapat dilihat pada gambar 17. Gambar 17 Rataan jumlah log cfuml uji selektif S. lactis, TPC, selektif enumerasi L. bulgaricus dan S. thermophillus Hasil pada Gambar 17 menunjukkan bahwa jumlah total bakteri yang terdapat pada produk A3 sebesar 8,94 unit log cfuml, S. lactis sebesar 8,44 unit log cfuml, S. thermophilus sebesar 6,83 unit log cfuml, dan L. bulgaricus sebesar 7,30 unit log cfuml. Jumlah rata-rata bakteri asam laktat pada produk A3 sudah melebihi dari standar yang ditetapkan 10 6 cfuml berdasarkan codex standar: 243 2003 dan Karna et al. 2007, dengan rata-rata jumlah bakteri S. lactis sebanyak 2,7 x 10 8 cfuml, S. thermophilus sebanyak 6,8 x 10 6 cfuml, dan L. bulgaricus sebanyak 2.0 x 10 7 cfuml Lampiran 5. Oleh karena itu, produk susu fermentasi kering A3 sudah memenuhi salah satu syarat sebagai produk susu fermentasi. Produk A4 merupakan produk dengan menggunakan S. lactis dan Bifidobacterium longum. Uji mikrobiologi yang dilakukan yaitu TPC, selektif S. lactis, selektif enumerasi dan differensial B. longum. Hasil uji mikrobiologi pada produk hasil perlakuan A4 dapat dilihat pada Gambar 18. 8,44 8,94 6,83 7,30 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00 Selektif S. lactis TPC Selektif Enumerasi S. thermophillus Selektif Enumerasi L. bugaricus log cfu ml A3 Gambar 18 Rataan Jumlah log cfuml uji selektif L. lactis, TPC, selektif differensial dan enumerasi B. longum Hasil pada Gambar 18 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah total bakteri pada produk A4 sebesar 9,06 unit log cfuml dan S. lactis sebesar 8,87 unit log cfuml. Hasil rata-rata uji selektif differensial B. longum yaitu sebesar 7,33 unit log cfuml dan selektif enumerasi sebesar 7,42 unit log cfuml. Shah 2000 merekomendasikan agar jumlah bakteri probiotik minimum yang hidup dalam produk susu fermentasi tidak kurang dari 10 6 cfug. Rata-rata jumlah bakteri asam laktat yang terdapat pada produk A4 sudah melebihi dari standar yang ditetapkan 10 6 cfuml dengan rata-rata jumlah S. lactis sebanyak 7,3 x 10 8 cfuml dan rata-rata jumlah B. longum sebanyak 2,6 x 10 7 cfuml Lampiran 5. Oleh karena itu, produk susu fermentasi kering A4 sudah memenuhi salah satu syarat sebagai produk probiotik. Sifat Organoleptik Menurut Setyaningsih et al. 2010, pengujian inderawi adalah pengujian bahan secara subjektif dengan menggunakan panca indera manusia. Walaupun peralatan telah berkembang pesat, namun penilaian makanan dengan menggunakan indera tetap penting karena ada beberapa karakteristik makanan hanya dapat dinilai dengan indera manusia. Penilaian inderawi sangat penting dalam pengembangan produk makanan kaitannya dengan perbaikan gizi. Uji organoleptik atau disebut juga pengujian secara sensory evaluation didasarkan atas indera penglihatan, indera pencium, indera perasa, dan mungkin indera pendengar. Penentuan penerimaan terhadap produk makanan dapat dilakukan melalui uji hedonik atau kesukaan. 8,87 9,06 7,33 7,42 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00 Selektif S. lactis TPC Selektif differensial B. longum Selektif Enumerasi B. longum log cfu ml A4 Uji Mutu Hedonik Setyaningsih et al. 2010 menyatakan bahwa uji mutu hedonik digunakan untuk mengetahui kesan panelis terhadap sifat produk secara lebih spesifik. Penilaian mutu hedonik dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19 Skor rata-rata uji mutu hedonik panelis terhadap atribut warna, tekstur, aroma, dan rasa susu fermentasi kering Warna Menurut Setyaningsih et al. 2010, warna merupakan alat sensori pertama yang dapat terlihat langsung oleh panelis. Penentuan mutu bahan makanan umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya. Suatu produk yang dinilai bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberikan kesan yang menyimpang dari warna yang seharusnya. Pemilihan warna yang tepat dan sesuai akan menarik minat dan keinginan konsumen untuk membeli. Sidik ragam menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap atribut warna Lampiran 6. Susu fermentasi kering A1 memiliki penilaian warna putih kekuningan sama seperti produk A2, A3, dan A4. Menurut Fellows 2000, warna produk dipengaruhi oleh proses pengolahan dan penyimpanan. Pengolahan yang menggunakan pengeringan menyebabkan warna susu fermentasi kering berubah dari putih menjadi putih kekuningan. Adanya gula pada susu fermentasi kering memungkinkan terjadinya reaksi Maillard sehingga susu fermentasi kering berwarna putih kekuningan. Namun, suhu yang tidak Warna Tekstur Aroma Kekerasan Rasa A1 2,60 3,00 3,17 3,03 3,77 A2 2,43 2,67 3,30 2,70 3,83 A3 2,40 3,37 3,07 3,60 3,47 A4 2,30 3,10 3,00 2,87 3,13 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 4,50 5,00 S kor Uji M u tu Hedo n ik terlalu tinggi dan penambahan gula yang hanya 10 dari berat curd menyebabkan reaksi Maillard tidak menghasilkan produk dengan warna yang coklat. Warna kuning disebabkan oleh senyawa beta karoten pada susu. Kemiripan warna pada tiap formulasi produk disebabkan lama pengeringan produk yang relatif sama. Tekstur Tekstur merupakan salah satu faktor penting dalam penentuan mutu bahan pangan. Penginderaan tentang tekstur yang berasal dari sentuhan dapat ditangkap oleh keseluruhan permukaan kulit, tetapi biasanya jika orang ingin mengetahui tesktur suatu bahan digunakan ujung jari tangan Setyaningsih et al. 2010. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata p0,05 terhadap atribut tekstur. Uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan BAL yang berbeda berpengaruh nyata terhadap atribut tekstur. Perbedaan subset yaitu pada produk A2 dengan produk A1, A3, dan A4 Lampiran 6. Produk A1, A3, dan A4 memiliki penilaian tekstur sedang sedangkan produk A2 memiliki penilaian tekstur halus. Berdasarkan analisis fisik, produk A2 memiliki tingkat kekerasan tertinggi Gambar 9. Tekstur produk susu fermentasi dipengaruhi oleh kadar air, lemak, dan protein. Perubahan pada tekstur disebabkan oleh koagulasi atau hidrolisasi protein, pemecahan emulsi pada susu, hidrolisis karbohidrat, dan kehilangan lemak Fellows 2000. Tekstur pada produk disebabkan oleh banyak faktor mulai dari proses pemanasan susu dan pengeringan produk. Menurut Tomar dan Prasad 1989, susu yang dipanaskan sampai 70 C menghasilkan produk yang lembut dan memiliki stuktur kasein yang terbuka. Selain itu, susu asam hasil fermentasi oleh BAL mengalami perubahan tekstur menjadi lebih lembut Widowati Misgiyarta. Penambahan gula pasir yang dihaluskan kepada curd mempunyai dampak terhadap tekstur produk yang dihasilkan setelah mengalami proses pengeringan Manley 2008. Tekstur susu fermentasi kering A2 dinilai halus dimungkinkan karena granula-granula yang dihasilkan lebih lembut sehingga saat curd dicetak dan dikeringkan tidak menghasilkan tekstur yang kasar di mulut. Penilaian atribut tekstur susu fermentasi kering tertinggi dimiliki oleh perlakuan A3. Menurut Rohm et al. 1994 bahwa kultur yogurt disarankan dipakai untuk membuat produk susu fermentasi tradisional karena memiliki kemiripan dengan produk komersial yang tersedia di pasar. Aroma Aroma merupakan hasil kombinasi antara rasa dan bau. Aroma dapat dideteksi menggunakan epithelium olfaktori bagian atas dari rongga hidung Vaclavik Christian 2003. Manusia menggunakan hidung sebagai alat untuk mendeteksi aroma dan bau. Pembauan disebut pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium baunya dari jarak jauh Setyaningsih et al. 2010. Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap atribut aroma susu fermentasi kering Lampiran 6. Susu fermentasi kering A1 memiliki aroma antara khas susu asam dan khas susu murni dan sama seperti perlakuan A2, A3,dan A4. Pembentukan aroma pada produk fermentasi susu disebabkan oleh beberapa komponen yang dihasilkan pada saat fermentasi seperti diasetil, asetoin, dan butadienol. Komponen paling utama yang berperan adalah diasetil Quintans et al. 2000. Berdasarkan penilaian pada gambar, produk A2 memiliki nilai tertinggi diantara produk lain. Menurut Fonden et al. 2000 dan Hutkins 2006, L. casei menghasilkan produk dengan aroma khas asam sehingga sering digunakan dalam pembentukan aroma dan rasa pada produk keju. Kekerasan Kekerasan merupakan faktor lain yang menjadi penentu daya terima konsumen terhadap produk pangan. Biasanya produk pangan yang diminati oleh konsumen memiliki tingkat kekerasan yang sedang agar dapat digigit dengan mudah. Susu fermentasi kering merupakan produk yang dikeringkan dengan cara dioven, oleh karena itu diperlukan penilaian terhadap mutu hedonik atribut kekerasan. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata p0,05 terhadap atribut kekerasan. Uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan BAL yang berbeda berpengaruh nyata terhadap atribut kekerasan. Perbedaan dapat dilihat pada nilai atribut kekerasan yang terletak pada subset yang berbeda yaitu antara produk A3 dengan produk A1, A2, dan A4 Lampiran 6. Susu fermentasi kering A1, A2, dan A4 memiliki penilaian kekerasan lunak sedangkan produk A3 memiliki penilaian sedang. Berdasarkan analisis fisik pada tingkat kelembutan Gambar 10, produk A3 mempunyai nilai paling rendah. Hal ini sesuai dengan penilaian panelis karena produk A3 mempunyai tingkat kekerasan yang sedang. Produk A3 memiliki penilaian yang tinggi terhadap atribut kekerasan dibandingkan dengan produk yang lain. Menurut Panesar 2011, kultur yoghurt dengan simbiosis antara bakteri S. thermophilus dengan L. bulgaricus menghasilkan produk yoghurt yang bertekstur lembut, konsistensi yang padat, dan aroma asam yang sesuai. Hal ini juga didukung oleh Paskov et al. 2010 bahwa kombinasi kultur S. thermophilus dan L. bulgaricus meningkatkan viskositas gel produk susu fermentasi sehingga saat dikeringkan produk A3 mempunyai nilai kekerasan yang paling tinggi. Rasa Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk pangan. Vaclavik dan Christian 2003 mengemukakan bahwa rasa dari makanan adalah kombinasi dari lima rasa dasar yaitu asin, manis, asam, pahit, dan umami. Rasa itu sangat kompleks dan sulit untuk digambarkan. Rasa suatu produk pangan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, temperatur, konsistensi, dan interaksi dengan komponen rasa yang lain serta jenis dan lama pemasakan. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata p0,05 terhadap atribut rasa. Uji Duncan menunjukkan bahwa perbedaan subset yaitu antara perlakuan A1 dan A2 terhadap perlakuan A3 dan A4 Lampiran 6. Susu fermentasi kering A1 dan A2 memiliki rasa dominan asam sedangkan A3 dan A4 memiliki penilaian rasa manis dan asam yang sama. Berdasarkan pengukuran terhadap nilai pH dan total asam Gambar 11 dan 12, hal ini sesuai dikarenakan produk A1 dan A2 memiliki nilai pH yang lebih rendah dan juga memiliki total asam yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk A3 dan A4. Produk A1 dan A2 memiliki penilaian dominan asam. Menurut Fonden et al. 2000 dan Dahhan et al. 1984 bahwa dalam pembuatan produk yogurt, penggunaan S. lactis dapat menghasilkan keasaman yang baik seperti pada produk yogurt komersial dan L. casei juga menghasilkan rasa asam yang baik sebagai pembentuk rasa pada keju komersial. Menurut Tamime dan Robinson 2007, Bifidobacteria tidak menghasilkan keasaman yang tinggi dikarenakan fermentasi asam laktat yang lambat. Hal ini juga sesuai dengan Standar Nasional Indonesia 1992 bahwa rasa yang dimiliki oleh produk yogurt adalah khas asam. Menurut Fellows 2000 penggunaan gula dapat mempengaruhi rasa suatu produk pangan. Uji Hedonik Menurut Rahayu 1998, uji hedonik bertujuan untuk mengetahui respon panelis terhadap sifat mutu yang umum misalnya warna, aroma, tekstur, dan rasa. Melalui uji hedonik akan diketahui sifat mutu minuman yang dihasilkan baik rasa, aroma, warna, dan tekstur. Penilaian uji hedonik terhadap produk perlakuan A1 sebagai kontrol, A2, A3, dan A4 dapat dilihat pada Gambar 20. Gambar 20 Skor rata-rata uji hedonik panelis terhadap atribut warna, tekstur, aroma, dan rasa susu fermentasi kering Warna Warna merupakan salah satu syarat suatu produk dapat diterima oleh konsumen. Oleh karena itu, uji kesukaan terhadap warna perlu diketahui. Berdasarkan sidik ragam, diketahui bahwa tingkat kesukaan terhadap warna tidak berbeda satu sama lain Lampiran 7. Hal ini ditunjukkan pada nilai atribut warna yang berada pada subset yang sama satu sama lain. Penerimaan warna susu fermentasi kering A1 yaitu suka dan sama seperti produk perlakuan A2, A3, dan A4. Warna susu fermentasi kering yang cerah yaitu putih kekuningan menyebabkan sebagian besar panelis menyukainya. Tekstur Tekstur merupakan salah satu faktor penting dalam penentuan mutu bahan pangan. Tekstur dan konsistensi suatu bahan dapat mempengaruhi cita Warna Tekstur Aroma Kekerasan Rasa Keseluruhan A1 3,53 3,10 3,27 3,13 2,97 3,17 A2 3,53 3,47 3,20 3,33 3,13 3,37 A3 3,70 2,83 3,43 2,87 3,07 3,13 A4 3,87 3,30 3,53 3,27 3,43 3,47 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 S k or U ji H e doni k rasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut. Berdasarkan sidik ragam yang dilakukan pada penilaian tingkat kesukaan susu fermentasi kering, dapat diketahui bahwa tingkat kesukaan tekstur berbeda nyata antar formulasi p0,05 Lampiran 7. Uji Duncan juga menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh pada penerimaan produk. Hal ini dapat dilihat pada nilai atribut tekstur yang berbeda antara perlakuan A3 dengan A1, A2 dan A4. Penerimaan tekstur susu fermentasi kering A1, A2, dan A4 biasa, sedangkan A3 dinilai tidak suka. Tekstur produk A3 yang agak kasar menimbulkan sebagian besar panelis menilai tidak suka. Aroma Aroma merupakan salah satu faktor penerimaan panelis terhadap produk pangan. Seperti halnya dengan penerimaan terhadap warna, sidik ragam pada penilaian tingkat kesukaan susu fermentasi kering terhadap aroma tidak berbeda nyata Lampiran 7. Nilai atribut aroma berada pada subset yang sama, oleh karena itu perlakuan A1, A2, A3, dan A4 tidak berpengaruh pada penerimaan terhadap aroma. Penerimaan aroma susu fermentasi kering pada semua formulasi yaitu biasa. Rasa Rasa sangat mempengaruhi penerimaan panelis terhadap produk susu fermentasi kering. Berdasarkan sidik ragam yang dilakukan pada penilaian tingkat kesukaan, diketahui bahwa tingkat kesukaan terhadap rasa produk susu fermentasi kering tidak berbeda satu sama lain Lampiran 7. Penerimaan rasa susu fermentasi kering pada semua formulasi dinilai biasa. Rasa produk yang mempunyai rasa khas asam merupakan alasan mengapa responden menilai susu fermentasi kering biasa saja. Kekerasan Kekerasan juga mempengaruhi penerimaan panelis terhadap susu fermentasi kering. Berdasarkan analisis ragam, diketahui bahwa tingkat kesukaan terhadap kekerasan produk susu fermentasi kering tidak berbeda satu sama lain Lampiran 7. Penerimaan atribut kekerasan susu fermentasi kering pada A1, A2, A3, dan memiliki penilaian biasa. Panelis lebih menyukai produk dengan tingkat kekerasan yang agak lunak daripada produk yang keras. Keseluruhan Uji organoleptik terhadap susu fermentasi kering dengan penambahan probiotik secara keseluruhan diukur berdasarkan uji kesukaan Uji keseluruhan ini menentukan apakah produk layak untuk diproduksi. Berdasarkan analisis ragam, diketahui bahwa tingkat kesukaan secara keseluruhan terhadap produk tidak berbeda nyata Lampiran 7. Hal ini terlihat nilai atribut kesukaan yang berada pada subset yang sama. Penerimaan keseluruhan formula susu fermentasi kering yaitu biasa. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Waktu pencampuran susu dengan kultur berdasarkan kurva pertumbuhan adalah Streptococcus lactis, Lactobacillus casei, dan Lactobacillus bulgaricus setelah berumur 4 jam, Streptococcus thermophilus berumur 2 jam, dan Bifidobacterium longum berumur 3 jam. Produk A4 dengan perlakuan kombinasi starter bakteri Streptococcus lactis dan Bifidobacterium longum terpilih dengan tingkat kekerasan, kelembutan, pH, kadar protein, kadar kalsium yang baik, jumlah Bifidobacterium longum sebesar 2,6 x 10 7 cfuml sesuai standar probiotik yang ditentukan. Produk A4 ini memiliki kharakteristik warna putih kekuningan, tekstur sedang, aroma antara khas susu asam dan khas murni, kekerasan lunak, dan memiliki rasa asam dan manis yang berimbang yang disukai oleh panelis. Saran Aroma khas susu sapi yang masih tercium pada produk diperbaiki dengan memberikan flavor tambahan berupa flavor buah-buahan. Sedangkan untuk memperbaiki tekstur produk yang baik diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap proses pengeringan. DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Amanda RD. 2010. Uji aktivitas rennet dari abomasums kambing lokal muda pada kondisi yang berbeda dan karakterisasi keju yang dihasilkan. [Skripsi]. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. AOAC. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical Chemistry. Washington DC: AOAC Intl Apriyantono AD, Fardiaz D, Sedarnawati L, Budiyanto S. 1989. Analisa Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Atmarita, Sandjaja. 2009. Buku Kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga. Jakarta: PT Kompas media Nusantara. Axelsson L. 1998. Lactic Acid Bacteria Microbiology and Functional Aspects, 2nd Edition. New York: Marcel Dekker Inc. Axelsson L. 2004. Lactic Acid Bacteria Microbiology and Functional Aspects, 3rd Edition. New York: Marcel Dekker Inc. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2007. Acuan Label Gizi Produk Pangan. Banks. 2007. What factors Associated With The Milk Affect Cheese Yield? Dalam McSweeney PLH. Cheese Problem Solved. New York: CRC Press. Bernet MF, Brassart B, Neerer JR, dan Servin AL. 1993. Adhesion of human Bifidobacterial strains to cultured human intestinal epithelial cells and inhibition of enteropathogen-cell interaction. Applied and Enviromental Microbiology. 5912: 4121-4128. Bondi A. 1983. Animal Nutrition. London: J Wiley, pp 437 –475. Burn P, Inderola G, Binetti A, Quiberoni A, Gavilan de los Reyes Reinhemer J. 2008. Bile resistant derivatives obtained from intestinal dairy lactobacilli. Elsevier Appl Sci. 18: 377-385. Charterist WP, Kelly PM, Morelli L, dan Collins JK. 1998. Ingredient selection criteria for probiotics microorganism in functional dairy food Int. Journal Dairy Technology 51 4: 123-135. Christian et al . 1980. Reduced water activity. p. 79−90. New York: Microbial Ecology of Foods. Dahhan AH, Ali MM, Sibo NH. 1984. Study of the effect of different kinds of milk on quality of leben. Iraqi Journal of Agricultural Sciences 22: 51. Darwis AA, Sukara E. 1989. Teknologi mikrobial. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB Press. De Vuyst L Vandamme EJ. 1994. Antimicrobial potention of Lactic Acid Bacteria dalam De Vuyst L dan Vandamme EJ eds. Bacteriocin of lactic acid bacteria microbiology, genetic, and apllication. London: Blackie Academic and Profesional. Pp: 91-129. deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Bandung: Penerbit ITB Press. Dzouji et al. 1997. The association of yogurt starters with lactobacillus casei dn 114.001 in fermented milk alters the composition and metabolism of intestinal microflora in germ-free rats and in human flora –associated rats. The Journal of Nutrition: 0022-316697. Ebing P, Rutgers K. 2006. Preparation of Dairy Products. Wageningen: Agromisa Foundation. Fardiaz Srikandi. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Fellows PJ. 2000. Food Processing Technology Principles and Practice. England: CRC Press LLC Fernandes R. 2009. Microbiology Handbook Dairy Products. Surrey. UK: Leatherhead Publishing. Fonden R, Mogensen G, Tanaka R, dan Salminen S. 2000. Effect of culture containing diary products on intestinal microflora, human nutrition and health – current knowledge and future perspectives. International Dairy Federation Bulletin number 352 Food Agricultural Organization. 2003. Codex Standard For Fermented Milks:243. Fueller R. 1989. Probiotics in man and animals. J. Appl. Bacteriol 66: 365-378. Fuquay et al. 2011. Encyclopedia Of Dairy Sciences Second Edition. London: Elsevier Ltd. Academic Press. Geankoplis Christie J. 1993. Transport Processes and Unit Operations. New Jersey, USA: Prentice Hall Publisher. Ghosh J, Rajorhia GS. 1990. Selection of starter culture for production of indigenous fermented milk product. Lait 70, 147-154. Hassan AN, Frank JF. 2001. Starter Cultures and Their Use dalam Applied Dairy Microbiology. Georgia, USA: Marcel Dekker, Inc. Hattingh AL, Viljoen Bennie C. 2001. Yogurt as probiotic carrier food. South Africa. International Dairy Journal 11 2001 1 –17. Hendy. 2007. Formulasi bubur instan berbasis singkong Manihot esculenta Crantz sebagai pangan pokok alternatif [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Herawati Heny. 2008. Penentuan umur simpan pada produk pangan. Jurnal Litbang Pertanian, 274: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Hidayatulloh MA. 2011. Analisis Kalsium dan Fosfor pada Susu Fermentasi Kering [tugas akhir]. Bogor: Program Keahlian Kimia, Program Diploma , Institut Pertanian Bogor. Hiswaty. 2002. Pengaruh penambahan tepung ikan nila merah Oreochromis sp terhadap karakteristik biskuit [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Holland B, Unwin LD, dan Buss DH. 1989. Milk Products and eggs: The Fourth Suplement to Mc Cance and Widdowson’s The Composition of Foods, 4 th Edition. Royal Society of ChemistryMinistry of Agriculture. Fisheries and Food, Cambridge, UK. Hui et al. 2006. Food Biochemistry and Food Processing. USA: Blackwell Publishing. Hull et al. 1992. Probiotic food: New opportunity. Journal of Food Australia. 44: 112-113. Hutkins Robert W. 2006. Microbiology and Technology of Fermented Foods. Oxford: Blackwell Publishing. Jandal JM. 1996. Studies on dried fermented dairy products prepared from sheep milk. Small Ruminant Research 21 1996 217-220. Jenie BSL. 2003. Pangan fungsional penyusun flora usus yang menguntungkan makalah disajikan dalam seminar sehari keseimbangan flora usus bagi kesehatan dan kebugaran Bogor: 15 November 2010. Kandler O, Weiss N. 1986. Genus Lactobacillus dalam Bergeys Manual of Systematic Bacteriology, vol 2, 9th edition. Baltimore: Williams and Wilkins. Kang KH, Lee CN. 1985. Preservation and production of starter cultures. Dairy Science Abstracts, 47, 686. Karna, BKL, Emata OC, dan Barraquio VL. 2007. Lactic acid and probiotic bacteria from fermented and probiotic dairy products. Philipphines. Science Diliman July-December 2007 19:2, 23-34. Kumbhar SB, Ghosh JS, Samudre SP. 2009. Microbiological analysis of pathogenic organisms in indigenous. Advance Journal of Food Science and Technology 11: 35-38, 2009. Lee WJ, Lucey JA. 2010. Formation and physical properties of yogurt. Asian- Aust. J. Anim. Sci. Vol. 23, No. 9 : 1127 – 1136. Malaka R, Laga A. 2005. Isolasi dan Identifikasi Lactobacillus Bulgaricus Strain Ropy dari Yoghurt Komersial. Sains Teknologi, April 2005, Vol. 5 No. 1: 50 – 58. Manley Duncan. 1998. Biscuit Doughs: Types, Mixing, Conditioning, Handling. Cambridge England: Woodhead Publishing Limited. Martinko J, Madigan M. 2005. Brock Biology of Microorganisms 11th ed.. New Jersey: Prentice Hall. Mitsuoka T. 1990. A Profile Of Intestinal Bacteria. Tokyo: Yakult Honsha Co., Ltd. Mugen W. 1987. Dairy Cattle Feeding and Management. Canada: John Willey and sons, Inc. Neech GA, MA Melvin, dan J Taggart. 1985. Food, Drink and Bioteknology. dalam Higgins, J., D.J. Best dan J. Jones eds. Biotechnology. Melbourne: Blackwell Sci. Pub. Panesar Parmjit S. 2011. Fermented dairy products: starter cultures and potential nutritional benefits. India. Food and Nutrition Sciences, 2, 47-51. Parvez S, Malik KA, Kang Ah, dan Kim HY. 2006. Probiotics and their fermented food products are beneficial for health.Pakistan Journal of Applied Microbiology 100 2006 1171 –1185. Paskov V, Karsheva M, dan Pentchev I. 2010. Effect of starter culture and homogenization on the rheological properties of yoghurts. Journal of the University of Chemical Technology and Metallurgy, 45, I, 59-66. Prescott, Harley, Klein. 2002. Microbiology 5th edtition. New York: McGraw-Hill Science. Quintans NG, Blancato Victor, Repizo G, Magni C, dan Lopez P. 2000. Citrate metabolism and aroma compound production in lactic acid bacteria. Spanyol. Molecular Aspects of Lactic Acid Bacteria for Traditional and New Applications, 2008: 65-88. Rahayu WP. 1998. Penuntun Praktikum Organoleptik. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Rahman A, Fardiaz D, Rahayu WP, Suliantari, Nurwitri CC. 1992. Teknologi Fermentasi Susu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ray Bibek. 2004. Fundamental Food Microbiology Third Edition. Florida: CRC Press. Rohm H, Kovac A. 1994. Effects of starter cultures on linear viscoelastic and physical properties of yogurt gels. Journal of Texture Studies, 25, 311. Roissart H, Luquet FM. 1994. Lactic Acid Bacteria: Fundamental Aspects And Technology. France: Lorica. Salminen S Atte von Wright. 1999. Lactic Acid Bacteria: Microbiology and Functional Aspect. Second edition, Revisied and Expanded. New York: Marcel Dekker Inc. Salminen S, Ouwehand A, Beno Y, dan Lee YK. 1998. Probiotic: how should they be defined. Trends in Food Science and Technology. Schell MA, Karmirantzou M, Snel B, Vilanova D, Berger B, Pessi. 2002. The Genome sequence of retl ects its adaptation to the human gastrointestinal tract. Proceedings of The National Academy of Sciences USA, 99, 14422-14427. Setyaningsih D, Apriyantono A, dan Sari MP. 2010. Analisis Sensori unuk Industri Pangan dan Agro. Bogor: IPB Press. Shafiee et al. 2010. Combined effects of dry matter content, incubation temperature and final pH of fermentation on biochemical and microbiological characteristics of probiotic fermented milk. African Journal of Microbiology Research Vol. 412 pp. 1265-1274 Shah. 2000. Probiotic bacteria: selective enumeration and survival in dairy foods. Journal of Dairy Science. 83, Pp. 894-907. Singleton P, Sainsburry D. 2006. Dictionary of Microbiology and Molecular Biology, 3rd Edition. Canada: Wiley Press. Southward CR. 2001. Casein Products. New Zealand: Dairy Research Institute. Sri Widowati, Misgiyarta. 2009. Efektifitas bakteri asam laktat bal dalam pembuatan produk fermentasi berbasis proteinsusu nabati. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Standar Nasional Indonesia. 1998. Susu Segar. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia. 1992. SNI:01-2891-1992 Cara Uji Makanan dan Minuman. Jakarta: Dewan Standar Nasional Indonesia. Standar Nasional Indonesia. 1992. Mutu Yogurt. Jakarta: Dewan Standar Nasional Indonesia. Sunarlim R, Setiyanto H, Poeloengan M. 2007. Pengaruh kombinasi starter bakteri Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus, dan Lactobacillus palntarum terhadap sifat mutu susu fermentasi. Jurnal Teknologi Peternakan dan Veteriner. Suprihanto Agung Joko. 2009. Pengaruh jenis bakteri asam laktat terhadap kualitas dadih sapi probiotik selama penyimpanan dalam suhu ruang dan suhu rendah. [skripsi]. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta, IPB. Tabasco R, Paarup T, Janer C, Pela’ez C, dan Requena T. 2007. Selective enumeration and identification of mixed cultures of Streptococcus thermophilus, Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus, L. acidophilus, L. paracasei subsp. paracasei and Bifidobacterium lactis in fermented milk. International Dairy Journal 17 2007 1107 –1114. Tamime A. 2005. Probiotic Dairy Products. United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd. Tamime, Robinson. 2007. Yoghurt Science and Technology. Third Edition. Washington DC, USA: CRC Press. Tannock GW eds. 1999. Probiotic: A Critical Review. England: Horizon Scientific Press. Tomar SK, Prasad DN. 1989. Therapeutic value of yoghurt: an assessment. Buffalo Journal, 51, 25. Vaclavik VA, Christian EW. 2003. Essentials of Food Science Second Edition. New York: Kluwer AcademicPlenum Publishers. Wahyudi A Samsundari. 2008. Bugar dengan Susu Fermentasi. Malang: Universitas Muhamadiah Malang Press. Widodo Wahyu. 2002. Bioteknologi Fermentasi Susu. Pusat Pengembangan Bioteknologi. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang Press. Winarno FG . 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi Edisi Revisi. Bogor: M-BRIO PRESS. Zourari A, Accolas JP, dan Desmazeaud MJ. 1992. Metabolism and biochemical of yogurt bacteria. Lait 72, 1-34. Elsevier. LAMPIRAN Lampiran 1 Prosedur Analisis 1. Analisis Fisik

1.1 Analisis Tingkat Kekerasan

Pengukuran kekerasan produk susu fermentasi kering dengan menggunakan Texture Analyzer CT3 4500 produksi USA. Tekanan yang digunakan adalah 2 mms. jarak yang digunakan antara produk dengan probe adalah 5 mm. Produk susu fermentasi kering yang akan diukur kekerasannya diletakkan di bawah probe, lalu tekan “Quick Run Test”. Setelah pengukuran selesai, nilai kekerasan susu fermentasi kering dapat dilihat pada layar komputer.

1.2 Analisis Tingkat Kelembutan

Kelembutan susu fermentasi kering dianalisis menggunakan alat penetrometer San Antonio, Texas 78216. Susu fermentasi kering yang ingin diukur kelembutannya diletekan dibawah alat penekan. Tempelkan alat penekan pada permukaan produk. Kemudian tekan panel pada alat, tahan selama 10 detik. Setelah itu baca nilai pada alat. Lakukan sebanyak 10 kali perhitungan pada posisi yang berbeda-beda. Perhitungan nilai kelembutan keju putih endah lemak yang dihasilkan adalah sebagi berikut: Keterangan: x = rata- rata nilai yang diperoleh pada alat.

1.3 Pengukuran PH Apriyanono et al. 1989

Tahap-tahap penetapan pH secara umum adalah suhu sampel diukur, pengatur suhu sampel pada suhu terukur diset, kemudian pH meter dinyalakan sampai stabil 15-30 menit, probe elektrode lalu dibilas dengan menggunakan akuades atau aliquot sampel dan dikeringkan dengan kertas tissue. Elektrode dicelupkan pada larutan sampel, diset pengukuran pH, elektrode dibiarkan tercelup beberapa saat sampai diperoleh pembacaan yang stabil. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali untuk setiap sampel.

1.4 Total Asam Tertitrasi AOAC 1995

Pengukuran total asam tertitrasi dilakukan dengan prinsip titrasi asam basa. Sebanyak 10 ml contoh dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambah dengan tiga tetes indikator fenoftalin 1. Contoh kemudian dikocok dengan NaOH yang telah distandarisasi menggunakan asam oksalat. Titrasi dihentikan jika warna berubah menjadi merah muda. Perhitungan total asam lakta yaitu: 2. Analisis Kimia 2.1 Analisis Kadar Air Metode Oven SNI 01-2891-1992