Kepercayaan adalah seberapa besar kepercayaan yang terbangun antar sesama

17 Berdasarkan kekuatan Kekuatan jaringan adalah jumlah simpul yang dimiliki responden. Semakin banyak jenis simpul yang dimiliki, maka jaringan semakin kuat. Adapun kekuatan jaringan ini diukur dengan skala interval dengan rumus: [n maks – n min 2 sesuai kategori]. Jarak interval yang diperoleh adalah 5 - 2 2 = 1,5. Oleh karena itu standar kuat dan lemahnya jaringannya adalah: Lemah : 2 - 3,5 simpul Kuat : 3,5 - 6 simpul

2. Kepercayaan adalah seberapa besar kepercayaan yang terbangun antar sesama

migran Madura dan juga masyarakat yang ada di lingkungan tempat tinggal di Bogor. Kepercayaan dalam penelitian ini diukur berdasarkan dua jenis kepercayaan, yaitu: kepercayaan dengan sesama migran Madura dan kepercayaan terhadap masyarakat sekitar. Kepercayaan dengan sesama migran Madura . Jumlah pertanyaan mengenai tingkat kepercayaan dengan sesama migran Madura sejumlah 3 pertanyaan yang terdapat pada lembar kuesioner bagian IV pada nomor 21, 22, dan 23 dan diukur dengan skala ordinal melalui pernyataan Ya skor 2, Tidak skor 1. Skor maksimum bagi setiap responden adalah 2+2+2=6 dan skor minimum adalah 1+1+1=3. Jarak interval yang diperoleh adalah 6-32=1,5. Oleh karena itu dapat diketahui, skor tingkat kepercayaan dengan sesama Madura tergolong rendah jika memiliki skor 3-4,5 dan tingkat kepercayaan tinggi jika memiliki skor 4,5-6. Kepercayaan terhadap masyarakat sekitar . Jumlah pertanyaan mengenai tingkat kepercayaan terhadap masyarakat sekitar sejumlah 6 pertanyaan yang terdapat pada lembar kuesioner bagian IV pada nomor 24, 25, 26, 27, 28, dan 29 dan diukur dengan skala ordinal melalui pernyataan Ya skor 2, Tidak skor 1. Skor maksimum bagi setiap responden adalah 2+2+2+2+2+2=12 dan skor minimum adalah 1+1+1+1+1+1=6. Jarak interval yang diperoleh adalah 12- 62=3. Oleh karena itu dapat diketahui, skor tingkat kepercayaan terhadap masyarakat sekitar tergolong rendah jika memiliki skor 6-9 dan tingkat kepercayaan tinggi jika memiliki skor 10-12. 18 Jumlah seluruh pertanyaan variabel kepercayaan adalah 9, adapun skor maksimum bagi setiap responden adalah 2+2+2+2+2+2+2+2+2=18 dan skor minimum adalah 1+1+1+1+1+1+1+1+1=9. Jarak interval yang diperoleh adalah 18-92=4,5. Oleh karena itu dapat diketahui skor tingkat kepercayaannya secara keseluruhan adalah: Skor 9-13,5 : tingkat kepercayaan rendah; dan Skor 13,5-18 : tingkat kepercayaan tinggi 19 PENDEKATAN LAPANGAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih karena di kecamatan ini terdapat sejumlah migran Madura yang mengembangkan usaha di sektor informal. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja purposive sesuai dengan kebutuhan penelitian. Studi lapangan dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juli 2012. Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan kuesioner, wawancara, observasi dan dokumentasi. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan didukung oleh data kualitatif untuk memperkaya data dan memahami fenomena sosial. Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah migran Madura yang ada di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, sedangkan populasi sasaran penelitian ini adalah migran Madura yang mengembangkan usaha di sektor informal di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu. Pemilihan responden dilakukan dengan metode purposive sampling. Seseorang diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitian Holmes et al. 2005. Dalam penelitian ini karakteristik pelaku usaha di sektor informal yang diteliti adalah: migran yang berasal dari Madura yang mengembangkan usaha di sektor informal di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Penelitian ini tercakup di tiga kelurahan yaitu Kelurahan Kayu Manis, Kelurahan Cibadak dan Kelurahan Kedung Badak. Untuk memperoleh responden migran Madura yang bekerja di sektor informal, peneliti memulai dari Kelurahan Kayu Manis dengan cara bertanya kepada pemilik warung makan di sekitar Jalan Raya Kayu Manis mengenai lokasi lapak usaha orang Madura. Dalam proses identifikasi tersebut peneliti ditunjukkan pada sebuah lapak usaha migran Madura yang 20 berada di samping Hotel Bambu. Dari responden pertama tersebut peneliti diarahkan untuk menyusuri sepanjang Jalan Raya Kayu Manis dan Jalan Baru. Dari hasil penyusuran di sepanjang jalan tersebut dan petunjuk yang diperoleh dari responden pertama, peneliti memperoleh 30 responden yang tersebar di tiga kelurahan. Dalam penelitian ini tercakup responden laki-laki dan responden perempuan. Responden laki-laki merupakan pelaku utama usaha di sektor informal yang dikembangkan oleh migran Madura. Pelaku utama yang dimaksud adalah orang yang menggagas kegiatan usaha di sektor informal. Responden perempuan bukan penggagas utama kegiatan usaha di sektor informal kecuali yang berstatus janda, namun dalam kegiatan usaha tersebut responden perempuan berperan dalam usaha yang dijalankan oleh suaminya. Dalam hal ini peran tersebut didukung oleh pengetahuan responden perempuan mengenai hal-hal terkait usaha di sektor informal, di antaranya adalah: 1 Proses perolehan bahan baku yang sebagian besar diperoleh dari proyek bongkaran, 2 Informan yang memberi tahu kegiatan proyek bongkaran, dan 3 Periode berlangsungnya kegiatan bongkaran yang diikuti oleh suami. Dengan pengetahuan tersebut, responden perempuan dianggap memiliki peran yang cukup penting sehingga dapat memberikan informasi mengenai usaha sektor informal yang menjadi pekerjaan migran Madura di Kota Bogor. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif yang diperoleh melalui kuesioner diolah dengan menggunakan komputer. Selain pertanyaan yang bersifat kuantitatif, pada kuesioner juga terdapat pertanyaan kualitatif, oleh karena itu di dalamnya disajikan dalam bentuk pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup. Pertanyaan terbuka ditujukan untuk memperoleh data kualitatif. Data yang diolah merupakan data yang diturunkan dari kuesioner. Variabel yang diolah adalah variabel jaringan sosial dan variabel tingkat kepercayaan. Variabel jaringan sosial mengandung data mengenai jumlah orang yang dikenal dan jumlah simpul yang dimiliki oleh migran Madura di sektor informal. Jumlah orang yang dikenal oleh migran Madura bervariasi, oleh karena itu penulis mengklasifikasikan data tersebut berdasarkan ukuran jaringan luas dan sempit, sedangkan data simpul jaringan diidentifikasi menurut perananannya. Pada variabel tingkat kepercayaan mengandung data tingkat kepercayaan terhadap sesama migran Madura dan tingkat kepercayaan 21 terhadap masyarakat sekitar. Jumlah pertanyaan mengenai kepercayaan terhadap sesama migran Madura sebanyak tiga pertanyaan dan kepercayaan terhadap masyarakat setempat sebanyak enam pertanyaan. Setiap pertanyaan diberi skor dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel frekuensi. Data tersebut kemudian diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan berdasarkan hipotesis yang ada, sedangkan data kualitatif disajikan dalam bentuk naratif dalam teks dan kutipan-kutipan langsung dari beberapa pernyataan responden. Selain mengenai jaringan sosial dan tingkat kepercayaan, di dalam kuesioner juga terdapat sejumlah pertanyaan yang tujuannya untuk mengidentifikasi informasi penting lainnya seperti riwayat migrasi, karakteristik responden serta mengidentifikasi kegiatan usaha di sektor informal. 22 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK MIGRAN MADURA Lokasi Migran Madura di Kota Bogor Kota Bogor merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Barat yang terletak 54 kilometer sebelah selatan Jakarta. Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS, dengan Luas Wilayah Kota Bogor sebesar 11.850 Ha terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Dengan kedudukan geografis berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya yang dekat dengan Ibukota Negara, merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata Pemerintah Kota Bogor 2011. Berdasarkan renstra Pemerintah Kota Kota Bogor 2011, dalam Perda No 1 Tahun 2000 tercantum tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 1999-2009 yang menjelaskan bahwa fungsi Kota Bogor adalah: 1 Sebagai kota perdagangan, 2 Sebagai kota industri, 3 Sebagai kota permukiman, 4 Wisata ilmiah, dan 5 Kota pendidikan. Hal ini menarik orang untuk datang ke Kota Bogor dengan berbagai alasan, salah satunya adalah untuk memperoleh kesempatan kerja. Keadaan ini mengindikasikan sejumlah migran dari berbagai daerah berdatangan ke Kota Bogor untuk memanfaatkan peluang ekonomi Kota Bogor yang semakin berkembang. Salah satu etnis yang bermigrasi ke Kota Bogor adalah migran etnis Madura. Dalam penelitian ini penulis mengkaji mengenai migran Madura yang memanfaatkan peluang ekonomi di sektor informal. Untuk memperoleh data dan informasi mengenai keberadaan migran Madura yang bekerja di sektor informal, penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat yaitu di Keluarahan Kayu Manis, Kelurahan Cibadak dan Kelurahan Kedung Badak. Kawasan Jalan Baru yang terletak di Kelurahan Cibadak merupakan salah satu kawasan usaha migran Madura untuk menjalankan usahanya. Lokasi tersebut merupakan lokasi usaha sekaligus tempat tinggal para migran Madura dan letaknya berjajar berdekatan satu sama lain. Jenis usahanya bermacam-macam, mulai dari usaha besi bekas, kayu bekas, gipsum, rak dan juga usaha plastik terpal. Lokasi usaha sekaligus tempat tinggal migran Madura tersebut cukup terpisah dari lokasi pemukiman masyarakat asli Bogor. Masyarakat asli Bogor bermukim di daerah perkampungan yang lokasinya cukup jauh dari jalan raya utama 23 Jalan Baru, sedangkan migran Madura bermukim di sekitar jalan raya utama Jalan Baru, sehingga interaksi dengan masyarakat sekitar terbatas dan hanya bergaul dalam lingkup migran Madura saja. Demikian juga dengan migran Madura yang mengembangkan usaha di sektor informal di Kelurahan Kayu Manis yang sebagian besar bermukim dan membuka usaha di sepanjang jalan raya Kayu Manis. Letak tempat tinggal yang terpisah dari masyarakat sekitar menyebabkan interaksi pergaulannya hanya dengan sesama migran Madura dan migran lain asal Jawa yang juga bermukim di sepanjang jalan tersebut. Migran Madura yang terletak di Kelurahan Kedungbadak sebagian besar membuka usaha gipsum. Mereka tinggal di kawasan padat usaha dan berdampingan dengan jenis usaha retail dan tidak berkelompok dengan migran Madura lainnya. Jumlah migran Madura yang bekerja di sektor informal di kelurahan ini tidak sebanyak di Kelurahan Cibadak dan Kayu Manis. Ciri-ciri Migran Madura Dalam Usaha Sektor Informal Keberadaan migran Madura di kecamatan ini dapat dikenali dari jenis usahanya, yaitu usaha dagang barang bekas dan penyedia bahan bangunan. Jenis usaha yang digeluti mencerminkan bentuk tempat usahanya yang khas. Salah satu ciri khas yang memudahkan dalam menemukan orang Madura yaitu lapak usahanya yang sederhana, dan peletakan barang-barang bekas yang kurang tertata rapi. Berbeda dengan lapak usaha migran yang berasal dari daerah lain yang bentuk bangunannya relatif permanen, lapak yang dimiliki migran Madura dibangun secara sederhana dengan komposisi berupa seng dan kayu yang disusun membentuk seperti gudang. Di lapak tersebut terdapat sejumlah barang bekas yang merupakan komoditas usahanya seperti pagar bekas, teralis, kayu dan berbagai barang lain yang mencirikan sebagai barang yang tidak terpakai. Contoh lapak usaha migran Madura dapat dilihat dalam lampiran. Karakteristik Migran Madura Dalam membahas mengenai migrasi tidak terlepas dari karakteristik migran seperti jenis kelamin, usia, status perkawinan, pendidikan dan asal daerah. Berikut ini analisis karakteristik migran Madura yang bekerja di sektor informal di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. 24 Jenis Kelamin Ditinjau berdasarkan jenis kelamin, laki-laki cenderung lebih mudah melakukan migrasi. Keterbatasan perempuan dalam melakukan mobilitas disebabkan oleh nilai budaya yang mengharuskan perempuan untuk mengutamakan kewajiban rumah tangga, namun hal ini mulai berubah. Perempuan mulai terdorong untuk melakukan mobilisasi dalam rangka untuk ikut berpartisipasi dalam memperbaiki ekonomi keluarga dan mencapai kehidupan yang lebih baik Noer 2008. Dalam bermigrasi jumlah laki-laki lebih besar dari pada perempuan. Walaupun dalam perkembangannya kaum perempuan sudah menunjukkan adanya peningkatan mobilitas, secara kuantitas jumlah migran laki- laki lebih tinggi dari pada perempuan. Peluang kerja dalam sektor informal lebih terbuka bagi laki-laki karena dalam pekerjaan tersebut menuntut kekuatan fisik. Perempuan yang tercakup sebagai responden dalam penelitian ini adalah perempuan yang diberikan kewenangan oleh suaminya untuk mengelola usahanya ketika suaminya sedang sakit ataupun ke luar kota. Selain itu terdapat juga perempuan Madura yang menikah dengan masyarakat setempat dan membuka usaha di sektor informal. Data mengenai karakteristik lain seperti usia, pendidikan terakhir, status perkawinan dan daerah asal disajikan dalam Tabel 1. Usia Usia merupakan salah satu faktor penting dalam pengambilan keputusan untuk bermigrasi. Dalam keterkaitan antara usia dan mobilitas, Goldscheider 1985 menyampaikan bahwa proporsi kaum muda pada umumnya lebih mobil daripada orang tua. Tingkat mobilitas kaum muda yang lebih tinggi mencerminkan dua skiklus hidup. Proses-proses yang berkaitan dengan umur yakni: 1 perkawinan dan pembentukan keluarga, dan 2 mobilitas karir dan pekerjaan. Dalam penelitian Warsono 1992, masyarakat Madura pada umumnya bermigrasi pada usia muda antara usia 12 tahun sampai 15 tahun. Bagi masyarakat Madura, rentang usia tersebut merupakan masa produktif untuk bekerja untuk mendukung ekonomi keluarga. 25 Tabel 1. Karakteristik Responden Penelitian Migran Madura di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor 2012 Karakteristik Responden Saat Meninggalkan Madura Saat Penelitian Dilaksanakan Laki- laki Perempuan Total Laki- laki Perempuan Total Usia 20 tahun 1 3 4 - - - 20 – 29 tahun 9 6 15 - - - ≥ 29 tahun 9 2 11 3 3 6 30 – 40 tahun - - - 9 5 14 40 tahun - - - 7 3 10 Total 19 11 30 19 11 30 Pendidikan Pendidikan agama 7 3 10 7 3 10 SD 3 4 7 3 4 7 SMP 4 2 6 4 2 6 SMA 3 2 5 3 2 5 Perguruan Tinggi 2 0 2 2 2 Total 19 11 30 19 11 30 Status Perkawinan Belum Menikah 7 3 10 - - - Menikah 12 7 19 19 10 29 JandaDuda 0 1 1 1 1 Total 19 11 30 19 11 30 Daerah Asal Kab. Sampang 15 8 23 - - - Kab. Pamekasan 4 1 5 - - - Kab. Bangkalan 2 2 - - - Total 19 11 30 - - - Pendidikan agama informal 26 Migran Madura yang bekerja di sektor informal sebagian besar bermigrasi ke Bogor pada usia dewasa yakni pada rentang usia 20-29 tahun. Pada rentang usia tersebut terdapat migran yang sudah berpengalaman bermigrasi ke daerah lain dan ada juga yang baru pertama kali bermigrasi. Berdasarkan data usia pada saat penelitian dilaksanakan jumlah tertinggi pada rentang usia 30-40 tahun. Golongan usia ini merupakan usia yang cukup matang untuk mengembangkan usaha sektor informal yang mandiri dan maju, karena telah memiliki pengalaman dan keterampilan yang cukup serta kapasitas fisik yang baik. Pendidikan Klasifikasi yang dibentuk dengan istilah Madura Barat dan Madura Timur tidak hanya berdasarkan perbedaan sifat masyarakatnya yang egalitarian dan aristokrasi, tetapi juga berdasarkan tingkat pendidikan, sehingga berdasarkan tingkat pendidikan tersebut dapat diidentifikasi kabupaten asal migran Madura yang tercakup dalam penelitian ini. Tingkat pendidikan migran Madura yang bekerja di sektor informal di Kota Bogor pada umumnya rendah. Sebanyak sepuluh orang berpendidikan SD ke bawah, namun ada pula yang berpendidikan tinggi bergelar ahli madya dan sarjana. Jika dibandingkan dengan yang berpendidikan sekolah menengah ke bawah, jumlah yang berpendidikan tinggi relatif kecil yakni hanya dua orang responden. Mereka yang berpendidikan tinggi bukan berasal dari golongan orang bangsawan atau golongan parjaji priyayi, melainkan dari latar belakang keluarga yang kurang mampu. Kemauan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi adalah karena keinginannya untuk menjadi pembawa perubahan bagi keluarga pada khususnya dan masyarakat Madura pada umumnya. Status pendidikan terakhir yang paling besar jumlahnya adalah pendidikan agama. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat Madura yang masih terikat pandangan tradisional, yang lebih mengutamakan anaknya masuk ke pondok dari pada sekolah umum. Berdasarkan informasi tersebut memudahkan untuk memahami bahwa masyarakat Madura merupakan masyarakat yang agamis. Dalam penelitiannya Warsono 1992 menjelaskan, bahwa terdapat perbedaan tingkat pendidikan antara migran dari Madura Barat dan Madura Timur, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh budaya. Wilayah timur masih dipengaruhi oleh tradisi keraton yang bersifat feudal. Mereka lebih 27 berorientasi pada pendidikan sebagai upaya untuk mendapat kedudukan di lembaga- lembaga pemerintah, sedangkan di Madura Barat Bangkalan dan Sampang pengaruh kerajaan sudah tidak terasa. Data responden berdasarkan status perkawinan dapat dilihat di Tabel 2. Status Perkawinan Status perkawinan dapat menjadi salah satu faktor pendorong maupun penghambat terjadinya gerak penduduk. Dapat dikatakan sebagai pendorong terjadinya gerak penduduk apabila migrasi dianggap sebagai alternatif untuk mememenuhi kebutuhan keluarga yakni dengan bekerja di daerah lain meninggalkan daerah asalnya, dengan asumsi bahwa daerah asal dinilai kurang mendukung untuk meningkatkan perolehan pendapatan. Demikian juga dapat menjadi penghambat terjadinya gerak penduduk, karena dalam status perkawinan pada dasarnya satu pasangan baik suami atau pun istri tidak berkenan untuk hidup terpisah, dengan catatan suami atau pun istri meninggalkan pasangannya ke daerah lain untuk bekerja, karena keadaan demikian dapat memicu terjadinya ketidakharmonisan rumahtangga. Dalam penelitian ini diketahui terdapat satu orang responden berstatus janda. Status tersebut mempengaruhi keputusannya untuk bermigrasi ke Kota Bogor. Hal ini dilakukan sejak suaminya meninggal dengan tujuan untuk memberikan nafkah bagi anak-anaknya. Responden yang berstatus menikah merupakan pasangan suami istri yang keduanya bermigrasi ke Kota Bogor tanpa meninggalkan salah satu pasangannya di daerah asal. Suami maupun istri memainkan peranannya masing-masing dalam rumahtangga dan dalam pekerjaan. Istri diajak bermigrasi karena dianggap penting untuk ikut membantu pekerjaan di sektor informal yang sedang dikembangkannya di Kota Bogor. Data responden berdasarkan status perkawinan dapat dilihat di Tabel 2. Daerah Asal Migran Madura Berdasarkan data yang telah diperoleh di lapangan, migran Madura yang membuka usaha di sektor informal di Kecamatan Tanah Sareal pada umumnya berasal dari Kabupaten Sampang tersaji dalam Tabel 2. Migran asal Kabupaten Pamekasan dan Bangkalan ditemukan dalam jumlah yang kecil, sedangkan yang berasal dari Kabupaten Sumenep tidak ada. Adanya dominasi dari Kabupaten Sampang mencirikan bahwa orang Madura yang bermigrasi ke Bogor umumnya bekerja dan membuka usaha 28 di sektor informal non-pangan yang berbeda dengan migran Madura asal Bangkalan yang umumnya diketahui bekerja di sektor informal pangan penjual sate, soto, bubur ayam, bubur kacang hijau. Dari sejumlah kota yang ada di Pulau Jawa yang menjadi daerah tujuan migrasi, Kota Bogor merupakan kota yang tergolong baru sebagai pilihan migrasi. Sebelum bermigrasi ke Bogor, sebagian besar sudah berpengalaman bermigrasi ke daerah lain seperti Surabaya, Pulau Kalimantan, Jakarta dan kota lainnya di Pulau Jawa. Selama tinggal di kota-kota tersebut, pekerjaan yang digeluti berbeda dengan pekerjaan yang digeluti di Bogor. Upaya perpindahan yang dilakukan dari satu kota ke kota lain dan pada akhirnya menetap di Bogor tujuannya adalah untuk mencari kehidupan yang lebih baik, karena pekerjaan yang dilakukan sebelumnya kurang berpengaruh terhadap peningkatan kehidupan mereka. Ikhtisar Karakteristik Migran Migran Madura yang melakukan migrasi ke Bogor dominan migran laki-laki, hal ini terkait dengan pekerjaan dan usaha yang dikembangkan untuk melangsungkan hidup, yakni pada usaha di sektor informal perdagangan. Berdasarkan usia, pada saat meninggalkan Madura jumlah paling tinggi yaitu pada usia 20-29 tahun, sedangkan pada saat penelitian dilaksanakan jumlah responden terbanyak pada usia 30-40 tahun. Dilihat berdasarkan latar belakang pendidikan, jumlah terbanyak berlatar belakang pendidikan agama informal dengan jumlah sepuluh responden, sementara itu berdasarkan status perkawinannya, diketahui migran yang menjadi responden penelitian ini berstatus menikah, hanya satu responden saja yang berstatus janda. Berdasarkan asal daerah asalnya, migran Madura yang berusaha di sektor informal ini sebanyak 23 responden berasal dari Kabupaten Sampang. 64 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kesimpulan: 1. Hubungan yang kuat yang berbasiskan hubungan persaudaraan, pertemanan dan pertetanggaan yang dimiliki oleh orang Madura merupakan faktor penting berlangsungnya migrasi berantai. Orang Madura yang telah lebih dahulu bermigrasi ke Bogor menjadi saluran bagi kerabatnya yang masih tinggal di kampung halaman untuk turut bermigrasi ke Kota Bogor. Dalam hal ini, orang Madura yang telah lebih dahulu ke Bogor menjadi sumber informasi bagi orang Madura lainnya. Budaya toron pulang kampung merupakan momentum yang memungkinkan bagi migran Madura untuk mengajak kerabatnya ikut bermigrasi ke Bogor. 2. Usaha sektor informal yang digeluti oleh migran Madura yaitu berdagang kayu bekas, besi bekas, dan gipsum. Sebagai kegiatan ekonomi skala kecil, modal yang diperlukan tergolong rendah dengan modal awal sebesar ≤ 10 juta rupiah. Modal tersebut diperoleh dari saudara dan tabungan pribadi. Keterampilan yang dimiliki untuk mengembangakn usaha tersebut merupakan hasil belajar ketika ikut tinggal bersama saudaranya yang berjualan barang bekas. 3. Ditinjau dari jumlah orang yang dikenal selama tinggal di Bogor, jaringan yang dimiliki migran Madura tergolong sempit yakni 6-157 orang. Berdasarkan jumlah orang yang dikenal tersebut terdapat 5 simpul yang dimiliki migran Madura. Dalam usaha tersebut, simpul yang paling berperan adalah teman kerja dan perkumpulan migran Madura. Teman kerja terdiri dari calo bongkaran, kontraktor dan pengumpul barang bekas berperan dalam perolehan bahan baku, sedangkan perkumpulan Madura berperan bagi perolehan modal. Kepercayaan yang dimiliki migran Madura tergolong rendah, karena kepercayaan yang dibangun dengan kuat hanya dengan sesama migran Madura, sedangkan dengan masyarakat sekitar kepercayaan yang dibangun tergolong lemah. Dalam menjalankan usaha sektor informal yang digeluti oleh orang Madura, aturan 65 yang mengikat di antara migran Madura tersebut adalah sikap saling menghargai usaha yang dimiliki oleh orang Madura lainnya. Ketidaktataan terhadap aturan tersebut dapat menimbulkan konflik dan memungkinkan memudarnya ikatan yang solid antar migran Madura. Saran Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa modal sosial memiliki peranan penting dalam kegiatan ekonomi sektor informal suatu kelompok, dalam kasus ini yaitu kelompok migran Madura di Kota Bogor. Keterbatasan migran Madura dalam modal finansial dan modal manusia dapat ditopang oleh modal sosial yang berkembang dalam kehidupan mereka, sehingga usaha dagang di sektor informal perdagangan barang bekas didominasi oleh orang Madura. Oleh karena itu penulis memberikan saran kepada: 1. Penentu kebijakan. Perlu diketahui bahwa modal finansial dan modal manusia tidak dapat menjadi ukuran utama untuk menilai perkembangan ekonomi, melainkan terdapat modal lain yaitu modal sosial yang berkembang di masyarakat yang mampu mendorong suatu kelompok masyarakat untuk bertindak mandiri secara ekonomi tanpa menggantungkan sepenuhnya kepada pemerintah. 2. Masyarakat umum. Perlu disadari bersama bahwa perkembangan zaman yang semakin canggih memicu masyarakat untuk hidup individualis, sehingga nilai- nilai gotong royong semakin memudar. Oleh karena itu dihimbau untuk tetap mempertahankan nilai-nilai kehidupan dan berupaya untuk tetap mempertahankan hubungan sosial yang dapat menjadi penopang ketika menghadapi kesulitan. 29 PROSES MIGRASI ORANG MADURA Migrasi Berantai Migran Madura Etnis Madura dikenal sebagai salah satu etnis yang memiliki budaya migrasi, selain etnis Bugis, Batak dan Minangkabau Mantra 1992. Terdapat sejumlah faktor yang mendorong masyarakat Madura untuk berpindah meninggalkan Pulau Madura menuju kota-kota di Pulau Jawa maupun luar Pulau Jawa. Seperti telah dikemukakan pada bagian awal, salah satu faktor kuat yang mendorong masyarakat Madura untuk bermigrasi adalah keadaan Pulau Madura yang kurang mendukung untuk meningkatkan ekonomi akibat sifat geografis Pulau Madura yang kering dan gersang. Migrasi yang dilakukan oleh etnis Madura identik dengan migrasi berantai dengan pola afiliasi. Pengertian migrasi berantai adalah perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain yang diikuti oleh penduduk daerah asalnya. Migrasi berantai ini terjadi apabila rombongan atau orang yang pertama bermigrasi telah berhasil di daerah tujuan, maka akan menarik saudara, teman atau tetangga dari daerah asalnya untuk turut bermigrasi. Keadaan ini pun ditemukan di lokasi penelitian pada migran Madura yang menjadi responden dalam penelitian ini yang menetap di Kecamatan Tanah Sareal. Gambar 3 merupakan proses migrasi orang Madura ke Kota Bogor. Gambar 3. Proses Migrasi Orang Madura ke Kota Bogor 30 Keberhasilan orang Madura yang mengawali migrasi ke Bogor menjadi penarik bagi orang Madura lainnya untuk ikut hijrah meninggalkan Pulau Madura. Hubungan kekerabatan yang kuat memungkinkan untuk mengajak saudara, teman dan tetangganya yang ada di kampung halaman untuk ikut pindah ke Bogor. Jaringan sosial merupakan salah satu unsur dari modal sosial yang telah berperan pada proses awal migrasi. Dengan berbasiskan hubungan persaudaraan, pertemanan, dan pertetanggaan, menyebabkan migrasi menuju Kota Bogor semakin mudah. Ditinjau berdasarkan daerah asal kabupaten, sebanyak 23 responden berasal dari Kabupaten Sampang yang berasal dari Kecamatan Kedundung dan Kecamatan Sampang. Berdasarkan data tersebut dapat diartikan bahwa Kabupaten Sampang merupakan pensuplai migran ke Kota Bogor yang paling dominan di antara kabupaten lainnya. Menurut Warsono 1992 ini disebabkan oleh tingkat sosial ekonomi di wilayah Madura timur lebih baik dari pada di wilayah barat. Hal ini berkaitan dengan kondisi tanah, yang secara geologis wilayah timur kondisi tanahnya lebih cocok untuk tanaman tembakau yang merupakan komoditi ekonomi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, sedangkan wilayah barat tidak cocok untuk tanaman tembakau. Peran Jaringan Sosial Untuk bermigrasi diperlukan biaya yang harus dipersiapkan. Biaya yang dimaksud bukan hanya dalam wujud uang, tetapi juga kapasitas sumberdaya manusia yang diperlukan untuk mampu bekerja sehingga tetap bertahan hidup di daerah tujuan. Keterbatasan yang dimiliki oleh migran Madura khususnya dalam hal modal manusia dan modal finansial disebabkan oleh tingkat pendidikan yang umumnya tergolong rendah, sehingga modal sosial, khususnya jaringan menjadi sarana penting dalam migrasi yang dilakukan oleh orang Madura. Jaringan yang berbasiskan pada hubungan persaudaraan, pertemanan maupun pertetanggaan memiliki fungsi yang sama, di antaranya adalah: fungsi informasi, fungsi sosial, dan fungsi ekonomi. Fungsi informasi adalah ketika orang Madura yang telah lebih dahulu bermigrasi ke Bogor memberikan informasi kepada kerabatnya di kampung halaman mengenai potensi Kota Bogor, sehingga menarik mereka untuk ikut pindah ke Bogor. Fungsi sosial adalah upaya yang dilakukan oleh orang Madura dalam membantu migran baru untuk memperoleh tempat tinggal dan membantu beradaptasi di lingkungan daerah migran, sedangkan fungsi ekonomi dimainkan oleh orang Madura 31 dalam memberikan pekerjaan bagi migran baru serta memberikan bantuan keuangan ketika diperlukan, baik untuk kebutuhan hidup sehari-hari maupun untuk modal usaha. Bapak Ahmad 44 tahun merupakan migran Madura asal Sampang, Kecamatan Kedundung dari Desa Daleman, yang membuka usaha dagang besi dan kayu bekas di Jalan Raya Kayu Manis, Kecamatan Tanah Sareal. Sebelum bermigrasi ke Bogor, Bapak Ahmad menetap di Jakarta dan membuka usaha pengolahan limbah besi bekas dari sebuah pabrik milik perusahaan swasta di kawasan Jakarta Timur. Pada Tahun 2004 ia memutuskan pindah ke Bogor, karena di Jakarta persaingan dengan sesama Madura dalam usaha tersebut semakin tinggi. Di Bogor ia membuka usaha dagang kayu bekas dan besi bekas. Kayu dan besi bekas tersebut diperoleh dari lelang barang bekas yang ia ikuti. Dalam usahanya tersebut, kayu bekas diolah menjadi kayu kusen untuk bangunan rumah, sedangkan besi bekas diolah menjadi rak seperti rak buku dan rak supermarket. Pada saat lebaran ia pulang ke Madura. Pada kesempatan itulah ia menceritakan keberadaannya selama di Bogor kepada sanak saudaranya yang tinggal di Madura. Budaya pulang kampung ini biasa disebut dengan istilah toron. Bagi migran Madura, selain karena masih terikat dengan budaya yang ada di daerah asal, kepulangannya ke Madura karena motif prestise. Mereka pulang ke Madura bukan sekedar karena keperluan keluarga, tetapi juga untuk menunjukkan keberhasilannya selama tinggal di daerah migran, karena itu ada anggapan jika mereka tidak bisa membawa apa-apa lebih baik tidak pulang. Pada sisi yang lain, kepulangan orang Madura juga membawa informasi keberhasilan mereka dalam pekerjaan yang digeluti. Hal ini mendukung hasil penelitian Warsono 1992 mengenai migran Madura di Kota Surabaya, bahwa keberhasilan mereka yang telah terlebih dahulu bermigrasi menjadi perangsang bagi orang-orang Madura lainnya untuk ikut bermigrasi. Saat kembali ke Bogor, Bapak Ahmad mengajak saudara sepupunya yakni Ibu Fitri 33 tahun dan Bapak Taufik 34 tahun. Pada masa itu ia mulai memainkan fungsi sosial dan fungsi ekonomi, yakni dengan memberikan tumpangan tempat tinggal kepada kedua sepupunya tersebut. Jika dibandingkan dengan Bapak Taufik, Ibu Fitri telah lebih dulu ikut Bapak Ahmad bermigrasi ke Kota Bogor, karena pada waktu itu Bapak Taufik masih menjalani pendidikan di Surabaya. Selama tinggal di rumah Bapak Ahmad, Ibu Fitri dan Bapak Taufik ikut membantu usaha yang dikembangkan oleh saudara sepupunya tersebut, yakni merakit besi yang sudah dilas menjadi rak. Rak yang dibuat bermacam-macam. Ukuran besar dijadikan sebagai rak buku perpustakaan, dan rak yang 32 ukuran sedang dijual ke sejumlah pengusaha supermarket. Setelah tinggal dua tahun di rumah Bapak Ahmad, Ibu Fitri mulai mandiri dan menyewa tempat tinggal sendiri, demikian juga dengan Bapak Taufik. Bekal ilmu membuat rak yang ia pelajari selama kurang lebih dua tahun tersebut menjadi modal untuk ia membuka usaha yang sama. Saat ini Ibu Fitri telah menetap di Bogor selama sembilan tahun sejak Tahun 2003. Ketika usaha yang ia jalankan mulai berkembang, ia pun mengajak keponakannya yang ada di Madura untuk ikut ke Bogor dan mempekerjakannya sebagai karyawan dan bertugas untuk mengelas rakitan besi untuk membuat rak atau keranjang toko perbelanjaan. Tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Ibu Fitri, hal serupa juga dilakukan oleh Bapak Taufik yaitu mengajak adik kandungnya untuk bekerja di lapak usahanya, yakni berdagang besi bekas seperti pagar dan teralis. Selain adik kandungnya, ia pun mempekerjakan adik iparnya yang berasal dari Sukabumi. Istri Bapak Taufik merupakan masyarakat etnis Sunda. Kedua adiknya tersebut dijadikan sebagai karyawan tetap sampai mereka memiliki keterampilan dalam usaha dagang barang bekas dan berani membuka usaha sendiri secara mandiri. Berdasarkan rangkaian proses migrasi pada kasus di atas dapat diketahui bahwa peran saudara yang telah terlebih dahulu merantau ke Bogor menjadi penting bagi orang Madura, karena apabila tidak mendapat informasi mengenai daerah tujuan dari kerabat atau sanak saudara yang lebih dulu bermigrasi, maka kemungkinan untuk bermigrasi sangat kecil. Selain itu berdasarkan data yang diperoleh di lapangan sebanyak sembilan belas responden mendapat informasi tentang kota Bogor dari saudara. Tabel 2 menyajikan informasi mengenai jumlah responden berdasarkan sumber informasi mengenai Kota Bogor. Tabel 2. Jumlah Responden menurut Sumber Informasi Mengenai Kota Bogor, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor 2012 Sumber Informasi Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan Saudara 11 8 19 Teman 5 2 7 Keluarga suamiistriorang tuaanak 1 2 3 Media TV, Radio, Surat Kabar 2 2 Total 19 12 31 Dalam pertanyaan kuesioner mengenai sumber informasi, responden boleh memilih lebih dari satu jawaban 33 Bagi migran Madura yang membuka usaha dagang di sektor informal, saudara sebagai sumber informasi merupakan jaringan sosial paling penting di antara sumber lainnya, kemudian diikuti oleh peran teman seperti yang dikemukakan oleh Bapak Abdullasir 49 tahun. Selain faktor prestise, yang mendorong orang Madura kembali pulang ke kampung halaman disebabkan oleh adanya kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi. Terkait dengan hal ini, orang Madura yang bekerja sebagai pedagang kayu dan besi bekas biasanya memerlukan tenaga kerja untuk membantu pekerjaannya, khususnya ketika sedang ada proyek lelang bongkaran rumah atau gedung. Pak Abdullasir adalah pedagang kayu bekas yang berada di Jalan Raya Kayu Manis. Seperti pedagang asal Madura lainnya, ia memperoleh kayu tersebut dari upayanya mengikuti lelang proyek bongkaran. Dalam proses bongkaran tersebut diperlukan tenaga fisik yang cukup banyak. Tenaga fisik tersebut diperlukan untuk proses pembongkaran hingga evakuasi kayu dan besi. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga fisik, Pak Abdullasir pulang ke Madura untuk meminta bantuan teman-temannya yang ada di Madura untuk ikut ke Bogor untuk turut membantu menyelesaikan bongkaran lelang yang ia kerjakan, karena sumberdaya yang ia miliki di Bogor terbatas. Kesempatan demikian menjadi salah satu akses bagi orang Madura lainnya untuk bermigrasi ke Bogor. Ketika proyek bongkaran sudah selesai, dari sejumlah rekan yang dibawa ke Bogor ada yang kembali pulang ke Madura, tetapi ada juga yang akhirnya ikut tinggal sampai akhirnya membuka pekerjaan yang sama di Bogor. Bagi masyarakat Madura, sebelum bermigrasi ke suatu daerah setidaknya harus ada keluarga, saudara atau kerabatnya yang dikenal dan sudah menetap di daerah tersebut. Hal ini dinilai penting untuk memudahkan dalam beradaptasi ketika sudah menempati daerah tujuan. Kenalan tersebut terdiri dari orang tua, saudara, tetangga maupun teman yang dahulu tinggal sekampung halaman. Kenalan yang dimiliki tersebut merupakan jaringan sosial yang dimiliki oleh masyarakat Madura untuk bermigrasi. Berdasaran data dalam Tabel 3 terdapati pertambahan orang yang dikenal sampai penelitian ini dilaksanakan, artinya jaringan yang dimiliki oleh migran Madura di sektor informal semakin berkembang. Hal ini tergambar dari data yang tersaji dalam Tabel 3, bahwa setiap responden sebelum berpindah ke Kota Bogor sudah memiliki kenalan yang terlebih dahulu tinggal di Bogor. 34 Tabel 3. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jumlah Orang yang Dikenal di Bogor Sebelum Bermigrasi ke Bogor dan Saat Penelitian Dilaksanakan, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor 2012 Jumlah Orang yang Dikenal di Bogor Sebelum Bermigrasi ke Bogor Jumlah Orang yang Dikenal di Bogor Saat Penelitian Dilaksanakan 6 – 157 158 -320 Jumlah n n n 2 – 74 22 73,3 7 23,3 29 96,7 75 - 150 1 3,3 1 3,3 Jumlah 22 73,3 8 26,7 30 100,0 Dalam tabel tersebut terdapat satu orang reponden dengan jumlah orang yang dikenal di Bogor sebelum bermigrasi berjumlah antara 75-150 orang, yaitu Bapak Ahmad 44 tahun. Jika dilihat berdasarkan sejarah migrasinya, responden ini sudah pernah bermigrasi ke daerah lain sebelum pada akhirnya menetap di Kota Bogor. Daerah tersebut yaitu Kalimantan dan Jakarta. Ia menetap di Kalimantan untuk menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta sekaligus bekerja sebagai pengajar relawan pada sebuah sekolah dasar yang didirikan melalui bantuan negara Inggris. Pengalaman migrasi berikutnya yaitu ke Kota Jakarta. Ia diajak oleh saudaranya yang bekerja di sana. Selama tinggal di Jakarta ia membuka usaha yang sama seperti di Bogor yaitu dagang besi bekas. Ia tertarik untuk memulai usaha dagang besi bekas karena melihat limbah besi rongsokan dari salah satu perusahaan swasta di Jakarta Timur. Besi tersebut tidak dipergunakan lagi dan menjadi sampah yang tidak diolah. Dengan bantuan teman maupun saudaranya sesama Madura yang ada di Jakarta ia terus mengembangkan usaha tersebut. Dalam menjalankan usaha tersebut jaringan usahanya cukup luas, salah satu jaringan usahanya adalah teman maupun saudaranya asal Madura yang tinggal di Bogor yang juga berdagang jenis usaha serupa, namun pada Tahun 2004 usahanya mulai mengalami kemerosotan karena ditipu oleh rekan kerjanya. Berkat bantuan dan arahan dari teman dan saudara yang ia kenal di Bogor, ia kemudian memutuskan untuk pindah ke Bogor dan memulai usaha yang sama dari awal. Jumlah orang yang dikenal cukup banyak karena ketika masih tinggal di Jakarta, ia sering 35 menjalin hubungan dengan perkumpulan migran Madura yang ada di Bogor. Pengalamannya yang pernah bekerja sebagai wartawan dan salah satu anggota LSM di bidang advokasi juga berkontribusi dalam memperluas jaringan sosialnya di Bogor. Ikhtisar Proses Migrasi Orang Madura Migrasi berantai yang dilakukan oleh masyarakat Madura berpola afiliasi yang berbasiskan pada hubungan keluarga, pertemanan dan pertetangggaan. Dalam proses migrasi tersebut, orang Madura berangkat ke Bogor bersama dengan saudara atau temannya dan bertempat tinggal bersama orang yang mengajak bermigrasi. Dalam waktu kurang lebih satu sampai dengan dua tahun bertempat tinggal di rumah kerabatnya yang di Bogor, mereka tidak hanya menumpang tempat tinggal, tetapi juga ikut bekerja membantu pekerjaan yang dimiliki oleh kerabatnya, sehingga dari pekerjaan tersebut mereka memperoleh keterampilan dalam usaha di sektor informal. Apabila keterampilan yang dimiliki sudah cukup memadai, maka mereka membuka usaha sendiri dalam jenis usaha yang sama. Selama di Bogor, migran Madura sering pulang ke Madura, khususnya ketika lebaran atau ada acara yang diselenggarakan di Madura. Hal ini merupakan kesempatan untuk menceritakan keberadaan mereka selama di Bogor kepada kerabatnya yang ada di Madura, sehingga cerita tersebut menarik orang Madura lainnya untuk ikut bermigrasi ke Kota Bogor. 36 USAHA SEKTOR INFORMAL MIGRAN MADURA DI KOTA BOGOR Jenis Usaha Usaha dagang yang digeluti oleh migran Madura di Kota Bogor mencirikan hal yang berbeda dengan migran dari etnis lain. Migran Madura mampu melihat peluang usaha yang mungkin tidak terlintas menjadi sumber nafkah bagi masyarakat lain. Hal yang dipandang tidak berguna oleh orang lain justru menjadi sumber nafkah bagi migran Madura. Bergerak dalam usaha dagang barang bekas merupakan pekerjaan utama sebagian besar orang Madura yang menjadi responden dalam penelitian ini. Usaha dagang tersebut meliputi kayu bekas, besi bekas dan gipsum. Data yang menunjukkan jumlah responden berdasarkan jenis usaha ditampilkan dalam Tabel 4. Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Usaha, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor 2012 Jenis Usaha Jumlah Orang n Kayu 16 53,3 Besi 7 23,3 Kayu dan besi 1 3,3 Gipsum 6 20,3 Total 30 100,0 Pedagang Besi Bekas Pak Taufik 34 tahun sudah tujuh tahun berada di Bogor. Ketika pertama kali tiba di Bogor, ia tidak memiliki pekerjaan apa-apa. Usaha dagang yang digeluti saat ini yaitu dagang besi bekas. Besi bekas yang dijual berupa barang bekas murni dan juga besi bekas yang sudah dimodifikasi menjadi sebuah barang baru seperti pagar, teralis, tangga dan sebagainya. Hal yang melatarbelakangi ia berdagang besi bekas karena ketika pertama kali di Bogor ia ikut bekerja dengan saudaranya yang juga berdagang besi. Ilmu yang ia peroleh selama bekerja di tempat usaha saudaranya itulah yang menjadi bekal ilmu untuk memberanikan membuka usaha yang sama. Besi bekas 37 biasanya ia peroleh dari pengumpul besi yang sering berjualan berkeliling menjajakan besi bekas dan menjual per kilo gram. Selain itu ia juga memperoleh besi bekas dari proyek bongkaran. Dalam menjalankan usaha ini ia dibantu oleh saudaranya yang berasal dari Madura untuk memodifikasi besi-besi bekas menjadi barang baru yang bisa dijual dengan harga tinggi. Tujuan ia membuka usaha ini pada awalnya bukanlah untuk mencari keuntungan, melainkan untuk mencari kesempatan kerja. Bekal gelar sarjana yang ia miliki ketika menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya dinilai tidak cukup untuk dapat meraih peluang kerja di Bogor. Prinsip penting untuk dapat bertahan hidup di perantauan menurutnya adalah dengan kerja keras dan tidak takut malu atau tidak gengsi. Pada mulanya ia mengakui memang ada rasa segan pada diri sendiri ketika pertama kali harus keliling mencari besi bekas layaknya pemulung, apalagi dengan gelar sarjana yang ia sandang, namun karena tekat untuk tetap mampu bertahan dan memperoleh kehidupan yang lebih baik, ia tetap menggeluti pekerjaannya sampai saat ini. Bentuk usaha lapak pedagang besi bekas dapat dilihat pada lampiran. Pedagang Kayu Bekas Pengusaha yang memegang komoditas kayu di Kota Bogor tidak hanya dikembangkan oleh migran asal Jepara. Migran asal Madura juga bermain dalam perdagangan tersebut, namun yang membedakan antara usaha kayu yang digeluti antara migran asal Jepara dengan migran Madura yaitu dari jenis kayu yang digunakan. Bahan baku kayu yang dipakai oleh migran asal Jepara adalah kayu yang sifatnya baru ditebang seperti kayu Jati, sedangkan migran Madura menggunakan kayu yang sudah tidak terpakai lagi atau kayu bekas. Untuk memperoleh kayu bekas, mereka memperolehnya dari hasil proyek bongkaran. Pak Anwar 38 tahun merupakan migran Madura asal Sampang yang menggeluti usaha kayu. Kayu kusen merupakan produk usahanya. Dalam menjalankan usaha ini ia tidak dibantu oleh teman atau saudaranya yang berasal dari Madura. Untuk membuat kayu kusen ia mempekerjakan seorang karyawan asal Jepara. Untuk memperoleh karyawan asal Jepara ia dibantu oleh salah seorang temannya asal Jepara yang juga berdagang kayu. Bentuk usaha lapak pedagang kayu bekas dapat dilihat dalam lampiran. 38 Pedagang Gipsum Sebesar 20,3 pengusaha gipsum dalam penelitian ini merupakan migran Madura asal Pamekasan. Di kalangan migran Madura, masyarakat Madura asal Pamekasan dikenal sebagai pedagang yang bergerak dalam pemenuhan kebutuhan bangunan, salah satunya adalah gipsum. Ibu Rina 35 tahun merupakan salah satu di antaranya. Sejak Tahun 1995 ia menjalankan usaha tersebut. Keahlian dalam membuat gipsum diperoleh ketika ia bersama suaminya ikut tinggal di kediaman saudaranya yang tinggal di Depok. Pewarisan ilmu atau keterampilan yang diturunkan dari satu migran ke migran Madura lainnya merupakan ciri yang menjadi khas migran asal Madura. Dari data yang diperoleh yang menunjukkan bahwa migran Madura asal Pamekasan juga terlibat dalam usaha sektor informal dapat dijadikan alasan untuk meninjau kembali asumsi yang menyatakan bahwa umumnya sektor informal ditembus oleh migran asal Madura Barat Sampang dan Bangkalan. Namun karakteristik responden asal Pamekasan ini pun sesuai dengan ciri umum pelaku sektor informal, yaitu karena keterbatasan dalam tingkat pendidikan. Bentuk usaha lapak pedagang gipsum dapat dilihat dalam lampiran. Dalam memperoleh kesempatan kerja pada dasarnya diperlukan keahlian dan keterampilan. Secara jelas ditunjukkan bahwa tidak ada peranan sumber-sumber resmi pendidikan atau pelatihan yang memberikan keterampilan bagi migran Madura untuk memperoleh kesempatan kerja di sektor informal. Menilik sejumlah pengalaman responden, baik yang membuka usaha dagang kayu maupun besi dan gipsum, mereka menyatakan bahwa keterampilan dan keahlian yang mereka miliki diperoleh dari sektor informal itu sendiri. Artinya, training keterampilan tersebut diperoleh dari saudara atau pun teman yang telah lebih dahulu berpengalaman bekerja di sektor informal, dengan cara tinggal bersama saudara atau teman pada kurun waktu tertentu dan ikut bekerja dalam rangka latihan keterampilan. Oleh karena itu sudah menjadi hal yang biasa apabila ditemukan di lapangan, bahwa dari setiap lapak usaha migran Madura terdiri dari sejumlah orang Madura, karena di dalamnya terdiri atas pemilik usaha serta anggota keluarga dari kampung halamannya di Madura yang ikut bekerja dalam rangka untuk dilatih dan memperoleh keterampilan, untuk kemudian menggeluti usaha yang sama di sektor informal. 39 Modal Usaha Sethuraman 1996 dalam tulisannnya memberikan penekanan rendahnya persyaratan modal untuk menciptakan lapangan kerja di sektor informal. Modal yang dibutuhkan jauh lebih kecil dari pada di sektor formal. Sebagian besar usaha di sektor informal di kota dijalankan oleh seorang saja, tanpa ada pekerja sambilan. Namun dalam berjalannya waktu dan berkembangnya usaha, pada akhirnya terdapat sejumlah orang yang dipekerjakan dalam usaha tersebut. Dalam mengawali usaha dagang besi bekas, Pak Ma’ruf 45 tahun memerlukan modal sebesar sepuluh juta rupiah. Modal tersebut hanya dijadikan sebagai dasar awal untuk membuka usaha, yaitu untuk menyewa lahan, membeli bahan baku serta sejumlah peralatan. Selebihnya hanya memerlukan modal keberanian. Modal awal ini merupakan hasil penjualan tabungan perhiasan milik isterinya. Kekurangan lainnya ia peroleh dari pinjaman saudaranya yang berada di Bogor. Pada tahun 2009, biaya sewa lahan untuk membuka lapak sebesar lima juta rupiah per tahun. Lapak tersebut terdiri dari tempat penyimpanan bahan baku serta sebuah ruangan sederhana yang dijadikan sebagai rumah tinggal. Salah satu upaya yang ia lakukan untuk meringankan biaya sewa lahan adalah dengan mengajak teman Madura lainnya untuk tinggal di samping lapak usahanya, dengan demikian biaya sewa tersebut dapat dibagi dua sehingga biaya sewa yang dibayarkan lebih murah. Strategi yang ia gunakan ketika pertama kali menjual besi bekas yaitu dengan menjual dengan harga yang standart dengan keuntungan yang kecil. Hal ini ia lakukan supaya dapat menarik dan mempertahankan konsumen yang dilanggannya. Apabila konsumennya sudah semakin banyak dan usahanya semakin dikenal, ia mulai menaikkan keuntungan. Data yang menyajikan jumlah responden berdasarkan Jenis Usaha dan Modal Usaha terdapat dalam Tabel 5. Data dalam Tabel 5 menunjukkan bahwa dari seluruh jenis usaha sebesar 43,3 menggunakan modal ≤ 10 juta rupiah untuk memulai usaha di sektor informal, kemudian sebesar 36,7 memulai dengan modal ≤ 20 juta rupiah. Hanya satu orang responden yang memulai usahanya dengan modal yang cukup besar yaitu lebih dari 50 juta rupiah. Berdasarkan jumlah modal tersebut dapat dilihat bahwa responden yang memulai usahanya dengan modal lebih dari 50 juta rupiah merupakan migran Madura yang berdagang dua komoditas sekaligus yaitu kayu dan besi bekas. Tentu secara 40 kuantitas hal ini tergolong rasional, karena semakin beragam jenis dagangannya maka biaya yang diperlukan juga semakin besar. Tabel 5. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Usaha dan Modal Usaha Dagang di Sektor Informal, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor 2012 Modal awal Jenis Usaha Total Kayu Besi Kayu dan Besi Gipsum n n n n n ≤ 10 juta 6 20,0 5 16,7 2 6,7 13 43,3 ≤ 20 juta 7 23,3 4 13,3 11 36,7 30-50 juta 3 10,0 2 6,7 0 5 16,7 50 juta 1 3,3 1 3,3 Total 16 53,3 7 23,3 1 3,3 6 20,3 30 100,0 Menilik pengalaman usaha Pak Ma’ruf yang telah diuraikan di atas, bahwa modal awal untuk membuka usaha ia peroleh dari dana pribadi dan juga pinjaman dari saudaranya. Hal ini juga seragam dengan pengalaman dari responden lainnya. Hal ini dapat tergambar dari Tabel 6 yang menyajikan data tersebut berdasarkan sumber modal. Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden menurut Sumber Modal Usaha, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor 2012 Sumber Modal Usaha Jumlah Orang n Bantuanpinjaman saudarakeluarga 17 56,7 Pinjaman tetangga sekitar di Bogor 1 3,3 Dana pribadi 17 56,7 Lembaga keuangan Total 35 116,7 Menurut data di atas bahwa 56,7 responden memperoleh modal dari dana pribadi dan pinjaman dari saudara, dan hanya 3,3 yang memperoleh modal usaha dari tetangga sekitar di Bogor. Tidak ada responden yang menyebutkan pernah pinjam modal dari lembaga keuangan. Hal ini dituturkan Rudianto 29 tahun berikut ini: “Beh, tak bengal lek jem-ngenjem dek bank otabeh dek en laennah. Tako’ esita, ben polle bunganah rajjeh tako’ tak bisa majjer, angu’an ngenjem dek reng medurreh se bedhe edhina’, gempang pollana taretan 41 dhibi.” Wah, tidak berani pinjam pada bank atau yang lainnya. Takut disita, apalagi bunganya besar kuatir tidak bisa membayar, lebih baik pinjam pada orang-orang Madura yang ada di sini, lebih mudah karena saudara sendiri. Berdasarkan ukuran modal awal usaha tersebut dapat diketahui bahwa usaha yang dijalankan oleh migran Madura merupakan jenis usaha di sektor informal. Tujuan awal dalam membuka lapangan kerja di sektor usaha ini bukan untuk mencari keuntungan, melainkan untuk memperoleh kesempatan kerja. Ikhtisar Usaha Sektor Informal Migran Madura Usaha di sektor informal yang dikembangkan oleh migran Madura adalah usaha dagang barang bekas dan pemenuhan kebutuhan bahan bangunan. Jenis usaha tersebut meliputi dagang besi bekas, dagang kayu bekas, rak, dan juga gipsum. Modal yang diperlukan untuk membuka usaha dagang di sektor informal ini juga tergolong kecil, berbeda dengan usaha di sektor formal yang memerlukan modal yang besar. Hampir seluruh migran Madura di Kota Bogor menggantungkan modal usahanya dari tabungan sendiri atau meminjam modal dari teman atau keluarga. Kegiatan usaha sektor informal migran Madura ini merupakan salah satu gambaran kegiatan ekonomi berskala kecil yang ada di kota, yang merupakan manifestasi situasi pertumbuhan kesempatan kerja di negara berkembang yang tujuannya adalah untuk memperoleh kesempatan kerja. 42 MODAL SOSIAL MIGRAN MADURA DALAM USAHA DI SEKTOR INFORMAL Menurut Ahmadi 2003, orang Madura termasuk kelompok migran yang secara ekonomi relatif maju dan kompak secara sosial. Solidaritas kelompok yang tinggi didasari atas kesamaan identitas sense of common identity, perasaan senasib dan sepenanggungan sense of common interest, serta sama-sama sebagai migranperantau. Perasaan inilah yang kemudian melahirkan perilaku kerjasama cooperative behavior yang kuat sesama Madura dalam segala bidang kehidupan, sehingga mereka mampuberhasil membentuk komunitasnya menjadi komunitas ekonomi-informal yang dominan serta membentuk perilaku dan kegiatan ekonomi yang seragam. Ahli-ahli ekonomi seringkali mengabaikan modal sosial dalam kemajuan ekonomi suatu komunitas. Mereka menilai bahwa kemajuan ekonomi suatu komunitas ditentukan oleh modal manusia. Hal ini tentu benar, namun apabila tidak ditopang oleh modal sosial, maka kemajuan ekonomi komunitas tersebut dapat terhambat. Modal sosial menjadi hal yang penting ketika seseorang memiliki finansial dan keterampilan yang terbatas untuk mengembangkan suatu usaha. Oleh karena itu peran modal sosial dalam mendukung kegiatan ekonomi tidak dapat diabaikan, karena kehidupan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial-budaya Suhanadji 1998. Jaringan sosial, kepercayaan dan norma merupakan pilar utama dalam modal sosial Putnam 1993. Jaringan sosial dalam analisis ini ditinjau berdasarkan dua hal, yaitu jumlah orang yang dikenal untuk melihat ukuran jaringan dan simpul jaringan untuk melihat kekuatan jaringan. Kepercayaan dianalisis berdasarkan tingkat kepercayaan dengan sesama migran Madura dan dengan masyarakat setempat, sedangkan norma ditinjau berdasarkan peraturan tertulistidak tertulis yang terbentuk di antara migran Madura yang mengembangkan usaha di sektor informal. Jaringan Sosial Dalam proses migrasi yakni sejak meninggalkan Pulau Madura menuju Kota Bogor, jaringan sosial sebagai salah satu unsur dari modal sosial sudah berperan. Pada pembahasan mengenai proses migrasi telah disampaikan bahwa jaringan yang dimiliki orang Madura yang berbasiskan pada hubungan persaudaraan, pertemanan maupun 43 pertetanggaan memiliki fungsi yang sama, yaitu fungsi informasi, fungsi sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam kehidupan migran Madura selama tinggal dan bekerja di Kota Bogor, diasumsikan jaringan yang dimiliki semakin berkembang, tidak hanya bertalian dengan sesama kelompok etnisnya, tetapi juga dengan masyarakat luas yang ada di Kota Bogor maupun di luar Kota Bogor, khususnya pengembangan jaringan dalam usahanya di sektor informal yaitu perdagangan kayu dan besi bekas. Modal sosial berupa jaringan sosial mencakup jumlah orang yang dikenal dan simpul jaringan sosial. Jumlah Orang yang Dikenal Jaringan sosial dapat dianalisis dengan beberapa aspek, salah satunya yaitu keragaman jaringan menurut ukurannya luas atau sempit yang diukur dari segi jumlah orang yang di kenal selama menetap di Kota Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jaringan sosial migran Madura di sektor informal tergolong sempit. Data mengenai ukuran jaringan sosial migran Madura disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden menurut Ukuran Jaringan, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor 2012 Ukuran jaringan Jumlah Orang n Luas 158 - 320 orang 7 23,3 Sempit 6 - 157 orang 23 76,7 Total 30 100,0 Sebesar 76,7 responden memiliki jaringan yang sempit karena jumlah orang yang dikenal antara 6 sampai 157 orang, sedangkan 23,3 responden memiliki jaringan yang luas dengan jumlah orang yang dikenal antara 158 sampai 320 orang. Semakin banyak orang yang dikenal maka akan semakin mudah bagi migran Madura untuk akses terhadap sumber-sumber bantuan, khususnya dalam dalam hal akses bahan baku dan modal, namun hasil penelitian menunjukkan jumlah orang yang dikenal oleh migran Madura hanya sedikit. Artinya, pengenalan migran Madura di Kota Bogor hanya pada kalangan-kalangan tertentu saja. Kalangan yang terbatas tersebut memungkinkan sebagai pihak yang berperan penting dalam usaha sektor informal yang digeluti oleh migran Madura. 44 Simpul Sedikitnya jumlah orang yang dikenal oleh migran Madura menyebabkan migran Madura memiliki akses yang terbatas dalam perolehan bahan baku dan modal. Berdasarkan jumlah orang yang dikenal tersebut perlu diketahui siapa yang paling berperan dan yang paling membantu mereka dalam modal usaha serta pemenuhan bahan baku. Untuk mengetahui hal tersebut dapat dilihat berdasarkan jenis simpul yang dimiliki oleh orang Madura. Dari hasil lapang diperoleh bahwa simpul yang dimiliki oleh migran Madura terdapat lima jenis simpul, yaitu: 1 Tetangga, 2 Teman Kerja, 3 Perkumpulan Madura, 4 Aparat Desa dan 5 Organisasi. Adapun di antara simpul