Diaspora Madura: Analisis Modal Sosial Dalam Usaha Sektor Informal Oleh Migran Madura di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat

(1)

 

ABSTRACT

YAKOB ARFIN TYAS SASONGKO. Madura Diaspora: Analysis Social Capital in Informal Sector by Madurese Migrants in Sub-District Tanah Sareal, Bogor, West Java (Supervised by: EKAWATI SRI WAHYUNI)

Madurese is one of the ethnic in Indonesia which has a high level of mobility. The distinctive feature of their migration is affiliation patterned chained migration. In the destination area, Madurese migrants developed the bussines in informal sector, that is scrap trading bussines. Social capitals played a role in that bussines, so it grew among Madurese migrants only. Social capital consisted of networks, trust and norms. Madurese migrants network was narrow, but the most network nodes involved in the acquisition of raw materials and capital was work partner and Madurese migrants association. The trust level of Madurese migrants was low, because of the trust well done with Madurese only, while less with local society. The vital rules that must be obeyed by Madurese migrants in the bussines in informal sector was mutual respect among traders. It needed to prevent conflicts that could reduce the solidarity among Madurese migrants. But although the Madurese migrants had a limitation in terms of financial and human capital, their bussines still could grow and develop among Madurese migrant caused of social capital they had.

Keyword: Madurese migrants, chain migration, social capital, informal sector


(2)

 

RINGKASAN

YAKOB ARFIN TYAS SASONGKO. Diaspora Madura: Analisis Modal Sosial Dalam Usaha Sektor Informal Oleh Migran Madura di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat.(di bawah bimbingan EKAWATI S. WAHYUNI)

Etnis Madura merupakan salah satu etnis yang memiliki tingkat mobilitas yang tinggi. Sejak masa kolonial Belanda masyarakat Madura telah bermigrasi ke sejumlah kota pesisir di Jawa Timur seperti Surabaya, Banyuwangi, Bondowoso dan sejumlah kota pesisir lainnya. Upaya migrasi yang dilakukan oleh masyarakat asli Madura dilatarbelakangi oleh kondisi Pulau Madura yang secara geologis kering dan gersang, sehingga pengembangan usaha pertanian tidak dapat dijadikan sebagai mata pencaharian pokok untuk meningkatkan taraf ekonominya. Hubungan kekerabatan yang kuat di antara orang Madura merupakan jaringan penting dalam proses migrasi masyarakat Madura, sehingga pola afiliasi dalam proses migrasi menjadi ciri yang khas yang dimiliki oleh masyarakat Madura.

Di daerah tujuan migrasi, migran Madura melakukan kegiatan ekonomi untuk memperoleh kesempatan kerja. Keterbatasan yang dimiliki dalam pendidikan dan ekonomi menjadikan migran Madura sulit untuk memasuki kegiatan ekonomi di sektor formal. Dalam keterbatasan tersebut, migran Madura mengembangkan strategi adaptasi ekonomi yang disesuaikan dengan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki, yakni dengan mengembangkan kegiatan ekonomi berskala kecil dengan modal yang terbatas.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi proses migrasi berantai yang dilakukan oleh migran Madura ke Kota Bogor, (2) Menganalisis usaha sektor informal yang dikembangkan oleh migran Madura di Kota Bogor, dan (3) Menganalisis modal sosial dalam usaha sektor informal oleh migran Madura di Kota Bogor.

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan pada bulan April sampai bulan Juli 2012. Sampel dalam penelitian ini adalah migran asal Madura yang terdapat di Kota Bogor yang bekerja di sektor informal. Pemilihan responden dilakukan dengan


(3)

 

metode purposive sampling. Seseorang diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya (Holmes et al. 2005). Penelitian ini tercakup di tiga kelurahan yaitu Kelurahan Kayu Manis, Kelurahan Cibadak dan Kelurahan Kedung Badak.

Migran Madura di Kota Bogor mengembangkan pekerjaan di sektor informal usaha dagang barang bekas seperti kayu dan besi bekas. Jaringan sosial merupakan salah satu faktor penting dalam mengembangkan suatu pekerjaan. Jaringan migran Madura di Kota Bogor tergolong sempit. Sebesar 76,7% responden memiliki jaringan yang sempit karena jumlah orang yang dikenal antara 6 sampai 157 orang, sedangkan 23,3% responden memiliki jaringan yang luas dengan jumlah orang yang dikenal antara 158 sampai 320 orang, namun berdasarkan jumlah orang tersebut diketahui terdapat simpul yang paling berperan, simpul tersebut adalah teman kerja dan perkumpulan Madura.

Sebagai perantau di suatu daerah, khususnya di Kota Bogor, setiap migran Madura perlu membangun dan memiliki kepercayaan, baik terhadap masyarakat setempat maupun dengan sesama migran Madura. Tingkat kepercayaan yang dimiliki oleh migran Madura di Kota Bogor tergolong rendah yakni sebesar 63,3%, karena kepercayaan yang dibangun dengan baik hanya pada salah satu sisi saja yaitu dengan sesama migran Madura, sedangkan terhadap masyarakat setempat kurang terbangun dengan baik.

Jenis usaha yang dominan dikerjakan oleh sesama migran Madura memungkinkan terjadinya persaingan ketat dalam memperoleh keuntungan dan berlomba menarik pelanggan. Untuk menghindari persaingan yang tidak sehat antar migran Madura, dalam usaha dagang tersebut terdapat sejumlah aturan yang harus dipahami dan ditaati oleh seluruh migran Madura yang menggeluti usaha dagang barang bekas. Aturan yang terdapat di antara migran Madura tersebut adalah keharusan sikap saling menghargai usaha yang dimiliki sesama migran Madura dan adanya larangan tindakan saling mendahului atau berebut konsumen. Ketidaktataan terhadap aturan tersebut dapat menimbulkan konflik dan memungkinkan memudarnya solidaritas antar migran Madura.


(4)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Migrasi penduduk antar wilayah di Indonesia telah lama terjadi. Perpindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa yang disponsori oleh pemerintah telah terjadi sejak Tahun 1905. Di samping itu, telah terdapat pula perpindahan penduduk dari beberapa suku di Indonesia, misalnya suku Minangkabau di Sumatra Barat dan suku Bugis di Sulawesi Selatan. Di samping itu terjadi pula perpindahan penduduk swakarsa. Arus migrasi penduduk makin meningkat setelah tersedianya prasarana transport (darat, laut maupun udara) yang baik, yang menghubungkan antar wilayah satu dengan yang lain (Mantra 1992).

Fenomena migrasi yang dilakukan oleh orang Madura sudah berlangsung selama beberapa abad lalu. Sejak jaman penjajah masyarakat Madura sudah dikenal sebagai perantau (migran) ke berbagai provinsi di Indonesia (Warsono 1992). Hampir sekitar 2,5 juta orang Madura yang dalam Tahun 1930 bertempat tinggal di Jawa Timur (De Jonge 1989). Bagi orang Madura, meninggalkan tanah kelahirannya telah dilakukan sejak awal abad 19 terutama ke wilayah Jawa Timur (Suhanadji 1998). Pola afiliasi menjadi ciri migrasi yang dilakukan oleh orang Madura, yakni melalui ikatan kekerabatan yang didukung oleh akses informasi dan ekonomi. Faktor geologis Pulau Madura yang kurang menguntungkan untuk mengembangkan usaha pertanian menjadi salah satu faktor kuat orang Madura bermigrasi ke daerah lain yang dianggap dapat meningkatkan taraf kehidupan ekonomi keluarga. Kondisi pulau Madura yang gersang dan kering menjadi pendukung timbulnya motif ekonomi untuk bermigrasi.

Dalam perkembangannya, migrasi orang Madura menunjukkan gejala yang bersifat kultural, bahwa migrasi sudah menjadi pola kebiasaan yang setiap hari terus mengalir melalui saluran (channel), famili, teman dekat, maupun kerabat sekampung (Suhanadji 1998).  Sebagai migran yang mendiami suatu daerah yang memiliki kebudayaan dan sumberdaya alam yang berbeda dengan daerah asalnya, migran Madura mengembangkan suatu strategi adaptasi untuk tetap bertahan hidup, yaitu adaptasi secara ekonomi maupun sosial. Strategi adaptasi ekonomi dikembangkan untuk dapat memperoleh akses ekonomi untuk meningkatkan taraf kehidupannya, sedangkan


(5)

strategi adaptasi sosial dikembangkan untuk menjalin interaksi sosial yang harmonis dengan penduduk lokal.

Rendahnya kapital manusia yang ditunjukkan melalui tingkat pendidikan menjadi kendala mengapa sebagian besar orang Madura di Kota Bogor akses terhadap ekonomi hanya terbatas sebagai pedagang di sektor informal. Sektor informal menunjukkan sebagai sebuah kegiatan ekonomi berskala kecil. Keterbatasan migran Madura dalam hal keterampilan, pendidikan dan akses menyebabkan kesempatan untuk memasuki sektor formal pun terbatas. Dalam studi yang dilakukan Suhanadji (1998) menunjukkan upaya yang dilakukan oleh migran Madura untuk memasuki kegiatan ekonomi informal ialah dengan melakukan diversifikasi usaha dan memilih jenis pekerjaan yang sesuai dengan lingkungan hidupnya serta disesuaikan dengan potensi yang dimiliki. Artinya, dalam proses adaptasi tersebut orang Madura telah melakukan pengukuran terhadap kapasitas kemampuan yang dimiliki untuk mengembangkan ekonomi mana yang akan menjadi pekerjaannya. Dengan keterbatasan dalam hal pendidikan, migran Madura memperkirakan untuk memasuki sektor informal dan berusaha untuk menguasai berbagai bentuk usaha yang tercakup dalam sektor informal seperti pedagang sate, pedagang soto, tukang parkir, pengumpul besi tua dan sebagainya. Dalam hal ini, modal sosial yang mencakup nilai dan norma yang dimiliki oleh orang Madura menjadi sarana penting untuk mengembangkan kegiatan ekonomi tersebut (Ahmadi 2003). Oleh karena itu penting untuk diketahui bagaimana modal sosial yang terjadi dalam sektor informal oleh migran Madura di daerah migrasi.

Masalah Penelitian

Orang Madura melakukan migrasi umumnya disebabkan oleh kondisi geografis Pulau Madura yang kurang mendukung untuk pengembangan kegiatan ekonomi. Kondisi tanah Pulau Madura yang bersifat basa oleh lapisan kapur mendorong penduduknya untuk bermigrasi karena kurang berpotensi untuk mengembangkan pertanian (Kuntowijoyo 2002), namun dalam proses Migrasi tersebut orang Madura melakukan migrasi secara berantai melalui pola afiliasi kekerabatan dan kekeluargaan, sehingga masalah yang perlu diteliti adalah bagaimana proses migrasi berantai yang berlangsung dalam proses migrasi migran Madura ke Kota Bogor? Dalam hubungannya dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan di daerah tujuan migrasi, migran Madura dikenal sebagai salah satu etnis yang menguasai sektor informal yang


(6)

ciri utamanya dapat ditemukenali melalui jenis pekerjaan seperti pedagang besi tua, pedagang soto, pedagang sate, pengusaha meubel dan sebagainya. Untuk mendukung hal tersebut, perlu diketahui bagaimana sektor informal yang dikembangkan oleh migran Madura di Kota Bogor? Dalam kaitannya dengan usaha sektor informal tersebut perlu dianalisis bagaimana modal sosial pada usaha sektor informal yang dikembangkan oleh migran asal Madura di Kota Bogor?

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi proses migrasi berantai yang dilakukan oleh migran Madura ke Kota Bogor.

2. Menganalisis usaha sektor informal yang dikembangkan oleh migran Madura di Kota Bogor.

3. Menganalisis modal sosial dalam usaha di sektor informal oleh migran Madura di Kota Bogor.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengantar atau sebagai pengenalan lebih lanjut mengenai modal sosial migran Madura, khususnya dalam proses penguasaan migran Madura terhadap sektor usaha informal. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti sebagai sarana untuk memahami permasalahan migrasi, khususnya migrasi etnis Madura, sekaligus untuk mencari penguatan teori yang telah ada. Melalui penelitian ini, terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu:

1. Akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin mengkaji lebih lanjut mengenai kajian migrasi, khususnya migrasi yang dilakukan orang Madura serta hubungannya dengan modal sosial dan strategi adaptasi.

2. Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberi dampak positif bagi masyarakat, khususnya untuk menambah pengetahuan tentang kajian migrasi


(7)

orang Madura dalam kaitannya dengan penguasaan terhadap sektor usaha informal.

3. Pemerintah, penelitian ini dihaparkan dapat memberikan masukan atau dijadikan bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan (pemerintah) dalam perencanaan, mengambil keputusan dan membuat kebijakan mengenai migrasi.


(8)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka A. Konsep Migrasi

Definisi dan Jenis Migrasi

Istilah umum bagi gerak penduduk dalam demografi adalah population mobility atau secara lebih khusus territorial mobility yang biasanya mengandung makna gerak spasial, fisik dan geografis (Shryllock dan Siegel 1973 dalam Rusli 1996 hal 136). Ke dalamnya termasuk dimensi gerak penduduk permanen maupun dimensi non-permanen. Migrasi merupakan dimensi gerak penduduk permanen, sedangkan dimensi gerak penduduk non-permanen terdiri dari sirkulasi dan komutasi.

Rusli (1996) menyampaikan bahwa seseorang dikatakan melakukan migrasi apabila ia melakukan pindah tempat tinggal secara permanen atau relatif permanen (untuk jangka waktu minimal tertentu) dengan menempuh jarak minimal tertentu, atau pindah dari satu unit geografis ke unit geografis lainnya. Unit geografis sering berarti unit administratif pemerintahan baik berupa negara maupun bagian-bagian dari negara. Migrasi adalah suatu bentuk gerak penduduk geografis, spasial atau teritorial antara unit-unit geografis yang melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu tempat asal ke tempat tujuan. Orang yang melakukan migrasi disebut sebagai migran, karena itu seseorang yang disebut migran ada kemungkinan telah melakukan migrasi lebih dari satu kali. Secara umum migrasi ada dua jenis yaitu migrasi internal dan migrasi internasional. Dalam bentuk antarnegara, emigrasi (pelakunya emigran) adalah migrasi internasional dipandang dari negara asal atau negara pengirim, sementara imigrasi (pelakunya imigran) bilamana migrasi tersebut dilihat dari negara penerima atau negara tujuan. Selain itu terdapat juga istilah migrasi masuk neto, migrasi keluar neto dan migrasi semasa hidup. Migrasi masuk neto yaitu apabila di suatu daerah dalam wilayah suatu negara jumlah migrasi masuk lebih banyak dari pada migrasi keluar, demikian sebaliknya dengan migrasi keluar neto, sedangkan migrasi seumur hidup adalah orang yang ditemukan tinggal/berdomisili di luat tempat kelahirannya.


(9)

Teori Dorong-Tarik (Push-Pull Theory)

Menurut Lee (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi orang mengambil keputusan untuk bermigrasi dan proses migrasi, dapat disingkat menjadi empat pokok, yaitu:

1. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal 2. Faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan 3. Penghalang antara, dan

4. Faktor-faktor pribadi

Daerah asal Daerah tujuan

Sumber: Lee 1984

Gambar 1. Faktor Tempat / Daerah Asal dan Tempat / Daerah Tujuan, serta Penghalang Antara dalam Migrasi

Pada setiap daerah banyak faktor yang mempengaruhi orang untuk menetap atau menarik orang untuk pindah ke daerah tersebut, serta ada pula faktor-faktor lain yang memaksa orang untuk meninggalkan daerah itu. Faktor-faktor tersebut dalam bentuk diagram serta memberikan simbol + (plus) dan – (minus) untuk memaknai faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor + dan – terdapat baik di tempat asal maupun di tempat tujuan. Selain itu faktor-faktor lain ditunjukkan dengan tanda 0 yang pada dasarnya tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap penduduk.

B. Faktor Pendorong Orang Madura Bermigrasi

Kuntowijoyo (2002) memberikan penjelasan yang rinci mengenai kondisi dasar ekologis Pulau Madura, dilihat dari aspek tanah dan iklim, persediaan air, serta keberadaan hutan yang hampir musnah. Madura kekurangan tanah vulkanis. Wilayah kapur bagian utara, tanahnya merupakan campuran dari pasir kuarsa dan mineral lainnya, sehingga mudah digerogoti erosi oleh air selama musim penghujan dan oleh angin selama musim kemarau. Sedikitnya tanah pertanian, dalam luas dan kualitas, selalu menjadi ciri utama yang menonjol dari perekonomian di Madura. Respon orang

    +   ‐  +    0  ‐ 0  ‐   0 

    +   ‐  0  +    0  ‐ +   0  ‐   +  Penghalang


(10)

Madura terhadap kekurangan ekologis ini penting untuk dicatat. Orang Madura tidak hanya memiliki persediaan tanah yang sedikit, namun kenyataannya mereka juga kekurangan tenaga pengolah tanah. Laporan Tahun 1860 mencatat bahwa beberapa ladang ditinggalkan tidak ditanami karena kekurangan tenaga kerja. Sebuah alasan telah diberikan pejabat resmi bahwa kekosongan tanah itu karena adanya gerak penduduk petani ke pojok timur Pulau Jawa untuk bekerja di perkebunan Belanda yang secara ekonomis lebih menguntungkan.

Selain faktor iklim dan geologis, tidak adanya hambatan baik secara psikologi, sosial dan budaya serta beragamnya pekerjaan yang tersedia di daerah tujuan dan didukung cerita sukses yang dibawa orang-orang Madura ketika pulang kampung, tersedianya lapangan kerja yang lebih luas dan bervariasi terutama pada pekerjaan sektor informal serta tersedianya sarana transportasi yang memadai juga menjadi pendorong dan penarik bagi orang Madura untuk mengambil keputusan bermigrasi (Suhanadji 1998). Menurut Noer (2008), selain motif ekonomi, dalam kasus migrasi individual perempuan di Bekasi didorong oleh faktor status perkawinan.

C.Diaspora Madura

Istilah diaspora (bahasa Yunani kuno, "penyebaran atau penaburan benih") digunakan (tanpa huruf besar) untuk merujuk kepada bangsa atau penduduk etnis manapun yang terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan tanah air etnis tradisional mereka; penyebaran mereka di berbagai bagian lain dunia, dan perkembangan yang dihasilkan karena penyebaran dan budaya mereka. Asal usul kata tersebut diduga dari versi Septuaginta dari Kitab Ulangan 28:25, "sehingga engkau menjadi diaspora (bahasa Yunani untuk penyebaran) bagi segala kerajaan di bumi". Istilah ini telah digunakan dalam pengertian modernnya sejak akhir abad ke-20. Kata "diaspora" digunakan untuk merujuk secara khusus kepada penduduk Yahudi yang dibuang dari Yudea pada 586 SM oleh Babel, dan Yerusalem pada 135 M oleh Kekaisaran Romawi. Istilah ini digunakan berganti-ganti untuk merujuk kepada gerakan historis dari penduduk etnis Israel yang tersebar, perkembangan budaya penduduk itu, atau penduduk itu sendiri.

Sejak jaman penjajah masyarakat Madura sudah dikenal sebagai perantau (migran) ke berbagai provinsi di Indonesia, yaitu pada masa jajahan Kolonial Belanda yang kemudian bergulir pada penjajahan Jepang (De Jonge 1989: hal 23-26). Suhanadji


(11)

(1998) mengemukakan bahwa perpindahan orang Madura ke daratan Jawa berlangsung sejak masa silam dengan berbagai motif dan berbagai macam saluran, seperti ekspedisi militer, perdagangan, pelayaran, penangkapan ikan, pencarian nafkah sebagai tenaga kerja dan sebagainya.

Walaupun Jawa Timur sudah sejak dulu merupakan daerah pemukiman- pemukiman terpenting dari para migran Madura, banyak juga orang Madura yang ke Jawa Tengah dan Jawa Barat serta daerah-daerah luar Jawa (De Jonge 1989). Keberadaan orang Madura di Pulau Jawa pun tidak hanya terkonsentrasi pada wilayah di Jawa Timur. Studi yang dilakukan oleh Noer (2008) memberikan gambaran migrasi orang Madura di Bekasi, Jawa Barat, yang dilakukan oleh perempuan Madura.

Diaspora Madura identik dengan budaya yang melekat pada orang Madura sebagai migran, yakni bagaimana mempertahankan eksistensinya di antara etnis lainnya serta bagaimana orang lain yang berinteraksi dengan mereka dapat memahami dan memaknai keberadaannya sebagai etnis Madura. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menunjukkan identitas Madura adalah dengan tinggal bersama membentuk suatu komunitas serta secara tidak langsung membudayakan pekerjaan yang seragam, sehingga pekerjaan yang dikembangkan oleh orang Madura tidak hanya sebagai mata pencaharian, tetapi juga menjadi identitas atau simbol sebagai etnis Madura. Keberadaan orang Madura di Kota Bogor yang dikaji dalam penelitian ini merupakan salah satu bentuk diaspora yang dimaksud dalam definisi diaspora Madura.

D. Konsep Modal Sosial

Konsep modal sosial muncul sebagai respons dari kondisi meregangnya hubungan antar manusia dan semakin munculnya ketidakpedulian terhadap sesama manusia. Konsep modal sosial sangat beragam dan umumnya dirumuskan berdasarkan kasus-kasus tertentu dimana modal sosial menjadi salah satu faktor pendukung kemajuan ekonomi (Ahmadi 2003). Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial dengan mengacu pada “ciri-ciri organisasi sosial, seperti jaringan sosial (social network), norma-norma (norms), dan kepercayaan (trust) yang memfasilitasi koordinasi untuk sesuatu yang manfaatnya bisa dirasakan bersama-sama (mutual benefit). Modal sosial juga dipandang sebagai hubungan horizontal di antara orang-perorang berdasarkan pada jaringan sosial dan norma yang ada (Putnam 1995).


(12)

Berbeda dengan Putnam yang melihat modal sosial dari sisi regional dan nasional yang menilai modal sosial sebagai pendorong dalam kelembagaan demokrasi dan pengembangan ekonomi, Coleman mendefinisikan modal sosial dari ranah individu, keluarga dan komunitas. Coleman (1988) mendefinisikan modal sosial dari sudut pandang fungsi modal sosial itu sendiri yang menekankan pada struktur sosial. Ia menyebutkan bahwa fungsi yang dapat diidentifikasikan dari modal sosial adalah nilai dari aspek-aspek struktur sosial untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk mencapai tujuan anggota-anggotanya. Aspek-aspek struktur sosial yang dimaksud dalam definisi tersebut menunjuk pada sekumpulan kewajiban dan harapan, jaringan informasi, norma-norma dan sanksi-sanksi yang efektif yang dapat memaksa atau menyemangati seseorang untuk bertigkah laku agar tetap eksis dalam menjaga hubungan dengan orang lain. Selain Putnam dan Coleman, Fukuyama (1999) juga menyebutkan bahwa modal sosial menunjuk pada seperangkat sumber daya yang melekat dalam hubungan dan dalam organisasi sosial komunitas serta sangat berguna bagi pengembangan kognitif dan sosial anak. Uphoff (2000) dalam Ahmadi (2003) menjelaskan bahwa modal sosial yang dimaksud adalah:

(1)Institusi-institusi, relasi-relasi, nilai-nilai dan norma-norma yang membentuk perilaku kerjasama (cooperative behavior) dan koordinasi tindakan-tindakan bersama (collective action) untuk suatu tujuan yang manfaatnya dapat dirasakan secara bersama-sama (mutual benefit).

(2)Kapabilitas yang muncul dari prevalensi kepercayaan dalam suatu masyarakat atau di dalam bagian-bagian tertentu dari masyarakat. Dalam hal ini modal sosial yang dilihat pada dua tingkat: vertikal dan horizontal. Pada tingkat vertikal dilihat bagaimana orang Madura membangun hubungan dengan pemerintah dan pengambil kebijakan hingga membentuk suatu sinergi, sedangkan pada tingkat horizontal melihat bagaimana kerekatan dan keterikatan orang Madura satu sama lain (solidaritas kelompok) yang melahirkan tindakan bersama dan perilaku kerjasama serta bagaimana hubungan antara orang Madura dengan masyarakat lokal yang kemudian melahirkan kepercayaan sosial (social trust).


(13)

Secara umum modal sosial mencakup tiga unsur utama seperti yang telah dikemukakan oleh Putnam (1993) yaitu kepercayaan, jaringan, dan norma. Unsur-unsur tersebut dapat digunakan untuk melihat keberadaan modal sosial dalam suatu kelompok masyarakat.

Kepercayaan

Merujuk pada tulisan Lawang (2005), definisi trust dalam bahasa Inggris merupakan bentuk kata benda dan kata kerja. Kepercayaan, keyakinan dan juga rasa percaya adalah makna trust sebagai kata benda, sedangkan sebagai kata kerja trust berarti sebagai sebuah proses mempercayai sesuatu yang jelas sasarannya. Dalam tulisannya Lawang juga menyatakan bahwa di dalam kepercayaan antar manusia terdapat tiga hal penting yang saling terkait, yaitu: (i) Hubungan sosial, (ii) Harapan, dan (iii) Tindakan sosial atau interaksi sosial. Berdasarkan tiga hal mendasar tersebut kepercayaan yang dimaksud menunjukkan pada hubungan antara dua pihak atau lebih yang mengandung harapan yang menguntungkan salah satu atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial. Sebagai konstruksi sosial historis empirik, kepercayaan tidak dapat terbentuk melalui proses satu kali, melainkan dibangun atas pengalaman, akumulatif, harapan yang teruji, penghargaan dan keuntungan yang terbangun di dalamnya, oleh karena itu diperlukan proses untuk membangun kepercayaan secara terus menerus.

Jaringan

Menurut Lawang (2005), jaringan merupakan terjemahan dari kata network. Berasal dari kata jaring (net) yang mana jaring merupakan tenunan seperti jala, apabila ditambah pengaman pada bagian belakangnya dapat menunjukkan arti dan fungsi jaring itu sendiri yang dapat menyangga orang yang jatuh dengan daya lentur yang dimiliki sehingga orang yang jatuh tersebut tidak mati karena cidera. Pada dasarnya jaring berhubungan satu sama lain melalui simpul-simpul (ikatan). Jaring (net) apabila ditambah dengan kerja (work) memunculkan arti “kerja” (bekerja) dalam hubungan antar simpul-simpul seperti halnya jaring (net). Dalam teori modal sosial, arti jaringan dapat dijelaskan sebagai berikut:


(14)

1. Ada ikatan antar simpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial). Hubungan sosial tersebut diikat oleh kepercayaan, dan kepercayaan itu dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah pihak. 2. Ada kerja antar simpul (orang atau kelompok) yang melalui hubungan sosial

dapat membentuk suatu kerjasama (bukan kerja bersama-sama).

3. Dalam kerja jaring (jaringan) tersebut terdapat ikatan (simpul) yang tidak dapat berdiri sendiri. Apabila salah satu simpul terputus, maka seluruh jaring tidak dapat berfungsi. Seluruh simpul menjadi satu kesatuan dan ikatan yang kuat serta antara orang-orang dan hubungannya tidak dapat dipisahkan.

4. Ikatan atau pengikat (simpul) dalam modal sosial adalah norma. Norma tersebut mengatur dan menjaga bagaimana ikatan dan medianya tetap terpelihara dan dipertahankan.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan suatu jaringan yaitu melalui pergaulan dan membuka diri melalui media, seperti media cetak dan media elektronik. Tanpa membuka diri melalui pergaulan maka akan sulit untuk membuka jaringan. Dalam hal ini keluarga tidak dapat menjadi salah satu obyek jaringan yang harus dibuka, karena keluarga merupakan jaringan yang paling dekat yang dimiliki oleh setiap orang. Jaringan yang dimaksud dalam modal sosial menunjuk pada semua hubungan dengan orang atau kelompok lain yang memungkinkan pengatasan masalah dapat berjalan secara efisien dan efektif.

Norma

Norma muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan (Fukuyama 1999; Blau 1963 dalam Lawang 2005). Homans (1974) dalam Lawang (2005) menjelaskan pengertian tersebut, apabila dalam pertukaran tersebut keuntungan hanya dinikmati oleh satu pihak saja, pertukaran sosial selanjutnya tidak akan terjadi. Karena norma yang muncul bukan sekali jadi melalui satu pertukaran saja. Apabila dalam pertukaran pertama keduanya saling menguntungkan, maka akan muncul pertukaran yang kedua dengan harapan akan memperoleh keuntungan. Dalam tulisannya Lawang juga menjelaskan bahwa norma bersifat resiprokal. Pengertian resiprokal adalah bahwa isi dari norma tersebut menyangkut hak dan kewajibankedua belah pihak yang dapat menjamin keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan tertentu. Dalam hal ini, orang


(15)

yang melanggar norma akan berdampak pada berkurangnya keuntungan kedua belah pihak dan terdapat sanksi negatif yang keras.

E. Konsep Sektor Informal

Konsep sektor informal pertama kali digagas oleh Hart melalui tu1isannya yang diterbitkan pada Tahun 1973, seorang antropolog Inggris yang mengamati kegiatan ekonomi penduduk di Ghana, yang kemudian konsep tersebut dikembangkan dan diterapkan oleh ILO dalam penelitian di delapan kota di Dunia Ketiga, salah satunya Jakarta. Dalam pengamatannya yang berfokus pada kegiatan penduduk di Kota Accra dan Nima, Ghana, menunjukkan bahwa kesempatan memperoleh penghasilan di kota dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu formal, informal sah dan informal tidak sah. Masing-masing kelompok itu dibedakan dalam berbagai kategori yang didasarkan pada kegiatan yang dilakukan individu, jumlah pendapatan dan pengeluaran yang mengalir dalam perekonomian kota. Pembedaan sektor formal dan informal dilihat dari keteraturan cara kerja, hubungan dengan perusahaan, curahan waktu serta status hukum yang dilakukan. Dalam kajian yang ditulis oleh Hart bahwa yang dimaksud dengan informal sah meliputi kegiatan-kegiatan primer, sekunder, tersier dan distribusi kecil-kecilan seperti: pertanian perkebunan yang berorientasi pasar, pengrajin usaha sendiri, spekulasi barang-barang dagangan serta termasuk juga pedagang kelontong dan pedagang kaki lima, sedangkan informal tidak sah mencakup jasa kegiatan dan perdagangan gelap seperti penadah barang-barang curian, lintah darat, pelacuran, pelbagai macam korupsi politik dan termasuk juga transaksi pencurian kecil (misalnya pencopetan) dan pencurian besar lainnya (misal pembongkaran dan perampokan bersenjata).

Sethuraman (1996) menyebutkan bahwa istilah sektor informal biasanya digunakan untuk menunjukan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Sektor informal merupakan manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di negara sedang berkembang, karena mereka yang memasuki kegiatan berskala kecil ini di kota bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan daripada memperoleh keuntungan. Pandangan yang dimiliki oleh pekerja yang terlibat dalam sektor informal terbatas pada pengadaan kesempatan kerja dan menghasikan pendapatan yang langsung bagi dirinya sendiri.


(16)

a. Terbentuknya Sektor Informal

Lonjakan jumlah penduduk di perkotaan identik dengan adanya urbanisasi, yakni perpindahan masyarakat pedesaan menuju kota. Kondisi demikian semakin memperlihatkan adanya petambahan penduduk selain karena pertambahan penduduk alami kota itu sendiri yang relatif kecil angkanya. Dampak yang ditimbulkan kemudian adalah lahirnya kelompok-kelompok masyarakat di kota dengan berbagai macam ragam. Ada lapisan masyarakat atas, menengah, dan bawah. Lapisan masyarakat atas umumnya mampu memasuki sektor formal karena memiliki keterampilan, tingkat pendidikan yang cukup serta memiliki akses terhadap sektor formal tersebut, sedangkan masyarakat lapisan menengah ke bawah dengan keterampilan, pendidikan, dan akses yang terbatas menyebabkan kesempatan memasuki sektor formal juga terbatas. Akhirnya mereka menggeluti sektor informal yang tidak mensyaratkan kriteria yang berlebih. Dengan modal yang terbatas ditambah dengan keterampilan dan keuletan, mereka mampu bertahan hidup di perkotaan (Hariyono 2007).

b. Ciri-ciri Pekerja Sektor Informal

Berdasarkan hasil studi terhadap delapan negara Dunia Ketiga yang dikoordinasi oleh Sethuraman (1996) dalam penelitian ILO dikemukakan sejumlah ciri-ciri mengenai pekerja-pekerja yang terlibat dalam sektor informal yaitu:

1. Tingkat pendidikan tergolong rendah

2. Pada umumnya berasal dari kalangan miskin 3. Berada dalam kalangan usia kerja utama (prime age) 4. Kebanyakan adalah para migran

5. Rendahnya keterampilan 6. Modal usaha rendah, dan


(17)

Kerangka Pemikiran

Modal sosial merupakan modal yang perlu dimiliki oleh pelaku usaha yang memiliki keterbatasan dalam modal finansial dan modal manusia. Modal sosial memiliki tiga pilar utama yaitu jaringan, kepercayaan dan norma. Sebagai migran yang bermigrasi ke Kota Bogor, migran Madura identik dengan pengembangan usaha di sektor informal. Dengan keterbatasannya dalam modal finansial dan modal manusia, modal sosial yang dimiliki oleh migran Madura berperan terhadap usaha yang dijalankan. Dalam kegiatan perdagangan atau usaha di sektor informal, migran Madura perlu mambangun jaringan sosial. Jaringan tersebut dapat dilihat dari segi kuantitas (jumlah) maupun jenis jaringannya (simpul). Jaringan sosial yang dimiliki dapat berpengaruh terhadap kemajuan usaha di sektor informal. Selain itu, migran Madura juga perlu membangun kepercayaan baik dengan sesama migran Madura maupun dengan masyarakat setempat (lokal Bogor). Usaha yang dijalankan dapat bertahan dan berlangsung terus menerus apabila kepercayaan sosial ini dapat terpelihara dengan baik. Interaksi yang berlangsung dalam lingkup migran Madura mendorong terbentuknya aturan kerja di antara sesama migran Madura yang mengembangkan usaha di sektor informal. Ketaatan terhadap aturan yang disepakati dapat mewujudkan persaingan usaha yang sehat di antara sesama migran Madura.

Modal sosial berpengaruh terhadap keberlanjutan dan kemajuan usaha yang dikembangkan oleh migran Madura di sektor informal. Selain itu, kemajuan dalam usaha sektor informal dapat ditilik berdasarkan dua hal, yaitu kemampuan migran Madura dalam memanfaatkan simpul jaringan dan karakteristik migran, dalam hal ini karakteristik tersebut yaitu status perkawinan.

Wujud usaha sektor informal yang dikembangkan oleh migran Madura serta keberadaannya yang terus bertahan dan semakin berkembang di Kota Bogor mencerminkan bentuk diaspora Madura. Selain didukung oleh hubungan kekerabatan yang kuat di antara sesama migran Madura, diaspora Madura juga dicirikan melalui kemampuan migran Madura dalam menemukan dan memanfaatkan peluang yang ada di daerah tujuan migrasinya.


(18)

Gambar 2. Kerangka Pemikiran

Keterangan:

: berhubungan

* : diukur secara kualitatif

Usaha Sektor Informal*

Pemanfaatan simpul jaringan

Status Perkawinan 1. Jaringan

Jumlah orang yang dikenal

Simpul 2. Kepercayaan

Terhadap sesama migran Madura

Terhadap masyarakat setempat 3. Norma*

Modal sosial


(19)

Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, modal sosial memainkan peran penting dalam memfasilitasi kerjasama ekonomi antar orang Madura dalam proses usaha di sektor informal. Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Terdapat hubungan antara jaringan sosial yang dimiliki oleh migran Madura dengan usaha sektor infomal.

2. Terdapat hubungan antara kepercayaan sosial yang dimiliki oleh migran Madura dengan usaha sektor informal.

3. Ketaatan migran Madura terhadap aturan (tertulis maupun tidak tertulis) dalam usaha sektor informal yang terbentuk di kalangan migran Madura mendorong terbentuknya ikatan migran Madura yang kuat.

Definisi Operasional

Berikut ini definisi operasional dari variabel yang dianalisis:

1. Jaringan adalah hubungan yang dimiliki responden dengan orang atau kelompok sehingga membentuk simpul jaringan untuk melakukan aktivitas dalam pekerjaan dan hubungan sosial. Jaringan tersebut dapat dilihat dengan mengidentifikasi jenis simpul yang dimiliki responden dan diukur berdasarkan ukuran dan kekuatan jaringan:

Berdasarkan ukuran

Ukuran jaringan yang dimaksud adalah jumlah orang yang dikenal oleh responden selama menetap di Bogor dan sedang mengembangkan usaha di sektor informal. Semakin banyak orang yang dikenal, maka semakin luas jaringan. Adapun ukuran jaringan ini diukur dengan skala interval dengan rumus: [n maks – n min / 2 (sesuai kategori)]. Jarak interval yang diperoleh adalah (320 - 6) / 2 = 157. Oleh karena itu ukuran luas dan sempitnya jaringan adalah:

Sempit : 6-157 orang Luas : 158-320 orang


(20)

Berdasarkan kekuatan

Kekuatan jaringan adalah jumlah simpul yang dimiliki responden. Semakin banyak jenis simpul yang dimiliki, maka jaringan semakin kuat. Adapun kekuatan jaringan ini diukur dengan skala interval dengan rumus: [n maks – n min / 2 (sesuai kategori)]. Jarak interval yang diperoleh adalah (5 - 2) / 2 = 1,5. Oleh karena itu standar kuat dan lemahnya jaringannya adalah:

Lemah : 2 - 3,5 simpul Kuat : >3,5 - 6 simpul

2. Kepercayaan adalah seberapa besar kepercayaan yang terbangun antar sesama migran Madura dan juga masyarakat yang ada di lingkungan tempat tinggal di Bogor. Kepercayaan dalam penelitian ini diukur berdasarkan dua jenis kepercayaan, yaitu: kepercayaan dengan sesama migran Madura dan kepercayaan terhadap masyarakat sekitar.

Kepercayaan dengan sesama migran Madura. Jumlah pertanyaan mengenai tingkat kepercayaan dengan sesama migran Madura sejumlah 3 pertanyaan yang terdapat pada lembar kuesioner bagian IV (pada nomor 21, 22, dan 23) dan diukur dengan skala ordinal melalui pernyataan Ya (skor 2), Tidak (skor 1). Skor maksimum bagi setiap responden adalah 2+2+2=6 dan skor minimum adalah 1+1+1=3. Jarak interval yang diperoleh adalah (6-3)/2=1,5. Oleh karena itu dapat diketahui, skor tingkat kepercayaan dengan sesama Madura tergolong rendah jika memiliki skor 3-4,5 dan tingkat kepercayaan tinggi jika memiliki skor >4,5-6.

Kepercayaan terhadap masyarakat sekitar. Jumlah pertanyaan mengenai tingkat kepercayaan terhadap masyarakat sekitar sejumlah 6 pertanyaan yang terdapat pada lembar kuesioner bagian IV (pada nomor 24, 25, 26, 27, 28, dan 29) dan diukur dengan skala ordinal melalui pernyataan Ya (skor 2), Tidak (skor 1). Skor maksimum bagi setiap responden adalah 2+2+2+2+2+2=12 dan skor minimum adalah 1+1+1+1+1+1=6. Jarak interval yang diperoleh adalah (12-6)/2=3. Oleh karena itu dapat diketahui, skor tingkat kepercayaan terhadap masyarakat sekitar tergolong rendah jika memiliki skor 6-9 dan tingkat kepercayaan tinggi jika memiliki skor 10-12.


(21)

Jumlah seluruh pertanyaan variabel kepercayaan adalah 9, adapun skor maksimum bagi setiap responden adalah 2+2+2+2+2+2+2+2+2=18 dan skor minimum adalah 1+1+1+1+1+1+1+1+1=9. Jarak interval yang diperoleh adalah (18-9)/2=4,5. Oleh karena itu dapat diketahui skor tingkat kepercayaannya secara keseluruhan adalah:

Skor 9-13,5 : tingkat kepercayaan rendah; dan Skor >13,5-18 : tingkat kepercayaan tinggi


(22)

PENDEKATAN LAPANGAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih karena di kecamatan ini terdapat sejumlah migran Madura yang mengembangkan usaha di sektor informal. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) sesuai dengan kebutuhan penelitian. Studi lapangan dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juli 2012.

Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan kuesioner, wawancara, observasi dan dokumentasi. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan didukung oleh data kualitatif untuk memperkaya data dan memahami fenomena sosial.

Teknik Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah migran Madura yang ada di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, sedangkan populasi sasaran penelitian ini adalah migran Madura yang mengembangkan usaha di sektor informal di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu. Pemilihan responden dilakukan dengan metode purposive sampling. Seseorang diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitian (Holmes et al. 2005). Dalam penelitian ini karakteristik pelaku usaha di sektor informal yang diteliti adalah: migran yang berasal dari Madura yang mengembangkan usaha di sektor informal di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Penelitian ini tercakup di tiga kelurahan yaitu Kelurahan Kayu Manis, Kelurahan Cibadak dan Kelurahan Kedung Badak. Untuk memperoleh responden migran Madura yang bekerja di sektor informal, peneliti memulai dari Kelurahan Kayu Manis dengan cara bertanya kepada pemilik warung makan di sekitar Jalan Raya Kayu Manis mengenai lokasi lapak usaha orang Madura. Dalam proses identifikasi tersebut peneliti ditunjukkan pada sebuah lapak usaha migran Madura yang


(23)

berada di samping Hotel Bambu. Dari responden pertama tersebut peneliti diarahkan untuk menyusuri sepanjang Jalan Raya Kayu Manis dan Jalan Baru. Dari hasil penyusuran di sepanjang jalan tersebut dan petunjuk yang diperoleh dari responden pertama, peneliti memperoleh 30 responden yang tersebar di tiga kelurahan.

Dalam penelitian ini tercakup responden laki-laki dan responden perempuan. Responden laki-laki merupakan pelaku utama usaha di sektor informal yang dikembangkan oleh migran Madura. Pelaku utama yang dimaksud adalah orang yang menggagas kegiatan usaha di sektor informal. Responden perempuan bukan penggagas utama kegiatan usaha di sektor informal (kecuali yang berstatus janda), namun dalam kegiatan usaha tersebut responden perempuan berperan dalam usaha yang dijalankan oleh suaminya. Dalam hal ini peran tersebut didukung oleh pengetahuan responden perempuan mengenai hal-hal terkait usaha di sektor informal, di antaranya adalah: (1) Proses perolehan bahan baku yang sebagian besar diperoleh dari proyek bongkaran, (2) Informan yang memberi tahu kegiatan proyek bongkaran, dan (3) Periode berlangsungnya kegiatan bongkaran yang diikuti oleh suami. Dengan pengetahuan tersebut, responden perempuan dianggap memiliki peran yang cukup penting sehingga dapat memberikan informasi mengenai usaha sektor informal yang menjadi pekerjaan migran Madura di Kota Bogor.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data kuantitatif yang diperoleh melalui kuesioner diolah dengan menggunakan komputer. Selain pertanyaan yang bersifat kuantitatif, pada kuesioner juga terdapat pertanyaan kualitatif, oleh karena itu di dalamnya disajikan dalam bentuk pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup. Pertanyaan terbuka ditujukan untuk memperoleh data kualitatif.

Data yang diolah merupakan data yang diturunkan dari kuesioner. Variabel yang diolah adalah variabel jaringan sosial dan variabel tingkat kepercayaan. Variabel jaringan sosial mengandung data mengenai jumlah orang yang dikenal dan jumlah simpul yang dimiliki oleh migran Madura di sektor informal. Jumlah orang yang dikenal oleh migran Madura bervariasi, oleh karena itu penulis mengklasifikasikan data tersebut berdasarkan ukuran jaringan (luas dan sempit), sedangkan data simpul jaringan diidentifikasi menurut perananannya. Pada variabel tingkat kepercayaan mengandung data tingkat kepercayaan terhadap sesama migran Madura dan tingkat kepercayaan


(24)

terhadap masyarakat sekitar. Jumlah pertanyaan mengenai kepercayaan terhadap sesama migran Madura sebanyak tiga pertanyaan dan kepercayaan terhadap masyarakat setempat sebanyak enam pertanyaan. Setiap pertanyaan diberi skor dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel frekuensi. Data tersebut kemudian diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan berdasarkan hipotesis yang ada, sedangkan data kualitatif disajikan dalam bentuk naratif dalam teks dan kutipan-kutipan langsung dari beberapa pernyataan responden. Selain mengenai jaringan sosial dan tingkat kepercayaan, di dalam kuesioner juga terdapat sejumlah pertanyaan yang tujuannya untuk mengidentifikasi informasi penting lainnya seperti riwayat migrasi, karakteristik responden serta mengidentifikasi kegiatan usaha di sektor informal.


(25)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN

KARAKTERISTIK MIGRAN MADURA

 

Lokasi Migran Madura di Kota Bogor

 

Kota Bogor merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Barat yang terletak 54 kilometer sebelah selatan Jakarta. Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS, dengan Luas Wilayah Kota Bogor sebesar 11.850 Ha terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Dengan kedudukan geografis berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya yang dekat dengan Ibukota Negara, merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata (Pemerintah Kota Bogor 2011).

Berdasarkan renstra Pemerintah Kota Kota Bogor (2011), dalam Perda No 1 Tahun 2000 tercantum tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Tahun 1999-2009) yang menjelaskan bahwa fungsi Kota Bogor adalah: (1) Sebagai kota perdagangan, (2) Sebagai kota industri, (3) Sebagai kota permukiman, (4) Wisata ilmiah, dan (5) Kota pendidikan. Hal ini menarik orang untuk datang ke Kota Bogor dengan berbagai alasan, salah satunya adalah untuk memperoleh kesempatan kerja. Keadaan ini mengindikasikan sejumlah migran dari berbagai daerah berdatangan ke Kota Bogor untuk memanfaatkan peluang ekonomi Kota Bogor yang semakin berkembang.  

Salah satu etnis yang bermigrasi ke Kota Bogor adalah migran etnis Madura. Dalam penelitian ini penulis mengkaji mengenai migran Madura yang memanfaatkan peluang ekonomi di sektor informal. Untuk memperoleh data dan informasi mengenai keberadaan migran Madura yang bekerja di sektor informal, penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat yaitu di Keluarahan Kayu Manis, Kelurahan Cibadak dan Kelurahan Kedung Badak. Kawasan Jalan Baru yang terletak di Kelurahan Cibadak merupakan salah satu kawasan usaha migran Madura untuk menjalankan usahanya. Lokasi tersebut merupakan lokasi usaha sekaligus tempat tinggal para migran Madura dan letaknya berjajar berdekatan satu sama lain. Jenis usahanya bermacam-macam, mulai dari usaha besi bekas, kayu bekas, gipsum, rak dan juga usaha plastik terpal. Lokasi usaha sekaligus tempat tinggal migran Madura tersebut cukup terpisah dari lokasi pemukiman masyarakat asli Bogor. Masyarakat asli Bogor bermukim di daerah perkampungan yang lokasinya cukup jauh dari jalan raya utama


(26)

Jalan Baru, sedangkan migran Madura bermukim di sekitar jalan raya utama Jalan Baru, sehingga interaksi dengan masyarakat sekitar terbatas dan hanya bergaul dalam lingkup migran Madura saja. Demikian juga dengan migran Madura yang mengembangkan usaha di sektor informal di Kelurahan Kayu Manis yang sebagian besar bermukim dan membuka usaha di sepanjang jalan raya Kayu Manis. Letak tempat tinggal yang terpisah dari masyarakat sekitar menyebabkan interaksi pergaulannya hanya dengan sesama migran Madura dan migran lain asal Jawa yang juga bermukim di sepanjang jalan tersebut. Migran Madura yang terletak di Kelurahan Kedungbadak sebagian besar membuka usaha gipsum. Mereka tinggal di kawasan padat usaha dan berdampingan dengan jenis usaha retail dan tidak berkelompok dengan migran Madura lainnya. Jumlah migran Madura yang bekerja di sektor informal di kelurahan ini tidak sebanyak di Kelurahan Cibadak dan Kayu Manis.

Ciri-ciri Migran Madura Dalam Usaha Sektor Informal

Keberadaan migran Madura di kecamatan ini dapat dikenali dari jenis usahanya, yaitu usaha dagang barang bekas dan penyedia bahan bangunan. Jenis usaha yang digeluti mencerminkan bentuk tempat usahanya yang khas. Salah satu ciri khas yang memudahkan dalam menemukan orang Madura yaitu lapak usahanya yang sederhana, dan peletakan barang-barang bekas yang kurang tertata rapi. Berbeda dengan lapak usaha migran yang berasal dari daerah lain yang bentuk bangunannya relatif permanen, lapak yang dimiliki migran Madura dibangun secara sederhana dengan komposisi berupa seng dan kayu yang disusun membentuk seperti gudang. Di lapak tersebut terdapat sejumlah barang bekas yang merupakan komoditas usahanya seperti pagar bekas, teralis, kayu dan berbagai barang lain yang mencirikan sebagai barang yang tidak terpakai. Contoh lapak usaha migran Madura dapat dilihat dalam lampiran.

Karakteristik Migran Madura

Dalam membahas mengenai migrasi tidak terlepas dari karakteristik migran seperti jenis kelamin, usia, status perkawinan, pendidikan dan asal daerah. Berikut ini analisis karakteristik migran Madura yang bekerja di sektor informal di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor.


(27)

Jenis Kelamin

Ditinjau berdasarkan jenis kelamin, laki-laki cenderung lebih mudah melakukan migrasi. Keterbatasan perempuan dalam melakukan mobilitas disebabkan oleh nilai budaya yang mengharuskan perempuan untuk mengutamakan kewajiban rumah tangga, namun hal ini mulai berubah. Perempuan mulai terdorong untuk melakukan mobilisasi dalam rangka untuk ikut berpartisipasi dalam memperbaiki ekonomi keluarga dan mencapai kehidupan yang lebih baik (Noer 2008). Dalam bermigrasi jumlah laki-laki lebih besar dari pada perempuan. Walaupun dalam perkembangannya kaum perempuan sudah menunjukkan adanya peningkatan mobilitas, secara kuantitas jumlah migran laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Peluang kerja dalam sektor informal lebih terbuka bagi laki-laki karena dalam pekerjaan tersebut menuntut kekuatan fisik. Perempuan yang tercakup sebagai responden dalam penelitian ini adalah perempuan yang diberikan kewenangan oleh suaminya untuk mengelola usahanya ketika suaminya sedang sakit ataupun ke luar kota. Selain itu terdapat juga perempuan Madura yang menikah dengan masyarakat setempat dan membuka usaha di sektor informal. Data mengenai karakteristik lain seperti usia, pendidikan terakhir, status perkawinan dan daerah asal disajikan dalam Tabel 1.

Usia

Usia merupakan salah satu faktor penting dalam pengambilan keputusan untuk bermigrasi. Dalam keterkaitan antara usia dan mobilitas, Goldscheider (1985) menyampaikan bahwa proporsi kaum muda pada umumnya lebih mobil daripada orang tua. Tingkat mobilitas kaum muda yang lebih tinggi mencerminkan dua skiklus hidup. Proses-proses yang berkaitan dengan umur yakni: (1) perkawinan dan pembentukan keluarga, dan (2) mobilitas karir dan pekerjaan. Dalam penelitian Warsono (1992), masyarakat Madura pada umumnya bermigrasi pada usia muda antara usia 12 tahun sampai 15 tahun. Bagi masyarakat Madura, rentang usia tersebut merupakan masa produktif untuk bekerja untuk mendukung ekonomi keluarga.


(28)

Tabel 1. Karakteristik Responden Penelitian Migran Madura di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor 2012

Karakteristik Responden

Saat Meninggalkan Madura Saat Penelitian Dilaksanakan

Laki-laki Perempuan Total

Laki-laki Perempuan Total

Usia

< 20 tahun 1 3 4 - -

-20 – 29 tahun 9 6 15 - -

-≥ 29 tahun 9 2 11 3 3 6

30 – 40 tahun - - - 9 5 14

> 40 tahun - - - 7 3 10

Total 19 11 30 19 11 30

Pendidikan

Pendidikan

agama* 7 3 10 7 3 10

SD 3 4 7 3 4 7

SMP 4 2 6 4 2 6

SMA 3 2 5 3 2 5

Perguruan

Tinggi 2 0 2 2 0 2

Total 19 11 30 19 11 30

Status Perkawinan

Belum Menikah 7 3 10 - -

-Menikah 12 7 19 19 10 29

Janda/Duda 0 1 1 0 1 1

Total 19 11 30 19 11 30

Daerah Asal

Kab. Sampang 15 8 23 - -

-Kab. Pamekasan 4 1 5 - -

-Kab. Bangkalan 0 2 2 - -

-Total 19 11 30 - -


(29)

Migran Madura yang bekerja di sektor informal sebagian besar bermigrasi ke Bogor pada usia dewasa yakni pada rentang usia 20-29 tahun. Pada rentang usia tersebut terdapat migran yang sudah berpengalaman bermigrasi ke daerah lain dan ada juga yang baru pertama kali bermigrasi. Berdasarkan data usia pada saat penelitian dilaksanakan jumlah tertinggi pada rentang usia 30-40 tahun. Golongan usia ini merupakan usia yang cukup matang untuk mengembangkan usaha sektor informal yang mandiri dan maju, karena telah memiliki pengalaman dan keterampilan yang cukup serta kapasitas fisik yang baik.

Pendidikan

Klasifikasi yang dibentuk dengan istilah Madura Barat dan Madura Timur tidak hanya berdasarkan perbedaan sifat masyarakatnya yang egalitarian dan aristokrasi, tetapi juga berdasarkan tingkat pendidikan, sehingga berdasarkan tingkat pendidikan tersebut dapat diidentifikasi kabupaten asal migran Madura yang tercakup dalam penelitian ini.

Tingkat pendidikan migran Madura yang bekerja di sektor informal di Kota Bogor pada umumnya rendah. Sebanyak sepuluh orang berpendidikan SD ke bawah, namun ada pula yang berpendidikan tinggi bergelar ahli madya dan sarjana. Jika dibandingkan dengan yang berpendidikan sekolah menengah ke bawah, jumlah yang berpendidikan tinggi relatif kecil yakni hanya dua orang responden. Mereka yang berpendidikan tinggi bukan berasal dari golongan orang bangsawan atau golongan parjaji (priyayi), melainkan dari latar belakang keluarga yang kurang mampu. Kemauan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi adalah karena keinginannya untuk menjadi pembawa perubahan bagi keluarga pada khususnya dan masyarakat Madura pada umumnya.

Status pendidikan terakhir yang paling besar jumlahnya adalah pendidikan agama. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat Madura yang masih terikat pandangan tradisional, yang lebih mengutamakan anaknya masuk ke pondok dari pada sekolah umum. Berdasarkan informasi tersebut memudahkan untuk memahami bahwa masyarakat Madura merupakan masyarakat yang agamis. Dalam penelitiannya Warsono (1992) menjelaskan, bahwa terdapat perbedaan tingkat pendidikan antara migran dari Madura Barat dan Madura Timur, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh budaya. Wilayah timur masih dipengaruhi oleh tradisi keraton yang bersifat feudal. Mereka lebih


(30)

berorientasi pada pendidikan sebagai upaya untuk mendapat kedudukan di lembaga-lembaga pemerintah, sedangkan di Madura Barat (Bangkalan dan Sampang) pengaruh kerajaan sudah tidak terasa. Data responden berdasarkan status perkawinan dapat dilihat di Tabel 2.

Status Perkawinan

Status perkawinan dapat menjadi salah satu faktor pendorong maupun penghambat terjadinya gerak penduduk. Dapat dikatakan sebagai pendorong terjadinya gerak penduduk apabila migrasi dianggap sebagai alternatif untuk mememenuhi kebutuhan keluarga yakni dengan bekerja di daerah lain meninggalkan daerah asalnya, dengan asumsi bahwa daerah asal dinilai kurang mendukung untuk meningkatkan perolehan pendapatan. Demikian juga dapat menjadi penghambat terjadinya gerak penduduk, karena dalam status perkawinan pada dasarnya satu pasangan baik suami atau pun istri tidak berkenan untuk hidup terpisah, dengan catatan suami atau pun istri meninggalkan pasangannya ke daerah lain untuk bekerja, karena keadaan demikian dapat memicu terjadinya ketidakharmonisan rumahtangga.

Dalam penelitian ini diketahui terdapat satu orang responden berstatus janda. Status tersebut mempengaruhi keputusannya untuk bermigrasi ke Kota Bogor. Hal ini dilakukan sejak suaminya meninggal dengan tujuan untuk memberikan nafkah bagi anak-anaknya. Responden yang berstatus menikah merupakan pasangan suami istri yang keduanya bermigrasi ke Kota Bogor tanpa meninggalkan salah satu pasangannya di daerah asal. Suami maupun istri memainkan peranannya masing-masing dalam rumahtangga dan dalam pekerjaan. Istri diajak bermigrasi karena dianggap penting untuk ikut membantu pekerjaan di sektor informal yang sedang dikembangkannya di Kota Bogor. Data responden berdasarkan status perkawinan dapat dilihat di Tabel 2.

Daerah Asal Migran Madura

 

Berdasarkan data yang telah diperoleh di lapangan, migran Madura yang membuka usaha di sektor informal di Kecamatan Tanah Sareal pada umumnya berasal dari Kabupaten Sampang (tersaji dalam Tabel 2). Migran asal Kabupaten Pamekasan dan Bangkalan ditemukan dalam jumlah yang kecil, sedangkan yang berasal dari Kabupaten Sumenep tidak ada. Adanya dominasi dari Kabupaten Sampang mencirikan bahwa orang Madura yang bermigrasi ke Bogor umumnya bekerja dan membuka usaha


(31)

di sektor informal non-pangan yang berbeda dengan migran Madura asal Bangkalan yang umumnya diketahui bekerja di sektor informal pangan (penjual sate, soto, bubur ayam, bubur kacang hijau).

Dari sejumlah kota yang ada di Pulau Jawa yang menjadi daerah tujuan migrasi, Kota Bogor merupakan kota yang tergolong baru sebagai pilihan migrasi. Sebelum bermigrasi ke Bogor, sebagian besar sudah berpengalaman bermigrasi ke daerah lain seperti Surabaya, Pulau Kalimantan, Jakarta dan kota lainnya di Pulau Jawa. Selama tinggal di kota-kota tersebut, pekerjaan yang digeluti berbeda dengan pekerjaan yang digeluti di Bogor. Upaya perpindahan yang dilakukan dari satu kota ke kota lain dan pada akhirnya menetap di Bogor tujuannya adalah untuk mencari kehidupan yang lebih baik, karena pekerjaan yang dilakukan sebelumnya kurang berpengaruh terhadap peningkatan kehidupan mereka.

Ikhtisar Karakteristik Migran

Migran Madura yang melakukan migrasi ke Bogor dominan migran laki-laki, hal ini terkait dengan pekerjaan dan usaha yang dikembangkan untuk melangsungkan hidup, yakni pada usaha di sektor informal perdagangan. Berdasarkan usia, pada saat meninggalkan Madura jumlah paling tinggi yaitu pada usia 20-29 tahun, sedangkan pada saat penelitian dilaksanakan jumlah responden terbanyak pada usia 30-40 tahun. Dilihat berdasarkan latar belakang pendidikan, jumlah terbanyak berlatar belakang pendidikan agama informal dengan jumlah sepuluh responden, sementara itu berdasarkan status perkawinannya, diketahui migran yang menjadi responden penelitian ini berstatus menikah, hanya satu responden saja yang berstatus janda. Berdasarkan asal daerah asalnya, migran Madura yang berusaha di sektor informal ini sebanyak 23 responden berasal dari Kabupaten Sampang.


(32)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

 

Kesimpulan:

1. Hubungan yang kuat yang berbasiskan hubungan persaudaraan, pertemanan dan pertetanggaan yang dimiliki oleh orang Madura merupakan faktor penting berlangsungnya migrasi berantai. Orang Madura yang telah lebih dahulu bermigrasi ke Bogor menjadi saluran bagi kerabatnya yang masih tinggal di kampung halaman untuk turut bermigrasi ke Kota Bogor. Dalam hal ini, orang Madura yang telah lebih dahulu ke Bogor menjadi sumber informasi bagi orang Madura lainnya. Budaya toron (pulang kampung) merupakan momentum yang memungkinkan bagi migran Madura untuk mengajak kerabatnya ikut bermigrasi ke Bogor.

2. Usaha sektor informal yang digeluti oleh migran Madura yaitu berdagang kayu bekas, besi bekas, dan gipsum. Sebagai kegiatan ekonomi skala kecil, modal yang diperlukan tergolong rendah dengan modal awal sebesar ≤ 10 juta rupiah. Modal tersebut diperoleh dari saudara dan tabungan pribadi. Keterampilan yang dimiliki untuk mengembangakn usaha tersebut merupakan hasil belajar ketika ikut tinggal bersama saudaranya yang berjualan barang bekas.

3. Ditinjau dari jumlah orang yang dikenal selama tinggal di Bogor, jaringan yang dimiliki migran Madura tergolong sempit yakni 6-157 orang. Berdasarkan jumlah orang yang dikenal tersebut terdapat 5 simpul yang dimiliki migran Madura. Dalam usaha tersebut, simpul yang paling berperan adalah teman kerja dan perkumpulan migran Madura. Teman kerja terdiri dari calo bongkaran, kontraktor dan pengumpul barang bekas berperan dalam perolehan bahan baku, sedangkan perkumpulan Madura berperan bagi perolehan modal. Kepercayaan yang dimiliki migran Madura tergolong rendah, karena kepercayaan yang dibangun dengan kuat hanya dengan sesama migran Madura, sedangkan dengan masyarakat sekitar kepercayaan yang dibangun tergolong lemah. Dalam menjalankan usaha sektor informal yang digeluti oleh orang Madura, aturan


(33)

yang mengikat di antara migran Madura tersebut adalah sikap saling menghargai usaha yang dimiliki oleh orang Madura lainnya. Ketidaktataan terhadap aturan tersebut dapat menimbulkan konflik dan memungkinkan memudarnya ikatan yang solid antar migran Madura.

Saran

 

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa modal sosial memiliki peranan penting dalam kegiatan ekonomi sektor informal suatu kelompok, dalam kasus ini yaitu kelompok migran Madura di Kota Bogor. Keterbatasan migran Madura dalam modal finansial dan modal manusia dapat ditopang oleh modal sosial yang berkembang dalam kehidupan mereka, sehingga usaha dagang di sektor informal perdagangan barang bekas didominasi oleh orang Madura. Oleh karena itu penulis memberikan saran kepada:

1. Penentu kebijakan. Perlu diketahui bahwa modal finansial dan modal manusia tidak dapat menjadi ukuran utama untuk menilai perkembangan ekonomi, melainkan terdapat modal lain yaitu modal sosial yang berkembang di masyarakat yang mampu mendorong suatu kelompok masyarakat untuk bertindak mandiri secara ekonomi tanpa menggantungkan sepenuhnya kepada pemerintah.

2. Masyarakat umum. Perlu disadari bersama bahwa perkembangan zaman yang semakin canggih memicu masyarakat untuk hidup individualis, sehingga nilai-nilai gotong royong semakin memudar. Oleh karena itu dihimbau untuk tetap mempertahankan nilai-nilai kehidupan dan berupaya untuk tetap mempertahankan hubungan sosial yang dapat menjadi penopang ketika menghadapi kesulitan.


(34)

PROSES MIGRASI ORANG MADURA

Migrasi Berantai Migran Madura

 

Etnis Madura dikenal sebagai salah satu etnis yang memiliki budaya migrasi, selain etnis Bugis, Batak dan Minangkabau (Mantra 1992). Terdapat sejumlah faktor yang mendorong masyarakat Madura untuk berpindah meninggalkan Pulau Madura menuju kota-kota di Pulau Jawa maupun luar Pulau Jawa. Seperti telah dikemukakan pada bagian awal, salah satu faktor kuat yang mendorong masyarakat Madura untuk bermigrasi adalah keadaan Pulau Madura yang kurang mendukung untuk meningkatkan ekonomi akibat sifat geografis Pulau Madura yang kering dan gersang.

Migrasi yang dilakukan oleh etnis Madura identik dengan migrasi berantai dengan pola afiliasi. Pengertian migrasi berantai adalah perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain yang diikuti oleh penduduk daerah asalnya. Migrasi berantai ini terjadi apabila rombongan atau orang yang pertama bermigrasi telah berhasil di daerah tujuan, maka akan menarik saudara, teman atau tetangga dari daerah asalnya untuk turut bermigrasi. Keadaan ini pun ditemukan di lokasi penelitian pada migran Madura yang menjadi responden dalam penelitian ini yang menetap di Kecamatan Tanah Sareal. Gambar 3 merupakan proses migrasi orang Madura ke Kota Bogor.


(35)

Keberhasilan orang Madura yang mengawali migrasi ke Bogor menjadi penarik bagi orang Madura lainnya untuk ikut hijrah meninggalkan Pulau Madura. Hubungan kekerabatan yang kuat memungkinkan untuk mengajak saudara, teman dan tetangganya yang ada di kampung halaman untuk ikut pindah ke Bogor. Jaringan sosial merupakan salah satu unsur dari modal sosial yang telah berperan pada proses awal migrasi. Dengan berbasiskan hubungan persaudaraan, pertemanan, dan pertetanggaan, menyebabkan migrasi menuju Kota Bogor semakin mudah.

Ditinjau berdasarkan daerah asal kabupaten, sebanyak 23 responden berasal dari Kabupaten Sampang yang berasal dari Kecamatan Kedundung dan Kecamatan Sampang. Berdasarkan data tersebut dapat diartikan bahwa Kabupaten Sampang merupakan pensuplai migran ke Kota Bogor yang paling dominan di antara kabupaten lainnya. Menurut Warsono (1992) ini disebabkan oleh tingkat sosial ekonomi di wilayah Madura timur lebih baik dari pada di wilayah barat. Hal ini berkaitan dengan kondisi tanah, yang secara geologis wilayah timur kondisi tanahnya lebih cocok untuk tanaman tembakau yang merupakan komoditi ekonomi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, sedangkan wilayah barat tidak cocok untuk tanaman tembakau.

Peran Jaringan Sosial

Untuk bermigrasi diperlukan biaya yang harus dipersiapkan. Biaya yang dimaksud bukan hanya dalam wujud uang, tetapi juga kapasitas sumberdaya manusia yang diperlukan untuk mampu bekerja sehingga tetap bertahan hidup di daerah tujuan. Keterbatasan yang dimiliki oleh migran Madura khususnya dalam hal modal manusia dan modal finansial disebabkan oleh tingkat pendidikan yang umumnya tergolong rendah, sehingga modal sosial, khususnya jaringan menjadi sarana penting dalam migrasi yang dilakukan oleh orang Madura.

Jaringan yang berbasiskan pada hubungan persaudaraan, pertemanan maupun pertetanggaan memiliki fungsi yang sama, di antaranya adalah: fungsi informasi, fungsi sosial, dan fungsi ekonomi. Fungsi informasi adalah ketika orang Madura yang telah lebih dahulu bermigrasi ke Bogor memberikan informasi kepada kerabatnya di kampung halaman mengenai potensi Kota Bogor, sehingga menarik mereka untuk ikut pindah ke Bogor. Fungsi sosial adalah upaya yang dilakukan oleh orang Madura dalam membantu migran baru untuk memperoleh tempat tinggal dan membantu beradaptasi di lingkungan daerah migran, sedangkan fungsi ekonomi dimainkan oleh orang Madura


(36)

dalam memberikan pekerjaan bagi migran baru serta memberikan bantuan keuangan ketika diperlukan, baik untuk kebutuhan hidup sehari-hari maupun untuk modal usaha.

Bapak Ahmad (44 tahun) merupakan migran Madura asal Sampang, Kecamatan Kedundung dari Desa Daleman, yang membuka usaha dagang besi dan kayu bekas di Jalan Raya Kayu Manis, Kecamatan Tanah Sareal. Sebelum bermigrasi ke Bogor, Bapak Ahmad menetap di Jakarta dan membuka usaha pengolahan limbah besi bekas dari sebuah pabrik milik perusahaan swasta di kawasan Jakarta Timur. Pada Tahun 2004 ia memutuskan pindah ke Bogor, karena di Jakarta persaingan dengan sesama Madura dalam usaha tersebut semakin tinggi. Di Bogor ia membuka usaha dagang kayu bekas dan besi bekas. Kayu dan besi bekas tersebut diperoleh dari lelang barang bekas yang ia ikuti. Dalam usahanya tersebut, kayu bekas diolah menjadi kayu kusen untuk bangunan rumah, sedangkan besi bekas diolah menjadi rak seperti rak buku dan rak supermarket. Pada saat lebaran ia pulang ke Madura. Pada kesempatan itulah ia menceritakan keberadaannya selama di Bogor kepada sanak saudaranya yang tinggal di Madura. Budaya pulang kampung ini biasa disebut dengan istilah toron. Bagi migran Madura, selain karena masih terikat dengan budaya yang ada di daerah asal, kepulangannya ke Madura karena motif prestise. Mereka pulang ke Madura bukan sekedar karena keperluan keluarga, tetapi juga untuk menunjukkan keberhasilannya selama tinggal di daerah migran, karena itu ada anggapan jika mereka tidak bisa membawa apa-apa lebih baik tidak pulang. Pada sisi yang lain, kepulangan orang Madura juga membawa informasi keberhasilan mereka dalam pekerjaan yang digeluti. Hal ini mendukung hasil penelitian Warsono (1992) mengenai migran Madura di Kota Surabaya, bahwa keberhasilan mereka yang telah terlebih dahulu bermigrasi menjadi perangsang bagi orang-orang Madura lainnya untuk ikut bermigrasi.

Saat kembali ke Bogor, Bapak Ahmad mengajak saudara sepupunya yakni Ibu Fitri (33 tahun) dan Bapak Taufik (34 tahun). Pada masa itu ia mulai memainkan fungsi sosial dan fungsi ekonomi, yakni dengan memberikan tumpangan tempat tinggal kepada kedua sepupunya tersebut. Jika dibandingkan dengan Bapak Taufik, Ibu Fitri telah lebih dulu ikut Bapak Ahmad bermigrasi ke Kota Bogor, karena pada waktu itu Bapak Taufik masih menjalani pendidikan di Surabaya. Selama tinggal di rumah Bapak Ahmad, Ibu Fitri dan Bapak Taufik ikut membantu usaha yang dikembangkan oleh saudara sepupunya tersebut, yakni merakit besi yang sudah dilas menjadi rak. Rak yang dibuat bermacam-macam. Ukuran besar dijadikan sebagai rak buku perpustakaan, dan rak yang


(37)

ukuran sedang dijual ke sejumlah pengusaha supermarket. Setelah tinggal dua tahun di rumah Bapak Ahmad, Ibu Fitri mulai mandiri dan menyewa tempat tinggal sendiri, demikian juga dengan Bapak Taufik. Bekal ilmu membuat rak yang ia pelajari selama kurang lebih dua tahun tersebut menjadi modal untuk ia membuka usaha yang sama.

Saat ini Ibu Fitri telah menetap di Bogor selama sembilan tahun sejak Tahun 2003. Ketika usaha yang ia jalankan mulai berkembang, ia pun mengajak keponakannya yang ada di Madura untuk ikut ke Bogor dan mempekerjakannya sebagai karyawan dan bertugas untuk mengelas rakitan besi untuk membuat rak atau keranjang toko perbelanjaan. Tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Ibu Fitri, hal serupa juga dilakukan oleh Bapak Taufik yaitu mengajak adik kandungnya untuk bekerja di lapak usahanya, yakni berdagang besi bekas seperti pagar dan teralis. Selain adik kandungnya, ia pun mempekerjakan adik iparnya yang berasal dari Sukabumi. Istri Bapak Taufik merupakan masyarakat etnis Sunda. Kedua adiknya tersebut dijadikan sebagai karyawan tetap sampai mereka memiliki keterampilan dalam usaha dagang barang bekas dan berani membuka usaha sendiri secara mandiri.

Berdasarkan rangkaian proses migrasi pada kasus di atas dapat diketahui bahwa peran saudara yang telah terlebih dahulu merantau ke Bogor menjadi penting bagi orang Madura, karena apabila tidak mendapat informasi mengenai daerah tujuan dari kerabat atau sanak saudara yang lebih dulu bermigrasi, maka kemungkinan untuk bermigrasi sangat kecil. Selain itu berdasarkan data yang diperoleh di lapangan sebanyak sembilan belas responden mendapat informasi tentang kota Bogor dari saudara. Tabel 2 menyajikan informasi mengenai jumlah responden berdasarkan sumber informasi mengenai Kota Bogor.

Tabel 2. Jumlah Responden menurut Sumber Informasi Mengenai Kota Bogor, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor 2012

Sumber Informasi* Jenis Kelamin Total

Laki-laki Perempuan

Saudara 11 8 19

Teman 5 2 7

Keluarga (suami/istri/orang tua/anak)

1 2 3

Media (TV, Radio, Surat Kabar) 2 0 2

Total 19 12 31


(38)

Bagi migran Madura yang membuka usaha dagang di sektor informal, saudara sebagai sumber informasi merupakan jaringan sosial paling penting di antara sumber lainnya, kemudian diikuti oleh peran teman seperti yang dikemukakan oleh Bapak Abdullasir (49 tahun). Selain faktor prestise, yang mendorong orang Madura kembali pulang ke kampung halaman disebabkan oleh adanya kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi. Terkait dengan hal ini, orang Madura yang bekerja sebagai pedagang kayu dan besi bekas biasanya memerlukan tenaga kerja untuk membantu pekerjaannya, khususnya ketika sedang ada proyek lelang bongkaran rumah atau gedung. Pak Abdullasir adalah pedagang kayu bekas yang berada di Jalan Raya Kayu Manis. Seperti pedagang asal Madura lainnya, ia memperoleh kayu tersebut dari upayanya mengikuti lelang proyek bongkaran. Dalam proses bongkaran tersebut diperlukan tenaga fisik yang cukup banyak. Tenaga fisik tersebut diperlukan untuk proses pembongkaran hingga evakuasi kayu dan besi. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga fisik, Pak Abdullasir pulang ke Madurauntuk meminta bantuan teman-temannya yang ada di Madura untuk ikut ke Bogor untuk turut membantu menyelesaikan bongkaran lelang yang ia kerjakan, karena sumberdaya yang ia miliki di Bogor terbatas. Kesempatan demikian menjadi salah satu akses bagi orang Madura lainnya untuk bermigrasi ke Bogor. Ketika proyek bongkaran sudah selesai, dari sejumlah rekan yang dibawa ke Bogor ada yang kembali pulang ke Madura, tetapi ada juga yang akhirnya ikut tinggal sampai akhirnya membuka pekerjaan yang sama di Bogor.

Bagi masyarakat Madura, sebelum bermigrasi ke suatu daerah setidaknya harus ada keluarga, saudara atau kerabatnya yang dikenal dan sudah menetap di daerah tersebut. Hal ini dinilai penting untuk memudahkan dalam beradaptasi ketika sudah menempati daerah tujuan. Kenalan tersebut terdiri dari orang tua, saudara, tetangga maupun teman yang dahulu tinggal sekampung halaman. Kenalan yang dimiliki tersebut merupakan jaringan sosial yang dimiliki oleh masyarakat Madura untuk bermigrasi. Berdasaran data dalam Tabel 3 terdapati pertambahan orang yang dikenal sampai penelitian ini dilaksanakan, artinya jaringan yang dimiliki oleh migran Madura di sektor informal semakin berkembang. Hal ini tergambar dari data yang tersaji dalam Tabel 3, bahwa setiap responden sebelum berpindah ke Kota Bogor sudah memiliki kenalan yang terlebih dahulu tinggal di Bogor.


(39)

Tabel 3. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jumlah Orang yang Dikenal di Bogor Sebelum Bermigrasi ke Bogor dan Saat Penelitian Dilaksanakan, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor 2012

Jumlah Orang yang Dikenal di Bogor Sebelum Bermigrasi ke

Bogor

Jumlah Orang yang Dikenal di Bogor Saat Penelitian Dilaksanakan

6 – 157 158 -320 Jumlah

n % n % n %

2 – 74 22 73,3 7 23,3 29 96,7

75 - 150 0 0 1 3,3 1 3,3

Jumlah 22 73,3 8 26,7 30 100,0

Dalam tabel tersebut terdapat satu orang reponden dengan jumlah orang yang dikenal di Bogor sebelum bermigrasi berjumlah antara 75-150 orang, yaitu Bapak Ahmad (44 tahun). Jika dilihat berdasarkan sejarah migrasinya, responden ini sudah pernah bermigrasi ke daerah lain sebelum pada akhirnya menetap di Kota Bogor. Daerah tersebut yaitu Kalimantan dan Jakarta. Ia menetap di Kalimantan untuk menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta sekaligus bekerja sebagai pengajar relawan pada sebuah sekolah dasar yang didirikan melalui bantuan negara Inggris.

Pengalaman migrasi berikutnya yaitu ke Kota Jakarta. Ia diajak oleh saudaranya yang bekerja di sana. Selama tinggal di Jakarta ia membuka usaha yang sama seperti di Bogor yaitu dagang besi bekas. Ia tertarik untuk memulai usaha dagang besi bekas karena melihat limbah besi rongsokan dari salah satu perusahaan swasta di Jakarta Timur. Besi tersebut tidak dipergunakan lagi dan menjadi sampah yang tidak diolah. Dengan bantuan teman maupun saudaranya sesama Madura yang ada di Jakarta ia terus mengembangkan usaha tersebut. Dalam menjalankan usaha tersebut jaringan usahanya cukup luas, salah satu jaringan usahanya adalah teman maupun saudaranya asal Madura yang tinggal di Bogor yang juga berdagang jenis usaha serupa, namun pada Tahun 2004 usahanya mulai mengalami kemerosotan karena ditipu oleh rekan kerjanya. Berkat bantuan dan arahan dari teman dan saudara yang ia kenal di Bogor, ia kemudian memutuskan untuk pindah ke Bogor dan memulai usaha yang sama dari awal. Jumlah orang yang dikenal cukup banyak karena ketika masih tinggal di Jakarta, ia sering


(40)

menjalin hubungan dengan perkumpulan migran Madura yang ada di Bogor. Pengalamannya yang pernah bekerja sebagai wartawan dan salah satu anggota LSM di bidang advokasi juga berkontribusi dalam memperluas jaringan sosialnya di Bogor.

Ikhtisar Proses Migrasi Orang Madura

Migrasi berantai yang dilakukan oleh masyarakat Madura berpola afiliasi yang berbasiskan pada hubungan keluarga, pertemanan dan pertetangggaan. Dalam proses migrasi tersebut, orang Madura berangkat ke Bogor bersama dengan saudara atau temannya dan bertempat tinggal bersama orang yang mengajak bermigrasi. Dalam waktu kurang lebih satu sampai dengan dua tahun bertempat tinggal di rumah kerabatnya yang di Bogor, mereka tidak hanya menumpang tempat tinggal, tetapi juga ikut bekerja membantu pekerjaan yang dimiliki oleh kerabatnya, sehingga dari pekerjaan tersebut mereka memperoleh keterampilan dalam usaha di sektor informal. Apabila keterampilan yang dimiliki sudah cukup memadai, maka mereka membuka usaha sendiri dalam jenis usaha yang sama. Selama di Bogor, migran Madura sering pulang ke Madura, khususnya ketika lebaran atau ada acara yang diselenggarakan di Madura. Hal ini merupakan kesempatan untuk menceritakan keberadaan mereka selama di Bogor kepada kerabatnya yang ada di Madura, sehingga cerita tersebut menarik orang Madura lainnya untuk ikut bermigrasi ke Kota Bogor.


(41)

USAHA SEKTOR INFORMAL MIGRAN MADURA DI KOTA

BOGOR

Jenis Usaha

 

Usaha dagang yang digeluti oleh migran Madura di Kota Bogor mencirikan hal yang berbeda dengan migran dari etnis lain. Migran Madura mampu melihat peluang usaha yang mungkin tidak terlintas menjadi sumber nafkah bagi masyarakat lain. Hal yang dipandang tidak berguna oleh orang lain justru menjadi sumber nafkah bagi migran Madura. Bergerak dalam usaha dagang barang bekas merupakan pekerjaan utama sebagian besar orang Madura yang menjadi responden dalam penelitian ini. Usaha dagang tersebut meliputi kayu bekas, besi bekas dan gipsum. Data yang menunjukkan jumlah responden berdasarkan jenis usaha ditampilkan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Usaha, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor 2012

Jenis Usaha Jumlah Orang

n %

Kayu 16 53,3

Besi 7 23,3

Kayu dan besi 1 3,3

Gipsum 6 20,3

Total 30 100,0

Pedagang Besi Bekas

Pak Taufik (34 tahun) sudah tujuh tahun berada di Bogor. Ketika pertama kali tiba di Bogor, ia tidak memiliki pekerjaan apa-apa. Usaha dagang yang digeluti saat ini yaitu dagang besi bekas. Besi bekas yang dijual berupa barang bekas murni dan juga besi bekas yang sudah dimodifikasi menjadi sebuah barang baru seperti pagar, teralis, tangga dan sebagainya. Hal yang melatarbelakangi ia berdagang besi bekas karena ketika pertama kali di Bogor ia ikut bekerja dengan saudaranya yang juga berdagang besi. Ilmu yang ia peroleh selama bekerja di tempat usaha saudaranya itulah yang menjadi bekal ilmu untuk memberanikan membuka usaha yang sama. Besi bekas


(42)

biasanya ia peroleh dari pengumpul besi yang sering berjualan berkeliling menjajakan besi bekas dan menjual per kilo gram. Selain itu ia juga memperoleh besi bekas dari proyek bongkaran. Dalam menjalankan usaha ini ia dibantu oleh saudaranya yang berasal dari Madura untuk memodifikasi besi-besi bekas menjadi barang baru yang bisa dijual dengan harga tinggi.

Tujuan ia membuka usaha ini pada awalnya bukanlah untuk mencari keuntungan, melainkan untuk mencari kesempatan kerja. Bekal gelar sarjana yang ia miliki ketika menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya dinilai tidak cukup untuk dapat meraih peluang kerja di Bogor. Prinsip penting untuk dapat bertahan hidup di perantauan menurutnya adalah dengan kerja keras dan tidak takut malu atau tidak gengsi. Pada mulanya ia mengakui memang ada rasa segan pada diri sendiri ketika pertama kali harus keliling mencari besi bekas layaknya pemulung, apalagi dengan gelar sarjana yang ia sandang, namun karena tekat untuk tetap mampu bertahan dan memperoleh kehidupan yang lebih baik, ia tetap menggeluti pekerjaannya sampai saat ini. Bentuk usaha lapak pedagang besi bekas dapat dilihat pada lampiran.

Pedagang Kayu Bekas

Pengusaha yang memegang komoditas kayu di Kota Bogor tidak hanya dikembangkan oleh migran asal Jepara. Migran asal Madura juga bermain dalam perdagangan tersebut, namun yang membedakan antara usaha kayu yang digeluti antara migran asal Jepara dengan migran Madura yaitu dari jenis kayu yang digunakan. Bahan baku kayu yang dipakai oleh migran asal Jepara adalah kayu yang sifatnya baru ditebang seperti kayu Jati, sedangkan migran Madura menggunakan kayu yang sudah tidak terpakai lagi atau kayu bekas. Untuk memperoleh kayu bekas, mereka memperolehnya dari hasil proyek bongkaran. Pak Anwar (38 tahun) merupakan migran Madura asal Sampang yang menggeluti usaha kayu. Kayu kusen merupakan produk usahanya. Dalam menjalankan usaha ini ia tidak dibantu oleh teman atau saudaranya yang berasal dari Madura. Untuk membuat kayu kusen ia mempekerjakan seorang karyawan asal Jepara. Untuk memperoleh karyawan asal Jepara ia dibantu oleh salah seorang temannya asal Jepara yang juga berdagang kayu. Bentuk usaha lapak pedagang kayu bekas dapat dilihat dalam lampiran.


(43)

Pedagang Gipsum

Sebesar 20,3% pengusaha gipsum dalam penelitian ini merupakan migran Madura asal Pamekasan. Di kalangan migran Madura, masyarakat Madura asal Pamekasan dikenal sebagai pedagang yang bergerak dalam pemenuhan kebutuhan bangunan, salah satunya adalah gipsum. Ibu Rina (35 tahun) merupakan salah satu di antaranya. Sejak Tahun 1995 ia menjalankan usaha tersebut. Keahlian dalam membuat gipsum diperoleh ketika ia bersama suaminya ikut tinggal di kediaman saudaranya yang tinggal di Depok. Pewarisan ilmu atau keterampilan yang diturunkan dari satu migran ke migran Madura lainnya merupakan ciri yang menjadi khas migran asal Madura. Dari data yang diperoleh yang menunjukkan bahwa migran Madura asal Pamekasan juga terlibat dalam usaha sektor informal dapat dijadikan alasan untuk meninjau kembali asumsi yang menyatakan bahwa umumnya sektor informal ditembus oleh migran asal Madura Barat (Sampang dan Bangkalan). Namun karakteristik responden asal Pamekasan ini pun sesuai dengan ciri umum pelaku sektor informal, yaitu karena keterbatasan dalam tingkat pendidikan. Bentuk usaha lapak pedagang gipsum dapat dilihat dalam lampiran.

Dalam memperoleh kesempatan kerja pada dasarnya diperlukan keahlian dan keterampilan. Secara jelas ditunjukkan bahwa tidak ada peranan sumber-sumber resmi pendidikan atau pelatihan yang memberikan keterampilan bagi migran Madura untuk memperoleh kesempatan kerja di sektor informal. Menilik sejumlah pengalaman responden, baik yang membuka usaha dagang kayu maupun besi dan gipsum, mereka menyatakan bahwa keterampilan dan keahlian yang mereka miliki diperoleh dari sektor informal itu sendiri. Artinya, training keterampilan tersebut diperoleh dari saudara atau pun teman yang telah lebih dahulu berpengalaman bekerja di sektor informal, dengan cara tinggal bersama saudara atau teman pada kurun waktu tertentu dan ikut bekerja dalam rangka latihan keterampilan. Oleh karena itu sudah menjadi hal yang biasa apabila ditemukan di lapangan, bahwa dari setiap lapak usaha migran Madura terdiri dari sejumlah orang Madura, karena di dalamnya terdiri atas pemilik usaha serta anggota keluarga dari kampung halamannya di Madura yang ikut bekerja dalam rangka untuk dilatih dan memperoleh keterampilan, untuk kemudian menggeluti usaha yang sama di sektor informal.


(44)

Modal Usaha

 

Sethuraman (1996) dalam tulisannnya memberikan penekanan rendahnya persyaratan modal untuk menciptakan lapangan kerja di sektor informal. Modal yang dibutuhkan jauh lebih kecil dari pada di sektor formal. Sebagian besar usaha di sektor informal di kota dijalankan oleh seorang saja, tanpa ada pekerja sambilan. Namun dalam berjalannya waktu dan berkembangnya usaha, pada akhirnya terdapat sejumlah orang yang dipekerjakan dalam usaha tersebut.

Dalam mengawali usaha dagang besi bekas, Pak Ma’ruf (45 tahun) memerlukan modal sebesar sepuluh juta rupiah. Modal tersebut hanya dijadikan sebagai dasar awal untuk membuka usaha, yaitu untuk menyewa lahan, membeli bahan baku serta sejumlah peralatan. Selebihnya hanya memerlukan modal keberanian. Modal awal ini merupakan hasil penjualan tabungan perhiasan milik isterinya. Kekurangan lainnya ia peroleh dari pinjaman saudaranya yang berada di Bogor. Pada tahun 2009, biaya sewa lahan untuk membuka lapak sebesar lima juta rupiah per tahun. Lapak tersebut terdiri dari tempat penyimpanan bahan baku serta sebuah ruangan sederhana yang dijadikan sebagai rumah tinggal. Salah satu upaya yang ia lakukan untuk meringankan biaya sewa lahan adalah dengan mengajak teman Madura lainnya untuk tinggal di samping lapak usahanya, dengan demikian biaya sewa tersebut dapat dibagi dua sehingga biaya sewa yang dibayarkan lebih murah. Strategi yang ia gunakan ketika pertama kali menjual besi bekas yaitu dengan menjual dengan harga yang standart dengan keuntungan yang kecil. Hal ini ia lakukan supaya dapat menarik dan mempertahankan konsumen yang dilanggannya. Apabila konsumennya sudah semakin banyak dan usahanya semakin dikenal, ia mulai menaikkan keuntungan. Data yang menyajikan jumlah responden berdasarkan Jenis Usaha dan Modal Usaha terdapat dalam Tabel 5.

Data dalam Tabel 5 menunjukkan bahwa dari seluruh jenis usaha sebesar 43,3% menggunakan modal ≤ 10 juta rupiah untuk memulai usaha di sektor informal, kemudian sebesar 36,7% memulai dengan modal ≤ 20 juta rupiah. Hanya satu orang responden yang memulai usahanya dengan modal yang cukup besar yaitu lebih dari 50 juta rupiah. Berdasarkan jumlah modal tersebut dapat dilihat bahwa responden yang memulai usahanya dengan modal lebih dari 50 juta rupiah merupakan migran Madura yang berdagang dua komoditas sekaligus yaitu kayu dan besi bekas. Tentu secara


(1)

II. RIWAYAT MIGRASI

1. Mengapa anda meninggalkan kampung halaman? a. Ingin mencari pekerjaan

b. Diajak saudara/teman c. Ingin mengubah status sosial d. Ingin membuka usaha

2. Kapan anda pertama kali datang ke

Bogor?...

3. Sebelum menetap di kota Bogor, apakah anda pernah tinggal di kota lain? a. Ya

b. Tidak Jika ya,

dimana?... 4. Dengan siapa anda pertama kali ke Bogor?

a. Saudara b. Teman c. Sendiri

d. Keluarga (suami/istri/orang tua/anak)

5. Dari mana anda memperoleh informasi tentang Kota Bogor? a. Saudara

b. Teman

c. Keluarga (suami/istri/orang tua/anak) d. Media massa

6. Pekerjaan waktu di Madura: a. Petani

b. Nelayan c. Pedagang d. Sekolah

7. Apakah saudara/teman anda memberi bantuan tumpangan tempat tinggal ketika pertama kali tiba di Bogor?

a. Ya b. Tidak

Jika bertempat tinggal di rumah teman atau keluarga, sampai berapa lama? ………...

8. Apa pekerjaan pertama anda ketika di

Bogor?... 9. Apakah saudara/teman anda membantu untuk memperoleh pekerjaan ketika

pertama kali tiba di Bogor? a. Ya

b. Tidak

10.Mengapa memilih pekerjaan tersebut? a. Diajak teman/saudara


(2)

c. Tidak ada pilihan lain

d. Bahan baku mudah diperoleh

III. JARINGAN

11.Saat bapak/ibu masih di Madura, berapa orang yang sudah bapak/ibu kenal yang ada di Bogor?

12.Selama bapak/ibu tinggal di Bogor dan membuka usaha ini, siapa saja teman-teman yang bapak/ibu kenal? Kira-kira berapa jumlah teman-teman-teman-teman bapak/ibu? 13.Apakah tetangga yang bapak/ibu kenal yang di lingkungan ini adalah

masyarakat sunda dan orang dari etnis lain selain orang Madura? a. Ya

b. Tidak

14.Jika ya, berapa jumlah tetangga yang bapak/ibu kenal dan berasal dari etnis apa?

15.Apakah teman kerja bapak/ibu yang sering berhubungan dan bekerjasama dalam menjalankan usaha adalah orang dari suku lain selain orang Madura?

a. Ya b. Tidak

16.Jika ya, berapa teman-teman bapak/ibu kenal dalam dan yang sering diajak bekerjasama? Apa pekerjaan mereka dan berasal dari etnis apa?

17.Apakah bapak/ibu mengenal dan sering meminta bantuan kepada aparat desa? 18.Apakah anda membantu saudara atau teman/tetangga anda yang berasal dari

Madura untuk memperoleh pekerjaan? a. Ya

b. Tidak

19.Siapa saja orang Madura yang pernah bapak/ibu bantu ketika mereka pertama kali di Bogor dan mengapa membantu mereka?

20.Ketika dalam kesulitan pekerjaan, siapa yang sering membantu bapak/ibu?...

IV. KEPERCAYAAN

21.Apakah anda mengikuti organisasi/perkumpulan khusus orang Madura? a. Ya

b. Tidak

Jika ya, apa saja kegiatan dalam organisasi/perkumpulan

tersebut?... ...……... 22.Apakah anda pernah berkunjung ke tempat saudara/teman sesama asal Madura

yang tinggal di Bogor? a. Ya

b. Tidak

Jika ya, dalam rangka apa anda berkunjung ke tempat saudara/teman sesama asal Madura?


(3)

a. Bersilaturahmi

b. Acara (hajatan, sunatan, pengajian)

c. Lainnya……….

23.Bagaimana pergaulan anda dengan orang-orang yang sama-sama berasal dari Madura?

a. Akrab b. Biasa saja

24.Apakah anda bisa berbahasa sunda? a. Bisa

b. Tidak bisa

25.Apakah anda berkomunikasi dengan tetangga anda? a. Sering

b. Jarang

26.Apakah anda mengikuti kegiatan/acara bersama warga dimana anda tinggal saat ini?

a. Ya b. Tidak Jika ya, kegiatan

apa?... 27.Apakah anda ikut dalam organisasi di masyarakat dimana anda tinggal saat ini?

a. Ya b. Tidak

Jika ya, organisasi

apa?... 28.Ketika mengalami kesulitan dalam bidang keuangan, apakah anda pernah

meminta bantuan kepada tetangga/masyarakat sekitar? a. Ya

b. Tidak

29.Apakah tetangga anda pernah meminta bantuan kepada anda ketika mengalami kesulitan ekonomi?

a. Ya b. Tidak

Jika ya, bantuan apa yang anda


(4)

V. ATURAN

30.Selain orang Madura, apakah ada yang berjualan jenis yang sama dengan pekerjaan anda?

Jika ada siapa

saja?... 31.Jika ada orang lain selain Madura yang berjualan jenis yang sama, apakah anda

mengizinkan untuk berjualan di sekitar tempat anda berjualan? a. Mengizinkan

b. Tidak mengizinkan

32.Untuk berjualan di sekitar tempat anda tinggal, apakah harus ada proses ijin terlebih dahulu?

a. Ya b. Tidak

Jika ya, kepada siapa izin

dilakukan?...

33.Mengapa anda memilih tempat

tersebut?... ... 34.Bagaimana cara anda menarik minat pembeli?

a. Menjual lebih murah dari pedagang yang lain b. Memberi pelayanan yang baik kepada pembeli c. Memberi diskon

35.Menurut anda, apakah prinsip kejujuran merupakan hal yang penting dalam menjalankan pekerjaan?

a. Ya b. Tidak

36.Apakah anda setuju bila ada konsumen yang sedang bertransaksi dengan anda sedangkan pedagang lain memanggil konsumen tersebut untuk membeli di lapak pedagang tersebut?

a. Tidak setuju b. Setuju Berikan alas an

anda………... 37.Apakah anda setuju bila anda sudah menetapkan harga lelang yang siap anda

beli, sedangkan ada orang Madura lain yang menawar dengan harga lebih tinggi?

a. Tidak setuju b. Setuju

Berikan alasan anda


(5)

VI. Sektor Informal

38.Apakah pekerjaan anda memerlukan modal (uang) yang cukup besar? a. Ya

b. Tidak

39.Dari mana anda memperoleh modal tersebut? a. Bantuan/pinjaman dari saudara

b. Bantuan/pinjaman dari teman sesama Madura

c. Bantuan/pinjaman dari tetangga (bukan orang Madura) d. Dana pribadi

e. Lembaga keuangan

40.Bagaimana cara anda memperoleh bahan

baku?... ... 41.Apakah saudara/teman anda ikut bekerja di tempat anda?

a. Ya b. Tidak

42.Apakh anda memiliki karyawan dalam usaha anda? a. Ya


(6)

Lampiran 4. Daftar Responden

No Nama Jenis Kelamin Jenis Usaha (Dagang)

1 H. Ahmad Tinggal L Besi, kayu (kusen)

2 Aisyah P Besi (rak)

3 Malik P Kayu

4 Fitri P Besi (rak)

5 Taufiq Izroil L Besi (pagar, teralis, tangga)

6 Fatimah P Kayu

7 Choirul Anwar L Kayu (kusen)

8 Lutfi P Kayu

9 Hasan L Besi (pagar, teralis, tangga)

10 Samsul Arifin L Kayu

11 H. Junaidi L Kayu

12 Siti Fatimah P Besi

13 Rodina P Kayu (kusen)

14 Suhaibah P Kayu (kusen)

15 Moniah P Besi (rak)

16 Hadiyah P Besi (rak)

17 Muhnizar Syarif L Kayu (kusen)

18 Safari L Kayu (kusen)

19 Umar L Kayu (kusen)

20 Kurdi L Besi

21 Abdullasir L Kayu (kusen)

22 Ma’ruf L Besi (rak)

23 Muridin L Kayu (kusen)

24 Rudianto L Kayu (kusen)

25 Abdul Malik L Besi (rak)

26 Rina P Gipsum

27 Sekera L Gipsum

28 Usman L Gipsum

29 Mukhlis L Gipsum