4 Kemampuan organisasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM
X4
adalah persepsi responden terhadap seberapa besartinggi kemampuan teknis, manajerial dan sosial yang dimiliki oleh organisasi
masyarakat yang membuatnya mampu berpartisipasi secara aktif dalam mengelola program APL
–BM Tabel 4 Tabel 4. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran
Tingkat Kemampuan Organisasi Masyarakat
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran
Skala Pengukuran
X
4.1
Kemampuan teknis
Tingkat pengetahuan dan keterampilan teknis
organisasi masyarakat dalam pengelolaan APL
– BM
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden Interval
X
4.2
Kemampuan manajerial
Tingkat pengetahuan dan keterampilan manajerial
organisasi masyarakat dalam mengalokasikan
sumberdaya organisasi untuk kegiatan pengelolaan
APL
–BM Diukur berdasarkan
skor persepsi responden
Interval
X
4..3
Kemampuan sosial
Tingkat pengetahuan dan keterampilan sosial
organisasi masyarakat dalam membangun
hubungan dan jaringan kerjasama kemitraan pada
kegiatan pengelolaan APL
–BM . Diukur berdasarkan
skor persepsi responden
Interval
5 Motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan APL –
BM X4 adalah persepsi responden terhadap seberapa kuat keinginan-
keinginan dalam dirinya yang mendorong untuk terlibat atau berpartisipasi dalam pengelolaan
APL –BM
Tabel 5. Tabel 5. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran
Tingkat Motivasi Masyarakat
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran
Skala Pengukuran
X
5.1
Keinginan untuk meningkatkan
pendapatan Kemauan responden untuk
meraih pendapatan tambahan dari manfaat
program yang mendorongnya untuk
berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan APL
– BM
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden Interval
Tabel 5. Lanjutan.
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran
Skala Pengukuran
X
5.2
Keinginan untuk mendapat
pengakuan atas kredibilitas
dalam mengelola sumberdaya
Kemauan responden untuk mendapatkan kepercayaan
dan dianggap mampu dalam mengelola
sumberdaya secara lestari yang mendorongnya untuk
berpartisipasi secara aktif pengelolaan APL
–BM Diukur berdasarkan
skor persepsiperasaan responden
Interval
X
5.3
Keinginan melestarikan
sumberdaya Kemauan responden atas
dasar kesadaran sendiri untuk menjaga kelestarian
sumberdaya sehingga mendorongnya untuk
berpartisipasi secara aktif pengelolaan APL
–BM Diukur berdasarkan
skor persepsiperasaan responden
Interval
6 Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM Y1
adalah persepsi responden terhadap seberapa jauh keterlibatan dirinya dalam penerapan kegiatan-kegiatan pengelolaan APL
–BM yang telah dilakukan Tabel 6.
Tabel 6. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL
–BM.
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran
Skala Pengukuran
Y
1..1
Merencanakan kegiatan
pengelolaan APL
–BM Intensitas keterlibatan
responden dalam merencanakan berbagai
kegiatan pengelolaan APL
–BM, baik secara bersama maupun mandiri.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden Interval
Y
1..2
Melaksanakan kegiatan
pengelolaan APL
–BM Intensitas keterlibatan
responden dalam melaksanakan kegiatan
pengelolaan APL –BM,
baik secara bersama maupun mandiri.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden Interval
Y
.1.3
Menikmati hasil pengelolaan
APL –BM
Intensitas keterlibatan responden dalam
menikmati hasil kegiatan penggelolaan APL
–BM. Diukur berdasarkan
skor persepsi responden
Interval
Y
.1.4
Mengevaluasi kegiatan
pengelolaan APL
–BM Intensitas keterlibatan
responden dalam melakukan pengawasan
dan penilaian evaluasi terhadap kinerja kegiatan
pengelolaan APL
–BM. Diukur berdasarkan
skor persepsi responden
Interval
7 Sikap masyarakat dalam pengelolaan APL –BM saat ini Y2 adalah
kecenderungan menyetujui mendukung atau tidak terhadap pengelolaan sumberdaya melalui program proses pengelolaan sumberdaya perikanan
– kelautan melalui penerapan program APL
–BM yang diterapkan Tabel 7. Tabel 7. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Sikap
Masyarakat terhadap Pengelolaan APL –BM Saat Ini
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran
Skala Pengukuran
Y
2.1
Sikap terhadap status ekosistem
Penilaian obyektif individu terhadap perubahan status
ekosistem saat ini sebagai dampak penerapan
program APL
– BM Diukur berdasarkan
skor sikap responden Interval
Y
2.2
Sikap terhadap konsep
pengelolaan APL
–BM Kecenderungan untuk
menyetujui mendukung atau menolak konsep
pengelolaan APL –BM
yang diterapkan saat ini Diukur berdasarkan
skor sikap responden Interval
15
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Partisipasi Masyarakat
\
Partisipasi telah menjadi lintasan sejarah yang panjang bagi berbagai pembangunan di berbagai negara di dunia Pretty, 1995. Hal ini berarti bahwa
pemerintah dari berbagai negara telah menyadari pentingnya keterlibatan rakyat atau masyarakat dalam kegiatan pembangunan negaranya. Secara etimologis
partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris participation yang berarti take part in ambil bagian. Dengan demikian partisipasi dalam pembangunan berarti ambil
bagian dalam suatu tahap atau lebih dalam suatu proses atau kegiatan pembangunan.
Mubyarto 1992 memberikan pengertian partisipasi sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang
tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Kesediaan berarti adanya unsur kerelaan yang melibatkan aspek emosional dan mental dari orang yang
terlibat. Unsur kemampuan sebagaimana yang dinyatakan oleh Mubyarto lebih ditekankan untuk menghargai adanya perbedaan individu. Artinya, setiap orang
akan berbeda-beda bentuk partisipasinya disesuaikan dengan kemampuan dan kepentingan masing-masing orang tersebut.
The World Bank Pretty, 1995 mendefinisikan partisipasi sebagai sebuah proses stakeholder-stakeholder mempengaruhi dan ambil bagian atas pengelolaan
inisiatif dan keputusan-keputusan pembangunan dan sumberdaya yang mempengaruhi mereka. Pretty 1995 mengemukakan tipologi partisipasi
masyarakat dalam program dan proyek pembangunan yaitu:
1 Partisipasi pasif passive participation : masyarakat berpartisipasi secara ikut
– ikutan, pemberitahuan sepihak dari pengelola proyek tanpa mendengarkan tanggapan masyarakat.
2 Partisipasi dalam pemberian informasi participation in information giving : masyarakat berpartisipasi dengan menjawab atau memberi
informasi. Masyarakat tidak mempunyai pilihan untuk mempengaruhi cara kerja.
3 Partisipasi dengan konsultasi participation by consultation : masyarakat berpartisipasi dengan konsultasi, sedangkan agen luar menetapkan
masalah dan jalan keluarnya serta memodifikasinya. Pengambilan keputusan oleh profesional.
4 Partisipasi untuk memperoleh insentif material participation for material incentive : masyarakat berpartisipasi dengan menyediakan sumberdaya,
seperti tenaga kerja, untuk memperoleh insentif material. 5 Partisipasi fungsional funcional participation; masyarakat berpartisipasi
dengan pembentukan kelompok – kelompok yang dikaitkan dengan tujuan
proyek. Masyarakat tidak dilibatkan pada tahapan awal atau perencanaan, pengarahan dilakukan oleh pihak luar.
6 Partisipasi interaktif interactive participation : masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama, membuat rencana aksi dan pembentukan lembaga
lokal baru atau penguatan yang lain. Masyarakat menentukan keputusan dan mempunyai tanggung-jawab dalam pemeliharaan struktur dan praktik.
7 Pengembangan diri self-mobilization : masyarakat berpartisipasi dengan mengambil kebebasan inisiatif dari lembaga eksternal untuk mengubah
sistem. Masyarakat membangun hubungan dengan lembaga eksternal untuk sumberdaya dan bantuan teknis yang diperlukan, tetapi tetap
menguasai sumberdaya yang digunakan. Sejalan dengan pendapat Hoofsteede, Uphoff dan Cohen Ndraha, 1990
memberikan empat tahapan partisipasi, yaitu: 1 Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pembuatan
keputusan. 2 Partisipasi dalam melaksanakan operasional pembangunan.
3 Partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan.
4 Partisipasi dalam menilai pembangunan. Apabila partisipasi tidak melibatkan semua tahapan tersebut, maka dikatakan
bahwa partisipasi hanya bersifat parsial. Partisipasi yang sesungguhnya harus meliputi keempat tahapan tersebut.
Oakley dkk. Ife, 2006 menyajikan analisis perbandingan antara partisipasi sebagai cara dan sebagai tujuan Tabel 8.
Tabel 8. Perbandingan Partisipasi sebagai Cara dan Tujuan
Partisipasi sebagai cara Partisipasi sebagai tujuan
Berimplikasi pada penggunaan partisipasi sebagai cara untuk mencapai
tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya
Berupaya memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan mereka sendiri secara lebih berarti
Merupakan suatu upaya pemanfaatan sumberdaya yang ada untuk mencapai
tujuan program atau proyek Berupaya menjamin peningkatan peran
rakyat dalam inisiatif –inisiatif
pembangunan Penekanan pada pencapaian tujuan dan
tidak terlalu memperhatikan pada aktivitas partisipasi itu sendiri
Fokus pada peningkatan kemampuan rakyat untuk berpartisipasi, bukan
sekedar pencapaian tujuan proyek
Lebih umum dalam program –program
pemerintah, yang pertimbangan utamanya adalah untuk menggerakkan
masyarakat dalam meningkatkan efisiensi sistem penyampaian
Pandangan ini relatif kurang disukai oleh badan
– badan pemerintah
Partisipasi umumnya dipandang sebagai program jangka pendek
Partisipasi dipandang sebagai tujuan jangka panjang
Partisipasi sebagai cara merupakan bentuk pasif dari partisipasi
Partisipasi sebagai tujuan relatif lebih aktif dan dinamis
Oakley dkk. Khaerudin, 1992 mencatat sejumlah keuntungan utama partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu:
1 Efisiensi efficiency: Partisipasi dapat menjamin penggunaan secara efisien sumberdaya yang tersedia. Masyarakat lokal mengambil tanggung-
jawab dalam berbagai aktivitas sehingga meningkatkan efisiensi
2 Efektivitas Effectiveness: Partisipasi masyarakat dapat membuat proyek - proyek lebih efektif melalui pengambilan keputusan mengenai tujuan dan
strategi, partisipasi dalam pelaksanaan, sehingga memastikan penggunaan sumberdaya secara efektif
3 Kemandirian Self-reliance: Melalui partisipasi aktif masyarakat lokal, tidak hanya dapat mengatasi mentalitas ketergantungan, tetapi juga dapat
meningkatkan kesadaran, kepercayaan diri dan pengawasan atas proses pembangunan
4 Jaminan Coverage: Partisipasi masyarakat dapat menjadi sebuah usaha keras sebagai jaminan atas manfaat yang diperoleh kelompok sasaran
5 Keberlanjutan Sustainability: Partisipasi masyarakat dianggap sebagai sebuah prasyarat bagi keberlanjutan kegiatan-kegiatan pembangunan.
Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukung-
nya yaitu kemauan, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi Slamet, 2003. Masyarakat perlu mengalami proses belajar untuk
mampu mengetahui kesempatan –kesempatan untuk memperbaiki kehidupan.
Setelah mengetahui, kemampuan atau ketrampilan perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan kesempatan
–kesempatan itu. Diperlukan upaya khusus untuk membuat masyarakat mau memanfaatkan
kesempatan memperbaiki kehidupannya. Kemampuan menunjukkan kualitas manusia dalam mengatasi berbagai macam persoalan yang dihadapi. Kemampuan
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan harus didahului oleh suatu poses belajar. Ketersediaan sumberdaya material atau teknologi erat kaitannya
dengan kemampuan atau kualitas diri dalam mengembangkan potensi yang dimiliki untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Seringkali ketersediaan
sumberdaya, teknologi dan kesempatan belajar tidak mampu diakses oleh masyarakat sehingga perlu ada pihak luar yang bersedia memfasilitasi masyarakat
berpartisipasi dalam pembangunan Slamet, 2003.
Faktor Penentu Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan mutlak diperlukan karena pada prinsipnya masyarakat yang pada akhirnya melaksanakan berbagai kegiatan
pembangunan. Namun demikan pada kenyataannya menggerakkan, mendorong serta mempertahankan partisipasi masyarakat yang telah berjalan tidaklah mudah.
Demikian pula dalam mempertahankan dan meningkatkan partisipasi masyarakat Terdapat banyak faktor yang terlibat agar para masyarakat dapat tetap konsisten
dan antusias dengan partisipasi yang selama ini telah dilaksanakannya.
Motivasi Nelayan
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Slamet 2003 bahwa salah satu syarat untuk tumbuhnya partisipasi adalah kemauan dari masyarakat. Kemauan atau
keinginan dalam bahasa Inggris identik dengan kata wishwillwant. Thoha 1999 menyebutkan bahwa istilah motivasi dipakai silih berganti dengan istilah
kebutuhan need, keinginan wantwishwill, dorongan drive, desakan urge atau impuls. Selain terletak pada kemampuannya, orang bekerja juga tergantung
pada keinginan mereka untuk bekerja atau tergantung pada motivasinya.
Sardiman β000 menjelaskan bahwa kata “motif motive” diartikan
sebagai daya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di luar subjek untuk melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai su atu tujuan. Berawal dari kata “motif”
itu, maka motivasi motivation dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan
untuk mencapai tujuan sangat dirasakanmendesak.
Seseorang yang sangat termotivasi adalah orang yang melaksanakan upaya substansial, guna mendukung tujuan-tujuan produksinya. Seseorang yang tidak
termotivasi, hanya memberikan upaya minimum dalam hal bekerja. Konsep motivasi merupakan sebuah konsep penting dalam studi tentang kinerja individual
Maslow berpendapat bahwa terdapat kebutuhan-kebutuhan atau keinginan –
keinginan yang memotivasi individu untuk berupaya memenuhi atau memuaskan kebutuhan tersebut. Seseorang akan termotivasi selama kebutuhan-kebutuhan
tersebut belum terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah fisiologis, rasa aman, sosial atau afiliasi, prestasi atau rasa dihargai, dan aktualisasi diri Winardi,
2002.
Maslow juga mengemukakan bahwa motivasi setiap individu akan saling berbeda, sesuai dengan tingkat pendidikan dan kondisi ekonominya. Orang yang
semakin terdidik dan semakin independen secara ekonomi, maka sumber motivasinyapun akan berbeda, tidak lagi semata-mata ditentukan oleh sarana
motivasi tradisional, seperti formal authorithy dan financial incentives, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor kebutuhan akan growth dan achievement.
Para individu akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat prepoten atau yang paling kuat pada saat tertentu. Prepotensi suatu kebutuhan tergantung
pada situasi individual yang berlaku dan pengalaman-pengalaman yang baru saja dialami Winardi, 2002.
Berbagai pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya merupakan refleksi kesadaran
dan kemauan atau keinginan yang ada pada diri anggota masyarakat. Keinginan atau kemauan ini yang mendorong nelayan dan kelompok masyarakat pesisir
lainnya untuk terlibat aktif dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang meliputi:
1. Motivasi untuk Meningkatkan Pendapatan
Masyarakat pesisir pada umumnya adalah nelayan yang sangat mengharapkan adanya perubahan dalam tingkat kesejahteraan hidupnya. Indikator
dari terjadinya perubahan positip dalam kesejahteraan hidup adalah meningkatnya pendapatan rumah tangga. Kartasapoetra 1991 menyatakan bahwa setiap petani
dan keluarganya ingin meningkatkan produksi dalam usaha taninya untuk mendapatkan income yang sebesar-besarnya. Sebelumnya juga dikemukakan
bahwa untuk dapat hidup sejahtera, para nelayan harus berusaha meningkatkan pendapatannya, yang berarti harus menjalankan usaha perikanannya dengan lebih
produktif, sehingga lebih menguntungkan.
Kontribusi suatu sumber pendapatan akan menentukan keputusan masyarakat dalam berpartisipasi mengelola sumberdaya pesisir. Semakin besar
sumbangan suatu sumber pendapatan terhadap total pendapatan rumah tangga akan mendorong untuk lebih mengoptimalkan sumberdaya yang dimilikinya
untuk kegiatan tersebut. Disamping itu, bagi masyarakat kesinambungan
perekonomian keluarga kadangkala lebih penting dibandingkan dengan keuntungan yang tinggi tetapi dalam waktu yang singkat.
Masyarakat cenderung memilih aman baik dari dimensi waktu maupun besaran resiko dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. Dengan
kata lain, lebih baik memilih usaha yang hasilnya kecil tetapi aman serta berkesinambungan dibandingkan dengan hasil besar penuh resiko dan
ketidakpastian. Jaminan keamanan bagi perekonomian keluarga merupakan prioritas utama, terutama bagi nelayan subsisten. Dalam kesimpulannya, Sahidu
1998 mengemukakan bahwa pedapatan usaha merupakan sumber motivasi bagi nelayan dan merupakan faktor kuat yang mendorong timbulnya kemauan,
timbulnya kemampuan serta terwujudnya kinerja partisipasi masyarakat.
2. Motivasi untuk Mendapatkan Pengakuan atas Kredibilitas
Paradigma pembangunan perikanan dan kelautan masa lalu memandang keberadaan masyarakat sebagai eksternalitas. Masyarakat pesisir yang
kebanyakan nelayan kerap dianggap sebagai ancaman dan resiko, sehingga akses mereka terhadap sumberdaya dibatasi, bahkan ditutup. Faktanya menurut
Nikijuluw 2002 bahwa di beberapa daerah terdapat praktek pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang dilakukan masyarakat telah menerapkan
kearifan dan pengetahuan lokal yang memperhatikan kelestariannya. Pergeseran paradigma pembangunan perikanan dan kelautan yang terjadi adalah masyarakat
diposisikan sebagai pelaku utama dan pemerintah mendorong masyarakat pesisir untuk menunjukkan kepada pemerintah bahwa mereka memiliki kemampuan dan
dapat dipercaya untuk mengelola sumberdaya.
3. Motivasi untuk Melestarikan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan
Kehidupan perekonomian dan budaya masyarakat pesisir sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya perikanan dan kelautan Nikijuluw,
2002. Masyarakat pesisir memiliki kearifan dan pengetahuan lokal dan menyadari pentingnya keberadaan sumberdaya yang ada di sekitar mereka bagi
generasi berikutnya. Pengetahuan dan kearifan yang dimiliki telah mendorong dan mengarahkan mereka untuk selalu berusaha menjaga eksistensi dan kelestarian
sumberdaya.
Kemampuan Masyarakat Mengelola Sumberdaya
Kemampuan ability merupakan kapasitas individu yang memungkinkan individu tersebut dapat melakukan tugas-tugas yang bersifat mental dan fisik.
Kemampuan berkembang sepanjang waktu melalui interaksi bakatbawaan dan pengalaman, serta bersifat menetappermanen atau bertahan lama dalam diri
individu Desimone dkk, 2002. Robin 2003 mendefinisikan kemampuan sebagai kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu
pekerjaan, yang meliputi kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kapasitas untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
yang berkaitan dengan kerja mental, sedangkan kemampuan fisik adalah kapasitas untuk melaksanakan tugas-tugas yang menuntut adanya stamina, ketangkasan atau
keterampilan, dan kekuatan.
Kemampuan ability merupakan konsep yang sering disandingkan dengan konsep kompetensi competencycompetence bahkan terkadang dipertukarkan
penggunaannya. Sebagaimana tercantum dalam Oxford Learner’s Pocket
Dictionary bahwa competence diartikan sama dengan being competent, ability.
Definisi tentang kompetensi yang sering dipakai adalah karakteristik yang mendasari individu untuk mencapai hasil kerja yang superior. Kompetensi juga
merupakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan
non rutin Susanto, 2003.
Kemampuan, menurut Robert dan Kinicki 1991 adalah karakteristik yang luas dan mapan yang bertanggungjawab atas kinerja maksimum seseorang dalam
melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan mental dan fisik yang diklasifikasikan menjadi dua tingkatan yaitu:
1 Kemampuan ambang batas threshold competency : Kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melakukan pekerjaannya
dengan baik. Dikatakan minimal karena sekedar terpenuhinya standar kerja minimal yang dipersyaratkan, tidak lebih, sehingga pekerjaan dapat
terselesaikan dengan baik.
2 Kemampuan yang membedakan differentiating competency Kemampuan unggul yaitu kemampuan yang dapat membedakan antara
seseorang yang memiliki kinerja superior dengan yang tidak memiliki kinerja superior. Dikatakan superior, apabila kinerja seseorang berada di
atas rata-rata kebanyakan orang, dengan kata lain mampu melakukan pekerjaan dengan lebih baik dibandingkan dengan orang lain yang
melakukan pekerjaan yang sama. Soesarsono 2002 menyatakan secara umum kemampuan individu dibagi
menjadi tiga macam, yaitu: 1 kemampuan personal yaitu kemampuan seseorang yang dihubungkan
dengan kepribadian, sifat-sifat atau karakter yang dimilikinya. 2 kemampuan sosial yaitu kemampuan seseorang dalam berkomunikasi,
berinteraksi dan membangun hubungan dan jaringan dengan orang lain. 3 kemampuan profesional yaitu seperangkat kemampuan khusus yang
dimiliki seseorang dalam melaksanakan profesinya atau melaksanakan tugas tertentu.
UNESCO 2005 mengkategorikan kemampuan yang perlu dimiliki oleh
individu secara lebih mendasar dengan mengaitkannya pada proses perkembangan manusia dan proses belajar yang dialami oleh manusia. Menurut UNESCO bahwa
terdapat empat kemampuan dasar yang perlu dimiliki oleh individu untuk menghadapi tantangan yang muncul di dalam hidupnya dan yang muncul di dalam
masyarakatnya. Empat kemampuan tersebut adalah:
1 Learning to be, dapat dinyatakan sebagai kemampuan personal. Kemampuan personal merupakan potensi individu yang terkait dengan
konsep diri, yaitu cara bagaimana individu memandang dirinya sendiri. Kemampuan personal membuat setiap individu berbeda satu dengan
lainnya. Dengan kemampuan personal, seseorang dapat dan sanggup melakukan sesuatu yang berbeda dari individu lainnya.
2 Learning to live together, identik dengan kemampuan sosialrelasional. Kemampuan yang memungkinkan individu membangun hubungan dengan
orang lain interpersonal competency dan masyarakat lainnya social competency.
3 Learning to know, dapat dinyatakan sebagai kemampuan kognitif. Kemampuan dalam menggunakan, meningkatkan dan mendayagunakan
intelektual. Terdapat tiga instrumen untuk mengembangkan kemampuan ini yaitu belajar tentang cara belajar learning how ton learn, mengajar
tentang cara mengajar teaching how to teach, dan mengetahui tentang cara mengetahui knowing how to know.
4 Learning to do, dapat dinyatakan sebagai kemampuan produktif Kemampuan yang terkait dengan upaya individu membangun dirinya
menjadi individu yang produktif, kreatif, dan inovatif. Kemampuan produktif terekspresi dalam bentuk kemampuan mengarahkan directing,
mengelola managing, koordinasikerjasama coordinating, pengawasan dan evaluasi terhadap produksi sendiri self-management, produksi
kelompok sendiri co-management, atau produksi kelompok lain group management. Kemampuan ini dapat menciptakan ruang enterpreneur
bagi individu.
Pengertian Sikap
Definisi sikap sebagai suatu gejala psikologis memiliki berbagai definisi dengan berbagai tinjauan dari para ahli. Allport
Mar’at, 1984 mendefinisikan sikap sebagai keadaan dan kesiapan mental yang terorganisasi melalui
pengalaman yang secara langsung dan dinamis mempengaruhi respon seseorang terhadap semua obyek atau situasi yang mempunyai hubungan dengan dirinya.
Dalam sikap terkandung suatu penilaian emosional yang dapat berupa suka, tidak suka, senang, sedih, cinta, benci, setuju, tidak setuju dan sebagainya.
Mar’at 1984 membuat rangkuman mengenai pengertian sikap berdasarkan berbagai definisi yang dirumuskan Allport, yaitu :
1 Attitudes are learned, yang berarti sikap tidaklah merupakan sistem fisiologis ataupun diturunkan, akan tetapi sikap sebagai hasil belajar
diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan.
2 Attitudes have referent, yang berarti bahwa sikap selalu dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide.
3 Attitudes are social learning, yang berarti bahwa sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain.
4 Attitudes have readiness to respond, yang berarti adanya kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek.
5 Attitudes are affective, yang berarti bahwa perasaan dan afeksi merupakan bagian dan sikap, akan tampak pada pilihan yang bersangkutan, apakah
positif, negatif atau ragu. 6 Attitudes are very intensive, yang berarti bahwa tingkat intensitas sikap
terhadap obyek tertentu kuat atau juga lemah. 7 Attitudes have a time dimension, yang berarti bahwa sikap tersebut
mungkin hanya cocok pada situasi yang sedang berlangsung, akan tetapi belum tentu sesuai pada saat lainnya
8 Attitudes have a duration factor, yang berarti bahwa sikap dapat bersifat relatif konsisten dalam sejarah hidup individu.
9 Attitudes are complex, yang berarti bahwa sikap merupakan bagian dan konteks persepsi ataupun kognisi individu.
10 Attitudes are evaluations, yang berarti bahwa sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi
yang bersangkutan. 11 Attitudes are inferred, yang berarti bahwa sikap merupakan penafsiran
dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan yang tidak memadai.
Suatu sikap mempunyai komponen, yaitu Mar’at, 1984 : 1 komponen kognitif, yaitu seseorang yang bersikap perlu memiliki pengetahuan mengenai
obyek sikapnya, terlepas dan apakah pengetahuannya tersebut benar, salah, lengkap, tidak lengkap dan sebagainya; 2 komponen afektif, komponen ini
merupakan komponen yang paling penting. Seseorang yang bersikap akan mempunyai pemaknaan sebagai hasil evaluasi emosional setuju, tidak setuju
mengenai obyek sikapnya dan 3 komponen konatif, bahwa suatu sikap tidak lengkap hanya dengan pengetahuan dan evaluasi emosional tetapi juga memiliki
kecenderungan individu dalam bertingkah laku merespon yang bersifat lebih permanen. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah perasaan,
pikiran dan kecenderungan individu bertingkah laku merespon yang kurang lebih bersikap permanen terhadap sesuatu yang dinyatakan dengan persetujuan atau
ketidaksetujuan, perasaan senang atau tidak senang dan sejenisnya.
Proses Penyuluhan Pembangunan
Slamet 2003 menguraikan bahwa istilah penyuluhan pada awalnya dikenal sebagai “agricultural extention.” Karena penggunaannya di bidang lain,
maka sebutannya berubah menjadi extention education dan development communication.
Istilah “penyuluhan” pertama kali dikemukakan oleh James Stuart dari Trinity College Cambridge tahun 1967, sehingga Stuart dikenal sebagai bapak
Penyuluhan van Den Ban dan Hawkins, 1999. Berbagai istilah digunakan untuk mengambarkan proses belajar penyuluhan, seperti: 1 voorlichting Belanda
yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya, 2 beratung Inggris dan Jerman yang mengandung makna sebagai
seorang pakar memberikan petunjuk kepada seseorang tetapi seseorang tersebut berhak menentukan pilihannya, 3 erziehung mirip artinya dengan pendidikan di
Amerika Serikat yang menekankan tujuan penyuluhan untuk mengajar seseorang sehingga dapat memecahkan sendiri masalahnya, 4 forderung Austria yang
diartikan sebagai menggiring seseorang ke arah yang diingikan, dan 5 fulgarisation Perancis menekankan penyederhanaan pesan bagi orang awam
Van Den Ban dan Hawkins, 1999.
Secara harafiah penyuluhan berasal dari kata suluh yang berarti obor ataupun alat untuk menerangi keadaan yang gelap. Dengan demikian, penyuluhan
dapat diartikan sebagai proses memberikan penerangan tentang sesuatu yang belum “diketahui.” Namun, penerangan yang dilakukan harus terus menerus
sampai segala sesuatu yang diterangkan benar-benar dipahami, dihayati dan dilaksanakan oleh masyarakat Mardikanto, 1993. Van Den Ban dan Hawkins
1999 mengartikan penyuluhan sebagai keterlibatan seseorang melakukan komunikasi secara sadar untuk membantu sesamanya berbagi pendapat sehingga
bisa membuat keputusan yang benar.
Asngari 2003 mengartikan penyuluhan sebagai kegiatan mendidik orang dengan tujuan mengubah perilaku klien sesuai yang dikehendaki. Ini merupakan
usaha memberdayakan potensi individu klien agar lebih berdaya dan mandiri. Berdasarkan pandangan tersebut disimpulkan bahwa kegiatan penyuluhan selalu
berorientasi pada perubahan perilaku serta penemuan baru dan mampu meningkatkan kesadaran dan rasa percaya diri individu. Karena itu Asngari 2008
lebih lanjut menekankan pentingnya mengembangkan falsafah penyuluhan antara lain: 1 falsafah mendidik, 2 falsafah pentingnya pribadi individu, 3 falsafah
demokrasi, 4 falsafah bekerja bersama antara penyuluhagen pembaharuan dengan klien, 5 falsafah membantu klien agar mereka mampu membantu diri
sendiri 6 falsafah membakar sampah secara tradisional dan 7 falsafah berkelanjutan.
Sumardjo 2008 mengemukakan bahwa kemampuan rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan adalah sejalan dengan efektivitas proses
belajar sosial yang dialaminya. Proses belajar menyebabkan rakyat memperoleh dan memahami informasi, kemudian secara kognitif memprosesnya menjadi
pengetahuan tentang adanya kesempatan dan melatih dirinya agar mampu berbuat konatif serta secara intrinsik termotivasi untuk mau afektif bertindak atas dasar
manfaat yang akan dapat diraihnya. Dikemukakan lebih lanjut bahwa keseluruhan proses ini merupakan ruang lingkup penyuluhan pembangunan dan menjadi
bagian utama yang harus dikembangkan dalam ilmu penyuluhan pembangunan.
Sumardjo 2008 mengemukakan bahwa pada falsafah penyuluhan terdapa
t makna “menolong orang agar mampu menolong dirinya sendiri, melalui pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraannya” Helping
people to help themselves through educational means to improve their level of living. Menyangkut falsafah ini, Asngari 2008 mengutip pikiran Tomson
Repley Bryant sebagai berikut :
“The whole extention philosophy is built on the idea of helping people to help themselves and getting them to realize that is their
interest to help them selves. It is essential that they will not get real help until they do it themselves.”
Falsafah penyuluhan tersebut juga sejalan dengan prinsip pemberdayaan Empowerment yang dikemukakan oleh Ife 2006
: “Empowerment means providing people with the resources, knowledge and skill to increase their
community. ” Maknanya adalah bahwa menyiapkan komunitas atau individu
dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian dan pengetahuan agar kapasitas komunitas meningkat sehingga dapat berpartisipasi menentukan masa depan.
Lebih lanjut Ife mengemukakan bahwa pemberdayaan bertujuan membangun kemandirian self reliance artinya, komunitas mencari atau berusaha
menggunakan sumberdaya lokal sendiri dari pada bantuan luar, baik SDM, SDA, keuangan dan teknik. Prinsip kemandirian bukan berarti tanpa bantuan orang lain
tetapi justru mendorong masyarakat untuk bekerjasama, berkontribusi partisipasi, bergantung satu sama lain dalam menyelesaikan sesuatu.
Mardikanto 1993 mengatakan bahwa materi penyuluhan pada hakekatnya merupakan segala pesan yang ingin dikomunikasikan penyuluh
kepada masyarakat sasarannya. Dengan kata lain, materi penyuluhan adalah pesan yang ingin disampaikan dalam proses komunikasi pembangunan. Dengan
demikian, materi penyuluhan adalah sgala sesuatu yang di sampaikan oleh penyuluh kepada individu atau masyarakat sasaran.
Dalam kaitan dengan materi penyuluhan, Mardikanto Margono, 2003 mengatakan beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1 pentingnya
pengembangan kebiasaan untuk mengkritisi setiap materi belajar, terutama setiap inovasi yang belum teruji di wilayah calon penerima manfaat; 2 selalu mengacu
kepada kebutuhan calon penerima manfaat; 3 materi belajar tidak harus benar- benar baru tetapi dapat berupa praktek lama, kebiasaan atau teknologi yang telah
dikembangkan masyarakat setempat dan 4 sumber materi belajar tidak selalu berasal dari pakar, orang lain atau texbook atau surat kabar, majalah, radio, TV
akan tetapi lebih diutamakan dari pelaku-pelaku setempat yang telah berpengalaman yang disampaikan secara lisan dalam diskusi, pertemuan-
pertemuan, percakapan informal dan lain
–lain. Metode penyuluhan menurut Ibrahim dkk. 2003 adalah cara-cara
penyampaian materi penyuluhan secara sistematis sehingga materi penyuluhan tersebut dapat dimengerti dan diterima oleh masyarakat sasaran. Pengalaman
menunjukan bahwa metode penyuluhan sangat berperan dalam menunjang keberhasilan program penyuluhan karena sebaik apapun materi penyuluhan yang
disampaikan tidak akan mampu merubah perilaku sasaran yang diinginkan bila metode peyuluhan yang digunakan kurang tepat.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih metode
penyuluhan menurut Slamet dan Asngari Sumardjo 2008, yaitu sebanyak banyaknya sasaran yang harus dilayani, sesering-seringnya berinteraksi dengan
sasaran dan semurah-murahnya tetapi menjadi media pengalaman yang efektif. Lebih lanjut dijelaskan, penggunaan metode-metode penyuluhan harus didasarkan
pada persyaratan sebagai berikut: 1 sesuai keadaan sasaran, 2 cukup dalam jumlah dan mutu, 3 tepat sasaran dan pada waktunya, 4 amanat harus mudah
diterima dimengerti dan 5 murah pembiayaannya atau efisien.
Setiap metode pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sumardjo 2008 mengemukakan bahwa pada prinsipnya, makin sedikit sasaran
belajar dengan menggunakan suatu metode yang sama cenderung makin efektif, tetapi sebaliknya cenderung makin tidak efisien. Dalam pelaksanannya, kegiatan
tersebut dapat dilakukan secara langsung face to face atau misalnya dengan telepon dapat pula dilakukan secara tidak langsung yaitu menggunakan surat dan
media massa tetapi um;pan balik tidak dapat terjadi secara spontan.
Mardikanto 1993 menyarankan untuk menerapkan beragam metode secara simultan yang saling menunjang dan melengkapi. Secara umum terdapat
banyak sekali metode yang dapat dipergunakan dalam setiap kegiatan penyuluhan antara lain: metode ceramah, diskusi, kunjungan lapang, magang, studi banding,
temu lapang dan lain-lain. Dengan demikian, setiap penyuluh setelah memperhatikan
kondisi keragaman
baik masyarakat
sasaran maupun
lingkungannya harus memahami dan mampu memilih atau mengkombinasikan metode penyuluhan yang paling sesuai untuk kegiatan penyuluhan yang akan
dijalaninya di masyarakat yang bersangkutan.
Dalam penjabaran yang cukup rinci berkaitan dengan metode, Mardikanto 1993 menyebutkan beberapa hal penting dalam penyuluhan, yaitu 1
pentingnya meninggalkan proses pendidikan yang menggurui, 2 penting membangun kebiasaan dan semangat belajar seumur hidup, 3 mendorong
kebiasaan sasaran untuk mengkritisi setiap materi belajar terutama setiap inovasi yang belum teruji di wilayah calon penerima manfaat, 4 penggunaan alat bantu
dan atau alat peraga tidak harus menggantungkan peralatanteknologi tertentu, tetapi dapat dimanfaatkan benda dari keadaan lapang dan 5 keadaan nara sumber
atau fasilitator bukan penentu atau pengambil keputusan tetapi cukup sebagai pemberi pertimbangan yang harus dicermati sesuai dengan kemampuan dan
sumberdaya yang dimiliki.
Mardikanto 1993 membagi media penyuluhan atas lima golongan yaitu: 1 bahan cetakan atau bacaan suplementary material seperti buku, komik,
koran, majalah, buletin, folder, pamflet, dan lain-lain; 2 alat-alat audio visual yang terdiri dari media tanpa proyeksi papan tulis, bagan, diagram, grafik, poster,
kartun, media tiga dimensi model, benda asli, benda tiruan, diodrama, boneka, peta, globe, museum, media dengan alat masinal slide film, film strip, rekaman,
radio, televisi, komputer dan lain
–lain; 3 sumber-sumber masyarakat berupa objek-objek: peninggalan sejarah, dokumentasi, bahan-bahan dan masalah-
masalah dari bebagai bidang daerah, penduduk, sejarah, idustri, kebudayaan, politik dan lain lain; 4 kumpulan benda material collection, berupa benda yang
dibawa oleh masyarakat seperti: daun yang terserang penyakit, bibit unggul dan lain-lain; dan 5 contoh berupa tingkah laku yang diperbuat penyuluh seperti:
melakukan gerakan tertentu menggunakan tangan dan lain-lain.
Dalam kaitan media dengan metode penyuluhan, Sumardjo 2008, menguraikan media penyuluhan ke dalam empat kategori, yaitu: 1 lisan, 2
tertulis atau tercetak, 3 terlihat atau terproyeksi dan 4 terperaga. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pada prinsipnya makin banyak indera sasaran belajar dilibatkan
dalam suatu proses belajar maka cenderung makin efektif.
Beberapa alasan penting mendasari urgensi penggunaan media penyuluhan menurut Ibrahim dkk 2003 yaitu: 1 menjadi sarana penyampaian pesan yang
tidak sepenuhnya
dapat dijelaskan
dengan menggunakan
kata-kata, 2 memperkuat penjelasan yang tidak dapat ditirukan oleh penyuluh dan
3 pesan-pesan yang disampaikan dengan menggunakan media tidak mudah hilang dari ingatan penerima dalam proses penyuluhan.
Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut
Terumbu karang memiliki nilai sumberdaya yang penting bagi masyarakat sekaligus sangat rentan terhadap gangguan. Polusi, penambangan karang, tangkap
lebih, penggunaan bahan peledak, racun potas dan sianida, pukat harimau dan cara tangkap lain yang tidak ramah lingkungan merupakan anacaman umum yang
dapat mengganggu kondisi lingkungan pesisir dan laut. Kegiatan –kegiatan di atas
mengganggu dan merusak fungsi, kesehatan dan keseimbangan ekologis terumbu karang. Kegiatan yang tidak bertangggung jawab ini, selain merusak ekosistem
dan lingkungan pesisir juga akan memberikan dampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada
keseimbangan dan produktivitas ekosistem sumberdaya pesisir dan laut Coremap, 2008.
Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat DPL –BM adalah daerah
pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat
setempat. Kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya merupakan hal terlarang di dalam kawasan DPL
–BM. Demikian pula akses manusia di dalam kawasan tersebut diatur dan sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan, pembatasan
dan larangan aktivitas tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk Peraturan Desa Tulungen dkk., 2002
DPL –BM merupakan salah satu metode yang efektif untuk mengatur
kegiatan perikanan, melindungi tempat ikan bertelur dan membesarkan larva, sebagai daerah asuhan juvenil, melindungi suatu wilayah dari kegiatan
penangkapan ikan yang berlebihan dan menjamin ketersediaan stok perikanan secara berkelanjutan. Secara khusus, tujuan penetapan Daerah Perlindungan laut
Berbasis Masyarakat adalah :
1 Mempertahankan dan meningkatkan produksi perikanan di sekitar daerah perlindungan.
2 Menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut. 3 Dapat dikembangkan sebagai tempat yang cocok untuk daerah tujuan
wisata. 4 Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat setempat.
5 Memperkuat kesadaran masyarakat sehingga dapat meningkatkan tanggung jawab untuk mengambil peran dalam mengelola sumberdaya
secara lestari. 6 Sebagai lokasi penelitian dan pendidikan keanekaragaman hayati pesisir
dan laut bagi masyarakat luas. Pembentukan dan pengelolaan DPL
–BM harus dilakukan bersama antara masyarakat, pemerintah dan para pemangku kepentingan lain. Pemerintah
setempat harus bekerja sama dengan masyarakat dalam proses penentuan lokasi dan aturan DPL
–BM, penyelenggaraan pendampingan bagi masyarakat serta bantuan teknis dan dukungan pendanaan. Masyarakat dan pemerintah juga dapat
membangun kerja sama dengan pihak lain seperti LSM dan swasta untuk membentuk dan mengelola DPL
–BM Coremap, 2008. DPL
–BM secara khusus dapat ditetapkan di suatu kawasan yang aktivitas perikanannya sudah berlangsung lama dan habitat terumbu karangnya mungkin
mulai rusak oleh aktivitas manusia. Perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan dan kegiatan manusia lainnya akan
memberikan kesempatan bagi terumbu karang yang sudah rusak untuk kembali hidup dan berkembang biak. Bibit dari organisme hidup yang dibawa oleh arus
dari daerah sekitar DPL
–BM akan menetap dan menjadi besar dalam kawasan yang dilindungi tersebut. Kawasan terumbu karang yang kaya akan nutrien dan
tempat hidup akan menyediakan kebutuhan bagi ikan untuk tumbuh dan berkembang biak.
Pada dasarnya DPL –BM juga akan menarik ikan dari daerah yang
berdekatan sebagai tempat mencari makan dan berkembang biak. Ikan – ikan
kecil juvenil akan terbawa arus dan selanjutnya akan menetap di dalam kawasan DPL
–BM. Seiring dengan berjalannya waktu, juvenil tersebut akan membesar sehingga jumlah ikan yang menetap di DPL
–BM akan semakin padat. Hal ini menyebabkan ikan
– ikan yang berkembang di wilayah DPL–BM akan berenang dan menetap di sekitar kawasan luar DPL
–BM. Nelayan dapat terus menerus menangkap ikan di luar kawasan DPL
–BM karena adanya suplai ikan yang konsisten dari kawasan. Dengan demikian, DPL
–BM merupakan ”bank ikan” yang membantu menambah jumlah ikan di luar kawasan DPL
–BM.