Emphaty, yaitu perhatian secara individual yang diberikan perusahaan kepada
26 website, dan lain-lain. Informasi-informasi yang diperoleh melalui metode ini
dapat memberikan ide-ide baru dan masukan berharga kepada perusahaan, sehingga memungkinkannya untuk bereaksi dengan tanggap dan cepat untuk
mengatasi masalah-masalah yang timbul. Berdasarkan karakteristiknya, metode ini bersifat pasif, karena perusahaan menunggu inisiatif pelanggan untuk
menyampaikan keluhan dan pendapat. 2.
Ghost Shopping Dengan metode ini, perusahaan mempekerjakan beberapa orang ghost
shoppers untuk berperan atau berpura-pura sebagai pelanggan potensial produk perusahaan atau pesaing. Berdasarkan pengalamannya tersebut, mereka kemudian
diminta melaporkan temuan-temuannya berkenaan dengan kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing.
3.
Lost Customer Analysis Perusahaan menghubungi para pelanggan yang telah berhenti membeli atau
yang telah pindah pemasok agar dapat memahami mengapa hal itu terjadi sehingga dapat mengambil kebijakan perbaikan atau penyempurnaan selanjutnya.
Peningkatan customer loss rate menunjukkan kegagalan perusahaan dalam memuaskan
pelanggannya. Kesulitan
metode ini
adalah pada
saat mengidentifikasi atau mengontak mantan pelanggan yang bersedia memberikan
masukan dan evaluasi terhadap kinerja perusahaan. 4. Survei Kepuasan Pelanggan
Pengukuran kepuasan pelanggan dengan metode ini dapat dilakukan melaui pos, telepon, maupun wawancara pribadi. Survei kepuasan pelanggan dapat
dilakukan dengan berbagai cara Tjiptono, 2008, diantaranya adalah : a.
Directly Reported Satisfaction Pengukuran ini dilakukan dengan menanyakan langsung tingkat kepuasan
yang dirasakan oleh pelanggan. b.
Derived Satisfaction Pengukuran ini mirip dengan pengukuran kualitas jasa SERVQUAL.
Pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama, yaitu tingkat harapan pelanggan terhadap kinerja produk, persepsi pelanggan terhadap kinerja
aktual produk, alternatif lain tingkat kepentingan masing-masing atribut atau kinerja ideal juga bisa ditanyakan. Responden diberi pertanyaan mengenai
seberapa besar mereka mengharapkan suatu atribut tertentu dan seberapa besar yang mereka rasakan.
c. Problem Analysis
Responden diminta mengungkapkan masalah-masalah yang dihadapi berkaitan dengan produk atau jasa perusahaan dan saran-saran perbaikan.
Kemudian perusahaan akan melakukan analisis content terhadap semua masalah dan merumuskan saran perbaikan untuk mengidentifikasi bidang-
bidang utama yang membutuhkan perhatian dan tindak lanjut segera.
d. Importance Performance Analysis
Dalam metode ini, responden diminta untuk menilai tingkat kepentingan berbagai atribut yang relevan dan tingkat kinerja perusahaan pada masing-
masing atribut tersebut. Kemudian nilai rata-rata tingkat kepentingan atribut dan kinerja perusahaan tersebut akan dianalisis di matriks Importance
Performance. Matriks ini sangat bermanfaat sebagai pedoman dalam mengalokasikan sumberdaya organisasi yang terbatas pada bidang spesifik,
27 dimana perbaikan kinerja bisa berdampak besar pada kepuasan total. Selain
itu, matriks ini juga menunjukkan bidang atau atribut tertentu yang perlu dipertahankan dan aspek-aspek yang perlu dikurangi prioritasnya.
Loyalitas Konsumen a.
Konsep Loyalitas Konsumen Konsumen yang merasa puas terhadap suatu produk atau merek yang
dikonsumsinya akan melakukan pembelian ulang terhadap produk tersebut. Pembelian ulang yang dilakukan konsumen secara terus menerus terhadap sutau
produk dan merek menunjukkan adanya loyalitas. Hal ini disebut loyalitas merek Sumarwan 2003. Menurut Aaker 1997, loyalitas merek adalah suatu ukuran
keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke produk merek
lain, terutama jika didapati adanya perubahan pada merek tersebut, baik menyangkut harga maupun atribut lain. Loyalitas merek merupakan elemen
penting yang membentuk perilaku konsumen. Konsumen yang loyal akan melakukan pembelian ulang sehingga penjualan perusahaan akan meningkat.
b.
Pengukuran Loyalitas Konsumen Menurut Aaker 1997, loyalitas konsumen diukur berdasarkan tingkatan
sebagai berikut : 1. Switcher buyer
Switcher buyer adalah tingkat loyalitas yang paling dasar. Semakin tinggi frekuensi pelanggan untuk memindahkan pembeliannya dari suatu merek ke
merek yang lain mengindikasikan mereka sama sekali tidak loyal pada merek tersebut. Dalam hal ini, merek memegang peranan yang kecil dalam keputusan
pembelian. Ciri paling jelas dalam kategori ini adalah mereka membeli suatu merek karena banyak konsumen lain membeli merek tersebut karena harganya
murah. 2. Habitual buyer
Habitual buyer adalah pembeli yang tidak mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi suatu merek produk. Pembeli ini puas terhadap merek produk
yang dikonsumsinya. Pada dasarnya, pada tingkatan ini tidak ada alasan yang kuat baginya untuk membeli merek produk lain atau berpindah merek, terutama jika
peralihan itu membutuhkan usaha, biaya, atau pengorbanan lain. Pembeli ini membeli suatu merek karena alasan kebiasaan.
3. Satisfied buyer
Satisfied buyer adalah kategori pembeli yang puas dengan merek yang mereka konsumsi. Namun mereka dapat saja berpindah merek dengan
menanggung switching cost biaya peralihan, seperti waktu, biaya, atau risiko yang timbul akibat tindakan peralihan merek tersebut. Untuk menarik minat
pembeli kategori ini, maka pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung oleh pembeli ini dengan menawarkan berbagai manfaat yang cukup
besar sebagai konpensasinya switching cost loyal. 4. Liking the Brand
Liking the Brand adalah kategori pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Rasa suka didasari oleh asosiasi yang berkaitan dengan simbol,
rangkaian pengalaman menggunakan merek itu sebelumnya, atau persepsi kualitas