PERBEDAAN COPING STRESS PADA ANAK SULUNG DAN BUNGSU DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejumlah ahli berpendapat masa anak merupakan masa terpanjang dalam
rentang kehidupan, masa dimana terjadinya periode perkembangan dan
pertumbuhan yang dimulai dari periode prenatal sampai remaja. Pada rentang
perkembangan dan pertumbuhannya seorang anak akan melewati periode penting,
berupa perkembangan kritis atau yang disebut juga golden age yang terjadi pada
rentangan usia 0-4 tahun.
Pada masa prenatal sampai remaja, anak akan mengalami pertumbuhan sesuai
dengan tahapan perkembangannya. Tahap-tahap perkembangan mencakup: (a)
masa prenatal yang dimulai dari masa konsepsi sampai masa lahir; (b) masa bayi
dan tatih dimulai saat usia 18 bulan pertama sampai umur 3 tahun; (c) masa
kanak-kanak pertama dengan rentang usia 3-6 tahun, dikenal juga dengan masa
pra sekolah; (d) masa kanak-kanak kedua merupakan masa sekolah dengan
rentang usia 6-12 tahun; (e) masa remaja masa mencari identitas diri dengan
rentang usia 12-18 tahun (Hawadi, 2001).
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak, meliputi
faktor heredokonstitusional seperti gen (DNA) dan lingkungan seperti faktor gizi,
penyakit, keluarga, sosial ekonomi, pendidikan, budaya, agama dan lain-lain

adalah hal-hal yang berkontribusi dalam membentuk kepribadian anak, baik
secara positif atau sebaliknya (Hasan, 2005). Artinya, perkembangan motorik,
kognitif dan afektif anak sangat dipengaruhi oleh perlakuan orang-orang terdekat,
orang tua, pengasuhan dan lingkungan anak.
Hasil penelitian The Rainer Foundation menyebutkan, perkembangan emosi
anak yang positif akan didapatkan bila orang tua dapat memberikan rangsangan
berupa

kehangatan,

cinta

kasih

tulus,

sentuhan,

pelukan,


senyuman,

mendengarkan dengan penuh perhatian, menanggapi ocehan anak, melakukan
percakapan dengan suara lembut dan memberikan rasa aman terhadap anak.
1

2

Sebaliknya, anak yang dibesarkan dalam keluarga yang kurang harmonis, penuh
konflik, gap communication dan tidak menerapkan pola asuh yang baik, akan
menjadikan anak memiliki perkembangan emosi yang terganggu (Rahardjo,
2006).
Brown (1961) mengatakan bahwa keluarga adalah lingkungan yang pertama
kali menerima kehadiran anak. Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi
yang salah satu diantaranya ialah mengasuh putra-putrinya. Dalam mengasuh
anaknya, orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada dilingkungannya.
Disamping itu, orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu untuk
memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut
tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda, karena
orang tua mempunyai pola pengasuhan tertentu.

Keluarga merupakan lembaga pertama dan utama dalam kehidupan anak,
tempat belajar, menyatakan diri sebagai makhluk sosial dan tempat pertama kali
anak berinteraksi. Pengalaman berinteraksi di dalam keluarga akan menentukan
pula pola perilaku anak tehadap orang lain dalam lingkungannya (Tarmudji,
2001).
Hurlock (2002), menyebutkan bahwa perkembangan emosi anak akan optimal
jika orang tua dapat memberikan pengasuhan yang efektif. Pola asuh orang tua
yang berkualitas, secara bertahap akan mendorong potensi anak menjadi pribadi
yang memiliki kemampuan kecerdasan yang tinggi, pengendalian emosi yang baik
dan spiritual yang tertata.
Dimana dalam hal ini peranan orang tua, ayah atau ibu mereka sebagai
pengasuh dan pendidik memegang peranan yang dominan dalam hal membentuk
kepribadian anak-anaknya. Selain itu orang tua juga menentukan kemana keluarga
akan dibawa dan apa yang harus diberikan sebelum anak-anak dapat bertanggung
jawab pada dirinya sendiri, ia masih tergantung dan sangat memerlukan bekal dari
orang tua. Oleh karena itu anak tidak dapat dipisahkan dari keluarganya.
Seperti yang kita ketahui bersama, keluarga khususnya orang tua memegang
peranan utama dan pertama bagi pendidikan anak, mengasuh, membesarkan dan
mendidik anak merupakan tugas mulia yang tidak lepas dari berbagai halangan


3

dan tantangan. Segala perlakuan orang tua yang berupa tindakan dan ucapan yang
bertujuan untuk menumbuh kembangkan anak disebut pola asuh orang tua. Yusuf
(2011) menambahkan, terdapat tiga pola asuh yang biasa diterapkan orang tua
terhadap

anak-anaknya

yang

memberikan

dampak

tersendiri

terhadap

perkembangan emosi dan kepribadian anak. Ketiga pola asuh tersebut diantaranya

authoritarian, permissive dan authoritative.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) pada tahun 2005
menerima 700 kasus pengaduan kekerasan anak dan 138 kasus diantaranya
terbukti orang tua melakukan tindak terhadap anak. Misalnya, kasus yang terjadi
pada An. Y (3 tahun) dan An. K (11 Bulan) yang dibakar oleh ibunya sendiri
Mrs.Y (29 tahun) dengan alasan beban ekonomi yang lama menghimpit keluarga,
atau kasus yang terjadi pada An. W (9 tahun), yang tubuhnya terkelupas karena
disetrika dan dipukul dengan tambang oleh ayahnya Mr.J, yang diduga mencuri
uang seratus ribu rupiah miliknya. Bila perlakuan dan kondisi ini terus
berlangsung pada setiap pola asuh orang tua terhadap anaknya, tidak menutup
kemungkinan banyaknya anak Indonesia yang mengalami trauma hidup dengan
membenci orang tua sebagai figure yang jahat dan kejam serta banyak ditemukan
anak-anak Indonesia yang bermasalah secara fisik, mental, sosial, neuorosis,
psikosis yang kerap menjadi beban bangsa (Hidayah, Maret 2006).
Cara terbaik untuk dapat mewujudkan kepribadian anak yang konstruktif,
menurut Baumrind (dalam Santrock, 2002) hendaknya para orang tua tidak
menghukum

atau


mengucilkan

anak,

tetapi

menggantinya

dengan

mengembangkan aturan-aturan bagi anak dan mencurahkan kasih sayang yang
tulus. Orang tua harus menjadi lebih sabar dan tenang ketika mendisiplinkan anak
untuk hal-hal tertentu.
Jika tidak, penerapan pola asuh yang kurang pas terhadap anak sering
menimbulkan masalah baru seperti ketakutan dan stress. Stress adalah stimulus
atau situasi yang menimbulkan distress dan menciptakan tuntutan fisik dan psikis
pada individu. Stress jelas membutuhkan coping dan adaptasi. Sindrom adaptasi
umum atau teori Selye, menggambarkan stress sebagai kerusakan yang terjadi
pada tubuh tanpa mempedulikan apakah penyebab stress tersebut positif atau


4

negatif. Respons tubuh dapat diprediksi tanpa memperhatikan stresor atau
penyebab (Isaacs, dalam Sriati, 2008).
Stress merupakan reaksi atau respons tubuh terhadap stresor psikososial
(tekanan mental atau beban kehidupan). Stress dewasa ini digunakan secara
bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan
yang tidak disukai, berupa respons fisiologis, perilaku dan subjektif terhadap
stress (WHO, dalam Sriati, 2008).
Menurut Alvin (dalam Pranadji & Nurlela, 2009), anak-anak masa kini
menghadapi apa yang seharusnya menjadi masalah orang dewasa lebih dini dalam
kehidupannya. Tidak seperti anak-anak di generasi lalu yang memiliki banyak
waktu untuk bermain bersama dengan teman-temannya. Hasil penelitian, sekitar
60% anak-anak di Jabotabek dan beberapa kota besar lebih banyak menghabiskan
waktunya mengikuti kegiatan les sepulang sekolah.
Fenomena menarik yang sekarang perlu diamati adalah semakin mudanya usia
pada penderita stress. Jika beberapa tahun lalu, stress lebih banyak dialami oleh
usia produktif di atas 20 tahun, kini stress banyak diderita oleh anak sampai usia
remaja. Bahkan dalam beberapa kasus, anak-anak banyak diperkirakan telah
mengalami stress. Yang berhubungan dengan fenomena tersebut, seperti

pengasuhan orang tua dan traumatis anak. Sehingga, menimbulkan cara untuk
menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap masalah dan tekanan yang menimpa
anak. Usaha-usaha tersebut disebut sebagai perilaku coping yang dilakukan
individu untuk menyeimbangkan emosi dalam situasi yang penuh tekanan
(Solomon, dalam Milyawati & Hastuti, 2009).
Coping dilakukan untuk memberikan reaksi terhadap tekanan yang berfungsi
untuk memecahkan, mengurangi dan menggantikan kondisi yang penuh tekanan.
Menurut Lazarus (2003), strategi coping merupakan penyesuaian diri dari
berbagai bentuk tekanan yang berasal dari lingkungan maupun personal yang
dianggap di luar batas kemampuannya. Coping merupakan usaha kognitif dan
behavioral untuk menurunkan, meminimalisasi dan menahan tuntutan. Strategi
coping digunakan sebagai upaya untuk mengadaptasi berbagai stressor dan

5

menghindarkannya dari berbagai tindakan maladaptif akibat stressor pada
individu.
Menurut Corey (1995) urutan kelahiran dan interpretasi terhadap posisi
seseorang dalam keluarga berpengaruh terhadap cara seseorang berinteraksi akibat
situasi psikologis yang berbeda pada urutan kelahiran tersebut. Adapun urutan

kelahiran yang diidentifikasikan oleh Adler adalah anak tunggal, anak sulung,
anak tengah dan anak bungsu. Dengan memahami konsep teori Adler tersebut,
dimungkinkan bahwa terdapat perbedaan tentang cara individu beradaptasi
terhadap stressor yang dihadapi.
Kemandirian dan cara individu mengadaptasi stress juga muncul karena
adanya perbedaan cara hidup yang dimiliki dan urutan kelahirannya. Selain
membentuk karakter tertentu, urutan kelahiran juga memunculkan sindrom
tertentu. Hurlock (2002) mengemukakan terdapat beberapa perbedaan sindrom
antara anak sulung dan anak bungsu. Anak sulung cenderung bersikap
bergantung, mudah dipengaruhi dan manja, sedangkan anak bungsu lebih manja,
merasa tidak mampu atau rendah diri serta tidak bertanggung jawab.
Mengingat perbedaan-perbedaan dalam dinamika keluarga yang terlihat
dengan urutan kelahiran, tidak mengherankan bahwa anak-anak yang lahir duluan
dan yang lahir belakangan memiliki karakteristik yang berbeda. Anak-anak yang
lahir duluan lebih berorientasi dewasa, suka menolong, dapat menyesuaikan diri,
cemas dan dapat mengendalikan diri dibandingkan saudara-saudaranya yang lahir
kemudian. Orang tua memberi lebih banyak perhatian kepada anak-anak yang
lahir duluan dan ini berkaitan dengan perilaku pengasuhan anak-anak yang lahir
duluan. Tetapi beberapa tekanan yang sama yang dikenakan kepada anak-anak
yang lahir duluan dari pada yang lahir kemudian untuk berprestasi tinggi dapat

menjadi sebab mengapa mereka juga memiliki rasa bersalah yang tinggi, cemas,
sulit mengatasi situasi yang tidak menyenangkan dan lebih sering masuk klinikklinik bimbingan anak (Santrock, 2002).
Kondisi ini di perparah oleh kecenderungan dalam masyarakat yang
berpendapat bahwa anak sulung tentu lebih mandiri dari anak bungsu. Akibat
kondisi psikososial, anak pertama dipandang sebagai pewaris kebudayaan,

6

kekuasaan dan kekayaan, selain itu anak pertama juga diharapkan dapat menjadi
contoh bagi adik-adiknya. Kondisi ini juga berdampak pada cara orang tua
melakukan jalan keluar atau coping stress pada anak-anaknya (Hurlock, 2002).
Hasil penelitian Hamid (2004) menunjukkan bahwa orang tua cenderung
memperlihatkan perasaan marah, sedikit menekan dan melakukan nasihat yang
cukup panjang pada anak sulung ketika mengalami stress. Sebaliknya orang tua
cenderung menasehati ringan dan penuh hati-hati dalam memperlakukan pada
anak bungsunya, di samping anggapan bahwa anak bungsu adalah anak lemah dan
perlu diberikan perhatian lebih. Akibatnya, anak akan mencari cara tersendiri
untuk menghadapi stress yang datang.
Hasil penelitian Susonti dan Nathalina (2009), menemukan bahwa urutan
kelahiran, pola asuh orang tua, keterlibatan dan tanggung jawab yang diberikan

orang tua terhadap anak, mempengaruhinya dalam memilih perilaku coping
tertentu, seperti emotion focused coping dengan self-control, positive reappraisal
dengan problem focused coping dan plan problem solving dengan social support.
Dan social support merupakan perilaku coping yang dapat mendukung anak untuk
meminimalisir stress sehingga subjek dapat berkembang lebih baik dan memiliki
gambaran diri yang positif.
Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian ini lebih jauh dan berfokus “Adakah perbedaan coping stress pada anak
sulung dan bungsu ditinjau dari pola asuh orang tua”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini: Adakah perbedaan coping stress pada anak sulung dan bungsu ditinjau dari
pola asuh orang tua?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui adanya perbedaan coping stress pada anak sulung dan
bungsu ditinjau dari pola asuh orang tua.

7

D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat yang diharapkan dalam
penelitian ini:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah dan psikologis,
khususnya dalam disiplin psikologi perkembangan dan anak.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan dengan adanya penelitian ini, maka hasil-hasil yang telah dicapai
dapat dijadikan bahan pertimbangan dan dapat menjadi acuan bagi para orang
tua untuk dapat memberikan perlakuan atau pengasuhan secara bijak kepada
anak-anaknya dalam memahami kondisi stress dan coping terbaik yang
diterapkan.

PERBEDAAN COPING STRESS PADA ANAK SULUNG DAN BUNGSU
DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA

SKRIPSI

Oleh :
Yeni Mahdalina
07810025

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2012

i

PERBEDAAN COPING STRESS PADA ANAK SULUNG DAN BUNGSU
DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang
sebagai salah satu persyaratan untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi

Oleh :
Yeni Mahdalina
07810025

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2012

ii

iii

iv

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Perbedaan Coping Stress Pada Anak Sulung dan Bungsu
Ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan
bimbingan dan petunjuk serta bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Drs. Tulus Winarsunu, M. Si, selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang.
2. Diah Karmiyati, Dr. M. Si dan Lindayani Pusfiyaningsih, S. Psi., M. Si selaku
Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berguna, hingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
3. Dra. Cahyaning Suryaningrum, M. Si selaku dosen wali yang telah
mendukung dan memberi pengarahan sejak awal perkuliahan hingga
selesainya skripsi ini.
4. Kepala kelurahan Tompokersan Lumajang-Kabupaten Lumajang dan kepala
kelurahan Merjosari-Kabupaten Malang yang telah memberikan ijin dan
fasilitas bagi penulis untuk melakukan penelitian.
5. Warga Tompokersan dan Merjosari atas kerjasamanya yang telah mengisi
skala dalam penelitian ini.
6. Ayah dan ibu yang selalu memberi dukungan, doa dan kasih sayang sehingga
penulis memiliki motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Mas Marguan (alm), Mas Ali, Mbak Luluk, Adekku Syamsul, Adekku si
kembar (Sodiq dan Qodir), Mbah Kakung, Mbah Putri, Pak’lek, bulik, kakak
ipar dan ponakan yang Yeni sayangi terimakasih atas segala doa, pengertian,

i

kesabaran, bantuan, dan dukungan yang selalu memberikan perhatian
mendengarkan keluh kesah disaat Yeni bingung dan frustasi.
8. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu pengetahuan
kepada penulis dan segenap Staf Tata Usaha atas segala bantuannya selama
ini.
9. Teman-teman Angkatan 2007 khususnya Kelas A yang selalu memberikan
semangat sehingga penulis terdorong untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah banyak
memberikan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga
kritik dan saran demi perbaikan karya skripsi ini sangat penulis harapkan. Meski
demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti
khususnya dan pembaca pada umumnya.

Malang, 6 Januari 2012
Penulis

Yeni Mahdalina

ii

INTISARI

Yeni Mahdalina. (2012). Perbedaan Coping Stress pada Anak Sulung dan Bungsu
Ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua. Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang. Pembimbing : (1) Diah Karmiyati, Dr. M.Si. (2)
Lindayani Pusfiyaningsih, S.Psi. M.Si.
Kata kunci: Coping Stress, Anak Sulung dan Bungsu, Pola Asuh Orang Tua
Coping stress dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan individu
maupun kelompok individu baik secara kognisi maupun perilaku, untuk
mengurangi suatu kejadian yang penuh tekanan, yang muncul baik dari dalam diri
maupun dari lingkungan. Dalam mengasuh dan membesarkan anak-anaknya,
orang tua cenderung menggunakan pola asuh yang berbeda dan secara langsung
anak sulung dan bungsu memiliki coping stress tertentu. Setiap pola asuh coping
yang dilakukan juga memiliki karakteristik tertentu yang disesuaikan dengan
kondisi anak.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yaitu penelitian yang
menekankan analisisnya pada data-data numerical (angka) yang diolah dengan
metode statistika. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak sulung
dan bungsu. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak sulung dan bungsu
di Kelurahan Merjosari Malang yang berjumlah 216 orang, adapun jumlah subjek
dalam penelitian ini sebanyak 77 orang. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah skala. Analisis data yang digunakan pada
penelitian ini menggunakan teknik statistik.
Berdasarkan hasil penelitian menemukan bahwa ada perbedaan yang signifikan
(0,020