Kebijakan Pemerintah untuk Pengembangan Usaha Peternakan
38
perusahaan atau bukan perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang
memenuhi kriteria: 1 memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,00 lima
ratus juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 2 memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,00 tiga ratus juta
rupiah sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 dua milyar lima ratus juta rupiah. Konsepsi pengembangan kebijakan usaha kecil yang berbasis
produksi bersih dirumuskan dengan memenuhi alasan 1 landasan komponen faktor lingkungan kritis yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan
pengusaha kecil; 2 mencakup berbagai faktor yang berpengaruh pada kinerja usaha kecil bersangkutan baik internal maupun eksternal; 3 menerapkan
alternatif konsep produksi bersih dalam mewujudkan kegiatan kelompok usaha kecil yang berwawasan lingkungan; 4 mengoptimalkan aplikasi konsep produksi
bersih, melalui pengembangan kemampuan inovatif yang selaras dengan terjaganya kelestarian lingkungan. Alur pikir perumusan kebijakan usaha kecil
dimulai dengan penetapan kondisi nyata yang meliputi 1 usaha kecil memiliki kemampuan memenuhi permitaan pasar, dan 2 secara bersama para pengusaha
kecil mampu survive dan tumbuh berkembang secara konsisten serta selaras dengan perkembangan kualitas usahanya. Kedua hal tersebut mengindikasikan
bahwa usaha kecil dalam peran dan fungsinya berkemampuan untuk mengambil keputusan walaupun harus mengemban peningkatan risiko sebagi lembaga yang
semakin berpotensi mencemari lingkungan, dengan kegiatan produksi yang masih belum menerapkan konsep produksi bersih. Dengan kata lain, USP adalah satu
kesatuan komponen sistemik, terdiri atas input, proses dan output. Keterkaitan antar komponen tersebut dengan lingkungannya tampak pada Gambar 3.
Keterkaitan komponen input dengan lingkungan digambarkan melalui penggunaan sumberdaya alam. Kegiatan eksploitasi secara tidak berlebih harus
dilakukan untuk menjaga keseimbangan alam. Jika kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dilakukan secara berlebihan akan berpotensi merusak eksistensi
lingkungan di sekitarnya. Keterkaitan kedua adalah proses produksi dalam sistem kegiatan usaha
39
kecil dengan lingkungan. Proses merupakan pengolahan input untuk mengubah bentuk dan memberi nilai tambah. Dalam proses tersebut, apabila teknologi proses
yang digunakan tidak ramah lingkungan akan berpotensi menimbulkan perusakan atau pencemaran lingkungan. Kondisi ini ternyata tidak saja berlaku pada proses
yang mengeksploitasi sumberdaya dari alam namun dapat pula terjadi pada usaha mikro seperti pada usaha peternakan sapi perah.
Sumber : Alikodra 2002
Gambar 3 Interaksi usaha kecil dengan lingkungan.
Keterkaitan ketiga adalah antara output dalam sistem kegiatan usaha kecil dan lingkungan. Sebagai contoh pada usaha peternakan sapi perah, komponen
output berupa produk jika tidak dikelola dengan baik dapat berpotensi mencemari lingkungan atau membahayakan kelangsungan hidup konsumen, antara lain
produk yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Begitu pula halnya dengan penggunaan kemasan produk yang sulit didaur ulang dan limbah yang tidak
memenuhi baku mutu. Adanya keterkaitan antara sistem kegiatan usaha kecil dan lingkungan merupakan fakta yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan
usaha kecil, termasuk usaha kecil peternakan sapi perah. Secara ekologi, pembangunan seringkali merupakan gangguan terhadap
keseimbangan. Gangguan terjadi akibat adanya perubahan dan keseimbangan lama kepada keseimbangan baru yang memiliki potensi pengaruh terhadap
kestabilan sistem ekologi Achmadi 1992. Soemarwoto 1999 menyatakan kalau ditinjau dari sisi ekologi, proses pembangunan sebenarnya merupakan suatu
gangguan. Gangguan itu akan mempengaruhi keseimbangan lingkungan, yang kemudian akan kembali tercapai pada posisi baru setelah melalui proses
pembangunan.
Penggunaan sumberdaya
Perusakan pencemaran
Lingkungan Perusakan
pencemaran
Input Proses
Output Sistem kegiatan usaha kecil
40
Kebijakan pemerintah dalam memajukan usaha mikro, kecil dan menengah ditandai dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 6 Tahun 2007 yang
mengatur tentang kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah guna meningkatkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Inpres ini kemudian ditindaklanjuti melalui memorandum of understanding MoU antara pemerintah, perusahaan penjamin dan bank
pelaksana pada tanggal 9 Oktober 2007. MoU ini menghasilkan kesepakatan tentang pembiayaan usaha mikro, kecil dan menengah yang feasible namun belum
bankable dapat dibiayai dengan diberikan penjaminan kredit oleh perusahaan penjamin. Usaha layak atau feasible adalah hasil usaha calon debitur dinilai
menghasilkan laba sehingga mampu membayar bunga dan mengembalikan seluruh hutang pokok dalam jangka waktu yang ditentukan. Sedangkan usaha
belum bankable adalah calon debitur dilihat dari persyaratan administrasi masih kurang dan belum dapat menyediakan agunan tambahan sesuai ketentuan bank.
Produk kebijakan perbankan yang dikeluarkan Bank Indonesia tahun 2007 pada level operasional adalah Kebijakan dan Upaya Perbankan dalam Membantu
Pengembangan Usaha Kecil dan Koperasi. Pedoman ini memuat ketentuan tentang kewajiban perbankan untuk menyalurkan minimal 20 dari total kredit
untuk usaha kecil. Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi bank lokal tapi juga untuk bank asing dan campuran. Di sisi lain pembinaan usaha kecil mengalami
kendala karena pengusaha kecil belum memiliki daya mampu dan daya saing yang memadai. Kondisi tersebut disebabkan oleh: 1 kemampuan permodalan
rendah, 2 jenis usaha belum berorientasi pasar, 3 kemampuan manajemen lemah, 4 tidak memiliki akses komunikasi dan informasi, 5 tidak didukung
keahlian dan teknologi produksi pemasaran, 6 rentan terhadap persaingan, 7 lokasi usaha labil, dan 8 koordinasi vertikal dan horizontal antar instansi
pemerintah lemah. Secara umum pengembangan kebijakan usaha kecil yang berbasis
produksi bersih, berorientasi membantu para pengusaha kecil agar dengan kemampuan yang dimilikinya sejauh mungkin dapat menangani sendiri, atau
bersama kelompok, berbagai masalah yang terkait dengan pelestarian lingkungannya. Hal ini merupakan esensi sifat dari konsep produksi bersih.
41
Berbagai ketentuan dalam kebijakan tersebut juga perlu diselaraskan dengan pengembangan kegiatan bisnis yang harus dapat memenuhi kondisi sosial
setempat, dalam arti misalnya memberi peluang untuk ikut melakukan pengendalian sosial atau berpartisipasi memanfaatkan kebijakan yang ada.
Usaha kecil dalam prakteknya pada masa krisis ekonomi merupakan unit usaha yang tahan terhadap berbagai goncangan ekonomi, sehingga usaha kecil
akhir-akhir ini telah menjadi perhatian pemerintah untuk diberdayakan sehingga diharapkan mampu tumbuh dan berkembang dengan kekuatan sendiri. Hal ini
tidak terlepas dari keunggulan yang dimiliki oleh usaha mikro kecil meliputi 1 usaha mikro kecil bekerja dengan sangat efisien dimana pemilik merangkap
manajer, 2 risiko usaha relatif kecil dan ditanggung langsung oleh pemilik,3 fleksibel terhadap fluktuasi seperti harga, produk karena stok relatif
terbatas dan teknologi yang digunakan sederhana; 4 tidak terlalu tunduk pada peraturan hukum; 5 mudah keluar masuk pasar mengingat pendirian mudah,
modal terbatas dan mudah dibubarkan untuk masuk ke bisnis yang baru; 6 keuntungan langsung dapat dinikmati sendiri oleh pemilik Harimurti 1995.
Namun demikian usaha kecil juga mempunyai beberapa kelemahan antara lain: 1 tidak melakukan penelitian, sehingga kegagalan usaha sering terjadi; 2 tidak
melakukan perencanaan bisnis sehingga tidak tahan lama; 3 kekurangan informasi bisnis dan hanya mengandalkan pengalaman dan perkiraan saja;
4 tingginya labour turn over; 5 banyaknya biaya diluar pengendalian dan sering terjadi tumpang tindih dengan kepentingan pribadi; 6 pada umumnya
hanya mengandalkan pemilik, sehingga jika pemilik berhalangan maka kelangsungan hidup usaha akan terganggu.
UMK dapat dipandang sebagai aktor utama suksesnya pembangunan berkelanjutan, apabila di dalam menjalankan usahanya prinsip-prinsip pelestarian
fungsi lingkungan dapat dilaksanakan dengan baik. Namun kenyataannya saat ini kesadaran untuk melakukan pengelolaan lingkungan masih sangat rendah, upaya
pencapaian keuntungan yang sebesar-besarnya masih sangat dominan tanpa disertai upaya optimal untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan
akibat usaha tersebut. Kebijakan pengembangan dan pemberdayaan UMKM akan selalu melibatkan peran pemerintah, BI dan lembaga-lembaga lainnya yang peduli
42
UMKM. Sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Negara Koperasi dan UKM bahwa banyak departeman dan kementrian yang memiliki program yang terkait
dengan pengembangan UMKM, BUMN-BUMN yang memiliki program “community development” untuk UMKM, LSM-LSM, lembaga asing dan donor
yang memberikan perhatian demikian banyak kepada UMKM. Namun demikian jika UMKM masih juga belum banyak berkembang dan dianggap masih jauh dari
harapan, maka diperlukan kebijakan yang lebih kondusif, koordinatif dan integrated dalam membenahi sektor yang paling banyak menyangkut hajat hidup
orang banyak. Memahami permasalahan UMKM, agar dapat meneropong dengan lebih jelas, harus dilihat banyak dimensi dengan perspektif yang lebih luas.
UMKM dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain aspek pemasaran, produksi, SDM dan manajerial, legalitas, keuangan dan permodalan, ketenagakerjaan dan
aspek lainnya. Seluruh aspek tersebut selalu berkaitan dalam upaya pengembangan UMKM. Meskipun dari berbagai kajian dan kondisi di lapangan,
aspek pemasaran, SDM dan permodalan atau pembiayaan sering menjadi isu
terpenting dalam permasalahan yang dihadapi UMKM.
Kebijakan penyediaan bibit sapi perah dikembangkan oleh pemerintah Indonesia melalui pemberian Kredit Pengembangan Usaha Sapi Perah KPUSP,
Kredit Pola Model KUD, Program Kredit Sapi Perah Swadaya, Kredit Kontrak Sumba, PIR persusuan, kebijakan penyerapan susu rakyat oleh industri pengolah
susu dari tahun 1985 hingga tahun 1998, dan pengembangan program jangka panjang bidang sapi perah oleh Departemen Pertanian meliputi penyediaan bibit
yang bermutu, perbaikan mutu pakan, peningkatan pelayanan kesehatan ternak, pembinaan pasca panen dan pembinaan pemasaran.
Penyebaran sapi perah di Indonesia tidak merata, sejalan dengan karakteristik sapi itu sendiri dan bergantung pada besarnya permintaan susu di
suatu daerah. Menurut Suhartini 2001, usaha pemeliharaan sapi perah memerlukan persyaratan tertentu seperti faktor biologis yang membutuhkan
kondisi lingkungan tertentu, dengan dukungan sarana dan prasarana terutama adanya pasar, baik industri pengolahan susu maupun konsumen langsung.
Di Indonesia daerah yang potensial untuk mengembangkan peternakan sapi perah adalah Pulau Jawa, rata-rata dalam 10 tahun terakhir mencapai lebih
43
dari 97 dari total Indonesia, dan di Pulau Jawa yang paling kondusif dalam perkembangan peternakan sapi perah adalah di Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Menurut Sudono 2000 dan Ilham 2002, pertambahan jumlah kepemilikan tersebut berkaitan dengan nilai ekonomis dari pengusaha sapi perah,
dimana semakin banyak sapi laktasi semakin tinggi pendapatan. Sudono 2000 menyatakan bahwa produktivitas sapi perah di Indonesia
umumnya berkisar antara 10 dan 11 liter per ekor per hari, sedangkan di Amerika sudah lebih dari 18 sampai 21 liter per hari. Rendahnya produktivitas tersebut
disebabkan faktor manajemen yang berkaitan dengan pemberian pakan, pemilihan bibit dan penanganan panen serta penempatan peternakan sapi perah pada daerah
yang bersuhu diatas 21 C. Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas
adalah dengan melakukan pemilihan bibit yang baik dan penempatan sapi perah pada iklim yang cocok untuk sapi perah yaitu pada suhu berkisar antara 15
C dan 21
C. Berdasarkan hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
bekerjasama dengan Ditjen Peternakan Pertanian dan Fakultas Peternakan IPB tahun 1990 ditetapkan area pengembangan peternakan sapi perah dalam tiga area.
Area yang berada di atas ketinggian 700 m dpl dijadikan sebagai pusat produksi susu dengan jenis sapi perah FH murni. Wilayah dengan ketinggian antara 300
dan 700 m dpl lebih cocok dikembangkan jenis sapi perah hasil budidaya baik yang berasal dari parent stock atau final stock FS, sedangkan wilayah ketinggian
dibawah 300 m dpl dikembangkan jenis sapi perah persilangan dengan lokal. Selanjutnya Sofyar 2004 menyebutkan pembangunan sistem agribisnis
persusuan harus berazaskan kepada: 1 berdaya saing artinya mampu bersaing dengan produk lain yang sejenis dari manapun datangnya; 2 berkerakyatan
artinya dilakukan oleh masyarakat banyak, tidak dikelola oleh segelintir pihak saja; 3 terdesentralisasi, artinya tidak menumpuk pada satu tempat saja, tapi
merupakan suatu kesatuan dari mulai hulu on farm sampai dengan hilir off farm dan menyebar di seluruh tanah air; 4 berkelanjutan, artinya aktivitas usaha
persusuan tersebut harus memperhatikan aspek sumberdaya alam dan lingkungan yang ada agar kegiatan usaha persusuan tersebut dapat terus berjalan dan dapat
diwariskan kepada generasi penerus.
44
Untuk mendukung berkembangnya peternakan sapi perah, dari sisi agribisnis di Indonesia Direktorat Jenderal Peternakan 1992 membuat model
pendekatan kebijakan agribisnis peternakan sapi perah seperti tampak pada Gambar 4.
Kerjasama Pendekatan Agribisnis
Sapronak Budidaya
Pengolahan Pemasaran
IPS Dalam negeri dan
luar negeri GKSI
Bibit, pakan keswan
KUDKOPS Langkah
Konsolidasi Bibit :
- progam unggul - bibit unggul
- bersertifikat
AHI A. Peremajaan
sapi 5.000 sampai
10.000 ekor per tahun
B. Produksi koperasi
3.000 liter per hari
1. Pengolahan susu
sederhana pasteurisasi
2. Industri pengolahan
rumah tangga es
krim, yoghurt,
karamel 1. Memperpendek
mata rantai tata niaga
2. Pembayaran susu melalui jasa
bank dana setoran susu dan
tabungan peternak
Pakan : - Jaminan pakan
- Gemarampak - Mini feedmil
Keswan : - Mastitis
- Pelayanan Keswan
Keterangan :
AHI = Asosiasi Hewan Indonesia IPS = Industri Pengolahan Susu
GKSI = Gabungan Koperasi Susu Indonesia Sapronak = Sarana Produksi Ternak
KUDKOPS = Koperasi Unit DesaKoperasi Pengusaha Susu
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian Republik Indonesia 1992
Gambar 4 Siklus produksi pendekatan agribisnis sapi perah. Pengembangan agribisnis sapi perah berkelanjutan dalam satu kawasan
terpadu dilakukan dalam upaya agar lebih efisien dan efektif serta memudahkan lembaga koperasi untuk memberikan pelayanan faktor input, kesehatan ternak
dan kebutuhan lain peternak. Secara umum sistem agribisnis harus didukung oleh lima sub sistem, yaitu sub sistem agribisnis hulu, sub sistem usahatani, sub
sistem pengolahan, sub sistem pemasaran dan sub sistem penunjang. Keterkaitan antara kelima sub sistem tersebut seperti tampak pada Gambar 5.
45
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Pternakan, Departemen Pertanian Republik Indonesia 2003
Gambar 5 Keterkaitan Lima Sub Sistem dalam Sistem Agribisnis Sapi Perah.