Model for environmentally sound management of energy in the small islands, the case development of physic nut plantation to support renewable energy base electrical system in Nusa Penida, Bali

(1)

(Kasus Pengembangan Tanaman Jarak Pagar Mendukung Sistem

Listrik Berbasis Energi Terbarukan di Nusa Penida, Bali)

I KETUT ARDANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengelolaan Energi Berwawasan Lingkungan di Pulau-pulau Kecil: Kasus Pengembangan Tanaman Jarak Pagar Mendukung Sistem Listrik Berbasis Energi Terbarukan di Nusa Penida, Bali adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2009

I Ketut Ardana


(3)

I KETUT ARDANA. Model for environmentally sound management of energy in the small islands, the case: development of physic nut plantation to support renewable energy base electrical system in Nusa Penida, Bali. Under direction of BAMBANG PRAMUDYA N., MAHARANI HASANAH, and ARMANSYAH H. TAMBUNAN.

The increase of petroleum international market price cause the Indonesian Government impose a petroleum price policy that is rising the national fuel price. The policy, however, highly impact the community in the small islands, especially on the energy sector as the fuel price in the area is much higher than the national fixed market price. In contrast, sustainability of electric supply is needed for tourism development and for social economic activities in such area. To fulfill the electricity requirement in remote areas and small islands, Indonesian government runs the self-sufficient energy village program. In Nusa Penida, an area that consists of three islands in Bali Province, the program is run by developing Energy Tourism Area. The main goal of this study was to build a model of environmentally sound management of energy in the small islands, the case of Nusa Penida in Bali. The objectives of the study were to identify the potency of several local renewable energy resources, to analyze the financial feasibility of the use of the renewable energy, and to analyze the environmental impact of the renewable energy use in the small islands. Data analysis methods for energy in the small islands management were : the potency of renewable energy resources by descriptive method; financial feasibility by instruments of investment criteria (net present value, benefit cost ratio, and internal rate of return); and environmental impact by the change of environmental burden in decrease of diesel oil consumption and the emission of CO, NOx, SOx, and total particle. “RE-Nusa” model, the temporal dimension model of renewable energy management which was constructed by system dynamics approach, can predict the behaviour of the renewable energy management system in Nusa Penida. The system has a significant contribution on the electric production system during the period of May to August in every year. This results in a decrease of diesel power generation burden and diesel oil consumption in the island. It is therefore, the renewable energy management model, when is applied to the electrical system unit in Nusa Penida Island, will potentially reduce the emission of CO as 28.47%, NOx as 37.46%, SOx as 33.40%, and total particle as 30.582% for the next ten years.


(4)

I KETUT ARDANA. Model Pengelolaan Energi Berwawasan Lingkungan di Pulau-pulau Kecil : Kasus Pengembangan Tanaman Jarak Pagar Mendukung Sistem Listrik Berbasis Energi Terbarukan di Nusa Penida, Bali. Dibimbing oleh BAMBANG PRAMUDYA N., MAHARANI HASANAH, dan ARMANSYAH H. TAMBUNAN.

Dalam upaya memenuhi kebutuhan listrik di daerah terpencil dan pulau-pulau kecil, pemerintah meluncurkan program pengembangan desa mandiri energi. Sumberdaya alam (SDA) di pulau kecil yang dapat dijadikan sebagai alternatif sumber energi khususnya untuk pembangkit tenaga listrik antara lain: (1) kecepatan angin yang relatif tinggi, (2) intensitas cahaya matahari, dan (3) sumberdaya lahan untuk pengembangan tanaman penghasil bahan bakar nabati (BBN). Pemberdayaan sumberdaya lokal sebagai sumber energi untuk pembangkit listrik di pulau kecil tentu memerlukan manajemen yang secara komprehensif mengelola berbagai potensi alam dan lingkungan, sehingga dapat memberikan manfaat optimal bagi pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat. Namun demikian, pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan tersebut tidak sampai mengganggu fungsi ekologis, melainkan sedapat mungkin diupayakan mampu berfungsi sebagai tindakan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan itu sendiri. Berorientasi kepada tujuan pemenuhan kebutuhan listrik di pulau-pulau kecil melalui pemberdayaan sumberdaya lokal, telah dilakukan analisis berbagai aspek terkait, dan dengan pendekatan dinamika sistem dibangun model pengelolaan energi berwawasan lingkungan dengan mengambil kasus di Nusa Penida, Bali.

Neraca energi listrik dianalisis dengan trend pertumbuhan beban puncak unit jaringan listrik Nusa Penida (yang merupakan resultante dari pemakaian daya oleh rumah tangga dan aktivitas komersial), dan perkembangan daya mampu pembangkit listrik yang menggunakan tenaga diesel dan energi terbarukan. Potensi sumber energi terbarukan diestimasi melalui observasi dan analisis data kecepatan angin, radiasi matahari, dan kesesuaian lahan dan iklim untuk pengembangan tanaman penghasil BBN. Aspek ekonomi pemanfaatan energi terbarukan didekati dengan analisis kelayakan finansial yang menggunakan kriteria net present value

(NPV), benefit cost ratio (B/C), internal rate of return (IRR), dan analisis titik impas (break even point-BEP). Kajian aspek lingkungan difokuskan kepada penurunan beban lingkungan dari emisi gas buang pembangkit listrik dengan menggunakan teknik analisis spektrofotometri, titrimetri, grafimetri, dan kit tube detector. Keterkaitan antar elemen tujuan dan kendala pengelolaan energi di pulau kecil dianalisis dengan metode interpretative structural modelling (ISM).

Model pengelolaan energi berwawasan lingkungan di pulau-pulau kecil dibangun berdimensi temporal, diberi nama “Renewable Energy Nusa Penida”, disingkat menjadi RE-Nusa. Struktur model RE-Nusa terdiri atas submodel potensi sumber energi terbarukan, submodel neraca energi, dan submodel dampak lingkungan. Submodel potensi sumber energi terbarukan mencakup potensi tenaga angin, tenaga matahari, dan bahan bakar nabati. Submodel neraca energi mencakup tingkat pertumbuhan beban puncak unit jaringan listrik, tingkat pertumbuhan daya mampu unit jaringan listrik yang bersumber dari pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), pembangkit listrik tenaga angin (PLTB), dan pembangkit listrik tenaga


(5)

emisi karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), dan total partikel.

Model RE-Nusa mampu merepresentasikan dinamika sistem pengelolaan energy di Nusa penida dengan rata-rata penyimpangan (RMSE) <10%. Dengan demikian model RE-Nusa dapat diimplementasikan untuk melakukan proyeksi terhadap dinamika sistem pada masa mendatang.

Hasil proyeksi neraca energi unit jaringan listrik Nusa Penida untuk sepuluh tahun kedepan menunjukkan bahwa jika tidak dilakukan penambahan daya pada pembangkit listrik, maka pada tahun 2013 neraca listrik Nusa Penida akan mengalami defisit pada saat beban puncak tertinggi (bulan Desember). Untuk mengatasi defisit, penambahan daya sebesar 1000 kW perlu dilakukan setiap jangka waktu empat tahun. Kontribusi energi terbarukan yang dihasilkan dari PLTB dan PLTS terhadap daya mampu unit jaringan listrik Nusa Penida berfluktuasi, mencapai tingkat signifikan pada bulan-bulan Mei-Agustus setiap tahunnya. Perkembangan produksi BBN disamping dipengaruhi oleh musim panen pada bulan Maret-Juli setiap tahunnya, juga ditentukan oleh harga biji jarak di tingkat petani. Jika harga biji jarak lebih besar dari pada harga minimum (Rp 2.070/kg), maka luas areal pertanaman jarak akan berkembang mencapai target pengembangan seluas 1.000 ha. Sebaliknya jika harga biji jarak <Rp 2.070/kg, maka perkembangan areal pertanaman akan terhenti sampai 51,5 ha yang sudah dicapai pada tahun 2008. Kebutuhan BBN untuk mensubstitusi bahan bakar PLTD untuk sepuluh tahun kedepan tidak mampu dipenuhi dengan program pengembangan tanaman jarak pagar seluas 1.000 ha.

Proyeksi pengurangan penggunaan solar sebagai akibat kontribusi produksi listrik PLTB dan PLTS, serta substitusi BBN terhadap bahan bakar PLTD sampai dengan 10 tahun kedepan, mencapai 11.933-126.514 l/bl. Pengurangan tertinggi (126.514 l/bl) terjadi pada bulan Agustus dan terendah (11.933 l/bl) terjadi pada bulan Pebruari. Dampak kumulatif pengurangan penggunaan solar sebagai akibat kontribusi produksi listrik PLTB dan PLTS, serta substitusi minyak jarak, dapat mencegah peningkatan konsentrasi CO, NOx, SOx, dan partikel debu di udara melalui penurunan kadar zat-zat tersebut pada emisi yang ditimbulkan oleh PLTD. Implementasi model RE-Nusa untuk pengelolaan energi listrik di Nusa Penida sampai dengan tahun 2018 berpotensi menurunkan emisi CO 2,65-28,47%, NOx 2,65-37,46%, SOx 2,65-33,40%, dan partikel debu 2,65-30,58%.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

(Kasus Pengembangan Tanaman Jarak Pagar Mendukung Sistem

Listrik Berbasis Energi Terbarukan di Nusa Penida, Bali)

I Ketut Ardana

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

Mendukung Sistem Listrik Berbasis Energi Terbarukan di Nusa Penida, Bali

NIM : P.061060131

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N.,M.Eng Ketua

Prof. Dr. Ir. Maharani Hasanah, M.S. Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan, M.Sc. Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,M.S.


(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Abdul Kohar Irwanto, M.Sc

(Staf Pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor)

2. Prof. Dr. Ir. Zainal Mahmud, MS

(Peneliti Utama pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian)

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Dadan Kusdiana

(Kepala Subdit Energi Pedesaan, Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral)

2. Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali

(Kepala Pusat Penelitian Surfaktan dan


(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karuniaNya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan April 2007 sampai dengan Agustus 2008 ini adalah energi, dengan judul Model Pengelolaan Energi Berwawasan Lingkungan di Pulau-Pulau Kecil: Kasus Pengembangan Tanaman Jarak Pagar Mendukung Sistem Listrik Berbasis Energi Terbarukan di Nusa Penida, Bali.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng., Ibu Prof. Dr. Ir. Maharani Hasanah, MS. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan selaku pembimbing. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. M. Sri Saeni, MS. (alm) atas bimbingan beliau selama penyusunan rencana penelitian, pelaksanaan pengumpulan dan analisis data, dan penyusunan draf para seminar hasil penelitian. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada manajer beserta staf PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) Wilayah Bali, khususnya Unit Jaringan Nusa Penida, Bapak Ir. Dibyo Pranowo dari Kebun Induk Jarak Pakuwon, serta Kepala dan staf Laboratorium Terpadu IPB, yang telah membantu selama pengumpulan data. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Soerjono H. Sutjahjo, MS. selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, beserta staf atas dorongan, motivasi, dan pelayanan selama penulis menjalani 11 langkah penyelesaian program doktor. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian atas Beasiswa yang diberikan selama penulis menjalani tugas belajar. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan beserta staf atas izin dan dukungan moral yang diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2009


(11)

Penulis dilahirkan di Bengkala, Bali pada tanggal 25 Pebruari 1962 dari pasangan I Gede Wijana dengan Ni Nyoman Winti. Penulis menikah dengan Innawati, A.Md. dikaruniai seorang putera bernama I Gede Pratiaksa Ardanugraha. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Mataram, lulus tahun 1987. Pada tahun 2001 penulis diterima di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2006 dengan beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan sejak tahun 1989. Selama bekerja penulis pernah menduduki jabatan struktural sebagai Kepala Subbidang Penyaluran Hasil Penelitian (1999-2001) dan sebagai Kepala Subbidang Pendayagunaan Hasil Penelitian (2005-2006).

Selama mengikuti program doktor, penulis menjadi wakil ketua Forum Petugas Belajar Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian di IPB periode 2007/2008. Sebuah artikel berjudul Analisis Kebijakan Pengembangan Tanaman Jarak Mendukung Kawasan Mandiri Energi di Nusa Penida, Bali sudah diterbitkan pada Jurnal Penelitian Tanaman Industri Vol. 14 No. 4. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis.


(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ……….. v

DAFTAR GAMBAR ………. viii

DAFTAR LAMPIRAN ………. x

I. PENDAHULUAN ………. 1

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Tujuan Penelitian ………... 3

1.3. Kerangka pemikiran ………... 3

1.4. Manfaat Penelitian ………... 4

1.5. Novelty ………... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ………... 5

2.1. Pulau dan Pulau Kecil ……… 5

2.2. Energi ………. 7

2.2.1. Bahan Bakar Minyak (BBM) ……… 8

2.2.2. Energi Terbarukan (Renewable Energy)………. 8

2.2.2.1. Energi Radiasi Matahari ………..……… 9

2.2.2.2. Energi Tenaga Angin ……….. 10

2.2.2.3. Bahan Bakar Nabati ………. 11

2.2.3. Energi dan Kelestarian Lingkungan Hidup ……... 16

2.2.4. Kebijakan Energi Nasional………. 18

2.3. Pencemaran Udara……….. 19

2.3.1. Jenis dan sumber pencemar udara……..……… 20

2.3.2. Dampak pencemaran udara……… 21

2.4. Peran serta Masyarakat ………... 23

2.5. Sistem ………... 24

2.6. Penggunaan Sistem Dinamis ……… 26

2.7. Model ………... 26

2.8. Analisis Finansial ………... 28

III. METODE PENELITIAN ………. 30

3.1. Lokasi dan waktu Penelitian ………... 30


(13)

3.3.2. Identifikasi sistem ………. 32

3.3.3. Formulasi Masalah ……… 33

3.3.4. Teknik Analisis... 34

3.3.5. Permodelan Sistem ……… 39

3.3.6. Validasi Model ………. 40

3.3.7. Implementasi Model ………. 40

IV. POTENSI SUMBER ENERGI TERBARUKAN ... 41

4.1. Angin………... 41

4.2. Intensitas Radiasi Matahari………. 43

4.3. Bahan Bakar Nabati... 45

V. NERACA ENERGI LISTRIK DI NUSA PENIDA………... 53

5.1. Perkembangan Permintaan Listrik……… 53

5.2. Perkembangan Penyediaan Listrik………... 55

5.3. Pemenuhan Kebutuhan Listrik………... 60

VI. KELAYAKAN FINANSIAL PEMANFAATAN SUMBER ENERGI TERBARUKAN... 63

6.1. Kelayakan Finansial PLTB... 63

6.2. Kelayakan Finansial PLTS... 66

6.3. Kelayakan Finansial Pengembangan Tanaman penghasil BBN... 68

VII. DAMPAK LINGKUNGAN PEMANFAATAN SUMBER ENERGI TERBARUKAN... 72

7.1. Indikator Beban Lingkungan... 72

7.2. Dampak Lingkungan PLTD... 73

7.2.1. Kualitas Udara... 73

7.2.2. Kebisingan... 74

7.3. Dampak Lingkungan PLTB... 75

7.3.1. Kebisingan………... 75

7.3.2. Strobo………... 76

7.3.3. Kematian Fauna………... 76


(14)

VIII. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN ENERGI... 82

8.1. Orientasi Pengelolaan Energi di Nusa Penida………. 83

8.2. Kendala Pengelolaan Energi di Nusa Penida ... 85

8.3. Rancangan Kelembagaan Pengelolaan Energi di Nusa Penida………... 87

IX. MODEL PENGELOLAAN ENERGI DI NUSA PENIDA... 88

9.1. Pengembangan Model... 88

9.1.1 Submodel Potensi Sumber Energi Terbarukan... 88

9.1.2. Submodel Neraca Energi... 90

9.1.3. Submodel Dampak Lingkungan... 92

9.2. Validasi Model...………... 96

9.3. Implementasi Model………... 98

9.3.1. Neraca energy listrik unit jaringan Nusa Penida……….. 98

9.3.2. Kontribusi sumber energi terbarukan... 101

9.3.3. Penurunan beban lingkungan……… 106

9.4. Implikasi Kebijakan Pengelolaan Energi... 108

X. SIMPULAN DAN SARAN... 111

10.1. Simpulan... 111

10.2. Saran... 112

DAFTAR PUSTAKA ……….... 113


(15)

Halaman

2.1. Masalah dan peluang pulau-pulau Lautan Pasifik …………... 7

2.2. Pangsa konsumsi BBM persektor,Tahun 1994-2003 ... 8

2.3. Kandungan sulfur dalam bahan bakar minyak... 21

2.4. Jenis industri dan bahan pencemar udara yang diemisikan... 21

2.5. Pengaruh jenis pencemar terhadap manusia... 22

2.6. Konsentrasi ion pada larutan simulasi hujan asam………. 23

3.1. Jenis dan cara pengumpulan data untuk masing-masing variabel ... 31

3.2. Analisis kebutuhan pemangku kepentingan ... 32

3.3. Teknik analisis untuk masing-masing sub model dalam model pengelolaan energi di pulau kecil ... 35

4.1. Kecepatan angin di wilayah Nusa Penida... 41

4.2. Kecepatan angin rata-rata perbulan, bulan April 2007-Maret 2008... 42

4.3. Kecepatan angin tertinggi, bulan April 2007-Maret 2008... 42

4.4. Curah hujan dan jumlah hari hujan rata-rata bulanan di Nusa Penida, tahun 1991-2003... 43

4.5. Lama penyinaran di wilayah Nusa Penida………. 44

4.6. Prakiraan potensi radiasi matahari di Nusa Penida... 44

4.7. Hasil analisis contoh tanah di Nusa Penida... 46

4.8. Kisaran nilai karakteristik kimia tanah... 47

4.9. Proporsi fraksi menurut kelas tekstur tanah... 48

4.10. Proporsi fraksi tanah di daerah pengembangan tanaman jarak di Nusa Penida... 49

4.11. Curah hujan bulanan di Nusa Penida, tahun 1991-2003... 49

4.12. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan dan iklim untuk tanaman jarak pagar... 50

4.13. Karakteristik iklim Nusa Penida... 50

5.1. Daya mampu PLTD unit jaringan Nusa Penida, tahun 2008... 56

5.2. Kontribusi PLTB terhadap produksi listrik unit jaringan Nusa, tahun 2007 ... 58

5.3. Banyaknya rumah tangga menurut jenis penerangan yang digunakan perdesa di Kecamatan Nusa Penida, tahun 2006... 61


(16)

6.2. Analisis sensitivitas pengembangan PLTB terhadap perubahan harga

jual listrik pada tingkat bunga 12%... 65

6.3. Analisis sensitivitas pengembangan PLTB terhadap perubahan discount rate pada tingkat harga jual listrik Rp 2.500/kWh... 65

6.4. Analisis kelayakan finansial operasinal PLTB pada tingkat bunga 12%... 66

6.5. Analisis NPV dan B/C dan IRR pengembangan PLTS pada tingkat harga listrik Rp 700/kWh dan tingkat bunga 12%... 67

6.6. Analisis sensitivitas pengembangan PLTS terhadap perubahan harga jual listrik pada tingkat bunga 12%... 67

6.7. Analisis sensitivitas pengembangan PLTS terhadap perubahan discount rate pada tingkat harga jual listrik Rp 2.500/kWh... 67

6.8. Analisis kelayakan finansial usahatani jarak pagar perhektar pada tingkat harga biji = Rp 2.070/kg dan tingkat bunga 12%... 69

6.9. Analisis sensitivitas pengembangan usahatani jarak pagar terhadap perubahan produktivitas pada tahun ke 5-25, pada tingkat harga biji jarak Rp1.250/kg dan tingkat bunga 12%... 71

7.1. Kualitas udara ambien di Lokasi PLTD Kutampi, tahun 2007... 74

7.2. Tingkat kebisingan di sekitar lokasi PLTD... 74

7.3. Kontribusi produksi listrik PLTB dan pengurangan penggunaan solar untuk bahan bakar PLTD UJ Nusa Penida, tahun 2007 ... 75

7.4. Prediksi produksi listrik dari pembangkit listrik tenaga surya... 77

7.5. Prediksi kontribusi produksi listrik PLTS dan pengurangan penggunaan solar untuk bahan bakar PLTD UJ Nusa Penida ... 77

7.6. Hasil pengukuran emisi gas buang penggunaan bahan bakar solar dan minyak jarak... 78

8.1. Hubungan kontekstual tujuan pengelolaan energi di Nusa Penida... 83

8.2. Hubungan kontekstual kendala pengelolaan energi di Nusa Penida... 85

9.1 Data dasar untuk mendeskripsikan potensi sumber energi terbarukan... 90

9.2. Data dasar untuk mendeskripsikan neraca energi... 92

9.3. Data dasar untuk mendeskripsikan dampak lingkungan pemanfaatan energi terbarukan... 95

9.4. Keluaran model RE-Nusa untuk neraca listrik unit jaringan Nusa Penida, tahun 2007………. 96

9.5. Keluaran model RE-Nusa untuk produksi listrik unit jaringan Nusa Penida, tahun 2007………. 96


(17)

9.7. Hasil validasi model terhadap data empirik produksi listrik UJ Nusa Penida, pada bulan Januari-Desember 2007... 97 9.8.

Hasil simulasi neraca listrik unit jaringan Nusa Penida, tahun 2007……. 98

9.9.

Hasil simulasi neraca listrik unit jaringan Nusa Penida dengan energi terbarukan, tahun 2011………... 99 9.10. Hasil simulasi neraca listrik unit jaringan Nusa Penida dengan

penambahan 8 unit PLTB, tahun 2012... 100 9.11. Hasil simulasi neraca listrik unit jaringan Nusa Penida, tahun 2013

(dilakukan penambahan daya PLTD sebesar 1.200 kW pada tahun 2012)... 101 9.12. Hasil simulasi daya mampu UJ Nusa, tahun 2013 (tanpa penambahan

daya pada PLTD )... 102 9.13. Hasil Simulasi Neraca Listrik UJ Nusa, tahun 2013 (dilakukan

penambahan daya PLTD sebesar 1.200 kW pada tahun 2012)……... 102 9.14. Hasil simulasi kontribusi sumber energi terbarukan terhadap produksi

listrik UJ Nusa, tahun 2013 (harga biji jarak pagar>Rp 2.070/kg)... 103 9.15. Hasil simulasi kontribusi sumber energi terbarukan terhadap produksi

listrik UJ Nusa, tahun 2018 (harga biji jarak>Rp 2.070/kg; penambahan daya 1.200 kW pada tahun 2012 dan 2016)... 104 9.16. Hasil simulasi penghematan solar dan penurunan emisi UJ Nusa, tahun

2011 (harga biji jarak>Rp 2.070/kg)... 106 9.17. Hasil simulasi penurunan konsentrasi gas rumah kaca UJ Nusa, tahun

2018 (harga biji Jarak >Rp 2.070/kg; penambahan daya sebesar 1.200 kW pada tahun 2012 dan 2016)... 107


(18)

Halaman

1.1. Kerangka pemikiran ……… 3

2.1. Proses transesterifikasi biodiesel ... 13

2.2. Proses kimia transesterifikasi biodiesel ... 13

3.1. Peta lokasi penelitian ... 30

3.2. Diagram lingkar sebab akibat sistem pengelolaan energi berwawasan lingkungan di pulau kecil ... 32

3.3. Diagram input-output sistem pengelolaan energi berbasis SDA... 33

3.4. Formulasi masalah pengelolaan energi di pulau-pulau kecil 34 3.5. Diagram alir analisis potensi energi terbarukan... 35

3.6. Diagram alir analisis neraca energi………... 36

3.7. Diagram alir analisis kelayakan finansial ... 37

3.8. Diagram alir analisis keterkaitan antar elemen pengelolaan energi... 39

4.1. Kecepatan angin rata-rata perbulan, bulan April 2007-Maret 2008... 42

4.2. Pertanaman jarak di areal Taman Energi Terbarukan Nusa Penida... 51

5.1 Perkembangan beban puncak malam hari unit jaringan Nusa Penida, tahun 2005-2007... 53

5.2. Perkembangan beban puncak siang hari unit jarinan Nusa Penida, tahun 2005-2007... 54

5.3. Kecenderungan peningkatan beban puncak unit jaringan Nusa Penida, bulan januari 2005 sampai dengan Desember 2007... 54

5.4. Industri Pariwisata di Pulau Lembongan sebagai konsumen listrik unit jaringan Nusa Penida... 55

5.5. Perkembangan kapasitas daya terpasang pada PLTD UJ Nusa Penida, tahun 1996-2007 ... 56

5.6. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Nusa Penida... 57

5.7. Perkembangan daya mampu unit jaringan Nusa Penida perbulan setelah dioperasikan 2 unit PLTB, tahun 2007... 59

5.8. Pembangkit listrik tenaga angin di Puncak Mundi Nusa Penida... 59

5.9. Pembangkit listrik tenaga matahari di Puncak Mundi Nusa Penida... 60

5.10. Perkembangan produksi listrik UJ Nusa Penida, tahun 2005-2007... 62

7.1. Pohon industri buah jarak pagar... 80

7.2. Penghematan solar dari pemanfaatan energi terbarukan, tahun 2007... 81


(19)

8.2. Struktur hirarki tujuan pengelolaan energi di Nusa Penida……….. 84

8.3. Plot driver power – dependence kendala pengelolaan energi di Nusa Penida... 86

8.4. Struktur hirarki kendala pengelolaan energi di Nusa Penida………. 86

9.1. Submodel potensi sumber energi terbarukan... 89

9.2. Sruktur submodel neraca energi... 91

9.3. Struktur submodel dampak lingkungan... 93

9.4. Prediksi perkembangan neraca listrik unit jaringan Nusa Penida pada bulan Desember tanpa penambahan daya PLTD, sampai dengan 10 th kedepan... 100

9.5. Prediksi perkembangan neraca listrik unit jaringan Nusa Penida pada bulan Desember, sampai dengan 10 tahun kedepan berdasarkan hasil simulasi model RE-Nusa... 101

9.6. Hasil simulasi produksi listrik PLTD dan total unit jaringan Nusa Penida perbulan, tahun 2018 ... 104

9.7. Proyeksi kontribusi PLTD terhadap produksi listrik unit jaringan Nusa Penida, tahun 2018... 105

9.8. Hasil simulasi perkembangan kebutuhan dan produksi bahan bakar nabati di Nusa Penida sampai dengan tahun 2018 ... 105

9.9. Hasil simulasi perkembangan kebutuhan lahan dan luas tanaman jarak di Nusa Penida sampai dengan tahun 2018... 106

9.10 Hasil simulasi perbandingan emisi CO2 tahunan pemanfaatan bahan bakar solar sepenuhnya dan penerapan model RE-Nusa, sampai dengan tahun 2018……… 107


(20)

Halaman 1. Jadwal Rencana Penelitrian... 118 2. Data pengamatan kecepatan angin di lokasi PLTB Puncak Mundi Nusa

Penida, tanggal 1 April 2007 sampai dengan 31 Mei 2007... 119 3. Data pengamatan kecepatan angin di lokasi PLTB Puncak Mundi Nusa

Penida, tanggal 1 Juni sampai dengan 31 Juli 2007... 120 4. Data pengamatan kecepatan angin di lokasi PLTB Puncak Mundi Nusa

Penida, tanggal 1 Agustus sampai dengan 30 September 2007... 121 5. Data pengamatan kecepatan angin di lokasi PLTB Puncak Mundi Nusa

Penida, tanggal 1 Oktober sampai dengan 30 Nopember 2007... 122 6. Data pengamatan kecepatan angin di lokasi PLTB Puncak Mundi Nusa

Penida, tanggal 1 Desember 2007 sampai dengan 31 Januari 2008... 123 7. Data pengamatan kecepatan angin di lokasi PLTB Puncak Mundi Nusa

Penida, tanggal 1 Pebruari sampai dengan 15 Maret 2008... 124 8. Spesifikasi Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTB) Puncak Mundi... 125 9. Analisis NPV, B/C dan IRR pengembangan PLTB pada tingkat harga

listrik Rp 10.350/kWh dan tingkat bunga 12%... 126 10. Analisis NPV, B/C dan IRR pengembangan PLTS pada tingkat harga listrik

Rp 11.250/kWh dan tingkat bunga 12%... 127 11. Hasil uji emisi penggunaan bahan bakar solar dan biodiesel………... 128 12. Kelembagaan pengelolaan energi yang sudah berlangsung di Nusa Penida 129 13. Rancangan kelembagaan pengelolaan energi di Nusa Penida ……….... 131 14. Struktur model pengelolaan energi berwawasan lingkungan di Nusa

Penida... 133 15. Koefisien dan persamaan tiap variabel dalam model RE-Nusa………... 134


(21)

2.1. Pulau dan Pulau Kecil

Pulau adalah daratan yang dikelilingi oleh lautan dan ukurannya lebih kecil dari benua. Ukuran pulau bervariasi mulai dari yang kecil sampai ke yang besar (Husni,1998).

Pulau-pulau kecil semula didefinisikan sebagai pulau dengan luas 10.000 km2 atau kurang dan mempunyai penduduk 500.000 orang atau kurang (Beler et al, 1990). Pada perkembangannya definisi tersebut berubah menjadi pulau yang luasnya 5.000 km2, kemudian turun lagi menjadi pulau yang luasnya kurang dari 2.000 km2 (Tresnadi,1998). Selanjutnya Departemen Kelautan dan Perikanan (2001) mendefinisikan pulau kecil adalah pulau yang ukuran luasnya kurang atau sama dengan 1000 km2, dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 200.000 orang. Sedangkan pulau sangat kecil adalah pulau yang memiliki wilayah kurang dari 100 km2 atau pulau dengan lebar kurang dari 3 km (Falkland,1992). Gugusan pulau-pulau kecil adalah kumpulan pulau-pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, baik secara individual maupun secara sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dan pengelolaan sumberdayanya. Kepulauan adalah kumpulan dari gugusan pulau-pulau kecil.

Bengen (2002) menyatakan bahwa hampir 7% wilayah daratan bumi terdiri atas pulau-pulau kecil. Di Indonesia banyak terdapat pulau-pulau kecil, sehingga Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan. Dari 17.508 pulau yang dimiliki Indonesia, hanya 5 pulau yang merupakan pulau besar dan menjadi pusat-pusat aktivitas pembangunan, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Departemen Kelautan dan Perikanan (2001) mendefinisikan sumberdaya pulau-pulau kecil adalah bagian dari sumberdaya nasional yang meliputi seluruh sumberdaya alam yang terdiri atas semua jenis sumberdaya alam dapat pulih maupun sumberdaya tidak dapat pulih serta jasa lingkungan yang membentuk ekosistem pulau-pulau dan gugusan pulau-pulau kecil.

Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik biofisik yang menonjol, yaitu : (1) terpisah dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insulat, (2) sumber air tawar terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil, (3) peka dan rentan terhadap pengaruh


(22)

eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, (4) memiliki sejumlah endemik yang bernilai ekologis tinggi (Bengen, 2001).

Dahuri (2002) menyatakan bahwa pulau-pulau kecil memiliki potensi ekonomi yang tinggi, namun mempunyai karakteristik yang sangat rentan terhadap aktivitas ekonomi. Aktivitas sosial ekonomi di pulau kecil merupakan interaksi kawasan daratan dengan lingkungan laut, sehingga hampir semua bentuk aktivitas pembangunan akan berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan. Oleh karena itu pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil harus mengintegrasikan wilayah daratan dan lautnya menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan serta pengintegrasian antara misi konservasi dan misi ekonomi.

Lebih lanjut Dahuri (2003), menyatakan bahwa penduduk dan ekosistem pulau-pulau kecil seringkali menghadapi berbagai tantangan antara lain secara ekologi sangat rentan terhadap dampak pemanasan global, angin topan, dan gelombang tsunami. Terjadinya abrasi pada garis pantai karena pengaruh kombinasi faktor-faktor ekologis tersebut mengakibatkan terjadinya pengurangan luas daratan secara berarti dan pergeseran serta penurunan kualitas tempat tinggal baik penduduk maupun habitat mahluk hidup lainnya. Penataan ruang dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil harus berdasarkan daya dukung ekologis, jaringan sosial budaya, dan integrasi kegiatan sosial ekonomi.

Hopley and O’Brien (1993), dalam penelitiannya merangkum masalah dan peluang di pulau-pulau Lautan Pasifik menurut bidang pengelolaan seperti dikemukakan pada Tabel 2.1. Disamping permasalahan tersebut, tantangan dan hambatan dalam pelaksanaan pembangunan pulau-pulau kecil cukup kompleks. Tantangan yang mendasar adalah keterbatasan dalam informasi lokasi dan keadaan kemiskinan penduduk pada wilayah pulau-pulau kecil. Tantangan berikutnya adalah aspek yang berkaitan dengan karakteristik keterpencilan, yaitu biaya pengembangan yang tinggi sebagai akibat dari biaya transportasi dan komunikasi yang tinggi.


(23)

Tabel 2.1. Masalah dan peluang pulau-pulau Lautan Pasifik

Bidang Masalah Peluang

Penyediaan air

Sangat tergantung pada air hujan dan sumur, yang penyediaannya tidak cukup. Bahaya kontaminasi bila kelebihan pemakaian.

Daur ulang dan penggunaan air kembali. Melakukan penggalian yang lebih dalam untuk mendapatkan sumber air baru,

Energi Sangat tergantung pada bahan bakar yang mahal Temukan sumber-sumber

energi yang dapat

diperbarui dan ekonomis. Perikanan Aktivitas perikanan rakyat yang ekstensif dengan

beberapa perikanan pelagis, sehingga pada beberapa kasus ikan olahan masih didatangkan dari pulau induk.

Pengembangan perikanan laut dalam, seperti perikanan laut komersial tuna, budidaya laut dan produk pengolahan ikan lokal.

Pertanian tradisional

Variasi sumber makanan yang sempit, tanah yang kurang subur karena mengandung uap air laut serta air tawar yang terbatas.

Meningkatkan produktivitas dan memperbaiki kesuburan tanah. Pengelolaan pesisir dan laut

Tekanan penduduk dan pantai yang dikomersialkan menyebabkan peningkatan kerusakan terumbu karang dan kehidupan laut. Pada beberapa pulau adanya kerusakan ekologis yang ekstensif dihasilkan oleh aktivitas

pertambangan dan kehutanan.

Mendistribusikan kembali penduduk pulau untuk menghilangkan dampak berbahaya pada daerah pantai.

Kehutanan Tutupan hutan terbatas. Sumber kayu utama adalah kelapa. Secara keseluruhan ancaman terhadap ketersediaan kayu yang hampir punah.

Menghutankan kembali daerah-daerah yang telah rusak.

Pengelolaan lahan

Sebagian besar pulau karang pengelolaan lahan masih diolah menurut kebiasaan turun temurun. Dengan kebiasaan seperti ini lahan sering digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak sesuai.

Membuat perencanaan yang sesuai dengan pariwisata, pertanian, dan

pengembangan lain yang cocok.

Daerah yang dilindungi

Pada beberapa pulau telah ditetapkan sebagai daerah yang dilindungi, tetapi perlu ditentukan dengan jelas sehingga dapat melindungi sumberdaya yang unik di pulau-pulau tersebut.

Melindungi sumberdaya yang unik dan memiliki manfaat ekonomi.

Sumber : Hopley and O’Brien (1993).

2.2. Energi

Alam mengandung berbagai sumberdaya yang dapat dijadikan sebagai sumber energi, meliputi bahan bakar minyak dan gas bumi (BBM) dan energi terbarukan antara lain berupa radiasi matahari, angin, air, panas bumi, dan berbagai jenis tanaman penghasil minyak nabati.


(24)

2.2.1. Bahan Bakar Minyak (BBM)

BBM adalah sumber energi yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable). Persediaan minyak bumi Indonesia hanya bisa mencukupi kebutuhan untuk 20-30 tahun lagi. Jika semua kegiatan penyedian energi nasional termasuk listrik dibebankan pada BBM, maka praktis waktu 20-30 tahun itu akan berkurang dengan semakin menipisnya minyak bumi. Konsumsi BBM Indonesia mencapai 405 juta barel/tahun, yang terdiri atas kebutuhan solar 148,50 juta barel/tahun, minyak tanah 80,10 juta barel/tahun, minyak bakar 39 juta barel/tahun, dan premium 135 juta barel/tahun (Hamdi, Bobo, dan Ishom. 2005). Perkembangan konsumsi BBM persektor seperti pada Tabel 2.2. Sedangkan impor minyak 370.000 barel/hari atau sekitar 135 juta barel/tahun, dari jumlah tersebut yang berupa solar sekitar 30,75 juta barel/tahun.

Tabel 2.2 Pangsa Konsumsi BBM Persektor Tahun 1994-2003

Tahun Industri(%)

Rumah Tangga & Komersial

(%)

Transportasi(%) Pembangkit Listrik(%)

1994 23,20 21,60 45,80 9,40

1997 21,10 19,00 47,90 12,00

1998 21,50 20,70 48,80 9,00

2000 21,70 22,20 47,10 9,00

2003 24,00 18,20 47,00 10,70 Sumber: Hamdi, Bobo, dan Ishom. 2005.

2.2.2. Energi Terbarukan (Renewable Energy)

Definisi paling umum energi terbarukan adalah sumber energi yang dapat dengan cepat diisi kembali oleh alam, proses berkelanjutan. Berdasarkan definisi ini, bahan bakar nuklir dan fosil tidak termasuk ke dalamnya. Seluruh energi terbarukan secara definisi juga merupakan sustainable energy, yang berarti energi yang tersedia dalam waktu jauh ke depan. Meskipun tenaga nuklir bukan energi terbarukan, namun pendukung nuklir dapat berkelanjutan dengan penggunaan reactor breeder

menggunakan uranium-238 atau thorium atau keduanya. Di sisi lain banyak penentang nuklir menggunakan istilah sustainable energy sebagai sinonim untuk energi terbarukan, dan oleh karena itu tidak memasukkan nuklir ke dalam sustainable energy.


(25)

2.2.2.1. Energi Radiasi Matahari

Energi yang berasal dari radiasi matahari merupakan potensi energi terbesar dan terjamin keberadaannya di muka bumi. Berbeda dengan sumber energi lainnya, energi matahari bisa dijumpai di seluruh permukaan bumi. Menurut Indartono (2007),

pemanfaatan radiasi matahari sama sekali tidak menimbulkan polusi ke atmosfer. Berbagai sumber energi seperti tenaga angin, biofuel, dan tenaga air, sesungguhnya juga berasal dari energi matahari. Pemanfaatan radiasi matahari umumnya terbagi dalam dua jenis, yakni termal dan fotovoltaik. Pada sistem termal, radiasi matahari digunakan untuk memanaskan fluida atau zat tertentu yang selanjutnya fluida atau zat tersebut dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik. Sedangkan pada sistem fotovoltaik, radiasi matahari yang mengenai permukaan semikonduktor akan menyebabkan loncatan elektron yang selanjutnya menimbulkan arus listrik. Karena tidak memerlukan instalasi yang rumit, sistem fotovoltaik lebih banyak digunakan. Sebagai negara tropis, Indonesia diuntungkan dengan intensitas radiasi matahari yang hampir sama sepanjang tahun, yakni dengan intensitas harian rata-rata sekitar 4,80 kWh/m2. Meskipun terbilang memiliki potensi yang sangat besar, namun pemanfaatan energi matahari untuk menghasilkan listrik masih dihadang oleh dua kendala serius, yaitu rendahnya efisiensi (berkisar hanya 10%) dan mahalnya biaya per-satuan daya listrik. Untuk pembangkit listrik dari fotovoltaik, diperlukan biaya US $ 0,25 – 0,50 / kWh, dibandingkan dengan tenaga angin yang US $ 0,05 – 0,07 / kWh, gas US $ 0,02 – 0,05 / kWh, dan batu bara US $ 0,01 – 0,02 / kWh. Pembangkit lisrik tenaga surya ini sudah diterapkan di berbagai negara maju serta terus mendapat perhatian serius dari kalangan ilmuwan untuk meminimalkan kendala yang ada.

Tenaga matahari dapat digunakan untuk: menghasilkan listrik menggunakan sel surya, menghasilkan listrik menggunakan pembangkit tenaga panas surya, menghasilkan listrik menggunakan menara surya, memanaskan gedung secara langsung, memanaskan gedung melalui pompa panas, memanaskan makanan menggunakan oven surya. Yuliarto (2006) menyatakan bahwa energi dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi sangat besar, yaitu mencapai 3 x 1024 joule/th. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1% saja permukaan bumi dengan divais solar sel yang memiliki efisiensi 10% sudah mampu untuk memenuhi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini. Perkembangan yang pesat dari industri sel surya (solar sel) yang pada tahun 2004 telah


(26)

menyentuh level 1.000 MW, membuat banyak kalangan semakin tertarik memanfaatkan sumber energi matahari.

Energi yang dikeluarkan oleh sinar matahari sebenarnya hanya diterima oleh permukaan bumi sebesar 69% dari total energi pancaran matahari (West. 2003). Cara kerja sel surya adalah dengan memanfaatkan teori cahaya sebagai partikel. Sebagaimana diketahui bahwa cahaya baik yang tampak maupun yang tidak tampak memiliki dua buah sifat yaitu dapat sebagai gelombang dan dapat sebagai partikel yang disebut dengan photon. Penemuan ini pertama kali diungkapkan oleh Einstein pada tahun 1905. Hingga saat ini terdapat beberapa jenis solar sel yang berhasil dikembangkan oleh para peneliti untuk mendapatkan divais solar sel yang memiliki efisiensi yang tinggi atau untuk mendapatkan divais solar sel yang murah dan mudah dalam pembuatannya.

2.2.2. 2. Energi Tenaga Angin

Pembangkit listrik tenaga angin disinyalir sebagai jenis pembangkitan energi dengan laju pertumbuhan tercepat di dunia dewasa ini. Saat ini kapasitas total pembangkit listrik yang berasal dari tenaga angin di seluruh dunia berkisar 17,50 GW. Jerman merupakan negara dengan kapasitas pembangkit listrik tenaga angin terbesar, yakni 6 GW, kemudian disusul oleh Denmark dengan kapasitas 2 GW. Listrik tenaga angin menyumbang sekitar 12% kebutuhan energi nasional di Denmark; angka ini hendak ditingkatkan hingga 50% pada beberapa tahun yang akan datang. Berdasar kapasitas pembangkitan listriknya, turbin angin dibagi dua, yakni skala besar (orde beberapa ratus kW) dan skala kecil (dibawah 100 kW). Perbedaan kapasitas tersebut mempengaruhi kebutuhan kecepatan minimal awal (cut-in win speed) yang diperlukan: turbin skala besar beroperasi pada cut-in win speed 5 m/dt sedangkan turbin skala kecil bisa bekerja mulai 3 m/dt. Untuk Indonesia dengan estimasi kecepatan angin rata-rata sekitar 3 m/dt, turbin skala kecil lebih cocok digunakan, meski tidak menutup kemungkinan bahwa pada daerah yang berkecepatan angin lebih tinggi (Sumatera Selatan, Jambi, Riau , dan daeah lainnya) bisa dibangun turbin skala besar. Perlu diketahui bahwa kecepatan angin bersifat fluktuatif, sehingga pada daerah yang memiliki kecepatan angin rata-rata 3 m/dt, akan terdapat saat-saat kecepatan anginnya lebih besar dari 3 m/dt. Pada saat inilah turbin angin dengan cut-in win speed 3 m/dt akan bekerja. Selain untuk pembangkit listrik, turbin angin sangat cocok untuk mendukung kegiatan


(27)

pertanian dan perikanan, seperti untuk keperluan irigasi, dan aerasi tambak ikan (Indartono, 2007).

Wikipedia (2007), mengemukakan bahwa pada tahun 2005 telah ada ribuan turbin angin yang beroperasi di beberapa bagian dunia, dengan perusahaan utilitas memiliki kapasitas total lebih dari 47.317 MW. Kapasitas merupakan output maksimum yang memungkinkan dan tidak menghitung load factor. Ladang angin baru dan taman angin lepas pantai telah direncanakan dan dibuat di seluruh dunia. Ini merupakan cara penyediaan listrik yang tumbuh dengan cepat di abad 21 dan menyediakan tambahan bagi stasiun pembangkit listrik utama. Kebanyakan turbin yang digunakan menghasilkan listrik sekitar 25% dari waktu (load factor 25%), tetapi beberapa mencapai 35%. Load factor biasanya lebih tinggi pada musim dingin. Ini berarti bahwa turbin 5 MW dapat menghasilkan listrik rata-rata 1,7 MW dalam kasus terbaik.

2.2.2.3. Bahan Bakar Nabati (BBN).

BBN dikenal juga sebagai biofuel. Pemanfaatan minyak nabati sebagai sumber energi alternatif yang sudah dilakukan di beberapa negara antara lain dalam bentuk biodisel, bioetanol, minyak mentah nabati (pure plant oil), dan minyak lemak mentah (Refined fatty oil atau straight vegetable oil).

BBN memenuhi dua syarat utama sebagai sumber energi baru: (1) tidak menciptakan ketergantungan; karena bahan baku BBN dapat dibudidayakan di bumi Indonesia, dan (2) ramah lingkungan. Emisi pembakaran BBN yang juga merupakan gas rumah kaca, yakni CO2, pada prinsipnya akan diserap kembali oleh tanaman penghasil BBN. Hasil penelitian di Brazil menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan emisi CO2 sebesar 12% setelah negara ini menggunakan bioetanol dalam skala besar (Indartono, 2006). Kontinuitas penggunaan BBN memerlukan kontinuitas ketersediaan bahan baku dalam jumlah besar. Hal ini memerlukan keterlibatan masyarakat yang sekaligus berpotensi meningkatkan taraf hidup mereka.

Indonesia memiliki beraneka macam tanaman, 49 macam diantaranya mempunyai potensi menghasilkan minyak nabati dan pati yang dapat digunakan sebagai bahan baku energi terbarukan, antara lain kelapa sawit, kelapa, kapok, jarak pagar, tebu, sagu, dan tanaman palma lainnya. Berdasarkan kajian Ditjen Perkebunan (2006), tanaman penghasil biodiesel yang potensial dikembangkan adalah kelapa sawit dan jarak pagar, sedangkan tanaman penghasil bioetanol potensial adalah ubi kayu, sorgum dan


(28)

tebu. Namun dengan pertimbangan untuk menjaga kestabilan ketersediaan pangan, maka kebijakan pemenuhan kebutuhan energi diupayakan terutama melalui pengembangan jarak pagar, sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden No. 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain dan Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Tumbuhan biasanya menggunakan fotosintesis untuk menyimpan tenaga surya, air, dan CO2. Biasanya bahan bakar bio dibakar untuk melepas energi kimia yang tersimpan di dalamnya. Riset untuk mengubah bahan bakar bio menjadi listrik menggunakan sel bahan bakar adalah bidang penelitian yang sangat aktif. Biomasa dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar atau untuk memproduksi bahan bakar bio cair. Biomasa yang diproduksi dengan teknik pertanian, seperti biodiesel, etanol, dan bagasse (produk sampingan dari pengkultivasian tebu) dapat dibakar dalam mesin pembakaran atau pendidih. BBN yang sedang digalakkan pengembangannya terkait dengan upaya substitusi solar sebagai bahan bakar mesin diesel adalah biodiesel.

Hasil pertanian yang dapat dijadikan biodisel diantaranya adalah minyak kedelai, minyak kanola, minyak bunga matahari, minyak jarak, minyak kelapa, dan minyak sawit. Biofuel dapat diproduksi dari minyak nabati seperti minyak kelapa sawit atau CPO (Crude Palm Oil) dan minyak jarak pagar atau CJCO (Crude Jatropha Curcas Oil), dibuat dengan proses transesterifikasi. Proses ini pada dasarnya merupakan proses yang mereaksikan minyak nabati (CPO atau CJCO) dengan metanol dan etanol dengan katalisator (NaOH atau KOH). Dari hasil proses transesterifikasi CPO/CJCO dihasilkan metil ester asam lemak murni (Fatty Acid Methyl Ester, disingkat FAME). Proses transesterifikasi disajikan pada Gambar 2.1. sedangkan reaksi kimia proses transesterifikasi pembuatan biodisel disajikan pada Gambar 2.2. FAME tersebut dicampur dengan solar murni selama sekitar sepuluh menit untuk menghasilkan bahan bakar biosolar yang siap pakai. Biosolar memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan bentuk energi lain, yaitu: lebih mudah ditransportasikan; memiliki kerapatan energi per volume yang lebih tinggi; memiliki karakter pembakaran yang relatif bersih; dan ramah lingkungan.


(29)

Lemak + Metanol Katalis Ester metil asam-asam lemak + Gliserin Minyak lemak (etanol) 25-70 oC (biodiesel)

Keterangan :

oMetanol atau etanol bisa diperoleh dari gas bumi atau biomassa oKatalis yang digunakan adalah katalis alkalis (KOH atau NaOH)

oGliserin merupakan produk samping dapat digunakan pada industri sabun, kosmetik, dan farmasi.

Sumber : Prihandana dan Hendroko, 2007

Gambar 2.1 Proses transesterifikasi biodiesel Gambar 2.1 Proses transesterifikasi biodiesel

O O

O O

CH2-O-C-R1 CH3-O-C- R1 CH2-O-C-R1 CH3-O-C- R1

O O CH2-OH

O O CH

CH -O-C-R2 + 3 CH3OH CH3 –O-C- R2 + CH-OH CH -O-C-R

O O CH2-OH

O O CH

CH2-O-C-R3 CH3-O-C-R3 Keterangan :

Keterangan :

Jumlah metanol 40% dan katalis 1% dari total volume CJCO yang dicampur pada suhu 60 OC. Jumlah metanol 40% dan katalis 1% dari total volume CJCO yang dicampur pada suhu 60 Sumber : Prihandana dan Hendroko, 2007

Sumber : Prihandana dan Hendroko, 2007

Gambar 2.2 Proses kimia transesterifikasi biodiesel Gambar 2.2 Proses kimia transesterifikasi biodiesel

Azam et al. (2005) mengkompilasi berbagai hasil riset di India tentang biodiesel dan menemukan 75 spesies tanaman yang bisa menghasilkan biodiesel; 26 spesies diantaranya, termasuk jarak pagar (Jatropha curcas), yang memenuhi standar kualitas USA dan Eropa. Soeradjaja (2005a) menyebut adanya 50 spesies tanaman di Indonesia yang bisa menghasilkan biodiesel, contoh yang populer adalah sawit, kelapa, jarak pagar, kapok atau randu.

Azam et al. (2005) mengkompilasi berbagai hasil riset di India tentang biodiesel dan menemukan 75 spesies tanaman yang bisa menghasilkan biodiesel; 26 spesies diantaranya, termasuk jarak pagar (Jatropha curcas), yang memenuhi standar kualitas USA dan Eropa. Soeradjaja (2005a) menyebut adanya 50 spesies tanaman di Indonesia yang bisa menghasilkan biodiesel, contoh yang populer adalah sawit, kelapa, jarak pagar, kapok atau randu.

2-OH

2 + 3 CH3OH CH3 –O-C- R2 + CH-OH Katalis

2-OH

CH2-O-C-R3 CH3-O-C-R3

O C.


(30)

Tanaman jarak pagar merupakan tanaman minyak nabati yang bijinya mengandung minyak sekitar 25 - 40% dan kernelnya mengandung minyak sekitar 50 - 60% (Lele, 2005). Minyak jarak pagar setelah melalui berbagai proses pengepresan dan proses lainnya dapat digunakan sebagai bahan bakar minyak (BBM), baik sebagai pengganti solar, minyak tanah maupun minyak bakar lainnya. Bahan bakar minyak jarak pagar mempunyai kelebihan dibanding dengan solar (minyak bumi) karena pembakaran pada mesin lebih sempurna, sehingga emisi gas buangnya relatif lebih kecil dari pada solar dan ramah lingkungan. Hal ini karena minyak jarak pagar merupakan minyak nabati yang mengandung oksigen. Biodiesel sendiri merupakan ester metil asam-asam lemak, sehingga baik pengepresan minyaknya (Crude Jatropha Curcas Oil bentuk trigliserida) maupun prosesing biodieselnya cukup sederhana (Jones dan Miller, 1997).

Syarat tumbuh tanaman jarak pagar secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut :

Informasi kisaran curah hujan daerah penyebarannya bervariasi, antara lain dilaporkan dari 200 sampai 2000 mm/th (Heller, 1996), 480 hingga 2.380 mm (Jones dan Miller, 1992), minimal 250 mm tetapi pertumbuhan terbaik dengan 900 – 1.200 mm (Becker dan Makkar, 1999 ) bahkan di Indonesia dijumpai di beberapa daerah dengan curah hujan lebih dari 3.000 mm seperti di Bogor, Sumatera Barat, dan Minahasa. Dijumpai pada ketinggian 0-1.700 m di atas permukaan laut (dpl), dengan suhu 11-38 oC (Heller, 1996; Arivin et al, 2006). Selanjutnya dikemukakan Heller (1996) bahwa jarak pagar tidak tahan cuaca yang sangat dingin (frost) dan tidak sensitif terhadap panjang hari (day length). Hal ini bisa dipahami karena tanaman ini berasal dari daerah tropis, sehingga tidak tergolong tanaman ”long day”. Di daerah-daerah Amazon yang basah, sama sekali tidak dijumpai jarak pagar. Sebagai tanaman yang dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi-kondisi arid dan semi-arid (xerophytic), jarak pagar dapat bertahan dari kekeringan selama tiga tahun berturut-turut, dengan menggugurkan daunnya untuk mengurangi transpirasi.

Menurut Henning (2004) jarak pagar membutuhkan curah hujan paling sedikit 600 mm/th untuk tumbuh baik dan jika curah hujan kurang dari 600 mm/th tidak dapat tumbuh, kecuali dalam kondisi tertentu seperti di kepulauan Cape Verde meski curah hujan hanya 250 mm tetapi kelembaban udaranya sangat tinggi (rain harvesting). Di daerah-daerah dengan kelengasan tanah tidak menjadi faktor pembatas (misalnya irigasi atau curah hujan cukup merata) jarak pagar dapat berproduksi sepanjang tahun, tetapi


(31)

tidak dapat bertahan dalam kondisi tanah jenuh air. Meskipun iklim kering meningkatkan kadar minyak biji, masa kekeringan yang berkepanjangan akan menyebabkan jarak menggugurkan daunnya untuk menghemat air yang akan menyebabkan stagnasi pertumbuhannya dan jika tumbuh di daerah sangat kering, umumnya tidak lebih dari 2 – 3 m tingginya (Jones and Miller, 1992). Sebaliknya, pada daerah-daerah basah dengan curah hujan yang terlalu tinggi, maka pertumbuhan vegetatif tanaman jarak pagar sangat baik tetapi disertai kurangnya pembentukan bunga dan buah., Arivin et al (2006) melaporkan bahwa di Desa Cikeusik Malingping, Banten dengan curah hujan 2.500-3.000 mm/th, umumnya tanaman jarak pagar memiliki bunga, buah muda, buah tua dan buah kering dalam satu cabang. Akan tetapi hal ini masih perlu diamati dalam jangka waktu satu atau beberapa tahun untuk memastikan apakah pembungaan tersebut berlangsung sepanjang tahun. Walaupun curah hujan daerah ini cukup tinggi, yang memungkinkan radiasi rendah, pembuahan tampaknya cukup baik. Hal ini diduga merupakan hasil interaksi potensi genetik dengan faktor-faktor lingkungan seperti suhu yang selalu panas (± 27 oC) karena letaknya di tepi pantai, serta tekstur tanahnya yang berpasir sangat menjamin drainase dan aerasi yang baik.

Tanaman jarak pagar dapat tumbuh pada semua jenis tanah, tetapi pertumbuhan yang lebih baik dijumpai pada tanah-tanah ringan atau lahan-lahan dengan drainase dan aerasi yang baik (terbaik mengandung pasir 60-90%). Tanaman ini dapat pula dijumpai pada daerah-daerah berbatu, berlereng pada perbukitan atau sepanjang saluran air dan batas-batas kebun (Heller, 1996; Arivin et al, 2006). Menurut Okabe dan Somabhi (1989) tanaman jarak pagar yang ditanam pada tanah bertekstur lempung berpasir memberikan hasil biji tertinggi daripada tanah bertekstur lainnya. Selanjutnya Jones dan Miller (1992) mengemukakan bahwa meskipun jarak pagar terkenal dapat tumbuh dengan baik di tanah yang dangkal dan pada umumnya ditemukan tumbuh di tanah berkerikil, berpasir, dan berliat, tetapi di tanah yang tererosi berat pertumbuhannya mungkin kerdil.

Jarak pagar dapat tumbuh pada tanah-tanah yang ketersediaan air dan unsur-unsur haranya terbatas atau lahan-lahan marginal, tetapi lahan dengan air tidak tergenang merupakan tempat yang optimal bagi tanaman ini untuk tumbuh dan berproduksi secara optimal. Bila perakarannya sudah cukup berkembang, jarak pagar dapat toleran terhadap kondisi tanah-tanah masam atau alkalin (terbaik pada pH tanah 5.5-6.5) (Heller, 1996; Arivin et al, 2006). Jones and Miller (1998) menyatakan untuk mendapatkan produksi


(32)

yang baik pada tanah miskin hara dan alkalin, tanaman ini perlu dipupuk dengan pupuk buatan dan pupuk organik atau pupuk kandang, yang mengandung sedikit kalsium, magnesium dan sulfur. Sedangkan pada daerah-daerah dengan kandungan fosfat yang rendah, penggunaan mikoriza dapat membantu pertumbuhan tanaman jarak.

2.2.3. Energi dan Kelestarian Lingkungan Hidup

Segala aktivitas yang dilakukan masyarakat modern sangat tergantung kepada ketersediaan energi. Hampir di semua sektor kegiatan, energi menjadi kebutuhan pokok yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, kemajuan suatu negara akan sangat terkait dengan kecukupan ketersediaan energi di negara tersebut. Sebut saja negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, dan negara-negara-negara-negara Eropa, bahkan Korea. Ketersediaan energi di negara-negara tersebut sangat memadai untuk melakukan kegiatan di berbagai bidang yang bisa diandalkan untuk pembangunan bangsa dan negaranya. Namun dalam pengadaan energi tentu saja harus memperhatikan faktor kelestarian lingkungan hidup. Karena lingkungan tempat mahluk hidup bernaung tidak kalah pentingnya dari kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Merusak lingkungan hidup, sama saja dengan mencelakakan diri sendiri. Lingkungan hidup suatu negara akan sangat berkaitan dengan negara lain, karena manusia tinggal di bumi yang sama. Sebab itu pula setiap negara berkewajiban untuk sungguh-sungguh memperhatikan dan mencegah hal-hal yang bisa menjadi penyebab kerusakan lingkungan hidup (Batan, 2007).

Lebih lanjut Batan (2007) menjelaskan bahwa dampak kerusakan lingkungan hidup seperti pemanasan global, saat ini sudah mulai dirasakan di berbagai belahan bumi. Peningkatan suhu udara, permukaan air laut naik, yang bisa menenggelamkan pulau-pulau kecil, dan daratan di sekitar pantai, terjadinya perubahan iklim, kini sudah terjadi di beberapa tempat termasuk di Indonesia. Kesemua itu karena lingkungan tempat manusia dan mahluk hidup lainnya sudah tercemar. Bahkan menurut sumber-sumber yang bisa dipercaya, keganasan topan yang akhir-akhir ini sering melanda daratan Amerika, diprediksi oleh para ahli sebagai efek dari pemanasan global. Ancaman lain yang tidak kalah bahayanya bagi kehidupan manusia, adalah terjadinya hujan asam. Di Indonesia sendiri, memasuki tahun 2006 telah terjadi angin badai di beberapa perairan yang mengakibatkan banjir di daerah sekitar pantai hingga berhari-hari. Akibatnya para nelayan tidak bisa turun ke laut untuk mencari ikan, sehingga mereka mengalami masa-masa paceklik. Belum lagi lebatnya curah hujan mengakibatkan banjir dan tanah longsor


(33)

di beberapa daerah. Kejadian-kejadian ini tentu masih punya kaitan dengan pemanasan global akibat kerusakan lingkungan. Kalau penyebab-penyebab kerusakan global ini tidak ditanggulangi untuk ditekan sekecil mungkin, tentu kerusakan lingkungan yang sudah terjadi ini akan semakin parah yang akibatnya juga akan merugikan semua mahluk hidup termasuk manusia. Penyumbang terbesar kerusakan lingkungan hidup secara menyeluruh, adalah polusi yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, seperti batubara, bahan bakar minyak, dan gas alam secara besar-besaran. Dari pembakaran itu berakibat terjadinya emisi rumah kaca sebagai penyebab pemanasan global.

Batan (2007), juga mengemukakan bahwa masalah lingkungan hidup memang bukan persoalan salah satu negara saja, tetapi sudah menjadi tanggung jawab seluruh bangsa dan negara. Oleh karena itulah berbagai upaya dilakukan orang untuk mencegah tambah rusaknya lingkungan hidup, seperti dengan diselenggarakannya KTT Bumi, Protokol Kyoto, dan forum lainnya. Bahkan beberapa negara yang masih memanfaatkan bahan bakar fosil, berusaha mengurangi efek rumah kaca dengan menggunakan bahan bakar gas alam yang secara ekonomis sangat kompetitif bila dibandingkan dengan penggunaan minyak bumi atau batubara. Hanya sebenarnya gas alam juga tetap menimbulkan CO2, tetapi lebih sedikit bila dibandingkan dengan penggunaan minyak bumi dan batubara. Di samping itu gas alam juga menimbulkan metana selama proses penyediaannya, yang kesemua itu dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Meski akhir-akhir ini muncul teori lain tentang efek rumah kaca, seperti menurut peneliti Amerika mengatakan bahwa variabel aktivitas matahari bepengaruh pada naik turunya suhu global. Namun mengurangi pembakaran bahan bakar fosil bagi pemenuhan kebutuhan energi tentu mempunyai manfaat yang besar, paling tidak sebagai langkah penghematan cadangan sumber daya alam yang ada untuk dipergunakan oleh generasi mendatang. Pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara secara besar-besaran, dilakukan orang untuk keperluan pembangkit tenaga listrik, industrialisasi, dan transportasi. Khusus untuk bahan bakar pembangkit tenaga listrik, sebenarnya penggunaan bahan bakar fosil sudah bisa ditekan sekecil mungkin, karena ada teknologi modern yang menggunakan bahan bakar non fosil yang lebih hemat, produktif, aman dan tidak menimbulkan polusi. Disamping itu bahan bakar fosil seperti bahan bakar minyak harganya cenderung terus meningkat, persediaannya juga sangat terbatas. Orang tidak mungkin harus tergantung terus-menerus kepada bahan bakar minyak, karena suatu saat cadangannya akan habis. Oleh karena itu bagi Indonesia kini


(34)

saatnya memanfaatkan bahan bakar non fosil untuk berbagai keperluan seperti untuk pembangkit listrik. Dengan demikian selain turut melakukan upaya pelestarian lingkungan hidup secara global, juga sebagai langkah penghematan cadangan sumberdaya alam yang sudah semakin menipis.

2.2.4. Kebijakan Energi Nasional

Berdasarkan Undang-undang nomor 30 tahun 2007 tentang energi, bahwa dalam rangka mendukung pembangunan nasional secara berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, tujuan pengelolaan energi adalah:

a. tercapainya kemandirian pengelolaan energi;

b. terjaminnya ketersediaan energi dalam negeri, baik dari sumber di dalam negeri maupun di luar negeri;

c. tersedianya sumber energi dari dalam negeri dan/atau luar negeri sebagaimana dimaksud pada huruf b untuk: (1) pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri; (2) pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dalam negeri; dan (3) peningkatan devisa negara;

d. terjaminnya pengelolaan sumber daya energi secara optimal, terpadu, dan berkelanjutan;

e. termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor;

f. tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata decgan cara: (1) menyediakan bantuan untuk meningkatkan ketersediaan energi kepada masyarakat tidak mampu; (2) membangun infrastruktur energi untuk daerah belum berkembang sehingga dapat mengurangi disparitas antardaerah;

g. tercapainya pengembangan kemampuan industri energi dan jasa energi dalam negeri agar mandiri dan meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia;

h. terciptanya lapangan kerja; dan

i. terjaganya kelestarian fungsi lingkungan hidug.

Berdasarkan Perpres no 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional pemerintah harus memfokuskan kebijakannya pada pencapaian sasaran kebijakan energi nasional yang menyaratkan bahwa pemanfaatan minyak bumi menjadi kurang dari 20%, gas bumi menjadi lebih dari 30%, batubara menjadi lebih dari 33%, bahan bakar nabati


(35)

(biofuel) menjadi lebih dari 5%, panas bumi menjadi lebih dari 5%, energi baru dan energi terbarukan lainnya, khususnya biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin menjadi lebih dari 5%, batubara yang dicairkan (liquefied coal) menjadi lebih dari 2%. Implementasi dari Perpres tersebut yaitu pemerintah harus mulai membangun pembangkit-pembangkit tenaga listrik yang berasal dari non minyak bumi, seperti pembangkit listrik dengan geotermal (panas bumi), angin, gas bumi dan lain-lain. Contoh daerah yang sudah melaksanakan adalah Oeledo, Kupang. Di daerah tersebut digunakan pembangkit listrik tenaga angin dan fotovoltaik, hasilnya pembangkit ini bisa menyediakan energi untuk 175 KK selama 24 jam dengan biaya Rp 5.000 -Rp 10.000/bl, sehingga penyediaan listrik tidak dipengaruhi oleh kenaikan harga BBM.

Kewajiban pemanfaatan sumber energi non minyak bumi lebih lanjut diatur dengan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumberdaya Mineral nomor 29 tahun 2008. Berdasarkan Permen tersebut, pentahapan kewajiban minimal pemanfaatan biodiesel untuk pembangkit listrik 10% pada tahun 2015, menjadi 15% pada tahun 2020 dan 20% pada tahun 2025. Sedangkan pentahapan kewajiban minimal pemanfaatan minyak nabati murni untuk pembangkit listrik 5% pada tahun 2015, menjadi 7% pada tahun 2020 dan 10% pada tahun 2025.

Kebijakan mengenai biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik yang disediakan oleh PT. PLN (Persero) diatur dengan Permen Energi dan Sumberdaya Mineral nomor 269-12/26/600.3/2008. Berdasarkan Permen tersebut, biaya pokok penyediaan tenaga listrik tegangan tinggi (BPP-TT), tegangan menengah (BPP-TM), dan tegangan rendah (BPP-TR) untuk daerah Bali, masing-masing Rp 783/kWh, Rp859/kWh, dan Rp 1.012/kWh. BPP tersebut dapat juga dijadikan sebagai acuan dalam penetapan harga jual tenaga listrik Pembangkit Skala Kecil Tersebar sebagaimana ditetapkan dalam Permen Energi dan Sumberdaya Mineral nomor 1122 K/30/MEM/2002 tahun 2002, yaitu sebesar 80% atau 60% dari BPP pada titik interkoneksi di jaringan tegangan menengah atau tegangan rendah.

2.3. Pencemaran Udara

Kehadiran suatu bahan kimia di suatu tempat yang tidak tepat atau pada konsentrasi yang tidak tepat, maka bahan kimia tersebut disebut “pencemar”. Jadi ada dimensi ruang atau tempat dan dimensi konsentrasi yang harus diperhatikan untuk menyatakan adanya pencemaran. Dimensi tempat berhubungan dengan keberadaan


(36)

organisme khususnya manusia. Suatu bahan kimia bukan merupakan pencemar apabila terdapat di udara dalam hutan yang jauh dari pemukiman, namun apabila hadir di pemukiman, maka bahan kimia tersebut disebut pencemar udara. Dimensi kedua untuk menyatakan suatu bahan kimia yang hadir di udara merupakan pencemar adalah konsentrasinya. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa (Welburn, 1990): (1) bahan kimia tertentu khususnya gas secara alami sudah terdapat di atmosfir, (2) kegiatan pembangunan khususnya bidang industri dan transportasi mau tidak mau menghasilkan bahan atau gas pencemar udara, dan (3) kehadiran gas-gas tertentu di atmosfir pada konsentrasi tertentu justru menguntungkan, sebaliknya melebihi konsentrasi tertentu gas-gas tersebut dapat menjadi pencemar udara karena membahayakan kesehatan.

2.3.1. Jenis dan sumber pencemar udara

Pencemar udara dihasilkan oleh alam dan juga terutama oleh kegiatan manusia. Kejadian atau gejala alam yang dapat menghasilkan pencemar udara diantaranya : letusan gunung berapi, badai pasir, dan penyebaran serbuksari dari tanaman tertentu, yang dapat menyebabkan penyakit asma. Pencemaran udara yang disebabkan oleh manusia terutama merupakan hasil dari kegiatan transportasi, industrialisasi dan urbanisasi. Sumber-sumber pencemar udara adalah : proses pemanasan dan industri.

Proses pemanasan meliputi loncatan listrik, pembakaran gas alam dan bahan bakar minyak. Pemanasan berupa loncatan listrik dengan suhu yang tinggi dapat menghasilkan gas NO2. Gas alam sebagian besar adalah metana (CH4) dan sebagian kecil berupa etana (C2H6) dan propana (C3H8). Pembakaran gas alam dapat menghasilkan gas CO2 dan CO dan pada suhu tinggi dapat menghasilkan NO2. Pembakaran bahan bakar minyak (BBM) terutama menghasilkan gas SO2 dan hanya sedikit sebagai SO3. Abu juga dihasilkan, tetapi dalam jumlah sangat kecil, kurang dari 0,1%. Gas SO2 yang dihasilkan dari pembakaran BBM, tergantung pada kandungan sulfur dalam tiap jenis BBM. Kandungan sulfur yang umum dalam tiap jenis BBM disajikan pada Tabel 2.3. Bahan bakar padat terutama batubara memiliki kandungan abu yang tinggi, sulfur sekitar 1% dan kadang-kadang mengandung fluor sekitar 0,01%. Pembakaran batubara menghasilkan abu yang sebagian berbentuk abu terbang dan gas SO2. Sebagian sulfur tidak keluar sebagai SO2 tetapi masih terikat dalam abu.


(37)

Tabel 2.3 Kandungan sulfur dalam bahan bakar minyak

No. Jenis Bahan Bakar Minyak Kandungan Sulfur (%)

1. Avtur 0,11

2. Premium 0,01

3. Minyak Tanah 0,03

4. Solar 0,14

5. Industrial Diesel Fuel (IDF) 0,07

6. Industrial Fuel Oil (IFO) 1,65

Sumber : Pertamina U.P. IV Cilacap (2003)

Jenis pencemar udara yang dihasilkan oleh industri berbeda-beda, tergantung pada jenis industrinya. Biasanya pencemar udara dari industri dibuang melalui cerobong (stack) yang tinggi, sehingga pencemar udara dapat terdispersi secara sempurna di udara. Beberapa jenis industri dan pencemar udara yang diemisikan disajikan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Jenis industri dan bahan pencemar udara yang diemisikan

Jenis Industri Pencemar yang dihasilkan Industri besi dan baja Debu, senyawa fluorida dan SO2

Kilang minyak bumi Hidrokarbon, senyawa sulfur (SO2 dan H2S), NO, NO2, debu dan merkaptan

Industri kayu lapis Padatan tersuspensi, fenol dan asam resin Industri rayon dan pulp Senyawa sulfur (bahan basah) misalnya CS2 dan

H2S, metil merkaptan, dimetil merkaptan dan metil sulfida

Industri semen Debu

Industri kimia HCl, Cl2, NO2, NH3, hidrokarbon aromatik, pestisida dan lai-lain

Industri pengolahan karet NH3, H2S dan senyawa bau lainnya Industri logam dan pengecoran

logam

SO2, sulfida, klor, HCl dan debu

Sumber : Hartogenesis, 1977; Winarso, 1991; Straus dan Mainwaring, 1994. 2.3.2. Dampak Pencemaran Udara

Pencemaran udara dapat berpengaruh terhadap iklim, vegetasi atau tanaman, hewan dan manusia. Pengaruh pencemaran udara terhadap iklim antara lain meningkatkan suhu rata-rata bumi, penurunan suhu permukaan bumi, merangsang terjadinya hujan. Pengaruh pencemaran udara terhadap tanaman adalah terjadinya kerusakan klorofil. Pengaruh pencemaran udara terhadap manusia tergantung pada pencemar yang ada di udara. Beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia disajikan pada Tabel 2.5.


(38)

Tabel 2.5 Pengaruh jenis pencemar udara terhadap manusia

Jenis pencemar udara Pengaruh terhadap manusia

Karbon monoksida (CO) Menurunkan kemampuan darah membawa oksigen,

melemahkan berfikir, penyakit jantung, pusing, kelelahan, sakit kepala dan kematian

Sulfur dioksida (SO2) Memperberat penyakit saluran pernafasan, melemahkan

pernafasan, dan iritasi mata

Nitrogen oksida (NO) Memperberat penyakit jantung dan pernafasan, dan iritasi

paru-paru

Debu Penyakit kanker, memperberat penyakit jantung dan

pernafasan, batuk, iritasi kerongkongan dan saluran pernafasan.

Sumber : Fardiaz, 1992; Nukman, 1998; Holper dan Noonan, 2000.

Menurut Adel (1995) dan Hill (1984), CO merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau, mempunyai afinitas yang tinggi dengan hemoglobin, yaitu sekitar 240 kali lebih kuat dibandingkan afinitas O2 terhadap hemoglobin. Dengan demikian apabila CO masuk kedalam paru-paru akan berikatan dengan hemoglobin membentuk karboksi-hemoglobin (CO-Hb). Hill (1984) menyatakan bahwa gas CO sebagai gas mematikan, dampaknya tidak dapat berbalik (irreversible). Dengan demikian kemampuan darah untuk membawa oksigen sangat terhambat.

SO2 berbau tajam, sangat korosif, terbentuk karena ketidakmurnian bahan bakar kendaraan yang mengandung belerang. Menurut Forsdyke (1970), baik batubara maupun minyak yang merupakan bahan bakar mengandung 1-3% sulfur. Pembakaran 1000 kg bahan bakar tersebut dapat menghasilkan SO2 sebanyak 60 kg yang dibuang ke atmosfir.

Pencemaran udara oleh SO2 dan NO2 sebagai pencemar primer, selanjutnya menyebabkan dampak lanjutan berupa adanya deposisi asam baik deposisi basah maupun kering. Deposisi basah turun sebagai asam yang terlarut dalam air hujan ditandai oleh pH air hujan <5,6 yang dikenal dengan hujan asam. Deposisi kering berupa butiran-butiran ke permukaan pepohonan, bangunan dan dapat juga masuk ke pernafasan pada keadaan cuaca cerah atau berawan. SO2 mempunyai kontribusi yang lebih besar terhadap presipitasi asam dibandingkan dengan NO2 karena SO2 lebih mudah larut dalam air.

SO2 yang dilepaskan ke udara teroksidasi terlebih dahulu oleh O2 menjadi SO32-, kemudian bereaksi dengan uap air yang berada di udara dan akhirnya membentuk H2SO4. Reaksi ini dapat dipercepat dengan hadirnya senyawa logam seperti Fe dan Mn yang bersifat katalis dengan tahapan reaksi sebagai berikut (Finley, 2001):

2 SO2 (g) + O2 (g) 2 SO3 (g) SO3 (g) + H2O (g) H2SO4 (aq)


(39)

H2SO4 merupakan asam kuat yang mempunyai pH rendah. Adanya H2SO4 dalam air hujan menurunkan pH air hujan.

Finley (2001) juga menjelaskan bahwa NO2 bersifat tidak stabil dan cepat bereaksi dengan uap air di udara menjadi HNO3 seperti reaksi berikut:

2 NO2 (g) + O2 (g) 2 NO2 (g) NO2 (g) + H2O (g) HNO3 (aq)

Lebih lanjut dinyatakan HNO3 bersifat asam kuat dan mempunyai daya oksidator yang tinggi, sehingga bila terdapat dalam air hujan akan menurunkan pH air hujan dan juga memberikan sifat oksidator pada air hujan.

Peranan H2SO4 dan HNO3 dalam pembentukan hujan asam tersebut didukung oleh hasil penelitian Singh and Agrawal (1996) tentang respon 2 kultivar Triticum aestivum L. terhadap simulasi hujan asam. Konsentrasi ion pada larutan simulasi hujan asam seperti pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Konsentrasi ion pada larutan simulasi hujan asam Konsentrasi ion (mg/l) pH larutan

hujan asam H+ NO3- SO4

2-5,6 0,002 0,23 1,12 5,0 0,006 0,40 1,60 4,5 0,020 0,52 2,10 4,0 0,080 1,30 5,20 3,0 1,000 9,31 37,00

Dampak selanjutnya dari deposisi asam adalah meningkatnya keasaman tanah dan air yang akan mempengaruhi mahluk hidup seperti tumbuhan dan hewan.

2.4. Peran Serta Masyarakat

Berdasarkan kamus Webster (1976), peran serta mengandung arti : 1) kegiatan atau pernyataan untuk ikut mengambil bagian dalam suatu kegiatan, 2) kerjasama dalam suatu hubungan yang saling menguntungkan. Peran serta dalam pengelolaan lingkungan berarti peran serta seseorang atau masyarakat dalam proses pemanfaatan, pengendalian, penilaian lingkungan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberikan masukan berupa pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pengelolaan lingkungan (Anwar, 1999). Besarnya manfaat lingkungan yang dapat dinikmati oleh pelaku peran


(40)

serta sangat tergantung pada besar dan mutu sumbangannya pada pengelolaan lingkungan, sedangkan besar dan mutu sumbangannya sangat tergantung pada tingkat kemampuan serta kesempatan yang diperoleh untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan tersebut (Sudibyo, 1994).

Uphoff (1988), menyatakan bahwa paling tidak ada tiga alasan utama pentingnya melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pengelolaan lingkungan, yaitu : (1) sebagai langkah awal mempersiapkan masyarakat untuk menumbuhkan rasa memiliki dan rasa tanggung jawab masyarakat setempat terhadap program pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan, (2) sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi, dan sikap masyarakat setempat, dan (3) masyarakat mempunyai hak untuk mengeluarkan pendapat dalam menentukan program-program pengelolaan lingkungan yang akan dilaksanakan di wilayah mereka.

2.5. Sistem

Sistem berasal dari perkataan "systema" dalam bahasa Yunani, yang dapat diartikan sebagai keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian (Winardi, 1999). Setiap fenomena, baik struktural maupun fungsional, yang memiliki sekurangnya dua komponen yang dapat dipisahkan dan yang saling berinteraksi dapat dianggap sebagai suatu sistem. Definisi lain yang lebih umum adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan (Muhammadi et al, 2001). Prahasta (2001), lebih menekankan pada sekumpulan obyek, ide, yang saling berhubungan dalam mencapai tujuan dan sasaran bersama. Sistem informasi berbasis komputer dibagi menjadi: sistem manajemen data dasar (data based management system), sistem informasi manajemen (management information system), sistem penunjang keputusan (decission support system), dan sistem pakar (expert system) (Marimin, 2007). Selain dari sistem informasi sebelumnya beberapa pakar geografis masih menambahkan sistem informasi geografis (SIG), yaitu suatu paradigma baru dalam proses pengambilan keputusan dan penvebaran informasi. Suatu sistem dapat dinyatakan secara deskriptif dalam bentuk pernyataan (statement) yang dirumuskan dalam kata-kata atau kalimat. Gejala-gejala alam sehari-hari, atau peristiwa-peristiwa alam diwaktu yang lalu apabila diamati secara seksama, mengikuti pola-pola alami yang dapat dijelaskan dengan analisis matematika. Dalam membuat pertanyaan, ataupun pernyataan digunakan nalar atau logika.


(41)

Jeffers (1978), mengidentifikasi tujuh langkah dalam aplikasi analisis sistem terhadap suatu masalah ekologi praktis. Langkah-langkah ini dan keterkaitannya satu sama lain diringkas sebagai berikut :

(1). Pengenalan, Pengenalan terhadap keberadaan suatu masalah atau suatu konstelasi dari masalah-masalah yang saling terkait yang dapat dipertanggungjawabkan dan yang cukup penting untuk dapat diperlihatkan melalui penelitian terinci, bukanlah suatu langkah yang sepele. Karenanya, tahap pengenalan ini sangatlah penting artinya dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan dari penelitian yang bersangkutan.

(2). Definisi dan pembatasan masalah. Setelah keberadaan suatu masalah diketahui, perlu dilakukan penyederhanaan, sehingga memungkinkan untuk diselesaikan melalui solusi analitik. Di lain pihak, semua faktor yang akan membuat masalah tersebut cukup diminati sebagai subyek penelitian praktis sebaiknya dipertahankan.

(3). Identifikasi hirarki tujuan. Setelah masalahnya ditentukan dan dibatasi, tujuan-tujuan penelitian dapat ditetapkan. Biasanya, tujuan-tujuan tersebut akan membentuk suatu hirarki, dengan tujuan-tujuan utamanya dibagi lagi ke dalam serangkaian tujuan yang skalanya lebih kecil. Dalam hirarki semacam itu, perlu ditentukan prioritas-prioritas pada berbagai tahap dan .juga prioritas yang berkaitan dengan besarnya usaha yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang bersangkutan.

(4). Mencari solusi. Sampai tahap ini, biasanya dimungkinkan bagi pihak peneliti untuk memperoleh serangkaian solusi yang mungkin bagi masalah yang bersangkutan. (5). Pembuatan model. Tahap penting dari pembuatan model, adalah penetapan

keterkaitan dinamik antara berbagai segi dari masalah yang bersangkutan. Pembuatan model harus dilakukan dengan penuh kesadaran akan adanya keraguan-keraguan dalam berbagai proses yang akan dibuat modelnya, dan akan adanya mekanisme feedback yang dapat menambah kerumitan baik pemahaman maupun pelacakan dari sistem yang bersangkutan.

(6). Evaluasi terhadap arah tindakan yang potensial. Pada evaluasi ini diperlukan adanya penelitian terhadap sensitivitas dari hasil asumsi-asumsi yang dibuat melalui model tersebut; karena hanya pada saat model tersebut mulai digunakanlah kekurangan-kekurangannya dalam asumsi-asumsi yang telah dibuat dan dalam perumusan model tersebut mulai tampak.


(42)

(7). Implementasi hasil. Tahap final dalam analisis sistem adalah implementasi hasil yang diperoleh dari tahap-tahap sebelumnya.

2.6. Penggunaan Sistem Dinamis

Secara substansi terdapat 3 alasan yang mendasari penggunaan sistem dinamis yaitu: 1) pendekatan sistem dengan metode sistem dinamis merupakan proses berpikir menyeluruh dan terpadu yang mampu menyederhanakan kerumitan tanpa kehilangan esensi atau unsur utama yang menjadi obyek perhatian, 2) metode sistem dinamis sesuai digunakan untuk menganalisis mekanisme interaksi atau melihat pola keterkaitan antar unsur atau elemen suatu sistem yang rumit, berubah menurut waktu dan mengandung ketidakpastian, 3) dapat merepresentasikan alternatif-alternatif keputusan dengan cepat melalui simulasi model yang dibangun (Coyle, 1996).

Secara garis besar tahapan analisis sistem dinamis meliputi : 1) identifikasi masalah, 2) merumuskan hipotesis sistem dinamis, 3) menyusun kausal sebab akibat atau interface diagram, 4) membangun model simulasi pada komputer, 5) melakukan pengujian model apakah dapat diterapkan pada dunia nyata, dengan menilai model apakah dapat digunakan untuk pemecahan masalah dan memformulasikan kebijakan yang diperlukan (System Dynamics Society, 2007). Dalam khasanah ilmu sistem, metode sistem dinamis dimasukkan dalam kategori kotak terang atau proses pengolahan input menjadi output dapat dijelaskan dengan lebih akurat (Muhammadi et al., 2001).

2.7. Model

Dalam percakapan sehari-hari model untuk menyatakan sesuatu yang patut dicontoh atau "patut dijadikan teladan". Tetapi dalam bidang ilmu pengetahuan suatu model merupakan abstraksi (abstraction) ataupun penyederhanaan (simplification) dari suatu sistem, dan untuk menafsirkannya (Jorgensen, 1988; Grant et al, 1997). Dengan kata lain, model dalam arti luas merupakan penggambaran sebagian dari kenyataan. Model-model dari ekosistem jauh lebih sederhana daripada ekosistem yang sebenarnya. Suatu model harus memiliki atribut-atribut fungsional penting yang terkandung dalam sistem nyata. Definisi lainnya adalan bahwa model merupakan alat untuk meramalkan perilaku dari suatu kesatuan, yang rumit dan kurang dipahami, dari perilaku bagian-bagian yang dipahami dengan baik. Model dapat dianggap sebagai suatu formulasi dari pengetahuan mengenai suatu sistem.


(43)

Model dapat diklasifikasikan dengan berbagai sudut pandang (Jeffers, 1978, Tarumingkeng, 1994; Winardi, 1999), antara lain :

2.7.1. Menurut fungsi :

a. Model Deskriptif, yaitu: menggambarkan situasi tertentu. Contohnya: bagan organisasi.

b. Model Prediktif yaitu: persamaan yang bersifat peramalan. Contohnya : grafik curah hujan dan lain-lain.

c. Model Normatif, yaitu: persamaan yang memberikan rekomendasi untuk tindakan tertentu. Contohnya: jika sebuah komputer tanpa ada aliran energi listrik, tidak akan ada gunanya.

2.7.2. Menurut struktur

a. Model Ikonis, yaitu: memiliki beberapa sifat fisik dari hal orisinil yang digambarkan. Contohnya: maket, miniatur.

b. Model Analog, yaitu: antara hal orsinil dan model terjadi substitusi elemen-elemen dan relasi-relasi. Contoh: grafik, peta.

c. Model Simbolis, yaitu: melukiskan kenyataan dengan bantuan simbol-sirnbol. Contohnya: persamaan, rumus.

2.7.3. Menurut adanya faktor waktu.

a. Model Statis, yaitu: terjadinya perubahan tanpa mernperhitungkan waktu. Contohnya : skema organisasi, model pembelian dan besarnya order.

b. Model Dinamis, yaitu: perubahan terjadi dengan memperhatikan fakfor waktu secara eksplisit dimasukkan sebagai variabel yang menerangkan.

Salah satu penggunaan model yang penting adalah mengoptimasi pembuatan keputusan mengenai lingkungan. Model juga dapat membantu dalam mengoptimasi, atau memilih cara yang terbaik untuk menghadapi kondisi-kondisi yang rumit di masa datang. Hampir semua interaksi dibidang ekologi bersifat dinamik (Jeffers,1978), dalam arti bahwa interaksi-interaksi tersebut bersifat tergantung-waktu dan senantiasa berubah. Terlebih lagi, interaksi-interaksi tersebut seringkali memiliki fitur yang disebut sebagai umpan balik, yaitu, membawa kembali efek-efek dari suatu proses tertentu kepada


(44)

sumbernya atau kepada tahap terdahulu untuk dapat memperkuat atau memodifikasinya. Umpan balik semacam itu kadang-kadang bersifat positif, dalam arti bahwa efek-efeknya meningkat, dan kadang-kadang bersifat negatif, dalam arti bahwa efeknya menurun. Umpan balik itu sendiri bersifat kompleks, dengan berbagai hasil yang bergantung pada serangkaian faktor lingkungan.

Dengan berjalannya waktu, suatu model mungkin dapat menggambarkan suatu sistem yang berubah ataupun tidak. Suatu model statik menggambarkan hubungan atau kumpulan hubungan yang tidak berubah dengan berjalannya waktu, Contoh-contoh umumnya mencakup model-model regresi yang tidak memiliki waktu sebagai variabel independen. Suatu model dinamik menggambarkan hubungan yang bersifat variasi antar waktu. Model-model dinamik adalah model-model yang berusaha mencerminkan perubahan-perubahan karena pengaruh waktu, dengan mempertimbangkan bahwa komponen-komponen model tersebut secara konstan berevolusi sebagai akibat dari tindakan-tindakan sebelumnya, sehingga dapat menyelidiki perilaku sistem apakah menuju atau menjauh dari posisi ekuilibrium (Ruth and Hannon, 1997).

Sebuah model sistem dinamik adalah sebuah bentuk matematika, biasanya persamaan-persamaan yang berbeda, tetapi tidak termasuk perubahan-perubahan logika atau kekuatan stokastik (Rord, 2000). Model sistem dinamik dapat dibuat dari sistem aktual.

2.8. Analisis Finansial

Dalam menilai tingkat keberhasilan suatu investasi, pengambil keputusan memerlukan informasi tentang kinerja keuangan yang tersusun dalam bentuk akuntansi keuangan. Beberapa dasar perhitungan kriteria investasi adalah nilai neto sekarang (net present value-NPV), rasio manfaat terhadap biaya (benefit cost ratio-B/C), dan tingkat pengembalian internal (internal rate of return-IRR).

2.8.1. Nilai Neto Sekarang (Net Present Value-NPV)

Present value (nilai sekarang) adalah jumlah uang yang harus dinvestasikan pada waktu sekarang dengan tingkat bunga tertentu guna mendapatkan penerimaan arus kas tertentu pada akhir periode tertentu di masa datang. Kriteria NPV didasarkan pada konsep mendiskonto seluruh aliran kas ke nilai sekarang. Dengan mendiskonto semua aliran kas masuk dan keluar selama umur proyek (investasi) ke nilai sekarang, kemudian


(45)

menghitung angka neto maka akan diketahui selisihnya dengan memakai dasar yang sama, yaitu harga pasar saat ini. Hal tersebut berarti sekaligus dua hal telah diperhatikan, yaitu faktor nilai waktu dari uang dan (selisih) besar aliran kas masuk dan keluar. Dengan demikian amat membantu pengambil keputusan untuk menentukan pilihan. NPV menunjukkan berapa besar nilai usaha saat ini pada tingkat diskonto tertentu. Formulasi matematis NPV sebagai berikut (Gittinger, 1986) :

+

= − = n t t t t

i

C B NPV

1

(

1

)

………(2.1)

Keterangan : NPV = nilai neto sekarang

Bt = nilai produksi pada tahun ke i Ct = biaya produksi tahun ke i

n = umur ekonomis kegiatan investasi i = tingkat bunga (diskonto)

t = waktu

2.8.2. Rasio Manfaat terhadap Biaya(B/C ratio)

Kriteria B/C menunjukkan perbandingan manfaat terhadap biaya. Formulasi matematis B/C sebagai berikut (Gittinger, 1986) :

B/C =

)

1

(

)

1

(

1 1

i

C

i

B

t t n t t t t n t t

+

+

= = = = ...(2.2)

Kriteria pengujian : B/C>1 investasi dapat dijalankan B/C<1 investasi tidak dapat dijalankan

2.8.3. Tingkat Pengembalian Internal (Internal Rate of Return-IRR)

IRR mencerminkan tingkat balikan internal sewaktu nilai sekarang biaya sama dengan nilai sekarang penerimaan, atau pada saat NPV = 0. Kriteria kelayakan adalah IRR> tingkat bunga.


(46)

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian model pengelolaan energi berbasis sumberdaya alam di pulau kecil difokuskan kepada energi listrik. Penelitian dilaksanakan di gugus pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan, yang merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Klungkung, Propinsi Bali (Gambar 3.1.).

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian

Lokasi penelitian ditetapkan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan sebagai berikut :

a) Sudah dilaksanakan rintisan pemanfaatan tenaga angin dan radiasi matahari sebagai sumber energi pembangkit listrik.


(47)

Penelitian dilaksanakan selama 17 bulan mulai bulan April 2007 sampai dengan bulan Agustus 2008 dengan jadwal pelaksanaan seperti pada Lampiran 1.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam membangun model pengelolaan energi berbasis sumberdaya alam dan berwawasan lingkungan terdiri atas data primer dan data sekunder. Jenis dan cara pengumpulan data untuk masing-masing variabel seperti pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Jenis dan cara pengumpulan data untuk masing-masing variabel

No. Peubah Jenis Data Sumber Cara Pengumpulan 1. Kecepatan angin Primer dan

sekunder

Lapang dan laporan Observasi dan kompilasi laporan 2. Intensitas radiasi

cahaya matahari

Sekunder Laporan Kompilasi laporan 3. Kesesuaian lahan dan

iklim pengembangan tanaman BBN

Primer dan sekunder

Lapang dan laporan Analisis laboratorium dan kompilasi laporan 4. Emisi gas buang Primer Lapang Observasi dan analisis

laboratorium 5. Jumlah penduduk Sekunder Laporan Kompilasi laporan 6. Kebutuhan energi Primer dan

sekunder

Masyarakat dan laporan

Survei dan kompilasi laporan

7. Penyediaan energi Primer dan Sekunder

Masyarakat dan laporan

Survei dan kompilasi laporan

8. Harga input dan output Primer dan Sekunder

Masyarakat dan laporan

Survei dan kompilasi laporan

9. Keterkaitan antar elemen

Primer Pemangku kepentingan

Survei

Data primer diperoleh melalui survei, observasi lapang, dan analisis laboratorium. Data sekunder diperoleh dari PLN wilayah Bali, Dinas Pertanian, dan lembaga terkait.

3.3. Rancangan Penelitian

Berorientasi kepada tujuan penelitian, yaitu membangun model pengelolaan energi berwawasan lingkungan di pulau kecil yang merepresentasikan integrasi berbagai elemen, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sistem. Tahapan penelitian dirancang sebagai berikut :

3.3.1. Analisis Kebutuhan

Penelitian dengan pendekatan sistem diawali dengan analisis kebutuhan. Analisis ini menggambarkan kebutuhan dari masing-masing pemangku kepentingan dalam sistem


(48)

pengelolaan energi berbasis sumberdaya alam berwawasan lingkungan di pulau kecil, seperti yang disajikan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.3 Analisis kebutuhan pemangku kepentingan

No. Pemangku Kepentingan Kebutuhan

1. PLN Sumber energi untuk pembangkit listrik tersedia

secara kontinyu.

2. Pemerintah Subsidi listrik berkurang.

Kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.

3. Petani Kemudahan memperoleh sarana produksi

Harga jual hasil tanaman penghasil bahan bakar nabati tinggi.

4. Masyarakat Kebutuhan energi terpenuhi dengan harga

terjangkau.

Kesehatan lingkungan terjamin.

3.3.2. Identifikasi Sistem

Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam kasus pengelolaan energi berwawasan lingkungan di pulau kecil, hubungan tersebut digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop) seperti pada Gambar 3.2.

+

Kesesuaian lahan

areal

pengembangan Jumlah KK

Ketersediaan benih Konservasi lahan Kebijakan Pemerintah Pemenuhan kebutuhan energi Pemakaian energi Produksi BBN + + Lahan kritis + -+ + + + Pemanfaatan Tenaga Angin Pemanfaatan Radiasi Matahari + + + + -Jumlah Industri Penyediaan BBM + + +

Gambar 3.2 Diagram lingkar sebab akibat sistem pengelolaan energi berwawasan lingkungan di pulau kecil


(1)

135


(2)

(3)

137

Lampiran 16.

Komputerisasi Model RE-Nusa

Halaman muka


(4)

(5)

139

Penghematan Solar Halaman Beban Lingkungan


(6)