Prosedur Penyelesaian Pembiayaan HASIL DAN PEMBAHASAN

sesuai dengan ujrah yang ditentukan. Sebelum jatuh tempo, pihak bank akan memberikan informasi kepada nasabah dalam mengingatkan kewajiban pembayaran atau kesepakatan perpanjangan”. Maka dari penjelasan di atas maka terdapat analisis dalam prosedur penyelesaian pembiayaan dengan berbagai cara yaitu : 1. Sebelum Jatuh Tempo a. Terhadap pembiayaan yang akan jatuh tempo, kantor pemberian pembiayaan wajib menyampaikan pemberitahuan kepada nasabah selambat-lambatnya 2 dua hari sebelum tanggal jatuh tempo. b. Pemberitahuan dapat dilakukan dengan cara: 1. Surat pemberitahuan secara tertulis. 2. SMS melalui program aplikasi TSI Tekhnologi Sistem Informasi. 3. Telepon langsung kepada nasabah. 4. mendatangi langsung ke rumah nasabah. c. Dalam pemberitahuan tersebut, kepada nasabah: 1. Diminta kepada nasabah menyelesaikan seluruh kewajibanya tepat pada waktunya. 2. Diberikan opsi perpanjangan, dengan mengajukan permohonan perpanjangan kepada bank sebelum atau pada saat jatuh tempo. 3. Pemberitahuan dapat diabaikan, jika nasabah telah atau segera melunasi pinjamanya. 2. Pada Saat Jatuh Tempo a. Pada saat jatuh tempo, bank wajib memberitahukan kembali kepada nasabah untuk menyelesaikan kewajibanya dalam tenggang waktu yang diberikan dengan kewajiban membayar biaya pemeliharaan dan penyimpanan. b. Pemberitahuan wajib dilakukan secara tertulis dengan surat yang ditandatangani pemimpin kantor cabang syariah, disamping secara tertulis dengan surat dapat pula disertai dengan sms dan atau telepon namun tidak menghilangkan kewajiban pemberitahuan melalui surat. 3. Setelah Jatuh Tempo. a. Terhadap nasabah yang tidak menyelesaikan kewajibanya pada tanggal jatuh tempo, diberikan kesempatan untuk menyelesaikanya pada masa tenggang yang ditetapkan dalam akad dan surat pemberitahuan. b. Setelah berakhirnya masa tenggang, bank wajib memberikan peringatan tertulis kepada nasabah untuk menyelesaikanya, peringatan dimulai dengan peringatan I, II dan III dengan jeda waktu antara peringatan yang satu dengan peringatan berikutnya berkisar antara 7 atau 10 hari. c. Seluruh peringatan dan penanganan penyelesaian pembiayaan setelah jatuh tempo dilakukan oleh kantor cabang syariah dan terhadap pembiayaan yang dilakukan dikantor dibawah kantor cabang syariah dilakukan oleh kantor cabang syariah induknya. d. Jika sampai dengan tanggal akhir toleransi yang diberikan nasabah tidak menunjukan tanda-tanda kemampuan untuk menyelesaikan kewajibanya, bank sesuai dengan kuasa yang diterimanya dalam akad dapat: 1. Meminta nasabah untuk menjual barang jaminan. 2. Melakukan penjualan sendiri barang jaminan. 3. Melakukan lelang atas barang jaminan. e. Penyelesaian dapat juga dengan meminta nasabah untuk menjual barang jaminan dilakukan apabila nasabah masih mempunyai itikad untuk menyelesaikan kewajibanya atau kooperatif dengan bank. Dalam prosedur di atas ada pengecualian tidak dapat menerima cicilan ujrah, akan tetapi pengurangan pokok pembiayaan dapat dilakukan. Dengan cara membayar ujrah batas akhir pembayaran pokok, dan perhitungan kembali ujrah sesuai dengan pinjaman yang digunakan nasabah. Semakin sedikit pembiayaan, maka berkurang juga ujrah yang ditanggung nasabah. Ini menyalahi aturan DSN MUI di mana tidak boleh ada pembiayaan yang pengembaliannya ditentukan dengan jumlah pinjaman. Sehingga mengandung adanya riba, yang menyalahi aturan akad qardh. Anshari, 2011 : 124 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Konsep akad rahn emas dalam pembiayaan gadai emas syariah di BSM KC Yogyakarta memiliki 3 akad dalam SBGE yang tertulis, yaitu aqad qardh dalam pemberian pembiayaan, lalu akad rahn dalam penahanan jaminan emas, dan yang terakhir akad ijarah sebagai jasa pemeliharaan barang yang digadaikan. Akan tetapi yang menjadi akad induk dalam pembiayaan gadai emas ini adalah akad ijarah dalam pengambilan keuntungan, namun akad rahn dan akad qardh hanya teknisi saja. Akad-akad gadai emas di atas sesuai dengan fatwa DSN MUI No. 26DSN-MUIIII2002 Tentang Rahn Emas. 2. Penerapan akad rahn emas dalam pembiayaan gadai emas syariah masih belum bisa dikatakan syariah, karena pengambilan ujrah yang seharusnya diambil dari taksiran nilai barang. Akan tetapi di BSM pengambilan ujrah dilakukan perhitungan sesuai besar pinjaman yang diterima nasabah. Sehingga menyalahi fatwa DSN MUI nomor 19DSN-MUIIV2010 tentang qardh, di mana nasabah harus mengembalikan pinjaman sebesar jumlah pinjaman awal yang diterima oleh nasabah. Maka hal ini dalam penentuan ujrah terindikasi riba, sehingga tidak ada perbedaan yang mendasar selain akad dari pegadaian konvensional. 3. Kesesuaian praktek rahn dalam pembiayaan gadai emas syariah di BSM belum bisa dikatakan sempurna syariah, dalam penerapan akad sudah sesuai dengan fatwa DSN MUI No. 25DSN-MUIIII2002 Tentang Rahn, dan fatwa DSN MUI No. 26DSN-MUIIII2002 Tentang Rahn Emas. Bahwasanya ada tiga akad yang dipakai dalam pembiayaan gadai emas, akan tetapi dalam penerapan akad yang terjadi di lapangan ada indikasi di dalam akad yang tidak sesuai dengan syariah. Penetapan ujrah seharusnya menyesuaikan dengan fatwa DSN MUI yang diambil dari taksiran harga, dan pengambilan biaya administrasi harus sesuai dengan ongkos nyata yang dikeluarkan.

B. Kritik

1. Bank Seharusnya dalam pengambilan keuntungan, bank harus mempunyai dasar khusus buat perhitungan ijarah. Bukan melalui besarnya pinjaman yang diterima, sehingga gadai emas ini masih terindikasi riba. Gadai emas di bank syariah haruslah mengkaji ulang bagaimana fatwa DSN yang telah diajukan atas produk gadai emas, jadi ketika belum memenuhi syarat maka disesuaikan kembali agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam hal ini. Karena ini termasuk ta’awun tolong menolong atas kebutuhan yang berbeda. Dalam pengawasan gadai emas juga kurangnya DPS dalam pengawasan akad dan teknis di lapangan, sehingga terjadi ketidaksesuaian akad dalam produk pembiayaan gadai emas. 2. DSN MUI Kepada pihak DSN MUI perlunya mengkaji ulang dan penelitian ulang tentang produk gadai emas, sehingga apabila tidak ada kesesuaian dalam praktik di lapangan dapat ditarik produk ini untuk tidak beredar. Sehingga kesusuaian syariah tetap terjaga untuk menuju fallah, karena payung hukum syariah di Indonesia mengacu pada fatwa DSN MUI.

C. Saran

1. Bagi peneliti selanjutnya untuk mengkaji ulang tentang fatwa DSN MUI No. 26DSN-MUIIII2002 Tentang Rahn Emas. Mengapa DSN MUI mengeluarkan penggabungkan akad tabarru’ dengan akad jual beli jasa, sehingga keluarlah fatwa tentang gadai emas yang sekarang produknya berkembang semakin pesat. Dengan dalil karna fatwa dunia oleh AAOIFI melarang hal tersebut. 2. Bagi bank untuk dapat memperbaiki kesyariaahan produk gadai emas sesuai payung hukum di Indonesia, sehingga produk tersebut sesuai dengan fatwa DSN MUI dalam prakteknya. 3. Bagi DSN MUI untuk dapat mengkaji ulang fatwa-fatwa lama sesuai dengan praktek yang terjadi di lapangan, agar dapat mencabut segala produk yang pantas untuk dicabut ketidak tidak sesuai dengan syariah.