60
Keterangan: PGI Plasebo
= Pengetahuan Gizi Ibu Kelompok Plasebo PGI Perlakuan = Pengetahuan Gizi Ibu Kelompok Perlakuan
Gambar 14. Grafik Penyebaran Pengetahuan Gizi Ibu Menurut Skor
Karakteristik Contoh
Karakteristik balita contoh disajikan pada Tabel 12. Balita contoh dalam penelitian ini 51,4 berjenis kelamin perempuan dan 48,6 berjenis kelamin
laki- laki. Proporsi anak balita menurut jenis kelamin disajikan pada Gambar 15.
48.6 51.4
Laki-laki Perempuan
Gambar 15. Proporsi Anak Balita Contoh Menurut Jenis Kelamin Pada kelompok perlakuan anak laki- laki lebih banyak 57,2 daripada
anak perempuan 42,8. Sebaliknya pada kelompok plasebo anak perempuan lebih banyak 60 dari pada laki- laki 40. Namun kondisi gender yang
demikian tidak berpengaruh terhadap hasil penelitian.
61 Tabel 12. Karakteristik Balita Contoh menurut Jenis Kelamin, Umur,
Urutan dalam Keluarga, Riwayat Lahir, Riwayat Penyakit, Imunisasi, dan Kedatangan di Posyandu.
Kelompok Perlakuan
Plasebo Karakteristik Balita Contoh
n n
1. Jenis Kelamin - Laki-laki
- Perempuan 20
15 57,2
42,8 14
21 40,0
60,0 Total
35 100,0
35 100,0
2. Umur dalam Bulan - 30
- 30 18
17 51,4
48,6 25
10 71,4
28,6 Total
35 100,0
35 100,0
2. Urutan Dalam Keluarga - Pertama
- Kedua - Ketiga
- 3 12
8 8
7 34,2
22,9 22,9
20,0 14
12 7
2 40,0
34,3 20,0
5,7 Total
35 100,0
35 100,0
3. Riwayat Lahir - Normal
- Tidak Normalkelainan 35
100,0 34
1 97,2
2,8 Total
35 100,0
35 100,0
4. Tempat Lahir - Rumah Sakit
- Rumah - Dukun Bayi Bidan
22 13
62,8 37,2
1 30
4 2,8
85,2 12,0
Total 35
100,0 35
100,0 5. Imunisasi
- Ya, lengkap - Ya, tidak lengkap
29 6
82,8 17,2
32 3
91,4 8,6
Total 35
100,0 35
100,0 6. Kehadiran di Posyandu
- Selalurutin - Kadang-kadang
30 5
85,7 14,3
32 3
91,4 8,6
Total 35
100,0 35
100,0
Umur anak balita contoh dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni balita contoh berumur 30 bulan dan balita yang umurnya 30 bulan. Banyaknya anak
menurut kelompok umur dari kedua kelompok tidak berbeda jauh, dengan komposisi anak yang dalam kelompok umur 30 lebih besar dibandingkan
dengan anak kelompoki umur 30 bulan. Anak balita contoh yang berumur lebih dari 30 bulan sebesar 51,4 dari kelompok perlakuan dan 71,4 dari kelompok
plasebo.
62 Rata-rata urutan anak dalam keluarga sebagai anak pertama baik pada
kelompok perlakuan maupun plasebo. Besarnya persentase urutan anak dalam keluarga untuk kedua kelompok sama, berturut-turut yakni: sebagian besar balita
contoh merupakan anak pertama, kedua, dan ketiga. Sebagian lagi mereka merupakan anak yang urutanya lebih dari ketiga, yakni anak keempat, kelima dan
kesembilan. Kondisi balita contoh saat dilahirkan sebagian besar berbadan normal,
97,2 dari kelompok plasebo dan bahkan 100 dari kelompok perlakuan. Hanya 2,8 balita contoh dari kelompok plasebo yang mengalami kelainan saat
kelahiran, yakni leher terlilit plasenta kalung usus. Riwayat kelahiran balita contoh sebagian besar normal dan pertolongan persalinan semuanya dilakukan
oleh dukun bayi pada masing- masing desa paraji istilah setempat. Namun ada 2,8 kelahiran balita contoh yang akhirnya di bawa ke rumah sakit dan ditolong
oleh dokter karena kelainan. Adapun tempat kelahiran balita contoh sebagian besar dilahirkan di rumah baik dari kelompok plasebo maupun kelompok
perlakuan. Pada kelompok plasebo hanya ada 2,8 balita contoh yang dilahirkan di rumah sakit dikarenakan ada kelainan terlilit tali pusat saat kelahiran.
Semua balita contoh 100 telah mendapatkan imunisasi pada waktu bayi, baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo. Namun ada beberapa anak
balita contoh baik kelompok perlakuan maupun plasebo yang imunisasinya tidak lengkap. Hal tersebut tidak berpengaruh terhadap hasil penelitian, karena semua
anak balita contoh telah mendapatkan imunisasi DPT seperti yang disyaratkan pada pengambilan contoh. Sebagian besar 90,0 balita contoh tidak pernah
merasakan panas yang berkelanjutan setelah diimunisasi BCG, Polio dan Campak, dan hanya 10,0 balita contoh yang menderita demam setelah diimunisasi. Tetapi
panas yang dirasakan setelah diimunisasi paling lama sekitar dua hari saja. Pada imunisasi DPT 100 anak balita merasakan panas tetapi panas yang dirasakan
tidak berkelanjutan normal. Berarti balita contoh tersebut tergolong dalam kondisi yang masih normal dan sehat. Jenis imunisasi yang sudah didapatkan
diantaranya: imunisasi BCG, Hepatitis, DPT, Polio, dan Campak.
63 Untuk memantau pertumbuhan berat badan BB anak balita, kegiatan
posyandu dilakukan setiap satu bulan sekali dengan kegiatan utama berupa penimbangan. Sebagian besar ibu balita contoh membawa anaknya ke posyandu
untuk penimbangan, baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo. Hanya sebagian kecil saja 8,6 ibu balita contoh dari kelompok plasebo yang tidak
selalu datang ke posyandu dan 14,3 dari kelompok perlakuan.
Riwayat Penyakit Anak Balita
Untuk menggambarkan derajat kesehatan anak balita di wilayah penelitian dilakukan studi morbiditas, yakni wawancara dan pemeriksaan kesehatan anak
sebelum intervensi dimulai dan setelah intervensi biskuit. Wawancara dan pemerik saan kesehaan dilakukan oleh peneliti dan dokter untuk menggali data
tentang penyakit yang diderita anak sebulan sebelum intervensi dan sesudah pemberian biskuit. Menurut hasil laporan profil kesehatan Indonesia 2004,
penyakit infeksi saluran pernafasan akut ISPA dan diare merupakan penyakit yang banyak diderita anak balita dan menempati urutan pertama dan kedua, yakni
berturutan sebesar 22,8 dan 13,2 Depkes RI, 2006. Sedangkan jenis penyakit yang diderita anak balita sebelum dan setelah penelitian disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Riwayat Penyakit Anak Balita Sebelum dan Sesudah Intervensi
Kelompok Perlakuan Kelompok Plasebo
Jenis Penyakit n
n Awal intervensi
1. ISPA 2. Diare
3. Demam 4. Demam dan Pilek
5. Kulit gatal 5
3 4
6 2
14,3 8,6
11,4 17,1
5,8 6
4 4
5 1
17,1 11,4
11,4 14,3
2,9
Akhir intervensi 1. ISPA
2. Diare 3. Demam
4. Demam dan Pilek 5. Kulit gatal
1 2
1 2,9
5,8 2,9
1 2
1 4
1 2,9
5,8 2,9
11,4 2,9
Diare dan ISPA merupakan penyakit yang sering menjangkiti anak-anak balita di wilayah penelitian. Kedua penyakit tersebut dikarenakan kondisi
lingkungan dan pengasuhan caring ibu terhadap anak kurang memperhatikan
64 kebersihan sehingga tidak higienis. Penyakit lain yang sering menyertai ISPA dan
diare adalah demam. Defisiensi vitamin A dan anemia dilaporkan berhubungan dengan infeksi
parasit yang dapat menyebabkan anak diare Motarjemi, et al., 1993. Penyakit diare mempunyai dampak besar setelah ISPA terhadap pertumbuhan anak-anak,
bahkan penyebab 13 juta kasus kematian anak-anak balita setiap tahunnya Motarjemi, et al., 1993.
Hasil studi meta-analisis dari 15 studi mengungkapkan bahwa defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap morbiditas dan kelangsungan hidup anak
Thurnham, et al., 2003, dan defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap ISPA Mahalanabis, et al., 2004, dan terhadap saluran pencernaan Thurnham, et al.,
2000. Secara umum kondisi kesehatan anak balita sebulan sebelum intervensi
adalah baik, sebagian besar anak balita sehat, baik pada kelompok perlakuan maupun plasebo. Keterangan mengenai penyakit anak-anak sebulan sebelum
dilakukan penelitian pada anak-anak balita yang diperiksa oleh tim dokter, terdapat 14,3 dari kelompok perlakuan dan 17,1 kelompok plasebo
menunjukkan gejala infeksi saluran pernafasan akut ISPA, yakni batuk disertai nafas yang cepat dan pendek.
Sebelum intervensi ada 11,4 anak balita dari masing- masing kelompok yang sakit panas demam. Demam yang disertai pilek terjadi pada anak
kelompok perlakuan sebesar 17,1 dan 14,3 pada kelompok plasebo, serta penyakit gatal sebesar 5,8 pada kelompok perlakuan dan 2,9 dari plasebo.
Kedua kelompok mendapat pengobatan sebagian besar dari Puskesmas setempat untuk anak dengan gejala ISPA dan atau panas. Dua pertiga dari anak
yang menderita panas dibawa ke Puskesmas oleh orang tuanya dan semuanya diberi parasetamol. Sepertiganya dibiarkan saja oleh orang tuanya dan diberi obat
dari warung. Selain ISPA, penyakit diare sering dialami anak balita di daerah penelitian.
Sebulan sebelum intervensi, terdapat 8,6 anak balita yang menderita diare pada kelompok perlakuan dan 11,4 pada kelompok plasebo. Dua pertiga anak balita,
65 baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo, yang menderita diare dibawa ke
Puskesmas oleh orang tuanya dan diobati dengan garam oralit. Sepertiga lagi dirawat sendiri oleh ibu balita dan diobati dengan larutan gula dan garam LGG.
Setelah pemberian biskuit selama 16 minggu, ada 2,9 anak balita kelompok plasebo yang masih menderita ISPA. Beberapa anak balita pada
kelompok perlakuan dan plasebo berturut-turut menderita penyakit diare 2,9 dan 5,8 , dan demam disertai pilek sebesar 5,8 dan 11,4 , serta penyakit kulit
gatal masing- masing 2,9 . Semua anak yang sakit gatal dibawa ke Puskesmas oleh orang tuanya dan semuanya diberi salep hidrocortison.
Untuk melihat pengaruh efikasi biskuit fortifikasi terhadap morbiditas anak balita, dicari skor morbiditas. Skor morbiditas dihitung berdasarkan skor
penyakit dikalikan dengan lama penyakit dengan memberi skor yang tinggi pada penyakit infeksi yang berdampak fatal. Untuk mengetahui besaran resiko suatu
penyakit digunakan skor yang dibuat berdasarkan hasil wawancara dengan dokter. Skor 10 untuk penyakit yang tidak beresiko fatal seperti penyakit kulit, sariawan,
dan mata. Skor 50 untuk penyakit bronchitis, asma, dan ISPA. Skor 70 untuk penyakit campak serta 80 untuk diare dan muntaber yang dinilai beresiko fatal.
Rata-rata skor morbiditas anak balita ditampilkan pada Tabel 14. Tabel 14. Rata-rata Skor Morbiditas Anak Balita Sebelum dan Sesudah
Intervensi
Rata-rata Morbiditas
Perlakuan Plasebo
P Awal
77,29
a
55,0
ab
0,08 Akhir
9,80
b
41,89
b
0,01 Delta
67,49
b
13,11
b
0,00 p0,05
Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji t p0,05
Berdasarkan tabel 14, skor morbiditas yang tinggi sebelum intervensi cukup tinggi dan menurun setelah intervensi. Hal ini menandakan adanya dampak
positif dari pemberian biskuit fortifikasi terhadap kesehatan anak balita. Pada kelompok perlakuan skor morbiditas nyata- nyata lebih tinggi penurunanya
dibandingkan dengan kelompok plasebo, delta penurunan pada kelompok
66 perlakuan sebesar 67,49 dibanding 13,11 pada kelompok plasebo. Hasil uji-t
menunjukkan bahwa skor morbiditas kelompok perlakuan berbeda nyata p0,05 dengan kelompok plasebo. Uji beda delta kelompok perlakuan dan plasebo
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan p0,05 pula.
Konsumsi Biskuit Fortifikasi pada Balita Contoh
Konsumsi biskuit oleh balita contoh disajikan pada Tabel 15. Biskuit merupakan salah satu makanan yang sudah merakyat, acceptable dan disukai
anak-anak balita. Dari hasil wawancara dan pengamatan, sekitar 97,2 balita contoh menyukai biskuit baik pada kelompok perlakuan maupun plasebo. Hanya
2,8 1 anak balita contoh yang tidak menyukai biskuit baik pada kelompok perlakuan maupun dari kelompok plasebo.
Tabel 15. Konsumsi Biskuit pada Balita Contoh
Kelompok Perlakuan
Plasebo Konsumsi Biskuit oleh Balita
n n
1. Kesukaan - Ya
- Tidak 34
1 97,2
2,8 34
1 97,2
2,8 Total
35 100,0
35 100,0
2. Cara Makan - Dimakan Biasa
- Dicelupkan ke air susu - Dicelupkan ke air putih
- Dicelupkan ke air teh - Dimakan biasa +
dicelupkan ke air putih 23
6 1
2 3
65,6 17,3
2,8 5,7
8,6 25
4 2
1 3
71,5 11,4
5,7 2,8
8,6
Total 35
100,0 35
100,0 3. Banyaknya Konsumsi
- 70 - 70
1 34
2,9 97,1
5 30
14,3 85,7
Total 35
100,0 35
100,0
Ketidaksukaan anak terhadap biskuit dikarenakan biskuit berasa manis, sedangkan balita contoh tersebut tidak menyukai rasa manis. Anak-anak tersebut
cenderung menyukai rasa asin gurih. Untuk menghilangkanmenetralkan rasa manis biskuit, setiap balita contoh yang tidak menyukai biskuit selalu
mengkonsumsi biskuit dengan cara biskuit dicelupkan ke air putih cai herang.
67 Sehingga ketidaksukaan balita contoh terhadap biskuit tersebut tidak
mempengaruhi konsumsi biskuit selanjutnya. Cara anak balita contoh dalam mengkonsumsi biskuit cukup bervariasi,
antara lain: biskuit dimakan biasalangsung dimakan, biskuit terlebih dahulu dicelupkan ke air putih, dicelupkan ke air susu, ataupun dicelupkan ke air teh. Ada
juga balita contoh yang mengkonsumsi biskuit dengan cara kombinasi, yakni kadang biskuit dicelupkan ke air putih, kadangkala biskuit dimakan biasa secara
langsung. Persentase cara makan biskuit baik pada kelompok perlakuan maupun
plasebo sama. Sebagian besar anak balita contoh mengkonsumsi biskuit secara langsungbiskuit dimakan biasa digado menurut bahasa setempat, baik pada
kelompok perlakuan 65,6 maupun kelompok plasebo 71,5. Sebagian lagi mengkonsumsi biskuit dengan dicelupkan ke air susu 17,3 pada kelompok
perlakuan dan 11,4 pada kelompok plasebo. Sisanya, 2,8 kelompok perlakuan dan 5,7 plasebo biskuit dicelupkan ke air putih hanya 2,8 dan
8,6 dengan cara kombinasi. Biskuit fortifikasi yang diberikan kepada anak-anak balita dianjurkan
dikonsumsi 54 gram 10 keping setiap harinya Menurut hasil wawancara, pantauan, dan catatan konsumsi biskuit harian, rata-rata konsumsi biskuit
fortifikasi harian sebesar 9,8 keping. Persentase banyaknya konsumsi biskuit dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni konsumsi yang baik 70, dan
kurang apabila konsumsi biskuit 70. Sebagian besar anak balita contoh, baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok plasebo telah mengkonsumsi biskuit
sesuai dengan anjuran. Hanya ada 2,9 1 anak balita dari kelompok perlakuan dan 14,3 5 anak balita dari kelompok plasebo yang konsumsinya kurang,
dikarenakan rasa biskuit kurang enak tidak gurih dan tekstur biskuit tidak renyah serta cenderung menempel di gigi bila biskuit dikunyah.
Sejumlah biskuit yang dikonsumsi oleh anak balita memberikan tambahan energi dan zat gizi mikro. Tambahan rata-rata energi dan zat gizi mikro dari
biskuit fortifikasi yang dikonsumsi anak balita per hari dengan anjuran 54g biskuit10 keping diperlihatkan pada Tabel 16.
68 Berdasarkan tabel perhitungan gizi tersebut, rata-rata biskuit fortifikasi
yang dikonsumsi anak balita contoh per hari mengandung zat besi dan vitamin A yang cukup tinggi berdasarkan persentase AKG Tahun 2004. Sumbangan vitamin
A dan zat besi Fe harian dari biskuit fortifikasi kepada anak balita contoh berturut-turut sebesar 109,1 dan 96,5 AKG.
Tabel 16. Tambahan Energi dan Zat Gizi Mikro Harian dari Biskuit Fortifikasi Setiap 100 gram terhadap Kecukupan Gizi Balita
Jenis Zat Gizi Mikro Banyaknya
AKG Energi kkal
Besi mg Vitamin A µg
209,48+ 19,51 4,17 + 0,38
235,65 + 21, 94 14,4
96,5 109,1
Kalau diperhatikan lebih teliti bahwa persentase konsumsi biskuit pada kelompok perlakuan lebih banyak apabila dibandingkan dengan kelompok
plasebo. Hal tersebut diakibatkan karena kandungan vitamin A pada biskuit fortifikasi dapat meningkatkan dan memacu nafsu makan anak balita, disamping
biskuit fortifikasi rasanya lebih enak daripada biskuit plasebo. Konsumsi rata-rata biskuit mingguan disajikan pada Gambar 16.
Gambar 16. Rata-rata Konsumsi Biskuit Anak GramHari Menurut Minggu
Rata-rata konsumsi biskuit harian per gram menurut mingguan yang
nampak pada gambar 16 tidak banyak perbedaan dari minggu pertama sampai
69 minggu terakhir intervensi. Perbedaan mencolok terjadi pada minggu ketiga
sampai minggu kelima. Pada kelompok perlakuan rata-rata konsumsi biskuit mencapai 52,9 gram 9,8 keping, sementara pada kelompok plasebo rata-rata
konsumsi biskuit hanya mencapai 45,6 gram 8,4 keping. Kalau dikaji lebih mendalam bahwa grafik rata-rata konsumsi biskuit pada
kedua kelompok sedikit ada perbedaan rata-rata konsumsinya. Pada kelompok perlakuan rata-rata konsumsi biskuit hampir sesuai dengan yang dianjurkan dan
pada kelompok plasebo kurang dari anjuran. Namun keduanya mempunyai alur yang sama dalam mengkonsumsi biskuit. Konsumsi biskuit semakin meningkat
walaupun pada minggu- minggu tertentu selalu terjadi penurunan konsumsi, tetapi setelah terjadi penurunan konsumsi selalu diikuti peningkatan konsumsi pada
minggu- minggu berikutnya. Pada kelompok perlakuan, rata-rata konsumsi biskuit tidak banyak mengalami perubahan, setelah terjadi peningkatan konsumsi,
diminggu- minggu berikutnya selalu stagnan konsumsinya. Penurunan konsumsi diakibatkan karena anak bosan, yang diharuskan
mengkonsumsi biskuit setiap hari sebanyak 10 keping 54 gram. Selain itu, karena biskuit juga dimakan oleh anggota keluarga yang lain 1,72. Sedangkan
peningkatan konsumsi biskuit dikarenakan sebagian besar anak balita termasuk kelompok miskin, yang tidak banyak memiliki makanan pilihan di rumahnya.
Selain itu, sebagian besar orang tua berpendapat, daripada perut anaknya lapar, akhirnya orang tua berusaha sekeras mungkin dengan cara merayu dan membujuk
anaknya agar mau mengkonsumsi biskuit. Rata-rata alasan menurunannya konsumsi biskuit pada anak balita contoh
yang dikarenakan bosan sekitar 2,23. Alasan lain yang tidak dapat dihindarkan adalah biskuit contoh dimakan oleh anggota keluarga yang lain, seperti kakak,
saudara kakek, atau nenek bahkan juga bapak dari anak balita sebesar 1,72. Sekitar 2,01 alasan anak tidak mau mengkonsumsi biskuit dikarenakan sakit,
seperti diare 10, influenza 20 dan gatal- gatal 2,8, batuk 1,4. Hanya sebagian kecil saja 0,16 balita contoh yang konsumsi biskuitnya kurang
dikarenakan orang tuanya lupa ataupun tidak sempat memberikan biskuit kepada anaknya. Kelupaan orang tua memberikan biskuit kepada anaknya dikarenakan
70 mereka sedang bepergiandi perjalanan ataupun sedang menginap di rumah
saudaranya. Ada 0,65 balita contoh yang tidak mengkonsumsi biskuit karena bosan dengan rasa manis. Kebosanan balita contoh terhadap biskuit pada saat
harus mengkonsumsi, biasanya disebabkan karena di rumah ada makanan lain ataupun karena saudaratetangganya sedang hajatan. Rata-rata untuk alasan
kurang mengkonsumsi biskuit pada kelompok perlakuan dan plasebo disajikan pada Gambar 17.
Gambar 17. Grafik Batang Alasan Balita Contoh Kurang Mengkonsumsi Biskuit
Berdasarkan hasil wawancara dan rekapitulasi data kons umsi biskuit, bahwa anak merasa bosan mengkonsumsi biskuit setiap hari merupakan alasan
tertinggi dalam penelitian ini. Kebosanan anak sebagian besar disebabkan ada makanan lain di rumah 5,7 dan anak terbiasa jajan 32,3 sehingga perut
anak sudah terasa kenyang dan tidak mau lagi mengkonsumsi biskuit intervensi. Frekuensi bosan yang dirasakan oleh anak selama pemberian hanya sebesar 18,3
saja. Alasan berikutnya berturut-turut kalau anak berkurang dalam mengkonsumsi biskuit karena sakit, biskuit dimakan kakakanggota keluarga lain atau saudara,
dan orang tua lupa. Alasan paling sedikit dan hampir dapat diabaikan adalah anak mulai tidak menyukai biskuit.
Pada minggu pertama pemberian biskuit ada 20,0 anak yang tidak mau mengkonsumsi biskuit karena bosan 10, biskuitnya dimakan kakaknya 4,3,
71 dan karena sakit 3,3. Alasan lain sebab anak tidak mengkonsumsi biskuit karena
orang tua lupa sebesar 1,6 dan karena anak tidak suka sebesar 0,8. Pada minggu pertama pemberian biskuit merupakan masa tersulit atau masa awal
mengajak anak untuk mengenal dan menyukai biskuit sehingga anak mau mengkonsumsi pada hari- hari berikutnya selama 4 bulan penelitian. Terbukti dari
hasil rekapitulasi data konsumsi biskuit bahwa persentase tertinggi anak kurang mengkonsumsi biskuit jatuh pada minggu pertama.
Minggu kedua persentase balita contoh mengkonsumsi biskuit turun menjadi 7,3 karena dimakan kakaknya sebesar 5,7 dan karena bosan 1,6.
Pada minggu ketiga dan keempat persentase ketidakmauan mengkonsumsi biskuit meningkat kembali sebesar 13,3 dan 15,0. Penyebab tertinggi ketidakmauan
tersebut adalah anak sakit 6,7 pada minggu keempat dan biskuit dimakan kakak sebesar 5,0 pada minggu ketiga. Penyebab lain adalah balita contoh
merasa bosan masing- masing 4,3. Pada minggu ketiga sampai minggu keenam terjadi keterlambatan pengiriman dari kader masing- masing sebesar 1,6 dan
berikutnya hanya 0,8. Namun pada minggu ketujuh sampai minggu terakhir pengiriman, masalah logistik tersebut dapat ditangani dengan baik sehingga tidak
terjadi lagi keterlambatan pengiriman biskuit. Minggu-minggu berikutnya persentase ketidakmauan mengkonsumsi
biskuit semakin menurun dan penyebab utama adalah anak bosan mengkonsumsi biskuit. Tingkat kebosanan tertinggi jatuh pada minggu keenam, sebesar 5,8.
Pada minggu- minggu berikutnya, tingkat kebosanan konsumsi biskuit dapat diturunkandiatasi dengan mengubah cara makan dan waktu pemberian serta
meningkatkan ketelatenan ibu balita contoh dalam memberikan biskuit kepada anaknya. Ketidakmauan mengkons umsi biskuit karena anak sakit terjadi pada
minggu pertama sampai minggu kesebelas. Minggu keduabelas sampai selesai penelitian kondisi anak semakin sehat, tidak ada satu pun balita contoh yang sakit.
Rata-rata persentase sakit sebesar 2,9. Persentase sakit tertinggi penyebab anak kurang mengkonsumsi biskuit terjadi pada minggu keempat 6,7.
Di akhir intervensi dilakukan wawancara terhadap ibu balita untuk membangun opini tentang manfaat mengkonsumsi biskuit. Dari 70 balita contoh,
72 hanya 3,3 ibu balita contoh yang mengatakan tidak tahu apakah biskuit tersebut
bermanfaat untuk anak. Sekitar 7,5 mereka mengatakan bahwa biskuit tersebut tidak bermanfaat. Sebagian besar 89,2 mengatakan bahwa biskuit penelitian
bermanfaat bagi balita contoh. Opini ibu balita contoh tentang biskuit disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Opini Ibu- ibu Balita tentang Biskuit Penelitian
No. Pendapat Ibu Balita
Jumlah n 1.
Apakah anak ibu menyukai biskuit penelitian? a. Ya
b. Tidak 68
2 97,2
2,8 2.
Bagaimana pendapat ibu tentang biskuit tersebut? a. Baik
b. Buruk c. Tidak Tahu
70 -
- 100
- -
3. Bagaimana rasa dan aroma biskuit tersebut?
a. Enak b. Tidak enak
68 2
97,2 2,8
4. Alasan ibu mengatakan biskuit penelitian baik
a. Karena tambahan kandungan zat gizi b. Dapat meningkatkan selera makan
c. Merangsang pertumbuhan anak d. Membuat anak sehatjarang sakit
e. Alasan lain? anak jadi jarang jajan 70
63 33
40 25
100 90,0
47,1 57,1
35,7
5. Apakah ibu setuju jika anaknya dianjurkan makan
biskuit penelitian 10 keping perhari a. Ya
b. Tidak 70
- 100
- 6.
Alasan setuju: a. Baik untuk kesehatan
b. Terkandung vitamin dan mineral c. Karena anaknya menyukai biskuit
d. Tidak ada efek samping 70
70 68
30 100
100 97,2
42,9 7.
Apakah ada manfaat yang dirasakan pada anak setelah mengkonsumsi biskuit
a. Nafsu makan anak meningkat b. Anak menjadi lebih pinter
c. Anak menjadi aktif dan lincah d. Anak menjadi jarang sakit
e. Kulit anak menjadi halus tidak gatalkudis 60
20 25
64 10
85,7 28,6
35,7 91,4
14,3
8. Apakah ada manfaat yang dirasakan bagi keluarga
dengan adanya pemberian biskuit tersebut? a. Menghemat uang jajan
b. Menghemat biaya kesehatan c. Makan menjadi lebih teratur
d. Menjadi lebih peduli pada kesehatan anak e. Menjadi lebih tahu kebersihan anak
65 58
22 30
25 92,6
82,9 31,4
42,9 35,7
73 Manfaat mengkonsumsi biskuit menurut ibu balita adalah dapat
meningkatkan nafsu makan sebesar 21,5; meningkatkan berat badan 7,5, serta masing- masing sebesar 8,4 anak jarang sakit dan kulit menjadi lebih halus. Ada
pula yang berpendapat bahwa biskuit bermanfaat ganda sebesar 11,2, yakni untuk meningkatkan nafsu makan dan berat badan cepat bertambah. Sebagian lagi
29,9 dikatakan bahwa biskuit bermanfaat untuk meningkatkan nafsu makan, berat badan cepat bertambah dan balita contoh jarang sakit. Hal ini sesuai dengan
dugaan bahwa kandungan vitamin A dan Fe dapat meningkatkan nafsu makan. Sebagian besar 97,2 mengatakan anak balitanya menyukai dan hanya
2,8 balita contoh yang tidak menyukai biskuit tersebut. Semua ibu balita 100 menerima baik biskuit tersebut dan setuju anak balitanya menjadi contoh
penelitian. Rasa biskuit sebagian besar balita contoh 97,2 mengatakan enak dan hanya 2,8 yang mengatakan tidak enak. Dari 2,8 yang mengatakan tidak
enak karena tidak menyukai rasa manis. Ibu balita contoh mengatakan biskuit penelitian baik dan mau menerima
dengan alasan 100 mengatakan ada tambahan kandungan zat gizi, 90 mengatakan dapat meningkatkan selera makan; dan 47,1 dapat merangsang
pertumbuhan anak; serta membuat anak sehatjarang sakit sebesar 57,1. Pendapat ibu balita tentang pilihan biskuit penelitian, lebih baik daripada
biskuit lain, 00 menyatakan memilih biskuit penelitian sebab menghemat uang jajan. Karena sebagian besar balita contoh terbiasa jajan di warung dari bangun
tidur. Semua ibu balita menyatakan setuju jika dianjurkan makan biskuit sebanyak 10 keping perhari. Alasan ibu- ibu setuju dengan anjuran tersebut 100
mengatakan baik untuk kesehatan dan biskuit terkandung vitamin dan mineral; 97,2 anaknya menyukai biskuit, dan 42,9 menjawab tidak ada efek samping.
Banyak manfaat yang dirasakan oleh keluarga terutama ibu balita dengan adanya pemberian biskuit penelitian. Sebagian besar ibu balita 92,6
menyatakan menghemat uang jajan dan 82,9 menyatakan menghemat biaya kesehatan; 31,4 anak balita menjadi lebih teratur makan.
Alasan lain, orang tua lebih peduli pada kesehatan anak sebesar 42,9 dan orang tua menjadi lebih tahu kebersihan anak 35,7. Pemberian biskuit forifikasi
74 membantu ibu untuk berhemat, maksudnya alokasi uang jajan anak dapat
dikumpulkan untuk menambah alokasi keperluan lain, misalkan biaya kesehatan, biaya makan harian, ataupun ditabung.
Jika dikaji lebih mendalam, semua ibu balita contoh sangat menyukai adanya intervensi gizi di wilayahnya, sebab sangat membantu sekali untuk
peningkatan makanan tambahan bagi anak balitanya. Dengan adanya tersedianya biskuit tersebut setiap hari di rumah mampu menurunkan minat jajan anak balita
di warung-warung terdekat. Biasanya kondisi sebelum ada intervensi biskuit, anak selalu jajan setiap
bangun tidur, bahkan ada anak yang langsung lari ke warung setiap kali bangun pagi. Kebiasaan jajan anak sangat dikeluhkan orang tua dan tidak bisa dihindari,
karena di rumah sering tidak tersedia makanan kecil. Karenanya ibu balita contoh sering berharap agar anaknya selalu mendapatkan bantuan pangan yang serupa
untuk menghilangkan kebiasaan jajan anak. Dengan adanya intervensi biskuit, sebagian ibu balita merasa gembira,
alokasi uang jajan anak dapat dimanfaatkan untuk menambah konsumsi harian pangan keluarga, sehingga anak lebih teratur makan dan kualitas makanannya
juga lebih baik bergizi. Selain itu, uang jajan juga dialokasikan untuk uang kesehatan. Dengan adanya intervensi gizi tersebut anak dan anggota keluarga
menjadi lebih sehat.
Konsumsi Zat Gizi Anak Balita
Konsumsi zat gizi anak balita contoh digali dengan metode recall 24 jam sebanyak empat kali dengan hari tidak berurutan. Tingkat konsumsi dikategorikan
baik jika konsumsi 70 kecukupan dan konsumsi kurang jika 70 kecukupan Depkes, 1996. Tingkat konsumsi zat gizi diperoleh dengan membandingkan data
konsumsi riil dengan angka kecukupan zat gizi. Konsumsi zat gizi anak pangan pada tingkat individu dapat
diterjemahkan ke dalam bentuk energi, protein, lemak, vitamin, dan mineral perorang perhari Hardinsyah dan Martianto, 1992. Anak balita memerlukan
sejumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan yang harus mencukupi
75 kebutuhan tubuh untuk melakukan aktivitas sehari- hari, pemeliharaan tubuh, dan
pertumbuhan tubuh. Rata-rata konsumsi gizi anak balita menggambarkan konsumsi harian
anak-anak balita contoh di Kecamatan Dramaga. Sebagian besar anak-anak balita mengkonsumsi makanan pokok nasi sebanyak dua kali sehari, yakni makan
siang dan makan sore sebelum magrib. Makan pagi sarapan anak balita di Kecamatan Dramaga pada umumnya berupa jajan dari warung atau tukang dagang
keliling, seperti lontong dan gorengan bala-bala dan tempe goreng tepung serta bubur ayam atau pun lontong kacang doclang. Rata-rata konsumsi gizi harian
disajikan pada Tabel 18 di bawah ini. Tabel 18. Rata-rata Konsumsi Total Harian Anak Balita Contoh
Rata-rata Zat Gizi Kelompok Kandungan Zat Gizi
Perlakuan n=35 Plasebo n=35
a. Awal Intervensi 1. Energi kkal
2. Protein g 3. Lemak g
4. Karbohidrat g 5. Kalsium mg
6. Phosfor mg 7. Besi mg
8. Vitamin A µg 9. Vitamin B mg
10. Vitamin C mg 11. Zink mg
931,43 + 183,73 26,85 + 9,77
29,33 + 12,56 128,52 + 32,79
285,4 + 241,36 252,23 + 142,83
9,07 + 4,34 176,49 + 125,6
0,74 + 0,51 4,87 + 4,41
1,55 + 0,7
5
864,90 + 239,70 25,60 + 11,21
26,20 + 14,91 116,60 + 25,85
303,10 + 168,31 254,2 + 126,68
7,50 + 4,4 240,80 + 195,73
0,60 + 0,65 6,70 + 6,56
1,90 + 0,81
b. Akhir Intervensi 1. Energi kkal
2. Protein g 3. Lemak g
4. Karbohidrat g 5. Kalsium mg
6. Phosfor mg 7. Besi mg
8. Vitamin A µg 9. Vitamin B mg
10. Vitamin C mg 11. Zink mg
980,69 + 154,49 27,01 + 6,67
38,61+12,49 123,41+24,87
190,84 + 133,59 285,17 + 191,19
13,72 + 3,91 521,06 + 196,63
1,18 + 0,76 9,79 + 10,91
1,90 + 0,73 970,42 + 166,65
29,57 + 9,05 34,14+12,74
123,95+24,78 249,07 + 191,39
293,32 + 163,19 10,21 + 3,95
246,96 + 171,99 0,99 + 0,76
12,26 + 15,39 1,84 + 0,83
Konsumsi zat gizi pada akhir intervensi menunjukkan adanya peningkatan intik energi, protein, lemak, dan karbohidrat, serta beberapa zat gizi mikro,
76 seperti: phosfor, besi, vitamin A, B, dan C, serta zink. Konsumsi pada kelompok
perlakuan dan plasebo hampir berimbang, artinya ada sebagian zat gizi yang lebih besar pada kelompok plasebo dan ada sebagian zat gizi yang lebih besar pada
kelompok perlakuan. Untuk mengetahui kecukupan gizi terhadap anak balita maka konsumsi
gizi anak tersebut diterjemahkan ke dalam tingkat kecukupan gizi dengan acuan angka kecukupan gizi yang dianjurkan AKG tahun 2004. Tingkat kecukupan
gizi anak batita contoh ditampilkan pada Gambar 18.
.
Gambar 18. Grafik Batang Rata-rata Tingkat Konsumsi Gizi Awal dan Akhir intervensi
Grafik batang pada Gambar 18, menunjukkan adanya peningkatan konsumsi gizi pada akhir intervensi baik pada kelompok perlakuan maupun
plasebo. Di awal intervensi, ada beberapa jenis konsumsi zat gizi yang kurang dari
70 AKG antara lain konsumsi vitamin A, vitamin C, kalsium, serta zink pada kelompok perlakuan dan plasebo. Tingkat konsumsi energi pun kurang dari 70
pada kelompok plasebo Tingkat konsumsi energi dan zat gizi secara lengkap disajikan pada Tabel 19..
77 Tabel 19. Rata-rata Tingkat Kecukupan Konsumsi Gizi Anak Balita
Contoh Menurut AKG 2004
Kelompok Perlakuan n=35
Plasebo n=35 Jenis
Zat Gizi 70
AKG 70
AKG Rata-rata
+ SD 70
AKG 70
AKG Rata-rata
+ SD
a. Awal 1.Energi kkal
2.Protein g 3.Vitamin A µ g
4.Vitamin B mg 5.Vitamin C mg
6.Kalsium mg 7.Phosfor mg
8.Besi mg 9. Zink mg
13 18,6
3 4,3
24 34,3
9 12,9
35 50,0
28 40,0
11 15,7
8 11,4
35 50,0
22 31,4
32 45,7
11 15,7
26 37,1
0,0 7
10,0 24
34,3 27
38,6 0,0
74,8 + 14,9 116,8+ 43,1
51,2+ 36,2 145,9+102,6
12,4+ 11,1 56,3+ 48,8
100,1+ 57,8 112,9+ 54,9
15,7+ 7,5 20
28,6 9
12,6 21
30,0 19
27,1 34
48,6 20
28,6 10
14,3 13
37,1 35
50,0 15
21,4 26
37,1 14
20,0 16
22,9 1
1,4 15
21,4 25
35,7 22
31,4 0,0
69,1+ 18,9 111,6+ 48,1
67,6+ 55,6 130,5+116,1
16,3+ 16,3 61,3+ 33,4
102,4+ 50,1 93,7+ 50,7
18,9+ 8,2 b. Akhir
1.Energi kkal 2.Protein g
3.Vitamin A µg 4.Vitamin B mg
5.Vitamin C mg 6.Kalsium mg
7.Phosfor mg 8.Besi mg
9. Zink mg 6
8,6 2
2,6 15
21,4 3
4,3 32
45,7 31
44,3 11
15,7 5
7,1 35
50,0 29
41,4 33
47,1 20
28,6 32
45,7 3
4,3 4
5,7 24
34,3 30
42,9 0,0
78,5+ 12,4 117,4+ 28,9
83,0+ 54,7 236,6+ 152
27,3+ 24,5 38,2+ 26,7
114,5+ 76,2 171,2+ 47,8
18,9+ 7,3 9
12,6 2
2,6 20
28,6 7
10,0 31
44,3 28
40,0 8
11,4 6
8,6 35
50,0 26
37,1 33
47,1 15
21,4 28
40,0 4
5,7 7
10,0 27
38,6 29
41,4 0,0
77,6 + 13,3 128,6+ 39,4
70,6+ 49,1 198,9+151,5
30,7+ 38,5 49,8+ 38,3
117,3+ 65,3 127,6+ 49,3
18,4+ 8,3
Hanya ada beberapa zat gizi yang tingkat konsumsinya cukup lebih dari 70 AKG, yakni fosfor, besi, vitamin B, dan protein pada kelompok perlakuan
dan plasebo serta energi pada kelompok perlakuan. Persentase tingkat kecukupan
78 konsumsi energi dan protein lebih besar pada kelompok perlakuan daripada
kelompok plasebo. Tingkat konsumsi gizi di akhir intervensi tidak jauh berbeda kondisinya
dengan awal intervensi. Pada kelompok perlakuan tingkat konsumsi gizinya lebih baik daripada kelompok plasebo. Menurut hasil uji statistik ada perbedaan yang
signifikan p0,05 rata-rata tingkat kecukupan kalori, vitamin A dan zat besi pada kelompok perlakuan dan plasebo.
Konsumsi Vitamin A
Jika dikaji lebih mendalam bahwa peningkatan zat gizi pada kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok plasebo. Peningkatan konsumsi vitamin
A pada kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok plasebo. Menurut hasil uji beda, konsumsi vitamin A di awal intervensi
tidak berbeda nyata p0,05 antara kelompok perlakuan dan plasebo. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa konsumsi vitamin A pada awal intervensi antara kelompok
perlakuan dan plasebo dianggap sama menurut statistik, walaupun besarnya angka berbeda. Pada akhir intervensi terjadi peningkatan konsumsi vitamin A pada
kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok plasebo.
Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan p0,05 konsumsi vitamin A diakhir intervensi pada kelompok perlakuan dan plasebo.
Konsumsi vitamin A pada kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok plasebo. Hasil uji perbedaan rata-rata, bahwa
delta peningkatan konsumsi vitamin A secara nyata lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada kelompok plasebo, yakni 343,31+210,22 terhadap
6,17+260,04 Tabel 20 Biskuit fortifikasi secara nyata dapat meningkatkan konsumsi vitamin A
anak balita di wilayah Kecamatan Dramaga. Dengan adanya penambahan vitamin A melalui biskuit fortifikasi diharapkan dapat meningkatkan status vitamin A
pada anak-anak balita di daerah penelitian.
79 Tabel 20. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Konsumsi Vitamin A
Konsumsi Vitamin A µg Perlakuan n=35
Plasebo n=35 p
Awal 176,49 +125,60
a
240,80+195,73
ab
0,148 Akhir
521,06+196,63
a
246,96+171,99
a
0,000 Delta
343,31+210,22
b
6,17+260,04
b
0,000 p0,05
Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji t p0,05
Konsumsi Zat Besi Fe
Kalau diperhatikan Tabel 19 di atas tentang rata-rata konsumsi gizi harian, konsumsi zat besi Fe juga terjadi peningkatan di akhir intervensi. Konsumsi Fe
pada kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok plasebo. Menurut hasil uji beda, konsumsi Fe di awal intervensi tidak berbeda nyata
p0,05 antara kelompok plasebo dan perlakuan. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa konsumsi Fe pada awal intervensi antara kelompok plasebo dan perlakuan
dianggap sama menurut statistik, walaupun besarnya angka berbeda. Di akhir intervensi terjadi peningkatan konsumsi Fe pada kelompok perlakuan secara nyata
lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok plasebo. Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan p0,05
konsumsi Fe di akhir intervensi pada kelompok plasebo dan perlakuan. Konsumsi Fe secara nyata lebih tinggi pada kelompok perlakuan apabila dibandingkan
dengan kelompok plasebo. Hasil uji perbedaan rata-rata, bahwa delta peningkatan konsumsi Fe secara nyata lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada
kelompok plasebo yakni: 4,65+5,79
terhadap
2,80+5,34. Tabel 21. Tabel 21. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Konsumsi Zat Besi Fe
Konsumsi Fe mg
Kelompok Perlakuan n=35
Kelompok Plasebo n=35
p Awal
9,07+4,34
a
7,50+4,4
ab
0,092 Akhir
13,72+3,91
a
10,21+3,95
a
0,001 Delta
4,65+5,79
b
2,80+5,34
b
0,000 Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada uji t p0,05
80 Delta peningkatan konsumsi Fe pada kelompok perlakuan berbeda nyata
p0,05, perbedaan secara nyata lebih tinggi terjadi pada kelo mpok perlakuan dibandingkan dengan plasebo. Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa
peningkatan konsumsi Fe pada anak balita kelompok perlakuan tersebut akibat adanya penambahan Fe dari mengkonsumsi biskuit fortifikasi. Tambahan
konsumsi Fe harian dari biskuit sebesar 96,5 AKG. Biskuit fortifikasi ternyata dapat meningkatkan konsumsi Fe anak balita di wilayah Kecamatan Dramaga.
Dengan adanya penambahan Fe melalui biskuit fortifikasi diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi Hb dan status besi konsentrasi ferritin pada anak-
anak balita di daerah penelitian.
Status Gizi Antropometri
Pengukuran status gizi dilakukan secara antropometri, artinya mengguna- kan ukuran tubuh manusia. Parameter antropometri merupakan dasar penilaian
status gizi. Indeks antropometri yang digunakan adalah BBTB. Data hasil pengukuran berat badan BB dan tinggi badan TB diolah untuk menentukan
Z-skor. Penentuan Z-skor berdasarkan pada referensi WHONCHS untuk menentukan status gizi anak balita contoh dengan cut-off point -2 Z-skor. Status
gizi indeks BBTB untuk mengkonversi indeks BBU dan TBU dengan referensi Z-skor, anak dikatakan pendek dan kurang gizi jika Z-skor nya kurang dari 2 SD
Solon, et al., 2000. Sebaran rata-rata tinggi dan berat badan disajikan pada Tabel 22.
Pada Tabel 22, menunjukkan bahwa hasil pengukuran berat badan anak balita contoh berkisar 8,4–14,5 kg dengan rata-rata 11,3+1,4 kg sebelum
intervensi dan meningkat menjadi 12,0+1,5 kg diakhir pengukuran dengan kisaran 9,5 sampai dengan 14,5 kg pada kelompok perlakuan. Tinggi badan anak balita
contoh kelompok perlakuan berkisar dari 75,0 sampai dengan 93,2 cm dengan rata-rata 85,8+4,1 cm diawal intervensi. Pada akhir intervensi terjadi peningkatan
tinggi badan meningkat menjadi 89,2+4,0 cm dengan kisaran tinggi badan dari 78,5 sampai dengan 95,5 cm.
81 Tabel 22. Sebaran Rata-rata BB dan TB Anak Balita
Berat Badan Kg Tinggi Badan Cm
Waktu Intervensi
Rata-rata Kisaran
Rata-rata Kisaran
1. Awal - perlakuan
- plasebo 11,3+1,4
10,8+1,3 8,4–14,5
9,0–14,1 85,8+4,1
84,9+3,9 75,0–93,2
75,6–93,6 2. Akhir
- perlakuan - plasebo
12,0+1,5 11,6+1,3
9,5–14,5 8,8–15,5
89,2+4,0 88,5+3,9
78,5–95,5 80,1–94,0
Menurut perhitungan Z-skor, rata-rata status gizi antropometri denga n indeks BBTB pada kelompok perlakuan didapatkan sebesar -0,5+1,0 diawal
intervensi dan stagnan diakhir intervensi, artinya tidak ada peningkatan status gizi anak balita, namun status gizi tersebut masih dalam kategori baiknormal. Artinya
rata-rata proporsi badan anak normal, tidak kurus dan tidak gemuk. Demikian juga status gizi antropometri pada kelompok plasebo juga kecil sekali peningkatannya.
Sebaran status gizi disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Sebaran Rata-rata Status Gizi Anak Balita Indeks BBTB
WHO-NCHS, 1983
Kelompok Perlakuan
Plasebo Status Gizi Anak Balita
n n
1. Awal - Gemuk
- Normal - KurusWasted
- Sangat Kurus -
33 2
- -
94,3 5,7
- -
33 2
- -
94,3 5,7
- Total
35 100,0
35 100,0
2. Akhir - Gemuk
- Normal - KurusWasted
- Sangat Kurus -
33 2
- -
94,3 5,7
- -
30 5
- -
85,7 14,3
- Total
35 100,0
35 100,0
Secara umum status gizi antropometri dengan indeks BBTB pada awal intervensi didapatkan 5,7 anak balita contoh yang kurus wasted, baik pada
kelompok perlakuan maupun kelompok plasebo.
82 Kondisi status gizi anak balita dari kedua kelompok sama, sebagian besar
94,3 berbadan normal. Tidak terdapat satu pun anak balita yang gemuk dan sangat kurus. Menurut hasil statistik bahwa kondisi awal anak balita di kedua
kelompok sama, tidak berbeda nyata p0,05. Masing- masing hanya 5,7; yakni 2 anak balita dari kelompok perlakuan dan plasebo yang berbadan kurus.
Di akhir intervensi, walaupun masih ada beberapa anak balita yang termasuk kurus wasted tetapi rata-rata status gizi anak balita contoh tersebut
dalam kategori normal atau baik. Kondisi wasted yang terjadi pada anak dikarenakan tubuh kekurangan sejumlah satu atau beberapa jenis zat gizi yang
dibutuhkan tubuh. Menurut Winarno 1995 tiga penyebab tubuh kekurangan zat gizi karena: 1 jumlah zat gizi yang dikonsumsi kurang, 2 kualitas gizi rendah,
dan 3 gangguan penyerapan zat gizi oleh tubuh. Akar penyebab dari kekurangan gizi karena faktor sosial ekonomi, seperti kebiasaan makan, kepercayaan,
kemiskinan daya beli rendah, dan gangguan fungsi alat pencernaan. Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji beda berpasangan t-test pada
Tabel 24, setelah 16 minggu pemberian biskuit kepada anak balita contoh ternyata status gizi akhir berbeda tidak nyata p0,05 antara kelompok perlakuan dan
plasebo. Dengan demikian pemberian biskuit fortifikasi tidak dapat meningkatan status gizi anak pada indeks BBTB.
Tabel 24. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Z-Skor Status Gizi
Kelompok Z-Skor Awal
Z-Skor Akhir Delta
p Perlakuan n=35
-0,51 +0,97 -0,50+1,13
-0,01+1,07 0,512
Plasebo n=35 -0,92 +0,90
-0,80+0,93 -0,07+0,66 1,000
Keterangan: p0,05
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian Rahman et.al., 2001, pemberian intervensi gizi tidak memberikan sumbangan yang signifikan
terhadap peningkatan status gizi. Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa intervensi biskuit fortifikasi kurang dapat memberikan
sumbangan yang signifikan terhadap peningkatan status gizi secara antropometri, kareana.pemberian biskuit di daerah miskin ada kecenderungan menggantikan
83 konsumsi harian sehingga konsumsi pangan anak menjadi berkurang. Disisi lain
pemberian biskuit sumbangannya sangat kecil terhadap peningkatan berat badan anak karena muatan kalorinya kecil.
Status Zat Gizi Mikro
Zat gizi mikro terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit di dalam tubuh, namun mempunyai peran yang sangat esensial untuk kesehatan tubuh. Zat yang
esensial tersebut wajib hadir dalam tubuh setiap hari. Apabila jumlah yang kecil tersebut tidak terpenuhi, maka akan berpengaruh terhadap kesehatan. Zat gizi
mikro yang dikaji dalam penelitian ini adalah zat besi Fe dan vitamin A yang ada kaitannya dengan respons imun. Kehadiran Fe dan viamin A akan berpengauh
terhadap keberadaan hemoglobin Hb, ferritin serum Fs dan retinol serum Rs anak.
Hemoglobin Hb
Zat besi Fe merupakan mineral mikro yang esensial bagi tubuh. Besi terdapat dalam semua sel tubuh dan memegang peranan penting pada beragam
reaksi biokimia. Fungsi besi dalam tubuh untuk pembentukan sel darah merah, pengangkutan O
2
dan CO
2
, yang berperan dalam metabolisme energi. Apabila tubuh kekurangan zat besi akan berakibat pada kerusakan fungsi imun, terutama
pada proses fagositosis dan sel mediate respons imun Ahluwalia, et al., 2004, serta penurunan kadar hemoglobin Hb dan Ferritin serum Fs.
Pengelompokan Hb didasarkan pada kriteria anemia dan tidak ane mia normal, yakni Hb 11 gdL menunjukkan anemia dan Hb 11 gdL
menunjukkan tidak anemia WHO, 1996. Anemia adalah sebuah kondisi tidak cukup sel darah merah dalam darah. Sel darah merah mengandung hemoglobin
yang membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Jika kadar Hb sangat rendah, jaringan tubuh tidak memperoleh cukup oksigen. Pengukuran anemia
status besi pada anak balita dilakukan secara biokimiawi dengan pengambilan darah intravena untuk diketahui konsentrasi Hb-nya.
Hasil pengukuran status Hb diawal intervensi terdapat 31,4 anak balita contoh dari kelompok perlakuan yang anemia Hb 11 gL, sedangkan pada
84 kelompok plasebo lebih tinggi persentase anak yang Hb-nya 11 gL yakni
51,4. Pada akhir intervensi, konsentrasi Hb anak berubah membaik, hanya terdapat 8,6 pada kelompok perlakuan dan 31,4 pada kelompok plasebo yang
Hb-nya 11 gL. Sebaran Hb awal dan akhir diperlihatkan pada Gambar 19.
Gambar 19. Sebaran Hemoglobin Hb pada Awal dan Akhir intervensi Tingginya angka anemia mengindikasikan masih relatif banyak anak balita
yang terancam anemia. Hal ini sesuai dengan perolehan data konsumsi Fe sebelum intervensi yang kurang memadai terutama pada kelompok plasebo,
sehingga menyebabkan sebagian contoh termasuk dalam kelompok anemia. Intik konsumsi besi yang memadai pun ada kemungkinan contoh terkena anemia
apabila terjadi gangguan penyerapan. Kondisi anemia pada anak akan berpengaruh terhadap pembentukan imunoglobulin. Kondisi kadar Hb darah
85 kurang dari normal menyebabkan kurangnya oksigen yang ditransportasi ke
beberapa sel tubuh maupun otak. Mengingat fungsi Hb adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh sel tubuh Sukirman, 2000; Djikhuizen dan
Wieringa, 2001. Kekurangan Hb atau anemia menyebabkan kerusakan fungsional beberapa
jaringan tubuh. Kondisi yang demikian dapat menimbulkan gejala 5L, yakni lemah, letih, lesu, lunglai, lelah. Akibatnya dapat menurunkan daya tubuh anak
yang rentan terhadap penyakit. Zat besi berperan penting dalam sistem imun dan anemia menyebabkan kerusakan fungsi imun, khususnya sel mediate respons
imunologik Weiss et al., 1995.
A
nemia penyebab sejumlah ketidaknormalan biologis dan merusak sel mediate imunitas dengan peningkatan infeksi Terlouw
et al., 2004. Anemia bagi anak balita akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangannya. Kebutuhan zat besi pada anak balita meningkat besar untuk keseimbangan zat besi dalam tubuh sebagai pemeliharaan kesehatan, juga untuk
kebutuhan pertumbuhan dan ekspansi masa sel darah merah dan untuk mengcover kehilangan zat besi dari kulit, genitourinary dan saluran gastrointestinal
Zimmermann et al., 2005. Defisiensi besi dapat menurunkan performan fisik yang dapat berpengaruh terhadap konsumsi oksigen Kang dan Matsuo, 2004.
Tingginya angka anemia anak balita contoh diakibatkan kandungan dan bioavalabilitas Fe pada konsumsi harian sangat rendah, biasanya dari sumber
sereal dan kacang-kacangan Zimmermann et al., 2005. Bioavailabilitas sangat berperan terhadap kejadian anemia di beberapa negara berkembang WHO, 2001.
Berdasarkan hasil pengolahan data konsumsi pangan bahwa sumber zat besi sebagian besar berasal dari kacang-kacangan dan sayuran hijau sehingga
penyerapan zat besi menjadi rendah. Namun status besi dapat meningkat setelah pemberian biskuit fortifikasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Stuijvenberg et.
al., 1999, bahwa pemberian biskuit fortifikasi dengan zat gizi mikro dapat menurunkan kejadian anemia sebesar 29,6 menjadi 15,6.
Pemberian suplementasi besi selama empat bulan dapat meningkatkan status hematologik dan
imunologik Kang dan Matsuo, 2004.
86 Penelitian pemberian zat besi pada biskuit fortifikasi selama 16 minggu
ternyata dapat meningkatkan konsentrasi Hb anak balita contoh. Kondisi anak balita contoh yang anemia berubah, yakni terjadi adanya peningkatan konsentrasi
Hb, sehingga sebagian yang Hb- nya rendah menjadi meningkat. Hasil analisis Hb disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25. Rata-rata Hb dan Hasil Uji Perbandingan Rata-rata
Hemoglobin gdL
Kelompok Perlakuan n=35
Kelompok Plasebo n=35
p Awal
11,4 + 1,10
a
11,1+1,11
ab
0,331 Akhir
12,2 + 0,94
a
11,3+0,87
a
0,001 Delta
0,67+1,11
b
0,17+1,05
b
0,000 p0,05
Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji t p0,05
Data pada Tabel 25 menggambarkan rata-rata nilai Hb pada awal intervensi pada kelompok perlakuan 11,4+1,10 gdL dan untuk kelompok plasebo
11,1+1,11 gdL. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai Hb kelompok perlakuan dan plasebo pada awal intervensi p = 0,331
Pada akhir intervensi rata-rata nilai Hb kelompok perlakuan naik menjadi 12,2+0,94 gdL, sedangkan kelompok plasebo menjadi 11,3+0,87 gdL. Ada
perbedaan signifikan antara nilai Hb kelompok perlakuan dengan nilai Hb kelompok plasebo pada akhir intervensi p = 0,001.
Pada kelompok perlakuan terjadi kenaikan nilai Hb sebesar 0,67+1,11 gdL sedangkan pada kelompok plasebo terjadi kenaikan nilai Hb sebesar
0,17+1,05 gdL. Kenaikan delta nilai Hb kelompok perlakuan secara signifikan lebih tinggi dari kelompok plasebo.
Kenaikan nilai Hb ini karena kenaikan asupan Fe dan vitamin A, yakni kenaikan Fe dari 9,07+4,34 mg menjadi 13,72 +3,91 mg. Lebih tingginya
konsumsi vitamin A menurut Suharno et al. 1993 mempunyai kontribusi terhadap naiknya nilai Hb. Penambahan konsumsi Fe dapat meningkatkan
konsentrasi Hb Sari et al., 2001.
87
Ferritin Serum Fs
Di dalam sel, zat besi berikatan kompleks dengan ferritin yang mudah larut soluble complex, khususnya di dalam limpa, hati, dan sumsum tulang.
Penyimpanan zat besi terbesar terdapat dalam eritrosit. Mobilisasi zat besi dari penyimpanan intraseluler termasuk transfer zat besi dari ferritin ke transferrin.
Apabila tubuh kekurangan zat besi deplesi maka transpor besi dalam plasma terganggu, terutama untuk pembentukan sel darah merah berkurang, sehingga
eritrosit menurun dan selanjutnya konsentrasi Hb akan menurun pula. Kadar ferritin serum ada hubungannya dengan besi Fe cadangan dalam
tubuh. Ferritin serum merupakan indeks sensitif dari penurunan simpanan zat besi Ahluwalia et al., 2002. Defisiensi zat besi terjadi apabila konsentrasi ferritin
serum 12 µ gl Ahluwalia, 2002. Pengelompokan kadar ferritin didasarkan pada kriteria WHO 1994, berturut-turut yakni 12 µ gl untuk yang defisien Fe
deplesi zat besi dan 12 µ gl untuk yang normal. Berdasarkan pengelompokkan tersebut sebaran ferritin serum Fs diperlihatkan pada Gambar 20.
Gambar 20. Sebaran Ferritin Serum Fs pada Awal dan Akhir intervensi
88 Berdasarkan hasil analisis laboratorium, anak balita contoh dengan kadar
ferritin 12 µgL deplesi besi sebesar 34,3 pada kelompok perlakuan dan 28,6 pada kelompok plasebo pada awal intervensi. Hal tersebut menandakan
masih relatif banyak anak-anak balita yang mengalami deplesi penyimpanan zat besi. Defisiensi zat besi sebagian besar terjadi karena ketidakhadiran zat besi di
dalam sumsum tulang. Selama infeksi terjadi penurunan konsentrasi ferritin dan Hb. Defisiensi besi dapat menurunkan kapasitas bakterisidal neutrofil dan
limfosit, kerusakan respons proliferasi limfosit dan antigen, dan respons yang lambat terhadap antigen Chandra, 1997. Hal tersebut membawa resiko besar
pada pertumbuhan dan perkembangan anak balita apabila tidak segera mendapatkan perbaikan gizi besi Fe. Anak yang deplesi besi rentan terhadap
anemia defisiensi besi. Secara klinis anak yang defisiensi besi sebagai manifestasi dari anemia Kang dan Matsuo, 2004
Kondisi deplesi besi menurun pada akhir intervensi menjadi 17,1 pada kelompok perlakuan dan 25,7 pada kelompok plasebo. Penurunan deplesi besi
lebih besar terjadi pada kelompok perlakuan daripada kelompok plasebo, yakni 17,2 terhadap 2,9. Hasil analisis Fs disajikan pada Tabel 26.
Tabel 26. Rata-rata Ferritin Serum dan Hasil Uji Perbandingan Rata-rata
Kadar Ferritin µgL
Kelompok Perlakuan n=35
Kelompok Plasebo n=35
p Awal
17,23 +8,83
a
18,21+9,36
ab
0,106 Akhir
28,66+15,89
a
26,48 +21,05
a
0,003 Delta
11,43+4,47
b
8,27+4,55
b
0,000 p0,05
Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda bermakna pada uji t p0,05
Data pada Tabel 26 menggambarkan rata-rata nilai Fs pada awal intervensi pada kelompok perlakuan 17,23+8,83
µ gL dan untuk kelompok plasebo
18,21+9,36 µ
gL. Tidak ada perbedaan yang nyata antara nilai Fs kelompok perlakuan dan plasebo pada awal intervensi p = 0,106.
Pada akhir intervensi rata-rata nilai Fs kelompbok perlakuan naik menjadi 28,66 + 15,89
µ gL, sedangkan kelompok plasebo menjadi 26,48 +21,05
µ gL.
89 Ada perbedaan signifikan antara nilai Fs kelompok perlakuan dengan nilai Fs
kelompok plasebo pada akhir intervensi p = 0,003. Pada kelompok perlakuan terjadi kenaikan nilai Fs sebesar 11,43+4,47
µ gL sedangkan pada kelompok plasebo terjadi kenaikan nilai Fs sebesar
8,27+4,55 µ
gL. Kenaikan delta nilai Fs kelompok perlakuan secara signifikan lebih tinggi dari kelompok plasebo p = 0,000. Kenaikan nilai Fs ini karena intik
zat besi yang dapat diserap oleh anak. Pemberian suplementasi besi dapat meningkatkan ferritin serum Suharno et al., 1993.
Dari hasil pengamatan di lapangan bahwa anak balita contoh kelompok perlakuan cenderung lebih sehat daripada kelompok plasebo. Fakta membuktikan,
defisiensi besi memainkan peranan dalam kemampuan individu terhadap resisten infeksi Kang dan Matsuo, 2004. Beberapa studi mengindikasikan bahwa dalam
kondisi normal, status gizi besi berperan dalam maintenance respons imun. Dengan demikian, anak yang defisiensi besi secara langsung memiliki respons
imun yang kurang, karena defisiensi besi, infeksi, dan respons imun saling berkaitan.
Anemia karena defisiensi besi yang tidak segera mendapatkan terapi akan meningkatkan keparahan anemia severe. Anemia yang parah dapat
menyebabkan berkembangnya plasmodium falciparum malaria karena sumsum tulang berlarut- larut tertindas oleh residu parasit Helleberg et al., 2005. Sesuai
dengan pendapat tersebut, Oppenheimer 2001 menggeneralisasikan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi lebih besar terjadi pada anak yang
menderita defisiensi besi dibandingkan dengan anak yang normal. Menurutnya, defisiensi besi saling berkaitan dengan ketidaknormalan fungsi imun, namun sulit
digambarkan relevansi dan tingkat keparahannya dalam studi observasi. Insiden infeksi pada anak yang defisien zat besi menurun ketika anak diberikan suplemen
zat gizi besi Oppenheimer, 2001.
Retinol Serum Rs
Defisiensi vitamin A merupakan masalah serius dan masih terus berlangsung di beberapa negara berkembang. Defisiensi vitamin A pada anak-
90 anak berhubungan dengan peningkatan keparahan infeksi dan peningkatan angka
kematian. Indikator defisiensi vitamin A antara lain dapat dilihat dari konsentrasi retinol dalam serum Sommer dan West, 1996; Baeten et al., 2004. Retinol serum
diukur secara intra vena untuk mengetahui keadaan defisiensi vitamin A pada balita contoh. Kategori retinol serum Rs menurut WHO 1994, yakni
konsentrasi retinol serum anak balita berturut-turut 0,35 µ moll 10 µ gdl untuk defisiensi vitamin A dan 0,70 µ moll 20 µ gdl untuk status vitamin A
rendah. Menurut Gamble et al., 2004, dikatakan defisien vitamin A jika retinol serum 0,70 µ moll.
Berdasarkan ketentuan WHO, maka pengelompokan kadar Rs dikategorikan menjadi empat kelompok, yakni 1 10 µ gdl, defisiensi vitamin
A; 2 20-10 µgdl, status vitamin A rendah defisiensi vitamin A subklinis; 3 20 - 30 µ gdl, status vitamin A marginal; dan 4 30 µ gdL, status vitamin A
baik. Sebaran Rs anak balita contoh ditampilkan pada Gambar 21.
Gambar 21. Sebaran Retinol Serum Rs Anak Balita Contoh di Awal dan Akhir intervensi
91 Sebaran nilai kadar retinol serum anak balita contoh berkisar antara 10,9-
47,2 µgdl. Hanya terdapat 1,4 pada awal intervensi balita contoh yang memiliki retinol 10,9 µ gdL dan hanya 1,4 pula yang memiliki Rs tinggi, yakni
42,7 µgdl. Terdapat 5,6 anak balita contoh yang memiliki kadar Rs 11 µ gdL. Berdasarkan kondisi tersebut dapat diasumsikan bahwa pada awal intervensi
sebagian besar anak balita memiliki kadar serum retinol yang rendah. Apabila konsumsi anak balita khususnya intik vitamin A tidak diperhatikan dan tidak
tertangani dengan baik maka status vitamin A anak-anak tersebut akan terjatuh pada defisiensi vitamin A, dan kecenderungan akan mengakibatkan buta senja
apabila konsentrasi retinolnya berkisar 11 µ gdl Paracha et al, 2000. Estimasi vitamin A didekati dengan plasma retinol de Pee dan West,
1996, dan konsentrasi plasma retinol menurun bersamaan dengan penyakit infeksi Reddy et al., 1986; Thurnham dan Singkamani, 1991. Konsentrasi zat
gizi yang berkaitan dengan penyakit dapat dinilai dengan vitamin A Filteau, Morris, dan Abbott., 1993 dan status besi Witte, 1991. Perbaikan status vitamin
A terhadap kelompok defisiensi dapat menurunkan mortalitas anak balita sebesar 23 Beaten et al., 1992; Solon et al., 2000.
Sebaran Rs pada awal intervensi berdasarkan sebaran pada Gambar 21 tidak terdapat satupun anak balita yang serum retinolnya 10 µgdL defisien,
baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo. Demikian pula pada akhir intervensi, tidak ada satupun terdapat anak yang defisiensi vitamin A. Namun
demikian sebagian besar anak balita memiliki serum retinol antara 10- 20 µgdL sub defisien, baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo pada awal
intervensi. Artinya sebagian besar anak balita mempunyai status vitamin A rendah 52,9 pada kelompok perlakuan dan 31,4 pada plasebo. Terdapat 28,6 anak
balita yang memiliki vitamin A yang baik. Vitamin A berperan penting dalam beberapa proses metabolik. Retinol
merupakan komponen esensial dari rodopsin, pigmen retina khususnya dalam penglihatan. Vitamin A berfungsi dalam beberapa sel dan jaringan tubuh,
termasuk sel epithel dan sel-sel sistem imun Blomhoff, 1994, berperan dalam pengaturan diferensiasi dan proliferasi sel Napoli, 1996.
92 Berdasarkan hasil pemeriksaan status vitamin A secara klinis, bahwa anak
balita contoh di wilayah penelitian dapat diindikasikan memiliki masalah defisiensi subklinis vitamin A. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan WHO bahwa
suatu masyarakat dikatakan memiliki masalah defisiensi vitamin A subklinis apabila prevalensi serum retinol 0,70 µ molL 20 µ gdL
lebih dari 20. Masyarakat dikatakan bebas masalah KVA apabila status vitamin A pada anak
cukup dan prevalensinya 20 dengan serum retinol 0,70 µ molL Blomhoff et al.,1992.
Setelah intervensi selama empat bulan, status vitamin A anak balita contoh mengalami perbaikan. Sebagian besar anak balita contoh memiliki status vitamin
A marginal retinol: 20 - 30 µgdL yakni 47,1 pada kelompok perlakuan dan
48,6 pada plasebo yang sebelumnya adalah defisiensi subklinis. Sebagian lagi memiliki status vitamin A yang baik, yakni 44,1 pada perlakuan dan 42,8
pada plasebo. Namun masih terdapat masing- masing 8,8 anak balita contoh pada kelompok perlakuan dan plasebo yang memiliki status vitamin A rendah
defisien. Dengan kondisi yang demikian, berdasarkan WHO 1994 berarti wilayah penelitian telah terbebas dari masalah vitamin A. Meskip un demikian hal
tersebut masih tetap perlu pengawasan yang serius dari orang tua atua pengasuh serta pihak-pihak terkait, seperti kader, bidan desa, Puskesmas, dan dinas
kesehatan wilayah setempat untuk tetap memantau kesehatan anak terutama suplai kebutuhan vitamin A terhadap anak. Hal tersebut dimaksudkan agar status vitamin
A anak balita tetap baik, tidak jatuh pada kondisi defisiensi vitamin A. Berdasarkan laporan WHO 1995 ada 254 juta anak sekolah beresiko
defisiensi vitamin A, dan 50- nya dari Asia Tenggara. Defisiensi vitamin A di beberapa negara turut bertanggung-jawab terhadap 1-2,5 juta kematian anak setiap
tahunnya dan lebih 500.000 kebutaan Somer, 1982. Nilai rata-rata retinol dan hasil uji disajikan pada Tabel 27. Data pada
Tabel ini menggambarkan rata-rata nilai Rs pada awal intervensi pada kelompok perlakuan 19,13+4,87
µ gdL dan untuk kelompok plasebo 24,96+9,35
µ gdL.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai Rs kelompok perlakuan dan plasebo pada awal intervensi p = 0,051.
93 Tabel 27. Rata-rata Retinol Serum dan Hasil Uji Perbandingan Rata-Rata
Kadar Retinol µgdL
Kelompok Perlakuan n=35
Kelompok Plasebo n=35
P Awal
19,13 +4,87
a
24,96+9,35
ab
0,051 Akhir
29,26+7,63
a
29,35+7,70
ba
0,176 Delta
10,12+7,84
b
4,38+7,72
b
0,00 p0,05
Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji t p0,05.
Pada akhir intervensi rata-rata kadar Rs kelompok perlakuan meningkat menjadi 29,26+7,63
µ gdL, sedangkan kelompok plasebo menjadi 29,35+7,70
µ gdL. Tidak ada perbedaan signifikan antara nilai Rs kelompok perlakuan
dengan nilai Rs kelompok plasebo pada akhir intervens i p = 0,176. Pada kelompok perlakuan terjadi kenaikan kadar Rs sebesar 10,12+7,84
µ gdL sedangkan pada kelompok plasebo terjadi kenaikan nilai Rs sebesar
4,38+7,72 µ
gdL. Kenaikan delta nilai Rs kelompok perlakuan secara signifikan lebih tinggi dari kelompok plasebo p = 0,00. Kenaikan nilai Rs ini karena
kenaikan asupan vitamin A hasil dari biskuit fortifikasi. Karenanya pemeliharaan status vitamin A sangat perlu bagi anak balita kelompok beresiko sebab
defisiensi vitamin A sangat berpengaruh terhadap percepatan terjadinya infeksi
Respons Imun Immunoglobulin G
Respons imun diukur dengan menganalisis titer IgG total terhadap tetanus pada sampel darah anak setelah pemberian booster DPT. Pengukuran titer IgG
total terhadap tetanus dianalisis dengan metode ELISA di laboratorium terakreditasi, Laboratorium Endokrinologi Makmal Terpadu FKUI.
Hasil pengukuran titer imunoglobulin G IgG total terhadap tetanus dalam darah yang dilakukan pada anak balita sebanyak 30 anak memberikan hasil yang
bervariasi. Titer IgG total terhadap tetanus berkisar antara 1,00 IUml sampai 1,725 IUml. Kriteria IgG total terhadap tetanus dikelompokkan menjadi tiga
Kunarti, 2004 yakni: 1 0,0 – 1,0 IUml adalah kadar titer IgG rendah, 2 1,0
– 1,5 IUml adalah kadar titer IgG cukup, dan 3 1,5 IUml adalah kadar titer IgG tinggi.
94 Pada Gambar 22 disajikan sebaran rata-rata titer IgG Total. Pada awal
intervensi, sebagian besar anak balita telah mempunyai titer yang cukup, hanya ada 16,67 pada kelompok perlakuan dan 2 13,33 pada kelompok plasebo
yang titernya IgG Totalnya rendah. Sebagian lagi anak balita telah memiliki titer IgG Total yang tinggi.
Gambar 22. Sebaran Titer IgG Total IUmL Awal dan Akhir intervensi Pada akhir intervensi terjadi peningkatan titer IgG baik pada kelompok
perlakuan maupun kelompok plasebo. Tidak ada satupun anak balita contoh yang memiliki kadar titer IgG yang rendah di akhir intervensi. Sebagian besar anak
balita contoh 86,67 pada kelompok perlakuan dan 66,67 pada kelompok plasebo memiliki titer IgG tinggi, dan hanya 13,33 saja anak balita dari
kelompok perlakuan memiliki titer IgG cukup. Namun pada kelompok plasebo, anak balita yang memiliki titer IgG cukup masih relatif tinggi, yakni ada 33,33
Peningkatan titer IgG disajikan pada Tabel 28.
95 Pada Tabel 28, tampak bahwa titer IgG pada kelompok perlakuan di akhir
intervensi terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok plasebo, artinya peningkatan titer IgG pada kelompok perlakuan lebih besar daripada kelompok
plasebo. Titer IgG yang telah dimiliki anak pada awal intervensi sebagian besar 90,0 lebih dari 1,00 IUml, dan diakhir intervensi semua anak balita contoh
100 titer IgG- nya 1,00 IUml. Dengan memiliki titer IgG tersebut, mereka telah cukup terlindungi sampai beberapa tahun mendatang dan ini perlu penelitian
lanjutan. Menurut Kunarti 2004 bahwa titer IgG yang tinggi mampu melindungi anak selama kurang lebih lima tahun kedepan. Tingginya pembentukan titer IgG
diakibatkan karena semua anak balita contoh telah terpapar oleh imunisasi. Studi yang dilakukan oleh Nelson 1978, Cellist, et al., 1989, Galazka dan
Kardymowitcz 1989 disebutkan titer tingkat 0,1 IUml adalah sangat protektif dalam perlindungan terhadap penyakit infeksi.
Tabel 28. Rata-rata Titer IgG Total dan Hasil Uji Perbandingan Rata-rata
IgG Total IUmL
Kelompok Perlakuan n=35
Kelompok Plasebo n=35
p Awal
1,4+0,2
a
1,4+0,2
ab
0,142 Akhir
1,6+0,1
a
1,5+0,1
a
0,006 Delta
0,2+0,2
b
0,1+0,2
b
0,000 p0,05
Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda bermakna pada uji t p0,05
Hasil penelitian di Rusia pada tahun 2000an yang dilakukan oleh Markina et al., 2000, Nekrassova et al., 2000, Filonov et al., 2000, dan Magdei et al.,
2000 diungkapkan bahwa status imunisasi merupakan faktor yang berperan untuk terbentuknya titer imunoglobulin. Penelitian Setiawan et al., 1993 di
Jakarta, bahwa kadar protektif anak akan terbentuk setelah diimunisasi tiga kali berkisar antara 68,3-81.
Rata-rata dan hasil uji IgG yang disajikan pada Tabel 28 menggambarkan rata-rata nilai IgG pada awal intervensi pada kelompok perlakuan 1,4+0,1 IUmL
dan untuk kelompok plasebo 1,4+0,1 IUmL. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai IgG kelompok perlakuan dan plasebo pada awal intervensi
96 p = 0,142. Sedangkan pada akhir intervensi rata-rata nilai IgG kelompok
perlakuan naik menjadi 1,6+0,1 IUmL, sedangkan kelompok plasebo menjadi 1,5+0,1 IUmL. Ada perbedaan signifikan antara nilai IgG kelompok perlakuan
dengan nilai IgG kelompok plasebo pada akhir intervensi p = 0,006. Pada kelompok perlakuan terjadi kenaikan nilai IgG sebesar 0,2+0,2
IUmL sedangkan pada kelompok plasebo terjadi kenaikan nilai IgG sebesar 0,1+0,2 IUmL.
Kenaikan delta nilai IgG kelompok perlakuan secara signifikan lebih tinggi dari kelompok plasebo p = 0,000. Kenaikan nilai IgG ini diduga karena
kenaikan status vitamin A dan besi anak balita . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peningkatan titer IgG pada
anak balita kelompok perlakuan tersebut diduga akibat adanya penambahan vitamin A dan Fe dari mengkonsumsi biskuit fortifikasi. Kandungan vitamin A
dan Fe mampu meningkatkan antibodi anak, khususnya imunoglobulin G Total. Mengingat sinergisme vitamin A dan zat besi dapat meningkatkan Hb, ferritin dan
retinol anak. Dengan peningkatan status gizi mikro anak dapat meningkatkan respons imun anak. Dengan memiliki respons imun yang baik, anak menjadi tidak
mudah terinfeksi, sebab tubuh anak mampu merespons antigen yang menghampiri tubuhnya. Kalaupun anak terpapar, kecenderungan kondisi anak tidak mudah
menjadi parah.
Morbiditas, Hemoglobin, Ferritin, Retinol, dan Respons Imun
Faktor yang Berpengaruh terhadap Pe mbentukkan Titer Imunoglobulin G
Pemberian imunogenantigenis, baik dari imunisasi maupun booster akan menimbulkan respons imun yang diawali pembentukkan serokonversi antibodi.
Banyaknya antibodi yang dihasilkan tergantung dari morbiditas dan status gizi mikro anak. Respons imun dalm hal ini dinampakkan sebagai kekebalan tubuh
terhadap penyakit. Terjadinya respons imun melibatkan antibodi, antara lain imunoglobulin G. Konsep pembentukkan titer IgG dari hasil studi pustaka
disajikan pada Gambar 23.
97
Gambar 23. Faktor- faktor yang Berpengaruh terhadap Pembentukkan Titer Imunoglobulin G
Berdasarkan penjelasan tersebut, meskipun anak telah mendapatkan pemberian booster, akan menghasilkan titer IgG yang berlainan sejalan dengan
faktor yang berpengaruh antara lain: 1 kualitas potensi vaksin, 2 imunisasi, 3 interval waktu pemberian booster, 4 infeksi, 5 status vitamin A dan besi.
Kualitas potensi vaksin, iminisasi, dan interval waktu pemberian booster kepada responden pada saat penelitian kondisinya disamakan. Vaksin DPT yang
diberikan kepada anak balita diambil dari PT. Biofarma Bandung yang memiliki kualitas potensi yang baik. Pemeliharaan terhadap potensi vaksin dapat dilakukan
dengan cara pengelolaan ya ng baik dari vaksin didistribusi selama perjalanan dan penyimpanan hingga vaksin sampai kepada sasaran. Vaksin yang diberikan
kepada anak dikenal sebagai antigen sehingga pertahanan awal akan terbentuk,
Respons Imun Pembentukkan Titer Imunoglobulin G
Interval Pemberian
Serokonversi Antibodi
Imunisasi dan Maternal antibodi
Infeksi dan penyakit
Intik Vitamin A dan Fe
Revaksinasi Booster
Status Vitamin A dan Besi Fe
Potensi vaksin, Rantai dingin
98 yakni timbulnya respons imun non-spesifik humoral. Kekebalan yang terbentuk
akan mudah diukur. Dosis booster yang diberikan kepada anak sama, yakni 0,5 mg. Pemberian
imunisasi berpengaruh terhadap pembentukkan antibodi anak. Pembentukkan antibodi dengan imunisasi bersifat humoral maka jumlah dan dosis sangat
berperan untuk mempertahankan sampai titer yang terbentuk protektif. Interval waktu pemberian booster berpengaruh terhadap terbentuknya
titer IgG. Interval yang terlalu pendek akan menyebabkan terjadinya proses fagositosis. Sebaliknya, interval terlalu panjang dapat menyebabkan terjadinya
kelemahan sel yang memungkinkan terganggunya pembentukkan antibodi. Interval pemberian dosis booster sampai dengan analisis imunoglobulin yakni 12
hari, dengan pertimbangan tepat pada pertengahan pembentukan IgG terbesar pada interval waktu 10-14 hari setelah pemberian antigen.
Infeksi dapat muncul cepat apabila tubuh anak terjadi defisiensi zat gizi, khususnya zat gizi mikro seperti defisiensi vitamin A dan za besi Fe diyakini
berpengaruh terhadap pertaha nan tubuh anak. Anak yang defisiensi zat gizi akan lebih mudah terpapar bila terkena penyakit.
Defisiensi vitamin A dan zat besi diyakini dapat berpengaruh terhadap respons imun, namun bagian mana dari tubuh yang secara langsung dipengaruhi
perlu penelitian imunitas yang biayanya sangat mahal. Sampai saat ini belum banyak penelitian ke arah tersebut. Pada penelitian yang dilakukan hanya sebatas
akibat dari penambahan vitamin A dan zat besi terhadap peningkatan titer imunoglobulin G. Defisiensi vitamin A dan zat besi diyakini dapat menurunkan
respons terhadap infeksi. Defisiensi vitamin A dapat merubah permukaan membran glikoprotein yang dapat mengganggu pengikatan antigen.
Hubungan Infeksi, Kadar Hemoglobin, Ferritin, Retinol, dan Respons Imun
•
Infeksi
Infeksi dapat diakibatkan oleh lingkungan yang padat dan kumuh, yang memberikan kontribusi personal higiene yang kurang sehingga dapat berpengaruh
terhadap tingginya angka infeksi. Infeksi dan defisiensi zat gizi merupakan
99 problem yang umum dijumpai pada anak-anak. Defisiensi zat gizi memberi
peluang tubuh terhadap mudahnya terkena penyakit infeksi. Pada saat tubuh terinfeksi, sistem imun sel menurun dan respons antibodi tidak memadai.
•
Hemoglobin Hb
Kadar rata-rata Hb dari kedua kelompok berkisar antara 8,9-13,6 gL. Kadar rata-rata Hb pada kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi daripada
rata-rata Hb kelompok plasebo. Perbedaan kadar rata-rata Hb dari kedua kelompok tersebut signifikan p = 0,00.
Kondisi anemia pada anak akan berpengaruh terhadap pembentukan imunoglobulin. Kondisi kadar Hb darah yang kurang dari normal dapat
menyebabkan kurangnya oksigen yang ditransportasikan ke beberapa sel tubuh maupun otak, mengingat fungsi Hb adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke
seluruh sel tubuh Sukirma n, 2000; Djikhuizen dan Wieringa, 2001. Kekurangan Hb atau anemia menyebabkan kerusakan fungsional beberapa jaringan tubuh.
Kondisi yang demikian dapat menimbulkan gejala 5L, yakni lemah, letih, lesu, lunglai, lelah. Akibatnya dapat menurunkan daya tahan tubuh anak balita sehingga
rentan terhadap penyakit. Zat besi berperan penting dalam sistem imun dan anemia dapat menyebabkan kerusakan fungsi imun, khususnya sel mediate
respons imunologik Weiss et al., 1995. Anemia penyebab sejumlah ketidaknormalan bio logis dan merusak sel mediate imunitas dengan terjadinya
peningkatan infeksi Terlouw et al., 2004. •
Ferritin Serum Fs Delta Rata-rata konsentrasi ferritin pada kelompok perlakuan lebih tinggi
dibandingkan plasebo 11,43+4,47 terhadap 8,27+4,55 µgL. Artinya intervensi biskuit fortifikasi mampu meningkatkan status besi anak balita. Hal tersebut
terbukti secara statistik adanya peningkatan kadar ferritin anak balita. Zat besi esensial untuk pertumbuhanproliferasi bakteri dan mikroorganisme. Kehadiran
zat besi harus ada setiap hari dalam sumsum tulang untuk pembentukan Hb. Penurunan kadar Fe plasma secara tiba-tiba dapat menyebabkan infeksi akut.
Artinya, banyak bakteri yang mempunyai kesanggupan mensekresi siderofore.
100 Siderofore merupakan suatu sekret mikroorganisme yang sifatnya suka terhadap
Fe dari hemoglobin. Siderofore tersebut dapat mengikat Fe dalam media sekitarnya sehingga meningkatkan dayaguna untuk bakterijamur, seperti escheria
coli, basilus subtilis, v. Cholera, pseudomanas B 10, streptomyces pilosus, dan lain- lain.
Tubuh yang defisiensi Fe deplesi menyebabkan transport besi dalam plasma terganggu, terutama untuk keperluan pembentukan darah merah eritrosit
berkurang. Apabila eritrosit berkurang menurun maka konsentrasi Hb akan menurun pula. Defisiensi zat besi sebagian besar terjadi karena ketidakhadiran zat
besi dalam makrofag di dalam sumsum tulang. Selama infeksi terjadi penurunan konsentrasi Hb dan kadar ferritin. Defisiensi besi dapat menurunkan kapasitas
bakterisidal neutrofil dan limfosit, kerusakan respons proliferasi limfosit dan antigen, serta respons yang lambat terhadap antigen Chandra, 1997.
•
Serum Retinol Rs
Delta peningkatan kadar retinol dalam serum kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan plasebo 10,12+7,84 terhadap 4,38+7,72
µgdL. Perbedaan delta tersebut secara statistik signifikan p0,05, artinya intervensi biskuit fortifikasi dapat meningkatkan status vitamin A anak balita,
terbukti secara statistik adanya peningkatan kadar retinol. Vitamin A berperan penting dalam beberapa proses metabolik tubuh. Retinol merupakan komponen
esensial dari rodopsin, pigmen retina khususnya dalam penglihatan. Vitamin A berfungsi dalam beberapa sel dan jaringan tubuh, termasuk sel epithel dan sel-sel
sistem imun Blomhoff, 1994, serta berperan dalam pengaturan diferensiasi dan proliferasi sel Napoli, 1996.
Vitamin A retinaldehida pada tingkat sel berfungsi dalam penglihatan dan vitamin A asam retinoat dalam inti sel sangat diperlukan untuk membantu
ekspresi gen dan bersamaan dengan messenger RNA mRNA berfungsi dalam pembentukan imunoglobulin Wiedermann et al., 1993.
101 •
Imunoglobulin G IgG
Hubungan antara defisiensi vitamin A dan zat besi Fe serta status vitamin A dan besi status gizi mikro, infeksi, dan respons imun bersifat
sinergisme. Kondisi defisiensi vitamin A dan Fe akan menyebabkan peluang terhadap penyakit infeksi meningkat dan akan memperberat jalannya penyakit
karena adanya penekanan respons imun. Interaksi antara infeksi, status gizi mikro, dan respons imun terilustrasikan dalam: 1 Pada kondisi defisiensi: vitamin A
maka terjadi penurunan konsentrasi retinol serum yang dapat mengganggu ekspresi gen dalam fungsinya membantu pembentukan imunoglobulin, demikian
juga pada kondisi defisiensi zat besi akan menyebabkan anemia yang dapat mengganggu terbentuknya hemoglobin; 2 Pada kondisi infeksi: terjadi anemia
dan defisiensi vitamin A sehingga terjadi percepatan infeksi; 3 Pada respons imun terjadi penurunan imunitas mukosa, gangguan fungsi fagosit, dan respons
antibodi imunoglobulin G tidak memadai Suyitno, 1985. Dalam interaksi terdapat hubungan yang erat antara status vitamin A dan
besi, infeksi, serta respons imun. Pada defisiensi vitamin A dan Fe maka respons imun akan menurun serta frekuensi dan beratnya infeksi akan meningkat. Pada
infeksi akan memperberat defisiensi vitamin A dan Fe serta menurunkan respons imun. Pada defisiensi respons imun penyebab kerentanan tubuh inang terhadap
penyakit. Apabila defisiensi vitamin A dan Fe terjadi bersamaan akan saling memperberat dan kompeten respons imun juga dapat terganggu. Status gizi besi
berperan dalam maintenance respons imun. Dengan demikian, anak yang defisiensi besi secara langsung memiliki respon imun yang tidak baik, karena
defisiensi besi, infeksi, dan respons imun saling berkaitan. Anak yang IgGnya bagus, ternyata memiliki konsentrasi Hb yang baik,
kadar ferritin dan retinol yang baik juga. Dan anak tersebut selalu sehat serta jarang terpapar infeksi. Sebaliknya anak yang sering sakit terpapar infeksi
ternyata memiliki konsentrasi Hb yang rendah dan kadar ferritin serta retinolnya juga rendah dan imunoglobolinnya juga tidak tinggi.
Sesuai dengan pendapat tersebut, Oppenheimer 2001 menggeneralisasi- kan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi lebih besar terjadi pada
102 anak yang menderita defisiensi besi dibandingkan dengan anak yang normal.
Menurutnya, defisiensi besi saling berkaitan dengan ketidaknormalan fungsi imun, namun sulit digambarkan relevansi dan tingkat keparahannya dalam studi
observasi. Insiden infeksi pada anak yang defisien zat besi menurun ketika anak diberikan suplemen zat gizi Oppenheimer, 2001.
Betapa besar pentingnya pengaruh vitamin A dan Fe terhadap kesanggupan tubuh untuk menangk is mikroorganisme penyebab timbulnya
infeksi. Fungsi imunologi sangat penting, namun penelitian imunitas belum banyak dilakukan, artinya belum sistematik dan komprehensif. Masih banyak
penelitian yang harus dilakukan dalam bidang ini.
1.4 1.4
1.6 1.5