Pendugaan Umur Simpan , Stabilitas serta Pengujian Biologis Kecap dan Saus Cabe yang Difortifikasi dengan Iodium, Zat Besi dan Vitamin A

(1)

PENDUGAAN UMUR SIMPAN, STABILITAS SERTA

PENGUJIAN BIOLOGIS KECAP DAN SAUS CABE YANG

DIFORTIFIKASI DENGAN IODIUM, ZAT BESI DAN VITAMIN A

RENNY CANDRA PRASETYAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

Judul : Pendugaan Umur Simpan , Stabilitas serta Pengujian Biologis Kecap dan Saus Cabe yang Difortifikasi dengan Iodium, Zat Besi dan Vitamin A Nama : Renny Candra Prasetyawati

NIM : F251030131

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S. Ketua

Dr. Drh. Tutik Wresdiyati Ir. Didah Nur Faridah, M.Si. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.


(3)

ABSTRAK

RENNY CANDRA PRASETYAWATI. Pendugaan Umur Simpan, Stabilitas serta Pengujian Biologis Kecap dan Saus Cabe yang Difortifikasi dengan Iodium, Zat Besi dan Vitamin A. Dibimbimg oleh MADE ASTAWAN, TUTIK WRESDIYATI dan DIDAH NUR FARIDAH.

Kecap dan Saus Cabe dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif untuk difortifikasi dengan ketiga jenis zat gizi: iodium (I), zat besi (Fe) dan vitamin A. Untuk mengetahui kelayakan produk tersebut sebagai bahan pembawa, maka penting untuk diketahui kestabilan serta manfaat secara biologis dari zat gizi yang difortifikasikan.

Penelitian ini dilakukan dalam empat bagian. Bagian pertama yaitu pengamatan perubahan sifat fisikokimia kecap dan saus cabe (viskositas, Total Padatan Terlarut (TPT), pH, warna) dan mikrobiologi (Total Plate Count (TPC)) serta pendugaan umur simpan produk (Metode Arrhenius). Bagian kedua yaitu pengujian stabilitas I (Metode Spektrofotometri), Fe (Metode AAS) dan vitamin A (Metode HPLC). Bagian ketiga yaitu pengujian nilai biologis I dengan parameter jumlah sel neuron otak (Metode Histoteknik), Fe dengan parameter kadar hemoglobin (Metode Sianmet) dan vitamin A dengan parameter kadar retinol serum (Metode HPLC). Pengujian dilakukan dengan menggunakan tikus percobaan berjenis kelamin betina umur 30 hari. Bagian keempat sama seperti pada bagian ketiga hanya pengujian dilakukan terhadap anak tikus umur empat dan 30 hari yang diperoleh dari hasil perkawinan induk tikus yang dipergunakan pada penelitian bagian ketiga.

Nilai TPT kedua produk mengalami penurunan selama dua bulan penyimpanan. Viskositas dan warna mengalami kenaikan, sedangkan nilai pH cenderung konstan. Pertumbuhan mikroba terlihat mulai terjadi pada hari pengamatan ke-28 namun nilainya masih jauh di bawah SNI yang diperbolehkan. Umur simpan kecap diduga berdasarkan nilai pH, hasilnya selama 2.3 tahun. Sedangkan umur simpan saus cabe jika diduga berdasarkan nilai a (intensitas warna merah) didapatkan selama 1 tahun. Adapun bila diduga berdasarkan viskositas didapatkan selama 1.3 tahun.

Selama penyimpanan baik I, Fe maupun vitamin A cenderung stabil. Hanya saja I pada kecap menurun 10% dan vitamin A pada saus cabe menurun 11% di akhir penyimpanan (hari ke-56).

Pada induk tikus, pemberian Fe dari kecap dan saus cabe mampu mempertahankan nilai normal Hb, yaitu sebesar 11.72 mg/dl dan 11.32 mg/dl. Pemberian vitamin A tidak berpengaruh signifikan dalam meningkatkan retinol serum. Pemberian I mampu meningkatkan jumlah sel neuron otak yaitu sebesar 83 sel/lp dan 86 sel/lp, hal ini berkorelasi positif dengan kemampuan belajarnya.

Begitu pula yang terjadi pada anak tikus umur empat dan 30 hari. Anak tikus dari induk yang mendapat asupan kecap dan saus cabe cenderung memiliki jumlah sel neuron yang lebih banyak dan hal ini juga berkorelasi positif dengan kemampuan belajarnya.


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Purworejo pada tanggal 14 April 1980 dari ayah Bambang S. Muhibayanto, S.T. dan ibu Supartiwi, A.M.Pd. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara.

Riwayat pendidikan penulis tempuh di SDN Cangkrep Lor 2 Purworejo lulus tahun 1992, SLTPN 2 Purworejo lulus tahun 1995 dan SMUN 1 Purworejo lulus tahun 1998. Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Gelar sarjana (S1) diperoleh pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB.


(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2005 ini ialah Pendugaan Umur Simpan, Stabilitas serta Pengujian Biologis Kecap dan Saus Cabe yang Difortifikasi dengan Iodium, Zat Besi, dan Vitamin A.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S., Dr. drh. Tutik Wresdiyati dan Ir. Didah N. Faridah, M.Si. selaku pembimbing, atas segala bimbingan dan pelajaran kehidupan yang telah diberikan (semuanya sangat berarti untuk penulis dalam mengarungi kehidupan ini). Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ibnu Wachid, Bapak Adi, Ibu Rubiyah, Mbak Ari selaku laboran di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih tak terhingga kepada PD. Sari Sedap atas bantuan dananya sehingga penelitian ini bisa terlaksana.

Ungkapan terima kasih yang terdalam penulis haturkan kepada papah, mamah (Pah, Mah.. makasih atas semua yang telah diberikan), kakek, nenek, adek, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Terima kasih juga untuk seluruh rekan-rekan di PS. Ilmu Pangan, atas segala bantuannya: Abang dan Kak Cut (kapan trio kwek -kwek bisa bersama lagi?), Damay (makasih untuk pertemanannya), Bu Epi Ros (makasih untuk doa dan pelajaran hidupnya) dan semua rekan IPN 2003 (tetap kompak kapanpun).

Tak terkecuali terima kasih untuk rekan-rekan seperjuangan, atas segala doa dan semangatnya: T’Sahla (makasih atas bimbingannya), Mba Agus dan Afifah (makasih atas kekompakannya dan semoga kita bisa memberi yang lebih baik lagi), Risdian dan Aiman (semoga hanya ajal yang mampu memutuskan persahabatan kita), Nisa dan Nasywa (jadilah mutiara umat sejati), semua adek-adek di Al Jamilah (makasih atas segala keceriaannya).

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


(6)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pendugaan Umur Simpan, Stabilitas serta Pengujian Biologis Kecap dan Saus Cabe yang Difortifikasi dengan Iodium, Zat Besi dan Vitamin A adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2006

Renny Candra Prasetyawati


(7)

PENDUGAAN UMUR SIMPAN, STABILITAS SERTA

PENGUJIAN BIOLOGIS KECAP DAN SAUS CABE YANG

DIFORTIFIKASI DENGAN IODIUM, ZAT BESI DAN VITAMIN A

RENNY CANDRA PRASETYAWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN PENELITIAN ... 3

C. MANFAAT PENELITIAN ... 3

D. HIPOTESIS ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. KECAP ... 5

B. SAUS CABE ... 8

C. IODIUM... 10

D. ZAT BESI ... 13

E. VITAMIN A... 16

F. FORTIFIKASI ... 18

III. BAHAN DAN METODE ... 20

A. BAHAN ... 20

B. TEMPAT DAN WAKTU ... 20

C. METODE PENELITIAN ... 20

1. PENELITIAN BAGIAN I... 22

a. Pengamatan Fisikokimia ... 23

1) Pengujian Viskositas ... 23

2) Pengujian Total Padatan Terlarut ... 23

3) Pengukuran pH... 23

4) Pengukuran Warna ... 23

b. Pengamatan Mikrobiologis ... 23


(9)

2. PENELITIAN BAGIAN II : Uji Stabilitas Iodium, Zat Besi

Dan Vitamin A... 24

3. PENELITIAN BAGIAN III... 25

a. Pengujian Biokimia Darah ... 27

b. Pengamatan Kemampuan Belajar Tikus Percobaan... 27

c. Analisis Jumlah Sel Neuron Otak... 28

4. PENELITIAN BAGIAN IV : Uji Biologis Terhadap Anak Tikus ... 30

D. RANCANGAN PERCOBAAN ... 31

IV. PEMBAHASAN ... 32

A. PENELITIAN BAGIAN PERTAMA ... 32

1. Pengamatan Fisikokimia ... 32

a) Total Padatan Terlarut (TPT) ... 32

b) pH ... 33

c) Viskositas ... 35

d) Warna ... 37

2. Pengamatan Mikrobiologis ... 38

3. Pendugaan Umur Simpan... 39

a) Kecap ... 39

b) Saus Cabe ... 41

B. PENELITIAN BAGIAN KEDUA... 44

1. Stabilitas Iodium ... 44

2. Stabilitas Vitamin A... 46

3. Stabilitas Zat Besi (Fe) ... 48

C. PENELITIAN BAGIAN KETIGA ... 49

1. Pengaruh Perlakuan terhadap Profil Biokimia Darah... 49

a) Hemoglobin (Hb) ... 49

b) Vitamin A Serum ... 52

2. Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Sel Neuron Otak... 54

3. Pengaruh Jumlah Sel Neuron terhadap Kemampuan Belajar Tikus Percobaan... 57

D. PENELITIAN BAGIAN KEEMPAT ... 59


(10)

2. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Otak Anak Tikus... 60

3. Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Sel Neuron Otak Pada Anak Tikus Umur Empat dan 30 Hari ... 61

4. Pengaruh Jumlah Sel Neuron terhadap Kemamp uan Belajar Anak Tikus Umur 30 Hari... 65

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Syarat mutu kecap manis ... 7

2 Komposisi kimia kecap manis ... 7

3 Syarat mutu saus cabe ... 10

4 Kebutuhan iodium pada bayi hingga orang dewasa... 11

5 Dampak akibat kekurangan iodium pada berbagai segmen umur ... 12

6 Kebut uhan zat besi pada berbagai tingkatan umur dan kondisi fisiologis ... 15

7 Kondisi-kondisi akibat defisiensi zat besi... 15

8 Daftar kecukupan konsumsi vitamin A... 17

9 Gejala atau akibat defisiensi vitamin A... 18

10 Hasil analisis mikrobiologi kecap dan saus cabe selama penyimpanan... 38

11 Nilai k dan persamaan regresi pH kecap pada beberapa suhu penyimpanan ... 40

12 Nilai k dan persamaan regresi intensitas warna merah (a) saus cabe pada beberapa suhu penyimpanan... 42

13 Nilai k dan persamaan regresi viskositas saus cabe pada beberapa suhu penyimpanan... 43

14 Berat lahir anak tikus ... 59

15 Rata-rata berat otak anak tikus umur 30 hari ... 60


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bagan alir pembuatan kecap ... 6

2 Bagan alir pembuatan saus cabe... 9

3 Bagan dari penelitian yang akan dilakukan... 21

4 Bagan alir penelitian bagian I... 22

5 Bagan alir penelitian bagian II ... 25

6 Bagan alir penelitian bagian III ... 26

7 Alat pengujian kemampuan belajar tikus ... 27

8 Bagan alir penelitian bagian IV... 30

9 Kurva Total Padatan Terlarut (TPT) kecap selama penyimpanan ... 33

10 Kurva Total Padatan Terlarut (TPT) saus cabe selama penyimpana n ... 33

11 Kurva pH kecap dan saus cabe selama penyimpanan... 34

12 Kurva viskositas kecap selama penyimpanan... 36

13 Kurva viskositas saus cabe selama penyimpanan... 36

14 Kurva L, a, b saus cabe selama penyimpanan... 37

15 Grafik kadar iodium selama penyimpanan... 45

16 Grafik kadar vitamin A selama penyimpanan... 47

17 Grafik kadar zat besi selama penyimpanan... 49

18 Kadar Hemoglobin (Hb) Tikus pada berbagai kelompok perlakuan... 50

19 Kadar retinol serum pada berbagai kelompok perlakuan... 53

20 Jumlah sel neuron otak induk tikus ... 55

21 Gambaran histologi otak induk tikus ... 57

22 Kemampuan belajar induk tikus percobaan... 58

23 Gambaran histologi otak kiri anak tikus umur empat hari... 62

24 Gambaran histologi otak kiri anak tikus umur 30 hari... 64


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Analisis kadar iodium... 74

2 Analisis kladar zat besi... 76

3 Analisis kadar vitamin A... 76

4 Analisis hemoglobin (Hb) serum ... 77

5 Regresi kurva waktu simpan vs pH kecap ... 78

6 Plot kurva nilai (1/T) vs (ln k) untuk pH kecap ... 78

7 Regresi kurva waktu simpan vs nilai a saus cabe... 79

8 Plot kurva (1/T) vs (ln k) untuk nilai a saus cabe... 79

9 Regresi kurva waktu simpan vs nilai viskositas saus cabe... 80

10 Plot kurva (1/T) vs (ln k) untuk viskositas saus cabe... 80

11 Analisis sidik ragam kandungan vitamin A saus cabe selama penyimpanan ... 81

12 Analisis sidik ragam kandungan vitamin A kecap selama penyimpanan ... 81

13 Analisis sidik ragam kandungan total zat besi kecap ... 81

14 Analisis sidik ragam kandungan total zat besi saus cabe ... 81

15 Analisis sidik ragam kadar hemoglobin tikus percobaan... 81

16 Uji beda Duncan kadar hemoglobin tikus percobaan... 82

17 Analisis sidik ragam kadar vitamin A serum tikus percobaan... 82

18 Rekapitulasi jumlah sel neuron otak kiri induk tikus percobaan ... 82

19 Analisis sidik ragam jumlah sel neuron otak kiri tikus percobaan... 82

20 Uji beda Duncan jumlah sel neuron otak kiri tikus percobaan ... 82

21 Analisis sidik ragam kemampuan belajar induk tikus percobaan... 83

22 Uji beda Duncan kemampuan belajar induk tikus percobaan... 83

23 Analisis sidik ragam berat otak anak tikus percobaan ... 83

24 Rekapitulasi jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur empat hari... 83

25 Analisis sidik ragam jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur empat hari... 83


(14)

26 Uji beda Duncan jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur

empat hari... 84 27 Rekapitulasi jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur

30 hari... 84 28 Analisis sidik ragam jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur 30 hari... 84 29 Uji beda Duncan jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur

30 hari... 84 30 Analisis sidik ragam kemampuan belajar anak tikus umur

30 hari... 85 31 Uji beda Duncan kemampuan belajar anak tikus umur


(15)

I.PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sampai saat ini, masalah kurang gizi masih menjadi bagian dari kompleksitas permasalahan yang terdapat di negara-negara berkembang, termasuk di dalamnya Indonesia. Prevalensi kurang gizi terutama diderita oleh bayi, anak-anak usia sekolah dan wanita. Tiga macam kekurangan gizi yang dipandang sebagai masalah kesehatan umum di Indonesia adalah defisiensi iodium, zat besi dan vitamin A (Wirakartakusumah dan Hariyadi, 1998).

Dua jenis mineral tersebut di atas (iodium dan zat besi) dianggap berpengaruh amat besar terhadap tingkat kecerdasan. Iodium penting dalam proses pembentukan neurofil otak terutama pada akhir kehamilan sampai awal postnatal. Defisiensi iodium sangat erat pengaruhnya terhadap perkembangan mental yang diwujudkan dengan terjadinya defisit intelegence-quotient (IQ point), kretinisme, bisu tuli atau lumpuh. Penderita GAKI rata-rata memiliki

IQ sepuluh poin di bawah normal (Anonim, 2005).

Kurangnya asupan zat besi mengakibatkan timbulnya penyakit anemia gizi. Resiko anemia gizi besi ini dapat menyebabkan produktivitas kerja rendah, daya tahan tubuh terhadap penyakit menurun, kemampuan belajar anak sekolah rendah, peningkatan bobot badan ibu hamil rendah, dan kelahiran bayi prematur.

Vitamin A sangat diperlukan untuk proses penglihatan, differensiasi sel, pertumbuhan serta reproduksi (Linder, 1992). Rendahnya asupan vitamin A di Indonesia ditunjukkan oleh survey WHO tahun 1992, dimana dari 20 juta balita berumur 6 bulan hingga 5 tahun, setengahnya menderita kekurangan vitamin A (Anonim, 2003). Pemberian vitamin A bersamaan dengan zat besi terbukti lebih baik dalam menurunkan prevalensi anemia pada ibu hamil (Suharno dan Muhilal, 1996), selain itu juga bermanfaat untuk mendorong pertambahan berat badan selama kehamilan (Mercy et al., 1994).

Mengingat pentingnya peranan dari iodium, zat besi dan vitamin A, maka kecukupan konsumsi masing- masing zat gizi tersebut mutlak harus


(16)

dipenuhi. Rendahnya kualitas menu keseharian masyarakat Indonesia menjadikannya tidak mampu untuk menutupi kebutuhan akan zat gizi tersebut. Oleh karena itu, salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan mineral iodium, besi dan vitamin A adalah dengan melakukan suplementasi atau fortifikasi zat gizi tersebut dalam makanan.

Selama ini pemerintah telah berusaha untuk menggalakkan fortifikasi iodium ke dalam garam, fortifikasi zat besi ke dalam tepung dan fortifikasi vitamin A ke dalam minyak. Namun, dengan hanya mengandalkan pada satu jenis bahan pangan pembawa (vehicle), hasilnya menjadi kurang optimal. Oleh karena itu, suatu studi pengembangan fortifikasi pangan di Indonesia merekomendasikan untuk mencari bahan pangan alternatif yang dapat digunakan sebagai pembawa (Anonim, 2005). Bahan pangan pembawa yang dipilih seharusnya dikonsums i secara luas oleh masyarakat.

Kecap dan saus mulai dilirik untuk dijadikan sebagai bahan pangan alternatif yang akan difortifikasi. Peningkatan konsumsi produk ini terjadi seiring dengan maraknya produk-produk industri. Masyarakat sekarang menjadi sangat gemar menambahkan kecap dan saus pada masakan mereka. Keuntungan lainnya dari kecap dan saus adalah karakteristik bahan yang berwarna dan kental sehingga diharapkan zat gizi yang difortifikasi akan terdispersi secara merata dalam bahan yang berwarna tanpa mengubah kualitas organoleptik bahan asal (Imanningsih, 2001).

Apabila akan dilakukan fortifikasi iodium, zat besi dan vitamin A ke dalam suatu produk, maka hendaknya harus diketahui terlebih dahulu kelayakan produk tersebut sebagai bahan pembawa ketiga jenis zat gizi tersebut. Kestabilan zat gizi dalam produk selama penyimpanan, merupakan salah satu parameter utama penentu kelayakannya. Tidak ada gunanya melakukan fortifikasi jika pada akhirnya zat gizi yang ditambahkan cepat rusak atau hilang. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui stabilitas zat gizi yang ditambahkan dalam bahan pangan, dan akan lebih baik lagi jika dapat dilakukan prediksi daya tahan dari zat gizi tersebut.

Fortifikasi iodium, zat besi dan vitamin A ke dalam bahan pangan harus dapat dimanfaatkan secara biologis. Fortifikasi yang dilakukan akan


(17)

menjadi sia-sia jika zat gizi tersebut terbuang percuma, tidak dapat diretensi dan dimanfaatkan oleh tubuh. Evaluasi biologis penting dilakukan terhadap produk yang difortifikasi, untuk mengetahui retensi dan manfaat dari zat- zat gizi yang ditambahkan. Evaluasi biologis dapat memperkuat klaim terhadap produk fortifikasi tentang manfaat dari zat gizi yang ditambahkan.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui perubaha n sifat fisikokimia produk kecap dan saus cabe yang difortifikasi iodium, zat besi dan vitamin A selama penyimpanan.

2. Menduga umur simpan produk kecap dan saus cabe yang difortifikasi iodium, zat besi dan vitamin A berdasarkan parameter sifat fisikokimianya.

3. Mengetahui stabilitas iodium, zat besi dan vitamin A yang ditambahkan pada produk kecap dan saus cabe.

4. Menguji secara biologis ketersediaan zat gizi iodium, besi dan vitamin A pada kecap dan saus cabe yang dikonsumsi, dengan menggunakan hewan coba tikus induk dan turunan pertamanya.

5. Mengetahui manfaat iodium yang ditambahkan pada produk kecap dan saus cabe dalam hubungannya dengan kemampuan belajar tikus percobaan pada induk tikus dan turunan pertamanya.

C. MANFAAT PENELITIAN

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada produsen kecap dan saus cabe yang menambahkan iodium, zat besi dan vitamin A ke dalam produknya, mengenai :

1. Daya tahan produk kecap dan saus cabe berdasarkan parameter sifat fisikokimianya.

2. Stabilitas iodium, zat besi dan vitamin A pada produk kecap dan saus cabe.

3. Manfaat dari zat gizi yang difortifikasikan (iodium, zat besi, vitamin A) ke dalam produk kecap dan saus cabe.


(18)

D. HIPOTESIS

1. Kecap dan saus cabe yang difortifikasi iodium, zat besi dan vitamin A tahan secara fisikokimia selama penyimpanan dalam jangka waktu yang relatif lama.

2. Iodium, zat besi dan vitamin A yang difortifikasikan ke dalam kecap dan saus cabe belum menunjukkan perubahan yang signifikan selama jangka waktu penyimpanan dua bulan.

3. Zat besi dan vitamin A yang difortifikasikan ke dalam kecap dan saus cabe memiliki ketersediaan biologis yang tinggi berdasarkan percobaan menggunakan tikus sebagai model.

4. Pemberian kecap dan saus cabe yang difortifikasi dengan iodium mampu meningkatkan jumlah sel neuron otak dan kemampuan belajar tikus percobaan.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KECAP

Kecap dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia sebagai produk semacam saus dari kedelai dengan konsistensi cair, berwarna coklat gelap dan beraroma seperti daging (Winarno, 1986). Sedangkan definisi menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3543-1994), kecap kedelai adalah produk cair yang diperoleh dari hasil fermentasi dan atau cara kimia (hidrolisis) kacang kedelai (Glycine max L) dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan tambahan makanan yang diizinkan.

Kecap kedelai diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kecap kedelai manis dan kecap kedelai asin (SNI 01-3543-1994). Kecap manis mempunyai konsistensi sangat kental, rasa manis dengan kandungan gula 26-61%, serta kandungan garam 3-6%. Kecap asin yang juga disebut saus kedelai ringan, mempunyai konsistensi encer, warna lebih muda dan rasa lebih asin, dengan kandungan garam 18-21% serta kandungan gula 4-19% (Judoamidjojo, 1986).

Sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya di Pulau Jawa, cenderung lebih menyukai kecap manis (Judoamidjojo, 1986). Kecap manis yang dibuat secara tradisional menggunakan bahan baku kedelai hitam atau kedelai kuning, kadang-kadang dalam proses pembuatannya ditambahkan tepung tapioka, tepung gandum atau tepung beras (Judoamidjojo, 1986). Secara umum proses pembuatan kecap manis di Indonesia dapat dilakukan seperti pada Gambar 1. Sedangkan beberapa persyaratan mutu dari kecap manis yang dihasilkan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Kecap memiliki keunggulan dari segi nilai gizinya. Kedelai yang digunakan sebagai bahan baku sangat kaya akan protein dan karbohidrat. Mutu protein kedelai termasuk paling unggul dibandingkan dengan jenis tanaman lain, bahkan hampir mendekati protein hewani. Apalagi ditunjang dengan adanya proses fermentasi dalam pembuatannya.


(20)

Gambar 1 Bagan alir pembuatan kecap (Winarno, 1986)

Proses fermentasi pada kecap mampu mengubah senyawa makromolekul kompleks yang ada dalam kedelai (seperti protein, karbohidrat dan lemak) menjadi senyawa yang lebih sederhana, seperti peptida, asam amino, asam lemak dan monosakarida. Senyawa ini menjadi lebih mudah dicerna, diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh (Astawan, 2004). Adapun komposisi kimia dari kecap manis seperti ditunjukkan pada Tabel 2.

Kedelai hitam

Perendaman dalam air (1 malam)

Pemasakan (1-5 jam)

Pengeringan

Inokulasi (Aspergillus oryzae)

Fermentasi I (3-5 hari)

Fermentasi II (bakteri + khamir, 3-4 minggu)

Saring

Filtrat

Pasteurisasi (+ karamel)

Saring

Filtrat

Ampas

Limbah Air garam 20 %


(21)

Tabel 1 Syarat mutu kecap manis

Kriteria uji Satuan Persyaratan

Keadaan Bau Rasa

Normal,khas Normal, khas Protein (N x 6,25) % b/b Min. 2,5

Jumlah padatan % b/b Min. 10

NaCl (garam) % b/b Min. 3

Total gula (dihitung sebagai sukrosa)

% b/b Min. 40

Bahan tambahan makanan Pengawet

1) Benzoat, atau 2) Metil para hidroksi

benzoat,

3) Propil para hidroksi benzoat Pewarna mg/kg mg/kg mg/kg Maks. 600 Maks. 250 Maks. 250

Sesuai SNI 01-0222-1995 Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg) mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Maks. 1,0 Maks. 30,0 Maks. 40,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05

Arsen mg/kg Maks. 0,5

Cemaran mikroba Angka lempeng total Bakteri koliform Escherichia coli S. aureus Kapang/khamir Koloni/g APM/g APM/g APM/g Koloni/g

Maks. 1x105 Maks. 1x102 <3

Maks. 10 Maks. 50 Sumber : SNI 01-3543-1994

Tabel 2 Komposisi kimia kecap manis Karakteristik Kadar (%) Air Protein kasar Lemak Abu Karbohidrat Garam (NaCl) 29,61 1,46 0,14 7,64 61,15 6,27 Sumber : Judoamidjojo (1986)


(22)

Komponen terbesar kecap manis adalah karbohidrat, terutama terdiri dari sukrosa, glukosa dan fruktosa (Judoamidjojo, 1986). Tingginya kadar gula pada kecap manis ini disebabkan adanya penambahan gula dalam proses pembuatannya. Beberapa jenis gula yang ditambahkan adalah gula palma, gula tebu dan molases (Winarno et al., 1984).

Penggunaan kecap sebagai bumbu penyedap atau pembangkit flavor makanan, sampai saat ini telah dikenal dengan baik oleh masyarakat Indonesia dari semua golongan umur. Semakin banyak jenis makanan yang senantiasa membutuhkan kehadiran produk ini, tanpanya niscaya makanan akan terasa hambar. Oleh karena itu, wajar jika pemanfaatan produk ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di Amerika Serikat (AS) saja produksi kecap mencapai 17.85 juta liter per tahun. Diperkirakan total konsumsi tahunan kecap di AS sekitar 43.35 juta liter per tahun (Astawan, 2004).

Mengingat tingginya tingkat konsumsi kecap di masyarakat, maka produk ini dapat dijadikan sebaga i media pembawa (vehicle) beberapa zat gizi yang akan difortifikasi. Selain itu, kecap dengan konsistensinya yang cair cukup memberikan kemudahan dalam fortifikasi.

B. SAUS CABE

Saus secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu produk yang merupakan hancuran dari beberapa bahan pangan yang tergolong sayuran, seperti tomat dan cabe (Fardiaz, 1992). Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2976-1992) mendefinisikan saus cabe sebagai saus yang diperoleh dari pengolahan bahan utama cabe (Capsicum sp.) yang telah matang dan bermutu baik dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan digunakan sebagai penyedap makanan. Bahan-bahan yang dapat digunakan antara lain garam, gula, bawang putih dan pengental.

Proses pembuatan saus meliputi pencucian, pemotongan tangkai dan pembuangan biji cabe, pengukusan pada suhu 100°C selama 1 menit, penggilingan, penambahan garam, bahan pengawet, gula, asam cuka 25%, penyedap, maizena dan air, dilanjutkan dengan proses pengadukan, pemasakan dengan api kecil sampai mendidih dan mengental, pemasukan


(23)

dalam botol steril, exhausting dan penutupan botol serta pendinginan (Setiadi, 1987). Bagan alir proses pembuatan saus cabe dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Bagan alir pemb uatan saus cabe (Setiadi, 1987)

Adapun syarat mutu saus cabe yang telah ditetapkan oleh SNI dapat dilihat pada Tabel 3.

Cabe merah dan bawang putih

Pencucian, pemotongan tangkai dan pembuangan biji

Pengukusan pada suhu 100°C (± 1 menit)

Penggilingan sampai halus

Bubur

Pengadukan

Pemasakan dengan api kecil sampai mendidih dan mengental

Pemasukkan dalam botol steril dan exhausting

Penutupan botol dan pendinginan kemasan

Produk saus cabe

Garam, pengawet, gula, asam cuka 25%, penyedap,


(24)

Tabel 3 Syarat mutu saus cabe

Kriteria uji Satuan Persyaratan

Keadaan Bau Rasa

Normal Normal cabe

Jumlah padatan % b/b 20-40

Bahan tambahan makanan Pewarna

Pengawet Pengental

Sesuai SNI 0222-M dan Peraturan Men. Kes. No. 772/MenKes/Per/IX/88 Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg) mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Maks. 2,0 Maks. 5,0 Maks. 40,0 Maks. 40,0 Maks. 0,03

Arsen mg/kg Maks. 1,0

Cemaran mikroba Angka lempeng total Bakteri koliform Escherichia coli S. aureus Salmonella Koloni/g APM/g APM/g APM/g

Maks. 1x105 Maks. 1x102 Negatif Maks. 10 Negatif/25 g Sumber : SNI 01-2976-1992

Seperti halnya pada kecap manis, penggunaan produk saus sambal (saus cabe) semakin meningkat. Hal ini didukung dengan berkembangnya industri makanan, terutama industri mi instan. Industri mi instan menggunakan saus cabe sebagai salah satu komponen bumbu. Beberapa jenis makanan non oriental seperti burger, steak dan sebagainya, juga sering menggunakan produk ini. Dengan karakteristiknya yang kental dan berwarna, produk ini juga cukup menguntungkan untuk difortifikasi dengan beberapa zat gizi.

C. IODIUM

Iodium merupakan jenis mineral mikro kedua sesudah zat besi yang dianggap penting bagi kesehatan manusia, walaupun kebutuhan sebenarnya akan mineral ini relatif kecil. Manusia tidak dapat membuat sendiri elemen iodium dalam tubuh, tetapi harus mendapatkannya dari luar tubuh melalui


(25)

serapan iodium yang terkandung dalam makanan serta minuman (Djokomoeldjanto, 1993).

Kebutuhan iodium pada manusia cukup bervariasi, tergantung pada umur, jenis kelamin dan kondisi biologis. Pada Tabel 4. disajikan tingkat kebutuhan iodium pada bayi hingga orang dewasa.

Tabel 4 Kebutuhan iodium pada bayi hingga orang dewasa Kondisi Kebutuhan (µg) Bayi (0-3 tahun)

Anak-anak (4-12 tahun) Pria dewasa (13->65 tahun) Wanita dewasa (13->65 tahun) Wanita hamil

Masa Laktasi

90 120 150 150 +50 +50 Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004)

Dari Tabel 4 terlihat bahwa, baik pada wanita hamil maupun menyusui terjadi peningkatan kebutuhan iodium sebesar 50 µg. Peningkatan kebutuhan tersebut dipergunakan untuk keperluan aktivitas kelenjar tiroid si ibu dan sebagiannya lagi untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, khususnya perkembangan otak.

Peranan iodium yang sudah dikenal cukup luas adalah dalam hubungannya dengan kelenjar gondok dan hormon-hormon tiroid. Iodium diperlukan tubuh untuk pembentukan hormon tetraiodotironin (T4) dan triiodotironin (T3) (Hetzel dan Wellby, 1997). Tiroksin merupakan nama lain untuk T4. Hormon- hormon ini dibutuhkan untuk proses pertumbuhan normal, perkembangan fisik dan mental hewan dan manusia. Selain itu, hormon tiroid juga diketahui berperan dalam pengontrolan konsumsi oksigen oleh sel dan tingkat metabolisme sel (Linder, 1992).

Pengaruh iodium terhadap otak terkait dengan peranan hormon tiroksin dalam proses pembentukan neurofil di berbagai tempat pada otak pada akhir kehamilan sampai awal postnatal. Sedangkan pengaruh iodium terhadap perkembangan mental dan psikomotorik sudah dapat dijelaskan melalui berbagai penelitian yang telah dilakukan. Pengaruh iodium dalam hal ini diwujudkan dalam tingkat Intelegence quotient (IQ point). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada beberapa anak yang tinggal di daerah kekurangan


(26)

iodium rata-rata memiliki IQ 13.5 point lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tinggal di daerah yang cukup konsumsi iodium.

Kekurangan asupan iodium dapat mengakibatkan kekurangan produksi hormon tiroid yang muncul dalam bentuk GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) ringan sampai berat, dari gondok endemik sampai kretin. Penderita GAKI dapat mengalami gangguan fisik, mental dan intelektual (Cahyadi, 2004). Sampai saat ini, GAKI masih merupakan masalah utama gizi masyarakat Indonesia, sampai dengan tahun 1994 prevalensinya mencapai 27.4% (Soekirman 1994). Secara rinci Tim Pembina Penanggulangan (TPP) GAKI Depkes RI (1992) memperkirakan bahwa 33.30 juta penduduk Indonesia beresiko menderita GAKI, 11.30 juta jiwa menderita gondok, 2.09 juta jiwa menderita keterbelakangan mental dan motorik ringan, 0.90 juta jiwa anak menderita kretin, 194 juta jiwa menderita cacat ringan dan 20 710 janin dan bayi baru lahir meninggal dunia.

Permasalahan GAKI dan dampaknya dapat dijumpai pada semua segmen umur dalam masyarakat, mulai dari fetus sampai dewasa. Tabulasi dampak kekurangan iodium pada berbagai segmen umur dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Dampak kekurangan iodium pada berbagai segmen umur

Tahap perkembangan Kelainan

Fetus Aborsi, lahir mati, peningkatan angka kematian bayi, kretin neorologis (defisiensi mental, bisu tuli, kelumpuhan spastik, juling), kretin hipotiroid (cebol, defisiensi mental), gangguan psikomotorik.

Bayi baru lahir (neonatus) Gondok, hipotiroid, rendahnya kadar tiroid pada fase neonatus.

Anak-anak dan remaja Gondok, hipotiroid juvenil, gangguan mental, terhambatnya perkembangan fisik.

Dewasa Goiter dan komplikasinya, hipotiroid,

gangguan mental. Sumber : Hetzel dan Wellby (1997)

Kekurangan iodium pada janin diakibatkan oleh ibu yang kekurangan iodium. Iodium sangat dibutuhkan bagi janin. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa transfer T4 dari ibu ke janin pada awal kehamilan sangat penting untuk perkembangan otak janin. Apabila ibu kekurangan iodium sejak awal


(27)

kehamilannya maka transfer T4 ke janin akan berkurang sebelum kelenjar tiroid janin berfungsi. Dengan demikian, perkembangan otak janin sangat tergantung pada kecukupan hormon tiroid ibu pada trimester pertama kehamilan, apabila ibu kekurangan iodium maka akan berakibat pada rendahnya kadar hormon tiroid ibu dan janin. Pada trimester kedua dan ketiga kehamilan, janin sudah dapat membuat hormon tiroid sendiri, namun karena kekurangan iodium pada masa ini maka tetap akan berakibat pada kurangnya pembentukan hormon tiroid, sehingga timbul kelainan hipotiroidisme pada janin (Sethi dan Kapil, 2004).

Pada bayi baru lahir, perkembangan otaknya sangat tergantung pada fungsi tiroid. Saat lahir, ukuran otak bayi baru mencapai sepertiga dari otak orang dewasa, kemudian terus berkembang dengan cepat sampai usia dua tahun. Apabila terjadi defisiensi iodium dan kelainan fungsi tiroid secara terus menerus pada masa ini, akan dapat menyebabkan kerusakan otak secara permanen (Sethi dan Kapil, 2004).

Pada masa anak-anak, remaja dan dewasa, kekurangan iodium dapat mengakibatkan gondok, gangguan mental, rendahnya IQ dan prestasi anak sekolah serta rendahnya daya produktifitas kerja. Pemberian koreksi iodium pada fase ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan kadar T4 serum, sehingga dapat memperbaiki kelainan akibat kekurangan iodium (Anonim, 2005).

Dengan melihat pentingnya fungsi iodium dan berbagai dampak yang ditimbulkan akibat defisiensinya, maka kecukupan asupan iodium sangat perlu untuk diperhatikan.

D. ZAT BESI

Besi (Fe) adalah mikromineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia dan hewan, dikarenakan mineral ini dijumpai dalam semua sel tubuh. Senyawa besi di dalam tubuh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang berfungsi untuk keperluan metabolik dan yang berbentuk simpanan atau cadangan. Yang termasuk dalam kelompok pertama adalah hemoglobin (Hb), mioglobin, sitokrom dan beberapa zat besi lainnya yang berikatan dengan


(28)

protein. Sedangkan senyawa zat besi dalam bentuk cadangan terdapat sebagai ferritin dan he mosiderin.

Kandungan Fe pada orang dewasa berkisar antara 2.5 – 4 gram, dimana 2.0 – 2.5 gram- nya berada dalam sirkulasi sel darah merah, sebagai komponen hemoglobin (Hb). Sedangkan dalam jumlah kecilnya (kira-kira 300 mg) erat hubungannya dengan beberapa enzim yang mengandung Fe (Linder, 1992).

Dengan demikian, besi memegang peranan penting pada beragam reaksi biokimia. Dalam kaitannya dengan Hb, besi berperan dalam pembentukan sel darah merah serta pengangkutan O2 dan CO2. Sedangkan

sebagian kecil Fe yang terdapat dalam enzim jaringan (sekitar 7%), bertanggung jawab dalam pengangkutan elektron pada proses transpor elektron dan fosforilasi oksidatif (sitokrom, kompleks Fe-S protein), serta bertanggung jawab dalam proses pengaktifan O2 (oksidase dan oksigenase)

(Brody, 1994).

Zat besi penting untuk produksi antibodi dan sintesis purin (sebagai bagian integral asam nukleat dalam RNA dan DNA), dan dalam reaksi sintesis kolagen. Selain itu, Fe diperlukan dalam proses penghilangan lipida dari darah, serta untuk detoksifikasi zat racun dalam hati (Muchtadi, 1993).

Keseimbangan zat besi di dalam tubuh harus selalu dipertahankan. Keseimbangan di sini diartikan bahwa jumlah zat besi yang dikeluarkan dari tubuh jumlahnya sama dengan zat besi yang diperoleh tubuh dari bahan makanan. Kebutuhan manusia akan zat besi ditentukan oleh kebutuhan tubuh untuk pertumbuhan dan pemeliharaan. Kisaran kebutuhan zat besi pada berbagai tingkatan umur ditunjukkan pada Tabel 6.

Peningkatan kebutuhan akan Fe terjadi pada beberapa kondisi klinis dan fisiologis dikarenakan terjadinya peningkatan kehilangan darah. Kehilangan darah selama menstruasi pada wanita usia reproduktif meningkatkan kebutuhan akan Fe, rata-rata 5 mg/hari diatas kebutuhan pria dewasa. Kebutuhan pada pria dewasa dan wanita menopouse sebesar 10 mg/hari.


(29)

Tabel 6 Kebutuhan zat besi pada berbagai tingkatan umur dan kondisi fisiologis

Kategori Umur AKG Fe (mg)

Bayi 0-6 bulan

7-11 bulan

0.5 7 Anak-anak 1-3 tahun

4-6 tahun 7-9 tahun

8 9 10 Pria dewasa 10-12 tahun

13-15 tahun 16-18 tahun 19->65 tahun 13 19 15 13 Wanita dewasa 10-12 tahun

13-49 tahun 50->65 tahun

20 26 12 Wanita hamil Trimester 1

Trimester 2 Trimester 3

+0 +9 +13

Wanita menyusui +6

Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004)

Apabila kebutuhan Fe bagi tubuh tidak tercukupi akan dapat menghantarkan pada berbagai kondisi (Tabel 7) .

Tabel 7 Kondisi-kondisi akibat defisiensi zat besi A. Anemia

B. Gangguan thermoregulasi C. Gangguan fungsi immun

D. Gangguan fungsi mental dan kecerdasan E. Gangguan penampilan fisik

F. Komplikasi saat kehamilan Sumber : O’dell dan Sunde (1997)

Defisiensi besi adalah penyebab anemia yang paling sering/umum, mencapai 50% sebagai penyebab dari keseluruhan anemia yang ada (Black, 2003). Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan kadar Hb di dalam darah lebih rendah daripada nilai normal untuk kelompok orang yang bersangkutan (WHO, 1976). Sedangkan anemia gizi besi (AGB) adalah anemia yang timbul karena kekurangan zat besi, sehingga pembentukan sel darah merah dan fungsi lain dalam tubuh terganggu.

Penur unan kekebalan (imunitas) tubuh individu yang kekurangan Fe, menyebabkannya sangat peka terhadap serangan berbagai penyakit. Hal ini


(30)

berhubungan erat dengan menurunnya fungsi enzim pembentuk antibodi, sebagai akibat kekurangan nutrisi tersebut.

Dampak defisiensi zat besi terhadap gangguan mental dan kecerdasan telah dibuktikan dalam beberapa penelitian. Diantaranya penelitian yang dilakukan oleh NHANES III di Amerika Serikat terhadap 5398 anak usia 6-16 tahun, menunjukkan ternyata status Fe berhubungan dengan prestasi akademik objek yang diteliti. Berdasarkan skor tes matematika terstandaridisasi, pada anak-anak dengan defisiensi besi (dengan atau tanpa anemia), memiliki skor tes lebih rendah dibandingkan anak-anak dengan status besi normal (Black, 2003). Zat besi dalam hal ini memiliki peranan dalam sistem neurotransmitter dan mungkin berpengaruh terhadap metabolisme dopamin. Dopamin secara nyata memiliki pengaruh yang sangat penting dalam fungsi kontrol perhatian, persepsi, memori, motivasi dan motorik (Black, 2003).

Anemia gizi besi pada ibu hamil dapat berakibat pada kematian si ibu, pendarahan, berat bayi lahir rendah, infeksi setelah lahir (Shah dan Sachdev, 2004). Bayi yang lahir dari ibu yang menderita anemia gizi besi akan mengalami defisiensi zat besi dan dapat menyebabkan disfungsi otak serta gangguan perbanyakan sel otak.

E. VITAMIN A

Vitamin A merupakan zat gizi essensial, aktivitas biologi senyawa ini diperoleh dari struktur senyawa retinol. Vitamin A di dalam tubuh dapat ditemukan dalam tiga bentuk nya, yaitu retinol (alkohol), retinal (aldehid) dan retinoat (asam). Retinol dapat diubah menjadi retinal atau sebaliknya, akan tetapi asam retinoat tidak dapat dibentuk kembali menjadi retinol atau retinal (Olson, 1991).

Vitamin A dapat diperoleh dari bahan pangan nabati maupun hewani, sebagian besar dalam bentuk karoten dan retinil ester dari hewan. Bagi ß-karoten harus mengalami pemecahan dalam tubuh menjadi dua molekul retinal. Selanjutnya senyawa tersebut dimetabolisme dalam tubuh mengikuti jalur metabolisme asam lemak, ditransportasikan dan disimpan dalam hati. Konsentrasi retinol dalam tubuh ditentukan oleh tingkat sekresi hati dan


(31)

levelnya dipertahankan sangat konstan kecuali dalam keadaan defisiensi atau keracunan (Linder, 1992).

Vitamin A memiliki empat fungsi utama, yaitu (1) penglihatan, (2) differensiasi sel, (3) pertumbuhan dan (4) reproduksi. (Linder, 1992). Sedangkan Brody (1994) membagi fungsi vitamin A ke dalam tiga kelas yaitu (1) mendorong differensiasi sel epitel, (2) mendorong kelangsungan hidup dari sistem reproduktif (pertumbuhan fetal dan vitalitas testis) dan (3) utilisasi siklus penglihatan.

Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan vitamin A sangat penting untuk pemeliharaan keberlangsungan hidup secara normal. Kebutuhan tubuh akan vitamin A untuk orang Indonesia telah dibahas dan ditetapkan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (1998) dengan mempertimbangkan faktor- faktor khas dari keadaan tubuh orang Indonesia (Tabel 8).

Tabel 8 Daftar kecukupan konsumsi vitamin A

Golongan Umur Kebutuhan vitamin A (RE)

Anak-anak : 0-6 bulan 7-3 tahun 4-6 tahun 7-9 tahun

375 400 450 500 Pria :

10->65 tahun 600

Wanita : 10-18 tahun 19->65 tahun

600 500

Hamil +300

Menyusui +350

Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004)

Defisiensi terhadap vitamin A dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya : (1) konsumsi vitamin A (pro- vitamin A) rendah, (2) gangguan dalam proses penyerapan didalam usus halus, (3) gangguan dalam proses penyimpanan di hati, dan (4) gangguan dalam proses konversi pro- vitamin A menjadi vitamin A. Gejala maupun akibat defisiensi yang muncul adalah refleksi dari berbagai peranan vitamin A (Tabel 9) (Muchtadi, 1993).


(32)

Tabel 9 Gejala atau akibat defisiensi vitamin A A. Mata

Rabun senja, keratinisasi kornea, opacity (kornea keruh), Bitot’s spot, xerosis conjunctivaI, xerophtalmia

B. Infeksi saluran pernafasan C. Perubahan Kulit

Kulit kasar dan kering, folliculasis (benjolan kecil di dasar kantung rambut yang mengeras)

D. Pertumbuhan tulang terhambat

E. Gangguan kesuburan/fertilitas pada pria

F. Gangguan siklus estrus, perkembangan plasenta serta aspek lain reproduksi wanita dan resorpsi fetus. G. Pengaruh lainnya

Saluran pencernaan (diare), hilangnya enamel gigi, menurunnya indera pencium dan perasa, selera makan menurun.

Sumber: Muchtadi (1993)

F. FORTIFIKASI

Fortifikasi didefinisikan sebagai penambahan zat-zat gizi ke dalam bahan pangan. Tujuan fortifikasi terhadap suatu bahan pangan selain untuk meningkatkan nilai gizi bahan makanan, juga dapat ditujukan untuk meningkatkan konsumsi suatu zat gizi tertentu oleh masyarakat (Muchtadi, 1993).

Saat ini, upaya fortifikasi marak dilakukan sebagai usaha untuk menanggulangi defisiensi zat gizi tertentu di tengah masyarakat. Tiga permasalahan utama defisiensi zat gizi yang terjadi di beberapa negara adalah defisiensi iodium, zat besi dan vitamin A. Kejadian ini banyak disebabkan oleh ketidakcukupan konsumsi dan atau rendahnya bioavailabilitas zat- zat gizi tersebut (Gibson, 2004). Oleh karena itu, dengan adanya upaya fortifikasi diharapkan dapat mencegah ataupun mengurangi permasalahan ini.

Fortifikasi dapat dilakukan secara single, double maupun multi fortifikasi. Namun, secara umum penambahan zat gizi tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain sebagai berikut : 1) zat gizi yang ditambahkan tidak mengubah warna dan citarasa makanan; 2) dapat dimanfaatkan tubuh; 3) stabil selama penyimpanan; 4) tidak menyebabkan


(33)

timbulnya interaksi negatif dengan zat gizi lain yang ditambahkan atau yang ada dalam bahan makanan; 5) jumlah yang ditambahkan harus memperhitungkan kebutuhan individu (Muchtadi, 1993).

Pada saat melakukan fortifikasi mineral juga harus mempertimbangkan dalam memilih jenis garam mineral dari suatu mineral yang akan difortifikasikan, berdasarkan pertimbangan : 1) bioavailabilitas; 2) reaktivitas (kemampuannya dalam mengubah warna, flavor, penampakan dan katalisator bagi reaksi lain yang tidak diinginkan); 3) harga; dan 4) toksisitas. Pertimbangan serupa juga perlu diperhatikan saat melakukan fortifikasi vitamin (Clydesdale, 1991).

Persyaratan bahan makanan yang dapat dijadikan pembawa (carrier) suatu zat gizi tertentu yang difortifikasikan antara lain : 1) dikonsumsi secara merata/umum oleh masyarakat sasaran; 2) dikonsumsi dalam jumlah yang relatif konstan sepanjang tahun; 3) diproduksi secara terpusat agar memudahkan proses fortifikasi dan pengawasannya (Lachance and Bauernfeind, 1991). Pada awalnya, bahan makanan yang dipilih adalah dari golongan makanan pokok seperti produk-produk sereal, sebuah pilihan yang cukup masuk akal dan dapat diterima. Selanjutnya, terjadi diversifikasi bahan makanan pembawa yang terdiri dari bahan makanan tambahan diantaranya garam, gula, minuman (teh) dan bumbu masakan seperti kecap dan saus.

Kecap dan saus dipilih dengan pertimbangan lebih yaitu karena karakteristik bahan yang berwarna dan kental sehingga diharapkan zat gizi yang difortifikasi akan terdispersi secara merata dalam bahan yang berwarna tanpa me ngubah kualitas organoleptik bahan asal (Imanningsih, 2001).


(34)

III. BAHAN DAN METODE

A. BAHAN

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : kecap dan saus cabe, hewan percobaan, ransum serta bahan-bahan kimia. Kecap dan saus cabe yang digunakan adalah dari jenis yang difortifikasi dengan iodium, zat besi dan vitamin A. Kedua produk ini memiliki merek dagang “Nasional”, diperoleh dari PD. Sari Sedap. Kecap dan saus cabe diambil dari perusahaan satu minggu setelah diproduksi. Dengan demikian umur kecap saat mulai analisis adalah tujuh hari (satu minggu).

Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus jenis Sprague dawley. Tikus berjenis kelamin betina dengan umur sapih (3 minggu) dalam kondisi sehat. Ransum yang diberikan pada hewan percobaan sesuai dengan yang direkomendasikan AOAC (1984). Ransum terdiri dari sumber protein, selulosa (CMC), minyak (minyak jagung), multivitamin, multimineral, tepung maizena dan air. Ransum untuk perlakuan dibedakan menjadi ransum dengan dan tanpa mineral I dan Fe.

Bahan-bahan kimia diperlukan untuk penguj ian mikrobiologi, ana lisis kandungan I, Fe, vitamin A kecap dan saus cabe, analisis hemoglobin (Hb) dan retinol serum serta analisis histologi otak.

B. TEMPAT DAN WAKTU

Penelitian berlangsung dari bulan Februari – Oktober 2005. Penelitian dilakukan di Bagian Biokimia Pangan, Laboratorium Hewan Percobaan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) Fakultas Teknologi Pertanian (FATETA) IPB, Bagian Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB, serta Laboratorium Kimia Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi empat bagian, dengan bagan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.


(35)

BAGIAN I :

PENDUGAAN UMUR SIMPAN A. Pengamatan perubahan sifat fisikokimia,

mikrobiologis dari produk kecap dan saus cabe selama penyimpanan

B. Pendugaan umur simpan produk kecap dan saus cabe berdasarkan karakteristik

fisikokimianya

BAGIAN II :

UJI STABILITAS I, Fe, VIT.A A. Pengamatan perubahan nilai gizi iodium (I),

zat besi (Fe) dan vit. A yang difortifikasikan pada produk kecap dan saus cabe selama penyimpanan

B. Pendugaan stabilitas I, Fe dan vit. A yang difortifikasikan pada produk kecap dan saus cabe

BAGIAN III :

UJI BIOLOGIS TERHADAP INDUK TIKUS A. Pengujian nilai biologis I, Fe dan vit. A dari

produk kecap dan saus cabe menggunakan hewan coba tikus, berdasarkan penilaian biokimia darah

B. Pengujian manfaat iodium pada produk kecap dan saus cabe dalam mempengaruhi kemampuan belajar tikus percobaan

BAGIAN IV :

UJI BIOLOGIS TERHADAP ANAK TIKUS A. Pengamatan terhadap jumlah anak, tingkat

kelangsungan hidup serta berat lahir

B. Pengujian manfaat iodium pada produk kecap dan saus cabe dalam mempengaruhi kemampuan belajar tikus percobaan


(36)

1. PENELITIAN BAGIAN I : PENDUGAAN UMUR SIMPAN

Pada penelitian bagian pertama dilakukan pengamatan perubahan sifat fisik, kimia dan mikrobiologis. Selanjutnya dilakukan pendugaan umur simpan berdasarkan karakteristik fisikokmianya, yang meliputi : viskositas, total padatan terlarut, pH dan warna. Bagan alir penelitian bagian pertama dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Bagan alir penelitian bagian I

Produk kecap dan saus cabe disimpan dalam inkubator pada suhu 27°C, 43°C dan 55°C. Selanjutnya dilakukan pengamatan fisikokimia pada masing- masing suhu penyimpanan, pada periode pengamatan tertentu. Untuk pengamatan mikrobiologis, produk hanya disimpan pada suhu 27°C saja. Data hasil pengamatan fisikokimia digunakan untuk

PROD U K

Kecap Saus cabe PEN YI M PAN AN

Suhu : 27°C 4 3°C 5 5°C

PEN GAM ATAN FI SI KOKI M I A

Periode : hari ke- 0,14,28,42,56 Param et er :

1 . Viskosit as

2 . Tot al padat an t erlarut 3 . pH

4 . Warna

PEN GAM ATAN MI KROBI OLOGI S

Periode : hari ke- 0,14,28,5 2 Param et er : S t ot al m ikroba

PEN D UGAAN UM UR SI M PAN ( M et ode Arrhenius)

PEN YI M PAN AN Suhu : 27°C


(37)

menduga umur simpan kecap dan saus cabe berdasarkan karakteristik fisikokimia. Prosedur pengamatan dapat dilihat seperti di bawah ini : a. Pengamatan Fisikokimia

1) Pengukuran Viskositas

Pengukuran viskositas menggunakan alat viskometer. Nilai pada skala yang terbaca pada alat menunjukkan besarnya viskositas, yang dinyatakan dalam centipois (cp)

2) Pengukuran Total Padatan Terlarut

Pengukuran total padatan terlarut menggunakan alat refraktometer. Larutan yang akan diukur diteteskan pada prisma refraktometer. Nilai pada skala yang terbaca pada batas gelap dan terang menunjukkan besarnya total padatan terlarut dalam satuan derajat

Brix.

3) Pengukuran pH

Pengukuran pH dilakukan dengan pH- meter yang dikalibrasi oleh buffer pH 4 dan 7. Kalibrasi dilakukan setiap awal pengukuran. 4) Pengukuran Warna

Analisis warna dilakukan dengan “Color Measurement and Difference Calculation/Digital Display System” model MINOLTA CAMERA seri Cr-200 (Minolta co. Ltd.-Japan). Secara otomatis alat mengukur tingkat kecerahan (L), intensitas warna merah (a) dan intensitas warna kuning (b).

b. Pengamatan Mikrobiologis

Untuk penentuan total mikroba, media yang digunakan adalah Plate Count Agar (PCA). Sampel dari produk dimasukkan ke dalam cawan petri steril pada tiga tingkat pengenceran. Kemudian pada cawan tersebut dituang PCA steril sebanyak 15-20 ml. Inkubasi dilakukan pada suhu kamar dan dilakukan pengamatan serta penghitungan jumlah mikroba pada hari ke-0,14,28 dan 52.


(38)

c. Pendugaan Umur Simpan

Umur simpan produk kecap dan saus cabe yang didasarkan pada perubahan karakteristik fisikokimianya ditentukan dengan model pendekatan Arrhenius.

Penurunan mutu bahan pangan diasumsikan mengikuti reaksi ordo nol, dimana perubahan parameter yang diukur konstan terhadap waktu, mengikuti persamaan sebagai berikut :

-dA = k ……… persamaan 1

dt

A – Ao = k.t

dimana : A = konsentrasi pada saat t =t Ao= konsentrasi pada saat t = to k = konstanta laju reaksi t = umur simpan

Dengan menggunakan persamaan Arrhenius, nilai k (konstanta laju reaksi) pada beberapa suhu penyimpanan dapat ditentukan.

Persamaannya : k = ko.e-Ea/RT ……… persamaan 2

Dimana : ko = konstanta pre-eksponensial atau konstanta laju absolut

k = konstanta laju reaksi pada suhu T Ea = Energi aktivasi (J/mol)

R = konstanta gas ideal (8.314 J/K.mol) T = suhu absolut (°K)

2. PENELITIAN BAGIAN II : UJI STABILITAS IODIUM, ZAT BESI, VITAMIN A

Pada penelitian bagian kedua dilakukan pengamatan perubahan nilai gizi iodium (I), zat besi (Fe) dan vitamin A yang difortifikasikan pada produk kecap dan saus cabe selama penyimpanan. Selanjutnya dilihat pola kestabilan zat-zat gizi tersebut. Bagan alir penelitian bagian kedua dapat dilihat pada Gambar 5.


(39)

Gambar 5 Bagan alir penelitian bagian II

Produk kecap dan saus cabe disimpan dalam inkubator pada suhu 27°C. Selanjutnya dilakukan pengukuran kandungan iodium, zat besi dan vitamin A pada masing- masing suhu penyimpanan, pada hari ke-0, 14, 28, 42, 56. Data hasil pengamatan digunakan untuk menduga pola stabilitas masing- masing zat gizi tersebut dalam produk kecap dan saus cabe. Kandungan iodium diukur dengan menggunakan metode spektrofotometri, zat besi dengan AAS, sedangkan vitamin A dengan HPLC. Prosedur pengukuran kandungan iodium, zat besi dan vitamin A masing- masing dapat dilihat pada Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 3

3. PENELITIAN BAGIAN III : UJI BIOLOGIS TERHADAP INDUK TIKUS

Pada penelitian bagian ketiga dilakukan pengujian nilai biologi I, Fe dan vitamin A dari produk kecap dan saus cabe menggunakan hewan

PROD U K

Kecap Saus cabe

PEN YI M PAN AN Suhu : 27°C

PEN GUJI AN KAN D UN GAN ZAT GI ZI I ODI UM , BESI , VI T. A

Periode penguj ian : hari ke- 0, 14, 28, 42, 56

PEN D UGAAN POLA STABI LI TAS ZAT GI ZI I ODI UM , BESI , VI T. A


(40)

pengujian manfaat iodium pada kedua produk tersebut dalam mempengaruhi kemampuan belajar tikus percobaan.

Bagan alir selengkapnya dari penelitian tahap ketiga ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Bagan alir penelitian bagian III PENGELOMPOKAN TIKUS PERCOBAAN

Tikus Betina umur sapih (21 hari), dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan yaitu :

1. Tidak diberi sumber I dan Fe dari ransum, tidak diberi kecap dan saus cabe (kontrol -)

2. Diberi sumber I dan Fe dari ransum, tidak diberi kecap dan saus cabe (normal)

3. Tidak diberi sumber I dan Fe dari ransum, diberi kecap 4. Tidak diberi sumber I dan Fe dari ransum, diberi saus cabe 5. Tidak diberi sumber I dan Fe dari ransum, diberi KIO3

Keterangan : - Periode perlakuan 30 hari

- Masing- masing perlakuan terdiri dari 8 tikus

- Kecap dan saus cabe diberikan secara oral dengan dosis 1,8 g/kg BB/hari

PENGAMATAN TIKUS PERCOBAAN A. PENIMBANGAN BERAT BADAN TIKUS

Penimbangan berat badan terhadap masing- masing kelompok perlakuan setiap 2 hari sekali selama 30 hari

B. PENGAMATAN KEMAMPUAN BELAJAR

Setelah 30 hari perlakuan, dilakukan pengukuran kemampuan belajar tikus percobaan dengan menggunakan tes mendapatkan makanan (food retrieval test) (Suprijana, 1992)

PEMBEDAHAN TIKUS § 2 tikus untuk masing- masing

perlakuan § Pengamatan :

1. ? sel neuron otak 2. Hb serum

3. Retinol serum

TIKUS DIKAWINKAN § 5 tikus untuk

masing-masing perlakuan

TIKUS HAMIL Pengamatan :

§ Penimbangan BB tikus selama kehamilan


(41)

a. Pengujian Biokimia Darah 1). Pengambilan Darah

§ Darah diambil dari vena tikus, dimasukkan ke dalam 2 tabung, yaitu : (1) Tabung tanpa EDTA, (2) Tabung berisi EDTA 10%. Dimasukkan ice box untuk dianalisis di laboratorium.

§ Darah dalam tabung 1 disentrifuse (3000 rpm, 10 menit). Bagian serum dipisahkan dan dimasukkan ke dalam ampul serum. Serum digunakan untuk analisis kandungan retinol. § Darah dalam tabung 2 siap dianalisis kandungan Hb-nya. 2). Pemeriksaan Hb Serum (Lampiran 4)

3). Pemeriksaan Retinol (vitamin A) Serum (Lampiran 3)

b. Pengamatan Kemampuan Belajar

Pengukuran kemampuan belajar tikus percobaan dilakukan dengan menggunakan tes mendapatkan makanan (food retrieval test) dengan menggunakan alat labirin pengujian kemampuan belajar tikus.

Alat pengujian kemampuan belajar tikus dibuat dari kayu dengan ukuran 120 cm x 60 cm x 15 cm (Gambar 7). Bagian dalam kotak diberi banyak penyekat. Penyekat ruangan dimaksudkan untuk membingungkan tikus, sehingga untuk memperoleh makanan ia harus mencari jalan yang paling mudah.

Gambar 7 Alat pengujian kemampuan belajar tikus

Prinsip tes ini adalah mengukur waktu yang diperlukan tikus yang diletakkan pada posisi Start (S) untuk mendapatkan makanan yang diletakkan pada posisi Finish (F). Pengukuran kemampuan


(42)

belajar dilakukan pada tikus dewasa berumur 60 hari dan anak tikus berumur 30 hari.

Beberapa hari sebelum pengujian, tikus dilatih dari posisi S dan dibimbing melalui lintasan untuk mencapai posisi F. Latihan dilakukan beberapa kali dengan frekuensi yang sama untuk masing- masing perlakuan. Pada saat pengujian, tikus diletakkan pada posisi S dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai posisi F dicatat dalam detik.

c. Analisis Jumlah Sel Neuron

Satu hari setelah pengukuran terakhir kemampuan belajar, tikus dibedah untuk dianalisis histologi otak dan dilakukan penghitungan jumlah sel neuronnya. Bagian otak yang diamati yaitu serebri otak kiri bagian tengah. Untuk anak tikus pengambilan organ otak dilakukan pada saat tikus berumur 4 hari dan 30 hari (setelah uji kemampuan belajar). Sebelum dilakukan pembedahan terlebih dahulu tikus dimatikan dengan cara menarik bagian kepala dan ekor hingga ruas-ruas tulang belakangnya putus. Setelah itu dilakukan pembedahan kepala untuk mengambil otaknya. Otak difiksasi dengan larutan bouin (asam pikrat jenuh : formalin : asam asetat = 15 : 5 : 1) selama 24 jam. Setelah itu otak direndam dalam alkohol 70%, kemudian dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam keranjang serta diberi label sebelum proses dehidrasi.

Proses dehidrasi sampel jaringan dengan mencelupkan ke dalam alkohol 70%. Penyimpanan dalam alkohol 70% dapat dilakukan dalam waktu yang lama dan dapat berfungsi sebagai stopping point. Proses dehidrasi selanjutnya adalah perendaman jaringan dalam alkohol 80%, 90% dan 95% masing- masing selama 24 jam serta perendaman dalam alkohol absolut I, II, III masing- masing selama 1 jam.

Tahap selanjutnya yaitu proses penjernihan atau clearing

dengan memasukkan jaringan ke dalam xylol I, xylol II dan xylol III masing- masing selama 1 jam. Perlakuan pada xylol III dibagi dalam


(43)

dua tempat yaitu 30 menit di suhu ruang dan 30 menit di inkubator suhu 62°C untuk preadaptasi.

Setelah proses penjernihan, dilakukan infiltrasi pada jaringan dengan mencelupkannya dalam parafin I, parafin II dan parafin III pada suhu 62°C masing- masing selama 1 jam. Otak yang telah didehidrasi diblok dengan parafin sampai memadat (embedding). Proses embedding dilakukan dengan alat tisue embedding console. Setelah padat dilakukan pemotongan otak dengan ukuran 5 mikron berbentuk pita dengan alat mikrotom. Pita yang dihasilkan diapungkan dalam air dingin dan diseleksi untuk mendapat sayatan yang baik. Sayatan yang baik diapungkan di permukaan air hangat (40°C) kemudian dipindahkan pada gelas objek lalu diperiksa di bawah mikroskop. Objek gelas tersebut diletakkan diatas hot plate selama 10-15 menit. Kemudian jaringan dimasukkan dalam inkubator 40°C sela ma satu malam sebelum pewarnaan.

Pewarnaan preparat dilakukan dengan menggunakan dua pewarna yaitu Hematoksilin- Eosin (HE). Sebelumnya dilakukan deparafinisasi dengan mencelupkan jaringan dalam xylol III, xylol II, xylol I maing- masing 3-5 menit. Kemudian rehidrasi dengan merendam jaringan dalam alkohol absolut III, II, I, alkohol 95%, 90%, 80%, 70% masing- masing selama 3-5 menit. Selanjutnya dicuci dengan akuades selama 15-30 menit, perendaman dalam akuades 5 menit. Pencucian dengan air kran dilakukan kembali selama 15-30 menit, perendaman dalam akuades 5 menit lalu pewarnaan dengan Eosin alkohol selama 1-2 menit dan dicuci lagi dengan akuades. Selanjutnya dilakukan dehidrasi dengan merendam jaringan dalam alkohol 70%, 80%, 90%, absolut I, II dan III serta xylol I, II, III. Preparat kemudian ditutup dengan gelas penutup dan siap untuk diobservasi dengan mikroskop dan selanjutnya dilakukan pemotretan.

Analisis terhadap histologi otak dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan kamera. Jumlah sel neuron dihitung per lapang pandang dengan pembesaran 200 kali pada


(44)

tikus umur 60 hari dan anak tikus umur 30 hari, sedangkan pada anak tikus umur 4 hari dengan pembesaran 400 kali.

4. PENELITIAN BAGIAN IV : UJI BIOLOGIS TERHADAP ANAK TIKUS

Pada penelitian bagian keempat ini (Gambar 8), dilakukan pengamatan terhadap jumlah anak tikus yang dilahirkan serta berat lahir anak tikus. Anak tikus diperoleh dari hasil perkawinan induk masing-masing perlakuan. Anak tikus selanjutnya mendapat perlakuan yang sama seperti induknya. Jadi dalam hal ini, ada 5 kelompok perlakuan anak tikus. Pengamatan kemampuan belajar dan analisis jumlah sel neuron otak menggunakan metode yang sama dengan metode pada penelitian bagian ketiga. Pengamatan tambahan terhadap anak tikus yaitu: penimbangan berat otak.

Gambar 8 Bagan alir penelitian bagian IV

ANAK TIKUS Pengamatan :

1. penimbangan BB lahir (tikus umur 4 hari) 2. penimbangan BB anak

tikus 2 hari sekali selama 30 hari

3. pengamatan kemampuan belajar anak tikus umur 30 hari

PEMBEDAHAN ANAK TIKUS (umur 30 hari)

Pengamatan : 1. Berat otak tikus 2. ? sel neuron otak

TIKUS MELAHIRKAN Pengamatan :

§ penghitungan ? anak PEMBEDAHAN ANAK TIKUS

(umur 1 hari) Pengamatan :


(45)

Prosedur Pengukuran Berat

Pengukuran berat otak dilakukan pada anak tikus umur 30 hari. Berat otak diukur dengan menggunakan neraca analitik.

D. RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), mengikuti model linier :

Yij = µ + di + eij Keterangan :

Yij = nilai parameter pengamatan dari perlakuan ke- i, ulangan ke-j µ = nilai rataan umum

d = pengaruh perlakuan ke- i

e = pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke- i, ulangan ke-j

Apabila pengaruh perlakuan nyata maka dilakukan uji lanjut berdasarkan uji beda Duncan pada selang kepercayaan 95%.


(46)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN BAGIAN PERTAMA

Bagian pertama dari penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh penyimpanan terhadap perubahan sifat fisikokimia dan mikrobiologi kecap dan saus cabe. Pada bagian ini pula dilakukan pendugaan umur simpan berdasarkan karakteristik sifat fisikokimianya.

1. Pengaruh Penyimpanan terhadap Sifat Fisikokimia Kecap dan Saus Cabe

a. Total Padatan Terlarut (TPT)

Total padatan terlarut (TPT) erat hubungannya dengan kadar gula produk, karena TP T diukur berdasarkan persentase gula produk. Kecap manis yang diteliti memiliki TPT yang tinggi, yaitu sebesar 75.9 Brix. Hal ini berarti di dalam produk tersebut mengandung gula yang sangat tinggi. Tingginya kadar gula pada kecap manis ini disebabkan pada proses pembuatannya ditambahkan gula. Dengan demikian produk kecap manis ini telah memenuhi standar SNI untuk kecap manis (SNI 01-3543-1994), yang menetapkan minimum jumlah padatan 40 % (b/b).

TPT yang terukur untuk produk saus cabe tidak begitu tinggi, hanya sekitar 22.3 brix. Penambahan gula pada pembuatannya hanya sedikit, tidak sebanyak yang ditambahkan pada kecap manis. Namun demikian produk ini juga telah memenuhi standar SNI untuk saus cabe (SNI-2976-1992), yang menetapkan jumlah padatan sebesar 20-40% (b/b).

Produk kecap dan saus cabe yang disimpan pada suhu kamar menunjukkan nilai TPT yang semakin meningkat (Gambar 9 dan 10). Peningkatan TPT selama penyimpanan terjadi karena semakin banyak terbentuk senyawa gula yang larut. Pantastico (1986) menyatakan bahwa peningkatan TPT disebabkan terjadinya pemutusan rantai panjang karbohidrat menjadi senyawa gula yang larut.


(47)

Gambar 9 Kurva Total Padatan Terlarut (TPT) kecap selama penyimpanan

Gambar 10 Kurva Total Padatan Terlarut (TPT) saus cabe selama penyimpanan

b. pH

Pengukuran pH awal produk kecap yang diteliti menunjukkan nilai sebesar 4.41, sedangkan untuk produk saus cabe menunjukkan nilai sebesar 3.73. Dengan demikian kedua produk tersebut dapat digolongkan ke dalam bahan pangan asam. Berdasarkan penggolongan bahan pangan menurut nilai pH, bahan-bahan pangan yang mempunyai nilai pH diantara (3.7 atau) 4.0 dan 4.5 tergolong ke dalam bahan pangan asam (Buckle et al., 1985).

Rendahnya pH pada kecap disebabkan oleh terbentuknya asam-asam organik (asam-asam laktat) oleh bakteri asam-asam laktat selama proses fermentasi moromi (Buckle et al., 1985). Sedangkan rendahnya pH pada

22.25 22.3 22.35 22.4 22.45 22.5 22.55 22.6 22.65

0 10 20 30 40 50 60

Lama penyimpanan (hari)

TPT (Brix%)

75.88 75.9 75.92 75.94 75.96 75.98 76 76.02

0 10 20 30 40 50 60

Lama penyimpanan (hari)


(48)

pembuatannya, selain itu juga karena penambahan bahan pengawet. Bahan pengawet yang biasa digunakan adalah dari jenis asam lemah seperti asam benzoat.

Gambar 11 menunjukkan bahwa pH produk kecap yang disimpan pada suhu kamar selama kurang lebih 2 bulan cenderung konstan. Sedangkan pH produk saus cabe tidak konstan, bahkan menunjukkan pola yang naik turun selama penyimpanan. Namun demikian kenaikan dan penurunan pH yang terjadi tidaklah terlalu signifikan hanya berkisar antara 0.1 - 0.2 poin.

Gambar 11 Kurva pH kecap dan saus cabe selama penyimpanan

Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan pH antara lain karena aktivitas mikroba dalam memecah protein, karbohidrat, lemak dan zat- zat organik lainnya menjadi asam-asam organik sehingga hal ini menyebabkan penurunan nilai pH. Rendahnya pH yang dimiliki produk kecap serta tingginya padatan terlarut berupa gula dapat secara efektif menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat menurunkan pH. Oleh karena itu terlihat bahwa pada penyimpanan selama kurang lebih 2 minggu belum menunjukkan penurunan pH. Dengan demikian kemungkinan besar produk kecap mampu bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama.

Saus cabe juga memiliki nilai pH yang rendah dan total padatan terlarut ya ng tidak tinggi. Akan tetapi kondisi tersebut sudah cukup mampu untuk menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga penurunan pH pada saus cabe selama penyimpanan tidak signifikan. Produk-produk

3.6 3.7 3.8 3.9 4 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5

0 10 20 30 40 50 60

Lama penyimpanan (hari)

pH


(49)

olahan cabe merah dapat mengalami kenaikan pH selama penyimpanan, seperti juga yang telah diteliti oleh Wati (1997). Kenaikan pH ini kemungkinan disebabkan oleh penguapan asam-asam organik yang mempunyai rantai karbon pendek, selain itu dapat juga disebabkan oleh oksidasi asam seperti asam askorbat. Dengan adanya proses tersebut maka kandungan asam pada produk akan berkurang.

c. Viskositas

Viskositas merupakan ukuran kekentalan suatu produk yang biasa dinyatakan dengan satuan centipoise (cp). Produk kecap yang diamati memiliki nilai viskositas sebesar 1425 cp, sedangkan untuk produk saus cabe memiliki nilai viskositas sebesar 18500 cp. Tingginya viskositas pada saus cabe disebabkan oleh adanya penambahan bahan pengental dalam proses pembuatannya. Bahan pengental yang biasa digunakan adalah tepung atau pati jagung (maizena), tapi dapat juga digunakan pati lainnya. Sedangkan pada proses pembuatan kecap tidak ditambahkan pengental sehingga konsistensinya cenderung encer. Penyimpanan kedua produk pada suhu kamar selama kurang lebih 2 bulan menunjukkan pola penurunan viskositas pada produk (Gambar 12 dan 13).

Kartika et al. (1992) menyatakan bahwa kekentalan suatu larutan akan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, konsentrasi larutan, berat molekul (BM) dan zat terlarut. Dalam hubungannya dengan zat terlarut, dengan semakin meningkatnya zat terlarut pada produk selama penyimpanan maka akan menurunkan kekentalannya. Hal ini sejalan dengan pengukuran total padatan terlarut (TPT) pada kedua produk (kecap dan saus cabe) selama penyimpanan. TPT pada kedua produk meningkat selama penyimpanan (Gambar 9 dan 10), dengan demikian TPT kemungkinan besar menjadi salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya viskositas produk.


(50)

Gambar 12 Kurva viskositas kecap selama penyimpanan

Gambar 13 Kurva viskositas saus cabe selama penyimpanan

Viskositas produk juga dipengaruhi oleh penurunan pH karena terbentuknya asam-asam organik hasil metabolisme mikroba. Asam-asam tersebut dapat mengencerkan produk sehingga menurunkan nilai viskositas. Sejalan pula dengan pengukuran pH kecap dan saus cabe selama penyimpanan yang menunjukkan penurunan (Gambar 11). Dengan demikian pH kemungkinan juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan viskositas produk.

Keberadaan pati sebagai bahan pengental pada saus cabe juga berperan dalam penurunan viskositas produk selama penyimpanan. Pati akan mengalami pemanasan selama proses pembuatan saus cabe. Akibat paparan panas, pati yang ditambahkan akan membengkak dan menyerap air (pati tergelatinisasi). Pada pati yang telah dipanaskan dan menjadi

1000 1100 1200 1300 1400 1500

0 10 20 30 40 50 60

Lama penyimpanan (hari)

Viskositas (cp)

17200 17400 17600 17800 18000 18200 18400 18600

0 10 20 30 40 50 60

Lama penyimpanan (hari)


(51)

dingin kembali, sebagian air masih berada di bagian luar granula yang membengkak. Air yang berada di luar granula tersebut mengadakan ikatan yang erat dengan molekul- molekul pati pada bagian permukaan butir-butir pati yang membengkak. Sebagian air pada pasta yang telah dimasak akan berada dalam rongga-rongga jaringan yang terbentuk dari butir pati dan endapan amilosa. Bila gel yang terbentuk tadi disimpan untuk beberapa hari, air yang terdapat dalam rongga dapat keluar dari bahan dan akan mengencerkan produk (proses sineresis) (Winarno, 1991).

d. Warna

Pengamatan perubahan warna hanya dilakukan pada produk saus cabe, dikarenakan pengaruh penyimpanan terhadap perubahan warna pada saus cabe lebih terlihat dibandingkan pada kecap. Parameter perubahan warna dinyatakan dalam notasi L, a, b. Notasi L untuk menyatakan tingkat kecerahan, a untuk intensitas warna merah dan b untuk intensitas warna kuning.

Selama penyimpanan kurang lebih 2 bulan pada suhu kamar, terlihat terjadi penurunan baik pada tingkat kecerahan (L), intensitas warna merah (a), maupun intensitas warna kuning produk saus cabe (b) (Gambar 14). Pengamatan secara fisik menunjukkan produk saus cabe mengalami perubahan warna dari merah menjadi merah kecoklatan.

Gambar 14 Kurva L, a, b saus cabe selama penyimpanan

20 25 30 35 40 45 50

0 10 20 30 40 50 60

Lama penyimpanan (hari)

Skala nilai


(52)

Perubahan warna ini terjadi karena adanya reaksi pencoklatan yaitu reaksi yang menghasilkan warna kecoklatan pada bahan makanan. Reaksi pencoklatan yang terjadi pada produk kemungkinan besar tergo long reaksi pencoklatan non enzimatis. Secara umum ada tiga macam reaksi pencoklatan non enzimatis yaitu reaksi Maillard, karamelisasi dan pencoklatan akibat vitamin C.

Vitamin C selain bertindak sebagai senyawa reduktor juga sebagai prekursor untuk pembentukan warna coklat non enzimatik (Syarief dan Halid, 1993). Asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversible dengan membentuk suatu senyawa diketogulonat (Winarno, 1991). Namun demikian, perubahan warna pada saus cabe yang paling utama adalah karena adanya reaksi oksidasi capsanthin dan reaksi polimerisasi lainnya yang masih belum jelas (Belitz dan Grosch, 1987). Kemungkinan juga zat besi (Fe) yang terdapat pada saus berperan terhadap pencoklatan produk. Hal ini dikarenakan oleh adanya sifat kimiawi senyawa besi (II) yang mudah dioksidasi menjadi besi (III) yang berwarna kuning, hijau atau hitam.

2. Pengamatan Mikrobiologis

Hasil pengamatan mikrobiologi kecap dan saus cabe selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Hasil analisis mikrobiologi (angka lempeng total) kecap dan saus cabe selama penyimpanan

Jumlah mikroba (koloni) Lama penyimpanan (hari) Produk

0 14 28 52

Kecap 0

0

0 0

2.3 x 103 2.3 x 103

9.0 x 101 2.0 x 101 Saus cabe 0

0

3.0 x 101 2.0 x 101

6.0 x 101 2.0 x 101

6.0 x 101 4.0 x 101

Berdasarkan hasil pengamatan di atas terlihat bahwa di awal minggu tidak terdeteksi adanya mikroba. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pemanasan selama proses pengolahan. Sel-sel vegetatif yang mungkin


(53)

berada dalam produk mudah dimatikan dengan adanya pemanasan pada suhu mendekati titik didih air. Selain itu adanya bahan tambahan lain seperti gula, garam, asam dan bahan pengawet lain misalnya natrium benzoat. Adanya garam, gula dan rempah-rempah lainnya dalam bahan pangan dapat menurunkan aw sehingga mengganggu stabilitas mikroba dalam bahan

pangan (Buckle et al., 1985).

Selama penyimpanan terjadi pertumbuhan mikroba. Pada saus cabe pertumb uhan mikroba mulai terjadi pada hari ke-14 penyimpanan dan mengalami peningkatan sampai dengan hari terakhir penyimpanan (hari ke-52). Sedangkan pada produk kecap, pertumbuhan mikroba meningkat pada hari ke-28 setelah dua minggu sebelumnya belum terjadi pertumbuhan mikroba. Namun demikian pada hari terakhir penyimpanan menunjukkan gejala penurunan jumlah mikroba. Meskipun pertumbuhan mikroba sudah terjadi selama penyimpanan pada kedua produk namun jumlahnya masih jauh di bawah SNI yang ditetapkan yaitu sebesar 1.0x105.

Pertumbuhan mikroba kemungkinan disebabkan oleh adanya spora-spora mikroba yang resisten terhadap pemberian panas selama pengolahan. Akibatnya selama penyimpanan spora mikroba dapat tumbuh menjadi sel vegetatif dan berkembang biak, sehingga terjadi peningkatan jumlah mikroba selama penyimpanan.

3. Pendugaan Umur Simpan a. Kecap

Penentuan umur simpan produk kecap ditentukan berdasarkan parameter nilai pH. Produk kecap yang diproduksi diharapkan memilki nilai pH berkisar antara 4.0 – 4.8, sehingga dapat dinyatakan bahwa produk tersebut masih baik dan layak dikonsumsi. Berdasarkan pengamatan selama penyimpanan, pH produk kecap akan mengalami penurunan. Penurunan pH akan mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap rasa kecap. Oleh karena itu kebanyakan produsen menetapkan nilai minimum pH yang masih dapat ditoleransi adalah sebesar 4.0. Dasar


(54)

inilah yang kemudian digunakan untuk mene ntukan umur simpan produk kecap.

Plot kurva antara waktu penyimpanan dan pH dapat dilihat pada Gambar 11. Apabila ingin diketahui umur simpan produk kecap yang disimpan pada suhu kamar (27°C) dapat dilihat dari nilai regresi kurva waktu penyimpanan vs pH pada suhu kamar, yaitu :

Y = -0.0005x + 4.42 Dimana : Y = nilai pH

x = lama penyimpanan (waktu)

Jika nilai akhir pH yang diinginkan sebesar 4.0, maka dari persamaan diatas dapat diprediksi bahwa lama penyimpanan yang dibutuhkan adalah 840 hari (2.3 tahun). Dengan demikian dapat ditetapkan umur simpan produk kecap yang disimpan pada suhu kamar adalah sekitar 840 hari (2.3 tahun).

Untuk selanjutnya, apabila produsen akan memprediksi umur simpan produk kecap dengan berbagai variasi suhu penyimpanan maka dapat digunakan model pendekatan Arrhenius. Dari model tersebut didapatkan nilai- nilai pada Tabel 11 berikut. Hasil regresi linier kurva waktu penyimpanan vs pH dapat dilihat pada Lampiran 5.

Tabel 11 Nilai k, persamaan regresi pH kecap dan pendugaan umur simpan kecap pada beberapa suhu penyimpanan

Suhu (°C)

Persamaan regresi linier waktu simpan

vs pH

Nilai k* Ln k Suhu (K)

1/T (K)

Umur simpan

(hari) 27 Y = -0.0005x + 4.42 0.0005 -7.6009 300 0.0033 840 43 Y = -0.0041x + 4.422 0.0041 -5.4968 316 0.0032 205 55 Y = -0.0080x + 4.404 0.0080 -4.8283 328 0.0030 26 Keterangan : * nilai k didapatkan dari slope persamaan regresi linier waktu

simpan vs pH

Dari data tersebut dapat dilakukan plot nilai (1/T) terhadap (ln k) seperti yang terlihat pada Lampiran 6. Dari plot nilai (1/T) vs (ln k) didapatkan persamaan :


(55)

Persamaan diatas dapat digunakan untuk menentukan nilai konstanta laju reaksi (k) pada berbagai suhu (T), sehingga dapat dicari umur simpan produk kecap melalui persamaan :

A – Ao = k.t dimana : A = pH pada saat t =t Ao = pH pada saat t = to k = konstanta laju reaksi t = umur simpan

b. Saus Cabe

Salah satu parameter kritis dalam menentukan umur simpan adalah warna. Warna merupakan faktor mutu yang sangat penting dalam menilai produk makanan. Warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan untuk dikonsumsi. Selain itu warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan, seperti adanya reaksi pencoklatan atau karamelisasi.

Dalam penyimpanan saus cabe, warna juga merupakan faktor yang paling utama untuk diperhatikan, karena seringkali warna saus cabe tersebut dapat menjadi penentu harga bagi saus cabe yang bersangkutan (Syarief dan Halid, 1993). Hasil pengamatan terhadap saus cabe selama penyimpanan menunjukkan bahwa warna produk cenderung mengalami pencoklatan. Dengan demikian, untuk memperkirakan umur simpan produk saus cabe secara kuantitatif dapat menggunakan parameter warna melalui bentuk persamaan regresi sehingga dapat dinyatakan produk tersebut layak untuk dikonsumsi atau tidak. Mengacu pada penelitian yang dilakukan Wati (1997) batas penerimaan konsumsi (nilai kritis) saus dari cabe atau paprika tercapai pada nilai L (kecerahan) sebesar 24.95 dan nilai a (intensitas warna merah) 7.59.

Berdasarkan nilai a, persamaan regeresi yang didapatkan dari kurva waktu penyimpanan vs nilai a pada penyimpanan suhu kamar (27°C) (Gambar 14 ), adalah sebagai berikut :


(56)

Y = -0.0513x + 20.574 Dimana : Y = nilai a

x = lama penyimpanan (waktu)

Jika batas kritis nilai a yang diinginkan sebesar 7.59, maka dari persamaan diatas dapat diprediksi bahwa lama penyimpanan yang dibutuhkan adalah 370 hari (1 tahun). Dengan demikian dapat ditetapkan umur simpan produk kecap yang disimpan pada suhu kamar adalah sekitar 370 hari (1 tahun).

Untuk selanjutnya, apabila produsen akan memprediksi umur simpan produk saus cabe berdasarkan nilai b dengan berbagai variasi suhu penyimpanan maka dapat digunakan model pendekatan Arrhenius. Dari model tersebut didapatkan nilai- nilai pada Tabel 12 berikut. Hasil regresi linier kurva waktu penyimpanan vs nilai a dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 12 Nilai k, persamaan regresi intensitas warna merah (a) dan pendugaan

umur simpan saus cabe pada beberapa suhu penyimpanan Suhu

(°C)

Persamaan regresi linier waktu simpan vs

nilai a

Nilai k* Ln k Suhu (K)

1/T (K)

Umur simpan

(hari) 27 Y = -0.0513x + 20.574 0.0513 -2.9701 300 0.0033 370 43 Y = -0.1537x + 29.329 0.1537 -1.8728 316 0.0032 164 55 Y = -0.1944x + 27.455 0.1944 -1.6378 328 0.0030 94 Keterangan : * nilai k didapatkan dari slope persamaan regresi linier waktu

simpan vs nilai a

Dari data tersebut dapat dilakukan plot nilai (1/T) terhadap (ln k) seperti yang terlihat pada Lampiran 8. Dari plot nilai (1/T) vs (ln k) didapatkan persamaan :

Ln k = -4814.3 (1/T) + 13.160

Persamaan diatas dapat digunakan untuk menentukan nilai konstanta laju reaksi (k) pada berbagai suhu (T), sehingga dapat dicari umur simpan produk saus cabe melalui persamaan :

A – Ao = k.t dimana : A = nilai a pada saat t =t Ao = nilai a pada saat t = to k = konstanta laju reaksi t = umur simpan


(1)

Lampiran 9 Regre si kurva waktu simpan vs nilai viskositas saus cabe

Lampiran10 Plot kurva (1/T) vs (ln k) untuk nilai viskositas saus cabe y = -153.75x + 18490

R2 = 0.9997

y = -15.561x + 18296 R2 = 0.6241

y = -19.694x + 18483 R2 = 0.9755

9000

11000

13000

15000

17000

19000

0

20

40

60

Lama Penyimpanan (hari)

viskositas (cp)

27oC

43oC

55oC

Linear (55oC)

Linear (43oC)

Linear (27oC)

y = -6594.5x + 24.572

R2 = 0.5609

2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5

0.003 0.0031 0.0032 0.0033 0.0034

(1/T)


(2)

Lampiran 11 Analisis sidik ragam kandungan vitamin A saus cabe selama penyimpanan

Sumber Keragaman db JK KT F hitung P

Perlakuan Galat Total

4 5 9

58.552 1637.678 1696.229

14.638 327.536

0.045 0.995

Lampiran 12 Analisis sidik ragam kandungan vitamin A kecap selama penyimpanan

Sumber Keragaman db JK KT F hitung P

Perlakuan Galat Total

4 5 9

124.826 155.608 280.433

31.206 31.122

1.003 0.485

Lampiran 13 Analisis sidik ragam kandungan total zat besi kecap selama penyimpanan

Sumber Keragaman db JK KT F hitung P

Perlakuan Galat Total

4 5 9

40.553 132.311 172.864

10.138 26.462

0.383 0.813

Lampiran 14 Analisis sidik ragam kandungan total zat besi saus cabe selama penyimpanan

Sumber Keragaman db JK KT F hitung P

Perlakuan Galat Total

4 5 9

67.283 40.316 107.6000

16.821 8.063

2.086 0.220

Lampiran 15 Analisis sidik ragam kadar hemoglobin tikus percobaan

Sumber Keragaman db JK KT F hitung P

Perlakuan Galat Total

3 4 7

11.721 1.576 13.297

2.930 0.315


(3)

Lampiran 16 Uji beda Duncan kadar hemoglobin tikus percobaan

Subset untuk alfa 0.05 Perlakuan

A B

Kontrol (-) KIO3

Saus cabe Kecap Normal

9.4500 9.6800

11.3200 11.7150 12.1000

Lampiran 17 Analisis sidik ragam kadar vitamin A serum tikus percobaan

Sumber Keragaman db JK KT F hitung P

Perlakuan Galat Total

4 5 9

138.381 100.532 238.912

34.595 20.106

1.721 0.281

Lampiran 18 Rekapitulasi jumlah sel neuron otak kiri induk tikus

Jumlah sel neuron otak kiri per lapang pandang dengan pembesaran 200 x

Ulangan

Normal Kotrol (-) Kecap Saus cabe KIO3

1 65 50 93 82 82

2 53 44 83 84 77

3 68 - 72 91 74

Rata-rata 62 47 83 86 78

Lampiran 19 Analisis sidik ragam jumlah sel neuron otak kiri tikus percobaan

Sumber Keragaman db JK KT F hitung P

Perlakuan Galat Total

4 9 13

2540.857 442.000 2982.857

635.214 49.111

12.934 0.001

Lampiran 20 Uji beda duncan jumlah sel neuron otak kiri tikus percobaan

Subset untuk alfa 0.05 Perlakuan

A B C

Kontrol (-) Normal KIO3

47.000

62.000


(4)

Lampiran 21 Analisis sidik ragam kemampuan belajar induk tikus percobaan

Sumber Keragaman db JK KT F hitung P

Perlakuan Galat Total

4 15 19

3534.864 178.074 3712.938

883.716 11.872

74.439 0.000

Lampiran 22 Uji beda Duncan kemampuan belajar induk tikus percobaan

Subset untuk alfa 0.05 Perlakuan

A B C D

KIO3

Kecap Saus cabe Normal Kontrol (-)

11.5450

18.3450 21.2575

29.6250

50.0975

Lampiran 23 Analisis sidik ragam berat otak anak tikus percobaan

Sumber Keragaman db JK KT F hitung P

Perlakuan Galat Total

4 11 15

0.374 0.524 0.897

9.341x10-2 4.761x10-2

1.962 0.170

Lampiran 24 Rekapitulasi jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur e mpat hari

Jumlah sel neuron otak kiri per lapang pandang dengan pembesaran 400 x

Ulangan

Normal Kotrol (-) Kecap Saus cabe KIO3

1 50 56 82 62 53

2 55 32 77 71 52

3 35 43 66 60 -

Rata-rata 47 44 75 64 53

Lampiran 25 Analisis sidik ragam jumlah sel neuron otak kiri pada anak tikus umur e mpat hari

Sumber Keragaman db JK KT F hitung P

Perlakuan Galat Total

4 9 13

2026.357 708.500 2734.857

506.589 78.722


(5)

Lampiran 26 Uji beda Duncan jumlah sel neuron otak kiri pada anak tikus umur e mpat hari

Subset untuk alfa 0.05 Perlakuan

A B C

Kontrol (-) Normal KIO3

Saus cabe Kecap

43.6667 46.6667 52.5000

46.6667 52.5000

64.3333 64.3333 75.0000

Lampiran 27 Rekapitulasi jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur 30 hari

Jumlah sel neuron otak kiri per lapang pandang dengan pembesaran 200 x

Ulangan

Normal Kotrol (-) Kecap Saus cabe KIO3

1 73 64 83 76 54

2 81 59 73 87 75

3 78 53 83 76 61

Rata-rata 77 58 80 80 63

Lampiran 28 Analisis sidik ragam jumlah sel neuron otak kiri pada anak tikus umur 30 hari

Sumber Keragaman db JK KT F hitung P

Perlakuan Galat Total

4 10 14

1195.600 469.333 1664.933

298.000 46.933

6.369 0.008

Lampiran 29 Uji beda Duncan jumlah sel neuron otak kiri pada anak tikus umur 30 hari

Subset untuk alfa 0.05 Perlakuan

A B

Kontrol (-) KIO3

Normal Kecap Saus cabe

58.6667 63.3333

77.3333 79.6667 79.6667


(6)

Lampiran 30 Analisis sidik ragam kemapuan belajar anak tikus umur 30 hari

Sumber Keragaman db JK KT F hitung P

Perlakuan Galat Total

4 23 27

1712.926 112.102 1825.028

428.231 4.874

87.86 0.000

Lampiran 31 Uji beda Duncan kemapuan belajar anak tikus umur 30 hari

Subset untuk alfa 0.05 Perlakuan

A B C

Kecap Saus cabe Normal KIO3

Kontrol (-)

12.6233 14.8533

19.4400 20.7700


Dokumen yang terkait

Identifikasi Zat Pewarna Sintetis Pada Saus Cabe Naga Dengan Metode Kromatografi Kertas

66 435 42

Defisiensi Zat Besi, Asam Folat, Vitamin B12 Sebagai Salah Satu Predisposisi Stomatitis Aftosa Rekuren

1 50 38

Efikasi dan Preferensi Biskuit yang Difortifikasi Vitamin A dan Zat Besi (Fe) dan Kaitannya dengan Konsumsi, Status Gizi, dan Respons Imun Anak Balita

0 3 149

Perubahan Sifat Fisikokimia dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Fungsional Susu Skim yang Disuplementasi Tepung Kedelai Kaya Isoflavon Serta Difortifikasi Vitamin C Dan E

3 19 116

Efikasi dan Preferensi Biskuit yang Difortifikasi Vitamin A dan Zat Besi (Fe) dan Kaitannya dengan Konsumsi, Status Gizi, dan Respons Imun Anak Balita

0 8 308

Stabilitas Minyak Goreng Sawit Curah yang Difortifikasi dengan Vitamin A terhadap Fotooksidasi

0 5 46

HUBUNGAN KONSUMSI PROTEIN, ZAT BESI, VITAMIN C DAN VITAMIN A DENGAN KADAR HEMOGLOBIN PADA WANITA Hubungan Konsumsi Protein, Zat Besi, Vitamin C Dan Vitamin A Dengan Kadar Hemoglobin Pada Wanita Usia Subur Di Kecamatan Cangkringan, Sleman.

0 1 18

Komposisi Zat Gizi Tempe yang Difortifikasi Zat Besi dan Vitamin A pada Tempe Mentah dan Matang | Astuti | Agritech 9505 17590 1 PB

0 0 9

ASUPAN ZAT BESI, VITAMIN A DAN ZINK ANAK INDONESIA UMUR 6-23 BULAN

0 0 9

DAMPAK FORTIFIKASI MIE INSTAN DENGAN VITAMIN A DAN ZAT RESl TERHADAP STATUS VITAMIN A DAN STATUS BESI ANAK BALITA ABSTRAK - DAMPAK FORTIFIKASI MIE INSTAN DENGAN VITAMIN A DAN ZAT BESI TERHADAP STATUS VITAMIN A DAN STATUS BESI ANAK BALITA

0 0 11