HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN KEPATUHAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PADA PETUGAS PENUNJANG NON MEDIS DI RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING

(1)

MEDIS DI RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh :

NACHTAYA BINTANG IRPAWA 20130310119

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN KEPATUHAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PADA PETUGAS PENUNJANG NON

MEDIS DI RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh :

NACHTAYA BINTANG IRPAWA 20130310119

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

MEDIS DI RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING

Disusun Oleh:

NACHTAYA BINTANG IRPAWA 20130310119

Telah disetujui dan diseminarkan pada tanggal 17 Oktober 2016

Dosen Pembimbing Dosen Penguji

dr. Ekorini Listiowati, MMR dr. Inayati, M.Kes, Sp.MK NIK: 19700131200104173049 NIK: 19680113199708173025

Mengetahui,

Kaprodi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

dr. Alfaina Wahyuni, Sp.OG, M.Kes NIK: 197110281997173027


(4)

iii Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Nachtaya Bintang Irpawa NIM : 20130310119

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis laintelah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, 17 Oktober 2016 Yang membuat pertanyaan,


(5)

rahmat, hidayah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Petugas Penunjang Non Medis di RS PKU Muhammadiyah Gamping” ini dengan baik. Sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW yang telah menjadi suri tauladan bagi kita semua. Karya Tulis Ilmiah ini diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh derajat sarjana kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Penulis mengucapkan terimaksih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan maupun bantuan dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini, antara lain:

1. dr. H. Ardi Pramono, Sp. An., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. dr. Ekorini Listiowati, MMR selaku dokter pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran untuk menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

3. dr. Inayati, M.Kes, Sp.MK selaku dokter penguji yang telah meluangkan waktu dan memberikan masukan serta arahan kepada penulis.

4. Kedua orangtua penulis, Bapak Drs. Irham Medy dan Ibu Islina Hasan atas segala kasih sayang, perhatian, dukungan, nasihat, motivasi dan doa yang tak pernah putus.

5. Kedua adik penulis, Dea Musytari Intan Irpawa dan M. Gani Panji Irpawa yang telah memberikan dukungan dan kasih sayang kepada penulis, serta keluarga besar penulis.

6. Teman-teman satu kelompok bimbingan, Dita Putri Hendriyani, Rizka Kharisma Putri, dan Anita Riau Chandra yang telah membantu dan memberi dukungan satu sama lain.


(6)

v

7. Para Patjar Bintang (Fahri, Ucup, Fauzy), yang telah memberi semangat dan dukungannya untuk penulis.

8. Teman sepermainan HAVERS, Anita, Dita, Rizka, Tasya, Winata, dan juga Bimo sebagai tempat berkeluh kesah dan memberikan dukungan serta semangat selama proses pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini.

9. Teman-teman Medallion Pendidikan Dokter UMY 2013 yang telah memberikan dukungan dan membantu selama pengerjaan Karya Tulis Ilmiah ini.

10. Semua pihak yang telah membantu dalam kelancaran penelitian ini dan penyelesainan Proposal Karya Tulis Ilmiah ini yang tidak dapat diucapkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diperlukan oleh penulis. Semoga Karya Tulis Ilmiah ini nantinya dapat bermanfaat bagi pembaca serta menambah khazanah ilmu pengetahuan Kedokteran Indonesia

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yogyakarta, 17 Oktober 2016

Penulis


(7)

PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

ABSTRACT ... xi

INTISARI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori ... 10

1. Pengetahuan ... 10

2. Kepatuhan ... 16

3. Alat Pelindung Diri ... 22

4. Penunjang Non Medis ... 29

B. Kerangka Teori ... 42

C. Kerangka Konsep ... 43

D. Hipotesis ... 43

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 44

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 45

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46

D. Variabel Penelitian ... 47

E. Definisi Operasional ... 48

F. Alat dan Bahan Penelitian ... 49

G. Jalannya Penelitian ... 49

H. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 50

I. Analisis Data ... 52

J. Kesulitan Penelitian ... 52

K. Etika Penelitian ... 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54

A. Hasil ... 54


(8)

vii

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

A. Kesimpulan ... 63

B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 665 LAMPIRAN


(9)

(10)

ix

Tabel 1. Keaslian Penelitian... 9 Tabel 2. Time Table Kegiatan ... 46 Tabel 3. Definisi Operasional ... 48 Tabel 4. Karakterisitik petugas penunjang non medis RS PKU Muhammadiyah

Gamping berdasarkan jenis kelamin ... 55 Tabel 5. Karakteristik petugas penunjang non medis RS PKU Muhammadiyah

Gamping berdasarkan tingkat pendidikan ... 55 Tabel 6. Karakteristik petugas penunjang non medis RS PKU Muhammadiyah

Gamping berdasarkan tingkat pengetahuan ... 55 Tabel 7. Karakteristik petugas penunjang non medis RS PKU Muhammadiyah

Gamping berdasarkan tingkat kepatuhan ... 56 Tabel 8. Perbandingan pengetahuan petugas pada 4 pelayanan di unit penunjang

non medis RS PKU Muhammadiyah Gamping ... 56 Tabel 9. Perbandingan kepatuhan petugas pada 4 pelayanan di unit penunjang

non medis RS PKU Muhammadiyah Gamping... 57 Tabel 10. Hasil analisis pengetahuan mengenai alat pelindung diri terhadap


(11)

Lampiran 3. Lembar Observasi Kepatuhan Lampiran 4. Data Hasil Kuesioner Pengetahaun Lampiran 5. Data Hasil Observasi Kepatuhan Lampiran 6. Frekuensi Data

Lampiran 7. Uji Analisa Chi-Square Test dan Fisher’s Exact Test Lampiran 8. Uji Normalitas dan Uji Spearman Correlation


(12)

xi

Background: Hospital provides services with positive and negative impact. One of the negative impacts that could be happening is Hospital-Acquired Infections (HAIs). Personal Protective Equipment (PPE) is one of the way to reduce the incidence of HAIs, so that hospital employee’s basic knowledge about PPE is important. Based on World Health Organization (WHO) survey in 2011, HAIs prevalence in Indonesia (which is a medium-income country) is about 7,1%.

Purpose: To analyze the relations between knowledge and Personal Protective Equipment (PPE) use adherence in non-medical employee at PKU Muhammadiyah Gamping Hospital.

Methods: This is a quantitative with analytic-observational design and

cross-sectional approach’s research. The sample is non-medical employees at PKU Muhammadiyah Gamping Hospital while the respondents are 19 of it. They are

collected by a total sampling technique. Fisher’s Exact Test and Spearman

Correlation Test are used to analyze the relations between both variables.

Results and Discussion: This research confirmed that there are 16 employees with good level of knowledge (82,4%), 15 employees obeys the rule in using PPE

(78,9%). Employee’s level of knowledge is highly related with the adherence in

using PPE with p value = 0,004. The high level of non-medical employee’s knowledge is related to the level of their adherence with p value = 0,003 (Correlation coefficient = 0,651).

Conclusion: There is a relation between knowledge and adherence in using PPE in non-medical employees at PKU Muhammadiyah Gamping Hospital and the higher the knowledge, the higher the adherence also. The correlation coefficient is about 0,651 which means the relation is tight.


(13)

nosokomial, sehingga tingkat pengetahuan petugas mengenai alat pelindung diri sangatlah penting. Berdasarkan survey yang dialakukan oleh WHO tahun 2011, prevalensi infeksi nosokomial di Indonesia yang termasuk ke dalam negara berpendapatan menengah sekitar 7,1%.

Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan alat pelindung diri pada petugas penunjang non medis di RS PKU Muhammadiyah Gamping.

Metode: Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif menggunakan rancangan penelitian observasional analitik, dengan pendekatan cross-sectional. Sampel penelitian ini yaitu petugas penunjang non medis RS PKU Muhammadiyah Gamping yang berjumlah 19 responden yang diambil dengan teknik total sampling. Analisis data yang digunakan adalah Fisher’s Exact

Test dan Spearman Correlation Test untuk melihat hubungan antara kedua variabel.

Hasil dan Pembahasan: Hasil penelitian ini didapatkan 16 petugas memiliki tingkat pengetetahuan baik (82,4%) dan 15 petugas patuh dalam menggunakan APD (78,9%). Pengetahuan petugas mengenai APD berhubungan erat dengan kepatuhan petugas dalam menggunakan APD dengan nilai P= 0,004. Tingginya tingkat pengetahuan petugas berhubungan dengan tingginya tingkat kepatuhan petugas P= 0,003, Correlation Coefficient = 0,651.

Kesimpulan: Terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan alat pelindung diri pada petugas penunjang non medis RS PKU Muhammadiyah Gamping dan semakin tinggi pengetahuan petugas semakin tinggi pula kepatuhannya. Nilai Correlation Coefficient yaitu 0,651 yang artinya keeratan hubungan tersebut kuat.


(14)

(15)

e’s basic knowledge about PPE is

important. Based on World Health Organization (WHO) survey in 2011, HAIs prevalence in Indonesia (which is a medium-income country) is about 7,1%.

Purpose: To analyze the relations between knowledge and Personal Protective Equipment (PPE) use adherence in non-medical employee at PKU Muhammadiyah Gamping Hospital.

Methods: This is a quantitative with analytic-observational design and

cross-sectional approach’s research. The sample is non-medical employees at PKU Muhammadiyah Gamping Hospital while the respondents are 19 of it. They are

collected by a total sampling technique. Fisher’s Exact Test and Spearman

Correlation Test are used to analyze the relations between both variables.

Results and Discussion: This research confirmed that there are 16 employees with good level of knowledge (82,4%), 15 employees obeys the rule in using PPE

(78,9%). Employee’s level of knowledge is highly related with the adherence in

using PPE with p value = 0,004. The high level of non-medical employee’s knowledge is related to the level of their adherence with p value = 0,003 (Correlation coefficient = 0,651).

Conclusion: There is a relation between knowledge and adherence in using PPE in non-medical employees at PKU Muhammadiyah Gamping Hospital and the higher the knowledge, the higher the adherence also. The correlation coefficient is about 0,651 which means the relation is tight.


(16)

xii

Latar belakang: Rumah sakit melakukan berbagai pelayanan yang dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. Salah satu dampak negatif yang dapat terjadi di rumah sakit adalah infeksi nosokomial (HAIs). Alat pelindung diri (APD) merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial, sehingga tingkat pengetahuan petugas mengenai alat pelindung diri sangatlah penting. Berdasarkan survey yang dialakukan oleh WHO tahun 2011, prevalensi infeksi nosokomial di Indonesia yang termasuk ke dalam negara berpendapatan menengah sekitar 7,1%.

Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan alat pelindung diri pada petugas penunjang non medis di RS PKU Muhammadiyah Gamping.

Metode: Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif menggunakan rancangan penelitian observasional analitik, dengan pendekatan cross-sectional. Sampel penelitian ini yaitu petugas penunjang non medis RS PKU Muhammadiyah Gamping yang berjumlah 19 responden yang diambil dengan teknik total sampling. Analisis data yang digunakan adalah Fisher’s Exact

Test dan Spearman Correlation Test untuk melihat hubungan antara kedua variabel.

Hasil dan Pembahasan: Hasil penelitian ini didapatkan 16 petugas memiliki tingkat pengetetahuan baik (82,4%) dan 15 petugas patuh dalam menggunakan APD (78,9%). Pengetahuan petugas mengenai APD berhubungan erat dengan kepatuhan petugas dalam menggunakan APD dengan nilai P= 0,004. Tingginya tingkat pengetahuan petugas berhubungan dengan tingginya tingkat kepatuhan petugas P= 0,003, Correlation Coefficient = 0,651.

Kesimpulan: Terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan alat pelindung diri pada petugas penunjang non medis RS PKU Muhammadiyah Gamping dan semakin tinggi pengetahuan petugas semakin tinggi pula kepatuhannya. Nilai Correlation Coefficient yaitu 0,651 yang artinya keeratan hubungan tersebut kuat.


(17)

A. Latar Belakang

Rumah sakit melakukan beberapa jenis pelayanan di antaranya pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, pelayanan perawatan, pelayanan rehabilitasi, pencegahan dan peningkatan kesehatan, sebagai tempat pendidikan dan atau pelatihan medik dan para medik, sebagai tempat penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi bidang kesehatan (Depkes, 2004). Kegiatan tersebut menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah meningkatkannya derajat kesehatan masyarakat, sedangkan dampak negatifnya adalah agen penyakit yang dibawa oleh penderita dari luar ke rumah sakit atau pengunjung yang berstatus karier. Kuman penyakit ini dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah sakit, seperti udara, air, lantai makanan dan benda-benda peralatan medik sehingga dapat menyebabkan terjadinya infeksi (Wichaksana, 2002).

Ditinjau dari asal atau didapatnya infeksi dapat berasal dari komunitas (Community acquired infection) atau berasal dari lingkungan rumah sakit (Hospital acquired infection) yang sebelumnya dikenal dengan istilah infeksi nosokomial. Tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang dimaksudkan untuk tujuan perawatan atau penyembuhan pasien, bila dilakukan tidak sesuai prosedur berpotensi untuk menularkan penyakit infeksi,


(18)

2

baik bagi pasien (yang lain) atau bahkan pada petugas kesehatan itu sendiri (Depkes, 2008).

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2011, angka kejadian infeksi nosokomial di negara berpendapatan tinggi bervariasi antara 3,5-12%. Prevalensi kejadian infeksi nosokomial di negara Eropa sekitar 7,1% dan di Amerika angka kejadian infeksi nosokomial sekitar 4,5% pada tahun 2002. Sedangkan pada negara berpendapatan rendah, angka kejadian infeksi nosokomial lebih tinggi dibandingkan dengan negara berpenghasilan tinggi berkisar antara 5,7-19,1%. Prevalensi infeksi nosokomial di Indonesia yang termasuk ke dalam negara berpendapatan menengah sekitar 7,1%.

Survei yang dilakukan di Inggris pada tahun 2011 didapatkan prevalensi keseluruhan hospital acquired infection (HAIs) di Inggirs sekitar 6,4%, dimana 22,8% diantaranya infeksi saluran pernapasan (pneumonia dan infeksi pernapasan lainnya), Urinary Tract Infections (UTI) atau di Indonesia lebih dikenal sebagai infeksi saluran kemih (ISK) sebesar 17.2%, Surgical Site Infections (SSI) atau infeksi luka operasi (ILO) berkisar 15.7%, clinical sepsis

sebesar 10.5%, infeksi saluran pencernaan sebesar 8.8% dan Bloodstream Infections (BSI) atau infeksi aliran darah primer (IADP) sebesar 7.3%. Sedangkan survei yang dilakukan pada populasi anak-anak didapatkan,

clinical sepsis sebesar 40,2%, infeksi saluran pernafasan sebesar 15.9% dan IADP sebesar 15.1% (Health Protection Agency, 2012). Sedangkan survei yang dilakukan di 183 rumah sakit yang berada di U.S. dari 11.282 pasien, 452 mendapatkan 1 atau lebih infeksi di rumah sakit atau sekitar 4.0%. Pasien


(19)

dengan pneumonia sebesar 21,8%, ILO sebesar 21,8%, infeksi saluran pencernaan sebesar 17,1%, ISK sebesar 12,9% dan IADP sebesar 9,9%. Sebanyak 43 pasien pneumonia atau sekitar 39,1% disebabkan oleh pemasangan ventilator, sebanyak 44 kasus ISK atau sekitar 67,7% dikaitkan dengan pemasangan kateter dan sebanyak 42 kasus IADP atau sekitar 84% dikaitkan kateter sentral (Shelley, dkk., 2014).

Di Indonesia, dari penelitian yang telah dilakukan di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau didapatkan jumlah pasien operasi bersih yang menderita infeksi luka operasi pada bulan Oktober - Desember 2013 yakni sebanyak 13 dari 192 orang atau dengan angka kejadian sebesar 6,8% (Andy, dkk., 2015). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Setjonegoro Kabupaten Wonosobo mengalami peningkatan kejadian infeksi nosokomial dari tahun 2010-2011 dari 0,37% menjadi 1,48% kasus. Prevalensi kejadian infeksi nosokomial di RSUD Setjonegoro dari bulan Juli 2009 - Desember 2011, kejadian ISK sebesar 0,33 per 1000 pasien rawat inap, ILO sebesar l,21 per 1000 pasien rawat inap, pneumonia sebesar 0 per 1000 pasien rawat inap, sepsis sebesar 0,12 per 1000 pasien rawat inap, dekubitus sebesar 1,12 per 1000 pasien rawat inap, dan phlebitis sebesar 5,02 per 1000 pasien rawat inap (Ratna, dkk., 2012)

Di Yogyakarta, berdasarkan data dari Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) RS. Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2012 terjadi 70 kasus

Hospital Acquired Pneumonia (HAP) dari populasi berisiko sebanyak 3.778 pasien (prevalensi 1,85%) dan 21.590 total pasien yang dirawat (0,32%) dan


(20)

4

meningkat menjadi 0,34% pada tahun 2013. Sedangkan dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti selama 6 bulan di ruang Dahlia IV angka kejadian HAP mencapai 0,4% yang seharusnya angka ini nol (Kardi, dkk., 2015). Sedangkan infeksi nosokomial yang terjadi di RS PKU Muhammadiyah Gamping, berdasarkan survei yang dilakukan oleh pihak RS PKU Muhammadiyah Gamping bulan Januari hingga September 2015 didapatkan data phlebitis sebesar 0,014 per 1000 pasien rawat inap, ISK sebesar 0,006 per 1000 pasien rawat inap, infeksi post transfusi sebesar 0%, dan ILO sebesar 0,19% (Komite PPI RS PKU Muhammadiyah Gamping, 2015).

Terjadinya HAIs akan menimbulkan banyak kerugian, antara lain lama hari perawatan bertambah panjang, penderitaan pasien bertambah, biaya perawatan juga meningkat. (Darmadi, 2008). Menurut WHO (2011), dampak HAIs meliputi tinggal di rumah sakit semakin lama, dapat mengakibatkan cacat jangka panjang, terjadi peningkatan resistensi mikroorganisme terhadap antimikroba, biaya tambahan yang besar bagi sistem kesehatan, biaya menjadi lebih tinggi untuk pasien dan keluarga pasien, dan dapat menyebabkan kematian. Di Eropa, HAIs menyebabkan 16 juta hari tambahan untuk tinggal di rumah sakit dan 37.000 kasus kematian yang disebabkan oleh HAIs. Beban penyakit ini juga tercermin dalam kerugian keuangan tahunan diperkirakan mencapai sekitar €7 milyar. Di Amerika Serikat, sekitar 99.000 kasus kematian dikaitkan dengan HAIs pada tahun 2002 dan biaya tambahan tahunannya sekitar US $6,5 miliar pada tahun 2004. Beberapa infeksi, seperti


(21)

infeksi aliran darah dan pneumonia terkait ventilator, memiliki dampak yang lebih parah daripada infeksi lainnya dalam hal kematian dan biaya tambahan. Infeksi aliran darah nosokomial diprediksi terjadi sekitar 250.000 kasus setiap tahun di Amerika Serikat dan kasus resistensi mikroorganisme terhadap antimikroba semakin meningkat beberapa dekade terakhir. Di negara berkembang sangat sedikit studi mengenai dampak HAIs dan tidak ditemukan adanya laporan secara nasional. Peningkatakan kematian pada orang dewasa di negara berkembang banyak disebabkan oleh pneumonia terkait ventilator yaitu sekitar 27,5%. Di antara bayi lahir sakit di negara-negara berkembang, HAIs bertanggung jawab sekitar 4% kasus dari 56% kasus kematian pada periode neonatal dengan 75% terjadi di Selatan-Asia Timur dan Afrika Sub-Sahara.

Penggunaan alat pelindung diri (APD) memberikan penghalang fisik antara mikroorganisme dengan pamakai. Kadang hal itu memberikan proteksi dengan mecegah mikroorganisme dari tangan, mata dan pakian yang terkontaminasi agar tidak terjadi penularan kepada pasien lain dan petugas kesehatan sehingga dapat mencegah HAIs (International Federation of Infection Control, 2011). Namun demikian, APD tidak menghilangkan ataupun mengurangi bahaya yang ada. Peralatan ini hanya mengurangi jumlah kontak dengan bahaya dengan cara penempatan penghalang antara tenaga kerja dengan bahaya (Liswanti, dkk., 2015).


(22)

6

Integrasi ayat Al-Qur‟an yang berhubungan dengan topik penelitian:

ا

Artinya :

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya

bergiliran, dimuka dan di belakang, mereka menjaganya atas perintah Allah.

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap kaum maka tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia“ (QS.

Ar Ra’du; 11)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia tidak memiliki perlindungan terhadap keburukan yang dikehendaki Allah, artinya manusia tidak dapat menghindar dari keburukan yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk terjadi dalam hidup manusia. Namun manusia berhak berusaha untuk menjaga kesehatan dan keselamatan dirinya dari ancaman yang terjadi. Dalam hal ini dapat diambil hikmah bahwa alat perlindungan diri merupakan salah satu upaya dalam pencegaran infeksi nosokomial.

Penelitian ini dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Gamping yang merupakan rumah sakit pendidikan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, rumah sakit pendidikan tipe C ini mempunyai beberapa fasilitas pelayanan diantaranya berupa instalasi gawat darurat, pelayanan medis, pelayanan penunjang, pelayanan pemeliharaan kesehatan dan pelayanan unggulan.


(23)

Pelayanan penunjang dapat berupa pelayanan penunjang medis dan non medis. Pelayanan penunjang non medis merupakan pelayanan yang bekerja secara tidak langsung yang berkaitan dengan pelayanan medik antara lain Pelayanan Linen dan Laundry, Central Sterile Supply Departement (CSSD), Sanitasi, Instalasi Pengelolaan Air dan Limbah (IPAL), dan Elektromedik. Pelayanan penunjang non medis merupakan salah satu mata rantai yang penting dalam pencegahan dan pengendalian infeksi terutama infeksi nosokomial, sehingga penggunaan alat pelindung diri sangat diperlukan pada petugas yang bekerja di unit penunjang non medis agar tidak terkontaminasi bakteri sehingga terjadi infeksi (Depkes, 2004). Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan alat pelindung diri pada petugas penunjang non medis di RS PKU Muhammadiyah Gamping.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan utama yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah

“Bagaimana hubungan pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan Alat

Pelindung Diri pada petugas penunjang non medis di RS PKU Muhammadiyah Gamping?”

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan Alat Pelindung Diri pada petugas penunjang non medis di RS PKU Muhammadiyah Gamping.


(24)

8

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengetahuan mengenai APD pada petugas penunjang non medis di RS PKU Muhammadiyah Gamping.

b. Mengetahui kepatuhan pengunaan APD pada petugas penunjang non medis di RS PKU Muhammadiyah Gamping.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut: 1. Bagi Rumah Sakit

Memberikan data mengenai pengetahuan dan kepatuhan penggunaan APD pada petugas penunjang non medis di RS PKU Muhammadiyah Gamping. 2. Bagi Praktisi Kesehatan

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada tenaga medis khususnya dalam melakukan tindakan dengan menggunakan APD sesuai prosedur sehingga terhindar dari segala kemungkinan HAIs di RS PKU Muhammadiyah Gamping.

3. Bagi Lembaga atau Institusi Pendidikan

Sebagai pengembangan pengetahuan baik kalangan mahasiswa pendidikan sarjana maupun profesi agar dapat melaksanakan pencegahan serta pegendalian HAIs yang berhubungan dengan penggunaan APD. 4. Bagi peneliti

Penelitian ini merupakan sarana belajar untuk menambah wawasan dan mengetahui lebih dalam tentang penggunaan APD di rumah sakit dan hasilnya diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan bagi peneliti selanjutnya.


(25)

E. Keaslian Penelitian

Tabel 1. Keaslian Penelitian

Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Persamaan Perbedaan Istika Dwi Kusumaningrum, 2015 Evaluasi Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Perawat Unit Hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II Berdasarkan hasil observasi ditemukan sebagian saja yang dilaksanakan. Dapat disimpulkan bahwa evaluasi penggunaan APD di unit hemodialisa masih kurang Meneliti penggunaan APD pada petugas rumah sakit Meneliti penggunaan APD pada petugas Penunjang Non Medis sedangkan penelitian sebelumnya meneliti

penggunaan APD di Unit Hemodialisa Penelitian

dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Gamping Meneliti Hubungan pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan APD sedangkan penelitian sebelumnya meneliti evaluasi penggunaan APD Fatih Zaenal Falah, 2014 Efektifitas Sosialiasi Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Terhadap Pengetahuan dan Kepatuhan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Petugas Pelayanaan Pendukung Di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II Terdapat peningkatan pengetahuan dari kategori tinggi sebelum sosialisasi menjadi kategori sangat tinggi setelah sosialisasi Meneliti penggunaan APD pada Petugas Pelayanan Pendukung Data diambil secara cross sectional

sedangkan penelitian sebelumnya menggunaan metode pretest posttest. Penelitian

dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Gamping Meneliti hubungan pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan APD sedangkan penelitian sebelumnya meneliti tentang efektivitas K3 terhadap kepatuhan penggunaan APD


(26)

10

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 1. Pengetahuan

a. Definisi

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia dan sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh oleh mata dan pendengaran (Notoatmodjo, 2011). Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan prediktif terhadap sesuatu sebagi hasil pengenalan atas suatu pola. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia, sementara seseorang tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru (Budiman dan Riyanto, 2013).

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Budiman dan Riyanto (2013), ada 6 faktor yang dapat mempengarui pengetahuan di antaranya:

1) Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Semakin tinggi pendidikan seseorang,


(27)

semakin mudah seseorang menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi, maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media masa. Semakin banyak informasi yang di dapat, semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Namun sesorang dengan pendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula.

2) Informasi/media massa

Informasi mencakup data, teks, gambar, suara, kode, program komputer dan basis data. Informasi tersebut dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, yang diperolah dari data dan pengamatan terhadap dunia sekitar, serta diteruskan melalui komunikasi. Informasi yang diperolah baik secara formal maupun nonformal dapat memberikan pengaruh jangka pendek sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Berkembangnya teknologi akan menyediakan bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang tentang inovasi baru. Media massa juga dalam bentuk penyampaiannya berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini sesorang.

3) Sosial, Budaya dan Ekonomi

Sosial dan budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi dari sikap dalam penerimaan informasi. Status ekonomi seseorang juga dapat menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan


(28)

12

untuk kegiatan tertentu sehingga status ekonomi seseorang akan mempengarui pengetahun seseorang.

4) Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sesekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada di lingkungan tersebut. Hal ini karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak, yang direspon sebagai pengetahuan.

5) Pengalaman

Pengalama sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan akan memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional serta dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang baik.

6) Usia

Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikir sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin baik. Dua sikap tradisional mengenai jalannya perkembangan selama hidup adalah sebagai berikut:


(29)

a) Semakin bertambah usia, semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuan.

b) Tidak dapat mengerjakan kepandaian baru pada usia yang sudah tua karena telah mengalami kemunduran baik fisik maupun mental. Beberapa teori menyatakan bahwa IQ seseorang akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia. c. Tahapan Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2011) tahapan pengetahuan mempunyai 6 tingkatan, yaitu:

1) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dan bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima (Wawan dan Dewi, 2011). Pada tingkatan ini berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodelogi, prinsip dasar, dan sebaginya (Budiman dan Riyanto, 2013).

2) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah


(30)

14

paham terhadap objek atau materi terus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap suatu objek yang dipelajari.

3) Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi tersebut secara benar pada situasi ataupun kondisi riil (sebenarnya). 4) Analisis (Analysis)

Analisi adalah suatu kemapuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tapi masih di dalam satu struktur dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5) Sintesis (Syntesis)

Sintesis yang dimaksud menunjukkan pada suatu kemampuan untuk melaksanakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari informasi yang telah ada.

6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang sudah ada.


(31)

d. Cara Mengukur Tingkat Pengetahuan

Menurut Arikunto (2006), pengukuran pengetahuan dapat diperoleh dari kuesioner atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat juga disesuaikan dengan tingkat pengetahuan. Sedangkan kualitas pengetahuan pada masing-masing tingkat pengetahuan dapat dilakukan dengan scoring.

e. Kriteria Tingkat Pengetahuan

Kategori tingkat pengetahuan seseorang digolongkan menjadi 3 tingkatan yang didasarkan pada nilai persentase yaitu: (Budiman & Riyanto, 2013)

1) Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya ≥ 75% 2) Tingkat pengetahuan kategori Cukup jika nilainya 56-74% 3) Tingkat pengetahuan kategori Kurang jika nilainya ≤ 55%

Dapat pula dikelompokkan menjadi dua kategori jika yang diteliti adalah masyarakat umum, yaitu:

1) Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya >50%


(32)

16

Namun persentasenya berbeda jika yang diteliti adalah petugas kesehatan, yaitu:

1) Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya >75%

2) Tingkat pengetahuan kategori Kurang Baik jika nilainya ≤75% 2. Kepatuhan

a. Definisi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indoneisa (KBBI), kepatuhan berasal dari kata patuh, yang berarti suka menurut perintah, taat pada perintah, sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Sedangkan menurut Niven (2002), kepatuhan adalah sejumlah mana perilaku seorang petugas sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan pimpinan ataupun pihak rumah sakit. Menurut Bastable (2002), kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan ketaatan pada tujuan yang telah ditentukan. Kepatuhan menyiratkan adanya suatu upaya untuk mengendalikan. Kepatuhan dalam program kesehatan merupakan perilaku yang dapat diobservasi dan dengan begitu dapat langsung diukur. Karakteristik pribadi dan situasi memainkan suatu peran penting dalam menentukan kepatuhan.

b. Jenis Kepatuhan

Menurut Gulo (2002), jenis-jenis kepatuhan meliputi: 1) Otoritarian

Otoritarian adalah kepatuhan yang ikut-ikutan atau sering disebut “bebekisme”.


(33)

2) Konformis

Kaptuhan tipe ini memiliki 2 bentuk, yaitu:

a) Konformis hedonis adalah kepatuhan yang beorientasi pada “untung ruginya” diri sendiri.

b) Konformis integral adalah kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri dengan masyarakat.

3) Compulsive deviant

Compulsive deviant adalah kepatuhan yang tidak konsisten atau yang disebut “plin plan”.

4) Hedonik psikopatik

Hedonik psikopatik adalah kepatuhan kepada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain.

5) Supra moralis

Supra moralis adalah kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

Carpenito (2000) berpendapat bahawa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah segala sesuatu yang dapat berpengaruh positif sehingga penderita tidak mampu lagi mempertahankan kepatuhannya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya :


(34)

18

1) Pemahaman tentang instruksi.

Tidak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya.

2) Tingkat pendidikan.

Tingkat pendidikan dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif yang diperoleh secara mandiri, lewat tahapan-tahapan tertentu semakin tua umur seseorang maka proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur-umur tertentu, bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat ketika berusia belasan tahun, dengan demikian dapat disimpulkan faktor umur akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang yang akan mengalami puncaknya pada umur-umur tertentu dan akan menurun kemampuan penerimaan atau mengingat sesuatu seiring dengan usia semakin lanjut. Hal ini menunjang dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah.

3) Keyakinan, sikap dan kepribadian.

Kepribadian antara orang yang patuh dengan orang yang gagal, orang yang tidak patuh adalah orang yang mengalami depresi, ansietas, sangat memperhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan memiliki kehidupan sosial yang lebih, memusatkan perhatian kepada dirinya sendiri. Kekuatan ego yang lebih ditandai dengan kurangnya penguasaan terhadap


(35)

lingkungannya. Variabel-variabel demmografis juga digunakan untuk meramalkan ketidakpatuhan.

4) Dukungan sosial.

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga atau teman merupakan faktor penting dalam kepatuhan.

Sedangkan menurut Niven (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah:

1) Pendidikan

Pendidikan dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset secara mandiri. Tingginya pendidikan seorang petugas kesehatan dapat meningkatkan kepatuhan dalam melaksanakan kewajibannya, sepanjang hahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.

2) Modifikasi Faktor Lingkungan dan Sosial

Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari pimpinan rumah sakit, kepala unit, petugas kesehatan itu sendiri dan teman-teman sejawat. Lingkungan berpengaruh besar pada pelaksanaan prosedur penggunaan APD yang telah ditetapkan. Lingkungan yang harmonis dan positif akan membawa dampak yang positif pula pada kinerja petugas, kebalikannya lingkungan negatif akan membawa dampak buruk pada petugas kesehatan.


(36)

20

3) Perubahan Model Prosedur

Prosedur penggunaan APD dapat dibuat sesederhana mungkin dan petugas terlihat aktif dalam mengaplikasikan prosedur penggunaan APD tersebut. Keteraturan petugas menggunaan APD sesuai standar prosedur dipengaruhi oleh kebiasaan petugas menerapkan sesuai dengan ketentuan yang ada.

4) Meningkatkan Interaksi Profesional Kesehatan

Meningkatkan interaksi professional kesehantan antar sesama petugas kesehatan dapat memberikan umpan balik pada petugas itu sendiri. Suatu penjelasan tetang prosedur tetap dan bagaimana cara menerapkannya dapat meningkatkan kepatuhan.

5) Sikap

Sikap adalah pernyataan evaluatif terhadap objek, orang, atau peristiwa. Hal ini mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Sikap yang ada pada seseorang memerlukan respon dan stimulus. Misal, seseorang yang bekerja di tempat yang berisiko tinggi terkena bahaya dan mengetahuinya, maka dia akan melindungi dirinya dari bahaya tersebut.

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Petugas dalam Penggunaan APD

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan petugas kesehatan dalam penggunaan APD menurut Candra dan Ruhyandi (2008) adalah:


(37)

1) Faktor Internal a) Pengetahuan

Pengetahuan tentang penggunaan APD yang kurang pada petugas dapat menyebabkan ketidakpatuhan dalam penggunaan APD disebabkan karena petugas tidak mengatahui dampak ataupun bahaya yang dapat ditimbulkan karena tidak menggunaan APD.

b) Sikap

Sikap sesorang dapat dipengaruhi olah bantuan fisik dan mental. Bantuan mental seperti perintah harus berangsur-angsur dikurangi atau digantikan dengan pengarahan dan dukungan. Sedangkan bantuan fisik dalam kerja harus terus-menerus. Seorang petugas yang bekerja di tempat berisiko tinggi terkena atau terpapar penyakit memerlukan APD untuk mengurangi dan mencegah kecelakaan akibat kerja yang mungkin terjadi, hal ini terus dilakukan karena merupakan suatu kebutuhan.

2) Faktor Eksternal a) Penyuluhan

Penyuluhan tentang pengguaan APD merupakan salah satu faktor pendorong kepatuhan petugas dalam menggunakan APD. Media yang digunakan dalam penyuluhan dapat berupa poster, leaflet, ataupun dengan suatu pelatihan khusus bagi


(38)

22

petugas yang sangat memerlukan pengetahuan tersebut. Dengan diberikan penyuluhan petugas akan lebih memahami arti pentingnnya penggunaan APD.

b) Pengawasan

Pengawasan bertujuan agar hasil pelaksanaan diperolah secara berdaya guna dan berhasil guna. Begitu pula dalam hal kepatuhan penggunaan APD.

c) Kelengkapan APD

Kelengkapan APD di tempat kerja ataupun di rumah sakit mempengaruhi kepatuhan petugas dalam menggunakan APD. 3. Alat Pelindung Diri

a. Definisi

Alat pelindung diri adalah alat-alat yang mampu memberikan perlindungan terhadap bahaya-bahaya kecelakaan. Atau bisa disebut alat kelengkapan yang wajib digunakan saat bekerja sesuai bahaya dan risiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja itu sendiri dan orang di sekelilingnya (Liswanti, dkk., 2015). Pelindung barrier, yang secara umum disebut sebagai APD telah digunakan selama bertahun-tahun untuk melindungi pasien dari mikroorganisme yang ada pada petugas kesehatan (Depkes, 2008).

b. Pedoman Umum Alat Pelindung Diri

Menurut Depkes (2008), pedoman umum penggunaan alat pelindung diri meliputi:


(39)

1) Tangan harus selalu dibersihkan meskipun menggunakan APD. 2) Lepas dan ganti segala perlengkapan APD yang sudah tidak dapat

digunakan kembali atau sobek segera setelah mengetahui APD tersebut tidak berfungsi optimal.

3) Lepaskan semua APD sesegera mungkin setelah selesai memberikan pelayanan dan hindari kontaminasi dari:

a) lingkungan di luar ruang isolasi b) para pasien atau pekerja lain, dan c) diri sendiri.

4) Buang semua perlengkapan APD dengan hati-hati dan segera membersihkan tangan.

a) Perkirakan risiko terpajan cairan tubuh atau area terkontaminasi sebelum melakukan kegiatan perawatan kesehatan.

b) Pilih APD sesuai dengan perkiraan risiko terjadi pajanan. c) Menyediakan sarana APD bila emergensi dibutuhkan untuk

dipakai.

c. Macam-Macam Alat Pelindung Diri

Alat pelindung diri menurut Depkes (2008) terdiri dari: 1) Sarung Tangan

Sarung tangan melindungi tangan dari bahan yang dapat menularkan penyakit dan melindungi pasien dari mikroorganisme yang berada di tangan petugas kesehatan. Sarung tangan


(40)

24

merupakan penghalang (barrier) fisik paling penting untuk mencegah penyebaran infeksi. Sarung tangan harus diganti setiap kontak dengan satu pasien ke pasien lainnya, untuk menghindari kontaminasi silang (Depkes, 2008). Petugas kesehatan perlu memperhatikan jenis dari sarung tangan yang digunakan. Secara umum sarung tangan terdiri dari dua jenis yaitu sarung tangan bersih dan sarung tangan steril. Sarung tangan bersih digunakan jika anak kontak dengan kulit, luka, atau benda yang terkontaminasi. Sedangkan sarung tangan steril digunakan dalam tindakan bendah dan kontak dengan alat-alat steril (Potter & Perry, 2005).

Pemakaian sarung tangan diperlukan ketika:

a) Ada kemungkinan kontak tangan dengan darah atau cairan tubuh lain, membran mukosa atau kulit yang terlepas.

b) Melakukan prosedur medis yang bersifat invasif misalnya menusukkan sesuatu kedalam pembuluh darah, seperti memasang infus.

c) Menangani bahan-bahan bekas pakai yang telah terkontaminasi atau menyentuh permukaan yang tercemar.

d) Menerapkan kewaspadaan transmisi kontak (yang diperlukan pada kasus penyakit menular melalui kontak yang telah diketahui atau dicurigai), yang mengharuskan petugas kesehatan menggunakan sarung tangan bersih (tidak steril)


(41)

ketika memasuki ruangan pasien. Petugas kesehatan harus melepas sarung tangan tersebut sebelum meninggalkan ruangan pasien dan mencuci tangan dengan air dan sabun atau dengan

handrub berbasis alkohol.

Hal yang harus diperhatikan dalam pemakaian sarung tangan: a) Gunakan sarung tangan dengan ukuran yang sesuai, khususnya

untuk sarung tangan bedah. Sarung tangan yang tidak sesuai dengan ukuran tangan dapat menggangu keterampilan dan mudah robek.

b) Jaga agar kuku selalu pendek untuk menurunkan risiko sarung tangan robek.

c) Tarik sarung tangan ke atas manset gaun (jika Anda memakainya) untuk melindungi pergelangan tangan.

d) Gunakan pelembab yang larut dalam air (tidak mengandung lemak) untuk mencegah kulit tangan kering/berkerut.

e) Jangan gunakan lotion atau krim berbasis minyak, karena akan merusak sarung tangan bedah maupun sarung tangan periksa dari lateks.

f) Jangan menggunakan cairan pelembab yang mengandung parfum karena dapat menyebabkan iritasi pada kulit.

g) Jangan menyimpan sarung tangan di tempat dengan suhu yang terlalu panas atau terlalu dingin misalnya di bawah sinar matahari langsung, di dekat pemanas, AC, cahaya ultraviolet,


(42)

26

cahaya fluoresen atau mesin rontgen, karena dapat merusak bahan sarung tangan sehingga mengurangi efektifitasnya sebagai pelindung.

2) Masker

Masker harus cukup besar untuk menutupi hidung, mulut, bagian bawah dagu, dan rambut pada wajah (jenggot). Masker dipakai untuk menahan cipratan yang keluar sewaktu petugas kesehatan atau petugas bedah berbicara, batuk atau bersin serta untuk mencegah percikan darah atau cairan tubuh lainnya memasuki hidung atau mulut petugas kesehatan. Bila masker tidak terbuat dari bahan tahan cairan, maka masker tersebut tidak efektif untuk mencegah kedua hal tersebut.

Pada perawatan pasien yang telah diketahui atau dicurigai menderita penyakit menular melalui udara atau droplet, masker yang digunakan harus dapat mencegah partikel mencapai membran mukosa dari petugas kesehatan. Beberapa masker mengandung komponen lateks dan tidak bisa digunakan oleh individu yang alergi terhadap lateks. Petugas harus diberi cukup waktu untuk menggunakan dan mengepaskan masker dengan baik sebelum bertemu dengan pasien.

3) Alat Pelindung Mata

Alat pelindung mata melindungi petugas dari percikan darah atau cairan tubuh lain dengan cara melindungi mata. Pelindung


(43)

mata mencakup katamaca (goggles) plastik bening, kacamata pengaman, pelindung wajah dan visor. Kacamata koreksi atau kacamata dengan lensa polos juga dapat digunakan, tetepi hanya jika ditambahkan pelindung pada bagian sisi mata. Petugas kesehatan harus menggunakan masker dan pelindung mata atau pelindung wajah, jika melakukan tugas yang memungkinkan adanya percikan secara tidak sengaja ke arah wajah. Bila tidak tersedia pelindung wajah, petugas kesahatan dapat menggunakan kacamata pelindung atau kacamata biasa serta masker.

4) Topi

Topi digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala sehingga serpihan kulit dan rambut tidak masuk ke dalam luka selama pembedahan. Topi harus cukup besar untuk menutupi semua rambut. Meskipun rambut dapat memberikan perlindungan pada pasien, tetapi tujuan utamanya adalah untuk melindungi pemakainya dari darah atau cairan tubuh yang terpercik atau menyemprot.

5) Gaun Pelindung

Gaun pelindung digunakan untuk menutupi atau menganti pakaian biasa atau seragam lain, pada saat merawat pasien yang diketahui atau dicurigai memiliki penyakit menular melalui udara. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi baju dan kulit petugas kesehatan dari sekresi respirasi. Pangkal sarung tangan harus


(44)

28

menutupi ujung lengan gaun sepenuhnya. Lepaskan gaun sebelum meninggalkan area pasien. Setelah gaun dilepas, pastikan bahwa pakaian dan kulit tidak kontak dengan bagian yang potensial tercemar, lalu cuci tangan segera untuk mencegah berpindahnya organisme. Kontaminasi pada pakaian yang dipakai saat bekerja dapat diturunkan 20-100x dengan memakai gaun pelindung.

6) Apron

Apron yang terbuat dari karet atau plastik, merupakan penghalang tahan air untuk sepanjang bagian depan tubuh petugas kesehatan. Petugas kesehatan harus mengenakan apron di bawah gaun penutup ketika melakukan perawatan langsung pada pasien, membersihkan pasien, atau melakukan prosedur dimana ada risiko tumpahan darah, cairan tubuh atau sekresi. Hal ini penting jika gaun pelindung tidak tahan air. Apron akan mencegah cairan tubuh pasien mengenai baju dan kulit petugas kesehatan.

7) Pelindung Kaki

Pelindung kaki digunakan untuk melindungi kaki dari cedera akibat benda tajam atau benda berat yang mungkin jatuh secara tidak sengaja ke atas kaki. Oleh karena itu, sandal, “sandal jepit” atau sepatu yang terbuat dari bahan lunak (kain) tidak boleh dikenakan. Sepatu boot karet atau sepatu kulit tertutup memberikan lebih banyak perlindungan, tetapi harus dijaga tetap bersih dan bebas kontaminasi darah atau tumpahan cairan tubuh lain. Penutup


(45)

sepatu tidak diperlukan jika sepatu bersih. Sepatu yang tahan terhadap benda tajam atau kedap air harus tersedia di kamar bedah. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penutup sepatu dari kain atau kertas dapat meningkatkan kontaminasi karena memungkinkan darah merembes melalui sepatu dan seringkali digunakan sampai di luar ruang operasi. Kemudian dilepas tanpa sarung tangan sehingga terjadi pencemaran.

4. Penunjang Non Medis a. Definisi

Pelayanan yang diberikan kepada pasien di Rumah Sakit yang secara tidak langsung berkaitan dengan pelayanan medik antara lain hostel, administrasi, laundry dan lain lain (Depkes, 2004).

b. Unit Penunjang Non Medis

Menurut Adisasmito (2009) pelayanan penunjang non medis terdiri dari:

1) Pelayanan Linen dan Laundry

Pelayanan linen merupakan pelayanan penunjang non medis untuk membantu unit-unit lain di rumah sakit yang membutuhkan linen siap pakai. Linen sendiri diartikan sebagai bahan atau alat yang terbuat dari kain yang digunakan di rumah sakit untuk kebutuhan pembungkus kasur, bantal, guling, selimut, baju petugas, baju pasien dan alat instrumen steril lainnya. Peran pengelolaan linen di rumah sakit cukup penting. Linen di rumah


(46)

30

sakit dibutuhkan di setiap ruangan. Kebutuhan akan linen di setiap ruangan ini sangat bervariasi, baik jenis, jumlah dan kondisinya. Alur pengelolaan linen cukup panjang, membutuhkan pengelolaan khusus dan banyak melibatkan tenaga kesehatan dengan bermacam-macam klasifikasi. Klasifikasi tersebut terdiri dari ahli manajemen, teknisi, perawat, tukang cuci, penjahit, tukang setrika, ahli sanitasi, serta ahli kesehatan dan keselamatan kerja. Untuk mendapatkan kualitas linen yang baik, nyaman dan siap pakai, diperlukan perhatian khusus, seperti kemungkinan terjadinya pencemaran, infeksi dan efek penggunaan bahan kimia. Tujuan dari pelayanan linen dan laundry adalah mencegah terjadinya infeksi silang, infeksi nosokomial bagi pasien dan petugas rumah sakit dengan mengelola dan mengendalikan bahan-bahan linen. Manajemen linen yang baik di rumah sakit merupakan salah satu aspek penunjang medik yang berperan dalam upaya meningkatkan mutu layanan di rumah sakit. Manajemen dimaksud dimulai dari perencanaan, penanganan linen bersih, penanganan linen kotor/pencucian hingga pemusnahan. Secara khusus penanganan linen kotor sangat penting guna mengurangi risiko infeksi nosokomial. Proses penanganan tersebut mencakup pengumpulan, pesortiran, pencucian, penyimpanan hingga distribusi ke ruangan-ruangan di rumah sakit. Sehingga salah satu upaya untuk menekan


(47)

angka infeksi nosokomial adalah dengan melakukan manajemen linen yang baik (Depkes, 2004).

2) Pelayanan Central Sterile Supply Departement (CSSD)

CSSD adalah unit pelayanan non struktural yang berfungsi memberikan pelayanan sterilisasi yang sesuai standar atau pedoman dan memenuhi kebutuhan barang steril di rumah sakit. CSSD atau di Indonesia dikenal sebagai Pusat Sterilisasi memiliki fungsi utama yaitu menyiapkan alat-alat bersih dan steril untuk keperluan perawatan pasien di rumah sakit. Secara khusus fungsi dari pusat sterilisasi adalah menerima, memproses, memproduksi, mensterilkan, menyiapkan serta mendistribusikan peralatan medis ke berbagai ruangan di rumah sakit untuk kepentingan perawatan pasien (Depkes, 2009). CSSD merupakan salah satu dari mata rantai yang penting agar dapat mengendalikan infeksi dan mempunyai peran dalam upaya menekan kejadian infeksi terutama infeksi nosokomial, hal ini dikarenakan CSSD adalah bagian di institusi pelayanan kesehatan (rumah sakit) yang mengurus suplai dan peralatan bersih atau steril. Pembentukan CSSD berdasarkan pada Kebijakan Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa CSSD sebagai salah satu upaya dalam pengendalian infeksi di rumah sakit dan merupakan salah satu mata rantai yang penting untuk Perencanaan dan Pengendalian Infeksi (PPI). Pemrosesan yang tersentral akan meningkatkan kualitas


(48)

32

pelayanan sehingga berorientasi pada patient safety. Salah satu indikator baik atau tidaknya suatu rumah sakit dapat dilihat dari tingkat penyebaran infeksi yang terjadi, semakin sedikit tingkat penyebaran infeksi yang terjadi maka semakin baik kualitas rumah sakit tersebut. Salah satu pencegahan infeksi dapat dilakukan dengan cara melakukan sterilisasi dan desinfeksi. Sterilisasi adalah suatu proses pengelolahan alat atau bahan yang bertujuan untuk menghancurkan semua bentuk kehidupan mikroba termasuk endospora yang dapat dilakukan dengan proses kimia atau fisika. Desinfeksi adalah proses pembasmian terhadap semua jenis mikroorganisme patogen yang biasanya dilakukan pada objek yang tidak bernyawa (misal ruangan pasien). Tindakan sterilisasi dan desinfeksi ditujukan untuk memutus mata rantai penyebaran infeksi dengan cara mengendalikan kuman-kuman yang berada di lingkungan rumah sakit, dilakukan baik terhadap peralatan-peralatan yang dipakai, baju, sarung tangan, maupun ruangan-ruangan khususnya di lingkungan rumah sakit.

a) Tugas Pelayanan Central Sterile Supply Departement (CSSD)

Tanggung jawab pusat sterilisasi bervariasi bergantung dari besar kecilnya rumah sakit, struktur organisasi dan proses sterilisasi. Tugas utama pusat sterilisasi adalah:

(1) Menyiapkan peralatan medis untuk perawatan pasien. (2) Melakukan proses sterilisasi alat/bahan.


(49)

(3) Mendistribusikan alat-alat yang dibutuhkan oleh ruangan perawatan, kamar operasi maupun ruangan lainnya.

(4) Berpastisipasi dalam pemilihan peralatan dan bahan yang aman dan efektif serta bermutu.

(5) Mempertahankan stock inventory yang memadai untuk keperluan perawatan pasien.

(6) Mempertahankan standar yang telah ditetapkan.

(7) Mendokumentasikan setiap aktivitas pembersihan, desinfeksi maupun sterilisasi sebagai bagian dari program upaya pengendalian mutu.

(8) Melakukan penelitian terhadap hasil sterilisasi dalam rangka pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial bersama dengan panitia pengendalian infeksi nosokomial. (9) Melakukan penyuluhan tentang hal-hal yang berkaitan

dengan masalah sterilisasi.

(10) Menyelenggarakan pendidikan dan pengembangan staf instalasi pusat sterilisasi baik yang bersifat internal maupun eksternal.

(11) Mengavaulasi hasil sterilisasi.

b) Aktivitas fungsional Pelayanan Central Sterile Supply Departement (CSSD)

Alur aktivitas fungsional unit kegiatan CSSD secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:


(50)

34

(1) Pembilasan: pembilasan alat-alat yang telah digunakan tidak dilakukan di ruang perawatan melainkan di ruang khusus yaitu di unit CSSD.

(2) Pembersihan: semua peralatan pakai ulang harus dibersihkan secara baik dan benar sebelum dilakukan proses sterilisasi dan desinfeksi.

(3) Pengeringan: proses pengeringan alat/bahan harus dilakukan sampai kering.

(4) Inspeksi dan pengemasan: setiap alat bongkar pasang harus diperiksa kelengkapannya, sementara untuk bahan linen harus diperiksa densitas maksimumnya.

(5) Memberi label: setiap kemasan harus mempunyai label untuk menjelaskan isi kemasan, cara sterilisasi, tanggal sterilisasi dan tanggal kadaluarsa proses sterilisasi.

(6) Pembuatan: membuat dan mempersiapkan kapas serta kasa balut yang kemudian akan disterilkan.

(7) Sterilisasi: proses sterilisasi sebaiknya diberikan tanggung jawab kepada satu orang staf yang sudah terlatih.

(8) Distribusi: dapat dilakukan bebagai sistem distribusi sesuai dengan rumah sakitnya.

3) Pelayanan Sanitasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sanitasi diartikan sebagai pemelihara kesehatan. Sanitasi lingkungan adalah upaya


(51)

pengendalian semua faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi perkembangan fisik dan kesehatan manusia. Dalam lingkungan rumah sakit, sanitasi berarti upaya pengawasan berbagai faktor lingkungan fisik, kimia dan biologi yang ada di rumah sakit yang dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap kesehatan petugas, pasien dan pengunjung rumah sakit. Dari pengertian diatas, sanitasi merupakan upaya dan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem pelayanan di rumah sakit. Karena tujuan sanitasi menciptakan lingkungan rumah sakit agar tetap bersih, nyaman dan dapat mencegah terjadinya infeksi silang dan tidak mencemari lingkungan (Depkes, 2002). Pengelolaan kesehatan lingkungan rumah sakit dikelola oleh Pelayanan Sanitasi. Pelayanan sanitasi rumah sakit diselenggarakan dalam kaitan untuk menciptakan kondisi lingkungan rumah sakit yang bersih, nyaman, dan mengutamakan faktor keselamatan sebagai pendukung usaha penyembuhan penderita, mencegah pemaparan terhadap bahaya-bahaya lingkungan rumah sakit termasuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial, dan menghindarkan pencemaran ke lingkungan luar rumah sakit. Program sanitasi di rumah sakit terdiri pembersihan bangunan dan ruangan, makanan dan minuman, air, tempat pencucian umum termasuk tempat pencucian linen, pengendalian serangga dan tikus,


(52)

36

sterilisasi/desinfeksi, perlindungan radiasi, penyuluhan kesehatan lingkungan, pengendalian infeksi nosokomial, dan pengelolaan sampah/limbah (Adisasmito, 2009).

4) Instalasi Pengelolaan Air dan Limbah (IPAL)

IPAL merupakan pelayanan untuk mengolah air buangan yang berasal dari kegiatan yang ada di fasilitas pelayanan kesehatan. Air limbah adalah seluruh air buangan yang berasal dari hasil proses kegiatan sarana pelayanan kesehatan yang meliputi: air limbah domestik (air buangan kamar mandi, dapur, air bekas pencucian pakaian), air limbah klinis (air limbah yang berasal dari kegiatan klinis rumah sakit, misalnya air bekas cucian luka, cucian darah dll), air limbah laboratorium dan lainnya. Pengolahan air bervariasi tergantung pada karakteristik asal air dan kualitas produk yang diharapkan, mulai dari cara paling sederhana, yaitu dengan chlorinasi sampai cara yang lebih rumit (Depkes, 2011).

Limbah rumah sakit cenderung bersifat infeksius dan kimia beracun yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia, memperburuk kelestarian lingkungan hidup apabila tidak dikelola dengan baik. Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat dan cair (Depkes, 2011). Contoh infeksi akibat terpajan limbah infeksius adalah infeksi gastroenteritis dimana media penularnya adalah tinja dan muntahan, infeksi saluran pernafasan melalui sekret yang


(53)

terhirup atau air liur dan lain-lain. Benda tajam tidak hanya dapat menyebabkan luka gores maupun luka tertusuk tetapi juga dapat menginfeksi luka jika benda itu terkontaminasi pathogen. Karena risiko ganda inilah (cedera dan penularan penyakit), benda tajam termasuk dalam kelompok limbah yang sangat berbahaya. Kekhawatiran pokok yang muncul adalah bahwa infeksi yang ditularkan melalui subkutan dapat menyebabkan masuknya agen penyebab panyakit, misalnya infeksi virus pada darah (Pruss, 2005). Karena banyaknya bahaya yang dapat ditimbulkan, maka pengelolaan air limbah harus menyertakan upaya perlindungan dan pemantauan kesehatan dan keselamatan kerja bagi pelaksana IPAL, baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan air limbah secara menyeluruh dan terus menerus (Depkes, 2011). 5) Pelayanan Elektromedik

Elektromedis adalah tenaga yang diberi tugas pada fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan elektromedik untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan khususnya kelayakan siap pakai peralatan elektromedik dengan tingkat keakurasian dan keamanan serta mutu yang standar dengan baik dan benar secara berkala dengan mendayagunakan tenaga elektromedis sebagai tenaga utama melalui pelayanan elektromedik. Peralatan elektromedik merupakan salah satu faktor penunjang yang sangat penting dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan kepada


(54)

38

masyarakat, baik fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan elektromedik, oleh karenanya kondisi maupun fungsi alat elektromedik harus baik dan sesuai standar agar dapat mendukung pelayanan prima. Pelayanan teknik elektromedik mencakup perencanaan, pelaksanaan, wasdal, dan berperan serta dalam pengadaan/penerimaan, evaluasi dan pendayagunaan alat kesehatan serta bimbingan pengoperasian alat kesehatan (Depkes, 2014). Pelayanan elektromedik bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan alat dan memperpanjang umur alat agar peralatan yang ada selalu dalam keadaan baik, siap pakai, dam memberikan keamanan bagi pengguna dalam mendukung operasional rumah sakit. Serta mendeteksi kerusakan alat sedini mungkin dan mencegah terjadinya kontaminasi. Salah satu program pelayanan elektromedik adalah program pencegahan kontaminasi, program ini dilakukan untuk mencegah kontaminasi akibat penggunaan peralatan medik yang mengacu pada program pengendalian infeksi nosokomial yang dilakukan oleh operator pengguna alat diantaranya adalah pembersihan alat-alat yang telah digunakan dan melakukan desinfeksi serta melakukan sterilisasi instrumen setelah digunakan (Apriansyah, 2012).


(55)

c. Alat Pelindung Diri yang Digunakan di Unit Penunjang Non Medis Berdasarkan buku panduan penggunaan alat pelindung diri RS PKU Muhammadiyah Gamping (2015), penggunaan APD di unit penunjang non medis meliputi:

1) Pelayanan Linen dan Loundry

a) Pelindung kepala: topi/tutup kepala

b) Pelindung mata: spectackle google bila menangani cairan kontaminan berbahaya, dan bahan yang terkontaminasi cairan pasien dengan infeksi berbahaya.

c) Pelindung tangan: sarung tangan karet bersih, dapat didobel bila menangani pakaian atau bahan-bahan yang habis dipakai oleh pasien dengan penyakit menular berbahaya.

d) Pelindung badan: apron/celemek, terutama bila sedang mengolah pakaian kotor untuk dicuci.

e) Pelindung kaki: sepatu boot karet, terutama bila sedang mengolah pakaian kotor untuk dicuci.

2) Pelayanan Sanitasi

a) Pelindung kepala: topi/tutup kepala bila ada resiko terpapar cairan tubuh pasien.

b) Pelindung mata: spectackle google bila ada resiko terpapar cairan tubuh pasien.


(56)

40

c) Pelindung mulut: masker bedah, bila menangani ruangan pasien dengan penyakit pernafasan berbahaya menggunakan masker respirator N95.

d) Pelindung tangan: sarung tangan bedah, dapat didobel bila menangani pasien dengan infeksi berbahaya atau sarung tangan rumah tangga saat menangani limbah rumah sakit.

e) Pelindung badan: apron/celemek bila ada resiko tinggi terpapar cairan tubuh pasien.

f) Pelindung kaki: sepatu boot karet bila ada resiko tinggi terpapar cairan tubuh pasien.

3) Pelayanan Central Sterile Supply Departement (CSSD)

a) Pelindung kepala: topi/tutup kepala b) Pelindung mata: Spectackle google

c) Pelindung mulut: masker bedah, bila melakukan penanganan peralatan infeksius menggunakan masker respirator N95

d) Pelindung tangan: sarung tangan rumah tangga saat menangani peralatan kotor.

e) Pelindung badan: apron/ celemek, baju pelindung f) Pelindung kaki: sandal tertutup

4) Instalasi Pengelolaan Air dan Limbah (IPAL)

a) Pelindung kepala: topi/tutup kepala bila ada resiko terpapar cairan tubuh pasien.


(57)

b) Pelindung mata: spectackle google bila ada resiko terpapar cairan tubuh pasien.

c) Pelindung mulut: masker bedah, bila menangani ruangan pasien dengan penyakit pernafasan berbahaya menggunakan masker respirator N95.

d) Pelindung tangan: sarung tangan bedah, dapat didobel bila menangani pasien dengan infeksi berbahaya atau sarung tangan rumah tangga saat menangani limbah rumah sakit.

e) Pelindung badan: apron/celemek bila ada resiko tinggi terpapar cairan tubuh pasien.

f) Pelindung kaki: sepatu boot karet bila ada resiko tinggi terpapar cairan tubuh pasien.

5) Pelayanan Elektromedik

a) Pelindung kepala: topi/tutup kepala b) Pelindung mata: Spectackle google

c) Pelindung mulut: masker bedah, bila melakukan penanganan peralatan infeksius menggunakan masker respirator N95

d) Pelindung tangan: sarung tangan rumah tangga saat menangani peralatan kotor.

e) Pelindung badan: apron/ celemek, baju pelindung f) Pelindung kaki: sandal tertutup


(58)

42

B. Kerangka Teori

Gambar 1. Kerangka Teori Alat Pelindung Diri (APD)

1. Alat pelindung Kepala 2. Alat Pelindung Mata 3. Alat pelindung Mulut 4. Alat pelindung Tangan 5. Alat Pelindung Badan 6. Alat Pelindung Kaki

Pengetahuan tentang APD: 1. Pengertian APD 2. Tujuan APD

3. Macam-macam APD 4. Pemilihan APD 5. Cara menggunakaan

APD

Kepatuhan petugas dalam menggunakan APD Faktor yang mempengaruhi:

1. Pendidikan 2. Sikap 3. Penyuluhan 4. Pengawasan 5. Ketersediaan APD


(59)

C. Kerangka Konsep

Keterangan:

= Variabel diteliti = Variabel tidak diteliti

Gambar 2. Kerangka Konsep D. Hipotesis

1. Ada hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan Alat Pelindung Diri pada petugas penunjang non medis di RS PKU Muhammadiyah Gamping.

2. Semakin tinggi pengetahuan petugas mengenai Alat Pelindung Diri, maka semakin tinggi pula kepatuhan petugas terhadap penggunaan Alat Pelindung Diri pada petugas penunjang non medis di RS PKU Muhammadiyah Gamping.

Variabel Independen Pengetahuan petugas

tentang APD

Variable Dependen Kepatuhan petugas dalam

menggunakan APD

Variabel Penganggu 1. Pendidikan 2. Sikap 3. Penyuluhan 4. Pengawasan 5. Ketersediaan APD


(60)

44

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian non eksperimental atau observasional yang merupakan metode penelitian secara observasional analitik dengan pendekatan cross sectional atau potong lintang untuk menilai hubungan pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan alat pelindung diri. Data diambil dengan membagikan kuesioner dan melakukan observasi pada sejumlah responden.

Penelitian kuantitatif yaitu penelitian yang menekankan pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika (Azwar, 2007). Menurut Subana dan Sudrajat (2005) penelitian kuantitatif dilihat dari segi tujuan, penelitian ini dipakai untuk menguji suatu teori, menyajikan suatu fakta atau mendeskripsikan statistik, dan untuk menunjukkan hubungan antar variabel dan adapula yang sifatnya mengembangkan konsep, mengembangkan pemahaman atau mendiskripsikan banyak hal.

Desain penelitian non eksperimental atau observasional yaitu suatu penelitian yang dilakukan tanpa melakukan intervensi terhadap subjek penelitian. Peneliti hanya melakukan pengamatan terhadap kepatuhan penggunaan alat pelindung diri sesuai dengan indikasi pada responden ketika bertugas dan mancari hubungan kepatuhan dengan faktor yang mempengaruhinya yaitu pengetahuan. Metode penelitian observasional analitik yaitu penelitian observasional yang diarahkan untuk bagaimana


(61)

hubungan pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan APD. Rancangan penelitian ini adalah cross sectional atau potong lintang, dimana variabel independen yaitu pengetahuan dan variabel dependen yaitu kepatuhan penggunaan APD diukur atau dikumpulkan secara simultan (dalam waktu yang bersamaan) (Notoatmodjo, 2010).

B. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh petugas kesehatan yang bekerja di unit penunjang non medis RS PKU Muhammadiyah Gamping yaitu berjumlah 19 petugas yang terdiri dari 11 petugas pelayanan linen dan laundry, 3 petugas pelayanan sanitasi dan IPAL, 3 petugas pelayanan CSSD, dan 2 petugas elektromedik.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling. Sedangkan

sampling adalah proses menyeleksi populasi yang dapat mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2003). Metode sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel keseluruhan (total sampling), sehingga sampel pada penelitian ini adalah seluruh petugas kesehatan yang bekerja di unit penunjang non medis RS PKU Muhammadiyah Gamping yang berjumlah 19 responden.


(62)

46

Kriteria inklusi pada sampel ini yaitu:

a. Semua petugas kesehatan yang bekerja di unit penunjang non medis RS PKU Muhammadiyah Gamping.

b. Semua umur dan semua jenis kelamin. Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu:

a. Petugas yang tidak bersedia menjadi responden. b. Petugas yang cuti atau sakit saat pengambilan data.

c. Responden yang tidak mengikuti proses pengambilan data hingga selesai.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Dalam penelitian ini, lokasi yang digunakan peneliti untuk melakukan penelitian adalah RS PKU Muhammadiyah Gamping. Sedangkan untuk waktu penelitian pada bulan Februari hingga September 2016.

Tabel 2. Time Table Kegiatan

Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Pembuatan

Proposal Membuat Instrumen Penelitian Sidang Proposal Mengurus Perizinan Menggandakan Instrumen Uji Coba Instrumen Uji Validitas dan Reliabilitas Mendapatkan Instrumen Jadi Menyebarkan Instrumen Jadi


(63)

Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Melakukan

Observasi Pengumpulan Hasil

Pengolahan Data Pengetikan Hasil Penelitian

Persiapan Sidang Sidang KTI

D. Variabel Penelitian

Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain (Notoatmodjo, 2010).

1. Variabel bebas (independent variable)

Variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel ini juga dikenal dengan nama variabel bebas artinya bebas dalam memengaruhi variabel lain. Nama lainnya variabel prediktor, risiko dan kausa (Hidayat, 2007). Variabel bebas (independent variable)

pada penelitian ini adalah pengetahuan petugas tentang alat pelindung diri. 2. Variabel terikat (dependent variable)

Variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel ini juga disebut variabel efek, hasil, outcome, atau event

(Hidayat, 2007). Variabel terikat (dependent variable) pada penelitian ini adalah kepatuhan penggunaan alat pelindung diri pada petugas yang bekerja di unit penunjang non medis RS PKU Muhammadiyah Gamping.


(64)

48

3. Variabel Penganggu (confounding variable)

Variabel penganggu pada penelitian ini adalah faktor lain yang dapat mempengaruhi variabel terikat yaitu pendidikan, sikap, penyuluhan, pengawasan, dan ketersedian APD. Variabel ini tidak diteliti dan tidak dikendalikan.

E. Definisi Operasional

Tabel 3. Definisi Operasional Variabel Definisi

Operasional

Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Pengetahuan tentang alat pelindung diri Segala sesuatu yang diketahui petugas tentang pengertian, macam, kegunaan, dan dampak negatif bila tidak menggunakan APD Mengukur pengetahuan dengan menggunakan lembar kuesioner yang terdiri dari 15 soal pilihan ganda dan terdapat 1 jawaban benar Responden diminta untuk menjawab soal yang ada pada lembar kuesioner Berupa data kuantitatif. Pengetahua n kategori Baik (≥75%), kategori Cukup (56-74%), dan ketegori Kurang (≤55%) (Budiman & Riyanto, 2013) Ordinal Kepatuhan penggunaan alat pelindung diri Petugas penunjang non medis dalam menggunakan APD sesuai dengan indikasi dan SOP ketika sedang bertugas Mengukur kepatuhan dengan menggunakan ceklis observasi seperti tertera pada lampiran, observasi dilakukan sebanyak satu kali. Peneliti mengamati berbagai macam, cara dan lamanya APD yang digunakan petugas penunjang non medis saat bertugas Berupa data kuantitatif. Kriteria Patuh (≥75%) dan Tidak Patuh (˂75%) (Faiza, 2015) Ordinal


(1)

Pembahasan

Pengetahuan petugas penunjang non medis tentang penggunaan alat pelindung diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan penggunaan alat pelindung diri untuk mencengah terjadinya infeksi nosokomial. Pengetahuan dibutuhkan sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang benar, sehingga petugas dituntut untuk mempunyai pengetahuan yang baik untuk dapat menggunakan alat pelindung diri dengan sempurna sesuai dengan indikasinya. Hasil penelitian yang dilakukan pada 19 responden menunjukkan bahwa rata-rata responden memiliki pengentahuan baik terhadap penggunaan APD yaitu sebesar 84,2%. Seorang individu dikatakan memiliki tingkat pengetahuan baik jika mampu menjawab dengan benar diatas 75%.6 Pengetahuan responden pada penelitian ini tergolong baik karena banyak petugas yang sudah mengetahui tentang beberapa informasi dari pertanyaan yang diajukan seperti pengertian, fungsi, manfaat serta jenis-jenis dari APD serta akibat tidak menggunakan APD saat bekerja. Pengetahuan pada tahap aplikasi akan menerapkan materi yang telah dipelajari dalam situasi atau kondisi yang riil.7 Aplikasi (aplication) diartikan sebagai kemampuan petugas untuk menggunakan alat pelindung diri yang telah dipelajari pada kondisi dan situasi yang sebenarnya di unit penunjang non medis. Hal tersebut sesuai dengan hasil pada penelitian ini yaitu sebagian besar petugas penunjang non medis patuh dalam menggunakan alat pelindung diri (78,9%). Dari hasil analisis penelitian diketahui yaitu petugas penunjang non medis yang mempunyai pengetahuan baik, sebagaian besar patuh dalam menggunakan APD saat betugas sebanyak 15 petugas (78,9%).


(2)

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahuai hubungan pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan APD pada petugas penunjang non medis di RS PKU Muhammadiyah Gamping pada penelitian ini menggunakan uji Fisher’s Exact Test. Hasil analisis dengan uji tersebut menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan alat pelindung diri pada petugas penunjang non medis di RS PKU Muhammadiyah Gamping (P = 0,004; α = 0,05). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sri Mala (2014) yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan APD. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia yaitu indera pengelihatan, pendengaran, penciumanan, rasa, raba dan telindungan. Domain tahu dalam penelitian ini mengetahui prinsip-prinsip alat pelindung diri dan dimana bukan hanya tahu tetapi mampu menerapkannya dalam praktik penggunaannya saat bertugas.8 Petugas penunjang non medis yang mengetahui pentingnya penggunaan alat pelindung diri akan cenderung menggunakan alat pelindung diri saat bertugas, sehingga akan dapat mengurangi risiko terjadinya infeksi nosokomial.

Berdasarkan hasil analisis korelasi Spearman antara variabel tingkat pengetahuan petugas tentang alat pelindung diri dengan kepatuhan penggunaan alat pelindung diri menghasilkan nilai p= 0,003. Secara teori memang disebutkan bahwa semakin tinggi pengetahuan responden tentang alat pelindung diri diharapkan semakin tinggi pula kepatuhan dalam menggunakan alat pelindung diri tersebut. Pada penelitian ini menunjukkan hal yang serupa, tingginya pengetahuan responden


(3)

tentang APD berhubungan dengan tingginya kepatuhan penggunaan APD atau semakin tinggi pengetahuan semaki tinggi pula kepatuhan penggunaan alat pelidung diri dan keeratan hubungan tersebut kuat. Kepatuhan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pengalaman petugas itu sendiri mengenai kejadian infeksi nosokomial, tingkat pendidikan, dan fasilitas seperti ketersediaan alat pelindug diri itu sendiri serta adanya standar operating prosedur (SOP).7 Kepatuhan petugas dalam menggunakan alat pelindung diri membutuhkan adanya pemahaman yang benar tentang cara dan langkah-langkah dalam menggunakan alat pelindung diri. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan pengetahuan merupakan faktor yang mempengaruhi kepatuhan seseorang.9

Suatu tindakan yang dilakukan berdasarkan oleh ilmu pengetahuan akan lebih bertahan lama, dibandingkan dengan tindakan yang tidak didasari oleh pengetahuan. Selain itu faktor yang menyebabkan pengetahuan berhubungan dengan kepatuhan penggunaan APD adalah pengetahuan dapat meningkatkan informasi petugas tentang APD sehingga petugas lebih tertarik untuk menggunakan APD dikarenakan telah memahami fungsi APD bagi dirinya. Pengetahuan juga berpengaruh terhadap perilaku manusia, semakin baik pengetahuan akan semakin baik juga perilakunya serta adanya pengalaman. Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, di mana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut mudah menyerap informasi yang diperoleh serta akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah


(4)

mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan non formal saja.10 Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Putra (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan terhadap prilaku penggunaan alat pelindung diri pada mahasiswa praktek profesi tahun 2011 – 2012. Hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa tingginya pengetahuan responden mengenai APD tidak sejalan dengan perilaku penggunaan APD.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan alat pelindung diri pada petugas penunjang non medis di RS PKU Muhammadiyah Gamping (P= 0,004; α= 0,05).

2. Semakin tinggi pengetahuan semakin tinggi pula kepatuhan penggunaan alat pelindung diri pada petugas penunjang non medis RS PKU Muhammadiyah Gamping (P= 0,003; α= 0,05). Kekuatan hubungan antar kedua variabel adalah kuat (Value = 0,651).


(5)

Saran

Dari penelitian ini disarankan melakukan penelitian lebih lanjut dengan variabel lain yang berhubungan dengan kepatuhan penggunaan APD untuk mencegah terjadinya infeksi nosocomial pada petugas penunjang non medis seperti tingkat pendidikan, jenis kelamin, masa kerja, ataupun usia. Peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan observasi lebih dari satu kali sebaiknya minimal 3 kali.

Daftar Pusaka

1. Wichaksana, A. (2002). Penyakit Akibat Kerja di Rumah Sakit dan Pencegahannya. Dunia Kedokteran No. 136.

2. WHO. (2011). Report on the Burden of Endemic Health Care-Associated

Infection Worldwide.

http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/80135/1/9789241501507_eng.pdf. diakses 7 Februari 2016.

3. International Federation of Infection Control. (2011). IFIC Basic Concepts of Infection Control. (2nd ed). Ireland: IFIC.

4. Liswanti, dkk. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kepatuhan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Serta Kaitannya Terhadap Status Kesehatan pada Petugas Pengumpul Sampah Rumah Tangga di Kota Tasikmalaya Tahun 2014. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada Volume 13 Nomor 1 Februari 2015.

5. Candra dan Ruhyadi. (2008). Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Kepatuhan Penggunaan APD pada Karyawan Bagian Press Shop di PT. Almasindo II Kabupaten Bandung Barat. Jurnal Kesehatan Kartika Stikes Ahmad Yani.

6. Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

7. Purnomo, dkk. (2012). Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Universal Precaution dengan Pelaksanaan Universal Precaution di Instalasi Rawat Inap RSUD Majenang. Skripsi, Universitas Respati Yogyakarta, Yogyakarta.


(6)

8. Rohman dan Yuantari. (2015). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kepatuhan Pemakaian APD pada Karyawan di Pt. Barutama Unit Paper Mill 5/6/9 Kudus 2015. Karya Tulis Ilmiah strata satu, Universitas Dian Nuswantoro, Semarang.

9. Niven. (2002). Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional Kesehatan Lain. Alih Bahasa Agung Waluyo; Editor: Monica Ester. (2nd ed). Jakarta : EGC.

10. Nurcahyanti. (2015). Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Bidan dalam Penggunaan APD dalam Melakukan APN di Puskesmas Sumbang Kabupaten Banyumas Tahun 2014. Program Studi DIV Kebidanan Stikes Ngudi Waluyo Ungaran, Semarang


Dokumen yang terkait

Gambaran Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Terhadap Pemakaian Alat Pelindung Diri Dalam Penanganan Sampah Medis Pada Petugas Cleaning Service di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015

40 525 116

Gambaran Faktor-Faktor Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Pekerja di Departemen Metalforming PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2014

1 12 100

HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN KEPATUHAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PADA PETUGAS PENUNJANG MEDIS DI RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING

2 10 10

HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN KEPATUHAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PADA PERAWAT UNIT HEMODIALISIS RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING

16 128 128

HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN KEPATUHAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PADA PETUGAS PENUNJANG MEDIS DI RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING

4 15 105

KETEPATAN DAN KEPATUHAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PERAWAT DI BANGSAL AR-ROYAN RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING

19 161 109

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PADA HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PADA PEKERJA DI UNIT KERJA PRODUKSI PENGECORAN LOGAM.

0 4 15

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PADA HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PADA PEKERJA DI UNIT KERJA PRODUKSI PENGECORAN LOGAM.

1 5 16

Implementasi penggunaan alat pelindung diri (apd) di central sterile supply departement (cssd) rs pku Muhammadiyah Surakarta COVER

1 1 11

Alat pelindung diri

0 0 1