Periode Nabi 610-632 M Periode Sahabat 632-662

huruf wawu و pada surat al-Maidah di atas menunjukkan urutan, di samping konirmasi kebenarannya juga ditemukan dalam praktek wudhu yang dilakukan Rasulullah. Ketika terjadi perbedaan antar ulama ikih, apakah niat itu dilafalkan ataukah cukup dalam hati, maka perbedaan pemahaman ini masih bisa ditolerir, artinya tidak sampai menghilangkan keabsahan wudhu yang dilakukan seseorang, dan masih bisa dikategorikan memiliki dasar berpijak dari al-Qur’an maupun sunnah Nabi sebagai syari’at. Perbedaan inilah yang disebut perbedaan iqhiyyah. Sedangkan contoh pendapat yang keluar dan tidak bisa disebut sebagai ikih pemahaman yang mendalam atas al-Qur’an dan sunnah Nabi, adalah ketika orang berwudhu tanpa niat, kemudian hanya membasuh kaki saja. Perbuatan seperti ini tidak disebut ikih, dan tidak sah disebut sebagai wudhu. Demikian gambaran sekilas persinggungan ikih dengan syari’at, dan ikih dengan yang bukan ikih.

D. Sejarah Perkembangan Fikih

Secara historis, perkembangan hukum Islamikih dibagi ke dalam lima periode, yaitu: periode Nabi, periode Sahabat, periode ijtihad serta kemajuan, periode taklid serta kemunduran, dan periode kebangkitan kembali.

1. Periode Nabi 610-632 M

Pada masa ini Nabi Muhammad Saw. menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat berdasarkan wahyu yang turun secara berangsur-angsur. Sedangkan terhadap masalah yang cara penyelesaiannya belum disebut oleh wahyu yang sudah turun, Nabi melakukan ijtihad putusan yang didasarkan pada pemikiran yang mendalam. Ketika ijtihad Nabi Saw tentang hukum ini benar, biasanya tidak diikuti oleh turunnya ayat al-Qur’an untuk memperbaikinya. Dan sebaliknya, ketika putusan Nabi Saw. tersebut “tidak benar”, Allah menurunkan ayat al-Qur’an untuk menjelaskan hukum yang sebenarnya. Inilah yang dimaksud Nabi Muhammad Saw. disebut terjaga dari kesalahan maṣūm. Pada periode ini seluruh persoalan dikembalikan kepada Nabi Muhammad Saw, untuk diputuskan, sehingga Nabilah yang menjadi satu-satunya sumber ikih hukum. Pada posisi seperti ini, Prof. Harun Nasution menyebut bahwa secara langsung pembuat hukum adalah Nabi, tetapi secara tidak langsung Allahlah pembuat hukumnya, karena hukum yang dikeluarkan Nabi tersebut bersumber pada wahyu Allah. Peran Nabi dalam masalah hukum ini seakan hanya bertugas untuk menyampaikan dan melaksanakan hukum yang ditentukan oleh Allah. Selanjutnya apa yang diterimanya dari Allah ini terhimpun dalam al-Qur’an dan sunnah yang bisa dijadikan sumber hukum untuk generasi sesudahnya.

2. Periode Sahabat 632-662

Meluasnya wilayah Islam pada periode ini, mau tidak mau umat Islam bersentuhan dengan wilayah di luar semenanjung Arabia yang telah mempunyai peradaban tinggi dan susunan masyarakat yang tidak sederhana lagi. Kompleksitas yang semakin tinggi ini juga memaksa munculnya persoalan baru yang menuntut ditentukan hukum ikihnya. 8 B u k u S i s w a K e l a s X 8 Di unduh dari : Bukupaket.com Menghadapi kompleksitas masalah baru ini biasanya para sahabat merujuk pada al-Qur’an dan sunnah Nabi. Dalam hal kembali pada al-Qur’an, bagi para sahabat tidak terlalu menjadi masalah karena al-Qur’an sudah mereka hafal dan sudah dibukukan pada masa Abu Bakar, dan semakin tersempurnakan pada masa Utsman bin Affan. Berbeda halnya dengan al-Qur’an, masalah sunnah Nabi, yang belum dihafal dan dibukukan menjadi masalah baru, dimana mereka yang tidak bertanggung jawab membuat-buat perkataan yang dinisbahkan kepada Nabi, yang dikemudian dikenal sebagai hadis palsu. Kompleksitas masalah muncul dan terbatasnya ayat-ayat al-Qur’an tentang hukum yang tidak mencakup seluruh masalah yang muncul untuk ditentukan hukumnya, ditambah dengan hadis palsu, memaksa Khalifah dan para Sahabat untuk melakukan ijtihad. Karena turunnya wahyu sudah terhenti pada masa ini, maka tidak ada lagi sumber yang bisa digunakan untuk mengkonirmasi benar tidaknya sebuah ijtihad. Untuk mengatasi masalah ini para sahabat tidak memutuskan masalah secara sendiri-sendiri, melainkan memutuskannya secara bersama-sama secara bulat, yang lebih dikenal sebagai ijmā’ sahabat. Namun ijmā’ ini hanya mudah dilakukan pada masa Abu Bakar, tidak pada masa Umar dan seterusnya karena para Sahabat sudah tersebar ke daerah-daerah yang jatuh di bawah kekuasaan Islam, seperti Mesir, Suria, Irak dan Persia. Oleh karena itu pada masa ini memunculkan apa yang diputuskan hukumnya dengan ijtihād pada persoalan- persoalan yang tidak dijumpai secara langsung dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan ijma’ sahabat dan sunnah sahabat. Singkatnya, bagi generasi berikutnya sumber hukum ditambah sunnah sahabat, mendampingi al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

3. Periode Ijtihad dan Kemajuan 700-1000 M.