Faktor Faktor Yang Memengaruhi Ekspor Produk Pertanian Indonesia Ke Negara Kurang Berkembang

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI EKSPOR
PRODUK PERTANIAN INDONESIA
KE NEGARA KURANG BERKEMBANG

QIKI QILANG SYACHBUDY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Ekspor Produk Pertanian Indonesia ke Negara Kurang Berkembang
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017

Qiki Qilang Syachbudy
NIM H453140141

RINGKASAN
QIKI QILANG SYACHBUDY. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Produk
Pertanian Indonesia ke Negara Kurang Berkembang. Dibimbing oleh
MUHAMMAD FIRDAUS dan HENY K. DARYANTO.
Penelitian ini bertujuan menganalisis potensi pasar ekspor baru bagi produkproduk pertanian Indonesia dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi
permintaan ekspor produk-produk pertanian ke negara kurang berkembang.
Metode penelitian menggunakan Export Product Dynamic (EPD) dan Model
Gravitasi (Gravity Model). Fokus penelitian pada ekspor pertanian Indonesia ke
36 negara yang memiliki GDP kurang dari US$ 3.500. Komoditas yang diteliti
adalah teh, kelapa sawit, kelapa, dan gula dan turunannya, yang ditentukan
berdasarkan hasil analisis seluruh ekspor produk pertanian Indonesia ke 36 negara
tujuan selama periode 2005-2014.
Hasil studi melalui Export Product Dynamic (EPD) menemukan bahwa
Indonesia memiliki hubungan dalam perdagangan komoditas teh ke negara

Cambodia (Falling Stars), Kenya (Retreat), dan Pakistan (Lost Opportunity).
Komoditas kelapa sawit memiliki nilai EPD Falling Stars ke negara Bangladesh
dan nilai Rising Stars ke negara Togo, Sierra Leone, Guinea, Benin, Mozambique,
Tanzania, Nigeria, Yemen, Cameroon, Senegal, Pakistan, dan Ghana. Indonesia
juga memiliki hubungan dagang di komoditas kelapa dengan nilai EPD Rising
Stars ke negara Bangladesh, Tanzania, dan Pakistan. Komoditas gula dan
turunannya memiliki hubungan dagang dengan nilai EPD Rising Stars ke negara
Madagascar, Kenya, dan Yemen; nilai EPD Falling Stars ke negara Cambodia,
Bangladesh, dan Ghana; dan nilai EPD Lost Opportunity ke negara Pakistan.
Faktor-faktor yang memengaruhi permintaan impor pada komoditas teh
adalah Produk Domestik Bruto negara importir dan Jarak Ekonomi; pada
komoditas kelapa sawit adalah Harga Dunia, Produk Domestik Bruto negara
importir, dan Jarak Ekonomi; pada komoditas kelapa adalah Harga Dunia dan
Jarak Ekonomi; dan pada komoditas gula dan turunannya adalah Harga Dunia dan
Jarak Ekonomi. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa potensi
pasar ekspor baru bagi produk-produk pertanian Indonesia pada konteks
Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation) memiliki peluang yang
baik di masa depan. Dalam hal ini diperlukan sikap kebijakan domestik Indonesia
untuk melakukan inovasi dan menawarkan harga yang lebih kompetitif.


Kata kunci: Export Product Dynamic, Kerjasama Selatan-Selatan, Model
Gravitasi, produk-produk pertanian

SUMMARY
QIKI QILANG SYACHBUDY. Factors that Influence the Agricultural Products
Export of Indonesia to Underdevelopment Countries. Supervised by
MUHAMMAD FIRDAUS and HENY K. DARYANTO.
This study aims to analyze the potential of new export markets for
agricultural products of Indonesia and analyzes the factors that affect the demand
exports of agricultural products to underdevelopment countries. The research
method used the Export Product Dynamics and Gravity Model. The focus of
research on Indonesia’s agricultural exports to the 36 countries which have GDP
of less than US $ 3,500. Commodities that studied were tea, oil palm, coconut,
and sugar and its derivatives. The commodities were determined based on the
results of the analysis the entire Indonesia’s agricultural products exports to the 36
destinations during 2005-2014 period.
The study by Export Product Dynamics (EPD) found that Indonesia has a
relationship in trading of tea into Cambodia (Falling Stars), Kenya (Retreat), and
Pakistan (Lost Opportunity). Palm oil has a value Falling Stars to Bangladesh and
Rising Stars to Togo, Sierra Leone, Guinea, Benin, Mozambique, Tanzania,

Nigeria, Yemen, Cameroon, Senegal, Pakistan, and Ghana. Indonesia also had
trade relations in coconut with a value Rising Stars to Bangladesh, Tanzania, and
Pakistan. Sugar and its derivatives has trade relations with a values Rising Stars to
Madagascar, Kenya, and Yemen; Falling Stars to Cambodia, Bangladesh, and
Ghana; and Lost Opportunities to Pakistan.
Factors that affect the imported demand to the tea commodity are Gross
Domestic Product and Distance Economy; the oil palm are World Price, Importers’
Gross Domestic Product and Distance Economy; the coconut are World Price and
Distance World Economy; and the sugar and its derivatives are World Price and
Distance World Economy. In general, it can be said that the potential of the new
export markets of agricultural products Indonesia in the South-South Cooperation
has good chances in the future. In this case, the necessary things that have to do
by Indonesia is about making innovation and offering the competitive prices.

Keywords: agricultural products, Export Product Dynamic, Gravity Model, SouthSouth Cooperation

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI EKSPOR
PRODUK PERTANIAN INDONESIA
KE NEGARA KURANG BERKEMBANG

QIKI QILANG SYACHBUDY

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2017

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc

Judul Tesis : Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Produk Pertanian
Indonesia ke Negara Kurang Berkembang
Nama
: Qiki Qilang Syachbudy
NIM
: H453140141

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi
Ketua

Dr Ir Heny K. Daryanto, MEc
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian: 17 Oktober 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2015 ini ialah

tentang Kerjasama Selatan-Selatan, dengan judul Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Ekspor Produk Pertanian Indonesia ke Negara Kurang
Berkembang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Muhammad Firdaus,
SP MSi dan Ibu Dr Ir Heny K. Daryanto, MEc selaku pembimbing. Penulis
sampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Bapak Drs Oyon Sofyan dan
Dra Ibu Enna Tjintasih selaku orang tua angkat penulis di Bogor, yang sudah
memberikan bantuan moral dan material yang tidak ternilai harganya selama
penulis menempuh pendidikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Mbak Dian S. Panjaitan, SE MSi yang telah membantu selama pengolahan dan
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibunda Oom
Siti Romlah, kedua ayahanda, Salam dan Ade Syachbudy (Alm.), juga kepada
Ibunda Ummy Yuyun Ainul Hayah dan kedua Ayahanda Drs KH N. Abdullah
Dunun dan Sohib (Alm.). Tidak lupa juga penulis smpaikan terima kasih kepada
adinda Yaya Hidayat, Muhammad Zakiyal Mubarok, Elis Fauzi Nur Hasanah,
Muhammad Nauval, dan Alisya Fauzi Labibah serta seluruh keluarga, atas segala
doa dan kasih sayangnya. Ucapan terima kasih paling spesial penulis sampaikan
kepada istriku tercinta, Meta Malihatul Maslahat, MA, terima kasih sudah berani
hidup dengan laki-laki yang saat ini kadang masih makan hanya dengan kecap
atau kerupuk.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2017
Qiki Qilang Syachbudy

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

vi
vi
vii
1
1

5
6
6
7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Penelitian Terdahulu
Hipotesis
Kerangka Pemikiran

7
7
14
20
21

3 METODE
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data

Pengujian Model
Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel
Kriteria Ekonometrika
Kriteria Statistik
Kriteria Ekonomi

23
23
24
26
29
30
33
33

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Potensi Pasar Ekspor Baru Bagi Produk-Produk Pertanian
Indonesia
Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Produk-Produk
Pertanian Indonesia di Negara Kurang Berkembang

34

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

62
62
62
63
67
79

34
50

DAFTAR TABEL
1 Data hipotesis cost comperative
2 Data perhitungan cost comperative (labor efficiency)
3 Matriks posisi daya saing
4 Jenis dan sumber data penelitian
5 Kode komoditi produk ekspor pertanian Indonesia dalam
Harmonized System (HS)
6 Hasil nilai EPD komoditas teh Indonesia periode 2005-2014
7 Hasil nilai EPD komoditas kelapa sawit Indonesia periode 20052014
8 Hasil nilai EPD komoditas kelapa Indonesia periode 2005-2014
9 Hasil nilai EPD komoditas gula Indonesia dan turunannya periode
2005-2014
10 Hasil penelitian EPD empat komoditas pertanian utama Indonesia
terhadap 16 negara tujuan
11 Daftar komoditas pertanian yang diimpor Indonesia dari negara
tujuan ekspor produk pertanian Indonesia antara tahun 2012-2014
12 Hasil estimasi gravity model dengan pendekatan data panel
komoditas teh Indonesia ke negara tujuan periode 2005-2014
13 Hasil estimasi gravity model dengan pendekatan data panel
komoditas kelapa sawit Indonesia ke negara tujuan periode 20052014
14 Hasil estimasi gravity model dengan pendekatan data panel
komoditas kelapa Indonesia ke negara tujuan periode 2005-2014
15 Hasil estimasi gravity model dengan pendekatan data panel
komoditas gula Indonesia dan turunannya ke negara tujuan periode
2005-2014
16 Hasil penelitian gravity model empat komoditi pertanian utama
Indonesia terhadap 16 negara tujuan

9
9
13
23
23
35
39
42
44
48
49
51

54
56

58
59

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Ekspor komoditas teh Indonesia tahun 2005-2014
Ekspor komoditas kelapa sawit Indonesia tahun 2005-2014
Ekspor komoditas kelapa Indonesia tahun 2005-2014
Ekspor komoditas gula (dan turunannya) Indonesia tahun 2005-2014
Ekspor komoditas teh, kelapa, kelapa sawit, dan gula (dan
turunannya) Indonesia tahun 2005-2014
6 Kurva kemungkinan produksi
7 Model dasar Heckscher-Ohlin
8 Daya tarik pasar dan kekuatan bisnis pada EPD
9 Kerangka pemikiran operasional
10 Lima besar negara pengekspor komoditas teh ke Cambodia tahun
2005-2014
11 Lima besar negara pengekspor komoditas teh ke Kenya tahun 20052014

3
4
4
5
6
10
11
14
22
35
36

12 Lima besar negara pengekspor komoditas teh
2005-2014
13 Negara pengekspor komoditas kelapa sawit ke
tahun 2005-2014
14 Lima besar negara pengekspor komoditas gula
Cambodia tahun 2005-2014
15 Lima besar negara pengekspor komoditas gula
Bangladesh tahun 2005-2014
16 Lima besar negara pengekspor komoditas gula
Pakistan tahun 2005-2014
17 Lima besar negara pengekspor komoditas gula
Ghana tahun 2005-2014

ke Pakistan tahun
37
negara Bangladesh
39
dan turunannya ke
45
dan turunannya ke
45
dan turunannya ke
46
dan turunannya ke
46

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil pengolahan EPD komoditas kelapa sawit tahun 2005-2014
2 Hasil pengolahan EPD komoditas gula dan turunannya tahun 20052014
3 Hasil pengolahan EPD komoditas kelapa tahun 2005-2014
4 Hasil pengolahan EPD komoditas teh tahun 2005-2014
5 Hasil estimasi data panel komoditas kelapa sawit Indonesia tahun
2005-2014
6 Hasil estimasi data panel komoditas gula (dan turunannya) Indonesia
tahun 2005-2014
7 Hasil estimasi data panel komoditas kelapa Indonesia tahun 20052014
8 Hasil estimasi data panel komoditas teh Indonesia tahun 2005-2014

67
71
73
74
75
76
77
78

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerjasama Selatan-Selatan (South South Cooperation) merupakan sebuah
bentuk kerjasama antar negara berkembang dalam membangun solidaritas untuk
saling membantu menyelesaikan permasalahannya masing-masing. Selain itu,
Kerjasama Selatan-Selatan ini berfungsi pula untuk meningkatkan nilai tawar
negara kurang berkembang dalam menghadapi dominasi negara-negara maju.
Dengan adanya persatuan antara negara berkembang maka diharapkan akan
adanya kekuatan penyeimbang dalam menghadapi dominasi negara-negara maju.
Sehingga kemudian akan tercipta keadilan dan terpeliharanya perdamaian dunia.
Setelah selesainya Perang Dunia ke-2, isu penting yang dihadapi adalah
permasalahan kemiskinan dan pengangguran, terutama mengingat banyaknya
negara-negara yang baru merdeka di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Menghadapi hal ini maka dibentuklah Kerjasama Utara-Selatan sebagai bentuk
bantuan pembangunan dari negara-negara maju kepada negara berkembang.
Selanjutnya, berbagai bentuk bantuan pembangunan juga diberikan di antara
sesama negara Selatan, atau dikenal dengan istilah Kerjasama Selatan-Selatan
(CEACos 2010).
Sejarah Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955 di Bandung dapat
dikatakan sebagai cikal bakal dari lahirnya konsep Kerjasama Selatan-Selatan.
Melalui konferensi tersebut telah disepakati tentang perlunya kerjasama ekonomi
dan budaya di antara negara-negara Asia-Afrika melalui penyediaan bantuan
teknis, pertukaran para ahli untuk mendukung proyek-proyek pembangunan, dan
pertukaran keahlian teknologi dengan pendirian lembaga pelatihan dan penelitian
regional. Selanjutnya, Kerjasama Selatan-Selatan ini semakin diperjelas dengan
dibentuknya Gerakan Non Blok pada tahun 1961 dan Group of 77 (G-77) di tahun
1964 (G-77 didirikan oleh 77 negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Latin
dan Karibia pada tanggal 15 Juni 1964 melalui penandatanganan “Joint
Declaration of the Seventy-Seven Countries”).
Semangat Kerjasama Selatan-Selatan yang bermula dari Konferensi AsiaAfrika di Bandung itu kemudian pada tahun 1970-an diadopsi PBB dengan
mendirikan UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development).
UNCTAD tersebut kemudian pada tahun 1978 melahirkan sebuah langkah yang
disebut dengan Buenos Aires Plan of Action (BAPA) on Technical Cooperation
among Developing Countries. BAPA pun menjadi tonggak bagi pelaksanaan
Kerjasama Teknik antar Negara Berkembang (KTNB). Namun demikian, setelah
menyadari bahwa Kerjasama Selatan-Selatan tidak hanya berupa kerjasama teknik,
tapi juga berupa kerjasama ekonomi, maka dibentuklah KENB (Kerjasama
Ekonomi Negara Berkembang). KENB secara khusus dikemukakan pada High
Level Conference on Economic Cooperation among Developing Countries di
Caracas pada tanggal 13-19 Mei 1981. KENB juga kemudian ditegaskan dalam
sidang VI UNCTAD di Beograd, Yugoslavia, Juni 1983 dan Sidang ke VII
UNCTAD di Jenewa, Swiss, pada bulan Juli 1987.
Sejarah Kerjasama Selatan-Selatan yang diawali dari Konferensi AsiaAfrika kemudian berlanjut di 1989. Saat itu peran Indonesia kembali bertambah

2

dengan memprakarsai berdirinya kelompok lima belas negara berkembang
(dikenal sebagai G-15). G-15 didirikan pada pertemuan puncak Gerakan Nonblok
di Beograd, Yugoslavia pada September 1989 dengan tujuan untuk memfasilitasi
perdagangan, transfer teknologi, dan investasi di negara berkembang/anggota
dalam rangka meningkatkan daya tawar negara berkembang dalam organisasiorganisasi internasional seperti WTO dan G-8, atau dengan negara maju. Selain
itu juga untuk mendorong koalisi politis bilateral dan multilateral untuk
memperkuat posisi tawar negara-negara tersebut terhadap dominasi negara Barat
di berbagai bidang. Lebih jauhnya, negara-negara G-15 yang tergolong sebagai
negara dengan ekonomi paling maju di antara negara berkembang diharapkan
dapat menjadi motor penggerak kerjasama dan pembangunan di antara negaranegara Selatan.
Kerjasama Selatan-Selatan kemudian semakin menampakkan keberhasilan
dengan adanya laporan UNCTAD pada tahun 1993 yang menyebutkan bahwa
perdagangan intraregional antar negara berkembang di Amerika Latin mengalami
peningkatan sebesar 75%, Afrika sebanyak 60%, dan Asia mengalami
peningkatan hampir 100%. Peningkatan perdagangan intra-regional ini terus
berlanjut sampai tahun 1990-an. Peningkatan perdagangan ini berdampak pada
nilai perdagangan subregional dan intra-regional yang nilainya mencapai dua
sampai tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan nilai di akhir tahun 1970-an,
seperti misalnya di Amerika Latin mengalami peningkatan dari US$ 17 miliar
menjadi US$ 28 miliar, Afrika mengalami peningkatan dari US$ 2,2 miliar
menjadi US$ 4,3 miliar dan untuk Asia mengalami peningkatan dari US$ 18,2
miliar menjadi US$ 41 miliar.
Indonesia diharapkan untuk memainkan peran yang lebih penting dalam
Kerjasama Selatan-Selatan. Karena menurut Bank Dunia, Indonesia saat ini sudah
menjadi negara berpenghasilan menengah (lower middle income country) dengan
PDB per kapita yang berada di sekitar US$ 1.036 – US$ 4.085. Hal ini dipertegas
oleh data BPS tahun 2014 yang menyebutkan bahwa PDB per kapita Indonesia
telah mencapai US$ 3.531,5. Dengan posisinya sebagai negara lower middle
income, Indonesia dituntut untuk memiliki peran yang lebih besar dalam
pembangunan dunia. Peran Indonesia saat ini tidak lagi hanya menjadi penerima
bantuan, melainkan sudah beranjak menjadi donor untuk negara kurang
berkembang dan menjadi mitra pembangunan negara-negara lain. Dengan
berbagai kemajuan pembangunan yang dimilikinya, Indonesia diharapkan untuk
membagi pengalamannya dengan negara-negara yang tingkat ekonominya masih
rendah.
Sejalan dengan perannya yang semakin meningkat di dunia internasional,
Indonesia juga memiliki kepentingan ekonomi yang sesuai dengan arah
pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025, yang salah satunya adalah
mewujudkan bangsa yang berdaya saing di tingkat global. Meskipun secara
eksplisit tidak disebutkan dalam kerangka Kerjasama Selatan-Selatan, namun
instrumen ini dapat menjadi media dalam pencapaian kepentingan ekonomi
Indonesia dalam mencapai suatu kerjasama yang saling menguntungkan.
Beberapa kepentingan ekonomi Indonesia tersebut antara lain: (1) Strategi
pembangunan perdagangan luar negeri yang menitikberatkan pada upaya
perluasan akses pasar, promosi, dan fasilitasi ekspor nonmigas di kawasan Asia

3

dan Afrika; dan (2) Peningkatan kerjasama dan perundingan bilateral di kawasan
Asia dan Afrika.
Menurut data klasifikasi income Bank Dunia tahun 2013 menyebutkan
bahwa terdapat 36 negara yang memiliki GDP per kapita kurang dari US$ 3.500.
Negara-negara tersebut yaitu: Ghana, Cote d’Ivoire, Pakistan, Senegal, Cameroon,
Syria, Yemen, Nigeria, Sudan, Zambia, Myanmar, Uganda, Benin, Kenya, Nepal,
Ethiopia, Mali, Tajikistan, Bangladesh, Malawi, Rwanda, Cambodia, Guinea,
Tanzania, Burkina Faso, Niger, Togo, Mozambique, Haiti, Congo (Dem. Rep.),
Sierra Leone, Madagascar, Chad, dan Burundi. Melalui konteks Kerjasama
Selatan-Selatan Indonesia memiliki keunggulan komparatif di sektor produk
pertanian untuk dapat memenuhi kebutuhan impor negara-negara tersebut.
Sehingga kemudian dapat meningkatkan potensi pasar ekspor baru bagi produkproduk pertanian Indonesia.
Komoditas teh, kelapa sawit, kelapa, dan gula dan turunannya merupakan
komoditas pertanian penting Indonesia antara tahun 2005-2014 terhadap negara
yang memiliki GDP per kapita kurang dari US$ 3.500. Gambar 1 adalah data
perbandingan perkembangan ekspor komoditas teh ke negara Developing
Countries, High Income Countries dan Low & Middle Income Countries menurut
klasifikasi berdasarkan World Bank.
80000000
60000000
40000000
20000000
0
2005

2006

2007

High-income Country

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

Low & Middle income Country

Developing Country
Sumber: UN Comtrade (2016)

Gambar 1 Ekspor komoditas teh Indonesia tahun 2005-2014
Gambar 1 menunjukkan bahwa ekspor komoditas teh Indonesia antara tahun
2005-2014 lebih banyak ditujukan kepada negara Developing Country dan negara
Low & Middle income Country. Sedangkan untuk tujuan ekspor ke negara Highincome Country masih rendah.
Gambar 1 juga menunjukkan bahwa di akhir tahun 2013 dan tahun 2014
terjadi trend aliran ekspor yang meningkat pada negara High-income Country dan
trend aliran ekspor yang menurun pada negara negara Developing Country dan
negara Low & Middle income Country. Trend menurunya ekspor ini pada negara
Developing Country dan negara Low & Middle income Country dimulai pada
sekitar tahun 2013. Sedangkan trend meningkatnya ekspor pada negara Highincome Country dimulai pada tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa tengah
terjadi pola konsumsi teh dunia antara negara maju dan negara berkembang.
Secara agregat, kondisi perdagangan komoditas teh Indonesia mengalami trend
yang meningkat antara tahun 2005-2014.

4

15000000000
10000000000
5000000000
0
2005

2006

2007

2008

2009

High-income Country

2010

2011

2012

2013

2014

Low & Middle income Country

Developing Country
Sumber: UN Comtrade (2016)

Gambar 2 Ekspor komoditas kelapa sawit Indonesia tahun 2005-2014
Kondisi ekspor komoditas teh hampir sama kondisinya dengan ekspor
kelapa sawit. Seperti yang digambarkan pada Gambar 2, pada kurva menunjukkan
bahwa ekspor komoditas kelapa sawit banyak ditujukan kepada negara
Developing Country dan negara Low & Middle income Country daripada ke
negara High-income Country. Namun di tahun 2013 dan tahun 2014 terjadi trend
yang meningkat diantara ketiga kelompok negara tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa ke depan, permintaan terhadap komoditas kelapa sawit memiliki peluang
untuk terus meningkat.
2000000000
1500000000
1000000000
500000000
0
2005

2006

2007

High-income Country

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

Low & Middle income Country

Developing Country
Sumber: UN Comtrade (2016)

Gambar 3 Ekspor komoditas kelapa Indonesia tahun 2005-2014
Trend yang meningkat di tahun 2013 dan 2014 juga dialami oleh komoditas
kelapa. Pada Gambar 3 terlihat bahwa trend meningkatnya ekspor Indonesia itu
terjadi di semua kelompok negara, yaitu di Developing Country, Low & Middle
income Country, dan High-income Country. Hal ini didorong oleh fakta bahwa
Indonesia merupakan negara penghasil kelapa terbanyak di dunia.
Lain halnya dengan perkembangan ekspor komoditas gula (dan turunannya)
seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4, ekspor komoditas gula (dan
turunannya) Indonesia mengalami trend menurun sejak tahun 2012. Hal ini dapat
dijelaskan oleh fakta bahwa Indonesia masih melakukan impor raw sugar karena
produksi gula dalam negeri masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan
domestik.

5

80000000
60000000
40000000
20000000
0
2005

2006

2007

High-income Country

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

Low & Middle income Country

Developing Country
Sumber: UN Comtrade (2016)

Gambar 4 Ekspor komoditas gula (dan turunannya) Indonesia tahun 2005-2014
Berdasarkan data pada Gambar 1, Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4,
dapat dianalisis bahwa ekspor keempat komoditas dari Indonesia ke berbagai
negara, secara agregat cenderung mengalami trend yang meningkat antara tahun
2005-2014. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti sehingga kemudian dapat
mendorong untuk semakin meningkatkan potensi pasar ekspor baru bagi produkproduk pertanian Indonesia dalam koridor Kerjasama Selatan-Selatan (SouthSouth Cooperation).
Perumusan Masalah
Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation) merupakan sebuah
bentuk kerjasama yang penting dalam menciptakan kekuatan diantara negaranegara sedang berkembang untuk menghadapi dominasi kekuatan negara-negara
maju yang perkembangannya sangat pesat dalam berbagai bidang. Sebagai negara
yang sudah masuk dalam kelompok Lower Middle Income Country, Indonesia
dalam konteks Kerjasama Selatan-Selatan memiliki peran sebagai negara yang
memiliki tanggung jawab lebih dalam membantu negara-negara lain dalam
menyelesaikan permasalahan-permasalahannya. Indonesia sekarang dituntut
bukan hanya lagi harus mampu menyelesaikan permasalahan dalam negerinya
sendiri, namun juga sekaligus mampu berperan lebih terhadap negara-negara lain
dalam politik bebas aktifnya.
Menyikapi tuntutan peran ke luar yang semakin besar, maka Indonesia harus
tetap dapat mengatur keseimbangan sehingga tidak mengganggu stabilitas
keamanan di dalam negeri. Oleh karena itu, salah satu solusi yang saling
menguntungkan adalah dengan cara Indonesia mampu memberikan bantuan ke
negara-negara lain untuk menjalin kerjasama dan kedekatan sekaligus
memperluas pasar ekspor. Hal ini tentunya dapat dilakukan mengingat Indonesia
adalah negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor pertanian. Melalui
sektor pertanian tersebut, Indonesia dapat berperan banyak baik dalam bidang
keunggulan hasil sumberdaya alam maupun dalam bidang pengalamannya dalam
mengelola sumberdaya alamnya tersebut.
Menurut data UN Comtrade, Indonesia memiliki peluang potensi pasar
dalam hal ekspor komoditas pertanian teh, gula dan turunannya, kelapa sawit, dan

6

kelapa ke negara Developing Countries dan Low and Middle Income Countries.
Hal ini dapat dilihat dari trend pada Gambar 5.
20000000000
15000000000
10000000000
5000000000
0
2005

2006

2007

2008

2009

2010

Low & Middle income Country

2011

2012

2013

2014

Developing Country

Sumber: UN Comtrade (2016)

Gambar 5 Ekspor komoditas teh, kelapa, kelapa sawit, dan gula (dan turunannya)
Indonesia tahun 2005-2014
Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa proporsi ekspor komoditas
Indonesia ke Developing Countries dan Middle Income Countries
peluang yang besar. Oleh karena itu, hal ini kemudian menimbulkan
pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana potensi pasar ekspor baru bagi produk-produk
Indonesia ke Negara Kurang Berkembang?
2. Apa faktor-faktor yang memengaruhi ekspor produk-produk
Indonesia ke Negara Kurang Berkembang?

pertanian
memiliki
beberapa
pertanian
pertanian

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis:
1. Potensi pasar ekspor baru bagi produk-produk pertanian Indonesia ke
Negara Kurang Berkembang.
2. Faktor-faktor yang memengaruhi ekspor produk-produk pertanian
Indonesia ke Negara Kurang Berkembang.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengambil
kebijakan dan sumber khazanah keilmuan bagi kalangan akademisi seperti
berikut:
1. Sebagai salah satu sumber literatur ilmiah yang berkaitan dengan
perluasan pasar serta daya saing komoditas pertanian dalam lingkup
Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation).
2. Sumber informasi ilmiah tambahan bagi pemerintah dalam perumusanan
kebijakan, terutama dalam konteks Kerjasama Selatan-Selatan (SouthSouth Cooperation).

7

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah mengenai Kerjasama SelatanSelatan (South-South Cooperation) antara Indonesia dengan 36 negara yang
memiliki GDP kurang dari US$ 3.500. Negara-negara tersebut adalah: Ghana,
Cote d’Ivoire, Pakistan, Senegal, Cameroon, Syria, Yemen, Nigeria, Sudan,
Zambia, Myanmar, Uganda, Benin, Kenya, Nepal, Ethiopia, Mali, Tajikistan,
Bangladesh, Malawi, Rwanda, Cambodia, Guinea, Tanzania, Burkina Faso, Niger,
Togo, Mozambique, Haiti, Congo (Dem. Rep.), Sierra Leone, Madagascar, Chad,
dan Burundi. Penelitian ini melihat tentang potensi ekspor produk pertanian
Indonesia ke negara-negara tersebut. Komoditi yang dilihat adalah seluruh jenis
komoditi pertanian yang diekspor Indonesia ke negara-negara tersebut yang
memiliki keberlanjutan data time series secara lengkap pada periode 2005-2014.
Data-data kemudian dianalisis dengan menggunakan Export Product
Dynamic (EPD) untuk mengetahui potensi pasar ekspor baru produk pertanian
Indonesia dan Gravity Model untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi
ekspor komoditas pertanian Indonesia ke negara-negara tujuan. Gravity Model
kemudian menjelaskan tentang hubungan antara Nilai Ekspor (Export Value)
produk pertanian dengan variable-variabel Harga Dunia (komoditas terkait), GDP
per kapita negara importir, Jarak Ekonomi, dan Nilai Tukar.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Teori-Teori Perdagangan
Konsep perdagangan internasional secara umum dibangun berdasarkan
pemikiran keunggulan komparatif dan daya saing yang berbeda antar negara. Jika
negara-negara di dunia internasional dapat berproduksi dan berdagang dengan
mengacu pada ketentuan nilai keunggulan komparatif dan persaingan, maka
diyakini akan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya yang langka
sehingga dapat mewujudkan tercapainya tingkat kesejahteraan dunia yang lebih
baik.
Merkantilisme dan Teori Keunggulan Absolut
Pemikiran merkantilisme pertama kali ditulis oleh Antonio Serra pada tahun
1613. Selanjutnya paham-paham mazhab ini dikembangkan antara lain oleh Sir
James Stuart, Thomas Mun, Gerald de Malynes, dan Dudley Diggs (Basri 2010).
Pemikiran merkantilisme pada dasarnya menyebutkan bahwa cara sebuah
negara agar sejahtera adalah dengan cara meningkatkan ekspor dan mengurangi
impor. Hasil dari ekspor tersebut kemudian dikonversi kepada emas dan perak.
Semakin banyak emas dan perak yang dipunyai oleh sebuah negara, maka negara
tersebut semakin memiliki power (Salvatore 2012).
Merkantilisme belum mengenal konsep keunggulan komparatif. Namun
demikian, merkantilisme merupakan transisi menuju pemikiran Klasik yang
dimotori oleh Adam Smith, yang dikenal sebagai Teori Keunggulan Absolut.

8

Sebagai kemajuan dari pemikiran merkantilisme, kemudian Adam Smith
mengajukan teori yang dikenal sebagai Teori Keuntungan Absolut (the theory of
absolute adventage) yang menyatakan bahwa keuntungan absolut merupakan
basis perdagangan internasional. Dampak dari pemikiran merkantilisme di masa
lalu adalah dengan meningkatnya peran negara dalam meningkatkan petumbuhan
dan kesejahteraan menjadi sangat dominan dengan tujuan meningkatkan ekspor
dan mengurangi impor.
Teori Keuntungan Absolut berawal dari sebuah pemikiran bahwa jika ada
dua negara yang melakukan interaksi perdagangan, maka kedua negara itu harus
mendapatkan keuntungan. Jika dengan adanya perdagangan internasional itu salah
satu negara tidak diuntungkan maka disebut sebagai kegagalan dalam
perdagangan (Salvatore 2012).
Menurut Salvatore (2012), secara sederhana menyebutkan bahwa untuk
menjelaskan Teori Keuntungan Absolut dapat diibaratkan dengan dua negara A
dan B yang masing-masing memproduksi dua komoditas gandum dan pisang
secara bersamaan. Dalam menghasilkan kedua komoditas tersebut, negara A
melakukan produksi secara efisien dalam memproduksi gandum namun di lain
pihak tidak efisien dalam memproduksi pisang. Sedangkan negara B mengalami
kondisi yang berkebalikan dengan negara A, yaitu efisien dalam memproduksi
komoditas pisang dan tidak efisien dalam memproduksi komoditas gandum.
Berdasarkan kondisi yang terlihat pada kedua negara tersebut, menurut
Salvatore, dapat dianalisis bahwa negara A memiliki keuntungan absolut di
komoditas gandum sedangkan negara B memiliki keuntungan absolut di
komoditas pisang. Oleh karena itu, kemudian negara A sebaiknya melakukan
spesialisasi pada komoditas gandum dan negara B sebaiknya melakukan
spesialisasi pada komoditas pisang. Dengan kondisi seperti ini, maka akan
menjadi sebuah keuntungan di kedua belah pihak jika negara A dan negara B
melakukan interaksi perdagangan. Yaitu kedua negara dapat saling bertukar
komoditas, sehingga baik negara A maupun negara B secara bersama dapat
menikmati gandum dan pisang.
Teori Keunggulan Komparatif
Teori Keunggulan Komparatif dikemukakan oleh David Ricardo pada tahun
1817 dengan judul tulisannya Principles of Political Economy and Taxation.
Teori ini menyatakan bahwa keunggulan komparatif timbul karena adanya
perbedaan teknologi antarnegara. Hal ini menunjukkan bahwa berlangsungnya
perdagangan internasional merupakan akibat dari adanya perbedaan produktivitas
antarnegara (Basri 2010).
Teori keunggulan komparatif ini didasarkan pada nilai kerja atau theory of
labor value. Hal ini sejalan dengan teori cost comparative advantage (labor
efficiency) yang menyebutkan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari
perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor
barang dimana negara tersebut dapat memproduksi relatif lebih efisien serta
mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang/tidak efektif
(Apridar 2012).
Berikut adalah ilustrasi mengenai Teori Keunggulan Komparatif yang
merupakan hipotesis bahwa teori comperative advantage dari David Ricardo
adalah cost competarive advantage.

9

Tabel 1 Data hipotesis cost comperative
Negara
Indonesia
China

Produksi
1 kg gula
3 hari kerja
6 hari kerja

1 m kain
4 hari kerja
5 hari kerja

Berdasarkan Tabel 1, maka jika dilihat dari Teori Keunggulan Absolut
Adam Smith, Indonesia unggul mutlak karena labor cost-nya lebih efisien
dibandingkan dengan China. Baik dalam produksi 1 kg gula maupun 1 meter kain.
Dengan demikian maka dalam kondisi tersebut tidak akan terjadi perdagangan
diantara kedua negara.
Namun demikian, menurut Teori Keunggulan Komparatif, dalam kondisi
seperti itu masih bisa terjadi interaksi perdagangan yang menguntungkan kedua
negara melalui spesialisasi jika negara-negara tersebut memiliki cost comperative
advantage atau labor effeciency. Berikut akan dijelaskan dengan Tabel 2.
Tabel 2 Data perhitungan cost comperative (labor efficiency)
Perhitungan cost comperative advantage (labor efficiency)
Perbandingan cost
1 kg gula
1 m kain
Indonesia
3/6 HK
4/5 HK
China
China
6/3 HK
5/4 HK
Indonesia
Berdasarkan perbandingan cost comperative advantage atau labor efficiency
Tabel 2, dapat dilihat bahwa tenaga kerja di Indonesia lebih efektif bekerja di
produksi gula (3/6 HK) daripada di produksi kain (4/5 HK). Sementara itu, tenaga
kerja di China lebih efektif bekerja di produksi kain (5/4 HK) daripada di produksi
gula (6/3 HK). Oleh karena itu menurut Ricardo, kondisi tersebut akan mendorong
Indonesia melakukan spesialisasi produksi dan ekspor gula. Sementara itu,
kondisi ini juga akan mendorong China dalam melakukan spesialisasi produksi
dan ekspor kain. Sehingga mereka saling diuntungkan.
Comparative Advantage Hechsher dan Ohlin
Teori Keuntungan Komparatif Hechsher dan Ohlin (H-O) mulai
diperkenalkan oleh Eli Hechsher, seorang ilmuwan Swedia, pada tahun 1919
dalam sebuah tulisannya yang berjudul the effect of foreign trade on the
distribution of income. Setelah itu, pada tahun 1933, seorang ilmuwan Swedia
juga yang merupakan murid dari Eli Hechsher memperkuat teori gurunya itu
dengan tulisan yang berjudul interregional and international trade (Salvatore
2012).
Teori H-O dikenal dengan Teori Modern Keuntungan Komparatif. Dengan
mengabaikan perbedaan teknologi, teori H-O menekankan bahwa keuntungan
komparatif ditentukan oleh perbedaan relatif kekayaan faktor produksi (the
relative abundancy of endowments of factor of production) dan penggunaan faktor
tersebut (the abundan factor) secara relatif intensif dalam kegiatan produksi
barang ekspor (Basri 2010).

10

Perbedaan antara teori klasik dengan teori H-O adalah terletak bahwa pada
teori klasik melihat dari sisi supply saja, namun pada teori modern melihat dari
sisi supply dan demand. Oleh karena itu, teori H-O didasari oleh teori Haberler
yang memakai konsep opportunity cost.
Teori klasik menyebutkan bahwa semakin banyak tenaga kerja yang
digunakan, semakin banyak biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk membayar
tenaga kerja, sehingga dapat disebut bahwa ongkos produksi (cost of production)
meningkat. Berbeda dengan teori klasik, Haberler menyatakan bahwa harga
barang di pasar bukan hanya disebabkan pemakaian tenaga kerja, tetapi
merupakan kombinasi pemakaian faktor produksi (tanah, labor, dan capital). Oleh
karena itu Haberler memakai konsep opportunity cost yang dapat digambarkan
dengan kurva production possibility.
Kain
100

Kurva Kemungkinan
Produksi

B2
B1

Mesin
A1 A2

100

Sumber: Apridar (2012)

Gambar 6 Kurva kemungkinan produksi
Berdasarkan Gambar 6, untuk menjelaskan kurva tersebut bahwa apabila
semua input digunakan untuk menghasilkan kain, maka dihasilkan 100 unit kain
dan nol mesin. Sebaliknya, jika semua input digunakan untuk menghasilkan mesin,
maka dihasilkan 100 unit mesin dan nol kain. Jadi, disini menggambarkan bahwa
ada faktor produksi yang harus dikorbankan dari produksi kain dialihkan ke
produksi mesin atau sebaliknya. Inilah yang disebut sebagai opportunity cost atau
ongkos alternatif.
Menurut teori H-O, perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu
negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau
proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment factors) masing-masing
negara. Perbedaan opportunity cost tersebut dapat menimbulkan perdagangan
internasional. Dengan kata lain bahwa dengan adanya konsep opportunity cost ini
akan dapat dijelaskan tentang proses terjadinya saling menyeimbangkan antar
sumberdaya di dunia.
Negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak/murah dalam
memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi untuk keperluan ekspor.
Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara
tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka/mahal dalam
memproduksinya (Apridar 2012).

11

Sumber: Salvatore (2012)

Gambar 7 Model dasar Heckscher-Ohlin
Kurva pada Gambar 7 menggambarkan bahwa antar negara 1 dan negara 2
masing-masing memiliki sumberdaya yang berbeda. Sumberdaya tersebut
ditunjukkan oleh garis anggaran. Kurva di sebelah kiri menggambarkan bahwa
negara 1 dan negara 2 masing-masing belum melakukan spesialisasi terhadap
produk yang mereka hasilkan sehingga output yang dihasilkan (yang ditunjukkan
oleh kurva isoquant) masih belum maksimal.
Sementara itu di kurva sebelah kanan, masing-masing negara sudah
melakukan spesialisasi sehingga output meningkat di E=E’. Dengan
meningkatnya output di E=E’, hal ini kemudian akan mendorong meningkatnya
ketersediaan suatu komoditas di pasar internasional. Kondisi seperti ini tentu akan
menguntungkan kedua negara karena mereka kemudian dapat berinteraksi dalam
memenuhi kebutuhannya masing-masing.
Dengan demikian, teori Heckscher-Ohlin sangat berhubungan dengan
konsep titik singgung antar isocost dan isoquant. Masing-masing negara
cenderung memproduksi barang tertentu dengan kombinasi faktor produksi yang
paling optimal sesuai struktur atau proporsi faktor produksi yang dimilikinya.
Dengan demikian maka akan tercapai efisiensi sumberdaya dalam internal suatu
negara, dan ketersediaan kebutuhan internasional terhadap suatu komoditas yang
cukup.
Model Gravitasi (Gravity Model)
Gravity Model adalah model dengan menggunakan data panel yang paling
banyak digunakan untuk melihat besarnya daya tarik dari suatu potensi yang
berada pada suatu lokasi. Model ini sering digunakan untuk melihat kaitan potensi
suatu lokasi dan besarnya wilayah pengaruh dari potensi tersebut. Selain itu,
model ini juga digunakan untuk menganalisis efek integrasi ekonomi terhadap
perdagangan dan merupakan satu alat analisis yang dapat digunakan untuk
mengestimasi berapa besarnya nilai barang yang keluar dan masuk di suatu
wilayah.
Sebelumnya Model Gravitasi dikenal luas sebagai suatu teori atau
persamaan dalam ilmu fisika. Namun kemudian model ini digunakan sebagai alat
analisis interaksi sosial dan ekonomi. Model Gravitasi ini mulai menjadi perhatian

12

sebagai alat analisis interaksi sosial dan ekonomi setelah adanya hasil penelitian
Carey dan Ravenstein pada abad ke-19. Carey dan Ravenstein melakukan
penelitian tentang asal tempat tinggal migran yang datang dari berbagai kota besar
di Amerika. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jumlah migran yang masuk
ke suatu kota dipengaruhi oleh besarnya jumlah penduduk kota yang didatangi,
besarnya jumlah penduduk tempat asal migran, dan jarak antar kota yang dituju.
Model gravitasi ada dua jenis yaitu model gravitasi dengan pembatas tunggal
(single constrained gravity model) dimana variabel yang menjadi faktor pembatas
yang didistribusikan ditentukan jumlahnya sedangkan daerah tujuan tidak
ditentukan batas daya tampungnya dan model gravitasi dengan pembatas ganda
(double constrained Gravity Model) dimana variabel yang menjadi faktor
pembatas yang didistribusikan dan daerah tujuan ditentukan juga (Tarigan 2012).
Model gravitasi memiliki keunggulan dibanding model perdagangan
internasional lainnya karena menyajikan model yang lebih empiris dibanding
model lainnya yang secara teoritis seperti model Ricardian. Pada model ini,
negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang mereka paling baik
produksi. Tidak seperti model lainnya, rangka kerja model ini memprediksi
dimana negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh dibandingkan
memproduksi bermacam barang komoditas.
Model Ricardian tidak secara langsung memasukan faktor pendukung.
Model gravitasi menyajikan sebuah analisa yang lebih empiris dari pola
perdagangan dibanding model yang lebih teoritis di atas. Model gravitasi, pada
bentuk dasarnya, menerka perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan
interaksi antar negara dalam ukuran ekonominya. Model ini meniru hukum
gravitasi Newton yang juga memperhitungkan jarak dan ukuran fisik diantara dua
benda. Model ini telah terbukti menjadi kuat secara empiris oleh analisa
ekonometri. Faktor lain seperti tingkat pendapatan, hubungan diplomatik, dan
kebijakan perdagangan juga dimasukkan dalam versi lebih besar dari model ini.
Pada Gravity Model, aliran perdagangan bilateral ditentukan oleh tiga
kelompok variabel yaitu (Tarigan 2012):

1.

Variabel-variabel yang mewakili total permintaan potensial negara
pengimpor.

2.
3.

Variabel-variabel indikator total penawaran potensial negara pengekspor.

Variabel-variabel pendukung atau penghambat aliran perdagangan antar
negara pengekspor dan negara pengimpor.
Dalam bentuknya yang paling umum, konsep gravitasi model dirumuskan
sebagai berikut :
Iij = k PiPj .................................................................................................(2.1)
dijb
dimana:
Iij
Pi, Pj
dij
k
b

= Taksiran tingkat interaksi antara wilayah i dengan j
= Besarnya daya tarik wilayah i dan j
= Ukuran jarak antar wilayah i dan j
= Konstanta
= Parameter dugaan

13

Interaksi antara i dan j (Iij) menginterpretasikan nilai dari aliran perdagangan
suatu komoditas dari wilayah i ke wilayah j yang meliputi arus perdagangan
keseluruhan wilayah dalam satu negara tersebut. Di tingkat negara, penerapannya
hingga pada perdagangan antar negara dalam suatu perkumpulan yang pada
umumnya variabel-variabel yang digunakan untuk mengukur daya tarik wilayah
adalah jumlah penduduk (P), Produk Domestik Bruto (PDB), nilai tukar, harga
komoditas yang diperdagangkan dan variabel jarak (dj) yang dapat diukur melalui
pendekatan biaya transportasi.
Export Product Dynamic (EPD)
Export Product Dynamics (EPD) adalah salah satu alat analisis yang
memberikan gambaran mengenai tingkat daya saing kondisi suatu produk
(komoditas) di pasar Internasional terhadap negara lain. Hal yang dilihat melalui
alat analisis ini adalah dari hal performa mengenai kedinamisannya yang
menunjukkan apakah dinamis (pertumbuhannya cepat) atau tidak. Alat analisis ini
digunakan untuk mengukur posisi pasar dari produk suatu negara untuk tujuan
pasar tertentu.
Matriks EPD terdiri dari dua hal, yaitu dari sisi daya tarik pasar dan dari sisi
informasi kekuatan bisnis. Daya tarik pasar dihitung berdasarkan pertumbuhan
dari permintaan sebuah produk untuk tujuan pasar tertentu, sementara itu
informasi kekuatan bisnis diukur berdasarkan pertumbuhan dari perolehan pasar
(market share) sebuah negara pada tujuan pasar tertentu.
Melalui bahasan Export Product Dynamic (EPD), seperti yang terlihat pada
Tabel 3, kombinasi daya tarik pasar dan kekuatan bisnis dibagi menjadi empat
kategori, yaitu: Rising Stars, Lost Opportunity, Falling Stars, dan Retreat. Rising
Stars merupakan posisi pasar ideal yang ditandai dengan berkembang cepatnya
produk-produk (komoditas) dengan diiringi oleh semakin luasnya pangsa pasar
dari produk-produk tersebut.
Sementara itu, Lost Opportunity didefinisikan dengan penurunan pangsa
pasar dimana suatu negara kehilangan kesempatan pangsa ekspor di pasar
internasional karena ketidakmampuannya dalam berproduksi di dalam negeri.
Lain halnya dengan kondisi Falling Stars, walaupun tidak seperti pada kondisi
Lost Opportunity (karena pangsa pasarnya masih meningkat), namun peningkatan
pangsa pasarnya itu bukan terjadi pada produk yang dinamis.
Kondisi Retreat berarti bahwa produk tersebut tidak diinginkan lagi di pasar
internasional, meskipun masih dapat diinginkan kembali jika pergerakannya jauh
dari produk stagnan dan bergerak mendekati peningkatan pada produk dinamis
(Esterhuizen 2006). Kondisi Retreat menunjukkan bahwa pangsa pasar
internasional menurun dan diikuti oleh produksi dalam negeri yang menurun.
Tabel 3 Matriks posisi daya saing
Share of trade product in world
Share of country's export in world trade
Rising (dynamic)

Falling (stagnan)

Rising (competitiveness)

Rising Stars

Falling Stars

Falling (non-competitiveness)

Lost Opportunity

Retreat

Sumber: Esterhuizen (2006)

14

Selain melalui Tabel 3, kondisi keempat situasi tersebut dapat digambarkan
pada Gambar 8. Gambar 8 menerangkan bahwa pada sumbu x menggambarkan
peningkatan pangsa pasar ekspor negara tersebut di perdagangan dunia,
sedangkan sumbu y menggambarkan peningkatan pangsa pasar produk tersebut di
perdagangan dunia.
y

x

Sumber: Esterhuizen (2006)

Gambar 8 Daya tarik pasar dan kekuatan bisnis pada EPD

Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai peluang ekspor produk pertanian Indonesia dalam
konteks Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation) memang belum
banyak yang meneliti. Oleh karena itu, menjadi hal yang baru dari penelitian ini
karena berusaha untuk menganalisis peluang ekspor produk-produk pertanian
Indonesia ke negara-negara yang kondisi perekonomiannya masih rendah.
Meskipun demikian, ada banyak penelitian yang membahas mengenai topik
Kerjasama Selatan-Selatan dan penelitian yang menggunakan pendekatan Gravity
Model. Penelitian-penelitian tersebut akan dipaparkan dalam subbab-subbab
berikut:
Penelitian Mengenai Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation)
Sperlic (2014) melalui penelitian yang berjudul Income Inequality in the
South-South Integration dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dispersi pendapatan mengalami penurunan di

15

antara negara-negara yang saling berinteraksi. Hasil temuannya juga menemukan
bahwa telah terjadi ambivalen antara pertumbuhan dan konvergensi di daerah
integrasi Selatan-Selatan.
Kalirajan (1983) melalui penelitian yang berjudul South-South Cooperation:
Trade Relations between Indonesia and South Asia dengan menggunakan metode
deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan dagang antara
Indonesia dan Asia Selatan telah perlahan dan terus berkembang dari waktu ke
waktu meskipun kuantitasnya masih kecil. Oleh karena itu, hubungan
perdagangan tersebut memiliki prospek di masa depan. Atau dengan kata lain,
bahwa perdagangan Indonesia - Asia Selatan dapat meningkat di masa depan.
Fugazza (2006) melalui penelitian yang berjudul Can South-South Trade
Liberalisation Stimulate North-South Trade? dengan menggunakan model Ethier
(1982) dan model εelitz’s (2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hambatan perdagangan lebih rendah di antara negara kurang berkembang, hal ini
kemudian memberikan efek terhadap menurunkan harga input antara dan akhirnya
memungkinkan eksportir di negara kurang berkembang untuk memenuhi
permintaan di pasar internasional.
Thi (2012) melalui penelitian yang berjudul International Demand
Spillovers in South-South Exports: Application to Sub-Saharan Africa and
Developing Asia dengan menggunakan Gravity Model. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terjadi interaksi positif antara negara-negara Sub-Sahara
Afrika dan negara kurang berkembang di Asia. Hal ini ditunjukkan dengan
elastisitas yang lebih tinggi dari ekspor terhadap akses pasar dalam suatu kasus
tertentu dalam perdagangan Selatan-Selatan.
Penelitian Mengenai Export Product Dynamics (EPD)
Agri (2011) melalui penelitian yang berjudul Posisi Daya Saing
Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Dunia dengan
menggunakan Export Product Dynamics (EPD). Hasil penelitian tersebut
menunjukkan, estimasi EPD terhadap produk hortikultura Indonesia ke negara
tujuan ekspor menunjukan bahwa posisi daya saing hortikultura Indonesia yang
terbaik terjadi ke negara Jepang dan Singapura. Sedangkan secara umum,
komoditi hortikultura Indonesia berada pada posisi terbaik pada posisi rising stars
di beberapa negara tujuan ekspornya.
Andelisa (2011) melalui penelitian yang berjudul Analisis Daya Saing dan
Aliran Ekspor Produk Crude Coconut Oil (CCO) Indonesia dengan menggunakan
Export Product Dynamic (EPD). Hasilnya menunjukkan bahwa produk CCO
memiliki keunggulan kompetitif dengan posisi rising stars di dunia dan mayoritas
negara-negara tujuan ekspor. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil
utama minyak kelapa sawit di dunia, sehingga aliran perdagangan produk CCO
Indonesia dengan mitra dagang hanya terjadi satu aliran (one way trade) saja yang
bersifat inter-industry trade, dimana Indonesia melakukan ekspor dengan nilai
yang besar dan hanya sedikit sekali melakukan impor.
Kanaya (2015) melalui penelitian yang berjudul Daya Saing dan
Permintaan Ekspor Produk Biofarmaka Indonesia di Negara Tujuan Utama
Periode 2003-2012 dengan menggunakan Export Product Dyn