Daya Saing, Hambatan Non-Tarif dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Kayu Lapis Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama

DAYA SAING, HAMBATAN NON-TARIF DAN FAKTORFAKTOR YANG MEMENGARUHI EKSPOR KAYU LAPIS
INDONESIA KE NEGARA TUJUAN EKSPOR

KARTIKA RAHMA SARI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Daya Saing, Hambatan
Non-Tarif dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Kayu Lapis Indonesia
ke Negara Tujuan Ekspor Utama adalah benar karya saya dengan arahan dari
dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 25 April 2014
Kartika Rahma Sari
NIM H14100049

i

ABSTRAK
KARTIKA RAHMA SARI. Daya Saing, Hambatan Non-Tarif dan Faktor-Faktor
yang Memengaruhi Ekspor Kayu Lapis Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor
Utama. Dibimbing oleh WIDYASTUTIK
Kayu lapis merupakan salah satu produk hasil hutan Indonesia yang
potensial. Hal tersebut ditunjukkan dengan produktivitas kayu lapis nasional yang
paling besar diantara produk hasil hutan lainnya. Produktivitas yang tinggi
mendorong peningkatan ekspor. Namun dengan semakin berkurangnya hambatan
tarif, hambatan non-tarif mulai memengaruhi kinerja perdagangan. Oleh karena
itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya saing kayu lapis Indonesia
di negara tujuan pada tahun 2010-2012 menggunakan metode RCA, menganalisis

faktor-faktor yang memengaruhi ekspor kayu lapis pada tahun 2001-2011
menggunakan gravity model, dan menghitung hambatan non-tarif kayu lapis
Indonesia di negara tujuan. Data yang digunakan adalah data sekunder tahunan
yang diperoleh dari UN Comtrade, CEPII, IMF, UNCTAD dan TRAINS. Hasil
perhitungan RCA menunjukkan daya saing kayu lapis Indonesia di negara tujuan
cukup kuat. Hasil estimasi gravity model menunjukkan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap ekspor kayu lapis Indonesia yaitu GDPriil Indonesia dan
negara tujuan, IHK Indonesia dan negara tujuan, jarak ekonomi, nilai tukar dan
krisis keuangan tahun 2010. Hasil perhitungan hambatan non-tarif menunjukkan
negara Uni Eropa seperti Inggris dan Belgia memiliki hambatan non-tarif paling
besar. SVLK untuk legalitas produk kayu diindikasikan sebagai cara untuk
menghadapi hambatan non-tarif yang ada di negara tujuan ekspor.
Kata kunci : Hambatan non-tarif, gravity model, RCA, volume ekspor
ABSTRACT
KARTIKA RAHMA SARI. Competitiveness, Non-Tariff Barriers and The
Affecting Factors of Indonesia Plywood Export to The Main Export Destination
Countries. Supervised by WIDYASTUTIK
Plywood is one of Indonesian potential forest product.This is indicated by
the national productivity of plywood is the greatest among the other forest
products. The high productivity of plywood would increase the export volume.

However, the lower tariff barrier the higher non-tariff barrier in trade. Based on
this fact, the objectives of this research are : to analyze competitiveness of
Indonesian plywood toward destination countries in 2010-2012 using RCA
method, to analyze the factors which affect Indonesia plywood export in 20012011 using gravity model, and to calculate the value of non-tariff barrier of
Indonesian plywood in destination countries. The secondary data which use in
this research are from UN Comtrade, CEPII, IMF, UNCTAD and TRAINS. The
result of RCA calculation shows the strong competitiveness Indonesian plywood.
The gravity model result shows affecting factors of plywood export are real GDP,
CPI, economic distance, exchange rate, and financial global crisis in 2010.
Meanwhile, the result of calculation shows EU countries such as United Kingdom
and Belgium have the largest value of non-tariff barrier. SVLK (Indonesia timber
product legality) is indicated as one solution of Indonesian government to face
non-tariff barrier in export destination countries.
Keywords :export volume, gravity model, non-tariff barriers, RCA
JEL Classification : F02, F12, F13, F14

ii

DAYA SAING, HAMBATAN NON-TARIF DAN FAKTORFAKTOR YANG MEMENGARUHI EKSPOR KAYU LAPIS
INDONESIA KE NEGARA TUJUAN EKSPOR UTAMA


KARTIKA RAHMA SARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

iii

iv

Judul Skripsi : Daya Saing, Hambatan Non-Tarif dan Faktor-Faktor yang

Memengaruhi Ekspor Kayu Lapis Indonesia ke Negara Tujuan
Ekspor Utama
Nama
: Kartika Rahma Sari
NIM
: H14100049

Disetujui oleh

Widyastutik, M.Si
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir.Dedi Budiman Hakim, M.Ec
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

v


PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya
sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul skripsi ini adalah “Daya Saing,
Hambatan Non-Tarif dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Kayu Lapis
Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama” dan merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Widyastutik, M.Si selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan motivasi secara teknis
maupun teoritis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Tanti
Novianti, S.P, M.Si selaku dosen penguji utama dan Ibu Laily Dwi Arsyianti, MA
selaku dosen komisi pendidikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
ayah R. Yebby Daryoso, ibu Titik Rianingsih, adik Bakhtiar Rahmat Darmawan
serta seluruh keluarga, atas doa dan dukungannya.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh dosen dan staf
Departemen Ilmu Ekonomi, keluarga besar Ilmu Ekonomi angkatan 47, keluarga
Jaika 4 Mba Hidayah, Mba Nurul, Friskafianti, Nur Aini, Dhini Nova, teman
berbagi suka dan duka dalam penyusunan skripsi ini Uke Tri Evasari dan Brilia

Wulantika, teman sebimbingan Nadiah, Riana, Raditya, dan Zulfi, sahabat Hipo
Rd. Heni, Putri, Ni Putu, Dian, Laili, Arti, Fazri, Alfin, Amalia, Erlangga, Dwiki
serta kepada teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis
berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2014
Kartika Rahma Sari

vi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN


viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

8

Tujuan Penelitian

11

Manfaat Penelitian


11

Ruang Lingkup Penelitian

12

TINJAUAN PUSTAKA

12

METODE PENELITIAN

23

Jenis dan Sumber Data

23

Analisis Keunggulan Komparatif


23

Spesifikasi Model

24

Perhitungan Hambatan Non-Tarif

26

GAMBARAN UMUM

26

HASIL DAN PEMBAHASAN

32

Perkembangan Daya Saing Ekspor Kayu Lapis di Negara Tujuan Ekspor


32

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Volume Ekspor Kayu Lapis Indonesia

34

Perhitungan Hambatan Non-Tarif di Negara Tujuan Ekspor dan Kaitannya
dengan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu)

37

PENUTUP

43

Kesimpulan

43

Saran

43

DAFTAR PUSTAKA

45

LAMPIRAN

48

RIWAYAT HIDUP

62

vii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Tarif komoditi kayu lapis Indonesia HS 2007 tahun 2012
Jumlah, kapasitas dan produksi industri primer tahun 2011
Data, satuan, simbol dan sumber data
Volume ekspor kayu lapis Indonesia ke negara tujuan ekspor utama
tahun 2001-2011
Gross domestic product berdasarkan harga konstan 2005 tahun 20012011
Consumer price indexIndonesia dan negara tujuan ekspor utama tahun
2001-2011
Nilai tukar rupiah terhadap masing-masing negara tujuan ekspor utama
tahun 2001-2011
Tarif komoditi kayu lapis Indonesia di negara tujuan ekspor utama
tahun 2001-2011
Indeks daya saing kayu lapis Indonesia di negara tujuan ekspor utama
Indonesia periode 2010-2012
Hasil estimasi variabel yang berpengaruh terhadap volume ekspor kayu
lapis Indonesia Periode 2001-2011
Nilai hambatan non-tarif kayu lapis Indonesia di negara tujuan ekspor
utama

7
10
23
27
28
29
30
31
32
34
39

DAFTAR GAMBAR
1 Lima negara tujuan ekspor produk hasil hutan terbesar Indonesia tahun
2008-2012
2 Volume ekspor kayu lapis Indonesia tahun 1992-2012
3 Pertumbuhan ekspor kayu lapis Indonesia tahun 1992-2012
4 Share total nilai ekspor kayu lapis Indonesia terhadap total nilai ekspor
perdagangan Indonesia tahun 2008-2012
5 Sepuluhnegara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia tahun 20012012
6 Dampak keseimbangan parsial akibat pemberlakuan tarif
7 Dampak pemberlakuan kuota impor
8 Kerangka pemikiran

2
3
4
5
6
13
14
22

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Hasil estimasi fixed effect model dengan pembobotan SUR
(Seemingly Unrelated Regressions)
Uji normalitas
Uji multikolinearitas
Uji hausman
Random effect model
Uji chow

48
49
49
49
50
51

viii

7
8
9

Output data model ekspor kayu lapis Indonesia ke sembilan negara tujuan
ekspor utama
53
Output ekspor aktual dan potensial kayu lapis Indonesia ke sembilan negara
tujuan ekspor utama
57
Output RCA (Revealed Comparative Advantage)
61

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan luas hutan tropis terbesar
ketiga setelah Brazil dan Republik Kongo di dunia. Luas hutan tropis Indonesia
diperkirakan mencapai 109 juta hektar. Dengan luasan tersebut, Indonesia
memiliki peringkat pertama di Asia Pasifik dan tak heran apabila Indonesia juga
disebut sebagai salah satu paru-paru dunia dengan banyak keragaman kekayaan
hayati yang dimiliki (World Wild Foundation 2009).
Pada kehidupan sehari-hari, hutan memiliki tiga peran penting. Pertama,
hutan berperan sebagai penghasil barang dan jasa. Barang yang dihasilkan dari
sumberdaya hutan dapat berupa Hasil Hutan Kayu (HHK) dan Hasil Hutan Bukan
Kayu (HHBK). Sedangkan jasa yang dihasilkan dari ekosistem hutan yaitu
sebagai penyedia sumber mata air, pembentukan iklim mikro, penyerapan karbon
(carbon sequestration) dan pemandangan alam yang menarik.
Kedua, sumberdaya hutan berperan sebagai penopang sistem kehidupan
sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Masyarakat lokal yang tinggal dan
menetap disekitar hutan memandang bahwa hutan menjadi sumber mata
pencaharian. Hal tersebut dikarenakan hutan menjadi tempat untuk mencari
nafkah dengan memanfaatkan hasil hutan berupa kayu, rotan, madu dan ikan
sekaligus sebagai sarana peribadatan masyarakat setempat (Colfer et al. 2001
dalam laporan puslitsosek Kementerian Kehutanan 2010).
Ketiga, hutan berperan sebagai sistem penyangga kehidupan. Sebagai
penyangga kehidupan, hutan membentuk dan mempertahankan fungsi-fungsi
ekologis seperti menjaga keberlangsungan rantai makanan dan kehidupan aneka
makhluk hidup flora dan fauna hutan agar tercipta keseimbangan dan
keberlanjutan ekosistem hutan. Adanya ketiga peran sumberdaya hutan tersebut,
hutan dapat berperan sebagai penjaga siklus makanan beragam makhluk hidup,
pengatur tata air dan pencegah banjir, pengendali erosi, pencegah intrusi air laut,
pemelihara kesuburan tanah dan pembentuk kondisi udara yang bersih
(Kementerian Kehutanan 2010).
Pada skala Asia Tenggara, hutan tropis Indonesia memiliki lebih dari 400
spesies dipterocarp atau jenis kayu komersial yang paling berharga. Indonesia
merupakan salah satu negara penghasil kayu tropis, bambu dan mebel rotan
terbesar di dunia (Kementerian Perdagangan 2013). Melihat potensi besar
tersebut, tidak salah apabila pemerintah Indonesia menjadikan produk sektor
kehutanan sebagai salah satu sektor yang mampu menghasilkan komoditi utama
untuk perdagangan yaitu produk hasil hutan salah satunya adalah kayu (World
Bank 1994).
Di awal pemerintahan orde baru pada tahun 1970, untuk menunjang
pembangunan ekonomi pemerintah mengandalkan sektor kehutanan. Produk hasil
hutan yang diekspor pada mulanya hanya berupa kayu bulat atau kayu log ke
negara tujuan utama saat itu adalah negara-negara yang memiliki industri kayu
lapis seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Taiwan.Pada periode 1980-an
komoditi migas mengalami penurunan laju ekspor akibat dari turunnya harga
minyak dunia. Sehingga langkah strategis yang dilakukan pemerintah pada saat

2

itu ialah merubah orientasi ekspor yang semula lebih condong ke sektor migas
menjadi ke sektor non-migas.
Pada tahun 1985, pemerintah Indonesia menghentikan penuh ekspor kayu
bulatnya (Murniarsih 2008). Peraturan tersebut menyebabkan bermunculannya
industri kayu olahan seperti kayu lapis, kayu gergajian, dan lain-lain di Indonesia
dan terus berkembang pesat serta memberikan kontribusi besar terhadap devisa
negara. Pada era 2000-an, terdapat lima negara tujuan utama produk hasil hutan
Indonesia. Jepang, Cina, Amerika Serikat, Korea Selatan dan Australia adalah
negara-negara tujuan ekspor utama produk hasil hutan Indonesia (Kementerian
Perdagangan 2013).
Pada rentang tahun 2008 hingga tahun 2012, Jepang masih mendominasi
permintaan produk hasil hutan Indonesia. Kemudian disusul Cina, Amerika
Serikat, Korea Selatan dan Australia. Selain untuk memenuhi permintaan dalam
negerinya, negara-negara tersebut memerlukan bahan baku berupa produk hasil
hutan Indonesia untuk industri furnitur yang dikembangkan dalam negerinya.
Negara-negara tersebut juga memberlakukan kebijakan re-ekspor terhadap produk
hasil hutan yang didatangkan dari Indonesia.

Sumber : Kemendag (2013)
Gambar 1 Lima negara tujuan ekspor produk hasil hutan terbesar Indonesia
tahun 2008-2009
Pada perdagangan produk hasil hutan Indonesia kayu lapis (plywood) cukup
mendominasi. Bahkan kayu lapis menjadi salah satu komoditi unggulan produk
hasil hutan dalam ekspor nonmigas Indonesia. Pada tahun 1990-an merupakan
masa keemasan kayu lapis Indonesia karena nilai ekspornya yang tiap tahun kian
meningkat. Kayu lapis juga pernah menjadi satu-satunya komoditi Indonesia di
pasar internasional yang berubah dari pasar pembeli (Buyer’s Market) menjadi
pasar penjual (Seller’s Market) dan pada tahun 1992 Indonesia menjadi negara
pengekspor kayu lapis terbesar di dunia (Triastuti 1992).
Sejak tahun 1992 hingga tahun 2012, ekspor kayu lapis Indonesia
mengalami fluktuasi. Pada tahun 1992 dan 1993, volume ekspor kayu lapis
Indonesia mencapai 9.7 juta m3 dan 9.6 juta m3. Penurunan volume ekspor yang
signifikan mulai terjadi pada tahun 1994 namun kembali mengalami peningkatan

3

pada tahun 1995 hingga 1997. Akan tetapi, penurunan ekspor kembali terjadi pada
tahun 1998 hingga tahun 2000 (lihat Gambar 2). Pada periode 1994-1998 jumlah
volume ekspor kayu olahan Indonesia mencapai 90 persen dari perdagangan kayu
dunia sehingga sempat menjadi yang terbesar di dunia mengungguli Brazil
sebagai pemilik hutan tropis yang lebih besar daripada Indonesia dan Malaysia
yang juga mengembangkan industri pengolahan kayu.

Sumber : FAO (2013)
Gambar 2 Volume ekspor kayu lapis Indonesia tahun 1992-2012
Pada tahun 2002, volume ekspor kayu lapis kembali menurun. Penurunan
ini merupakan penurunan yang cukup drastis pada volume ekspor kayu lapis
Indonesia, (lihat Gambar 2), pada tahun 2002 volume ekspor kayu lapis Indonesia
mencapai 5.5 juta m3 menurun di tahun 2003 menjadi 2.1 juta m3. Volume ekspor
kayu lapis Indonesia terus mengalami fluktuasi. Pada tahun 2007 hingga tahun
2009 terjadi penurunan volume ekspor sedangkan di tahun 2010 volume ekspor
kayu lapis Indonesia mulai meningkat kembali. Tren menurun kembali terjadi di
tahun 2011 dan kembali meningkat di tahun 2012.
Kenaikan dan penurunan yang terjadi pada volume ekspor kayu lapis
Indonesia, erat kaitannya dengan peraturan dan kebijakan yang diterapkan di
sektor kehutanan. Penyebab dari menurunnya kinerja ekspor industri kayu lapis
pada periode setelah 1998 yaitu dibukanya kembali ekspor untuk kayu bulat di
tahun 1998 sebagai akibat dari kerjasama Indonesia dengan IMF untuk pemulihan
kondisi perekonomian pasca-krisis pada saat itu dalam bentuk Letter of Intent
(LOI). Salah satu isi dari perjanjian yang telah disepakati tersebut adalah
dibukanya kembali ekspor kayu bulat yang pernah dilarang sejak tahun 1985.
Bentuk nyata dari kesepakatan ini yaitu dengan dikeluarkannya keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan tahun 1998 tentang ketentuan ekspor kayu
bulat. Tentu saja kebijakan tersebut memiliki dampak negatif terhadap industri
pengolahan kayu nasional.
Sejalan dengan perkembangan volume ekspor, pertumbuhan ekspor kayu
lapis Indonesia juga mengalami fluktuasi. Namun perkembangan pertumbuhan
ekspor kayu lapis Indonesia pada rentang tahun 1992 hingga tahun 2012, memiliki
pertumbuhan yang negatif meskipun pada tahun-tahun tertentu seperti tahun 2000,

4

2004, 2010 dan 2012 memiliki pertumbuhan positif (lihat Gambar 3). Naik
turunnya pertumbuhan ekspor kayu lapis Indonesia, turut memperlihatkan
produktivitas industri kayu lapis nasional. Setelah terjadinya krisis 1997 dan
kerjasama Indonesia-IMF yang cenderung mengurangi ketersediaan bahan baku
kayu lapis nasional, berdampak pada penurunan produktivitas industri kayu lapis
nasional.

Sumber : FAO (2013)
Gambar 3 Pertumbuhan ekspor kayu lapis Indonesia tahun 1992-2012
Ketentuan ekspor kayu bulat berdampak buruk bagi industri pengolahan
kayu nasional karena mengurangi nilai tambah produk kayu. Selain itu ekspor
kayu bulat juga berdampak pada rendahnya penyerapan tenaga kerja di sektor
kehutanan sehingga industri lanjutannya menjadi sulit untuk berkembang.
Akibatnya, pemerintah melalui Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian
serta Perdagangan mengeluarkan Keputusan Bersama untuk memberlakukan
kembali kebijakan penghentian ekspor kayu bulat pada tahun 2001.
Akan tetapi, pada periode berikutnya tren pertumbuhan cenderung negatif
bahkan sulit untuk memiliki pertumbuhan yang setara dengan tahun-tahun
sebelum terjadinya krisis moneter pada tahun 1997. Selain itu guncangan krisis
global yang diakibatkan dari adanya krisis keuangan di negara-negara Eropa yang
terjadi pada tahun 2010 berdampak pula pada penurunan volume ekspor kayu
lapis Indonesia.Pada tahun 2012 industri kayu lapis nasional memperlihatkan tren
pertumbuhan yang positif sehingga akan memberikan optimisme terhadap industri
kayu lapis nasional di masa mendatang.
Penurunan ekspor kayu lapis Indonesia yang sangat signifikan pada tahun
2002 ke 2003 diakibatkan oleh adanya penurunan pasokan bahan
baku.Kementerian Lingkungan Hidup mencatat dan memprediksi terdapat lebih
dari 51 juta m3 per tahun kayu bulat diproduksi dari hasil aktivitas pencurian kayu.
Perkiraan tersebut didasarkan pada data yang menyatakan bahwa produksi kayu
bulat yang legal dari berbagai lokasi tebangan kayu di hutan-hutan Indonesia di
tahun 2002 sebanyak 12 juta m3. Sedangkan kebutuhan bahan baku aktual untuk
industri perkayuan Indonesia di tahun 2002 sebesar 63 juta m3 (Kementerian

5

Lingkungan Hidup 2003). Perhitungan persentase menunjukkan bahwa 80 persen
konsumsi kayu bulat sebagai bahan industri perkayuan Indonesia berasal dari
kayu curian (Kementerian Lingkungan Hidup 2003). Oleh sebab itu, pemerintah
memberlakukan kebijakan pengetatan izin usaha untuk pengelolaan hasil hutan
terutama kayu. Tujuan utama dari kebijakan tersebut adalah mengurangi
penebangan liar (illegal logging) dari perusahaan-perusahaan penyedia bahan
baku pengolahan kayu.
Akan tetapi, kebijakan tersebut justru berdampak pada menurunnya
produktivitas industri kayu lapis Indonesia pada tahun 2003 dengan volume
ekspor hanya sebesar 2.1 juta m3, artinya produktivitas kayu lapis untuk ekspor
Indonesia akibat berkurangnya jumlah bahan baku mengalami penurunan hingga
62.1 persen di tahun 2003. Pada tahun 2008 hingga tahun 2012, total nilai ekspor
kayu lapis sendiri mencapai 11 persen dari total nilai ekspor non-migas Indonesia
di rentang tahun yang sama (lihat Gambar 4). Jumlah share tersebut relatif
tergolong besar untuk sebuah produk turunan terhadap total ekspor non-migas
Indonesia secara keseluruhan. Oleh sebab itu, kayu lapis layak mendapat
perhatian ketika terjadi penurunan volume ekspor yang drastis akibat adanya
penurunan produksi dari dalam negeri sebagai bentuk akibat yang terjadi dari
menurunnya bahan baku yang digunakan dalam pengolahan industri kayu lapis
Indonesia.

Sumber : BPS (2013)
Gambar 4 Share total nilai ekspor kayu lapis Indonesia terhadap total
nilai ekspor perdagangan Indonesia tahun 2008-2012
Pada rentang tahun 2001 hingga tahun 2012 pasar Jepang masih
mendominasi sebagai negara tujuan ekspor kayu lapis Indonesia dengan proporsi
45 persen dari total seluruh ekspor kayu lapis Indonesia kesepuluh negara tujuan
utama apabila dibandingkan dengan negara yang terkenal akan industri
furniturnya seperti Cina (10 persen) dan Korea Selatan (8 persen). Amerika
Serikat juga menjadi salah satu dari sepuluh negara tujuan ekspor utama
Indonesia. Pada rentang 2001 hingga 2012, pasar Amerika Serikat mampu
menampung ekspor kayu lapis Indonesia sebesar 9 persen dari total seluruh
ekspor kayu lapis Indonesia kesepuluh negara tujuan utama ekspor dan lebih
tinggi dibandingkan dengan Taiwan (8 persen) dan Korea Selatan (8 persen).
Negara Timur Tengah yang termasuk dalam 10 negara utama tujuan ekspor kayu

6

lapis Indonesia adalah Saudi Arabia sebesar 7 persen dan Uni Emirat Arab sebesar
5 persen dari total seluruh ekspor kayu lapis Indonesia kesepuluh negara tujuan
utama. Negara Uni Eropa yang termasuk dalam sepuluh negara utama tujuan
ekspor kayu lapis Indonesia adalah Belgia dan Inggris yang memiliki proporsi
yang sama pada ekspor kayu lapis nasional sebesar 3 persen lebih besar daripada
Singapura sebesar 2 persen (lihat Gambar 5).

Sumber : UN COMTRADE (2013) diolah
Gambar 5 Sepuluh negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia tahun
2001-2012
Pada penelitian Dwiprabowo (2009) menyebutkan bahwa Indonesia
bersama dengan Malaysia menjadi produsen produk hasil olahan kayu di pasar
dunia terutama untuk kayu lapis keras tropik (tropical hardwood plywood) selama
bertahun-tahun. Puncaknya di tahun 1992 ekspor kayu lapis Indonesia mencapai
volume ekspor tertinggi hingga 9.7 juta m3. Angka tersebut menunjukkan
Indonesia pada tahun 1992 mendominasi perdagangan kayu lapis di pasar dunia.
Akan tetapi, pada tahun-tahun berikutnya volume ekspor Indonesia cenderung
menurun, bahkan menurun drastis pada tahun 2003 (lihat Gambar 2). Meskipun
pada perkembangannya, Malaysia pada tahun tersebut volume ekspor kayu lapis
masih berada di bawah Indonesia. Namun yang terjadi Malaysia cenderung
mengalami peningkatan secara konsisten pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun
2004, volume ekspor Malaysia mampu melampaui volume ekspor kayu lapis
Indonesia, sehingga pada tahun tersebut Malaysia mulai menggeser posisi
Indonesia sebagai pengekspor kayu lapis dominan di pasar dunia.
Setelah kalah bersaing dengan Malaysia, Indonesia harus berupaya keras
untuk mengembalikan dominansi tersebut. Persoalan daya saing industri kayu
lapis nasional menjadi semakin parah melihat bahwa bahan baku industri kayu
lapis Malaysia juga berasal dari Indonesia sejak era reformasi dan otonomi
daerah, yang dilakukan baik legal maupun ilegal serta melakukan impor dari
negara lain. Sedangkan selain untuk memenuhi kebutuhan pasar Malaysia, kayu
bulat Indonesia juga menjadi bahan baku industri pengolahan kayu di Cina
(Dwiprabowo 2009). Hal ini dapat diartikan bahwa tidak adanya kemampuan dari
Indonesia untuk mempertahankan pasokan bahan baku ke industri kayu lapis

7

dalam negeri namun justru berpindah di luar negeri. Semakin banyaknya kayu
bulat Indonesia yang diselundupkan di luar negeri memberikan indikasi bahwa
semakin banyak penebangan liar (illegal logging) yang terjadi di Indonesia.
Pada situasi perdagangan yang menuju masa kebebasan perdagangan kini,
telah banyak kesepakatan yang disetujui untuk diadakannya pembebasan
hambatan perdagangan (Free Trade Area). Di wilayah Asia Tenggara, negaranegara ASEAN telah membuat kesepakatan perdagangan regional kawasan
ASEAN yaitu ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang telah disepakati pada tahun
2003. Pada kesepakatan tersebut, negara-negara ASEAN sepakat untuk mencapai
target bea masuk dengan tingkat tarif 0 persen minimal 60 persen dari Inclusion
List di tahun 2003. Secara bertahap pada tahun 2007, bea masuk dengan tingkat 0
persen minimal 80 persen dari Inclusion List, dan pada tahun 2010 seluruh tarif
bea masuk dengan tingkat tarif 0 persen harus sudah 100 persen untuk anggota
ASEAN (Kementerian Keuangan 2013).
Kondisi tersebut menjadi peluang sekaligus tantangan bagi masing-masing
negara untuk meningkatkan daya saing produknya. Ketika tingkat tarif diberbagai
negara diturunkan secara berarti melalui serangkaian negosiasi perdagangan
multilateral, jumlah dan peranan berbagai bentuk hambatan perdagangan non-tarif
justru melonjak (Salvatore 1997). Pergeseran bentuk hambatan perdagangan
tersebut memberikan dampak terhadap perdagangan komoditi bilateral dan
multilateral. Bukti dari pergeseran hambatan perdagangan tersebut ditunjukkan
dari data perdagangan komoditi kayu lapis Indonesia dalam forum perdagangan
internasional WTO (World Trade Organization). Tabel 1 menunjukkan bahwa
Indonesia sudah tidak lagi memiliki hambatan tarif dalam lingkup kawasan
ASEAN, ASEAN-China dan ASEAN-Republik Korea.
Tabel 1 Tarif Komoditi Kayu Lapis Indonesia HS 2007 Tahun 2012
Tipe Tarif

Deskripsi

Tarif (%)

Jenis Tarif

2

Tarif MFN

10

Ad Valorem

30

Tarif ASEAN FTA

0

Ad Valorem

31

Tarif ASEAN-China FTA

0

Ad Valorem

32

Tarif ASEAN-Republik of
Korea FTA

0

Ad Valorem

33

Tarif ASEAN-India FTA

7

Ad Valorem

Sumber : WTO (2013)

Pada implementasinya, terdapat beberapa peraturan teknis dikeluarkan oleh
World Trade Organization (WTO) dalam GATT (General Agreement on Tarrif
and Trade) terkait hambatan non-tarifseperti larangan terhadap tindakan dumping
(diskriminasi harga secara internasional), larangan terhadap hambatan
perdagangan teknis (technical barrier to trade), pengutamaan keselamatan produk
(safeguard), larangan terhadap isu pemberian subsidi yang berlebihan dari
pemerintah terhadap eksportir (subsidies and countervailing measures), peraturan
pemerintah suatu negara dalam menjaga keamanan makanan, kesehatan hewan
dan tumbuhan (sanitary and phytosanitary), serta kewajiban yang harus dilakukan
oleh pemerintah dan non-pemerintah dalam kegiatan perdagangan yang
didalamnya termasuk kegiatan ekspor dan impor produk atau komoditi. Untuk

8

komoditi kayu termasuk kayu lapis, negara-negara konsumen cenderung
menerapkan hambatan perdagangan berupa hambatan teknis terkait dengan
persyaratan kelayakan ekspor produk kehutanan. Negara-negara konsumen juga
melihat peraturan yang diterapkan oleh negara produsen kayu terkait dengan
keselamatan produk tumbuhan.
Peraturan-peraturan teknis yang digunakan dalam menetapkan aturan
hambatan non-tarif berbeda dengan standar yang ditetapkan untuk hambatan nontarif diberbagai negara. Standar tersebut ditetapkan dan diawasi langsung oleh
International Organization for Standarization (ISO). Penetapan standar secara
internasional ini ditujukan untuk menjadi pedoman negara-negara dalam
menetapkan peraturan teknis terkait kebijakan non-tarif. Salah satu standar yang
ditetapkan tersebut tercantum dalam ISO 14000 mengenai standar pengelolaan
lingkungan secara internasional.
Selain karena hambatan tarif yang mulai sedikit demi sedikit diturunkan
antarnegara, isu-isu perdagangan dimunculkan sebagian besar ditujukan terutama
untuk eksportir dari negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hambatan nontarif diberlakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan
Uni Eropa dengan motif untuk melindungi produk-produk dalam negerinya,
meningkatkan kualitas produk dan melindungi hak konsumen. Serangkaian
regulasi atau kebijakan pun diberlakukan oleh pemerintah masing-masing negara
terkait dalam kegiatan ekspor dan impor produk atau komoditi suatu negara
(World Trade Organization 2013). Oleh sebab itu, pada penelitian ini akan
dibahas lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat memengaruhi ekspor kayu
lapis Indonesia dan juga seberapa besar hambatan non-tarif yang diberlakukan
oleh negara tujuan ekspor utama Indonesia.
Rumusan Masalah
Kesadaran masyarakat dunia yang semakin tinggi akan kualitas suatu
produk menjadi tolok ukur penting dalam permintaan dan penawaran produk skala
dunia. Ukuran kualitas produk saat ini tidak hanya dilihat dari cakupan pasar
komoditi tersebut di pasar internasional melainkan keseluruhan proses produksi
komoditi tersebut hingga sampai ditangan konsumen. Adanya perkembangan
teknologi yang semakin pesat menjadikan informasi semakin tak terbatas
sehingga tingkat transparansi produksi suatu komoditi semakin diperhitungkan.
Hingga tahun 2002 peredaran kayu ilegal baik domestik maupun internasional
semakin merajalela. Situasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di
Filipina, Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam dan beberapa negara Benua Afrika.
Namun tetap saja Indonesia menjadi sasaran negara Benua Amerika dan Uni
Eropa yang menjadikan Indonesia sebagai hotspot pembalakan liar (Rustiningsih
2013).
Pada negosiasi perdagangan internasional, kayu dan produk turunannya
turut menjadi sorotan tajam terkait dengan isu hambatan perdagangan yang ramai
diperbincangkan. Hal ini terkait dengan masalah lingkungan dan juga keamanan
produk yang dihasilkan oleh aktivitas pengolahan kayu. Isu illegal logging, illegal
trading, pencemaran lingkungan serta ketidakamanan produk menjadi pokok
bahasan utama negara-negara produsen kayu dunia beserta negara konsumen.
Indonesia memiliki pengaruh besar terhadap perdagangan kayu internasional.

9

Alasannya Indonesia merupakan salah satu negara dengan luas hutan terbesar di
dunia dan juga memiliki volume ekspor yang tinggi akan produk hasil hutan
(International Tropical Timber Organization 2006).
Pada tahun 2001, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan tingkat Menteri
antar negara di Bali. Pada pertemuan tersebut melahirkan Deklarasi Bali mengenai
Penegakan Hukum dan Tata Kelola Kehutanan (Forest Law Enforcement
Governance and Trade/FLEGT). Selanjutnya pada tahun 2002 diadakan sidang
ITTO (International Tropical Timber Organization) ke-32 yang diadakan di Bali
yang membahas isu globalisasi di bidang kehutanan. Sebagai produsen kayu
dunia, Indonesia bersama negara-negara Benua Afrika, Amerika Latin dan juga
negara-negara Asia Pasifik lainnya berkomitmen untuk mengharmonisasikan
kebijakan sesuai dengan panduan internasional mengenai ketersediaan pasokan
kayu tropis secara berkelanjutan. Akan tetapi negara-negara produsen dihadapkan
pada permasalahan lain yaitu semakin maraknya praktek illegal logging dan
illegal trading kayu dan produk kayu dalam upaya untuk meningkatkan
perdagangan kayu internasional. Adanya kerjasama internasional dalam hal ini
dibutuhkan untuk membantu mencegah dan mengatasi permasalahan tersebut.
Jalan keluar yang disepakati bersama dari hasil pertemuan negara produsen
dan konsumen kayu dunia tersebut yaitu menghendaki adanya sebuah sertifikasi
kehutanan yang mendorong adanya sertifikasi pula terhadap produk-produk yang
dihasilkan oleh sektor kehutanan (International Tropical Timber Organization
2006). Perdebatan mengenai penerapan sertifikasi tersebut kembali terjadi,
negara-negara produsen menghendaki proses sertifikasi tersebut dilakukan secara
bertahap. Sedangkan negara-negara konsumen yang umumnya merupakan negaranegara maju menginginkan sertifikasi tersebut dapat segera diterapkan
(International Tropical Timber Organization 2006). Hingga pada akhirnya di
beberapa negara-negara konsumen sertifikasi legalitas produk kehutanan
merupakan hal yang harus dipenuhi agar produk kehutanan negara lain dapat
masuk di pasar negara yang bersangkutan dan dipergunakan secara massal oleh
masyarakat.
Selain keharusan mengembangkan sertifikasi legalitas tersebut, pengelolaan
hutan juga menjadi sorotan. Seperti misalnya, peristiwa kebakaran hutan yang
terjadi di Riau pada tahun 2013. Kejadian tersebut menimbulkan asap yang tebal
yang tidak hanya mengganggu aktivitas warga domestik tetap juga hingga ke
Malaysia dan Singapura (Muhardi 2014) dan kembali terulang pada bulan Maret
2014. Propinsi Riau kembali diliputi oleh asap tebal akibat dari kebakaran hutan
yang terjadi dan sempat mengganggu jadwal penerbangan setempat (Ali 2014).
Kenyataan tersebut tentu saja membawa dampak buruk bagi gambaran
pengelolaan hutan Indonesia di mata dunia internasional. Akibatnya, pemasaran
kayu ekspor Indonesia semakin lama semakin kurang baik. Penolakan demi
penolakan kayu olahan asal Indonesia oleh beberapa negara importir menjadi
peringatan besar bagi para produsen kayu domestik. Seperti misalnya, kasus
fumigasi kayu Indonesia oleh Australia dan Amerika Serikat sebagai salah satu
negara tujuan produk hasil hutan Indonesia. Kayu lapis Indonesia mendapat
sorotan dunia internasional karena harus beberapa kali difumigasi ulang akibat
adanya serangga pada produk kayu tersebut (Kementerian Perdagangan 2012).
Sekalipun kapasitas produksi kayu olahan relatif besar yang didominasi oleh kayu
lapis (lihat Tabel 2) dan memiliki pasar yang besar namun daya saing produk

10

Indonesia tergolong rendah. Dampak lanjutan yang terjadi dengan adanya
kejadian tersebut adalah menurunnya kesejahteraan produsen kayu domestik.
Tabel 2 Jumlah, Kapasitas dan Produksi Industri Primer Tahun 2011
No
1
2
3
4
5

Produk
Kayu lapis
LVL
Veneer
Kayu gergajian
Chip
Total

Jumlah (unit)

Kapasitas (m3)

137
12
79
250
26
506

12 001 815
531 750
2 601 045
6 296 396
43 754 296
65 652 302

Produksi (m3)
3 204 707.52
812 343.01
907 118.69
1 778 435.25

Sumber : Direktorat Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan (2012)

Akibat dari beragam isu dan permasalahan tersebut mengakibatkan negaranegara konsumen memunculkan persyaratan bukti legalitas kayu internasional.
Seperti misalnya, Amerika Serikatdengan Amandemen Lacey Act, Uni Eropa
dengan EU Timber Regulation, Australia dengan Prohibition Bill dan Jepang
dengan Green Konyuho (Sudharto 2012). Tuntutan dari pasar internasional
tersebut menjadi sebuah hambatan perdagangan non-tarif yang diberlakukan oleh
negara-negara konsumen terhadap negara-negara produsen kayu ditengah isu
penurunan tarif yang mulai diberlakukan secara bertahap oleh masing-masing
negara. Menanggapi tuntutan tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementerian
Kehutanan bekerjasama dengan beberapa pihak (baik instansi teknis maupun
LSM lingkungan) berusaha merumuskan sistem pemanfaataan hutan lestari. Hasil
rumusan tersebut menghasilkan suatu kesepakatan kebijakan kehutanan melalui
pemberlakuan verifikasi terhadap kayu yang beredar di pasar (Rustiningsih 2013)
atau yang lebih dikenal dengan Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) merupakan sistem pelacakan
kayu yang disusun secara multistakeholder kehutanan untuk memastikan legalitas
sumber kayu yang beredar dan diperdagangan di Indonesia. Proses pembahasan
SVLK telah mulai dilakukan oleh Kementerian Kehutanan dan instansi terkait
dengan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat pada tahun 2003 dan berakhir
tahun 2009. Diawali pada tahun 2003, proses pembahasan mengenai batasan atau
definisi kayu legal telah dilakukan. Kata sepakat akan definisi tersebut tercapai
pada tahun 2007 dan Indonesia mulai menggelar negosiasi kesepakatan kemitraan
sukarela dengan Uni Eropa (Forest Law Enforcement Governance and
Trade/FLEGT-VPA) (Rustiningsih 2013).
Pada tahun 2009 pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No.
P-38/Menhut-II/2009 tentang standar dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan
hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin atau pada
hutan hak. Peraturan tersebut merupakan landasan hukum mengenai sistem
verifikasi legalitas kayu atau SVLK. Peraturan ini resmi diberlakukan sejak tahun
2009. Pada Bulan April 2011, Indonesia dan Uni Eropa menyepakati FLEGTVPA dan mengakui sistem verifikasi ini terpercaya sebagai jaminan kayu legal
Indonesia dan tanggal 4 Mei 2011 masing-masing negara telah menandatangani
perjanjian kemitraan sukarela tersebut. Akhir tahun 2011, peraturan tersebut
kembali disempurnakan dengan peraturan Menteri KehutananNo. P-68/MenhutII/2011 (Rustiningsih 2013).

11

Penyempurnaan kembali dilakukan terhadap kebijakan tersebut, pada 1
Januari 2013 dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan No. 64/mdag/per/10/2012 tentang ketentuan ekspor produk industri kehutanan, maka
SVLK terhadap kayu dan produk kayu Indonesia yang akan diekspor mulai
diberlakukan. Secara bertahap ketentuan SVLK diberlakukan terhadap beberapa
komoditi produk kehutanan. Melalui Permenhut No. P-68/Menhut-II/2011,
industri primer dan integrasinya seperti sawnmill dan kayu lapis (plywood) sudah
harus bersertifikat legal pada Desember 2012 atau selambatnya satu tahun sejak
berlakunya Permenhut No. P-68/Menhut-II/2011 (Rustiningsih 2013). Pada proses
ekspor komoditi atau produk kehutanan, dokumen V-legal menjadi dokumen
penjamin bahwa kayu yang akan diekspor telah dilakukan verifikasi dengan
mekanisme SVLK yang diwajibkan sebagai dokumen pelengkap kepabeanan.
Adanya pemberlakuan peraturan dan kebijakan ini diharapkan mampu
memperbaiki citra pengelolaan industri kehutanan Indonesia di dunia
internasional. Selain itu secara umum dengan adanya kebijakan ini diharapkan
mampu meningkatkan daya saing kayu dan produk olahan kayu Indonesia di pasar
internasional. Tujuan akhir yang ingin dicapai dari keseluruhan peraturan tersebut
adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bekerja di sektor perkayuan
Indonesia. Adapun secara garis besar permasalahan yang akan dijelaskan lebih
lanjut dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana daya saing kayu lapis Indonesia di negara utama tujuan
ekspor?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi ekspor kayu lapis Indonesia ?
3. Seberapa besar hambatan non-tarif (NTBs) pada ekspor kayu lapis
Indonesia ?
Tujuan
Berdasarkan penjabaran pada bagian latar belakang dan rumusan masalah,
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis daya saing komoditi kayu lapis Indonesia di negara utama
tujuan ekspor.
2. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja ekspor kayu
lapis Indonesia.
3. Menghitung hambatan non-tarif (NTBs) pada ekspor kayu lapis Indonesia.
Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang
memengaruhi ekspor kayu lapis Indonesia serta nilai hambatan non-tarif yang
dihadapi oleh Indonesia terkait kayu lapis di negara tujuan ekspor utama adalah
sebagai berikut :
1. Sebagai bahan referensi dan rujukan pelaku usaha industri pengolahan
kayu lapis nasional dalam memahami serta menentukan kebijakan
perusahaan terkait dengan kebijakan perdagangan non-tarif yang
diberlakukan.
2. Sebagai bahan rujukan dan pertimbangan pada proses penelitian
berikutnya.

12

3.

Sebagai wacana kalangan masyarakat umum untuk memahami keterkaitan
hambatan perdagangan terhadap kinerja ekspor dan perkembangan daya
saing suatu komoditi.
Ruang Lingkup & Keterbatasan Penelitian

Fokus penelitian ini adalah arus perdagangan volume ekspor komoditi kayu
lapis terhadap negara-negara utama tujuan ekspor kayu lapis Indonesia. Pada
penelitian ini akan diestimasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekspor
kayu lapis Indonesia dan dihitung nilai hambatan non-tarif yang diberlakukan
negara-negara utama tujuan ekspor kayu lapis Indonesia, serta menganalisis
perkembangan daya saing kayu lapis di negara tujuan ekspor utama. Negaranegara myang menjadi objek dalam penelitian ini yaitu Jepang, Cina, Amerika
Serikat, Korea Selatan, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Belgia, Inggris dan
Singapura. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data peride 2001
hingga tahun 2011 dengan kode HS produk kayu lapis yang digunakan adalah HS
digit 4 yaitu 4412 (plywood, veneer and laminated wood). Perkembangan RCA
dianalisis selama periode 2010-2012 menggunakan nomenclature code HS 2007.
Pengkombinasian antara data negara tujuan ekspor dan data tahun observasi yang
terbatas dilakukan agar analisis dapat menjawab permasalahan pada penelitian ini.
Oleh sebab itu, pengolahan data dilakukan menggunakan metode data panel.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi dan Ketentuan Teknis Kayu Lapis
Kayu lapis atau plywood adalah suatu bentuk papan buatan yang diperoleh
dengan merekatkan satu atau lebih venir pada dua sisi dari satu venir inti atau
kayu solid dengan arah serat saling bersilangan satu sama lain. Tujuan dari arah
serat venir yang dibuat saling bersilangan tegak lurus tersebut adalah untuk
meratakan kekuatan dari kayu lapis ini(Sofyan et al.1984).
Kementerian perdagangan (2012) mengeluarkan peraturan terkait dengan
kayu lapis Indonesia yang dapat diekspor ke luar negeri. Peraturan tersebut yaitu
peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia nomor 64/MDAG/PER/10/2012 mengenai kriteria teknis yang digunakan untuk menentukan
produk industri kehutanan tertentu yang dapat diekspor. Pada peraturan tersebut
disebutkan bahwa kayu lapis sebagai produk kayu olahan yang dihasilkan dari
penggabungan kepingan kayu ke arah penampang lebar dengan cara dikempa (di
press) menggunakan perekat, dengan ketentuan luas penampang masing-masing
keping tidak lebih dari 4mm2 atau tidak lebih dari 6 mm2.
Sebagai komoditi atau produk yang diperdagangkan secara internasional,
kayu lapis memiliki kode komoditi yang dikenal dengan kode Harmonized
System. Adanya kode tersebut akan memudahkan dalam mencari literatur maupun
data yang dibutuhkan terkait dengan komoditi tersebut. Pada penelitian ini kode
kayu lapis yang digunakan adalah 4412. Kode HS 4412 adalah kode produk HS 4
digit dengan nomenclature product code HS 2007. Artinya kode 44 merupakan
kode untuk komoditi kayu sedangkan 12 merupakan kode urut kayu lapis, venir
dan kayu lembaran yang diperdagangkan.Peraturan Menteri Perdagangan No. 64

13

Tahun 2012, ekspor produk industri kehutanan wajib dilengkapi dengan dokumen
V-legal sebagai bentuk pemberlakuan kebijakan SVLK kecuali terhadap produk
industri kehutanan pada HS kelompok C. Pada penggolongan HS ekspor produk
kehutanan, kayu lapis tergolong dalam HS kelompok A dengan rentang HS
4412.31.00.00 sampai dengan 4412.99.00.90 (Kementerian Perdagangan 2013).
Hambatan Tarif dan Non-Tarif
Adanya pemberlakuan tarif terhadap kegiatan perdagangan internasional
suatu negara memiliki dampak terhadap keseimbangan permintaan dan penawaran
barang dalam hal ini suatu komoditi di sebuah negara. Berdasarkan analisis
keseimbangan parsial yang dikemukakan oleh Salvatore (1996), dapat terlihat
adanya dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari pemberlakuan tarif yang
dilakukan oleh sebuah negara kecil yang memiliki keterbatasan kemampuan
negara dalam mempengaruhi harga secara internasional sehingga harus menerima
harga-harga yang berlaku dipasar internasional dan kaitannya dengan output
domestik yang dapat dihasilkannya. Secara grafis dampak tersebut dapat terlihat
sebagai berikut.
Px
S

E
P2

Sf + T
Sf

P1

A

B

C

D

D
QX

Q1

Q2

Q3

Q4

Sumber : Salvatore (1996)
Gambar 6 Dampak keseimbangan parsial akibat pemberlakuan tarif
Pada Gambar 6 Dx dan Sx menggambarkan kurva permintaan dan
penawaran komoditi X suatu negara. Apabila negara tersebut sama sekali tidak
mengadakan hubungan perdagangan internasional, maka keseimbangan akan
terjadi pada titik E. Ketika negara tersebut melakukan perdagangan internasional,
maka negara menikmati komoditi tersebut dengan harga yang lebih murah yaitu di
P1 sehingga konsumsinya akan meningkat menjadi Q4 dengan Q1 merupakan
produksi domestiknya sedangkan sisanya adalah produk impor. Garis Sf
menggambarkan kurva penawaran komoditi tersebut dari luar negeri yang elastis
tidak terbatas. Ketika negara tersebut memberlakukan hambatan tarif berupa tarif
ad valorem terhadap komoditi yang diimpor, maka harga akan menjadi naik ke
P2. Sehingga konsumen di negara tersebut menurunkan tingkat konsumsinya
menjadi Q3 dengan Q2 merupakan produksi domestiknya. Garis Sf + T

14

merupakan kurva penawaran komoditi dari luar negeri yang baru setelah
memperhitungkan adanya tarif pada komoditi tersebut.
Krugman dan Obstfeld (2004) menjelaskan tarif dapat meningkatkan harga
barang di negara pengimpor dan menurunkan harga barang tersebut di negaranegara pengekspor. Akibatnya kalangan konsumen di negara pengimpor merugi
dan konsumen di negara pengekspor beruntung. Sedangkan produsen di negara
pengimpor memperoleh keuntungan dan produsen di negara pengekspor
mengalami kerugian. Besar kecilnya keuntungan yang diperoleh bergantung pada
kemampuan instrumen tarif yang dikenakan oleh suatu negara dalam menurunkan
harga ekspor luar negeri. Krugman dan Obstfeld (2004) juga menjelaskan hal
tersebut bergantung pada kekuatan ekonomi suatu negara. Apabila suatu negara
memiliki kekuatan ekonomi yang kecil
sehingga pengaruhnya terhadap
perekonomian dunia terbatas maka pengenaan tarif justru akan menurunkan
kesejahteraan .
Salvatore (1996) menjelaskan tepatnya sejak berakhirnya perang dunia
kedua, khususnya di sektor manufaktur, pemerintah dari berbagai negara lebih
suka dan terbiasa melindungi industri-industri domestik dengan memberlakukan
berbagai macam hambatan non-tarif. Pada prakteknya, kebanyakan pemerintah
melakukan campur tangan dalam kegiatan perdagangan internasional
menggunakan kebijakan instrumen kebijakan lainnya untuk menyembunyikan
motif proteksi atau sekedar mengecoh negara lain.Hasil perundingan GATT pada
Putaran Uruguay dalam Salvatore (1996) menjelaskan bahwa terdapat
kesepakatan mengenai jenis-jenis hambatan non-tarif yang menjadi masalah
dalam perdagangan internasional, antara lain yaitu :
1. Kuota impor
Kuota impor dapat digunakan untuk melindungi sektor industri
domestik tertentu. Hambatan non-tarif ini sering digunakan untuk
melindungi neraca pembayaran suatu negara. Seperti misalnya di negara
maju digunakan untuk melindungi sektor pertanian dan di negara
berkembang untuk melindungi sektor manufakturnya. Adanya
pemberlakuan tersebut berdampak pada keseimbangan perdagangan
suatu negara yang dapat terlihat pada Gambar 7.
Px ($)
Sx

P2
P1

G’
G

J’

H’

E

M
Q1

K

H

J
N

B

D’x
Dx

Q2

Sumber : Salvatore (1996)
Gambar 7 Dampak pemberlakuan kuota impor

Qx

15

Gambar 7 menunjukkan bahwa Dx dan Sx masing-masing adalah
kurva penawaran untuk komoditi X suatu negara. Pada kondisi
perdagangan bebas, harga yang berlaku adalah harga dunia yakni Px =
P1($). Apabila negara tersebut memberlakukan kuota impor (Q2-Q1)
(JH), maka akan mengakibatkan kenaikan harga menjadi Px = P2($) dan
konsumsi akan turun menjadi Q2, sedangkan Q1 merupakan produk
domestik dan lainnya adalah produk impor. Pemberlakuan kuota impor
akan menambah konsumsi dari G’J’ dan G’H’ yang merupakan produksi
domestik.
2. Pembatasan Ekspor Secara Sukarela
Pembatasan ekspor secara sukarela mendorong negara pengimpor
mendorong atau memaksa negara lain untuk mengurangi ekspornya
secara sukarela. Permintaan tersebut dilakukan bersamaan dengan
ancaman hambatan perdagangan yang lebih keras. Tujuan dari adanya
tindakan tersebut adalah untuk melindungi sektor tertentu yang
dikhawatirkan menurun akibat dari adanya produk impor. Ukuran
lainnya yang menjadi hambatan non-tarif yaitu keselamatan produk
(safeguard). Keselamatan produk merupakan proteksi yang dilakukan
oleh suatu negara akibat banyaknya produk impor yang masuk. Adanya
impor tersebut dianggap sebagai ancaman serius yang membahayakan
industri domestik sehingga negara-negara anggota WTO melakukan
kebijakan pembatasan volume impor. Selain melakukan pembatasan
volume impor, langkah yang ditempuh oleh negara yang merasa
terancam dengan berbagai produk impor dapat memaksa negara
pengekspor untuk membayar kompensasi sebagai akibat dari dampak
yang ditimbulkan pada industri domestik negara tujuan ekspor (World
Trade Organization 2013).
3. Subsidi Ekspor
Bentuk subsidi ekspor yang diberikan oleh negara kepada
perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan ekspor. Bentuk subsidi
tersebut dapat dalam bentuk pinjaman ekspor. Hal ini sebenarnya
disepakati untuk dilarang dalam perdagangan internasional. Antisipasi
dari negara pengimpor dengan adanya kecurangan ini yaitu dengan
menetapkan pajak atau tarif pada barang yang diduga memperoleh
subsidi ekspor dari pemerintahnya. Isu pemberian subsidi yang yang
berlebihan (subsidies and countervailing measures) juga menjadi ukuran
hambatan tarif yang dikeluarkan oleh WTO dalam perjanjiaan GATT.
Tujuan dari adanya larangan ini yaitu untuk mencegah terjadinya kasus
kecurangan pada perdagangan internasional. Seperti misalnya terdapat
praktek peningkatan pemberian subsidi dari pemerintah yang berlebihan
sehingga dapat menimbulkan peningkatan daya saing yang berlebihan
pula. Larangan ini ditujukan lebih kepada pemerintah sebagai
penyelenggara negara untuk menghindari bentuk-bentuk kecurangan
dalam bersaing di pasar internasional.
4. Hambatan Birokrasi
Pada praktek perdagangan internasional, terkadang pemerintah
negara ingin membatasi impor tanpa mengumumkan secara formal.
Pemerintah suatu negara memberlakukan pengetatan terhadap standar

16

kesehatan, keamanan dan prosedur pabeanan sehingga menjadi
hambatan yang sangat penting dalam perdagangan. Cara tersebut
terkadang cukup efisien untuk mengurangi impor suatu barang dari
negara lain. Hambatan perdagangan teknis (technical barrier to trade)
menjadi salah satu ukuran hambatan non-tarif yang dikeluarkan oleh
WTO. Pada beberapa tahun terakhir jumlah peraturan teknis dan standar
yang berlaku di beberapa negara meningkat secara signifikan.
Peningkatan ini terlihat dari semakin tingginya standar kehidupan di
seluruh dunia. Permintaan konsumen akan keselamatan dan produk
dengan kualitas tinggi juga mendorong adanya peningkatan standar
tersebut. Alasan lain yang menguatkan adanya peningkatan peraturan
teknis dan standar produk juga disebabkan oleh adanya isu seperti
permasalahan air yang semakin berkurang, udara dan polusi tanah yang
akhirnya mendorong masyarakat modern untuk menggunakan produk
ramah lingkungan (World Trade Organization 2013).
5. Kartel Internasional
Kartel dibentuk sebagai sebu