14
b. Bagaimana status hak waris anak luar kawin menurut Hukum Perdata BW ?
c. Bagaimana perbandingan status hak waris anak luar kawin antara Kompilasi Hukum Islam KHI dengan Hukum Perdata BW ?
2. Judul Tesis “Analisis Yuridis Kedudukan Anak luar kawin Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam KHI dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”
yang ditulis oleh Ayu Yulia Sari, NIM 097011052, perumusan masalahnya adalah :
a. Bagaimana kriteria anak luar kawin dalam Kompilasi Hukum Islam KHI dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?
b. Bagaimana kedudukan anak luar kawin berdasarkan Kompilasi Hukum Islam KHI dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?
c. Bagaimana akibat hukum anak luar kawin berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?
Oleh karena itu judul tesis ini dapat dijamin keasliannya sepanjang mengenai judul dan permasalahan seperti yang diuraikan di atas. Hal ini juga menambah
keyakinan bahwa penelitian ini akan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam perkembangannya, ilmu hukum tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu termasuk ketergantungannya pada metodologi, karena
aktivitas penelitian hukum dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.
Universitas Sumatera Utara
15
Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.
16
Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki
menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar thea ini pula datang kata modern teater yang berarti pertunjukan atau tontonan. Dalam banyak literatur,
beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis rasional, empiris kenyataannya, dan juga simbolis.
17
Menurut W.I. Neuman, yang pendapatnya dikutip dari Otje Salman dan Anton F. Susanto, menyebutkan bahwa :
“teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan
mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.
18
Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukkan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut
variabel bersangkutan memang dapat mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab.
Menurut M. Solly Lubis, bahwa :
16
J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting : M. Hisyam, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hlm. 203
17
H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 21
18
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 5
Universitas Sumatera Utara
16
“teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana
pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian
dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau begaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan
benar.”
19
Malcom Walters, yang pendapatnya dikutip dari Otje Salman dan Anton F. Susanto, menyebutkan bahwa teori hendaknya meliputi semua pernyataan yang
disusun dengan sengaja yang memenuhi semua kriteria :
20
a. Pernyataan itu harus abstrak, yaitu harus dipisahkan dari praktek-praktek sosial
yang dilakukan. Teori biasanya mencapai abstraksi melalui pengembangan konsep teknis yang hanya digunakan dalam komunitas sosiologis dan sosial.
b. Pernyataan itu harus tematis. Argumentasi tematis tertentu harus diungkapkan
melalui seperangkat pernyataan yang menjadikan pernyataan itu koheren dan kuat.
c. Pernyataan itu harus konsisten secara logika. Pernyataan-pernyataan itu tidak
boleh saling berlawanan satu sama lain dan jika mungkin dapat ditarik
kesimpulan dari satu dan lainnya. d.
Pernyataan itu harus dijelaskan. Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk
substansi atau eksistensinya. e.
Pernyataan itu harus umum pada prinsipnya. Pernyataan itu harus dapat digunakan dan menerangkan semua atas contoh fenomena apapun yang mereka
coba terangkan. f.
Pernyataan-pernyataan itu harus independen. Pernyataan itu tidak boleh dikurangi hingga penjelasan yang ditawarkan para partisipan untuk tingkah laku
mereka sendiri. g.
Pernyataan-pernyataan itu secara substansi harus valid. Pernyataan itu harus konsisten tentang apa yang diketahui dunia sosial oleh partisipan dan ahli-ahli
lainnya. Minimal
harus ada
aturan-aturan penerjemahan
yang dapat
menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lainnya. Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam
membangun atau memperkuat kebenaran dan permasalahan yang dianalisis.
19
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 27
20
H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto., Op.Cit., hlm. 23
Universitas Sumatera Utara
17
Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum
waris faraidh, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui yang merupakan masukan bagi penulisan tesis ini.
Dalam penelitian ini, menetapkan suatu kerangka teori adalah suatu keharusan. Hal ini dikarenakan kerangka teori itu digunakan sebagai landasan berfikir
untuk menganalisis permasalahan yang dibahas. Adapun teori yang dapat dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini
adalah teori Maqashid al-Syariah. Dari segi bahasa Maqashid al-Syariah berarti
maksud atau tujuan disyari’atkan hukum Islam. Oleh karena itu, yang menjadi bahasan utama didalamnya adalah mengenai masalah hikmat dan illat ditetapkannya
suatu hukum. Dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, perlu diteliti
lebih dahulu hakekat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap kasus yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian terhadap sumber hukum
yang akan dijadikan dalilnya. Artinya dalam menetapkan nash dalam suatu kasus yang baru, kandungan nash harus diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan
disyari’atkan hukum tersebut.
21
21
Fitri Zakiyah,Tesis Perbandingan Status Hak Waris Anak luar kawin Antara Kompilasi Hukum Islam KHI Dengan Hukum Perdata BW, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010, hlm. 21
Universitas Sumatera Utara
18
Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqih, unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan,
yaitu :
22
a. Memelihara agama b. Memelihara jiwa
c. Memelihara akal d. Memelihara harta
e. Memelihara keturunan f. Memelihara kehormatan
23
Teori berikutnya yang menjadi teori pendukung dari teori Maqashid al- Syari’ah adalah teori Mashlahah Mursalah, yang dalam Bahasa Indonesia kata
mashlahah dikenal dengan maslahat. Mashlahah ini secara bahasa atau secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan.
24
Sedangkan menurut istilah atau epistemology, mashlahah diartikan oleh para ulama Islam dengan rumusan hampir bersamaan, diantaranya Al-Khawarizmi yang
menyebutkan mashlahah
adalah al-marodu
bil-maslahatil-mukhaafazatu ‘ala
maqsudi-syar’i bidaf’i-l mufaasidi ‘ani-l- kholqi, yaitu memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak bencanakerusakanhal-hal yang merugikan diri manusia
makhluk. Sedangkan ulama telah berkonsensus, bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan atau kehormatan, dan harta.
25
22
Ibid.
23
M. Hasballah Thaib, Falsafah Hukum Islam, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Medan, 1993, hlm. 6
24
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke II, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hlm. 634.
25
Mahmuzar, Maslahah-Mursalah; Suatu Metode Istinbath Hukum, http:www.fush.uin- suska.ac.idattachments073_Mahmuzar.pdf, diakses pada tanggal 1 mei 2012.
Universitas Sumatera Utara
19
Tidak jauh berbeda dengan Al-Khawarizmi di atas, Al-Ghazali merumuskan maslahah sebagai suatu tindakan memelihara tujuan syara’ atau tujuan hukum Islam,
sedangkan tujuan hukum Islam menurut Al-Ghazali adalah memelihara enam hal di atas. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara salah satu dari enam hal di
atas disebut maslahah, dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadah, dan menolak mafsadah disebut maslahah.
26
Dapat dilihat, bahwa memelihara kehormatan dan keturunan merupakan salah satu tujuan hukum Islam. Islam sangat melindungi kehormatan seorang muslim dan
tidak membenarkan menuduh orang lain melakukan kejahatan tanpa adanya suatu bukti yang benar, tuduhan tanpa alasan berarti penghinaan. Tuduhan yang paling
berat adalah menuduh orang berzina, baik yang tertuduh laki-laki ataupun perempuan.
27
Larangan menuduh orang berzina telah jelas diatur dalam Al-Qur’an surah An-Nur 24 ayat 5 yang menyebutkan :
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
28
berbuat zina dan tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
yang menuduh itu delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang
yang fasik.”
Seperti halnya terhadap kasus li’an di atas, menuduh orang lain berzina,
terlebih terhadap istri sendiri, akan berdampak besar, salah satunya terhadap keturunan yang lahir dalam perkawinan tersebut.
26
Ibid.
27
M. Hasballah Thaib, Falsafah Hukum Islam, Op.Cit., hlm. 9
28
Yang dimaksud wanita-wanita yang baik-baik disini adalah wanita-wanita yang suci, akhil baligh, dan muslimah.
Universitas Sumatera Utara
20
Islam menganjurkan memelihara keturunan, bahkan salah satu dari hikmah perkawinan
adalah untuk
mendapatkan keturunan.
Ditinjau dari
tingkat kebutuhannya, memelihara keturunan dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :
29
a. Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah
dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.
b. Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan
menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq kepadanya.
c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’atkan khitbah
atau walimat dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam
eksistensi keturunan.
Kaitan kedua teori di atas terhadap kasus li’ansekaligus pengingkaran anak yang
dilakukan oleh
seorang suami
terhadap istrinya
adalah bahwasanya
bagaimanapun anak adalah darah daging orang yang membenihkannya, anak li’antidak dapat disalahkan, tetapi yang salah adalah ibubapaknya berdasarkan benar
atau tidaknya tuduhan zina li’an yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya tersebut. Sehingga dengan demikian anak tersebut juga dapat diberikan kelonggaran
untuk memperoleh hak-hak yang sama seperti anak-anak lain dalam perkawinan yang harmonis atau sekurang-kurangnya dapat diakui juga sebagai anak. Demikian juga
dalam hal warisan hendaknya diberikan juga kepadanya bagian warisan dari pihak ayahnya yang mengingkarinya walaupun tidak sebesar bagian anak yang sah.
Anak merupakan anugerah yang sangat besar dari Allah SWT, oleh karena itu hendaknya
juga dilahirkan
dalam ikatan
suci perkawinan.
Namun, dalam
29
Fitri Zakiyah, Op.Cit., hlm. 22
Universitas Sumatera Utara
21
kenyataannya ada anak-anak yang diingkari oleh orangtuanya, terutama dalam hal ini adalah
ayahnya, melalui
sumpah li’an
yang dijatuhkan
kepada istrinya.
Bagaimanapun juga anak adalah seorang manusia yang mempunyai harkat dan martabat yang harus dihormati dan memerlukan perlindungan, terutama dari kedua
orang tuanya. Salah satu contohnya adalah perlindungan terhadap asal usul anak. Seperti
yang telah diuraikan di atas, sebelum terlahirkannya anak dalam keluarga maka harus dilakukan perkawinan, perkawinan itu sendiri menurut Undang-Undang Perkawinan
No 1 tahun 1974 adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk tangga yang kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ikatan lahir bathin yang disebut dengan perkawinan ini sudah tentu menimbulkan akibat hukum, baik bagi suami istri yang melakukan
perkawinan itu sendiri maupun bagi anak-anak yang akan dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Salah satunya adalah hubungan kewarisan.
Menurut ketentuan hukum kewarisan untuk memperoleh warisan harus didasarkan atas hubungan antara ahli waris dengan si pewaris. Adapun faktor yang
menjadi sebab terjadinya kewarisan dalam Al-Qur’an, faktornya ada tiga, yakni hubungan perkawinan, hubungan nasab, dan hubungan wala’.
30
1. Hubungan Perkawinan
30
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 62
Universitas Sumatera Utara
22
Hubungan perkawinan adalah suami istri saling mewarisi karena mereka
telah melakukan akad perkawinan secara sah. Dengan demikian, suami dapat menjadi ahli waris dari istrinya, demikian pula sebaliknya istri dapat menjadi ahli waris dari
suaminya. Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa
perkawinan yang sah adalah bilamana dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu dan perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan.
Menurut agama islam, perkawinan baru dapat dikatakan sah apabila akad nikah dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat perkawinan. Rukun perkawinan adalah
hadirnya calon suami dan istri dalam akad nikah, ijab-qabul, dan adanya saksi. Sedangkan syarat yang harus dipenuhi dalam setiap unsur akad perkawinan dibagi
tiga bagian. Pertama, syarat peristiwa hukumnya, yakni hadirnya pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan akad, baik dari pihak calon suami, calon istri,
atau yang mewakili. Kedua, syarat sahnya, yakni hadirnya dua saksi di tempat calon istri diakadkan. Ketiga, syarat kemutlakan, yang harus ada untuk tidak terjadi fasakh
atau dibatalkan akad itu, yakni calon suami dan istri sudah dewasa, suami tidak cacat jasmani, wali cakap, ada mahar dan calon suami tidak dipaksa.
31
Sebaliknya, akad perkawinan yang tidak sah dalam segala bentuknya tidak akan menyebabkan adanya peristiwa hubungan kewarisan. Meskipun begitu, akan
tetapi masih perlu dicatat bahwa pewarisan karena hubungan perkawinan akan berlaku, sepanjang suami atau istri yang wafat masih dalam batas-batas kewajaran,
31
Ibid., hlm. 63
Universitas Sumatera Utara
23
yakni ia masih dalam talaq raj’i dan ahli waris antara keduanya masih ada. Dalam hal ini, Muhammad Abduh menafsirkan Al-Qur’ansurat An Nisa’ ayat 33 bahwa istri-
istri adalah ahli waris bagi suaminya, bukan perjanjian menjadi sebab perkawinan.
32
2. Hubungan Nasab
Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa sebab pertama terjadinya kewarisan adalah adanya hubungan perkawinan. Apabila perkawinan telah berlangsung, maka
resmilah ada suami dan istri. Dari pasangan ini, lahir pula keturunan yakni anak. Apabila anak kawin dan mempunyai juga anak, maka anaknya itu disebut cucu.
Begitulah seterusnya ke bawah. Selanjutnya dari pasangan suami istri itu masing-masing mempunyai orang
tua, dan orang tua itu, masing-masing juga mempunyai orang tua yang disebut kakek dan nenek. Demikian pula suami dan istri itu mempunyai saudara-saudara dan
saudara-saudara tersebut masing-masing juga mempunyai keluarga sendiri. Lahirlah istilah sepupu, dan sebagainya.
Sahnya hubungan nasab, bukan saja karena telah terjadi akad perkawinan. Tetapi harus pula terjadi hubungan biologis antara suami istri. Meskipun begitu yang
berlaku secara umum adalah bahwa hubungan nasab tetap sah tanpa terjadi hubungan biologis antara suami istri itu.
33
Berdasarkan Al-Qur’an surat An Nisa’ ayat 11, ayat 12 dan ayat 176 bahwa yang berhak mendapat harta warisan karena hubungan nasab adalah 12 jenis ahli
32
Ibid., hlm. 65
33
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
24
waris yakni anak laki-laki, anak perempuan, suami, istri, ayah, ibu, saudara laki-laki sekandung, saudara perempuan sekandung, saudara laki-laki seayah, saudara
perempuan seayah, saudara laki-laki seibu, dan saudara perempuan seibu. 3.
Hubungan Wala’ Yang dimaksud dengan hubungan wala’ adalah seseorang menjadi ahli waris
karena ia telah memerdekakan budaknya. Jadi apabila seseorang telah dimerdekakan oleh tuannya, maka ketika ia wafat, ahli warisnya adalah bekas tuannya itu.
Perbedaan yang menonjol antara hubungan nasab dan hubungan wala’ adalah terletak pada ahli waris. Pada hubungan nasab, ahli waris adalah dari dalam
lingkungan keluarga dekat. Sedangkan hubungan wala’, ahli waris adalah dari luar, yakni bekas tuannya.
Dasar yang dipegangi sehingga hubungan wala’ dapat menjadi ukuran terjadinya kewarisan adalah Al-Qur’ansurat An Nisa’ ayat 33.
2. Konsepsi