Kerangka Teori Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Anak Li’an Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/PDT.G/2010/PA Sidoarjo)

14 b. Bagaimana status hak waris anak luar kawin menurut Hukum Perdata BW ? c. Bagaimana perbandingan status hak waris anak luar kawin antara Kompilasi Hukum Islam KHI dengan Hukum Perdata BW ? 2. Judul Tesis “Analisis Yuridis Kedudukan Anak luar kawin Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam KHI dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata” yang ditulis oleh Ayu Yulia Sari, NIM 097011052, perumusan masalahnya adalah : a. Bagaimana kriteria anak luar kawin dalam Kompilasi Hukum Islam KHI dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ? b. Bagaimana kedudukan anak luar kawin berdasarkan Kompilasi Hukum Islam KHI dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ? c. Bagaimana akibat hukum anak luar kawin berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ? Oleh karena itu judul tesis ini dapat dijamin keasliannya sepanjang mengenai judul dan permasalahan seperti yang diuraikan di atas. Hal ini juga menambah keyakinan bahwa penelitian ini akan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Dalam perkembangannya, ilmu hukum tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu termasuk ketergantungannya pada metodologi, karena aktivitas penelitian hukum dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori. Universitas Sumatera Utara 15 Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran. 16 Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar thea ini pula datang kata modern teater yang berarti pertunjukan atau tontonan. Dalam banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis rasional, empiris kenyataannya, dan juga simbolis. 17 Menurut W.I. Neuman, yang pendapatnya dikutip dari Otje Salman dan Anton F. Susanto, menyebutkan bahwa : “teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”. 18 Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukkan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut variabel bersangkutan memang dapat mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab. Menurut M. Solly Lubis, bahwa : 16 J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting : M. Hisyam, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hlm. 203 17 H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 21 18 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 5 Universitas Sumatera Utara 16 “teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau begaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.” 19 Malcom Walters, yang pendapatnya dikutip dari Otje Salman dan Anton F. Susanto, menyebutkan bahwa teori hendaknya meliputi semua pernyataan yang disusun dengan sengaja yang memenuhi semua kriteria : 20 a. Pernyataan itu harus abstrak, yaitu harus dipisahkan dari praktek-praktek sosial yang dilakukan. Teori biasanya mencapai abstraksi melalui pengembangan konsep teknis yang hanya digunakan dalam komunitas sosiologis dan sosial. b. Pernyataan itu harus tematis. Argumentasi tematis tertentu harus diungkapkan melalui seperangkat pernyataan yang menjadikan pernyataan itu koheren dan kuat. c. Pernyataan itu harus konsisten secara logika. Pernyataan-pernyataan itu tidak boleh saling berlawanan satu sama lain dan jika mungkin dapat ditarik kesimpulan dari satu dan lainnya. d. Pernyataan itu harus dijelaskan. Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau eksistensinya. e. Pernyataan itu harus umum pada prinsipnya. Pernyataan itu harus dapat digunakan dan menerangkan semua atas contoh fenomena apapun yang mereka coba terangkan. f. Pernyataan-pernyataan itu harus independen. Pernyataan itu tidak boleh dikurangi hingga penjelasan yang ditawarkan para partisipan untuk tingkah laku mereka sendiri. g. Pernyataan-pernyataan itu secara substansi harus valid. Pernyataan itu harus konsisten tentang apa yang diketahui dunia sosial oleh partisipan dan ahli-ahli lainnya. Minimal harus ada aturan-aturan penerjemahan yang dapat menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lainnya. Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dan permasalahan yang dianalisis. 19 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 27 20 H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto., Op.Cit., hlm. 23 Universitas Sumatera Utara 17 Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum waris faraidh, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui yang merupakan masukan bagi penulisan tesis ini. Dalam penelitian ini, menetapkan suatu kerangka teori adalah suatu keharusan. Hal ini dikarenakan kerangka teori itu digunakan sebagai landasan berfikir untuk menganalisis permasalahan yang dibahas. Adapun teori yang dapat dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini adalah teori Maqashid al-Syariah. Dari segi bahasa Maqashid al-Syariah berarti maksud atau tujuan disyari’atkan hukum Islam. Oleh karena itu, yang menjadi bahasan utama didalamnya adalah mengenai masalah hikmat dan illat ditetapkannya suatu hukum. Dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, perlu diteliti lebih dahulu hakekat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap kasus yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Artinya dalam menetapkan nash dalam suatu kasus yang baru, kandungan nash harus diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan disyari’atkan hukum tersebut. 21 21 Fitri Zakiyah,Tesis Perbandingan Status Hak Waris Anak luar kawin Antara Kompilasi Hukum Islam KHI Dengan Hukum Perdata BW, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010, hlm. 21 Universitas Sumatera Utara 18 Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqih, unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, yaitu : 22 a. Memelihara agama b. Memelihara jiwa c. Memelihara akal d. Memelihara harta e. Memelihara keturunan f. Memelihara kehormatan 23 Teori berikutnya yang menjadi teori pendukung dari teori Maqashid al- Syari’ah adalah teori Mashlahah Mursalah, yang dalam Bahasa Indonesia kata mashlahah dikenal dengan maslahat. Mashlahah ini secara bahasa atau secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan. 24 Sedangkan menurut istilah atau epistemology, mashlahah diartikan oleh para ulama Islam dengan rumusan hampir bersamaan, diantaranya Al-Khawarizmi yang menyebutkan mashlahah adalah al-marodu bil-maslahatil-mukhaafazatu ‘ala maqsudi-syar’i bidaf’i-l mufaasidi ‘ani-l- kholqi, yaitu memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak bencanakerusakanhal-hal yang merugikan diri manusia makhluk. Sedangkan ulama telah berkonsensus, bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan atau kehormatan, dan harta. 25 22 Ibid. 23 M. Hasballah Thaib, Falsafah Hukum Islam, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Medan, 1993, hlm. 6 24 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke II, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hlm. 634. 25 Mahmuzar, Maslahah-Mursalah; Suatu Metode Istinbath Hukum, http:www.fush.uin- suska.ac.idattachments073_Mahmuzar.pdf, diakses pada tanggal 1 mei 2012. Universitas Sumatera Utara 19 Tidak jauh berbeda dengan Al-Khawarizmi di atas, Al-Ghazali merumuskan maslahah sebagai suatu tindakan memelihara tujuan syara’ atau tujuan hukum Islam, sedangkan tujuan hukum Islam menurut Al-Ghazali adalah memelihara enam hal di atas. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara salah satu dari enam hal di atas disebut maslahah, dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadah, dan menolak mafsadah disebut maslahah. 26 Dapat dilihat, bahwa memelihara kehormatan dan keturunan merupakan salah satu tujuan hukum Islam. Islam sangat melindungi kehormatan seorang muslim dan tidak membenarkan menuduh orang lain melakukan kejahatan tanpa adanya suatu bukti yang benar, tuduhan tanpa alasan berarti penghinaan. Tuduhan yang paling berat adalah menuduh orang berzina, baik yang tertuduh laki-laki ataupun perempuan. 27 Larangan menuduh orang berzina telah jelas diatur dalam Al-Qur’an surah An-Nur 24 ayat 5 yang menyebutkan : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik 28 berbuat zina dan tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka yang menuduh itu delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” Seperti halnya terhadap kasus li’an di atas, menuduh orang lain berzina, terlebih terhadap istri sendiri, akan berdampak besar, salah satunya terhadap keturunan yang lahir dalam perkawinan tersebut. 26 Ibid. 27 M. Hasballah Thaib, Falsafah Hukum Islam, Op.Cit., hlm. 9 28 Yang dimaksud wanita-wanita yang baik-baik disini adalah wanita-wanita yang suci, akhil baligh, dan muslimah. Universitas Sumatera Utara 20 Islam menganjurkan memelihara keturunan, bahkan salah satu dari hikmah perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan. Ditinjau dari tingkat kebutuhannya, memelihara keturunan dapat dibedakan menjadi tiga peringkat : 29 a. Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam. b. Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq kepadanya. c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’atkan khitbah atau walimat dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan. Kaitan kedua teori di atas terhadap kasus li’ansekaligus pengingkaran anak yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya adalah bahwasanya bagaimanapun anak adalah darah daging orang yang membenihkannya, anak li’antidak dapat disalahkan, tetapi yang salah adalah ibubapaknya berdasarkan benar atau tidaknya tuduhan zina li’an yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya tersebut. Sehingga dengan demikian anak tersebut juga dapat diberikan kelonggaran untuk memperoleh hak-hak yang sama seperti anak-anak lain dalam perkawinan yang harmonis atau sekurang-kurangnya dapat diakui juga sebagai anak. Demikian juga dalam hal warisan hendaknya diberikan juga kepadanya bagian warisan dari pihak ayahnya yang mengingkarinya walaupun tidak sebesar bagian anak yang sah. Anak merupakan anugerah yang sangat besar dari Allah SWT, oleh karena itu hendaknya juga dilahirkan dalam ikatan suci perkawinan. Namun, dalam 29 Fitri Zakiyah, Op.Cit., hlm. 22 Universitas Sumatera Utara 21 kenyataannya ada anak-anak yang diingkari oleh orangtuanya, terutama dalam hal ini adalah ayahnya, melalui sumpah li’an yang dijatuhkan kepada istrinya. Bagaimanapun juga anak adalah seorang manusia yang mempunyai harkat dan martabat yang harus dihormati dan memerlukan perlindungan, terutama dari kedua orang tuanya. Salah satu contohnya adalah perlindungan terhadap asal usul anak. Seperti yang telah diuraikan di atas, sebelum terlahirkannya anak dalam keluarga maka harus dilakukan perkawinan, perkawinan itu sendiri menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ikatan lahir bathin yang disebut dengan perkawinan ini sudah tentu menimbulkan akibat hukum, baik bagi suami istri yang melakukan perkawinan itu sendiri maupun bagi anak-anak yang akan dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Salah satunya adalah hubungan kewarisan. Menurut ketentuan hukum kewarisan untuk memperoleh warisan harus didasarkan atas hubungan antara ahli waris dengan si pewaris. Adapun faktor yang menjadi sebab terjadinya kewarisan dalam Al-Qur’an, faktornya ada tiga, yakni hubungan perkawinan, hubungan nasab, dan hubungan wala’. 30 1. Hubungan Perkawinan 30 Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 62 Universitas Sumatera Utara 22 Hubungan perkawinan adalah suami istri saling mewarisi karena mereka telah melakukan akad perkawinan secara sah. Dengan demikian, suami dapat menjadi ahli waris dari istrinya, demikian pula sebaliknya istri dapat menjadi ahli waris dari suaminya. Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan yang sah adalah bilamana dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu dan perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan. Menurut agama islam, perkawinan baru dapat dikatakan sah apabila akad nikah dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat perkawinan. Rukun perkawinan adalah hadirnya calon suami dan istri dalam akad nikah, ijab-qabul, dan adanya saksi. Sedangkan syarat yang harus dipenuhi dalam setiap unsur akad perkawinan dibagi tiga bagian. Pertama, syarat peristiwa hukumnya, yakni hadirnya pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan akad, baik dari pihak calon suami, calon istri, atau yang mewakili. Kedua, syarat sahnya, yakni hadirnya dua saksi di tempat calon istri diakadkan. Ketiga, syarat kemutlakan, yang harus ada untuk tidak terjadi fasakh atau dibatalkan akad itu, yakni calon suami dan istri sudah dewasa, suami tidak cacat jasmani, wali cakap, ada mahar dan calon suami tidak dipaksa. 31 Sebaliknya, akad perkawinan yang tidak sah dalam segala bentuknya tidak akan menyebabkan adanya peristiwa hubungan kewarisan. Meskipun begitu, akan tetapi masih perlu dicatat bahwa pewarisan karena hubungan perkawinan akan berlaku, sepanjang suami atau istri yang wafat masih dalam batas-batas kewajaran, 31 Ibid., hlm. 63 Universitas Sumatera Utara 23 yakni ia masih dalam talaq raj’i dan ahli waris antara keduanya masih ada. Dalam hal ini, Muhammad Abduh menafsirkan Al-Qur’ansurat An Nisa’ ayat 33 bahwa istri- istri adalah ahli waris bagi suaminya, bukan perjanjian menjadi sebab perkawinan. 32 2. Hubungan Nasab Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa sebab pertama terjadinya kewarisan adalah adanya hubungan perkawinan. Apabila perkawinan telah berlangsung, maka resmilah ada suami dan istri. Dari pasangan ini, lahir pula keturunan yakni anak. Apabila anak kawin dan mempunyai juga anak, maka anaknya itu disebut cucu. Begitulah seterusnya ke bawah. Selanjutnya dari pasangan suami istri itu masing-masing mempunyai orang tua, dan orang tua itu, masing-masing juga mempunyai orang tua yang disebut kakek dan nenek. Demikian pula suami dan istri itu mempunyai saudara-saudara dan saudara-saudara tersebut masing-masing juga mempunyai keluarga sendiri. Lahirlah istilah sepupu, dan sebagainya. Sahnya hubungan nasab, bukan saja karena telah terjadi akad perkawinan. Tetapi harus pula terjadi hubungan biologis antara suami istri. Meskipun begitu yang berlaku secara umum adalah bahwa hubungan nasab tetap sah tanpa terjadi hubungan biologis antara suami istri itu. 33 Berdasarkan Al-Qur’an surat An Nisa’ ayat 11, ayat 12 dan ayat 176 bahwa yang berhak mendapat harta warisan karena hubungan nasab adalah 12 jenis ahli 32 Ibid., hlm. 65 33 Ibid. Universitas Sumatera Utara 24 waris yakni anak laki-laki, anak perempuan, suami, istri, ayah, ibu, saudara laki-laki sekandung, saudara perempuan sekandung, saudara laki-laki seayah, saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seibu, dan saudara perempuan seibu. 3. Hubungan Wala’ Yang dimaksud dengan hubungan wala’ adalah seseorang menjadi ahli waris karena ia telah memerdekakan budaknya. Jadi apabila seseorang telah dimerdekakan oleh tuannya, maka ketika ia wafat, ahli warisnya adalah bekas tuannya itu. Perbedaan yang menonjol antara hubungan nasab dan hubungan wala’ adalah terletak pada ahli waris. Pada hubungan nasab, ahli waris adalah dari dalam lingkungan keluarga dekat. Sedangkan hubungan wala’, ahli waris adalah dari luar, yakni bekas tuannya. Dasar yang dipegangi sehingga hubungan wala’ dapat menjadi ukuran terjadinya kewarisan adalah Al-Qur’ansurat An Nisa’ ayat 33.

2. Konsepsi