Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi

44 baiknya. Dari sini dapat terlihat bahwa dalam mula’anah sumpah berarti kesaksian dan kesaksian berarti sumpah pula. 79

2. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi

Hukum Islam KHI. Pengertian li’an yang diadopsi oleh Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bersumber dari ketentuan Hukum Islam yang mengatur tentang penyangkalan anak melalui cara li’an. Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada menyebutkan kata li’an, tetapi menggunakan kata penyangkalan anak, juga tidak menjelaskan pengertian li’an secara eksplisit, tetapi hanya menjelaskan makna secara global saja. Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan : “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut.” Ketentuan pasal ini berlaku bagi suami yang ingin menyangkal anak yang dikandung oleh istrinya dengan membuktikan bahwa istrinya berzina, dan dalam pasal yang sama pada ayat 2 disebutkan tentang siapa yang berhak memutuskan terhadap sah atau tidaknya anak tersebut : “pengadilan memberikan keputusan tentang sahtidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.” 80 79 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Op.Cit., hlm. 142-143. 80 Pasal 44 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Universitas Sumatera Utara 45 Meski ketentuan-ketentuan diatas memberi hak kepada seorang ayah untuk mengingkari anaknya, namun si ayah harus dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu adalah akibat dari perzinahan itu. Artinya, bila suami atau ayah dari anak tersebut tidak dapat menunjukkan bukti yang kuat, maka pengingkaran tidak dapat dilakukan. Bahkan Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan untuk mengucapkan sumpah berkaitan dengan keputusan yang akan dikeluarkan tentang sahtidaknya anak tersebut. 81 Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam, sedikit lebih jelas disebutkan mengenai pengertian li’an walaupun tidak secara eksplisit. Pada Pasal 101 Kompilasi Hukum Islam disebutkan : “seorang suami yang mengingkari sahnya anak sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an”. Kemudian di dalam Pasal 126 Kompilasi Hukum Islam KHI lebih jelas disebutkan : “li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.” Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam juga menegaskan bahwa li’an juga menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya. Dari keterangan pasal-pasal di atas, baik yang terdapat pada Undang-Undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam, dapat diambil suatu kesimpulan sebagai penjelasan bahwa li’an merupakan salah satu bentuk perceraian yang 81 Pasal 44 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Universitas Sumatera Utara 46 dilakukan di depan pengadilan yang dapat juga disertai dengan penyangkalanpengingkaran oleh suami terhadap sahnya anak dalam kandungan ataupun yang sudah lahir dari istrinya karena tuduhan zina yang memiliki serangkaian ketentuan ataupun mekanisme tertentu untuk melakukan li’an tersebut.

B. Bentuk-Bentuk Li’an

Jika dilihat dari pengertian li’an sebagai suatu tuduhan suami terhadap istrinya bahwa ia telah berzina, misalnya dengan berkata : “Aku melihatnya sedang berzina ”, atau suami menolak janin yang dikandung istrinya sebagai anaknya, maka li’an dapat dibedakan menjadi tiga macam : 1. Suami menuduh istrinya berzina, tetapi ia tidak punya empat orang saksi laki-laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu. Jika ada laki-laki yang menzinai istrinya dan suami melihat laki-laki tersebut sedang menzinai istrinya atau istri mengakui berbuat zina dan suami yakin akan kebenaran pengakuannya tersebut, maka dalam keadaan seperti ini lebih baik ditalak, bukan dengan jalan meli’an atau mengadakan mula’anah. Tetapi jika tidak terbukti laki-laki yang menzinainya, maka suami boleh menuduhnya berbuat zina. 82 Menurut ulama Mazhab Maliki, suami yang mengaku melihat istrinya berzina itu disyaratkan tidak melakukan senggama dengan istrinya tersebut setelah tuduhan dijatuhkan. 83 Dalam hal ini, bisa saja suami ketika melakukan tuduhan zina terhadap istrinya tanpa disertai dengan pengingkaran terhadap sahnya anak yang dikandung 82 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Op.Cit., hlm. 138-139. 83 Abdul Aziz Dahlan, Op.Cit., hlm. 1009. Universitas Sumatera Utara 47 ataupun yang telah lahir dari istrinya tersebut. Pihak suami sebagai pemegang hak pengingkaran anak, adalah boleh mempergunakannya dan dapat pula tidak mempergunakannya. Selama suami tidak mempergunakan haknya tersebut, maka ia dianggap secara hukum menerima keadaan aquo dan kedudukan anak tetap dipandang sebagai anak sah yang mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya. 84 2. Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya. Suami boleh tidak mengakui kehamilan istri, biar dalam keadaan bagaimanapun, karena ia merasa belum pernah sama sekali mencampuri istrinya sejak akad nikahnya, atau ia merasa mencampurinya tetapi baru setengah tahun lalu atau telah lewat setahun, sedangkan umur kandungannya tidak sesuai. 85 Dalam Hukum Islam seorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa anak yang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikan bahwa : 86 a. Suami belum pernah menjima’istrinya akan tetapi istri tiba–tiba melahirkan; b. Lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak menjima’ istrinya sedangkan bayinya lahir seperti bayi yang cukup umur; c. Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si istri tidak dijima’ suaminya. 3. Suami menuduhkan kedua-duanya kepada istrinya, yakni menuduh istrinya berzina dan tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya, dan 84 Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam Jilid II, Loc.Cit. 85 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Loc.Cit. 86 Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2004, hlm. 284. Universitas Sumatera Utara 48 ia tidak bisa membuktikan hal itu dengan kehadiran empat orang saksi. 87 Kalau suami tetap pada tuduhannya itu, ia dituntut untuk bersaksi dengan nama Allah. Bentuk persaksiannya, yaitu bersumpah sebanyak empat kali bahwa apa yang dituduhkannya adalah benar. Kemudian dalam sumpahnya yang kelima, jika tuduhannya bohongdusta, laknat Allah akan menimpa dirinya. 88 Adapun pernyataan pengingkaran terhadap anak yang lahir dari rahim istrinya harus dilakukan di hadapan hakim dengan ungkapan “Anak ini atau kehamilan ini bukan dari saya”. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat ulama tentang waktu pengingkaran terhadap anak tersebut. Beberapa Ulama Mazhab, seperti ulama Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali dan Mazhab Maliki tidak membolehkan pengingkaran anak yang dilahirkan istrinya setelah anak itu lahir. Sedangkan Ulama Mazhab Syafi’i membolehkan pengingkaran dilakukan selama kehamilan ataupun menunggu sampai kelahiran. 89 Menurut Ulama Mazhab Hanafi, apabila pengingkaran itu dilakukan segera setelah anak itu lahir atau pada masa proses kelahirannya, maka li’an sah. Tetapi bila dilakukan setelah itu, tuduhan atau pengingkaran tersebut tidak dapat diterima. Akibatnya, anak tersebut merupakan keturunannya, karena sebelumnya suami tersebut diam saja dan sikap diam tersebut menunjukkan ridha suami. 90 87 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Op.Cit., hlm. 405 88 Bermula’anah melakukan li’an seperti yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an surah An- Nur 24 ayat 6-7. 89 Abdul Azis Dahlan, Loc.Cit. 90 Ibid. Universitas Sumatera Utara 49 Ulama Mazhab Maliki, meskipun sependapat dengan Ulama Mazhab Hanafi, tetapi disertai dengan pensyaratan dua hal dalam tuduhan suami dan pengingkaran suami terhadap anak yang dilahirkan istrinya, yaitu pertama, suami tidak melakukan senggama dengan istrinya selama masa yang diduga bisa menimbulkan kehamilan, yaitu satu kali haid, dan kedua, pengingkaran anak tersebut dilakukan sebelum anak itu lahir. Apabila suami diam saja tanpa alasan sampai anak itu lahir, walaupun satu hari, maka li’an tidak sah dan suami tersebut bahkan dikenakan hukuman tuduhan berbuat zina 91 . Sedangkan ulama Mazhab Syafi’i membolehkan pengingkaran dilakukan selama kehamilan atau menunggu sampai kelahiran. Alasannya adalah sebuah riwayat ketika Hilal Ibn Umayyah menuduh istrinya melakukan zina dengan Syuraik as-Samha di hadapan Rasulullah SAW. Ulama Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa dibolehkannya tuduhan sampai kelahiran anak yang dikandung istri itu bertujuan agar tuduhan dapat dikemukakan secara meyakinkan. 92 Dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam KHI mengenai waktu pengingkaran anak ini telah diatur bahwa suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. 91 Ibid., hlm. 1010 92 Ibid. Universitas Sumatera Utara 50 Pengingkaran yang diajukan setelah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima. 93 Ini berarti bahwa Kompilasi Hukum Islam membolehkan dilakukannya pengingkaran anak setelah kelahiran anak tersebut.

C. Rukun, Syarat dan Cara Melakukan Li’an

Rukun merupakan sesuatu yang harus ada atau yang harus dilakukan untuk sahnya perbuatan atau pekerjaan yang kita lakukan. Seperti halnya dalam menjalankan shalat bagi umat Muslim ada rukun-rukun shalat yang harus dilakukan, demikian pula halnya apabila hendak melakukan li’an atau bermula’anah. Para jumhur ulama mengemukakan empat rukun li’an 94 , yaitu : 1. Suami yang melakukan li’an 2. Istri yang dili’an 3. Sebab li’an 4. Lafal li’an Terhadap rukun li’an yang pertama dan kedua tersebut diatas, hendaknya kedua suami istri itu adalah orang-orang yang sudah dewasa serta berakal sehat. Sebab tidak ada beban taklif atas orang gila atau anak kecil, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “pena itu diangkat dari tiga orang : dari anak kecil sampai ia dewasa, dari orang gila sampai ia sadar, dan dari orang yang tidur sampai ia bangun”. 95 Adapun sebab li’an adalah tuduhan suami terhadap istrinya bahwa istrinya itu berbuat zina dan suami mengingkari terhadap sahnya anak dalam kandungan istrinya 93 Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam KHI. 94 Abdul Aziz Dahlan, Loc.Cit. 95 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Op.Cit., hlm. 218. Universitas Sumatera Utara 51 atau yang telah lahir dari istrinya tersebut sebagai darah dagingnya. Pihak suami harus mengadukan bahwa ia melihat istrinya melakukan zina. Dalam hal kehamilan, ia juga harus mengajukan bukti yang menyatakan bahwa dia tidak pernah menggauli istrinya itu atau ia tidak pernah menggaulinya selama usia kehamilan. Bila tidak ada pengaduan suami, maka tuduh menuduh zina itu tidak terjadi antara suami istri tersebut, karena li’an tidak boleh dilakukan hanya berdasarkan perkiraan belaka. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT : “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian prasangka itu adalah dosa...” 96 Jika dilihat dari dasar li’an dalam Al-Qur’an surah An-Nuur 24 ayat 6-7, dapat diketahui bunyi dari lafal li’an, yaitu : “bahwa suami mula-mula bersaksi di hadapan hakim dengan empat pensaksian, yaitu dengan mengucapkan asyhadu billahi inni laminash shadiqien saya bersaksi dengan nama Allah, sesungguhnya saya adalah dari orang-orang yang benar tentang apa yang saya tuduhkan kepada istri saya, yaitu : zina, dan pada kali yang kelima dia mengatakan : la’natullahi “alaiya inkuntu minal kadzibiin Kutukan Tuhan atasku jika aku dari orang yang dusta tentang tuduhannya. Kemudian istrinya pula bersaksi dengan empat pensaksian dengan mengucapkan asyhadu billahi innahu la minal kadzibiin saya bersaksi dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah dari orang-orang yang berdusta terhadap tuduhannya atas diriku, dan pada kali yang kelima dia mengatakan : ghaddlaballahi ‘alaiya in kana minash shadiqiin kemarahan Allah atas diriku jika dia suaminya dari orang yang benar dalam tuduhannya.” 97 96 Al-Qur’an surah Al-Hujarat ayat 12. 97 T.M Hasbi Ash-Shiddieqy,Fiqhul Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syariat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1967, hlm. 283 Universitas Sumatera Utara 52 Dalam prakteknya di pengadilan, lafal li’an yang sering digunakan adalah sebagai berikut : 98 Suami terlebih dahulu mengucapkan sumpah li’an di muka sidang, “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM, WALLAHI, WABILLAHI, WATALLAHI., DEMI ALLAH SAYA BERSUMPAH BAHWA ISTERISAYA TELAH BERBUAT ZINA DAN ANAK YANG DILAHIRKAN ISTERI SAYA ADALAH BUKAN ANAK SAYA.” Empat kali. “SAYA BERSEDIA MENERIMA LAKNAT ALLAH BILA SAYA BERDUSTA”. Satu kali. Lalu dilanjutkan dengan sumpah li’an sumpah balasan dari istri, “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM, WALLAHI, WABILLAHI, WATALLAHI, DEMI ALLAHSAYA BERSUMPAH BAHWA SAYA TIDAK BERBUAT ZINA DAN ANAK YANG SAYA LAHIRKAN ADALAH ANAK SUAMI SAYA” Empat kali. “SAYA BERSEDIA MENERIMA MURKA ALLAH, BILA SAYA BERDUSTA”. Satu kali. Mengenai syarat li’an, para ulama membaginya menjadi dua bentuk, yaitu syarat wajibnya li’an dan syarat sahnya melakukan li’an. Berdasarkan pendapat para ulama, syarat wajibnya li’an dapat diuraikan menjadi : 99 1. Pasangan tersebut masih berstatus suami istri, sekalipun istri belum digauli atau istri masih dalam masa idah talak raj’i. Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa li’an tetap sah terhadap istri yang dalam talak ba’in. 100 2. Status perkawinan mereka adalah nikah yang sah. Tetapi menurut pendapat beberapa kalangan jumhur ulama li’an juga sah dilakukan dalam nikah fasid karena adanya masalah nasab keturunan dalam nikah fasid tersebut. 3. Suami adalah seorang muslim yang cakap memberikan kesaksian secara lisan. Kalangan Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan bahwa suami adalah harus 98 Putusan Pengadilan Agama Buol Nomor 017Pdt.G2010PA Buol 99 Abdul Azis Dahlan, Op.Cit., hlm 1010-1011 100 Didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah An-Nur ayat 6 yang artinya : ”Dan orang-orang yang menuduh istrinya...”. Kata ‘istri’ menurut ulama menunjukkan bahwa status mereka masih suami istri. Universitas Sumatera Utara 53 seorang muslim, tetapi tidak bagi Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali, yang menajdi patokan bagi mereka adalah bahwa suami adalah orang yang cakap menjatuhkan talak kepada istrinya. 4. Adanya tuduhan berbuat zina dari suami terhadap istri 5. Istri mengingkari tuduhan tersebut sampai berakhirnya proses dan hukum li’an. Adapun syarat sahnya proses li’an menurut kalangan ulama Mazhab Hambali ada enam, yaitu : 101 1. Li’an dilakukan dihadapan hakim. 102 2. Li’an dilaksanakan suami setelah diminta oleh hakim. 3. Lafal li’an yang lima kali diucapkan secara sempurna. 4. Lafal yang dipergunakan dalam li’an itu sesuai dengan yang dituntunkan Al- Qur’an. 5. Proses li’an harus berurut, dimulai dengan sumpah suami empat kali dan yang kelima suami melaknat dirinya, tidak boleh sebaliknya dan tidak boleh diubah. 6. Jika suami istri itu hadir dalm persidangan li’an, keduanya boleh mengajukan isyarat untuk menunjuk pihak lainnya. Tetapi jika ada diantara mereka yang tidak hadir, maka penunjukkan harus dilakukan dengan penyebutan nama dan identitas lengkap. Kalangan ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali menyatakan bahwa proses li’an tidak harus dihadiri oleh kedua belah pihak, diikuti pula dengan perbedaan pendapat dalam hal diperlukannya kehadiran saksi ketika terjadinya li’an. Ulama Mazhab Maliki berpendapat li’an harus dihadiri banyak orang dan paling tidak empat orang yang adil, sementara Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali menyatakan bahwa li’an dianjurkan dihadiri oleh jemaah umat Islam. Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina, maka hakim menetapkan agar mereka saling melakukan li’an bermula’anah. Hakim memerintahkan suami untuk bersaksi empat kali dengan nama Allah SWT bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhan atau pengingkarannya terhadap anak yang dikandung istrinya itu. Pada yang kelima kali ia menyatakan bahwa laknat Allah SWT akan menimpanya jika ia berdusta dengan tuduhannya terhadap istrinya dan pengingkarannya terhadap 101 Abdul Azis Dahlan, Op.Cit, hlm. 1011. 102 Sejalan dengan kasus Hilal Ibn Umayyah dengan Syuraik as-Samha. Universitas Sumatera Utara 54 anak tersebut. setelah itu barulah istri mengemukakan kesaksiannya dengan nama Allah SWT empat kali dengan pernyataan bahwa ia suami termasuk orang yang berdusta terhadap tuduhannya atau pengingkarannya terhadap anak yang dikandungnya. Kemudian pada yang kelima kalinya ia menyatakan bahwa kemarahan Allah SWT akan menimpanya jika ia suami termasuk orang yang benar terhadap tuduhan dan pengingkarannya terhadap anak tersebut. 103 Dalam proses li’an tersebut hakim hendaknya memberi peringatan kepada si suami seperti peringatan yang disabdakan Rasulullah SAW : “Siapa saja lelaki yang menolak anaknya, padahal sebenarnya ia mengakuinya, maka Allah tidak akan melihatnya dan ia akan dihinakan di hadapan orang-orang terdahulu maupun orang-orang terkemudian” Hadist Riwayat Abu Dawud, Nasai, dan Ibnu Majjah. Ibnu Hibban menyatakan sahih.” Kemudian hakim hendaknya juga memperingatkan istri dengan sabda Rasulullah SAW : “Barangsiapa diantara perempuan memasukkan suatu kaum yang bukan ahlinya suaminya, maka hal itu tidak jadi masalah bagi Allah, tetapi Allah tidak akan memasukkannya ke surga”. Hadist Riwayat Abu Dawud, Nasai, dan Ibnu Majjah. Ibnu Hiban menyatakan sahih. 104 Di dalam Kompilasi Hukum Islam KHI Pasal 127 juga ada diatur mengenai tata cara li’an dengan tetap berdasarkan kepada Al-Qur’an surah An-Nur ayat 6-9, yaitu : a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut, diikuti dengan sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”. 103 Cara seperti inilah yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 6-9 dan cara ini pula yang dipraktekkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari Abdullah bin Umar. 104 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Op.Cit., hlm. 219. Universitas Sumatera Utara 55 b. Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”. c. Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. d. Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li’an. 105 Dengan selesainya diucapkan sumpah li’an, maka hakim kemudian menceraikan kedua suami istri yang bermula’anah tersebut dan diantara keduanya tidak boleh terjadi perkawinan lagi untuk selama-lamanya yang didasarkan pada sabda Rasulullah SAW : “Suami istri yang saling mengutuk itu, apabila telah bercerai, maka keduanya tidak boleh bersatu lagi untuk selamanya”. Hadist Riwayat Al-Turmudzi. 106 Hal tersebut juga dipertegas di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 125 yang menyebutkan bahwa li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya. 107 Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan li’an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama, atau dengan perkataan lain di lakukan di muka hakim. Dengan pelaksanaan li’an di hadapan sidang pengadilan akan dapat diberikan surat keterangan telah terjadinya li’an dan dapat diketahui akibat-akibat hukumnya yang timbul. Kompilasi Hukum Islam dalam mengatur 105 Pasal 127 Kompilasi Hukum Islam KHI 106 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Loc.Cit. 107 sebab sudah terjadi saling membenci, padahal dalam kehidupan perkawinan memerlukan ketenangan, kasih sayang dan saling cinta mencintai, sedangkan pada kedua suami istri yang telah melaksanakan li’an sudah hilang dasar-dasar tersebut. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003, hlm.150. Universitas Sumatera Utara 56 bahwa li’an harus dilakukan di hadapan sidang adalah dengan menggunakan metode istislah atau sering disebut mashlahah mursalah. Secara teknis hukum Islam tidak menjelaskan konkret tentang adanya li’an di hadapan sidang. Namun demikian, karena kemashlahatan yang dimunculkan dari pelaksanaan li’an di depan sidang tersebut sangat besar, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi kepentingan pembinaan kesadaran hukum masyarakat, maka upaya tersebut harus ditempuh. 108

D. Alasan Li’an Dapat Mencegah Hak Waris Anak Dari Ayah Biologisnya

Telah diuraikan sebelumnya bahwa li’an membawa dampak yang sangat besar baik bagi kedua suami istri yang bermula’anah tersebut, yaitu terputusnya perkawinan antara mereka untuk selama-lamanya, juga terhadap anak-anak yang dinafikan di dalam sumpah li’an tersebut. Bila ada anak yang dinafikan, maka tidak dapat lagi diakui oleh suami sebagai anaknya. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW : 109 “bahwasanya seorang laki-laki telah melakukan mula’anah meli’an terhadap istrinya dan menolak untuk mengakui anak yang lahir dari istrinya itu. Lalu Rasulullah SAW menceraikan kedua suami istri tersebut, selanjutnya anak itu dihubungkan untuk perempuan itu 110 ” Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim. 108 Departemen Agama RI, Al-Qur’an al Karim dan Terjemahnya, Karya Putra Toha, Semarang, 1996, hlm. 232. 109 Bgd. M. Leter, Tuntunan Rumah Tangga Muslim dan Keluarga Berencana, Angkasa Raya, Padang, 1985, hlm. 246-247. 110 Maksudnya adalah bahwa nasab anak tersebut dihubungkan kepada ibunya. Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm.131 Universitas Sumatera Utara 57 Hadist ini juga dikuatkan oleh dalil lain yang menyatakan bahwa anak adalah hanya bagi suami yang setempat tidur. Padahal disini tak ada suami yang setempat tidur karena suami telah menyangkalnya melalui sumpah li’an. 111 Hal tersebut tentunya dapat mencegah hak waris anak dari ayah biologisnya, karena telah diketahui bahwa anak yang dinafikan tersebut, untuk selanjutnya setelah perkawinan putus karena li’an, dihubungkan dengan ibu yang melahirkannya. Abu bakar berpendapat bahwa anak yang lahir dari si perempuan yang dili’an itu putus hubungannya dengan dengan si laki-laki terhitung semenjak perkawinan diantara keduanya dinyatakan putus, meskipun dalam ucapan li’an tidak disebutkan menafikan anak. Hal ini didasarkan pada Hadist riwayat antara Hilal bin Umayyah dengan Syuraik as-Shama bahwa Rasulullah SAW sendiri menafikan anak dari laki- laki yang dili’an dan menghubungkan nasabnya dengan si ibu, bahkan waktu itu ucapan li’an dari suami tersebut tidak menyebutkan penafikan si anak. 112 Sebuah riwayat oleh Amr bin Syua’aib dari bapaknya, dari datuknya, ia berkata : “Rasulullah telah memutuskan tentang anak dari suami istri yang bermula’anah, bahwa si anak dapat warisan dari ibunya dan ibunya dapat warisan dari anaknya. Dan orang yang menuduh perempuan berzina tanpa dapat mengajukan empat orang saksi adalah baginya delapan puluh kali dera” Hadist Riwayat Ahmad. 113 111 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Op.Cit., hlm 149. 112 Ibnu Qudamah, Al-Mughniy VI, Maktabah Al-Qahiriyah, Kairo, 1970, hlm. 340-341. 113 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Op.Cit., hlm. 148-149. Universitas Sumatera Utara 58 Demikian pula Hadist Riwayat Abu Dawud mengatakan : 114 “Rasulullah SAW menjadikan hak waris anak li’an mula’anah kepada ibunya dan ahli waris ibu sesudahnya”. Namun demikian, walau hak waris anak tercegah dari ayah biologisnya karena sebab li’an tersebut, tetapi jika dilihat dari segi ketentuan Allah, maka anak tersebut tetap sebagai anaknya sendiri. Oleh sebab itu, anak tersebut tidak boleh menerima zakat yang dikeluarkan ayah biologisnya, jika ayahnya membunuhnya tak ada hukuman qishashnya antara anak ini dengan anak-anak dari ayahnya yang menjadi muhrim, tidak boleh saling jadi saksi di pengadilan, tidak dianggap tak dikenal nasabnya, tidak boleh mengakui orang lain sebagai ayahnya. 115 Jika di kemudian hari suami mencabut tuduhannya 116 , maka anaknya sah nasabnya dengannya, anak itu menjadi lebih berhak kepada ayahnya, dan sekalian akibat li’an terhapus dari anaknya. 117 114 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Loc.Cit. 115 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Op.Cit., hlm. 149-150. 116 Menurut pendapat Imam Abu Hanafiah, jika suami mencabut tuduhannya,berarti ia telah mendustakan dirinya dan dikenakan hukuman hadd cambuk, setelah itu ia boleh kawin lagi dengan bekas istrinya dengan akad baru. Alasannya, jika suami mendustakan diri dengan mencabut tuduhan li’an, tentu li’an menjadi batal. Sebagaimana anak kembai hubungan keturunan kepadanya, maka istri pun kembali padanya. Sebab yang mengharamkan itu adalah ketidakpastian siapa diantara mereka yang benar dan salah. Maka jika kepastian telah diperoleh, dengan sendirinya terangkatlah hukum haram itu. H.A Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Setiap Ada Pintu Masuk Tentu Ada Jalan Keluar, Pustaka Al- Husna, Jakarta, 1994, hlm. 160 117 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Op.Cit., hlm. 220. Universitas Sumatera Utara 59

BAB III HUBUNGAN KENASABAN DAN KEWARISAN ANAK LI’AN

A. Hubungan Kenasaban Anak Li’an

Masalah nasab sangat penting diketahui karena bertalian erat dengan hidup dan kehidupan manusia dalam menentukan keturunan dan pertalian darah seseorang dengan keluarga yang terdekat. Nasab merupakan salah satu hak anak yang paling pertama yang dilahirkan dari orangtuanya selain dari hak mendapatkan penyusuan, hak mendapatkan pengasuhan, hak memperoleh perwalian, hak menerima biaya hidup dan hak kewarisan. Oleh karena itu, Islam menganjurkan memelihara keturunan sebagai salah satu dari tujuan syariat Islam maqashid al syariah seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. Nasab dapat diartikan sebagai legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan tali darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yangsah, atau nikah fasid, atau senggama syubhat. Nasab merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian anak itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab. 118 118 Jumni Nelli, NasabAnak luar kawin Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional,ebookpp.comjujumni-pdf.html, diakses pada tanggal 10 Januari 2012. 59 Universitas Sumatera Utara 60 Amir Syarifuddin mengartikan nasab sebagai hubungan kekerabatan secara hukum . 119 Dari seluruh hukum, maka hukum perkawinan dan kewarisan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku di masyarakat. 120 Bentuk kekeluargaan berpokok pangkal pada sistem keturunan. Apabila ditinjau dari segi antropologi, ada beberapa macam sistem keturunan, yaitu: 121 1. Sistem bilateralparental, yaitu memperhitungkan hubungan-hubungan kekerabatan baik melalui laki-laki maupun perempuan. 2. Sistem patrilineal, yaitu memperhitungkan hubungan-hubungan kekeluargaan melalui laki-laki saja. Oleh karena itu mengakibatkan bahwa setiap warga masyarakat memperhitungkan semua kerabat ayahnya dalam batas hubungan kekeluargaan. 3. Sistem matrilineal, yaitu memperhatikan hubungan-hubungan kekeluargaan melalui perempuan saja. Menurut Hazairin, Islam dengan mengacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah menganut sistem bilateralparental, tetapi selanjutnyaUlama Fiqh menjadikannya lebih cenderung patrilineal. 122 Senada dengan pendapat di atas, berkaitan dengan konsep nasab, Ziba Mir Hosseini menyatakan bahwa seorang anak mengambil nasab dari kedua belah pihak ayah dan ibu, akan tetapi penghubungan nasab kepada bapak lebih dominan daripada kepada ibu. Dalam semua mazhab hukum Islam, makna 119 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad; Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, Ciputat Press, Jakarta, 2002, hlm. 198 120 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran,Tintamas, Jakarta, 1982, hlm.11 121 Ibid., hlm. 11-13 122 Ibid., hlm. 26 Universitas Sumatera Utara 61 paling utama dari nasab adalah menyangkut sisi bapak, yang erat kaitannya dengan legitimasi di mana anak memperoleh identitas hukum dan agamanya. 123 . Mengingat begitu pentingnya hubungan nasab dan keturunan dalam hidup dan kehidupan manusia, maka perlu diketahui penjelasan mengenai hubungan nasab dan keturunan ini dalam pandangan hukum Islam, terutama mengenai dasar-dasar penetapan nasab yang diperoleh dari Al-Qur’an, Hadist, maupun pendapat para ulama, untuk selanjutnya dapat dilakukan analisis terhadap nasab anak li’an, baik secara Hukum Islam maupun ketentuan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia.

1. Nasab Dalam Hukum Islam