Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang Mas Kirana (Musa Sp. Aa Grup) Berbasis Satuan Panas

KRITERIA KEMATANGAN PASCAPANEN PISANG MAS
KIRANA (Musa sp. AA Group) BERBASIS SATUAN PANAS

EKA YULYANA

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kriteria Kematangan
Pascapanen Pisang Mas Kirana (Musa sp. AA grup) Berbasis Satuan Panas adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Eka Yulyana
NIM A24110038

ABSTRAK
EKA YULYANA. Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang Mas Kirana (Musa sp.
AA grup) Berbasis Satuan Panas. Dibimbing oleh WINARSO DRAJAD WIDODO
dan KETTY SUKETI.
Percobaan bertujuan mempelajari kriteria kematangan pascapanen pisang
Mas Kirana dan menentukan waktu panen terbaik berdasarkan satuan panas untuk
penanganan pascapanen dalam memperpanjang masa simpan buah. Percobaan
dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai Februari 2015 di Kebun Cibungur
PTPN VIII Sukabumi dan Laboratorium Pascapanen, Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan yang digunakan
adalah pisang Mas Kirana dengan umur panen yang berbeda. Percobaan
menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor dengan 5 umur panen 35, 40, 45,
50 dan 55 hari setelah antesis (HSA) dan 4 ulangan. Hasil percobaan menunjukkan
bahwa umur panen terbaik dengan umur simpan terpanjang 9 hari setelah panen
(HSP) ialah pada pemanenan 40-50 HSA dengan satuan panas mencapai 576.5725.5 oC hari. Perlakuan umur panen tidak mempengaruhi laju emisi CO2 selama

penyimpanan, kandungan vitamin C dan padatan terlarut total (PTT). Perlakuan
umur panen memberikan pengaruh terhadap kekerasan kulit dan daging buah, susut
bobot, bagian buah dapat dimakan, asam tertitrasi total (ATT) dan rasio PTT/ATT.
Buah yang dipanen muda memiliki kandungan ATT lebih tinggi. Pada umur panen
35 HSA diperoleh nilai ATT sebesar 39.8 mmol/100 g bahan. Rasio PTT/ATT
tertinggi diperoleh pada umur panen 50 HSA yakni mencapai 1.12, dengan susut
bobot terendah 10.6% dan bagian buah dapat dimakan 82.2%.
Kata kunci: klimakterik, laju emisi CO2, pascapanen, pemasakan

ABSTRACT
EKA YULYANA. Postharvest Maturity Indices of Banana’s Mas Kirana (Musa sp.
AA group) Based on Heat Unit. Supervised by WINARSO DRAJAD WIDODO
and KETTY SUKETI.
The objective of this experiment was to study postharvest maturity on
banana’s Mas Kirana and determine best harvesting date based on heat unit for
postharvest handling in order to prolong the fruit's shelf life. The experiment was
conducted on December 2014 until February 2015 at PT Perkebunan Nusantara
VIII Estate, Cibungur, Sukabumi and Postharvest Laboratory, Departement of
Agronomy and Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University.
Banana’s Mas Kirana with different harvesting date was used. The research was

conducted in a complete randomized design using single factor with 5 harvest dates
35, 40, 45, 50 and 55 day after anthesis (DAA) and 4 replication. The result shows
best harvesting date with longest shelf life on 9 days after harvesting (DAH) is 4050 DAA with heat unit 576.5-725.5 oC days. Harvesting date not affect emision
CO2 rate during storage, vitamin C and total soluble solid (TSS). Harvesting date

affect of firmness flesh skin, weight loss, edible part, total titritable acidity (TTA)
and ratio of TSS / TTA. Fruits that are harvested unripe have high TTA content.
Harvesting date affects TTA on 35 DAA with acidity 39.8 mmol/100 g of material.
The highest ratio of TSS/TTA was obtained on harvesting time at 50 DAA on 1.12
with the lowest weight loss 10.6% and edible part 82.2%.
Keywords: climacteric, emision CO2 rate, postharvest, ripening

KRITERIA KEMATANGAN PASCAPANEN PISANG MAS
KIRANA (Musa sp. AA Grup) BERBASIS SATUAN PANAS

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura


DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
EKA2015
YULYANA

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan
Desember 2014 hingga Februari 2015 ini ialah Kriteria Kematangan Pascapanen
Pisang, dengan judul penelitian Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang Mas
Kirana (Musa sp. AA Grup) Berbasis Satuan Panas.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ir Winarso D Widodo, MS,
PhD dan Dr Ir Ketty Suketi, MSi sebagai dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan serta perbaikan-perbaikan selama kegiatan
penelitian hingga penulisan skripsi ini selesai, kepada Prof Dr Ir Didy Sopandie,
MScAgr selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan

bimbingan dan arahan selama masa perkuliahan, dan Dr Ani Kurniawati, SP, MSi
selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan perbaikan dalam penulisan
skripsi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Danu
Rianto, Bapak Agus, Bapak Nana Sumana dari PTPN VIII Industri Hilir Terpadu,
Bapak Iwan, Bapak Nanang beserta staf di Kebun Cibungur PTPN VIII yang telah
banyak membantu selama kegiatan di lapangan, juga keluarga Dandelion 48,
IKAMASI 48, Pondok Dandelion, serta teman-teman yang selalu memberi
semangat dan dukungan selama penyusunan skripsi.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, September 2015
Eka Yulyana

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii


DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2


TINJAUAN PUSTAKA

2

Botani Pisang

2

Ekologi dan Fisiologi Pisang

3

Panen dan Penanganan Pascapanen Pisang

4

Satuan Panas Pisang

5


METODE PENELITIAN

6

Tempat dan Waktu

6

Bahan dan Alat

6

Rancangan Percobaan

7

Prosedur Percobaan

7


HASIL DAN PEMBAHASAN

12

Satuan Panas, Umur Simpan dan Laju Emisi CO2

12

Karakteristik Mutu Fisik

17

Karakteristik Mutu Kimia

18

KESIMPULAN DAN SARAN

20


Kesimpulan

20

Saran

20

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP

35


DAFTAR TABEL
1 Satuan panas, umur simpan dan laju emisi CO2 pisang Mas Kirana
pada beberapa umur panen
2 Kualitas fisik pisang Mas Kirana pada skala warna 6
3 Kualitas kimia pisang Mas Kirana pada skala warna 6

12
17
19

DAFTAR GAMBAR
1 Proses persiapan buah
2 Indeks skala warna kematangan pisang Cavendish
3 Indeks skala warna pisang Mas Kirana pada beberapa
tingkat kematangan
4 Kondisi suhu udara di lingkungan selama masa generatif
5 Laju emisi CO2 pisang Mas Kirana pada beberapa
umur simpan
6 Keragaman dalam proses pemasakan pisang Mas Kirana
7 Tingkat kematangan pada beberapa umur panen
8 Penyakit pascapanen

8
8
12
13
14
15
16
18

DAFTAR LAMPIRAN
1 Analisis sidik ragam kriteria kematangan pisang Mas Kirana
pada beberapa umur panen
2 Proses inkubasi pisang Mas Kirana
3 Proses pemanenan dan pembersihan di lapangan
4 Deskripsi varietas pisang Mas Kirana
5 Standar kualitas pisang berdasarkan SNI 7422:2009

25
26
26
27
29

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pisang merupakan buah yang sangat potensial untuk pemenuhan gizi
masyarakat karena buahnya memiliki nilai gizi yang tinggi, tidak bermusim, mudah
dibudidayakan dan harga yang terjangkau. Produksi pisang di Indonesia tahun 2012
sebesar 6 270 813 ton dan meningkat menjadi 6 380 471 ton pada tahun 2013
(Ditjen Horti 2014). Perkembangan produktivitas pisang di Indonesia tahun 2012
mencapai 60.00 ton/Ha dan pada tahun 2013 meningkat hingga 60.70 ton/Ha.
Produksi pisang di Indonesia terbesar berasal dari Jawa Timur 1 223 442 ton, Jawa
Barat 1 045 368 ton, Jawa Tengah 552 963 ton, Lampung 678 492 ton dan Sumatera
Utara 342 298 ton (BPS 2014).
Permintaan terhadap buah pisang terus meningkat seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk, peningkatan taraf pendapatan, kesadaran
masyarakat akan kebutuhan gizi dan selera konsumen terhadap buah pisang yang
berkualitas. Berdasarkan data PUSDATIN (2014) total konsumsi pisang per kapita
relatif stabil setiap tahun, namun cenderung menurun dalam lima tahun terakhir
dengan rata-rata penurunan sebesar 1.80 % per tahun. Tahun 2012 total konsumsi
pisang sebesar 5.788 kg/kapita/tahun dan pada tahun 2013 terjadi penurunan hingga
mencapai 5.631 kg/kapita/tahun.
Tuntutan konsumen terhadap kualitas pisang yang baik membuat agribisnis
pisang terus berkembang tidak hanya memperhitungkan kuantitas produksi yang
dihasilkan tetapi juga kualitas pisang yang sangat berperan dalam penentuan harga.
Hal tersebut memberikan peluang bagi Indonesia untuk melakukan ekspor pisang
ke beberapa negara seperti China, Saudi Arabia, Kuwait, dan Malaysia.
Berdasarkan data BPS (2014) pada tahun 2013 ekspor pisang Indonesia mencapai
5 680 364 ton meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 1 489 370
ton.
Buah pisang yang baik tidak hanya bergantung pada rasa daging buah yang
lezat namun keragaan visual yang menarik juga akan menjadi nilai tambah bagi
buah pisang tersebut. Menurut Kitinoja dan Kader (2002) manajemen yang efektif
selama periode pascapanen sangat diperlukan untuk menjaga mutu (keragaan,
tekstur, citarasa dan nilai nutrisi), melindungi keamanan pangannya, dan
mengurangi susut saat panen sampai produk tersebut dikonsumsi.
Permasalahan penting budidaya pisang salah satunya adalah penentuan waktu
panen yang tepat sesuai dengan tujuan pemasaran. Pemanenan pisang yang terlalu
cepat menyebabkan mutu pisang rendah walaupun daya simpannya lebih lama
(Satuhu dan Supriyadi 1999). Tingkat ketuaan buah mempengaruhi kualitas serta
kandungan kimia dan gizinya. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan umur dan
karakter fisik. Umur panen dapat ditentukan mulai dari saat bunga mekar hingga
buah siap dipanen. Umur panen pisang berkisar 100-120 hari setelah bunga mekar,
tergantung varietas (Satuhu 1995).
Penentuan waktu panen yang biasa dilakukan petani adalah dengan
menghitung jumlah hari setelah bunga antesis hingga panen, bergantung pada jenis
pisang yang ditanam. Namun pemanenan dengan metode tersebut banyak
menimbulkan keragaman dalam pemasakannya. Hal ini menjadikan metode

2

pemanenan tersebut tidak efektif terutama untuk perkebunan besar yang harus
menghasilkan buah yang seragam dengan kualitas baik. Hal tersebut mendorong
pengembangan metode pemanenan dengan mempertimbangkan energi panas yang
dibutuhkan tanaman untuk reaksi fisiologi selama pertumbuhan dan perkembangan
mulai dari antesis hingga panen. Metode pemanenan tersebut dikenal dengan
metode satuan panas (heat unit / thermal unit). Metode pemanenan ini dianggap
lebih akurat dibanding dengan metode penghitungan hari setelah bunga antesis
karena konsep dari metode ini menghitung suhu rata-rata aktual yang diperoleh
tanaman selama di lahan hingga tanaman tersebut mencapai kematangan optimal
untuk dipanen. Berbeda halnya dengan perhitungan hari setelah antesis, suhu ratarata yang diperoleh tanaman selama pembudidayaan tidak diperhitungkan.
Penelitian mengenai kriteria kematangan pascapanen telah dilakukan oleh
Mulyana (2011) mengenai penyimpanan pascapanen pisang Raja Bulu dengan
menggunakan 30 g bahan oksidan etilen (27.75 g tanah liat + 2.25 g KMnO4) dapat
meningkatkan daya simpan buah 5 hari lebih lama dibandingkan kontrol. Hasil
penelitian Sutowijoyo dan Widodo (2013) pada pisang Raja Bulu dan pisang
Kepok, menunjukkan bahwa umur petik terbaik untuk penanganan pascapanen
dalam rangka memperpanjang umur simpan pada pisang Raja Bulu adalah 95 HSA,
dan 110 HSA pada pisang Kepok. Hasil lain ditunjukkan oleh Rahayu et al. (2014)
bahwa pisang Raja Bulu yang dipetik pada 85 HSA (satuan panas 1 305°C hari)
dapat disimpan selama 10 hari. Penelitian dilanjutkan dengan jenis pisang Mas
Kirana dengan tujuan mempelajari kriteria kematangan pascapanen pisang Mas
Kirana dari beberapa umur panen dan menentukan saat panen terbaik berdasarkan
satuan panas yang diperoleh selama pembudidayaan di lahan untuk penanganan
pascapanen dalam rangka memperpanjang masa simpan buah.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari kriteria kematangan pascapanen pisang
Mas Kirana dari beberapa umur panen dan menentukan saat panen terbaik
berdasarkan satuan panas yang diperoleh untuk penanganan pascapanen dalam
rangka memperpanjang masa simpan buah.

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Pisang
Pisang termasuk famili Musaceae dari ordo Zingiberales dan terdiri dari 2
genus Musa dan Ensete. Genus Musa terbagi dalam 4 golongan, yaitu Australimusa,
Callimusa, Rhodochalamys dan Eumusa. Golongan Australimusa dan Eumusa
merupakan jenis buah yang dapat dikonsumsi. Golongan Australimusa antara lain
Musa textilis dan Musa maclayi. Golongan Eumusa terdiri atas Musa basjoo, Musa
acuminata dan Musa balbisiana (Perrier dan du Montcel 1990). Buah pisang yang

3

dapat dimakan sebagian besar berasal dari golongan Musa acuminata dan Musa
balbisiana. Beberapa pisang Musa accuminata antara lain pisang tanpa biji diploid
(AA) dan triploid (AAA) yang merupakan bentuk pisang segar seperti ‘Sucrier’
serupa dengan pisang Mas dan ‘Grand Nain’. Demikian pula, Musa balbisiana
diterapkan pada pisang murni tanpa biji diploid (BB) dan triploid (ABB) yang
merupakan jenis pisang olahan seperti ‘Abuhon’ dan ‘Saba’ atau pisang Kepok di
Indonesia (Robinson 1999).
Terdapat 2 jenis pisang yang dapat dimakan dan dikelompokkan berdasarkan
pemanfaatannya yaitu pisang meja (banana) yang biasa disajikan sebagai buah
segar dan pisang olahan (plantain). Sebagian besar jenis pisang meja (banana)
merupakan triploid seperti AAA yang membawa 3 set kromosom turunan dari Musa
acuminata. Secara umum pisang olahan (plantain) merupakan triploid misalnya
AAB dan ABB (Samson 1980). Pisang yang dimakan sebagai buah segar antara
lain: pisang Ambon, Susu, Raja, Cavendish, Barangan, dan Mas. Pisang yang
disajikan sebagai olahan antara lain: pisang Nangka, Tanduk, dan Kepok. Pisang
berbiji yaitu M. brachycarpa, adapula yang dimanfaatkan daunnya, seperti pisang
Batu dan Klutuk. Pisang yang diambil seratnya yaitu pisang Manila (Kemenristek
2014).
Kultivar pisang yang memiliki peluang pasar menjanjikan untuk komoditas
ekspor antara lain Raja Bulu dan Kepok kuning. Pada tingkat lokal, petani lebih
memilih pisang Ambon Lumut, Ambon Kuning, Barangan, Nangka, Tanduk, dan
Raja Sereh karena permintaan lokal yang cukup tinggi. Pisang komersial
merupakan hasil keturunan mutasi dari spesies Musa liar yang menghasilkan buah
tidak berbiji dan enak dimakan. Spesies liar itu adalah Musa acuminata dan Musa
balbisiana (Sastrahidayat dan Soemarno 1991).
Pisang merupakan tanaman herba tahunan dengan sistem perakaran serabut,
akar tersebut tumbuh pada umbi batang di dalam permukaan tanah. Batangnya
berupa umbi batang (bonggol) yang berada didalam tanah, sedangkan bagian yang
berdiri tegak menyerupai batang adalah batang semu yang terdiri atas pelepahpelepah daun. Daun berbentuk lanset memanjang dengan lapisan lilin di permukaan
bawahnya. Daun pisang tidak memiliki tulang daun sehingga daun mudah sobek
bila terhempas angin (Cahyono 2009).

Ekologi dan Fisiologi Pisang
Pisang dapat tumbuh di daerah tropis baik di dataran rendah maupun dataran
tinggi dengan iklim tropis basah, lembab dan panas yang mendukung pertumbuhan
pisang. Curah hujan optimal adalah 1 520 – 3 800 mm/tahun dengan 2 bulan kering
atau 2 000 - 2 500 mm/tahun dengan paling tidak 100 mm/bulan. Variasi curah
hujan harus diimbangi dengan ketinggian air tanah agar tanah tidak tergenang. Suhu
udara berkisar antara 15-35°C dengan suhu optimum untuk pertumbuhan adalah
27°C dan suhu maksimum 38°C. Tanah liat yang mengandung kapur atau tanah
alluvial dengan pH tanah antara 4.5-7.5 adalah baik untuk pertanaman pisang.
Tanaman ini toleran akan ketinggian dan kekeringan. Ketinggian tempat tidak lebih
dari 1 600 mdpl. Di Indonesia umumnya pisang juga dapat tumbuh pada dataran
rendah sampai pegunungan setinggi 2.000 mdpl (B2P2TP 2008).

4

Pisang menunjukkan pola respirasi klimakterik yang diawali dengan
rendahnya laju produksi CO2 atau pengambilan O2 (praklimakterik), diikuti dengan
peningkatan yang signifikan (peningkatan klimakterik), puncak klimakterik dan
akhirnya menurun (pascaklimakterik) (Hassan et al. 1990). Pertumbuhan sangat
terbatas di bawah 13°C dan klorofil rusak di bawah 6°C (Newley et al. 2008).
Pertumbuhan tunas terbaik antara 26-28°C dan buah 29-30°C. Gejala chilling injury
pada suhu 16°C meliputi kegagalan tangkai berbunga, perubahan warna buah
menjadi kuning atau hijau keabu-abuan kusam, bentuk buah terdistorsi, dan
peningkatan jumlah buah busuk (Crane et al. 2005). Terdapat hubungan antara suhu
dan proses pertumbuhan tanaman pisang. Pada suhu dibawah 12°C terjadi chilling
injury yaitu kerusakan akibat suhu dibawah optimal. Pertumbuhan dimulai pada
suhu 18°C dan mencapai optimum pada suhu 27°C kemudian turun dan mulai
berhenti pada suhu 38°C (Samson 1980).
Sebagian besar kultivar pisang di negara-negara ASEAN memiliki kisaran
suhu terjadinya kerusakan akibat chilling injury sekitar 12-13°C (Hassan et al.
1990). Gejala chilling injury pada pisang antara lain bagian dalam buah berongga,
kelainan pada warna kulit buah, pemasakan abnormal, pengerasan plasenta tengah,
ketidaksempurnaan rasa dan sangat rentan terhadap kerusakan mekanis (Nguyen
dan Saicho 2009). Pada suhu